Manusia Aneh Dialas Pegunungan Bab 10

Bab 10

Tahu2 gadis itu telah melompat maju, dengan tangannya yang putih bersih bergelang keleningan, segera kebutnya Cu Hong-tin kena ditangkapnya.

Maka seketika kedua orang saling tarik menarik mengadu tenaga dalam, banyak orang yang kuatirkan A Siu yang bertubuh lemah itu takkan tahan, maka orang2 Biau sama bersorak membantu suara.

Sebaliknya bagi penglihatan Ti Put-cian, ia sudah menduga Siau-yau ih-su pasti akan kalah.

Kalau ia tahu diri mau turun panggung masih mendingan, tapi kalau mengadu tenaga dalam demikian, walaupun A Siu tidak ada niat arah jiwanya, sedikitnya akan terluka parah.

Tadinya ia memperhitungkan tiada orang lain lagi yang bisa menandingi Cu Hongtin, sebaliknya ia sendiri menaksir dengan mudah sanggup mengalahkannya.

Siapa tahu ilmu silat A Siu bisa begini lihay, tampaknya tidak mudah jika bertanding dengan dia.

Sementara itu diatas panggung Cu Hong-tin masih berkutetan dengan A Siu, meski ber-ulang2 ia kerahkan tenaga dalamnya, tapi selalu tak berhasil menarik kembali kebutnya.

Maafkan ! tiba2 A Siu tersenyum, segera Cu Hong-tin merasa suatu tenaga yang kuat sekali menumbuk kembali dari kebutnya hingga dadanya serasa sesak.

Hampir2 darah menyembur keluar dari tenggorokannya.

Terpaksa ia lepaskan kebutnya dan melompat kebelakang turun dari panggung, menyusul pandangan menjadi silau, kebutnya sudah dilemparkan A Siu kearahnya.

Masih tak berani ia menyambutnya, melainkan melompat kesamping, tak terduga sekali ini A Siu memang benar2 hendak mengembalikan senjatanya itu, maka tidak menggunakan tenaga, dengan enteng kebut itu jatuh ditanah, cepat Cu Hong-tin menjemputnya.

Hong san Koay Khek “

Sejak Cu Hong-tin malang melintang dikang ouw, belum pernah ia dikalahkan seperti sekarang ini, keruan ia gemas bukan kepalang kepada A Siu, tanpa menoleh lagi ia berlari pergi.

Sesudah kalahkan Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin, lalu dengan senyum simpul A Siu berkata kepada para hadirin : Masih ada orang gagah manakah yang sudi naik kemari memberi pelajaran “ Ia ulangi beberapa kali tantangannya itu, tapi tiada seorangpun yang tampak berani maju.

Ti Put-cian pikir telah tiba saatnya, ia memberi pesan pada Jun-yan tentang bantuan orang aneh itu, lalu berdiri dan berseru : Aku yang rendah mohon petunjuk pada nona ! Lalu dengan jalan berlenggang ia mendekati panggung batu, sekali enjot, dengan enteng ia sudah melompat keatas.

Kau “ dengan wajah merah A Siu menegasi, ia tidak percaya kalau pemuda itu juga hendak bertarung padanya.

Benar aku, petunjuk apakah yang hendak nona berikan “ sahut Ti Put-cian dengan lagak tengik.

A Siu tudingi jari satu2nya Ti Put-cian, lalu tunjuk pergelangan tangannya sendiri dengan wajah merah jengah.

Ti Put-cian menjadi ingat godaannya tempo hari digardu tepi jalan itu, nyata si gadis ini telah jatuh hati padanya.

Jika seorang gadis Biau sudah jatuh cinta pada seseorang, ia rela berkorban untuk segalanya, apalagi hanya kedudukan Seng-co.

Memang dugaan Ti Put-cian tidak salah, diam2 A Siu memang sudah jatuh cinta padanya.

Kiranya pergaulan laki perempuan diantara suku Biau meski bebas, tapi sekali2 tak boleh kedua badan saling sentuh, kecuali kalau sudah suka sama suka untuk mengikat menjadi suami isteri.

Ketika Ti Put-cian gunakan jarinya menggantol lengan A Siu digardu itu, kalau bukan ketampanan Ti Put-cian telah menggiurkan hati A Siu, tentu gadis itu sudah menghajarnya.

Kini sesudah berhadapan, A Siu menjadi ragu2, ber-kali2 Ti Put-cian mempersilahkannya bergebrak, ia hanya memandangi pujaan hatinya dengan mata mendelong.

Long-kun ( panggilan pada kekasih ), mana bisa aku menangkan kau, silahkan kau turun tangan saja ! Hong san Koay Khek “

Dasar orang Biau memang sangat jujur, karena menyangka Ti Put-cian sudah penuju padanya, maka tanpa tedeng aling2 lagi A Siu terus menyebut long-kun padanya.

Tentu saja diam2 Ti Put-cian bergirang, terus ia menutuk ke Ki-bun-hiat didada orang.

Sama sekali A Siu tidak menghindarinya, maka tutukan itu tepat kena tempatnya, sekali tubuhnya mendoyong kebelakang terus terperosot kebawah panggung.

Ketika hampir merosot kebawah, tiba2 telinga Ti put-cian mendengar gema suara yang lirih jelas: Sampai ketemu besok malam dibawah bulan purnama, longkui.

Tampak bibir A Siu bergetar dan mengulum senyum, habis itu ia berjalan mendekati Tiat-hoa-popo.

Lalu terdengar Tiat-hoa-popo sedang berkata dalam bahasa Biau dengan suara keras seperti orang marah, begitu pula orang2 Biau lainnya sama berteriak merasa penasaran.

Namun A Siu tidak ambil pusing, ia tinggal memandang kearah Ti Put-cian diatas panggung itu dengan kesemsem.

Ketika keduanya diatas panggung, hakekatnya tidak sampai bergebrak, sebaliknya pasang omong dengan mesra, lalu sekali Ti Put-cian geraki tangannya, lantas A Siu turun panggung, terang se-akan2 keduanya sudah berunding secara baik2.

Tentu saja hal ini membikin Jun-yan naik darah, tanpa pikir lagi ia terus melompat keatas panggung.

Waktu itu Ti Put-ciang lagi senang2 karena merasa tiada orang lagi yang berani menantang dirinya.

Ketika tiba2 melihat Jun-yan melompat keatas, ia menjadi kaget, tegurnya : Hai, Jun-yan, ada apa kau naik kemari “ Ti Put-cian, manusia rendah, kasak-kusuk apa yang kau lakukan dengan budak hina itu” damprat Jun-yan.

He, nona Lou, kenapa kau menjadi marah2 begini “ jengek Ti Put-cian.

Makin dipikir, makin gusar Jun-yan, tiba2 ia angkat tangannya terus menempiling kemuka orang.

Namun Ti Put-cian telah memapaki sekali menjentik dengan jari tunggalnya itu hingga setengah tubuh si gadis merasa kaku kesemutan.

Keruan Junyan semakin murka, teriaknya gusar : Bagus kau, Ti Put-cian ! Sebenarnya kalau turuti tabiat Kanglam-it-ci-seng Ti Put-cian, perbuatannya akan jauh lebih keji dan ganas.

Sepanjang jalan ia begitu baik pada Lou Jun-yan, tujuannya tiada lain hanya bermaksud memperalat si gadis untuk merebut kedudukan Seng-co Hong san Koay Khek “

saja.

Kini kedudukan itu sudah terang dalam genggamannya, apa gunanya lagi seorang macam Lou Jun-yan.

Segera dengan tertawa dingin iapun menjawab : Baiklah, jika sudah berani naik kepanggung, silahkan nona menyerang ! Habis berkata, selongsong emas dijarinya itu tiba2 mengkilat, tahu2 menjulur panjang terus menutuk ke tubuh si gadis, tanpa kenal ampun ia telah keluarkan kemahiran menutuk yang lihay itu.

Cepat Jun-yan melompat mundur buat berkelit sambil mendamprat, tapi secepat kilat tutukan kedua Ti Put-cian sudah dilontarkan lagi.

Tampaknya sekali ini tenggorokan Jun-yan pasti akan terkena.

Tiba2 terdengar suara creng yang nyaring, entah dari mana datangnya sebutir batu, selongsong emas jarinya Ti Put-cian itu telah terbentur hingga lengannya tergetar kaku, seketika semper.

Kesempatan itu digunakan Jun-yan dengan baik, plak , kontan ia persen sekali tampar dimuka orang hingga merah bengkak.

Diam2 Ti Put-cian mengeluh, tentu batu tadi disambitkan si orang aneh itu, dalam seribu kerepotannya ia coba melirik kearah si orang aneh, tapi orang tertampak duduk anteng saja ditempatnya.

Sesudah memukul orang, Jun-yan menjadi menyesal malah, katanya.

Sudahlah, asal kau dapat memahami maksudku, marilah kita tinggalkan tempat ini! sambil berkata, tanpa berjaga-jaga ia terus mendekati orang.

Namun kekejaman Ti Put-cian sudah tidak kenal maksud baik Jun-yan, ia tunggu si gadis sudah mendekat, mendadak tangan kiri menggaplok dari samping, sedang jari tunggal tangan kanan terus menutuk ketengah jidat Jun-yan.

Serangan mendadak ini membikin Jun-yan tak berdaya sama sekali, dengan penasaran ia hanya bisa tunggu ajal saja sambil pejamkan mata.

Tapi mendadak terdengar Ti Put-cian berseru tertahan, ketika ia membuka mata, ia lihat orang berdiri kaku sambil tangan kiri lagi meraba pinggang, menyusul mana orangnya malah terus mendeprok jatuh diatas panggung.

Tanpa ayal lagi Jun-yan ayun kakinya menendang hingga tubuh Ti Put-cian tertendang kebawah panggung.

Sebenarnya tadi Ti Put-cian lagi menutuk dengan tipu it-liong-tam-cu atau sinaga mencakar mutiara, yaitu mengarah tengah2 batok kepala si gadis, tapi baru sampai tengah jalan tiba2 pinggangnya terasa pegal linu, ia insyaf terkena bokongan orang aneh itu lagi, lekas2 sebelah tangannya dipakai memijat tempat yang terasa pegal itu, Hong san Koay Khek “

tapi sudah terlambat, jalan darah itu telah tertutup dan badannya lemas terkulai hingga memberi kesempatan kepada Jun yan untuk menendangnya kebawah.

Baru saja Jun-yan hendak menyusul kebawah panggung untuk memberi penjelasan, ia lihat A Siu sudah keburu mendekati Ti Put-cian dan membangunkannya.

Malahan Ti Put-cian melotot dengan penuh kebencian kearahnya.

Jun-yan menjadi kesima, pikirnya, Ah, ia telah kena kutendang kebawah, terang takkan bisa menjadi kepala suku Biau, tentu ia akan membenci padaku, pelototan matanya tadi seakan mendekam kesumat tak terhingga padaku.

Sedang perasaannya diliputi sesal tak terkatakan, mendadak suara tabur dipukul ramai pula, seluruh orang Biau yang hadir disitu telah berlutut menyembah kearahnya, Tiat-hoa-popo juga mendekati panggung batu itu serta berseru keras2 : Dengan hormat mohon tanya nama suci Seng-co kesembilan siapa “ Jun-yan menjadi bingung, tapi segera ia pun mengerti, kalau Ti Put-cian telah dapat dirobohkannya kebawah panggung dan tiada lagi yang berani naik menantang padanya, maka kedudukan Seng-co yang diperebutkan itu terang sudah jatuh atas dirinya.

Saat itu, sebenarnya Jun-yan sama sekali tidak ketarik oleh kedudukan Seng-co dari tujuh puluh dua gua suku Biau yang sangat diharapkan oleh orang2 Bu-lim itu.

Kalau tidak menyaksikan berapa mesranya waktu A Siu membangunkan Ti Put-cian, mungkin ia lebih suka menunggang bersama diatas satu keledai suseng berjari tunggal itu berkelana di kangouw.

Tapi dasar wataknya memang sangat suka turuti pikiran hatinya yang timbul seketika, kini demi cemburu, segera ia menyahut, Aku she Bo bernama Junyan! Sementara itu Tiat-hoa-popo telah berlutut ditanah sambil berseru beberapa kali dalam bahasa Biau.

Seketika orang2 Biau itu berjingkrak gembira ria dan bersorak gegap gempita.

Kemudian Tiat-hoa-popo berkata lagi terhadap Jun-yan: Ilmu silat nona Lou sudah lulus ujian, tetapi menurut peraturan, harus menghadapi tiga mahluk berbisa lagi, hendaklah bersiap menunjukan kesaktianmu untuk menaklukannya! Diam2 Jun-yan memikir, kiranya masih begini banyak permainan dalam pemilihan Seng-co ini.

Ia lihat orang2 Biau yang tadinya bersorak sorai itu kini telah diam mendadak, seorang wanita setengah umur tampak tampil kemuka dengan membawa Hong san Koay Khek “

keranjang rotan, dengan hati2 sekali keranjang itu dilemparkan keatas panggung, lalu orangnya berlari ketempat semula.

Silahkan nona Lou membunuh dulu katak berwajah manusia didalam keranjang ini! terdengar Tiat-hoa-popo melapor dibawah panggung dengan sangat menghormat.

Jun-yan pikir tentu katak berwajah manusia itu adalah semacam binatang aneh yang jarang terlihat, apa yang harus ditakuti “ Tapi karena memang ia tidak bersenjata, maka katanya: Aku tidak punya senjata, biarlah bertangan kosong saja ! Mendengar si gadis akan menghadapi katak dengan tangan kosong saja, tanpa merasa semua orang berseru kaget berbareng.

Tapi Jun-yan masih belum insyaf akan gawatnya peristiwa nanti, tanpa ambil pusing ia mendekati keranjang rotan tadi terus ditendangnya hingga menggelundung pergi beberapa tindak jauhnya, se-konyong2 terdengar suara kok sekali, dari dalam keranjang melompat keluar suatu mahluk aneh yang belum pernah dilihatnya.

Mahluk itu tampaknya gepeng mendekam diatas panggung batu itu, warnanya serupa warna kulit manusia, besarnya pun serupa muka manusia, malahan seperti lengkap dengan mata, hidung dan mulut manusia, cuma jeleknya luar biasa macam siluman.

Dalam terkejutnya hampir-hampir Jun-yan menjerit, maka cepat ia mundur selangkah.

Siapa duga mahluk itupun terus mendesak maju.

Sesudah itu barulah Jun-yan dapat melihat jelas, kiranya mahluk aneh itu adalah seekor katak dengan empat kakinya yang pendek, bentuk yang mirip wajah manusia itu hanya guratan2 diatas punggungnya saja.

Dengan sendirinya Jun-yan tambah berani sesudah mengetahui mahluk itu hanya seekor katak, ia tidak tahu mahluk itu justru satu diantara tiga binatang berbisa yang paling ditakuti suku Biau.

Katak berwajah manusia itu dapat menyemburkan hawa berbisa yang jahat, melulu menyenggol badannya saja tentu akan kena racunnya dan kulit daging orang bisa membusuk.

Tempat dimana binatang itu hidup seluas beberapa tombak tiada hidup tetumbuhan apapun, maka dapat dibayangkan betapa jahat racunnya.

Untuk menangkap binatang ini guna ujian bagi calon Seng-co, orang Biau entah berapa banyak harus dikorbankan.

Namun Jun-yan masih belum kenal akan kelihayan katak berbisa ini, segera ia hendak memapak maju untuk membunuhnya, tapi tiba-tiba didengarnya suara menjengek Ti Put-cian dibawah panggung.

Ketika Jun-yan menoleh, ia lihat suseng Hong san Koay Khek “

berjari tunggal itu duduk berendeng dengan mesranya bersama A Siu, wajahnya mengunjuk ejekan.

Seketika darah Jun-yan bergolak, cepat ia melengos tak sudi memandangnya.

Tapi pada saat itulah, terdengar suara 'kok' sekali, katak itu telah menubruk kearahnya sambil meleletkan lidahnya seperti ular, malahan membawa semacam bau amis yang tak enak dicium.

Tanpa pikir lagi Jun-yan ayun telapak tangannya terus menghantam.

Mendadak katak berwajah manusia itu gembungkan perutnya dan melompat keatas, nyata itulah katak jenis kintak yang perutnya gembung bulat seperti bola, lalu dari atas udara terus menubruk kebawah dengan suara kok-kok yang keras.

Melihat binatang itu bisa menghindari serangannya, Jun-yan menjadi terkejut, sementara hidungnya mengendus bau amis yang memuakkan dan memusingkan kepala, hampir2 saja ia tak sanggup berdiri tegak, cepat ia melontarkan sekali lagi pukulan sekuatnya.

Tapi ia merasa tenaganya sudah tidak sebesar tadi, tampaknya kintak itu masih terus menubruk kearahnya.

Dan aneh bin ajaib, mendadak kintak itu bersuara kok sekali lagi, cuma suara ini lain daripada tadi, badannya juga terus terbanting diatas panggung lalu empat kakinya mengenjol sekali terus tidak berkutik lagi, nyata sudah mati.

Segera Jun-yan tahu, tentu seperti mengalahkan Ti Put-cian tadi, si orang aneh itulah yang telah membantunya pula.

Tapi ketika ia melirik kesana, ia lihat orang aneh itu masih tetap duduk anteng saja, jaraknya dengan panggung batu kira2 3-4 tombak jauhnya, terang ia membantu dengan senjata rahasia, tapi anehnya tanpa suara tanpa wujut hingga tak diketahui orang lain.

Maka dapatlah dibayangkan betapa hebat ilmu kepandaiannya.

Sementara itu demi nampak Jun-yan berhasil membunuh katak berwajah manusia itu, seluruh orang Biau yang hadir disitu terus bersorak-sorai gembira.

Segera Tiat-hoaHong san Koay Khek “

popo pun melompat keatas panggung batu lagi sembari tangannya sudah memegangi sebilah golok.

Ternyata ilmu sakti nona memang tiada bandingannya, asal bisa membunuh lagi dua mahluk berbisa lain, selamanya akan dijunjung sebagai Seng-co oleh suku kami dari tujuh puluh dua gua.

demikian kata nenek tua itu.

Sekarang silahkan nona minum dulu pil mujijat dari katak ini.

Habis berkata, cepat goloknya bekerja, sekali potong dan sekali iris, tahu2 batang golok telah bertambah dengan sepotong benda yang besarnya seperti telor ayam.

Kiranya itulah empedu binatang aneh itu.

Meski bau katak itu amis memuakkan, tapi benda isi perutnya itu berbau wangi.

Namun begitu, Jun-yan merasa ngeri akan isi perut kintal itu, katanya: Aku tak mau makan barang mengerikan ini! Baru saja selesai ia ucapkan, tiba2 dibawah panggung Ti Put-cian terus menyanggupi: Dia tidak mau, berikanlah padaku ! Dalam pada itu, Bok Siang-hiong yang dikalahkan Cu Hong-tin itu, masih berada disitu, segera iapun berseru : Nona Lou, Iwetan (pil dalam) mahluk berbisa itu mujijatnya dapat menandingi tenaga latihan selama beberapa tahun, adalah semacam benda yang sangat diinginkan oleh orang-orang yang belajar silat seperti kita.

Hendaklah kau lekas menelannya, supaya tidak jatuh ditangan orang jahat! Rupanya Bok Siang-hiong dapat juga menduga sisuseng itu tentu Kanglam-it-ciseng yang namanya sangat disegani kalangan Bu-lim, kalau sampai empedu katak itu dapat dimakannya, bukankah mirip harimau tumbuh sayap dan membawa malapetaka lebih hebat bagi dunia persilatan “ Ti Put-cian tertawa dingin, sahutnya : Tadi dia sudah bilang tidak mau.

Masakan seorang Seng-co bisa jilat kembali ludah sendiri “ Ia menduga Tiat-hoa-popo tentu tidak menyerahkan lagi benda itu kepada Jun-yan.

Tak ia duga, tiba-tiba Tiat-hoa-popo berkata dengan dingin : Segala apa terserah keputusan Seng-co sendiri, orang dibawah panggung tak perlu banyak mulut! Keruan Ti Put-cian malu dan gusar.

Namun ia tak berani pakai kekerasan, terutama melihat si orang aneh itu masih berada disitu.

Hong san Koay Khek “

Sementara itu Jun-yan mencium bau Lwe tan itu semakin harum semerbak, perlahan2 ia jemput benda itu dari angsuran Tiat-hoa-popo, ia masih tak berani menelannya terang2an, tapi dengan pejamkan mata terus dijatuhkan ke-tenggorokan.

Dan baru saja benda itu masuk ke mulut, pluk , tahu2 pecah hingga rasanya segar wangi sangat nyaman mengalir kedalam perut.

Lalu Tiat-hoa-popo masukan bangkai katak busuk itu kedalam keranjang tadi dan didepaknya kepinggir.

Menyusul mana, tampak seorang wanita setengah umur yang lain telah membawakan sebuah peti keatas panggung, dari dalam peti itu mengeluarkan suara keresekan seperti ada semacam mahluk yang lagi me-rangkak2 didalamnya.

Karena sudah tahu pasti si orang aneh selalu siap menolongnya dari samping, nyali Jun-yan menjadi besar.

Tanpa bicara lagi, dengan kakinya ia depak tutup peti itu hingga menjeplak terbuka.

Awas, nona ! Binatang ini bernama Kim jiau-ih-coa ! kata Tiat-hoa-popo.

Segera dari dalam peti itu tampak merayap keluar seekor ular terus meloncat keatas.

Hebatnya, ular ini se-akan2 bisa berjumpalitan dan melingkar2 diatas udara, lalu jatuh keatas panggung batu sambil merayap maju.

Dimana tempat yang dilewati, tertinggal bekas se-akan2 dikerok.

Jun-yan melihat ular itu tiada ubahnya dengan ular umumnya, bedanya cuma badannya gepeng dan lebar hingga sekilas pandang se-akan2 berkepet, sedang di bawah lehernya tumbuh dua cakar yang berwarna kuning gelap, bekas seperti dikerok diatas batu tentu disebabkan kedua cakarnya itu.

Dengan lagaknya yang lincah, segera Jun-yan membentak : Binatang, lekas serahkan nyawamu, apa perlu nonamu turun tangan “ Sembari berkata, ia tertawa ngikik sambil melontarkan hantaman.

Menurut cerita suku Biau, Kim-jiau-ih-coa atau ular cakar emas bersayap, kedua cakarnya kuat dan keras bagai baja, batu atau kayu kalau kena dicakarnya segera pecah belah, dan pula bisa meloncat seperti terbang, ditambah lagi berbisa jahat sekali, dibanding katak berwajah manusia itu jauh lebih lihay.

Maka ketika pukulan Jun-yan dilontarkan, mendadak ular itu meloncat keatas, dengan lidahnya yang merah menakutkan, kedua cakarnya ber-gerak2 terus menubruk kearah si gadis.

Hong san Koay Khek “

Sama sekali Jun-yan tidak menduga bahwa ular itu bisa sedemikian hebat, dalam terkejutnya ia menjerit kaget terus melompat kebelakang namun begitu, lengan bajunya telah tercakar sobek sebagian oleh cakar ular itu.

Menyusul mana binatang itu terus menubruk lagi, cepat Jun-yan memukul pula, dengan angin pukulannya ia coba menahan tubrukan ular itu.

Tapi ternyata ular itu gesit luar biasa, begitu tergetar mundur, kembali meloncat menubruk pula.

Berulang kali Jun-yan sengaja menjerit untuk memancing bantuan si orang aneh, siapa duga orang itu tinggal diam saja belum mau turun tangan.

Sampai akhirnya, ia benar2 kewalahan kalau bertahan terus diatas panggung batu itu, tanpa pikir lagi ia melompat turun dari panggung batu itu dengan dugaan ular itu takkan menyusulnya.

Siapa tahu binatang itu benar2 seperti bayangan yang selalu melekat ditubuhnya saja, baru saja Jun-yan berdiri ditanah, tahu2 dari belakang angin sudah menyambar, lekas-lekas ia berjongkok terus menjatuhkan diri kesamping, maka terdengarlah suara berebet, lagi-lagi bajunya sobek tercakar ular itu.

Karena sudah kepepet, sekenanya Jun-yan merampas sebatang tombak dari tangan seorang Biau didekatnya terus ditusukan kearah ular yang sementara itu telah menubruknya lagi.

Anehnya, sudah jelas terdengar suara crat-crat beberapa kali, terang tombaknya mengenai sasarannya, tapi sedikitpun ternyata ular itu tak terluka, malahan ketika cakarnya mencengkram, tahu2 terdengar krak sekali, tombaknya itu malah sudah patah.

Dalam keadaan terdesak, terpaksa setindak Jun-yan mundur mendekati tempat orang aneh itu.

Ditelinganya terdengar suara ejekan Ti Put-cian yang rupanya merasa bersukur akan keadaan Jun-yan itu.

Gemas dan gusar hati si gadis, tapi memang ia lagi kewalahan, keringatnya ber-butir2 menetes dari jidatnya, sedikit lengah, beberapa kali hampir tercakar oleh ular2 itu.

Sukurlah akhirnya dapatlah ia mendekati tempat duduk si orang aneh.

Lekas turun tangan, bila lambat, aku bakal tercakar mati olehnya! serunya gugup pada orang aneh itu.

Baru saja selesai ucapannya, terlihat tangan orang aneh itu sedikit bergerak, sebutir batu mendadak menyambar kepada ular.

Hong san Koay Khek “

Warna ular itu seluruhnya hitam ber-bintik2 kuning, hanya sedikit dibawah lahernya ada satu lingkaran kecil berwarna putih.

Ketika batu sambitan itu dilontarkan, tepat sekali mengenai lingkaran putih itu.

Waktu itu ular lagi menubruk pula dengan cepat kearah Jun-yan, tetapi ketika kena sambitan batu, kontan terjungkel dari atas udara dan menggeletak diatas tanah tanpa berkutik lagi.

Maka tahulah sekarang Jun-yan, sebab orang aneh itu tidak lantas menolongnya tadi, oleh karena seluruh tubuh ular itu keras bagai baja, hanya lingkaran putih kecil dibawah leher itulah yang merupakan titik kelemahannya.

Segera ia melangkah maju, badan ular itu ia injak kuat2, ia angkat tombaknya dan mengincer tepat titik putih binatang itu dan terus menusuk, benar juga, sekali tusuk lantas masuk, maka melayanglah jiwa ular itu.

Kalau sehabis membunuh ular, Jun-yan senang sekali, adalah dipihak lain Ti Putcian yang mendongkol tidak kepalang.

Sudah dua kali ia berharap gadis itu mampus dibawah binatang2 berbisa itu, siapa tahu si orang aneh itu selalu menolongnya dari samping.

Orang ini begitu hebat ilmu silatnya, meski kedua matanya katanya buta, tetapi sekali timpuk tepat kelemahan ular yang diarah, se-akan2 terhadap seluk-beluk ular berbisa ini sudah jelas diketahuinya.

Melihat Jun-yan sudah lulus ujian kedua, tiba2 Tiat-hoa-popo menuding kedinding tebing didepan sana.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar