Manusia Aneh Dialas Pegunungan Bab 11

Bab 11

Ketika Jun-yan memandang kearah yang ditunjuk, ia lihat di bawah tebing yang curam itu dikelilingi dengan sebaris orang Biau yang tegap kekar, hanya tempat yang ditunjuk Tiat-hoa-popo itu sekira dua tombak luasnya tiada di-aling2i orang, kalau dinding disitu licin gelap tanpa tetumbuhan, sebaliknya di tempat itu ternyata tumbuh semacam akar rotan yang hitam halus, malahan berbunga kecil berwarna ungu.

Apakah itu maksudmu “ tanya Jun-yan heran.

Singkirkan akar rotan hitam itu, lantas tertampak sebuah gua , kata Tiat-hoa-popo dengan wajah keren.

Gua itu menembus keluar gunung.

Apabila nona dapat melalui jalan situ, lalu masuk lagi dari pintu2 besi dilembah sana, lantas kau akan disembah sebagai Seng-co dari pada 72 gua suku kami ! Hong san Koay Khek “

Diam2 Jun-yan terkejut, pikirnya, gua sekecil ini, andaikan si orang aneh itu selalu ingin menolong aku, masakan sekarang juga bisa ikut masuk kesitu “ Maka tanyanya pula : Mahluk apa lagi yang terdapat didalam gua itu “ .

Tiada lain, kecuali semacam Kim-ci-cu (laba-laba mata uang emas) , sahut si nenek.

Hati Jun-yan menjadi lega.

O, kiranya hanya laba-laba berbisa! ujarnya.

Nyata ia tidak tahu bahwa racun laba-laba itu jahat luar biasa, jangankan bisa yang disemburkan labah-labah itu, sekalipun menyentuh jaringnya yang halus saja, orang seketika bisa pingsan, dan kalau tidak dapat pertolongan obat mujarab yang jitu, dalam waktu singkat saja jiwa bisa melayang.

Lebih dari itu, malahan orang yang mati terkena racun labah-labah itu, akan hancur menjadi darah dan darahnya berubah menjadi gas racun, jahatnya racun serupa lihaynya.

Tempat labah-labah itu sembunyi adalah di atas selapis saput berbisa yang kempel dari gas racun.

Saput berbisa ini sama jahatnya dengan labah-labah tersebut.

Hal ini sama sekali tidak diketahui Jun-yan yang hidup di Jing-sia-san yang indah permai pemandangannya, la sangka kalau melulu labah-labah seperti itu saja dengan membawa obor tentu akan dapat membakarnya habis.

Tentang adanya saput berbisa didalam gua itu, ternyata tidak dijelaskan oleh Tiathoa-po po.

Kiranya nenek ini sesalkan A Siu telah mengalah pada Ti Put-cian, padahal gadis itu adalah calon satu2nya yang dia ajukan.

Ia sendiri adalah tong-cu atau kepala gua pertama daripada tujuh puluh dua gua suku Biau.

Sejak Seng-co kedelapan menghilang, tujuh puluh dua suku Biau itu lantas dibawah pimpinannya.

Ia tidak menjelaskan tentang berbahayanya di dalam gua labah2 itu, karena ia masih punya harapan Jun-yan akan mati terkena racun, dengan begitu, menurut aturan bisa diulangi pemilihan Seng-co lagi, dan A Siu boleh jadi masih bisa terpilih.

Begitulah, tanpa pikir, Jun-yan terus minta empat obor, dua dibuat cadangan dan dikempitnya, sedang dua lainnya ia sulut untuk penerangan terus menuju kemulut gua yang ditunjuk itu.

Ketika akan melangkah masuk, tiba-tiba ia ingat akan diri si orang aneh itu, entah ikut dibelakangnya tidak.

Cepat ia menoleh, dan sesaat itu, ternyata orang aneh itu sudah tidak ada di tempatnya tadi.

Jun-yan melengak, ia pikir mungkin orang aneh itu tahu kalau gua itu mudah dilalui, maka sudah tinggalkan pergi dahulu.

Tiba2 ia lihat Ti Hong san Koay Khek “

Put-cian melambai-lambaikan tangan kepadanya, ia tercengang tapi segera merasa girang dan membalas melambai tangan, lalu melangkah masuk kedalam gua.

Gua itu ternyata sempit lagi pendek, kadang-kadang harus sedikit mendak untuk tidak menyundul atap gua.

Dibawah penuh lumut yang licin, suasana dalam gua dingin seram.

Sesudah duapuluh tombak jauhnya, gua itu mulai melebar, tapi sudah lama masih belum sampai keujung gua, malahan makin dalam makin gelap dan makin seram.

Dengan tabahkan diri, Jun-yan angkat obornya tinggi2 dan terus maju kedepan, makin jauh gua itu makin luas, Se-konyong2 terasa olehnya dari belakang angin berkesiur, satu bayangan orang melesat lewat disampingnya, siapa lagi kalau bukan simanusia aneh itu” He, kau ikut kemari” tegur Jun-yan bergirang.

Tapi tenggorokan orang aneh itu berkeruyukan seperti suara ayam jago yang belum dikoroki, tak bisa bicara.

Sudah banyak Jun-yan mendapat kebaikan darinya, ia lihat wajah orang itu penuh bekas luka yang benjal benjol, ditambah lagi buta dan bisu, entah betapa menderitanya dimasa dahulunya, maka hati Jun-yan sungguh sangat kasihan dan simpati padanya, tegurnya kemudian : Apakah yang hendak kau katakan” Tidakkah kau dapat menulis untukku “ Orang itu ter-mangu2 sejenak, mendadak ia pentang kedua tangannya ketika melihat Jun-yan hendak maju kedepan.

Kemana Jun-yan hendak maju, selalu ia merintangi.

Jun-yan menjadi heran.

Sudah banyak kau membantuku, kenapa sekarang kau malah merintangi” tanyanya.

Sudah tentu orang itu tak bisa menjawab, hanya tenggorokannya tetap bersuara krok-krok , tiba2 nadanya berubah sangat memilukan.

Jun-yan mendongkol, katanya : Asal aku bisa menembus gua ini, segera aku akan diangkat menjadi kepala suku Biau, kedudukan ini dapat kuberikan kepada It-ci Toako yang sangat menginginkannya, kau tidak mau membantu, kenapa malah merintangi “ Lekas minggir ! Dan sekali melesat, segera ia menerjang ke depan.

Tapi kontan orang aneh itu memapak dengan sekali pukulan, dimana angin pukulannya menyambar, tahu2 sumbu Hong san Koay Khek “

api obor menjadi padam.

Seketika keadaan menjadi gelap gulita, Jun-yan terkejut, ia menjadi curiga akan kelakuan si orang aneh ini, jangan2 hendak mencelakainya “ Cepat ia berkelit kesamping.

Dan selagi hendak menyulut obor cadangannya yang dibawanya tadi, mendadak terasa bahunya kesemutan, tempat thian-coan-hiat telah ditutuk orang hingga tubuhnya lumpuh, obornya juga jatuh.

Lantas terasa tubuhnya kena dikempit orang serta menuju jalan masuk kegua tadi, tapi tidak jauh lantas membiluk beberapa kali, karena keadaan gelap gulita, ia tidak tahu orang membawanya kemana.

Cuma tidak lama kemudian ia merasa tubuhnya diletakkan ditempat yang empuk bagai kasur.

Ingin sekali Jun-yan mengetahui dirinya berada dimana, sekuatnya ia kerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darahnya yang tertutuk, tapi sayang, tetap tak berhasil, ia menjadi gugup, kenapa orang aneh itu tidak membuka jalan darahnya atau mungkin sudah meninggalkannya.

Dengan tak sadar, entah lewat beberapa lama, jalan darahnya baru lancar kembali.

Cepat Jun-yan melompat bangun, baiknya obor masih ada satu, segera ia nyalakan, tapi ia menjadi terkejut, kiranya dirinya berada didalam satu kamar batu, tempat dimana ia rebah tadi adalah sebuah balai2 batu dengan bantal kasur lengkap.

Kecuali ada meja kursi dari batu, ada pula rak buku penuh kitab2, sebaliknya orang aneh itu telah menghilang entah kemana.

Sungguh Jun-yan merasa heran kenapa di tempat demikian terdapat gua batu seindah ini.

Ia merasa dirinya belum dibawa keluar gua oleh orang aneh itu, maka dapat diduga dirinya masih berada dalam perut gunung.

Ia coba memeriksa kamar itu, ia lihat tempat dimana dirinya merebah tadi mendekuk kedalam, waktu ia merabanya, ternyata kasur itu sudah lapuk, mungkin saking tuanya.

Begitu pula kitab2 di rak buku itu, sekali pegang lantas hancur.

Tambah heran Jun-yan, diam2 ia memikirkan asal-usul orang aneh itu.

Apakah mungkin tempat ini adalah tempat kediamannya dahulu” Sementara ini Jing-ling-cu dan para tokoh2 terkemuka lainnya sedang mempersiapkan pertemuan para jago silat seluruh jagat untuk mengusut asal-usul diri si orang aneh ini, kalau sekarang juga aku dapat menyelidikinya, kelak tentu akan bikin geger pertemuan besar itu.

Hong san Koay Khek “

Tiba2 ia melihat dipojok kamar itu ada sebuah peti besi, ia mendekati dan memeriksanya, ia lihat peti itu digembok dan sudah berkarat.

Ketika ia tarik sedikit, gembok itu lantas putus, ia membuka tutup peti dan melihat didalamnya terletak sebatang pedang panjang satu meter, sarung pedangnya kasap bagai terbuat dari sejenis kulit binatang.

Dibawah pedang itu tertindih sepotong saputangan sutera merah, kecuali itu tiada benda lain lagi.

Ia coba ambil pedang itu dan rasanya sangat enteng.

Tiba2 hatinya tergerak, ia ingat kepandaian yang diperolehnya dari gurunya, Jiau Pek-king, kecuali Iwekang, ada lagi sejurus ilmu pukulan Hui hun-cio-hoat , selain itu belum pernah diberinya pelajaran memakai senjata.

Sebab katanya senjata biasa tiada gunanya dipelajari, senjata bagus susah didapatkan, hanya bisa diketemukan secara kebetulan, tapi dicari susah.

Sebab itu bila kelak dirinya bisa memperoleh semacam senjata pusaka, barulah akan diberi pelajaran ilmu senjata.

Lalu sang guru memuji Pek-lin-sin-to, cuma dikatakan bobotnya terlalu berat, karena gemblengannya kurang murni, senjata yang paling bagus harus tajam tapi enteng seperti kertas.

Kini pedang yang dipegangi itu bukannya enteng bahkan hampir tak terasa, apa bukan senjata wasiat yang jarang terdapat “ Ia coba letakan obornya, lalu pedang itu ia lolos.

Namun ia menjadi kecewa, karena pedang itu warnanya hijau tak bersinar, ketika disentil dengan jari juga tidak mengeluarkan suara nyaring, seperti bukan ditempa dari baja, nyata senjata itu tiada sesuatu yang luar biasa.

Maka ia masukan kembali kesarungnya, lalu mengambil saputangan merah tadi.

Ia lihat warna saputangan itu semarak menyenangkan, halus lunak, seperti bukan terbuat dari sutera biasa, diatas kain itu samar2 ada huruf tulisan lagi, cuma mungkin umurnya sudah terlalu tua, maka tidak jelas.

Jun-yan tiada waktu untuk meneliti lebih jauh, sekenanya kain sutera itu ia masukan ke saku bajunya, lalu mem-bongkar2 peti itu, namun tiada penemuan lainnya.

Karena kuatir kalau terlalu lama tinggal didalam gua, mungkin orang2 yang menunggu diluar menganggap dirinya tak mampu keluar lagi, bukankah urusan akan menjadi runyam “ Maka cepat ia keluar dari kamar batu itu, pedang hijau itu tidak diurusnya lagi.

Agak lama ia berjalan kedepan, kemudian dapatlah dikenali sebagai tempat yang kemarin telah dilaluinya ketika mulai masuk gua, di-situ ada satu tikungan yang menyimpang, cuma kemarin tidak diperhatikannya.

Hong san Koay Khek “

Sebab telah mendapatkan jalan semula, hatinya menjadi girang.

Tidak jauh pula, tiba2 terdengar dijalan samping sana sayup2 berkumandang orang menangis yang tersedu-sedan, segera dapat dikenali itulah suara si orang aneh itu.

Karena ingin cepat2 keluar gua, Jun-yan tidak urus lagi, malahan ia kuatir kalau orang aneh itu menyusulnya dan merintangi kepergiannya lagi, maka secara berindapindap ia menuju kedepan.

Tidak lama lagi, tibalah ia ditempat yang kena ditutuk si orang aneh itu kemarin, dua obor yang jatuh disitu masih ada.

Dari situ maju lagi, setelah biluk satu tikungan, mendadak di depan ada cahaya api yang bergerak perlahan lahan, satu bayangan orang tertampak jelas di bawah sorotan sinar api itu yang segera dapat dikenalinya sebagai Ti Put-cian.

It-ci Toako! tanpa merasa Jun-yan berseru.

Rupanya Ti Put-cian terkejut mendadak, ia terus menoleh sambil mengerutkan alis, sahutnya, He, Jun-yan, kau masih disini” Cepat Jun-yan mendekati dan balas menegur.

Kenapa kaupun berada disini “ Apakah kau kemari mencari aku “ Di mana manusia aneh itu” tanya Ti Put-cian menyimpang.

Entahlah, sudah menghilang.

Ya, ya, aku datang mencari kau , sahut Ti Put-cian kemudian.

Sehari semalam kau tak keluar dari sini, orang2 Biau itu menjadi gempar dan minta diadakan pemilihan ulangan tapi aku telah membantah keras, lalu aku menyatakan bersedia mencarimu kemari, Jun-yan ketahuilah, sebenarnya betapa rasa kuatirku atas keselamatanmu “ Padahal Kanglam-it-ci-seng Ti Put-cian ini bukanlah manusia baik2, apa yang diucapkan itu berlawanan sama sekali dengan kenyataannya.

Sebaliknya Jun-yan mudah dibujuk rayu, ia sangka Ti Put-cian benar2 rindu padanya lalu datang mencarinya, segera ia menjadi girang, katanya: Agaknya kita perlu lagi maju kesana, marilah kita keluar dari gua ini dan tinggalkan daerah Biau ini ! Akan tetapi Ti Put-cian terus geleng2 kepala, sahutnya: Jun-yan mana boleh kita buang tenaga percuma ditengah jalan” Kemarin kau telah telan Lwetan dari katak berwajah manusia itu, apakah kau ada merasa sesuatu yang aneh “ Hong san Koay Khek “

Eh, ya, kata2 itu telah menyadarkan Jun-yan, Ketika semalam aku tertutuk si orang aneh, beberapa kali aku himpun tenaga murni untuk menembusi jalan darahku, meski belum berhasil, tapi rasaku tenaga dalamku sudah bertambah kuat.

Bok Siang-hiong itu bilang Lwe-tan sikatak dapat menambah tenaga dalam latihan beberapa tahun, entah betul atau tidak” Sudah tentu benar , sahut Ti Put-cian, diam2 ia unjuk senyum sinis, lalu sambungnya lagi: Dan kalau kau sudah menjadi Seng-co setiap tahun dari rakyat 72 suku Biau itu tentu akan menghadiahkan seekor katak semacam itu pula kepadamu, kenapa kita malah akan undurkan diri ditengah jalan” Hayo, kita maju terus.

Jun-yan menjadi terbujuk, ia mengiakan dan melangkah kedepan.

Dengan kawan Ti Put-cian, ia bertambah berani, malahan merasa manis madu hatinya.

Sebaliknya sambil jalan Ti Put-cian terus peras otak penuh dengan akal2 keji.

Kiranya sesudah Jun-yan masuk gua, diluar orang2 Biau lantas bunyikan tambur menari dan menyanyi.

Sedang orang2 Han yang melihat kedudukan Seng-co sudah ada calonnya, sudah terang tiada harapan lagi, berturut-turut mereka lantas tinggalkan tempat itu.

Hanya Ti Put-cian saja yang tidak rela pergi, jauh2 ia datang kedaerah perbatasan ini untuk maksud meraih kedudukan Seng-co, masakan sekarang harus kembali dengan tangan hampa.

Ia lihat benih asmara Jun-yan kepadanya belum lenyap sama sekali, ia pikir harus pakai bujuk halusan, bukankah serupa meski nanti gadis itu dapat merebut kedudukan Seng-co “ Sebab itulah ia tinggal disitu.

Sedang A Siu mondar mandir disekitarnya saja sambil memandangi pemuda berjari satu ini dengan sorot mata penuh arti.

Hati Ti Put-cian tergerak, dengan senyum manis ia menyapa.

A Siu ! Dengan kemalu-maluan A Siu menyahut sekali terus menunduk dan mendekati.

Diam2 Ti Put-cian bergirang, dengan jari satu2nya ia mencoba menggantol lengan si gadis, A Siu, tadi kau telah sudi mengalah, aku merasa sangat berterima kasih.

A Siu tertawa, sahutnya.

Ah, itu sudah seharusnya.

A Siu, tanya Ti Put-cian pula, sebenarnya kepandaianmu yang tinggi itu diperoleh dari mana “ Jika kita benar2 berkelahi, terang aku bukan tandinganmu.

Hong san Koay Khek “

Menurut peraturan suku kami, terhadap kekasih, tidak mungkin saling gebrak, sekalipun kau hantam mati padaku, tak nanti aku melawan, sahut A Siu.

Nyata ia elakan diri dari pertanyaan tentang diperolehnya ilmu silat.

Karena itu, Ti Put-cian menanya lagi berulang kali, tapi A Siu tetap tidak mau bilang dan selalu membilukan pembicaraan.

Melihat si gadis lemah gemulai se-akan2 tak tahan tiupan angin, tapi setiap gerakgerik penuh tenaga dalam, diam2 Ti Put-cian bertambah heran, katanya kemudian.

A Siu, marilah coba memberi petunjuk beberapa jurus padaku ! Habis berkata, tanpa menunggu sahutan orang, cepat tangan kanan menjulur, jari tunggalnya menjentik, Koh-cing-hiat dipundak si gadis hendak ditutuknya.

Diluar dugaan, sedikitpun A Siu tidak berkelit, maka terdengarlah suara tuk sekali, tepat sekali tutukannya, tapi rasanya seperti mengenai kayu lapuk, empuk lunak, percuma ia kerahkan tenaganya.

Sedangkan A Siu tetap bersenyum simpul saja.

Keruan tidak kepalang terkejutnya Ti Put cian.

Sejak ia memperoleh semacam kitab Tok-ci-pit-hoat atau pelajaran menutuk dengan jari satu2nya, ia berhasil meyakinkan ilmu menutuk dengan jari tunggalnya itu, lebih dulu ia dapat membalas sakit hati pada musuh yang pernah mengutungi sembilan jarinya yang lain, habis itu, ia malang melintang di kangouw tak terkalahkan, namanya semakin lama semakin disegani dan dipandang sebagai momok oleh orang Bu-lim.

Pada jari tunggalnya ia pasang pula sebuah selongsong mas yang dapat dijulurkan lebih panjang beberapa kali lipat, selama ini belum ketemukan tandingan, maka namanya tambah ditakuti.

Siapa tahu A Siu yang kena ditutuk sekarang ini hanya ganda bersenyum, tentu saja ia terkejut bukan main.

Diam-diam ia pikir, kepandaian yang dimiliki A Siu ini terang adalah semacam Khikang dari kaum Lwekeh yang tinggi, maka dapat diketahui caranya A Siu mengalahkan Cu Hong-tin secara halusan, sebenarnya berlaku murah hati.

Terhadap ilmu Khikang sedemikian hebatnya, terang ia sendiri takkan mampu menandingi.

Maka ia pura2 bersenyum, A Siu, kau memang hebat aku mengaku kalah! Dan karena ini, ia menjadi makin ingin mengetahui dari mana A Siu dapat memperoleh kepandaian setinggi itu.

Sementara itu Tiat-hoa-popo telah memanggil A Siu kesana.

Diam2 Ti Put-cian menduga sinenek itupun bukan orang lemah, tampaknya harus cari kesempatan lebih sempurna.

Setelah ambil keputusan ini, ia lantas mendekati beberapa orang Biau untuk Hong san Koay Khek “

diajak mengobrol, tapi karena bahasa masing2 yang kurang lancar, setelah ribut lama, kemudian barulah Ti Put-cian dapat gambaran bahwa A Siu itu sebenarnya adalah putri seorang Biau biasa, di-waktu berumur tiga tahun ikut orang tuanya mencari obat kegunung selama itu lantas menghilang dan baru kemarin saja mendadak muncul pulang, kalau gadis itu sendiri tidak mengaku sebagai A Siu yang empat belas tahun menghilang itu, siapapun tiada yang kenal padanya, sebab itu, siapapun tiada yang tahu dari mana ia memperoleh kepandaian setinggi itu.

Tanpa terasa siang telah berganti malam lagi, tapi orang2 Biau itu terus menari dan menyanyi.

Ia coba mencari A Siu, tapi tiada tampak bayangan si gadis, ia menjadi gugup.

Sementara itu hari telah pagi lagi, dan Jun-yan masih belum kelihatan datang kembali.

Dalam pikiran Ti Put-cian, ia harap hendaklah Jun-yan mati dalam gua oleh racun labah2 itu, dengan demikian barulah ia ada harapan lagi untuk merebut kedudukan Seng-co Biau itu.

Kiranya Ti Put-cian mempunyai ambisi yang sangat besar, kecuali orangnya memang pintar cerdik dan serba pandai, yang dipikir olehnya selalu ialah ingin bisa mengepalai Bulim.

Dibawah pengaruh jiwanya yang kemaruk kekuasaan dan gila hormat itu, kecerdasan itu menjadi disalahgunakan dan sesat jalan.

Sebab itulah, sejak bertemu dengan Jun-yan serta si orang aneh itu, setiap saat iapun selalu peras otak cara bagaimana bisa memperalat mereka untuk merebut kedudukan Seng-co, sebab itulah ia membujuk Jun-yan mengikutinya keadaan Biau ini.

Begitulah ia menjadi iseng menunggu kembalinya Jun-yan dari gua itu, tapi karena batas waktunya belum habis, yaitu meski tunggu sampai malamnya lagi baru bisa diputuskan, saking kesal iapun berjalan-jalan seenaknya kaki itu melangkah dan tanpa terasa telah keluar kesuatu pegunungan itu, makin jauh makin sepi, akhirnya ia sampai ditepi suatu kolam lumpur yang besar dan lebat oleh macam tetumbuhan.

Karena kuatir kesasar jalan, segera Ti Put-cian berniat kembali, tiba2 didengarnya di tempat dekat sana ada suara bentakan orang yang gusar, suara itu sudah dikenalnya sebagai suara sinenek, yaitu Tiat-hoa-popo.

Padahal sekeliling tempat tampaknya kolam lumpur belaka, di-samping2 lain tebing gunung yang curam, hakekatnya tiada tempat yang bisa dibuat sembunyi orang, lalu darimanakah datangnya suara orang itu” Hong san Koay Khek “

Tetapi ketika ia menegasi, ia menjadi terkejut, kiranya di-tengah2 kolam lumpur sana terdapat segundukan tetumbuhan yang lebat, disitulah ternyata merupakan sebuah pulau kecil tidak menarik perhatian orang, kalau tidak diperhatikan, orang akan menyangkanya sebagai sebuah batu besar saja dengan dikelilingi pepohonan.

Tapi suara bentakan Tiat-hoa-popo tadi justru telah keluar dari situ.

Betapa cerdiknya Ti Putcian, segera ia tahu gundukan tanah yang tidak menarik itu sesungguhnya adalah sebuah tempat tinggal yang dibuat secara spesial.

Sejak Ti Put-cian menjatuhkan A Siu di panggung pertandingan, ia lantas mengetahui banyak diantara orang Biau yang tidak puas terhadap dirinya, terutama sinenek bunga besi itu.

Apalagi Tiat-hoa-popo ini tampaknya begitu disegani orang2 Biau itu, melihat gelagatnya, orang tua itupun sangat tidak puas terhadap dirinya, dan kalau dirinya dapat menduduki Seng-co, mungkin nenek itulah yang akan merupakan oposisi yang paling kuat, rasanya harus mencari akal buat melenyapkannya, sebab itulah, gerak-gerik sinenek sekarangpun sangat menarik perhatian.

Ia ter-mangu2 sejenak ditepi kolam lumpur itu, ia mendengar Tiat-hoa-popo makin lama makin sengit, cuma kata2nya diucapkan dalam bahasa Biau, yang ia paham, namun dapat diduga sedang marah terhadap seseorang.

Lalu siapakah gerangan orang yang dimarahi itu “ Ia lihat kolam lumpur itu basah2 lihat, lumpur begitu baik manusia maupun hewan, se-injak pasti kejeblos kedalam.

Tapi cara bagaimanakah Tiat-hoa-popo itu mendatangi tempat tinggal di tengah-tengah kolam itu “ Ia menjadi heran, ia coba mengitari kolam itu, tiba diatas sebuah daun kapu-kapu yang lebar dapat dilihatnya ada bekas dua tapak kaki, satu sangat besar dan yang lain agak kecil.

Maka tahulah Ti Put-cian, didalam rumah itu sedikitnya ada dua orang, masuknya mereka ke sana ialah menggunakan ilmu mengentengi tubuh Teng-peng-toh cui atau menarik kapu2 menyeberangi sungai.

Ilmu kepandaian Kanglam-it-ci-seng Ti Put cian dengan sendirinya juga tidak lemah, kalau ilmu entengi tubuh seperti Teng-peng-toh-cui itupun sudah dapat dipastikannya.

Maka tanpa pikir lagi iapun melompat ketengah kolam sambil mengincar baik2 sebuah daun kapu2, sekali kakinya menutul enteng, cepat ia melompat ke depan lagi beberapa tombak, sebelum sampai ditempat itu, ia lihat disitu ternyata ada sebuah rumah yang bentuknya bundar pendek tanpa pintu maupun jendela, hanya didekat atapnya ada sebuah lubang kecil yang bundar, mungkin dari lubang inilah keluar masuknya kerumah bundar itu.

Hong san Koay Khek “
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar