Seruling Samber Nyawa Jilid 31 (Tamat)

Jilid 31 (Tamat)

Kim-i-jin atau orang berpakaian serba kuning mas itu menjadi gugup, tak kelihatan ia bergerak tahu-tahu bayangan kuning berkelebut sebat sekali ia menubruk tiba kehadapan Giok-Liong tangannya meraih seraya berteriak gelisah.

"Betapapun kau tak boleh lihat"

Giok-Liong melengak, batinnya.

"Gerak tubuh yang teramat cepat sekali sungguh belum pernah kulihat selama ini."

Di hati ia berpikir, mulutnya menggertak sedang kakinya menggeser kedudukan.

"Betapapun aku harus melihat "

Tangan kiri yang memegang gagang pedang dari Kim-ijin kelihatan gemetar, tangan kanan digoyangkan, naga-naganya ia berniat hendak melabrak dengan kekerasan.

Karena kepandaiannya yang hebat dan lihay tadi serta sikapnya yang berwibawa itu Giok-Liong menjadi tak berani gegabah, kotak mas disembunyikan dibelakang punggungnya katanya dengan nada berat.

"Apa kau nantang berkelahi ?"

Ternyata Kim-i-jin itujuga sangat prihatin katanya sungguhsungguh.

"Kalau kau tidak mau dengar nasehat, terpaksa aku harus melabrak kau "

"Hahahahaha..."

Giok-Liong terbahak-bahak.

"Terang kau sengaja hendak ikut merebut kotak ini, sayang kau terlambat setindak lantas kau mencari gara-gara, Bagus Mengingat kedatanganmu yang tak gampang dan cukup mencapaiku n ini, bolehlah kau segera pulang tanpa cidera, maka tidak tersia-sialah kedatanganmu ini,"

Setelah berkata ia simpan kotak mas kedalam bajunya terus menepuk kedua tangganya, dengan muka mengeras ia membentak.

"silahkan lolos pedangmu "

Tak nyana dengan mengunjuk muka murung dengan alis dikerutkan dalam-dalam, Kim-ijin malah menggelengkan kepala, ujarnya "Kau salah paham. Maksud kedatanganku hanya minta harap kau tidak mencuri lihat barang yang berada di dalam kotak itu..."

"Tutup mulut, justru karena ingin melihat apa isi kotak ini sehingga menimbulkan banyak korban konyol ini, sudah tentu setelah kudapat aku harus melihatnya."

"Dengan cara apa baru kau rela untuk tidak membuka dan melihatnya"

"Apapun takkan kupedulikan "

Sahut Giok-Liong dengan tegas dan kukuh dalam pendapatnya. Tiba tiba alis yang terkerut dari Kim iJin melebar, dia menjadi terang cahaya mukanya, katanya lantang.

"

Kalau ibumu yang tidak mengijinkan kau untuk melihatnya bagaimana ?"

Giok-Liong menjadi murka, hardiknya.

"

Kentut Kenapa kau timpahkan urusan ini kepada ibuku."

Sambil melangkah maju beberapa tindak tangannya terkepal hendak melancarkan pukulan. Kim i-jin mundur beberapa langkah sambil menggoyangkan tangan, ujarnya.

"Jangan gegabah, jangan gegabah Aku bicara sungguh-sungguh."

"sungguh-suugguh maksudmu ?"

"Tentu, kalau ibumu tidak suka kau melihatnya, apa kau bersikeras hendak membuka juga ?"

Otak Giok-Liong terasa bebal, sungguh ia tidak habis paham timbul rasa curiga dan ragu dalam lubuk hatinya, Kelihatan cara bicara Kim- i jin ini sangat serius dan prihatin benar, maka tidak menjawab sebaliknya ia bertanya lagi.

"

Ibuku ? Dimana ibuku berada ?"

Tanpa ragu ragu Kim-i-jin menerangkan.

"sudah tentu aku tahu dimana ibumu sekarang berada, Hanya ingin kutahu, kalau ibumu betul-betul tidak mengijinkan..."

Sontak Giok-Liong menjadi berseri girang, dengan langkah lebar ia memburu maju serta berteriak kegirangan.

"Kalau kau bisa membawa aku menemukan ibuku, jangan kata dilarang lihat, seumpama harus kuserahkan kotak ini kepadamu bolehlah."

"Apa betul ?"

"Aku berani bersumpah demi ketulusan hatiku."

"Baik Mari ikut aku"

Nada seruan Kim-i-jin terdengar riang lantang dan tegas, habis berkata sekali berkelebat bayangan kuning lantas menghilang dan meluncur cepat sekali.

sejak berpisah dengan ibunya, meski selama ini belum pernah semenit atau sedetik pun ia senggang, namun terhadap budi dan cinta ibunda belum pernah terlupakan dari lubuk hatinya.

Bahwasanya Giok-Liong belum pernah bersua dan melihat wajah ayahnya sendiri.

Walaupun besar hasratnya hendak membela tentang asalusul dirinya, ingin segera mengetahui jejak ayahnya, entah hidup atau mati namun terhadap ibundanya yang telah mengasuhnya selama sepuluh tahun lebih, besar pula rasa kangen dan selalu terbayang dalam pikirannya.

sekarang seseorang ini rela dan sudi membawa dirinya untuk menemui ibunya, betapa girang hatinya, apa yang dapat dikatakan Maka tanpa berayal segera iapun kembangkan ilmu ringan tubuhnya mengejar dengan ketat.

ingin rasanya tumbuh sayap dan dalam waktu singkat dia bisa berlutut di hadapan ibunya untuk melampiaskan rasa kangennya dengan tangis sepuas-puasnya, maka seluruh tenaga dikerahkan mengembangkan Leng-hun-toh membuntuti di belakang Kim-i-jin, teriaknya bertanya.

"Dimana ibuku?"

"Aku membawamu menghadap ibumu habis perkara."

Sahut Kim-i-jin. sedikit mengerahkan tenaga dan meliukkan pinggang Giok- Liong melesat lebih pesat lima tombak kedepan, serunya mendadak.

"Mari lebih cepat lagi,"

Kim-i-jin tersenyum ujarnya.

"Eh, kiranya Iwekangmu cukup tangguh."

Sebetulnya ilmu ringan tubuh Kim-i-jin sendiri juga sudah mencapai kesempurnaan-nya, dimana tampak sinar kuning berkelebat menembus angkasa membawa desiran lambatan ringan laksana bintang tujuh mengejar rembulan sekali layang puluhan tombak gampang sekali telah dijangkaunya.

Perjalanan ini telah dilakukan dari pagi sampai hari sudah lohor dan dari lohor sampai magrib.

Kim- i jin tetap bungkam tanpa mengeluarkan mulut, kakinya terus berlari secepat terbang selincah kijang.

Walaupun Giok-lioog sudah mendesaknya berulang kali, dia mandah manggut-manggut saja serta menjawab.

"segera akan sampai."

Sang surya terbenam di ufuk barat, kabut malam sudah menyelimuti seluruh jagad, samar-samar terlihat di depan sana banyak pohon-pohon besar menjulang tinggi ke angkasa berjajar rapi seperti raksasa yang sedang berbaris, begitu besar dan luas hutan rimba belantara ini sampai tak kelihatan ujung pangkalnya, dalam suasana sunyi lengang di kegelapan malam lagi dibawah sebuah lembah yang hampir tertutup rapat oleh rimbunnya tumbuhan pohon yang besar-besar itu keadaan sekelilingnya menjadi terasa seram dan menakutkan.

Dari puncak sebuah bukit Kim i-jin terus berlari kencang meluncur turun laksana seekor elang yang menyamber kelinci seperti air tercurahkan dari langit ke bawah lembah, mulutnya terdengar berkata.

"sebentar sudah sampai, mari ikuti aku"

Sedikitpun Giok-Liong tidak berani ayal, dengan ketat iapun ikut meluncur turun ke bawah.

"Haya"

Tiba-tiba ia berseru kejut waktu kakinya hinggap di tanah datar diluar rimba, secara reflek kakinya menjejak tanah terus melesat mundur tiga tombak dengan mendelong ia mengawasi sebuah papan besar yang tergantung diatas sebuah pohon beringin dimana tertulis beberapa huruf besar bejana merah darah.

"Daerah terlarang Hutan Kematian, siapa masuk harus mati."

Betapa jantung Giok-liong takkan ber-debur keras begitu melihat kedelapan huruf ini ? Tahu dia sekarang bahwa dirinya telah kena diapusi dan pancing kemari, lekas-lekas ia kerahkan hawa Ji-lo untuk melindungi tubuhnya, lalu dengan telunjuknya ia menuding Kim-i-jin yang sudah melesat masuk kedalam hutan, hardiknya menggeledek.

"Ternyata muslihat hendak menjebak aku Berdiri"

Sungguh sangat menakjupkan adalah gerak gerik Kim-i-jin, begitu mendengar bentakan Giok-liong tubuhnya yang sedang meluncur kedepan itu mendadak mencelat balik telus jumpalitan hinggap dihadapan Giok-liong, serunya mendelong.

"Apa muslihat?Jebakan?"

Melihat sikap orang yang tidak mengerti semakin memuncak amarah Giok-liong, menuding ke arah papan peringatan di-atas pohon beringin itu ia membentak lagi.

"Tempat apa ini?"

Tanpa ragu dan heran Kim-i-jin menyahut tegas.

"Markas besar Hutan kematian"

"Kalau begitu kau memancing aku kemari apa maksudmu?"

"Bukankah kau ingin bertemu dengan ibumu?"

"Hm Masih mau menipu orang ibuku mana bisa berada dalam hutan Kematian?"

"Bagaimana tidak mungkin berada didalam Hutan kematian?"

Balas tanya Kim-i-jin.

"Bu..."

Tanpa menanti Giokliong sempat mem-buka mulut lagi tibatiba Kimijin mendongak terbahak-bahak, Sesaat Giok-liong masih ragu dan curiga.

Sekonyong-konyong bayangan orang dan derap langkah kaki orang banyak serta sinar mata orang yang berkilat memberondong keluar terburu-buru dari dalam hutan, semua berlari keluar dengan tersipu-sipu, ternyata puluhan anak buah Hutan kematian telah muncul di kegelapan sana berjajar rapi dibela kang Kim-tjin, sikap Kim i-jin masih tetap wajar dan mengumbar gelak tawa-nya menghadapi Giok liong seperti tidak mengetahui kedatangan para anak buah Hutan kematian itu.

"Coba kau lihat"

Seru Giok - liong sambil menuding orangorang di belakangnya itu. Sedikitpun Kim-i-jin tidak merasa heran, mendadak ia berpaling ke belakang serta berseru keras.

"Tak perlu banyak peradatan"

Bayangan orang-orang hitam itu serentak mengiakan dengan suara gemuruh sekejap saja seperti angin lesus saja derap langkah mereka menghilang dibalik pohon-pohon besar terus mengundurkan diri Mendelik mata Giok-liong, bentaknya.

"Kau ini pernah apa dari Hutan kematian ini?"

"Akulah Limcu ( ketua )."

"Hah..."

Giok-liong menjadi semakin bersitegang leher, kedua tangannya pelan-pelan diangkat terus menekuk dengkul memasang kuda-kuda, sebuah tangan yang lain terus bergerak lambat merogoh keluar potlot mas.

Kini ini mandah tersenyum tawar, tangannya digoyangkan ujarnya.

"sabar dan jangan gegabah, tujuanmu adalah ingin bertemu dengan ibumu, kenapa pula kau peduli Hutan kematian atau Hutan kehidupan apa segala?"

Memang cukup adil dan benar perkataannya, Demikian batin Giok-liong, ibu terjeblos dalam kurung Hutan Kematian entah penderitaan apa saja yang telah dialaminya? Bukan mustahil mereka menggunakan ibuku sebagai sandera untuk menekan aku supaya menyerahkan kotak mas ini? Karena pemikirannya ini hatinya menjadi mendelu dan rawan, segera ia bersuara lantang dan tegar "Tunjukkan jalan Tak peduli sarang naga atau gua, harimau betapapun aku harus menemui ibu,"

Di mulut ia berkata tandas namun secara diam-diam ia sudah kerahkan seluruh kekuatannya dikedua lengannya, diam-diam iapun sudah menerka-nerka dalam hati, menurut rencananya seumpama ibunya betul-betul menderita didalam Hutan kematian, meski harus mengorbankan jiwa sendiri betapapun ia harus mengobrak-abrik dan membunuh seluruh penghuninya, ayam dan anjing juga tak terampunkan lagi.

Sebaliknya seperti tiada terjadi suatu apa2, Kim-i-jin bicara acuh tak acuh.

"Mari ikut aku"

Mereka bersama angkat langkah berendeng memasuki Hutan kematian, semakinjauh didalam semakin gelap.

sepanjang jalan ini terang banyak terdapat pos-pos penjaga entah yang tersembunyi namun satupun tiada yang menunjukkan suatu reaksi.

Kira-kira perjalanan setengah jam kemudian, mendadak pandangan mata menjadi silau, alam sekelilingnya menjadi terang benderang.

Kiranya mereka sudah memasuki sebuah perkampungan yang besar dan megah dihadapan mereka tegak berdiri sebuah gapura batu pualam hijau, dimana- mana dipasang lampu lampion dan lilin besar sehingga sekitarnya terang benderang seperti disiang hati bolong.

Bangunan rumah disini semua bertembok meski tidak bertingkat tapi cukup angker dan berwibawa seperti bangunan2 gedung pembesar atau menteri.

"Tang terdengar sebuah lonceng berdentang segera pintu gerbang perkampungan pelan-pelan terbuka lebar, delapan laki-laki tegap dan gagah berjaga di kedua jamping pintu terus bersorak menyambut.

"Selamat datang majikan"

Kim- i jin mengulapkan tangan, katanya kepada Giok liong.

"Silakan masuk"

Saat mana Giok-liong tidak banyak pikir dan tak perlu dipikirkan lagi, dengan langkah lebar ia mendahului beranjak masuk, setelah menyelusuri serambi panjang dan melewati dua halaman besar beruntun mereka memasuki lima ruang besar, yang terakhir baru Kim-i-jin menghentikan langkahnya dan berkata sembari tersenyum.

"Aku tahu kau ingin segera bertemu dengan ibumu maka maafkan aku tidak menjamu kau lebih dulu"

Lalu kedua tangannya bertepuk tiga kali.

Dari belakang ruang sebelah kiri melalui sebuah pinta bundar beruntun keluar empat kacung kecil berusia tiga empat belas tahunan serempak mereka berdiri tegak terus membungkuk rendah sembari menundukkan kepala, sahutnya dengan suara tertekan nyaring.

"Menunggu perintah majikan."

Kata Kim-i-jinjuga dengan suara lirih.

"Laporkan ke Panti Wening bahwa Siau hiap Ma Giok liong telah tiba "

Keempat kacung kecil itu mundur tiga tindak sembari mengiakan terus membalik masuk keruang sebelah. Kata Kim-i-jin kepada Giok-liong.

"Mungkin ibumu saat ini sudah mapan tidur."

Tatkala itu Giok-liong berdiri menjubleki seolah-olah dialam mimpi saja sehingga ia melenggong tak tahu apa yang harus dikatakan. Kata Kim-i-jin pula.

"

Kalau beliau tahu kau sudah datang betapa girang hatinya, mari masuk "

Lalu iapun maju lebih lanjut melalui pintu dimana para kacung menghilang.

Tanpa bersuara Giok-liong mengintil terus di belakang Kimi jin, hawa Ji-lo dikerahkan setindak demi setindak ia berjalan hati-hati sekali sedikitpun ia tidak berani ketinggalan, kedua matanya berkilat tajam mengawasi situasi sekelilingnya.

Tampak olehnya setiap kamar yang di lalui semua terang benderang terpasang lilin, malah keadaannya serba bersih dan mewah dipajang sedemikian indah dan megah, setiap kembang dan rumput didalam kebun seperti dirapikan dan dikerjakan oleh seorang ahli kebon, semua serba teratur.

Siapa akan nyana bahwa Hutan kematian yang di siarkan sebagai sarang momok sebagai bibit bencana dalam dunia persilatan kiranya punya gedung megah dan tempat pesanggrahan yang aman tentram dan damai ini.

Beruntun mereka melewati lima tujuh taman bunga dan serambi panjang, kini di-hadapan mereka terbentang pula sebuah taman bunga, pemandangan disini lain pula bentuknya kembang sedang mekar dan tumbuh subur dengan baunya yang harum semerbak hawanya terasa sejuk hangat, disebelah kiri sana malah sedang tumbuh ratusan pohon Bwe yang sedang mekar, bau wangi merangsang hidung.

Ke empat kacung kecil tadi sudah berdiri jajar menanti didepan hutanpohonBwe itu, katanya sambil menjura.

"sudah hamba sampaikan kepada para cici didalam, belum terima perintah selanjutnya?."

Belum lenyap kata-kata para kacung itu dari dalam. hutan pohon Bwe itu melesat ke luar laksana kupu-kupu terbang empat orang gadis rupawan berpakaian ketat, mereka berdiri jajar dibawah pohon yang rimbun, terdengar suara mereka nyaring merdu.

"

Harap siau hiap masuk kedalam, Hu-jin sudah menunggu diruang dalam."

Kim i-jin tertawa lebar sembari mengelus jenggotnya, katanya kepada Giok-liong .

"

Ibumu sudah menanti kau, Hutan Bwe ini merupakan daerah terlarang bagi Hutan kematian, meski sebagai Limcu akupun tak terhindar dari larangan ini, Maka harap maaf aku tak mengiringi kau lebih lanjut, siauhiap silakan "

Lalu ia ulapkan tangannya membawa keempat kacung tadi putar balik melaluijalan datangnya tadi.

Giok-liong tidak tahu latar belakang apa pula yang bakal dihadapinya nanti, mendelong ia awasi bayangan kuning mas yang menghilang dibalik pintu sana, ia menjublek tanpa bergerak.

Terdengar suara cekikikan keempat gadis berpakaian ketat itu sudah membuka jalan berdiri jajar dikedua samping menyilakan Giok-liong masuk.

sedikit merenung segera Giok-liong ber-soja, ujarnya .

"Para cici silakan tunjukkan jalan "

Keempat gadis itu segera berubah hidmat dan berdiri tegak meluruskan tangan, sahutnya bersama .

"Hamba beramai terima perintah "

Ikut dibelakang keempat gadis pelayan ini Giok-liong beranjak terus melewati jalan kecil dari balok batu persegi yang berliku-liku diantara lebatnya pohon bunga Bwe yang sedang berkembang harum.

Sebelah dalam dari hutan pohon Bwe ini adalah sederetan hutan bambu kuning, suara kereyat-kereyot terdengar bersahutan karena dahan-dahan bambu terhembus angin lalu.

Ini lebih menunjukkan suasana nyaman damai pada malam nan sunyi senyap ini.

Keluar dari hutan bambu Giok-liong di hadapi sebuah gapura baru pualam putih di-atas gapura melintang sebaris huruf besar, itulah tulisan yang berbunyi.

"Panti Wening"

Sesudah melintasi sebuah halaman berumput tebal mereka memasuki sederet rumah petak yang terbagi dua jajar keempat pelayang itu membawa Giok-liong memasuki sebuah kamar besar, dua diantaranya lantas menyiapkan kursi dan menyuguhkan teh sedang dua yang lain masuk ke dalam memberi laporan, gerak-gerik keempat dayang remaja ini gesit dan cekatan.

Meskipun sudah melakukan perjalanan jauh sehari semalam, seluruh badan dirasakan cape dan gerah namun Giok-Liong tiada selera minum air teh, atau memikirkan perut nya yang sudah lapar dan keroncongan.

Tengah ia mondar mandir dengan gelisah melihat-lihat gambar dan pajangan dalam ruangan itu, duri pintu belakang lapat-lapat terdengar derap langkah ringan serta suara berdencing yang lirih dari belakang pintu, angin beranjak keluar seorang wanita pertengahan, sembari mengulurkan kedua tangannya sua ia nya terdengar tersendat.

"Anak Liong"

"Bu oh, ibu, sungguh nak Liong tidak berbakti, apakah anak Liong tengah bermimpi ?"

"Tidak... nak, ini kenyataan yang betul-betul terjadi bukan mimpi"

"Bu Bukankah kau telah dicelakai oleh Hiat hong-pang..."

"Tidak.... cerita ini sangat panjang untuk dituturkan dalam waktu singkat, kau sudah capai lelah Makanlah dulu baru istirahat."

Memang saat mana keempat dayang itu sudah menyiapkan meja perjamuan dengan hidangan yang serba lezat, Giok-liong betul-betul sudah kelaparan, ditunggui oleh ibunya yang sudah sekian lama berpisah dan selalu dikenangnya ini, maka dengan lahap ia gegares sekenyangnya lalu katanya.

"Bu orang berpakaian jubah mas..."

"Anak Liong, Keluarkan kotak mas yang kau peroleh dari mata air rawa naga beracun "

Tersipu-sipu dengan ke dua tangannya Giok-liong persembahkan kotak yang diminta, kepada ibunya.

Tak nyana setelah menyambuti kotak mas itu, ibunya lantas mengalirkan air mata dengan sedih, sambil menggigit bibir seluruh badannya gemetar, sedunya semakin keras dan merawan hati.

Giok-liong menjadi bingung dan heran, tanyanya.

"Bu, kau..."

"Pergilah kau tidur, sekarang ibumu belum bisa menceritakan asal usul kotak mas ini kepadamu. Cuma yang terang bahwa kotak mas ini bukan berisi buku catatan ilmu silat yang maha sakti atau benda pusaka lainnya."

"o, bu bukankah dulu kau pernah berkata..."

"nak, dulu ibu ngapusi kau. Tapi kotak ini bagi ibumu boleh dikata lebih penting dan berharga dari segala buku silat, sekarang agaknya Tuhan memang maha pengasih, terhitung kotak ini tidak terjatuh ke tangan orang lain, kalau tidak,"

"Kalau tidak bagaimana bu ?"

"Kalau tidak, bukan saja ibumu malu dan tak bisa dilihat orang, nak kau... kaujuga sulit menjadi manusia di dunia ini"

Sampai kata kata terakhir suaranya sudah tertelan oleh sengguk tangisnya. Giok-liong ikut terharu dan meneteskan air mata, tapi ia berkata.

"Bu? sebetulnya..."

"Pendek kata akan datang suatu hari kau bakal tahu duduk perkaranya."

"Besok ?"

"Tidak " "Lalu kapan ?"

"Pertemuan besar di Gak-yang pada hari raya Goan-tiau nanti."

"Bu, kau..."

"Anak Liong, untuk sementara kau menetap disini dan melewatkan tahun baru, ibu sudah kangen betul, hampirhampir gila aku memikirkan kau. sekarang kau sudah bisa berdiri sendiri dan terpandang dikalangan Kangouw, penderitaan yang ibu kecap akhirnya berhasil juga. tidurlah, ibu juga sudah lelah."

Melihat rasa duka dan murung ibunya, Giok-liong tidak berani banyak bertanya lagi, terpaksa ia mengiakan terus masuk tidur kekamar samping yang sudah disiapkan sebelumnya.

semalam suntuk ia gundah gulana, dan gelimpangan diatas pembaringan tak bisa tidur, sungguh perasaannya bergairah dan bergejolak, Bergairah karena sekarang ia telah bertemu kembaIi dengan ibunya seperti dalam impiannya selalu, Bergejolak karena kwatir dan was-was melihat sikap ibunya serta rahasia yang terpendam pada kotak mas itu, sekejappun ia tidak pejamkan mata sampai hari terang tanah.

Diluar dugaannya sekejappun ibunya tidak menyinggung lagi persoalan kotak mas itu, setiap kali Giok-liong menanyakan kotak mas itu, atau perihal seluk beluk Hutan kematian ini ibunya selalu menggunakan alasan dan kata-kata lain untuk menguarkan pokok pembicaraan mereka.

Kalau terdesak terpaksa ia menghibur supaya Giok-liong bersabar dan tak perlu banyak tanya semua persoalan bakal dapat dibikin terang pada pertemuan besar di Gak yang-lau nanti.

sang waktu memang berlalu dengan cepat, hari ke hari selama ini Giok-liong keluar dalam suasana yang penuh gembira bersanding didampingi ibunya, namun selalu dilingkupi rasa tidak tentram dan was-was pula.

Sudah menjadi tradisi selama ribuan tahun setiap hari raya atau tahun baru dimana-mana menjadi ramai dan dalam suasana yang bergembira ria, suara petasan dan gembreng serta tambur bertalu bersahutan, Tahu-tahu tahun baru sudah berlalu tak terasa.

Tanggal lima pada bulan pertama, Giok-liong bersama ibunya sudah bersiap-siap lengkap.

terus meninggalkan hutan kematian langsung menuju ke Gak- yang.

Waktu sampai di Gak-yang, hari sudah magrib, lampu sudah dipasang dimana-mana, tepat pada hari itu memang tiba tanggal lima belas, atau hari Goan-siau dan yang lebih terkenal dinamakan Cap-go-meh, rumah-rumah dikota Gakyang ini memasang lampu lampion yang beraneka ragam bentuk dan warnanya, orang berlalu lalang hilir mudik sangat ramainya.

Giok liong bersama ibunya berpesiar jalan-jalan menonton keramaian sambil menghabiskan waktu, setelah rumah-rumah pada tutup dan waktu sudah menunjukkan tengah malam, orang yang hilir mudik juga sudah jarang pelan-pelan Giokliong dan ibunya beranjak menuju ke Gak-yang lau.

Dengan ilmu ringan tubuh mereka berdua yang tinggi, langsung melesat menuju keatas loteng Gak yang- lau.

Diambang jendela empat orang tua bertubuh tinggi tegap dan kekar berdiri dengan angkernya.

Begitu melihat keempat orang ini Giok-liong menjadi heran dan berseru menyapa.

"Pak-hay su lo selamat bertemu Kalian..."

Begitu melihat Giok-liong serta ibunya sudah datang, serempak Pak hay sulo membungkuk tubuh menjura dalam serunya dengan nada menghormati "Hu-jin, siau-hiap, Hamba beramai berjaga dan menunggu menurut perintah."

Belum lagi Giok liong sempat bersuara, terlihat ibunya mengulapkan tangan seperti mereka sudah menjadi kenalan kental saja, katanya.

"Kalian bersaudara banyak baik,"

"Banyak terima kasih pada Hujin, memang sudah menjadi tugas kita."

King thian-sin Lo say lalu berkata.

"Para pendekar sudah tiba, mereka menunggu di dalam."

Belum lagi suara King thian-sin Lo say hilang, sekonyongkonyong terdengar denting suara keliningan yang nyaring merdu, disusul sebuah bayangan putih berkelebat melesat keluar dari dalam loteng, terdengar sebuah suara nyaring merdu berkata.

"Ji- moa y, baru datang Jauh-jauh aku berhasil menyeretnya dari laut utara, silakan kau jatuhkan hukuman padanya."

Terdetak jantung Giok-liong, baru sekarang ia tahu bahwa ibunya ternyata adalah salah satu dari Bu lim su bi yang menggetarkan kalangan kangouw itu, malah menduduki nomer dua, beliau bukan lain adalah Toh hun- siancu ( dewi penyabut sukma ) Ko Eng.

Tampak perasaan Toh hun siancu Ko-Eng sangat haru, air mata mengalir deras bagai hujan, suaranya sember dan serak, teriaknya.

"Toaci"

Terus menubruk kedalam pelukan Kim-ling-cu dan tergerung- gerung dengan sedihnya. Pelan-pelan Kim-ling-cu menepuk pundaknya, katanya dengan suara lembut.

"Ji-moay, penasaran beberapa tahun ini sudah kau resapi dengan penuh derita, sekarang anakmu sudah dewasa lagi. malah menjunjung nama dan menegakkan wibawa di kalangan kangouw, Rasa duka yang sudah kelelap dan ditimbali dengan hal-hal yang menyenangkan ini seharusnya tak perlu dipikirkan lagi, sekarang kau harus bergembira, kenapa main tangis segala seperti anak kecil saja. Mari kita masuk." - dengan bergandeng tangan mereka melejit tinggi terus meluncur dengan gaya ji-yan-kui-jau (burung seriti pulang sarang) menerobes jendela masuk kedalam loteng, sungguh indah dan menakjupkan sekali gerak gerik mereka. Giok liong juga tak berani ayal, gesit dan tangkas sekali iapun melayang masuk. Didalam loteng tampak Teji Pang Giok, Pat-ci-kay-ong dan seorang HweSio tua beralis putih bermuka welas asih, mungkin beliau adalah Hoat-ceng salah satu dari Ih-lwe-sucun itu, mereka duduk berjajar disebelah kiri,sedang disebelah kanan duduk Ih-hun-san-ceng Cengcu Toan-bok Ih-hun, siphiat- ling Toanbok Ki, Bingcu dari aliran hitam yang membawa cucunya, yaitu Kiang liong- li Toan bok swie-giok, dan seorang lagi adalah Bu-ing-tocu dari Lam hay. Yang menarik perhatian Giok-liong adalah bahwa Hwi hun chiu Coh Jian kun dan Tam kiong sian li Hoan Ji hoa dari Hwi hun san cheng ternyata juga hadir dan duduk anteng disebelah sana. sedang yang duduk ditengah adalah seorang laki-laki pertengahan umur yang bermuka merah seperti muka Koan Kong itu tokoh kenamaan pada jaman sam Kong, matanya jeli berkilat ditaungi alis lentik lempang keatas bersikap angker dan garang, jenggotnya memutih melambai didepan dada, dengan mengenakan jubah panjang ia duduk mementang kedua kakinya seperti pembesar atau raja saja layaknya, membuat orang menaruh hormat dan segan. saat mana Kim-ling-cu sudah berjalan kepinggir orang ini, katanya keras.

"Kau masih duduk saja, kenapa sikapmu begitu serius."

Giok-liong tidak tahu siapakah gerangan orang ini.

Tapi melihat gurunya jaga hadir, bergegas ia maju kehadapan Teji Pang Giok terus berlutut memberi hormat setelah itu ia mengisar dan hendak memberi hormat pula kepada Pat-cikay- ong.

Pat ci-kay-ong yang suka guyon-guyon itu menggoyang tangan membuat muka setan dengan suaranya yang serak dan tenggelam tenggorokan ia berkata mencegah.

"Buyung Bangun Kau sungguh harus berlutut, semua orang yang hadir disini harus kau sembah lebih baik batal saja"

Giok-liong menyahut dengan sungguh2.

"Tata kehormatan sudah menjadi kelaziman mana boleh batal apa segala."

Kata Pat-ci kayong sambil menunjuk laki-laki muka merah itu.

"orang lain boleh batal, hanya beliau saja, kau harus lebih banyak menyembah padanya."

Teji Pang Giok juga ikut bicara dengan sikap serius, ujarnya.

"Anak Liong. pergilah kau tengok ayahmu."

Berdebur jantung Giok-Liong bergetar seluruh badan seperti disambar geledeki darah lantas bergolak dalam rongga dadanya "Eh, main ayal lagi. Hayo lekas beri hormat dan berlutut kepada ayahmu "

Demikian desak Pat-ci-kay-ong melucu.

Giok liong terlongong bingung kurang percaya, matanya mendelong mengawasi laki-laki muka merah berbentuk persegi itu, pelan-pelan kakinya beranjak mendekati baru saja ia hendak membuka mulut menyapa dan berlutut memberi hormat ....

"Nanti dulu, anak Liong,"

Terdengar Toh-huo-siancu Ko Eng mengertaki ringan sekali, ia melayang datang, terus menyekal pergelangan Giok-liong, air mata mengalir semakin deras dan tersekat-sekat, katanya sendu.

"sabar anak Liong. Aku belum tentu punya suami dan kau belum pasti punya ayah..."

Suaranya menjadi putus dan lenyap dalam tenggorokannya karena tangisnya yang merawan hati. Terpaksa Kim-ling cu tampil kedepan, katanya.

"Ji-moay, penasaran selama lima belas tahun kini sudah harus dibikin terang, kau harus bergirang, buat apa..."

Tapi Toh-hun siancu Ke Eng tidak kena bujuk, sambil membesut air mata, ia tuding laki-laki muka merah itu, hardiknya .

"Ma Hun, lima belas tahun yang lalu sepak terjangmu betuf-betul keterlaluan dan tidak mengenal cinta kasih. Coba pikirkan, kau minggat diam-diam membawa anak Hou meninggalkan aku bersama anak Liong, ini sih dapat kuterima dengan tulus hati kenapa pula kau menyebar kabar bohong dan memfitnah dengan segala peristiwa kotor untuk menista aku bersama suheng, katanya aku ada hubungan cinta dan main asmara dengan Kim-i-hiat-hong Hoan Bu-sang. Malah kau merangkai cerita dan ditulis dalam se

Jilid buku serta kau pendam didasar mata air di dasar Rawa naga beracun, Tujuanmu hendak merusak dan membusuk kan nama baikku untuk selama-lamanya, kau terlalu menghina kesucianku dan merendahkan harga diriku...."

Ternyata laki-laki muka merah seperti Kean Keng itu tak lain dan tak bukan adalah majikan Ping-goan dilaut utara yaitu Hwi-thian-khek Ma Hun.

Dicerca panjang lebar begitu, muka merah Hwi-thian-hun semakin merah padam seperti warna darah, wajahnya menunjuk rasa menyesal dan segan, mulutnya bergerak tapi urung bicara.

"Ehi orang she Ma,"

Terdengar Kim-ling-cu mendesak lagi.

"Kenapa kau tidak bicara."

Hwi-thian-khek Ma Hun tergagap. katanya terbata-bata.

"Toamoay, apa... yang... harus.... kukatakan..."

Kim-ling-cu bersungut gusar, semprotnya.

"Apa penderitaan adikku selama lima belas tahun harus siasia belaka. Mana tanggung jawabmu "

"Ini..."

"Ini itu apa ?"

"Urusan ini, baru sekarang aku paham seluruhnya "

Sembari mengertak gigi Toh Hun siancu membanting kaki, jengeknya dengan rasa gusar yang meluap.

"Kau paham? Tapi kita ibu beranak selama lima belas tahun...."

Ia tak kuasa melanjutkan kata-katanya saking sedih dan penasaran, mukanya pucat badan gemetar bibirnya sampai biru. Hwi-thian-khek Ma Hun melonjak bangun dari tempat duduknya, katanya lantang.

"selama lima belas tahun ini kau menderita masakan aku hidup senang ? Ketahuilah aku menggantikan kau mengasuh anak Hou sejak bayi menjadi besar apakah perasaanku pernah tentram. Bukan begitu saja, Giok- hou bocah itu karena kehilangan kasih sayang ibunda, sifatnya menjadi liar dan suka sewenang- wenang, siapakah yang harus disalahkan."

Kata-katanya diucapkan dengan penuh perasaan dan haru, mengandung rasa kesal dan penasaran juga . sudah tentu Kim ling-cu berbicara dipihak adiknya, segera ia menyela dengan tak kalah kerasnya.

"Kesalahan terbesar adalah karena kau tinggal minggat jauh mengasingkan diri di Ping-goan di laut utara dan melarang adikku menginjak daerah Pak hay, kenapa kau salahkan lain orang."

"Tang."

Sinar mas melayang terus jatuh kelantai dengan mengeluarkan suara nyaring, kontan kotak mas itu menjeplak terbuka, lembaran sampul surat segera tercecer diatas lantai.

saking marah dan tak tahan lagi Toh-hun-siancu membanting kotak mas itu diatas lantai, dengan muka dingin membeku ia mendesis.

"Coba kau periksa, bukti surat menyurat itu semua berada disini, asal boleh membuka rahasia ini kepada seluruh sahabat dari dunia persilatan, coba biar diperiksa apakah benar ada hubungan asmara apa segala, kenapa waktu dulu kau tidak periksa dengan teliti"

Merah jengah sampai ke kuping Hwi-thian-khek Ma Hun, katanya coba membela diri.

"Hari itu waktu aku temukan surat-surat itu, ingin rasanya... masa ada muka dan tahan sabar aku periksa suratsurat itu. Baru sesudah Hoan Bu-seng sesuai dengan nama julukannya, mendirikan masing-masing Hiat-hong-pang dan Kim-ipang, baru aku tahu duduk perkara sebenarnya, bahwa surat menyurut kalian adalah saling memperdalam semacam ilmu simpanan dari perguruan kalian, tapi dalam keadaan semacam itu... kenapa sebelumnya kau tidak tuan memberi tahu dulu kepadaku?"

"Pui."

Semprot Toh-hun-siancu Ko Eng, jengeknya sembari tertawa dingin .

"Hehehe-hehehe Ma Hun sungguh memalukan kau mengagulkan diri sebagai pendekar agung yang dijunjung tinggi d idunia persilatan. coba kutanya, suatu pelajaran rahasia ilmu silat dari suatu perguruan kalau belum sempurna dan selesai dilatih, seumpama ayah dan anak saja tak boleh dibocorkan apakah aku harus membocorkan pelajaran perguruanku kepada- mu?"

"Tapi, kita kan suami isteri."

"Suami isteri lalu bagaimana? sehubungan sebagai suami isteri lantas boleh melanggar sumpah dan mendurhakai perguruan? Lantas tak perduli akan segala larangan danpantangan kaum persilatan? "

Setelah berkata, tiba-tiba Toh hun-siancu Ke Eng merobah sikapnya yang sedih, dengan kemarahan yang tak terkendali lagi, katanya lantang sembari memutar tubuh menghadapi seluruh hadirin.

"Aku Ke Eng sudah memalukan dan membikin buruk nama perguruan, puluhan tahun ini makanya aku masih tetap hidup semua ini karena anak Liong masih belum dewasa, kebenaran dan kesucianku masih belum kubikin bersih, aku sudah cukup puas, untuk menyelesaikan urusan ini sampai membikin susah dan capai para tuan-tuan, sungguh aku merasa kurang enak dan tentram, hanya dengan kematianlah rasanya baru aku bisa membalas kebaikan kalian,"

Habis kata-katanya kedua lengannya lantas dikembangkan terus terayun menggaplok kearah balok kepalanya sendiri...

"Haya Jimoay"

"Ibu..."

"Jangan Ko Eng "

"Sabar Sumoay"

Bayangan orang bergerak serabutan menubruk maju sembari berteriak kejut, Sebat sekali Kim-ling-cu menubruk maju memegang tangan kanannya, sedang Giok-liong juga tidak ketinggalan memegang tangan kiri.

Tengah semua orang ribut-ribut, tampak sesosok bayangan kuning mas meluncur masuk kedalam ruangan loteng ini.

Tahu-tahu Kim-i hiat-hong Hoan Bu-seng sudah berdiri diambang jendela dengan muka merah padam dan gusar sekali.

Pandangannya menyapu selidik ke lantai yang penuh bertebaran sampul-sampul surat itu, bagai kilat lalu ia pandang seluruh hadirin satu persatu, terakhir pandangannya jatuh pada muka Hwi-thian khek Ma Hun, hidungnya mengeluarkan dengusan berat, jengeknya.

"Ma Hun "

Sepasang biji mata Hwi-thian khek melotot besar seperti kelereng hendak meloncat keluar, suaranya berat.

"

Hoan Bu-seng Kau mau apa?"

Pelan-pelan Kim-i hiat-hong Hoan Bu-seng berpaling ke arah Sumoaynya yang ber-sedu sedan, alisnya semakin bertaut dalam, rasa gusar membayang pada pandangan matanya, serunya.

"Ma Hun, sia-sia kau sebagai pendekar besar yang katanya budiman dan diagungkan, Karena kau bersikap romantis dan bekerja secara membawa adatmu sendiri hampir saja kau mengorbankan jiwa Sumoayku ini, dan yang terpenting adalah kau telah menunda dan mengganggu kesempurnaan tamatnya pelajaran rahasia silat perguruan kita", Maka atas nama Hutan kematian kudirikan pula Hiat hongpang dan Kim i pang, besar sekali ambisiku untuk menelan dan menumpas habis seluruh dunia persilatan untuk melampiaskan dendam dan penasaran-ku ini."

Hwi thian- khek Ma Hun menyeringai ejek, katanya.

"Belum tentu kau mampu."

Kim-i pang Hoan Bu seng tertawa dingin, ujarnya.

"

Untung aku menugaskan Hiat- hong-pang untuk menjemput pulang Sumoay dan karena bujukannya lah yang menyadarkan aku dari kesesatan demi terjadinya suatu gelombang pembunuhan betar-beaaran diBulim, kalau tidak jangan harap pihak Pak-hay kalian yang biasanya sangat mengagulkan sebagai benteng baja dan dinding besi juga...Hm, huh ."

Dengan langkah ringan ia melangkah maju membungkuk diri menjemput sampul-sampul surat yang berserakan itu, tanpa perdulikan hadirin lainnya ia berkata kepada Toh-hunsiancu Ko Eng.

"sumoay sejak hari ini Hutan kematian mengundurkan diri dari Bulim, markas besar itu biar kutinggalkan untuk kau buat istirahat."

"suheng, kau..."

"Aku akan mencari suatu tempat tersembunyi seorang diri aku akan meyakinkan pelajaran rahasia itu sampai sukses, selamat bertemu."

Dengan langkah lebar ia menuju ke jendela, entah dengan gerakan apa tahu-tahu bayangan kuning berkelebat melesat keluar dan menghilang.

Toh-hun-siancu Ko Eng semakin keras tangisnya, ia memburu maju dan menarik tangan Giok-Liong, katanya dengan sesenggukan.

"Anak Liong ibu malu tetap hidup di dunia."

Lalu iapun berkelebat meluncur ka arah jendela.

"Jimoay "

"Bu."

Dua bayangan putih gesit sekali berkelebat menghadang di ambang jendela.

"Jici (kakak kedua), Maaf aku datang terlambat."

Lenyap suaranya dari jendela lainnya meluncur masuk dua sosok bayangan langsing warna hijau.

Kiranya Bu-lim-su-bi nomer tiga yaitu Bik-lian-hoa sudah datang menggandeng Coh sia.

Melihat ayah bundanya juga hadir di situ, selincah burung gereja Coh Ki-sia lantas memburu ke arah sana dan menubruk ke pelukan ibunya.

Selintas pandang ke seluruh hadirin mendadak Bik-lian-hoa tertawa terloroh-loroh, entah apa gerangan yang membuatnya geli sampai tertawa terpingkel-pingkel.

"sammoay"

Bentak Kim-ling-cu.

"apa kau sudah gila ya ?"

Dengan jarinya Bik-Lian-hoa menuding seluruh hadirin serta katanya melucu.

"Masa aku gila, justru kalian yang goblok ini yang sudah menjadi gila."

Pat-ci-kay ong yang suka guyon-guyon itu lantai menimbrung bicara.

"Ya, memang pemain ronggeng seperti kau ini paling pintar bermain sandiwara, coba katakan alasanmu,"

Sebentar Bik-lian-hoa bersungut, lalu katanya .

"Coba kalian lihat hari ini adalah Cap-go-meh hari besar dan bahagia,Jici dan Ma Thay-hiap rujuk kembali, ditambah kesalah pahaman Giok-liong dengan coh Ki-sia juga sudah dibikin terang, malapetaka ancaman Bulim sudah dapat ditumpas, dengan suasana yang menggirangkan ini sebaliknya kalian mengerutkan kening mewek-mewek kesusahan, apakah tidak menyebalkan kenapa justru mengatakan aku yang gila."

Semua orang menjadi geli dan tertawa lebar, dengan riang mereka bertepuk tangan.

Di luar jendela terdengar lambaian keras yang ramai, terus kelihatan bayangan orang bergantian menerobos masuk kiranya itulah Tan soat-kiau, Ling soat-yan, siangkwan Hong-cu dan Lan i-long kun Hoa sip i telah datang, para muda mudi ini berseri girang terus memburu maju memberi selamat.

"Kiong-hi Kiong-hi.. Selamat akan pertemuan kembali Ma siauhiap dengan ayan bunda, suami istri rujuk kembali "

Ling soat-yan mengeluarkan batu Giok bentuk jantung hati warna merah itu menghampiri Coh Ki-sia, lantas dikalungkan di lehernya, katanya menggoda.

"

Coh- moay- moay, setelah mengenakan kalung ini selanjutnya aku harus merobah panggilanku bukan..."

Tangga loteng berderap keras, tampak Hiat-ing-cu muncul, suaranya keras berkata.

"Anak Yan, masa cukup dengan basa-basi saji tanpa memberi kado?"

Di belakang Hiat ing-cu tampak Li Pek-yang juga telah sampai, katanya lantang.

"Untuk menyampaikan rasa terima kasihku kepada Ma siauhiap yang telah merawat dan melindungi putriku sengaja kusiapkan beberapa meja perjamuan, marilah kita lekas rayakan malam Cap go-meh ini, harap tuan-tuan suka hadir dan silakan."

Benar juga beberapa puluh laki-laki kekar tampak memikul beberapa macam gantang yang berisi berbagai macam masakan serba lezat dan enak.

Maka suasana tegang penuh kesedihan tadi, kini sudah tersapu bersih, Gak-yang-lau sekarang tenggelam dalam suasana riang gembira dengan gelak tawa yang riuh rendahi disana terdengar nyanyian merdu terlihat demontrasi permainan pedang dan acara lain-lain yang serba menggembirakan.

Sang putri malam memancarkan cahaya cemerlang menembus jendela menerangi ruang loteng yang penuh sesak dengan berbagai tokoh kenamaan dalam suasana genap.

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar