Manusia Aneh Dialas Pegunungan Bab 09

Bab 09

Ketika beberapa gua dilewati pula dan sampai digua kedelapan belas, jauh-jauh sudah terdengar didalam perut gunung itu suara tambur dipukul riuh ramai mengejutkan orang.

Sampailah tempat tujuan kita , kata Ti Put-cian akhirnya.

Mendengar sudah sampai, segera Jun-yan mengamati tempat itu, ia lihat didekat gua sana tumbuh beberapa pohon Bwe dengan bunga sebesar mangkok dan ranting2nya yang lebat.

Suara tambur itu berkumandang terus dari dalam gua.

Ti Put cian melepaskan keledainya agar pergi makan rumput sendiri, lalu Jun-yan diajaknya mendekati pintu gua.

Ternyata gua itu berpintu besi yang sangat lebar dan setinggi lebih dua tombak hingga nampaknya sangat megah.

Lalu suseng itu mengeluarkan bunga seruni besi dari bajunya dan mengetok beberapa kali pada pintu besi.

Melihat itu, hati Jun-yan penuh tanda tanya, namun ia coba menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tidak lama, pintu besi itu terdengar berbunyi, tampak satu lubang kecil terpentang dari lubang itu.

Ti Put-cian angsurkan bunga seruni besi.

Sebentar kemudian, pintu besi itu terbuka, didalam gua itu gelap gulita, Jun-yan kencang2 menggendoli lengan si pemuda dan ikut masuk kedalam.

Hong san Koay Khek “

It-ci Toako, kemanakah kita ini “ tanya pula Jun-yan.

Didepan ada orang mengunjukan jalan bagi kita, sebentar lagi tentu kau akan jelas melihatnya , sahut Ti Put-cian.

Tak lama kemudian, karena sudah biasa dalam kegelapan, samar2 Jun-yan dapat melihat di depan betul saja ada dua orang Biau yang tegap bertombak sedang menunjukan jalan.

Sesudah beberapa jauhnya, di depan terdapat pintu besi semacam itu.

Suatu saat Jun-yan merasa angin silir berkesiur lewat disampingnya.

Tepat pada saat itulah, tiba2 Ti Put-cian berpaling menanya: Jun-yan, sepanjang jalan, apakah kau merasa bahwa manusia aneh itu terus mengintil di belakangmu” Barusan saja terasa angin lewat menyambar disampingku, apakah kau tidak berasa “ sahut Jun-yan.

Gerak gerik orang aneh itu tidak bersuara, tapi menimbulkan kesiurnya angin, tampaklah dia sudah pasti.

Ia ikut kemari, tidak berhalangan bukan” , sahut Ti Put Cian.

Jun-yan, sebentar nanti kalau terpaksa, aku ingin minta bantuanmu, hendaklah kau jangan menolak .

Jun-yan tidak tahu bantuan apa yang orang harapkan darinya, tapi iapun menjawab : Jangan kuatir ! Pada saat itulah, tiba2 pandangan mereka terbeliak, suara tamburpun semakin keras terdengar.

Ternyata mereka sudah berada di-tengah2 sebuah lembah pegunungan yang sekelilingnya diapit oleh lereng2 tebing yang tinggi dan curam.

Tanah mangkok lembah itu seluas kira-kira dua ha dan tandus tak tertumbuh apapun, malahan dibawah sinar bulan nampaknya halus licin, kecuali dapat dimasuki melalui pintu2 besi dalam gua tadi, agaknya burung sekalipun tak dapat masuk ketempat ini.

Di-tengah2 tanah lapang itu terdapat sebuah batu besar setinggi tiga kaki dan lebarnya lebih dua tombak persegi, permukaan batu rata gelap, nyata sebuah meja batu buatan alam.

Di atas meja batu itu waktu itu ada seorang Biau dengan bagian atas badan telanjang hingga tampak kulitnya yang ke-hitam2an, sedang memukul tambur se-kuat2nya hingga air keringatnya bertetes-tetes.

Disekitar batu besar itu banyak orang yang sedang duduk mengitari, ada suku Biau sendiri, juga ada bangsa Han.

Didepan batu besar itu terdapat tujuh kursi yang diatur berderet, semuanya masih lowong.

Dekat dengan dinding tebing sana beberapa ratus Hong san Koay Khek “

orang Biau memegangi obor besar hingga lembah itu tersorot terang benderang bagai siang hari.

Diam2 Jun-yan memikir mungkin ini pertengahan bulan, tentu orang2 Biau lagi mengadakan perayaan apa2.

Maka iapun tidak banyak tanya, kemana Ti Put-cian pergi ia mengikut kesitu.

Sesudah hampir mengitari tanah lembah itu, kemudian Ti Put-cian memilih suatu tempat yang longgar dan berduduk, tempat itu kira2 beberapa tombak jauhnya dari meja batu tadi, maka Jun-yan pun berduduk disamping kawannya ini.

Ketika tanpa sengaja ia berpaling, tiba2 ia berseru kaget: He, hidung kerbau! Kaupun berada disini” Lekas2 Ti Put-cian menjawil si gadis dan membisikinya: Ssst, jangan bersuara Junyan! Namun seruan Jun-yan tadi meski tak keras, tapi karena waktu itu hanya suara tambur saja yang berdentang, semua orang lagi menanti dengan berdiam, maka yang berdekatan dengan Jun-yan lantas banyak yang berpaling kearahnya.

Sebab itu, Jun-yan menjadi makin heran.

Kiranya tadi diantara orang2 itu ia telah melihat Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin juga berduduk disana, sebab itulah ia berseru kaget.

Tapi kini ketika banyak orang berpaling kearahnya, ia menjadi melihat pula diantaranya bukan saja terdapat Tong-ting-hui-hi Bok Siang-hiong, bahkan si orang aneh juga tertampak berduduk tidak jauh dari dirinya dan kepalanya tertutup selapis kain.

Walaupun orang aneh itu berkedok, tapi dari bentuk tubuh dan dandanannya Junyan masih dapat mengenalinya, maka katanya kepada Ti Put-cian : It-ci Toako, ternyata disini tidak sedikit kenalan lama ! Siapa saja “ tanya Put-cian.

Lihatlah, imam setengah umur itu ialah Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin, dan kakek pendek buntik itu adalah Tong-ting-hui-hi Bok Siang-hiong, sedang lelaki berkedok itu bukan lain adalah orang aneh yang banyak bikin gara2 atas diriku itu! Benar” Kau tidak salah mengenalinya” Put-cian menegas.

Dan rupanya saking girang hingga suaranya agak keras.

Ssst , cepat pula Jun-yan menjawil padanya.

Maka keduanya lantas saling pandang dengan tersenyum.

Hong san Koay Khek “

Mendadak suara tambur tadi semakin keras dan cepat, lalu beberapa ratus orang Biau lantas bersorak-sorai hingga suasana seketika bergemuruh oleh suara gema kumandang dilembah pegunungan itu.

Hampir mulailah sekarang , kata Ti Put-cian rada tegang ketika melihat sang dewi malam sudah berada di-tengah2 cakrawala.

Maka tertampaklah dari pintu besi sana berduyun2 datang tujuh orang, setiap orang memondong satu mayat yang sudah kering, ada lelaki ada perempuan, tapi tubuh mayat itu sudah mengering kuning hingga tampaknya sangat menyeramkan.

Dandanan mayat2 itupun tidak seragam, ada suku Biau, ada bangsa Han dan suku lain pula.

Agaknya, orang yang memondong mayat itu sangat menghormat sekali terhadap apa yang mereka bawa itu.

Setelah sampai didepan ketujuh kursi kosong tadi, merekamereka meletakkan mayat2 itu diatasnya, lalu berlutut memberi sembah, sesudah bangun, mereka lantas berbicara, mula2 dengan bangsa Biau, kemudian dengan bangsa Han, seru mereka: Secara sembrono kami berani menyentuh tubuh Seng-co (nabi agung), pantas kalau mati, maka mengharap Seng-co suka memberi berkah! Habis berkata, cepat mereka melolos senjata terus membunuh diri.

Segera pula ada orang yang menyeret ketujuh jenazah baru ini kepinggir.

Betapa terkejut dan berdebar hati Jun-yan oleh kejadian itu, sebaliknya Ti Put-cian ternyata sangat kesemsem menyaksikan itu katanya dengan perlahan pada si gadis: Lihatlah, betapa agung perbawa Seng-co, sesudah wafat, tubuh emasnya masih begitu keramat hingga siapa yang menyentuhnya rela membunuh diri untuknya! Apa2an Seng-co itu “ tanya Jun-yan.

Ssst, jangan sembrono , bisik Ti Put-cian dengan wajah kuatir.

Jun-yan masih hendak menanya, tapi suara tambur tadi sudah berhenti mendadak dan orang yang memukul tambur itu terus melompat turun dari meja batu itu dengan gesit.

Maka terlihatlah Tiat-hoa-popo menaiki meja batu dengan langkah yang tidak tetap sebagai lajimnya seorang nenek2.

Sesudah berada diatas, ia memandang kesekitarnya hingga seketika sunyi senyap, maka iapun mulai berkata, juga bahasa Biau dulu, kemudian bahasa Han.

Katanya: Seng co ketujuh sudah wafat 30 tahun yang lalu, Seng-co kedelapan juga sudah menghilang selama 30 tahun dan tak pernah kita Hong san Koay Khek “

ketemukan.

Menurut tradisi kita, Seng-co kesembilan harus kita angkat diantara semua hadirin ini.

Menurut peraturan, 49 bunga seruni sudah kita sebarkan keseluruh negeri, siapa yang memperolehnya malam ini juga sudah hadir semua.

Maka Lopocu (nenektua) tidaklah perlu banyak omong, terserah pada takdir, siapakah gerangannya yang bakal terpilih sebagai Seng-co dari rakyat2 72 gua kita.

Habis itu, sekali tubuhnya melesat cepat sekali orangnya sudah melayang turun.

Jangan dikira usianya sudah tua dan matanya buta, tapi betapa cepat gerakannya, ternyata tidak kalah dengan tokoh kelas satu dari kalangan Bulim.

Sampai disini, sedikit banyak Jun-yan sudah mengetahui duduknya perkara.

Apa yang disebut Seng-co itu tentu adalah pemimpin tertinggi dari 72 gua suku Biau, dan hari ini justru hari pemilihan Seng-co baru itu.

Cuma yang tidak dapat dipahaminya ialah apa yang dikatakan sinenek bahwa Seng-co ke 8 bisa menghilang sejak 30 tahun yang lalu, padahal kedudukan Seng-co ini ada sekian banyak orang yang menginginkannya” Sedang ia berpikir, tiba2 dilihatnya didepannya berdiri satu orang berbaju putih, ujung lengan baju orang hampir2 menyentuh mukanya.

Ketika ia mendongak, kiranya adalah si gadis yang bernama A Siu itu.

Gadis jelita ini lagi memandangi Ti Put-cian dengan senyum yang penuh arti.

Hati Jun-yan menjadi panas, segera ia bermaksud membentak, tapi gadis itu hanya sejenak saja merandek, lalu meninggalkan pergi.

Hm, gadis Biau ternyata begini tak kenal malu , segera Jun-yan mencemoh sambil melihati belakang A Siu, yang sementara itu telah mendekati dan duduk disamping Tiathoa Popo.

Sejenak nenek itu turun panggung, semua hadirin berdiam diri saja, setelah lama barulah si orang Biau yang tinggi besar wajahnya bengis membawa tombak, sambil meloncat dan berlari menaiki panggung batu, lalu teriaknya : Tong-cu (kepala Gua) dari Jing-cha-tong, Pulaihua, minta pengajaran dari para hadirin ! Habis berkata, dengan congkaknya ia berdiri menolak pinggang dengan sebelah tangannya, sikapnya memang gagah sekali, tapi bagi penglihatan orang ahli segera tahu kuda2nya tidak kuat, tidak tahan sekali pukul saja.

Kiranya ke-72 gua suku Biau itu yang hidupnya diantara tanah pegunungan yang penuh binatang-binatang berbisa, jiwa mereka sama sekali tak terjamin, maka segera Hong san Koay Khek “

telah mengadakan perserikatan mengangkat seorang yang serba pandai untuk menjadi pemimpin besar mereka, yaitu disebut Seng-co, dengan hak kekuasaan penuh.

Sejak Seng-co pertama diangkat, selamanya tidak membeda-bedakan suku bangsa dan keturunan, sebab itulah diantara delapan Seng-co yang lalu, enam diantaranya adalah bangsa Han.

Waktu pemilihan Seng-co baru selalu diadakan pada pertengahan bulan pertama diwaktu bulan purnama, sesudah Seng-co lama wafat, sebelum itu, 49 buah bunga seruni besi yang menjadi tanda pemilihan itu disebar keseluruh negeri, siapa yang memperolehnya dapat ikut hadir dalam pemilihan.

Urusan ini selamanya dirahasiakan, maka Jun-yan sejak mula tidak mengetahui untuk apakah kedatangan Ti Put-cian ini.

Begitulah, sesudah Pulaihua tadi naik ke-panggung, lalu datang seorang Biau lalu sebagai penantang dan mulai bertanding, akhirnya Pulaihua itu kena dijungkalkan kebawah.

Selanjutnya seluruh suku Biau saja yang saling bertempur hingga dua jam lebih, tapi cara berkelahi mereka adalah terlalu kasar hingga tiada harganya dilihat.

Tampaknya sang bulan sudah mendoyong kebarat, tiba2 Tong-ting-hui-hi Bok Siang-hiong melolos senjatanya, Go-bi-ji, sekali lompat, panggung yang jauhnya dua tiga tombak itu telah kena dinaikinya.

Waktu yang berada disitu adalah seorang Biau yang muda tangkas, diantara leher pergelangan tangan dan kakinya memakai gelang rotan yang hitam gelap.

Sesudah naik keatas, tanpa bicara lagi senjata Bok Siang hiong terus menusuk kepaha orang Biau itu.

Namun orang Biau berdiri diam saja tanpa menghindar, maka tepat kena pahanya yang di arah itu, tapi hanya mengeluarkan suara seperti kayu diketok, sedikitpun kakinya ternyata tidak terluka.

Keruan Bok Siang-hiong terkejut, segera ia tarik kembali senjatanya hendak ganti serangan, namun tombak orang Biau itu juga telah menusuk kebadannya, cepat ia meraup hingga ujung tombak orang kena ditangkapnya, sekali gertak, Bok Siang-hiong kerahkan tenaga dalamnya yang kuat, tanpa ampun lagi orang Biau itu terpental jatuh kebawah seperti layang2 putus benangnya.

Maaf ! Bok Siang-hiang coba merendah lalu ada seorang Biau lagi yang melompat keatas, tapi juga bukan tandingannya, ber-turut2 beberapa orang lagi dari berbagai suku bangsa, tapi semuanya kena dikalahkan Bok Siang-hiong.

Sementara itu hari sudah terang, obor sudah dipadamkan, Bok Siang-hiong masih menjagoi di atas panggung, kedua matanya selalu mengincar Siau-yau-ih-su Cu Hongtin saja.

Hong san Koay Khek “

Karena ditunggu lama masih belum ada yang naik, akhirnya Cu Hong-tin berbangkit, sekali ayun kebutnya, perlahan dan enteng sekali ia melompat keatas panggung batu itu.

Melihat betapa indah loncatan itu, semua hadirin bersorak memuji.

Sebaliknya Bok Siang-hiong sangat mendongkol akan datangnya Cu Hong-tin ini, sedangkan dirinya sudah bertempur setengah malam, tenaganya sudah habis, barulah orang maju menantang padanya, maka tanpa bicara lagi, begitu membuka serangan, segera ia putar sepasang cundriknya itu mengurung rapat lawannya.

Dalam hal keuletan, sebenarnya Cu Hong-tin memang masih lebih unggul dari pada Bok Siang-hiong.

Apa lagi orang telah bertempur selama setengah malam dengan berpuluh orang.

Betapapun lihay serangannya, tidaklah dipandang berat oleh Cu Hongtin.

Sekali Siau-yau-ih-su ini meloncat, dari atas kebutnya yang berekor benang emas itu terus mengepruk kebawah dengan tipu Thian-hoa-kap-teng atau bunga langit menghambur kepala.

Ketika mendadak Bok Siang-hiong merasa kabur pandangannya, Cu Hong-tin telah menghilang, tahu2 dari atas suatu tenaga maha besar menindih kepalanya, ia menjadi terkejut luar biasa, tanpa pikir lagi ia melompat pergi sejauh mungkin.

Sementara itu Cu Hong-tin sudah tancap kaki kebawah lagi dengan sikapnya yang gagah sebagai jago yang berada diatas angin, katanya : Jurus Siao-jin ki-loh (sang dewa menunjuk jalan) ini silahkan Bok-heng terima lagi ! tiba2 ujung kebutnya menjadi tegang terus menutuk kedada lawan.

Belum lagi bisa berdiri tegak, terpaksa Bok Siang-hiong menangkis pula serangan ini.

Namun kebut Cu Hong-tin ternyata sangat hebat dan serba guna, dengan tenaga dalam ia patahkan tenaga keras tangkisan orang, lalu ekor kebutnya melibat diatas cundrik orang hingga kencang, habis itu ia tarik sekuatnya.

Keruan Bok Siang-hiong tak sanggup menahan hingga senjatanya terlepas dari cekalannya.

Ketika sedikit Cu Hongtin menggentak pula, cundrik rampasan itu mencelat terbang keudara, hingga menimbulkan sinar kemilauan diatas.

Insyaf tak ungkulan, diam2 Bok Siang-hiong undurkan diri dengan rasa likat.

Sementara itu dengan tekebur Cu Hong-tin memandangi sekeliling panggung, ia lihat orang Biau disitu tiada satupun yang dapat ditakuti, sedang diantara bangsa Han, kecuali sepasang pemuda pemudi yang dikenalinya sebagai Lou Jun-yan, sedang si pemuda rasanyapun bukan tandingannya.

Ada seorang lagi yang berkedok kepala, ketika datang Hong san Koay Khek “

disitu terus duduk terpaku, agaknya datang untuk melihat keramaian saja.

Maka dapat diduga kedudukan Seng-co dari 72 gua suku Biau sudah yakin akan diperolehnya, bukan saja bangsa Biau akan tunduk pada perintahnya, bahkan juga akan mendapat rahasia pembuatan berbagai macam racun dan obat bius.

Apalagi sudah lama terdengar bahwa banyak orang mendatangi daerah ini untuk mencari harta karun serta kitab rahasia ilmu silat peninggalan tokoh Bu-lim dari jaman dahulu.

Saking senangnya Cu Hong-tin, tiba2 ia unjukan pula ilmu mengentengi tubuhnya yang indah, ia meloncat lurus keatas dan tepat cundrik yang baru jatuh kembali itu dapat ditangkapnya.

Lalu orangnya turun lagi diatas panggung batu dengan enteng.

Dan sekali ia tekuk cundrik baja itu, tahu2 telah melengkung bagai gendewa.

Melihat itu, tidak kepalang orang2 Biau yang hadir disitu, mereka menyangka apa orang bukan jelmaan malaikat “ Lalu Cu Hong-tin buang cundrik itu ketanah katanya dengan angkuh : Entah masih ada siapa lagi yang berani naik kemari “ Jun-yan , tiba2 Ti Put-cian membisiki si gadis, telah tiba saatnya sekarang.

Permintaanku akan bantuanmu justru inilah urusannya.

Jika aku tak ungkulan melawan Cu Hong-tin, hendaklah kau bisiki orang aneh itu agar suka membantu aku dari bawah.

Apa yang kau katakan selalu diturutnya, tentu dia takkan menolak .

Jun-yan ter-mangu2 sejenak oleh permintaan itu.

Apa “ Kau juga ingin menjadi kepala orang Biau “ tanyanya heran.

Jun-yan, harap kau suka membantu sungguh2 , pinta Ti Put-cian lagi.

Baiklah, akan kukatakan padanya nanti sahut Jun-yan kemudian merasa tak tega untuk menolaknya.

Tapi kalau kau tak ungkulan, ada lebih baik kau lekas kembali saja.

Dan selagi Ti Put-cian hendak berdiri dan melompat keatas panggung, tiba2 terdengar Tiat hoa popo berseru : A Siu, dimana kau, kenapa belum naik keatas “ Ti Put-cian dan Jun-yan terkejut, sungguh mereka heran, apa benar A Siu yang mereka ketemukan yang tampaknya lemah gemulai tak tahan angin itu berani naik panggung bertanding dengan Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin “ Mereka bertambah terkejut bila kemudian melihat gadis yang muncul itu memang benar A Siu yang berbaju putih mulus itu, ditambah lagi kulit dan wajahnya juga putih Hong san Koay Khek “

pucat, perlahan2 A Siu bertindak kedepan dengan gayanya yang menggiurkan bagai dewi kayangan yang baru turun kebumi.

Ketika tiba2 menampak seorang gadis jelita tampil kemuka sebagai penantangnya, sesaat itu Cu Hong-tin pun tertegun.

Ia sangsikan apa benar gadis semuda ini berani coba2 naik panggung “ Sementara itu A Siu sudah sampai didepan panggung batu, tanpa kelihatan ia bergerak, tahu2 sudah meloncat keatas panggung setinggi beberapa kaki itu.

Ia tidak lantas memapaki Cu Hong-tin, melainkan menjemput dulu cundrik, senjata Bok Sianghiong yang dibengkokkan Cu Hong tin tadi, ketika tangannya yang halus putih itu pegang kedua ujungnya terus ditarik, tahu2 cundrik itu telah lempeng kembali seperti asalnya.

Cu Hong-tin menjadi kaget dan curiga, sungguh susah dimengerti, gadis semuda ini, sekalipun belajar sejak masih dalam kandungan ibu, Iwekangnya juga takkan sehebat ini.

Maka sekarang yakinlah dia si gadis benar2 seorang penantangnya yang tangguh, ia tak berani ayal lagi, segera ia ber-siap2 dengan kebutnya, katanya : Silahkan nona keluarkan senjata ! Aku tak punya senjata, sahut A Siu.

Diam2 Cu Hongkebutku sudah malang melintang selama ini, sampai tokoh lihay seperti Thong-thiansin-mo Jiau Pek king juga mesti bertarung sama kuat dengan aku, masakan aku malah takut ter tangannya menggertak, ekor kebutnya menjengkit, dengan tipu Sian-jin-ki-loh seperti tadi segera ia tutuk kedada A Siu tempat Ki-bun-hiat , cuma serangan tidak penuh dilontarkan, hanya ia tahan ketika hampir mengenai sasarannya, ia ingin melihat jelas gaya silat dari aliran manakah si gadis ini, agar dapat mengatur cara menghadapinya.

Tak terduga, A Siu tetap berdiri dengan kedua tangan lurus kebawah, hanya sepasang matanya menatap tajam keujung kebutnya.

Melihat kesempatan itu, segera Cu Hong-tin dorong kebutnya kedepan.

Tapi baru saja bergerak, tahu2 A Siu telah menggeser pergi hingga ujung kebutnya menyambar lewat disampingnya, ujung baju saja tidak menyentuhnya.

Diam2 Cu Hong-tin memuji akan kecepatan orang, sekali kebutnya ditarik, sekali kebas dengan tipu pek-hun-bian-bian atau awan bergumpal me-layang2 segera ia menyabet dari samping.

Hong san Koay Khek “

Tapi kecepatan bergerak A Siu juga cepat dan gesit luar biasa, ditambah bajunya yang berwarna putih dan berkaki telanjang hingga langkahnya tidak bersuara, maka cara bagaimana bergeraknya susah terlihat jelas, hanya tampak bayangan putih berkelebat, tahu2 orangnya melesat minggir kesamping dengan indahnya.

Diam2 Cu Hong-tin menjadi gugup melihat dua kali serangannya mengenai tempat kosong.

Bila ia lihat gerak tubuh orang, nyata semacam ginkang yang maha hebat dengan kecepatan yang susah dibayangkan.

Kalau melihat ujung kakinya sedikit melejit, lalu orangnya sedikit mumbul, lantas mengikuti tenaga kebasan kebutnya melompat kedepan, nyata sekali adalah ilmu leng-kong-poh-hi atau melangkah kosong diatas udara yang biasanya hanya bisa dilatih oleh orang yang berilmu Iwekang tinggi, padahal gadis ini masih sangat muda, darimanakah bisa melatih ilmu entengi tubuh yang sehebat itu” Dalam sengitnya segera Cu Hong-tin menyerang tanpa berhenti dengan ke 36 jurus ilmu kebutnya.

Tapi meski sekejap serangan berantai itu selesai dilontarkan, ujung baju gadis itu masih belum dapat disentuhnya.

Malahan orang hanya berkelit kian-kemari tanpa membalas.

Sungguh tidak kepalang terkejutnya Cu Hong-tin, sama sekali tak bisa dipahaminya, mengapa seorang gadis jelita suku Biau dapat memiliki kepandaian setinggi ini.

la benar2 penasaran, sekali kebutnya diayun, kembali ia mengebas, sekali ini dengan jurus siau yau-bu-kek atau gembira ria tak terbatas, ia salurkan seluruh tenaga dalamnya kesenjatanya hingga membawa samberan angin keras.

Tapi masih A Siu tidak balas menyerang, malahan dengan baik2 ia mengatakan : Aku telah mengalah tiga puluh enam jurus seranganmu, dengan ilmuku ham-hong-giheng (bergerak terbawa angin), masakan kau mampu apakan aku “ Jika kau masih tidak kenal gelagat, rasanya kau sendirilah yang mencari susah! Lekas turun panggung sajalah! Mendengar ilmu kepandaian orang, terkejut Cu Hong-tin ber-tambah2, pantas ujung baju orang saja ia tak mampu menyentuhnya.

Ia menaksir dirinya tak akan sanggup melawan ilmu ginkang yang hebat itu, cuma tujuannya kemari telah banyak mengalami aral lintang dan berhasil merebut bunga seruni besi, sangkanya daerah Biau tak terdapat orang pandai, bila dirinya dapat memperoleh kedudukan Sengco dan memerintah tujuh puluh dua gua rakyat Biau, pula bila bisa mendapatkan harta pusaka serta kitab silat rahasia yang tersiar dlkalangan Bulim itu, kelak ia bisa mendirikan Hong san Koay Khek “

cabang aliran tersendiri dan akan berdiri sama derajat dengan Jing-sia pay, Khongtong-pay, Bu-tong-pay dan Go-bi-pay yang besar2 itu.

Siapa duga, baru saja mengalahkan Bok Siang-hiong, tahu2 datang seorang gadis jelita yang membuatnya tak berdaya.

Sudah tentu ia tak rela menyerah begitu saja.

Tanpa bicara lagi, ia himpun tenaga, dengan tipu Thian-hoa-kap-teng atau bunga langit menghambur kepala, secepat kilat ia sabet kepala A Siu.

Namun samberan angin senjatanya itu lebih dulu membuat A Siu terbawa pergi beberapa kaki hingga sabetannya mengenai tempat kosong.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar