Seruling Samber Nyawa Jilid 15

Jilid 15

Sekarang Giok-liong tidak main sungkan lagi, kedua tangannya tampak bergetar terpentang, Sam-jicui-hun chiu mulai dilancarkan.

Kelihatan mega putih berkembang hawa Jilo menyelubung tubuhnya, sebuah telapak tangan putih halus bergerak lincah berubah laksana ribuan bayangan tangan, dengan ketat ia lindungi pemuda baju biru, sekaligus ia lancarkan delapan belas pukulan dan tendangan menyerang para gadis baju kuning anak buah Ui-hoa-kiau itu.

Perbawa ilmu sakti memang bukan olah-olah hebatnya, dimana angin badai melandai bayangan kuning lantas tergulung berpencaran keempat penjuru sambil berteriak kesakitan, Untung Giok-liong tidak bermaksud mengambil jiwa mereka, kalau tidak tentu mereka sudah mampus.

Keruan Ui-hoa-kiaucu Kim Ing berjingkrak gusar melihat anak buahnya dihajar bulan bulanan segera ia menubruk maju dengan sengit, bentaknya.

"Besar nyalimu !"

Bayangan putih dan kuning kini saling berkutet lagi, masing-masing lancarkan serangan yang lebih ganas dan lihay, sampai detik itu belum kelihatan siapa bakal menang dan asor.

Sambil menghadapi serangan musuhnya yang sudah sengit ini, Giok-liong masih berkesempatan berteriak.

"Hoa Sip-i ! Kesempatan yang baik ini kau masih tidak mau pergi, kapan baru kau hendak menyingkir!"

Napas Hoa Sip i masih ngos-ngosan, sahutnya lemah.

"Aku betul-betuI sudah tidak bertenasa, Tuan penolong dendam penasaran kau balas dengan budi pekerti. baiklah aku terima dengan tulus hati ! Adik Yau sudah mangkat, aku juga tidak ingin hidup lagi!"

Giok-liong merasa toleran akan keadaan orang yang hampir sama dengan riwayat dirinya maka tanpa banyak pikir lagi ia berteriak.

"Cobalah kau semadi sebentar mengumpulkan tenaga ! Selama gunung masih tetap menghijau, jangan kwatir takkan memperoleh kayu bakar."

"Hahaha !"

Terdengar Ui hoa-kiaucu Kim Ing mengejek.

"jiwamu sendiri susah terlindung masih coba perhatikan keselamatan orang lain."

Tiba-tiba bayangan kuning bergerak melebar, kiranya sepasang lengan baju Ui-hoa-kiaucu yang besar gondrong itu ditarikan sedemikian cepat dan lincah main kebas, menyapu, menusuk dan menghantam.

Semua yang diarah adalah tempat-tempat penting ditubuh Giok-liong dengan berbagai ragam tipu silat.

Sementara itu, menurut anjuran Giok liong, Pemuda baju biru Hoa Sip i tengah duduk bersila menghimpun tenaga dan semangat.

Kira-kira setengah peminuman teh telah berlalu.

Sebuah bayangan biru besar laksana seekor burung besar tengah meluncur tiba dari puncak atas sana, jubah mantelnya yang besar melayang-layang seperti sayap yang besar belum lagi orangnya sampai ia sudah berteriak memanggil "Sip i.

Sip i !"

Terbangun semangat pemuda baju biru Hoa Sip i, teriaknya pula dengan suara parau.

"Suhu! Suhu!"

Mendengar suara panggilan pertama tadi, Ui-hoa-kiaucu Kim Ing lantas mengebaskan kedua lengan bajunya membuat Giok-liong mundur berkelit kesempatan ini digunakan untuk melompat mundur keluar gelanggang sejauh setombak lebih.

Giok-Iiong juga lantas menghentikan aksinya.

Matanya terbuka lebar, kini dihadapannya sudah bertambah seorang laki-laki tua yang bercambang bauk lebar bermata juling seperti mata garuda, hidungnya bengkok seperti betet, kupingnya kecil terbalik keatas-sepasang matanya berkilat dan berjelilatan dengan kasar, selayang pandang saja lantas dapat diketahui bukan seorang baik-baik.

Begitu tiba ia menghampiri kearah pemuda baju biru Hoa Sip-i.

bentaknya dengan uring-uringan.

"Aku sudah duga tentu kau terpincut lagi oleh perempuan siluman dari Ui hoa-kiau itu! Siapa yang membuatmu begitu rupa!"

Sikap bicaranya sangat garang dan angkuh sekali, hakekatnya ia tidak pandang sebelah mata para hadirin, sungguh sombong. Ui-hoa kiaucu Kim Ing menarik muka cemberut, hardiknya.

"Lo Siang-san, hati-hatilah kau bicara, Apakah Ui hoa-kiau kita tidak sembabat dibanding Thian-mo hwe kalian. Sekali buka mulut lantas siluman tutup mulut siluman lagi ! apa yang kau andalkan!"

Thian-mo-hwe? Lagi-lagi hati Giok-liong bertambah bingung dan khawatir.

Thianmo-hwe adalah sebuah kumpulan orang jahat dari golongan hitam pada lima puluh tahun yang lalu, anggotanya tidak banyak, namun setiap generasi mereka pasti dapat menampilkan seorang-seorang berbakat yang benar-benar hebat kepandaiannya.

Mereka merupakan salah satu kumpulan golongan jahat yang paling kejam dan telengas, tidak gampang dan sembarangan waktu mengunjukkan diri di kalangan Kangouw.

Liang ing-mo-ko (iblis Elang) Le Siang-san ini adalah salah satu gembong iblis yang kenamaan pada jaman itu manusia yang sulit didekati dan diajak berkompromi.

Terdengar Le Siang san tertawa sinis, ujarnya penuh sindir.

"O, Kim Ing-kaucu berada disini, Maaf aku sudah tua mataku kabur, wah benar-henar aku berlaku kurang hormat!"

Sampai disini mendadak ia menarik muka, air mukanya berubah membesi, sepasang mata julingnya memancarkan cahaya dingin, bentaknya gusar sambil menunjuk Hoa Sip-i.

"jadi kau yang membuat anak ini begitu rupa ?"

Kim Ing juga tidak mau kalah galak, sahutnya sambil manggut-manggut.

"Tidak salah! Toan hun-siok bing im-yangci cu-kuo untuk memberi sekedar hajaran padanya, Memang aku sengaja mengajar adat muridmu yang nakal ini!"

"Apa kau lupa menggebuk anjing juga harus pandang muka majikannya?"

"Dia sudah berani melanggar pantangan dan undangundang agamaku tahu."

"Pantangan apa?"

"Memincut anak muridku, mencuri seruling samber nyawa lagi."

"SeruIing samber nyawa ?"

Le Siang-san menjadi kesima, tidak menggerecoki kenapa anak muridnya diajar adat tadi, kini malah ia bersitegang leher, tanyanya.

"Apakah betul omonganmu ?"

"Coba kau tanyakan kepada murid atasmu itu !" "Sip i, mana seruling samber nyawa itu?"

"Berada ditangannya !"

Sahut pemuda baju biru Hoa Sip-i sambil menunjuk Giok-liong.

Bayangan biru berkelebat dengan menggembor keras Le Siang-san menubruk kearah Giok-liong sambil mencengkeram dengan ilmu cakar garuda, sedetik mereka saling adu kekuatan mendadak bayangan mereka terpental mundur.

Terdengar Giok-liong berseru dengan nada berat.

"Kenapa kau menyerang dengan ganas, Sungguh tidak punya aturan."

Le Siang-san terloroh-loroh suaranya seperti kokok beluk, penuh kepalsuan.

"Serahkan seruling samber nyawa itu, nanti kuampuni jiwamu!"

Mukanya penuh nafsu membunuh, matanya semakin jalang seperti binatang kelaparan membuat orang yang melihat merasa giris dan ketakutan pelan-pelan ia angkat kedua lengannya keatas kepala dengan gerakkan kaku seperti mayat hidup, kakinya berjengkit keatas.

Ui hoa kiaucu Kim Ing mandah tertawa tawar, ujarnya.

"Le Siang-san ! Jangau kau anggap gampang. Kali ini kau akan ketemu batumu, awas kau jangan terjungkal."

Le Siang-san mengekeh seram suaranya seperti pekik keras.

"He, Le Siang-san tidak pandang sebelah mata bocah ingusan masih berbau bawang ini."

Giok-liong menjadi gusar, air mukanya semakin gelap, geramnya rendah.

"Kukira sikapmu akan berlainan kalau kau berhadapan dengan Kim-pit-jan-hun !"

"Jadi kau inilah Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong?"

Agaknya hal ini benar-benar diluar dugaan Le Siang san.

"Benar, itulah aku yan rendah adanya!"

Mata Le Siang-san berkedip-kedip, dari kepala ia mengamati sampai kaki, mendadak ia melepas gelak tawa terpingkal-pingkal, serunya.

"Ketemu muka lebih nyata dari mendengar. Kukira kau seorang laki laki yang punya tiga kepala dan enam tangan. Tak kira hanya seorang pemuda yang masih hijau berbau popok, sungguh menggelikan."

"Bedebah, jangan sombong kau!"

Membawa deru angin kencang Giok-liong menerjang musuh dengan gusar.

"Baik! Le-ya akan mengukur sampai dimana kelihayan Sam ji cui-hun-chiu! Tobat!"

Sekali gebrak saja cukup membuat Le Siang san berjingkrak mundur dengan penuh keheranan sungguh mimpi juga ia tidak menduga bahwa pemuda baju putih didepannya ini begitu mahir melancarkan Cui-hun-chiu yang sedemikian sempurna.

Apalagi Lwekangnya juga sudah mencapai begitu tinggi.

Betul-betul membuat orang sulit percaya, sedikit ayal hampir saja jiwanya kena dikorbankan.

Disebelah sana terdengar Ui hoa kiaucu Kim Ing menjengek hina.

"Bagaimana Le Siang-san?"

Muka Le Siang san kelihatan pucat bersemu ungu, dari malu ia menjadi gusar, gerungnya dengan marah-marah.

"Payah, payah! puluhan tahun ketenaran nama Le-yam kena dirobohkan oleh bocah ingusan yang berbau bawang ini, Tapi gebrak kali ini belum masuk hitungan, coba kau juga sambut ilmu pukulanku ini!"

Mendadak ia ia pentang kesepuluh jarinya, giginya berkerut dengan gemas. sepuluh jalur kilat laksana duri landak mendadak menembus udara mendesing mendesis kearah Giok-liong. "Le Sian-san!"

Teriak Ui-hoa-kiaucu Kim Ing.

"akhirnya toh kau keluarkan ilmu simpanan mu Cap-ci tam-kan ciu! (ilmu jelentikan sepuluh jari)!"

Giok-liong mandah tersenyum ewa, hawa murni terkerahkan dari pusarnya, hawa Ji-lo segera tersalur mengembangkan mega putih melindungi seluruh badannya.

Sepuluh jalur sinar biru laksana duri landak itu begitu menyentuh mega putih lantas buyar sima tanpa bekas.

Keruan berubah hebat air muka Le Siang-san saking kejut bahwa ilmu yang paling di andalkan katanya tak berguna lagi menunjukkan perbawanya.

Saking dongkol ia membanting kaki sehingga sepatu rumputnya amblas kedalam batu cadas dibawah kakinya sampai beberapa dim, sekali ini ia kerahkan seluruh kekuatannya, lagi-lagi puluhan jalur sinar biru meluncur lebih panjang dan besar serta keras.

Namun betapapun ia mati-matian kerahkan seluruh tenaganya, alhasil puluhan jalur sinar tutukan jarinya itu tak dapat menembus pertahanan mega putih yang bergulung tebal, laksana puluhan sabuk biru, yang berputar menggubat sebuah bola putih besar, saking ulur odot sungguh suatu pemandangan yang menarik hati.

Baru sekarang pemuda baju biru Hoa Sip-i berkesempatan bersuara, teriaknya .

"Suhu! Doa seorang baik, dia seorang baik!"

Le Siang-san sudah tidak hiraukan lagi seruannya dengan bernafsu ia kerahkan seluruh kemampuannya dalam usaha untuk merebut seruling samber nyawa.

Sebab itu tenaga yang dikerahkan dan dilancarkan semakin kuat dan besar.

Kakinya juga semakin dalam melesak kedalam batu yang keras.

Mukanya berubah menyeringai seperti wajah setan yang tersiksa sungguh menggiriskan sekali.

Lama dan entah sudah berselang berapa lama, sekonyongkonyoag terdengar sebuah ledakan dahsyat seperti bom meledak mega putih menjadi buyar dan berkembang kemanamana.

Diantara kelompok mega putih itu kelihatan sebuah telapak tangan putih halus menyampok dan menangkis puluhan sinarbiru itu terus langsung menepuk kedada Le Siang san.

"Celaka !"

Saking kagetnya Le Siang sau menggembor keras, tubuhnya yang tinggi besar itu tersurut mundur lima enam langkah ke belakang Tak tertahan lagi mulutnya menyemburkan darah segar.

Sejenak keadaan menjadi sunyi gelanggang pertempuran juga menjadi terang lagi, mega putih menghilang demikian juga puluhan sinar biru tadi telah kuncup.

Dalam pada itu pemuda baju biru Hoa-Sip i sudah melangkah maju memayang Le Siang san yang sudah lemas tak bertenaga, berulang-ulang ia berseru .

"Suhu ! Kuatkan hatimu, himpunlah semangatmu !"

Ujung mulut Le Siang san mengalirkan darah, matanya mendelik memutih, cahaya biru yang terang dan bersemangat tadi sudah sirna tanpa bekas, ujarnya dengan napas masih ngos-ngosan.

"Ma Giok liong, lekas kau bunuh aku sekalian !"

"Aku tiada dendam sakit hati dengan kau, tak perlulah !"

"Hari ini kau tidak mau bunuh orang she Le, tielak jangan kau menyesal sesudah kasep!"

"Kenapa ?"

"Sakit hati pukulanmu hari ini betapapun harus kubalas !" "Terserah, aku tidak peduli, setiap saat akan kunantikan kedatanganmu !"

"Baik, Gunung selalu menghijau, air selalu mengalir perhitungan hari ini selama hayat masih dikandung badanku, setiap saat aku akan mencarimu !"

"Boleh, selalu kuterima kedatanganmu."

"Mari pulang !"

Dibawah bimbingan Hoa Sip-i Le Siang san meninggalkan tempai itu dengan ierpincang-pincang.

Giok liong menghela napas panjang pikirnya kenapa manusia yang hidup kelana di dunia persilatan harus saling bunuh.

Kenapa hidup manusia harus mengalami banyak sengsara dan derita.

Pikir punya pikir sampai sekian lama ia terlongong ditempatnya sampai terlupakan olehnya bahwa disamping sana Ui-hoa kiaucu bersama anak buahnya masih mengawasi dirinya.

Tak terasa ia menghela napas lagi.

"Anak muda kenapa berkeluh kesah !"

Merubah sikapnya yang dingin dan bermusuhan tadi, kini sikap Kim Ing menjadi begitu ramah dan penuh kemesraan.

Hakikatnya usia Kim Ing sudah menanjak pertengahan abad, namun wajahnya masih kelihatan jelita karena ia pandai bersolek, terutama kepandaian main matanya dengan sikapnya yang genit dan menggiurkan siapapun pasti akan terpincut dan tertarik batinya.

Akan tetapi sedikitpun Giok-Jiong tidak tertarik hatinya, sikapnya tetap dingin.

Sambil meraba batu giok berbentuk jantung hati yang dikalungkan dilehernya pelan pelan ia menyelusuri pinggir jurang berjalan ke arah sana ternyata dari peristiwa yang baru saja disaksikan ini, dilihatnya betapa besar dan murni cinta Hoa Sip i terhadap kekasihnya, sehingga terketuk hatinya, pikirannya melayang jauh ke Hwi
 hun-cheog di mana sang istri yang tercinta tengah menantikan kedatangannya.

Sekarang saputangan sutra pemberian istrinya itu dibawa pergi oleh Hiat ing Kongcu.

Benda satu-satunya sebagai kenang-kenangan tinggal batu giok berbentuk jantung hati warna merah yang dikalungkan di lehernya ini.

Tiba-tiba berubah air muka Ui-hoa-kiaucu, pandangannya kesima memandangi batu giok itu, serunya terkejut.

"Ma Giok liong. Dari mana kau peroleh batu giok di-tanganmu itu ?"

Tidak kepalang tanggung segera Giok-liong rogoh keluar di depan bajunya kalung batu giok jantung hati itu, sahutnya dengan parau .

"Dari Hwi hun-san-ceng."

"Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun yang memberikan kepadamu ?"

"Bukan, putrinya !"

"Oh..."

Ui hoa kiaucu terlongong-longong, mendadak matanya memancarkan sorot aneh terus berdiri mematung seperti orang linglung. Rada lama kemudian baru ia bergerak sambil menghela napas penuh kesedihan, katanya sambil membanting kaki.

"Seruling samber nyawa aku tidak perlu lagi, serahkan saja batu giok itu kepadaku !"

"Giok-pwe ini ? jangan !"

"Kau keberatan ?"

"Bukan begitu! soalnya batu ini adalah tanda mas kawinku dengan adik Ki-sia, tidak kalah berharga dengan seruling samber nyawa."

"Mas kawin ! "

"Sedikitpun tidak salah!"

Tanpa berkata-kata lagi Ui-hoa-kiacu mengulapkan tangan menggiring para dayangnya terus tinggal pergi dengan cepat, sebentar saja bayangannya sudah menghilang dikejauhan.

Tatkala mana sang surya sudah muncul dari peraduannya, seluruh maya pada ini sudah terang benderang, Segera Giokliong juga tinggalkan tempat air terjun itu, badannya melenting dengan ringannya, sepanjang jalan ini pikirannya melayang tak tentu arahnya, rentetan peristiwa vang tidak menyenangkan hati ini membuat semangatnya runtuh total.

Ling Soat-yau, Tan Soat-kiau, Kiong Ling ling, Li Hong serta Coh Ki-sia silih berganti terbayang olehnya, Sudah tentu yang paling dirindukan adalah Coh Ki-sia.

Menurut adatnya ingin rasanya tumbuh sayap untuk segera terbang kembali ke Hwihun- san cheng untuk bercengkerama dengan isteri tercinta.

Apa boleh buat tugas berat yang dipikulnya perlu segera diselesaikan, pula kejadian dikangouw ini memang penuh likuliku yang sulit diduga sebelumnya.

Dimana-mana selalu terjadi banjir darah dan penjagalan manusia.

Hutan kematian, istana beracun, Kim i-pang, Hiat-hongpang, Pek-hun to, Ui-hoa kiau, dan Lan ing-hwe.

Masih adalah Hiat-ing-bun serta Bu-lim-su bi.

Semua-semua ini boleh dikata merupakan kekuatan terpendam yang bakal meledak pada suatu saat.

Dengan takdir dari ayah bunda, tugas berat perburuan serta kesejahteraan penghidupan kaum Bulim, sampai pesan dari Wi-hian ciang Liong Tay-hiap sampai sekarang juga belum sempat terlaksana.

Begitulah pikir punya pikir Giok-liong semakin merasa otaknya menjadi tumpul dan butek.

Tak tahu ia cara bagaimana harus mencari jalan keluar untuk mengatakan semua urusan yang sama pentingnya ini.

Terutama yang membuat hatinya sedih adalah permusuhannya dengan pihak para iblis dari dari golongan hitam, tapi toh pribadi juga mendapatkan simpati dari kaum aliran putih khususnya dalam hal ini adalah sembilan partai besar.

Untuk sesaat Giok-liong menjadi merasa terjepit, mesti dunia begitu besar, agaknya sudah tiada tempat berpijak lagi untuknya, jalan punya jalan entah berada jauh ia berlenggang.

Tahu tahu didepan sana terlihat sebuah gardu dipinggir jalan, gardu ini agaknya sudah lapuk dan reyot, bila dihembus angin besar pasti akan roboh.

Sebelah kiri dari gardu ini adalah semak belukar dari alas pegunungan yang meninggi, dimana banyak terdapat kuburan yang berserakan, berlapis-lapis meninggi keatas, peti mati dan tulang-tulang manusia berserakan dimana-mana terlihat jelas.

Kabut pagi masih belum hilang angin pagi menghembus sepoi sepoi membawa bau apek dan amis yang memualkan, sekonyong-konyong sebuah benda hitam melesat keluar dari arah kuburan yang berserakan sana.

Hebat benar Ginkang orang ini, sekejap saja tahu-tahu ia sudah tiba di luar gardu reyot itu, Kini terlihat jelas kiranya bukan lain seorang laki-laki yang mengenakan kedok hitam, jadi tak terlihat air mukanya.

Sorot matanya dari balik kedoknya itu memancarkan sinar areh yang terang dan dingin.

Bercekat hati Giok-liong, bergegas ia berdiri didalam gardu, tanyanya.

"siapakah tuan ini ?"

Orang berkedok itu mandah mendengus dingin, balas tanyanya .

"Hm, kau ini Kim-pit-jan-hun?"

"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong !", "Baik, ambil ini !"

Orang itu merogoh kantong bajunya mengeluarkan sebuah benda terus dilemparkan kedalam gardu lalu berlari pergi.

Benda itu mengeluarkan suara berkerontangan di atas lantai.

Keruan Giok-liong terkejut heran, benda yang dilempar adalah sebuah lencana besi yang memancarkan sinar berkilau, sebesar tiga empat senti.

Diatas lencana besi ini terukir sebuah huruf "mati", di kedua sisinya adalah dua pohon pek yang besar yang saling bergandengan sehingga menjadi bentuk huruf Bun atau pintu, huruf mati itu tepat berada di tengah-tengah huruf pintu.

Giok-Iiong membungkuk badan menjemput lencana besi itu, dibalik lencana tertulis dengan huruf-huruf kecil yang berbunyi, dalam jangka tiga hari ini harus datang kepada seksi Liong-tong dari Hutan kematian untuk menanti perintah dan jabatan.

Giok-liong menjadi bingung, apa-apaan maksud tulisan ini ? "Hai, tunggu sebentar !"

Seiring dengan bentakannya ini Giokliong melesat keluar mengejar orang berkedok hitam itu.

Tapi orang didepan itu agaknya tidak mau peduli dengan kencang ia berlari terus.

Giok-liong semakin gelisah, segera Leng-hun toh dikembangkan ditengah udara ia menggumam gaya Hwi-hunjot- sio, badannya laksana anak panah meluncur dengan pesatnya, sekejap saja jaraknya sudah tidak jauh dari orang berkedok di depan itu.

Didepan sana ujung gunung dari pekuburan yang berserakan ini sudah kelihatan,sebelah depan lagi adalah sebuah hutan yang lebat dan gelap.

Orang berkedok itu main selulup diantara semak belukar terus menerobos masuk kedalam hutan yang gelap itu.

Giok-liong sudah tidak peduli lagi akan segala pantangan tetek bengek, Dengan gaya Ham-ya-kui-jau ( burung gagak kembali ke sarangnya ia langsung ia melesat memasuki hutan.

Berulang kali terdengar suara gerungan marah yang rendah dan menusuk telinga membuat merinding bulu roma.

Begitulah beruntun suara gerangan seperti auman binatang buas saling susul.

Kepandaian tinggi membuat nyali Giok-liong semakin tabah, mengan-dal lencana besi itu ia kerahkan Ji-lo melindungi badannya, terus menerobos kedepan, ke tempat yang semakin gelap dan lembab, Semakin jauh semakin gelap.

"Stop! "

Tiha-tiba terdengar sebuah bentakan yang amat nyaring dari belakangnya, Lalu angin berkesiur dari empat penjuru, terlihat bayangan orang laksana setan gentayangan saling bermunculan.Sekejap saja puluhan orang berkedok berseragam hitam sudah mengepung dirinya.

Orang-orang ini semua berambut panjang terurai sampai di pundaknya, demikian juga jubahnya terlalu panjang sampai menyentuh tanah, setindak demi setindak mereka mendesak maju menghampiri Giok-liong.

Ancaman yang serius ini betul-betul menciutkan nyali orang, jangan kata turun tangan bergebrak, mengandal hawa dingin serta keadaan yang tegang menakutkan ini laksana di akhirat cukup menggetarkan nyali orang, yang bernyali kecil tanggung sudah pecah jantungnya dan mampus saking ketakutan.

Diam-diam Giok-Iiong kerahkan Lwekangnya, ujarnya dengan serius.

"Apa-apaan tindakan kalian!". Tiba-tiba suara mendengus tersiar dari hutan sebelah dalam sana, katanya.

"Lencana besi sebagai undangan. Tiada maksud jahat!"

Tanpa merasa Giok liong membuka telapak tangan melihat lencana besi itu, serunya lantang.

"siapa yang berkuasa di hutan ini, kenapa tidak keluar untuk bicara!"

"Pun-tong-cu hanya mendapat perintah untuk mengundang tuan, sebelum ada perintah dari majikan, tidak boleh bertemu muka. Silakan tuan pergi!"

Giok-liong menjadi heran, serunya lagi.

"Terima kasih akan undangan ini, lantas kemana aku harus pergi, tiga hari lagi aku harus kemana?"

"Bukankah diatas lencana itu sudah tertulis jelas, Tuan sendiri juga pernah kesana bukan, kenapa main tanya segala!"

"Aku pernah kesana ". akhirnya Giok-liong paham, dengan mendelong ia pandang lencana besi itu, serunya tertahan.

"Apakah majikan Hutan kematian?"

"Tidak salah! Majikan Hutan ....kematian . , ! "sepatah demi sepatah laksana guntur menggeleger kupandang keras sekali memekakkan telinga, seakan bicara diribuan Ii jauhnya tapi juga seperti di pinggir telinga. Hutan kematian merupakan suatu golongan yang paling misterius dan susah dijajagi, tidak diketahui sepak terjang mereka yang sebenarnya dari golongan mana pula aliran kepandaian mereka, maka sedikitpun Giok liong tidak berani berlaku gegabah. Terang-terangan aku telah diundang, betapapun aku harus menuju ke Hutan kematian untuk menyirapi kesana, baru dari sana mencari jejak Suhu, kalau tidak menanti pada bulan lima pada perjanjian bertemu di Gak-yang-lau kelak baru diatur lagi tindakan selanjutnya, perjalanan kali ini sekaligus dapat menyirapi kabar dari Wi-hin-ciang Liong Bun Liong Tay-hiap, entah kabar apa pula yang bisa diperolehnya, supaya kelak dapat mengatasi lebih sempurna demi kejayaan dan ketentraman hidup kaum persilatan. Karena pikirannya ini segera ia menyahut keras.

"Baik, dalam tiga hari ini aku pasti tiga disana!"

Sebelum kakinya bergerak tiba-tiba terdengar suara orang.

"Tunggu sebentar! "

Lalu beruntun muncul beberapa bayangan hitam. Kini yang muncul adalah delapan laki-laki yang mengenakan jubah abu-abu, dengan rambut panjang terurai juga, dengan kaku mereka berloncatan maju mendekat, Salah seorang diantaranya berkata dingin.

"Petugas Liong-tong, menghadap pada Tong-cu!"

Habis berkata delapan orang itu terentak menjura dalam kearah hutan kosong sebelah dalam sana. Sebuah suara menyahut dari dalam hutan sana.

"Silakan para petugas hukum, apakah Lim-cu (Majikan) ada pesan lain?"

Serentan kedelapan orang didepan hutan itu mengiakan. Salah seorang berseru lantang.

"Terima kasih akan perhatian Tong cu, kita beramai menggusur tawanan kemari untuk melaksanakan hukuman, harap Tong-cu suka saksikan dan buktikan."

Suara orang dalam hutan rada terkejut heran.

Terdengar tindakan berat berjalan keluar, tahu-tahu dihadapan mereka sudah berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap melebihi orang biasa, karena tidak mengenakan kedok jadi wajahnya bisa terlihat jelas.

Bentuk wajahnya bundar bersegi seperti wajah harimau, matanya berjengkit miring keatas, diatas jidatnya tumbuh secomot rambut putih yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai huruf "Ong" ( Raja ).

Ini masih belum aneh yang lebih aneh, yang lebih mengejutkan lagi bahwa dari kedua ujung mulutnya tumbuh dua taring yang besar memutih.

Begitu mengunjukkan diri langsung orang ini bertekuk lutut menyembah seraya berseru lantang.

"Hou-tong Tongcu, hamba menerima perintah Congcu, Harap Tongcu kalian suka memberi petunjuk!"

Sebuah bayangan abu-abu melayang masuk dari luar, seorang laki-laki berambut merah bermuka hijau melayang tiba. Diatas jidatnya tumbuh jaling tunggal, Matanya berkilat tajam segera ia menjura kearah Hou-tong Tong cu yang berlutut itu, ujarnya.

"Perintah sudah disambut, Selain aturan biasa. Tong-cu silakan!"

Hou-tong Tong-cu bertanya dengan muka serius.

"Pesakitan siapakah sampai begitu penting digusur kemari untuk melaksanakan hukuman disini!"

Liong-tong Tong-cu yang berambut merah bermuka hijau itu terkekeh kekeh dingin, matanya melirik kearah Giok-liong, sahutnya.

"Pesakitan ini ada sangkut pautnya dengan Ma Siau-hiap ini. Betapa tepat perhitungan Lim cu, beliau tahu bahwa Ma Siau-hiap hari ini pasti akan lewat Hou-tong sini, maka segera diperintahkan aku membawa dua belas petugas hukum menggusur tawanan itu kemari !"

Terkesiap hati Giok-liong, selanya gugup! "Ada sangkut pautnya dengan aku. Siapakah dia?"

"Sebentar lagi kau akan tahu!"

Jengek Liong-tong Tong-cu.

Lalu tangannya bertepuk dua kali, kecuali delapan orang seragam abu-abu yang segera bergerak keempat penjuru mengepung Giok liong dari luar hutan sana berlari masuk lagi empat laki laki seragam abu-abu yang berambut panjang juga.

Keempat laki-laki seragam abu-abu yang baru masuk ini menggusur seorang tua renta, air muka yang kaku dan dingin pucat tanpa kelihatan berdarah.

Kedua tulang pundaknya berlubang ditembusi rantai panjang sebesar jari tangan, karena diseret maju sehingga jalannya sempoyongan, rantai panjang itupun berbunyi nyaring menyentuh tanah.

Beriring keempat laki-laki seragam abu-abu ini menggusur tawanannya kehadapan Liong-tong Tong-cu lalu menjura hormat.

"Hamba beramai menunggu perintah selanjutnya!"

Liong-tong Tong-cu manggut manggut, ujarnya.

"Harap Hou-tong Tong-cu memeriksa akan kebenaran tawanan ini!"

Houtong Tong-cu mengunjuk rasa heran dan penuh tanda tanya, katanya sambil mengerutkan alis.

"Bukankah dia seorang Goan-lo ( sesepuh ), petugas Lim-cu yang terdekat pembesar berjasa dalam pembukaan Hutan kematian ... ."

Tanpa menanti ia selesai bicara habis mendadak Liong-tong Tong-cu bergelak tertawa.

"Hahahaha...Tak heran Tong-cu kena diapusi. Lim-cu sendiri juga kena dikelabuhi selama puluhan tahun, siapa akan mau percayai Hahahaha!"

Tatkala itu Giok-liong berdiri mematung sambil menerawangi perubahan yang dilihatnya dihadapannya ini, saking asyik dan kesima mendengar ia sampai berdiri terlongong-longong. Terdengar Liong-tong Tong cu menghardik keras dengan bengis.

"Lucuti kepalsuannya supaya Houtong Tong cu memeriksa sendiri."

"Hamba terima perintah,"

Empat laki-laki seragam abu-abu itu mengiakan bersama.

Lalu beramai-ramai bergegas mereka menekan si orang tua tawanannya itu diatas tanah, salah seorang menggosok dan menepuk diatas mukanya, seorang lagi menarik narik dipunggung dengan sekuatnya, sedang dua orang lainnya masing masing menarik kedua lengannya."

"Hah!"

Tak tertahan Giok liong berseru terkejut. Liong tong Tong cu berkata kan, ujarnya.

"Nah, begitu lebih tepat lagi, Hanya dengar seruan kejut Ma Siau-hiap ini, merupakan bukti yang paling nyata!"

Sementara itu Houtong Tong'Cu juga tengah kesima sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatel tanyanya melongo.

"Siapa dia?"

"Delapan puluh tahan yang lalu,"

Terdengar Liong-tong Tong-cu berseru lantang.

"Seorang Tay-biap yang sudah menggetarkan dunia persilatan Wi-hian-ciang Liong Bun, bukan lain adalah tawanan kita ini!"

Dalam pada itu Giok-liong sudah tak kuat mengendalikan keharuan hatinya serunya mendebat.

"Apa hubungannya orang ini dengan aku?"

Liong-tong Tong cu tertawa ewa ujarnya.

"Dalam hal ini Lim cu ada memberi pesan supaya aku tidak membuka banyak mulut. Dipersilatan dalam jangka tiga hari ini Siau-hiap datang kesekte kita, nanti aku tentu akan mengiringimu setelah menghadap Lim-cu, tentu segalanya dapat dibikin jelas!"

"Apa yang akan kalian perbuat akan diri Liong Tay-hiap ini?"

"Lwekang dan kepandaian silatnya sudah dipunahkan, kita beramai tak lain hanya melaksanakan tugas melalui... Bahwasannya ini bukan urusan yang sangat penting!"

Memang sorot pandangan Wi-hian-ciang Liong Bun sangat redup tanpa bersinar dari wajahnya yang pucat pasi itu menandakan bahwa Lwekangnya memang sudah punah, bentuknya menyerupai tengkorak hidup yang mengalami penuh penderitaan.

Akan tetapi, apakah Giok-liong harus diam saja melihat seorang pendekar besar pada jamannya dulu yang sudah tenar puluhan tahun meninggal begitu saja, saking haru dan pedih badan sendiri sampai gemetar.

"Siau hiap harap berpikir kembali sebelum bertindak l"

Serentak delapan laki laki seragam abu-abu berkelebatan masing masing menggerakkan lengan tangannya, serempak mereka berseru hormat meski belum turun tangan secara kenyataan kepungan mereka ini sangat rapat sulit ditembus.

Untuk menerjang keluar meski tidak sukar, sedikitnya juga harus memeras keringat.

Sambil mengerut kening segera Giok-liong berteriak.

"Hai, kalian jangan berlaku ceroboh, tunda dulu pelaksanaannya setelah aku bertemu langsung dengan Lim-cu kalian !"

"Lain urusan lain perkaranya, Maaf Pun-tong tak dapat mengabulkan permintaan mu ini !"

"Kalau kalian tidak melepas Liong Bun, maka akupun tidak sudi menemui Lim-cu kalian."

"Itu kan urusan Ma Siau-hiap sendiri, nanti Limcu tentu dapat mengatur sendiri, jangan persoalan itu dicampur baurkan dengan pelaksanaan hukum ini !"

Saat mana Houtong Tong-cu sudah mengulapkan tangan memberi aba aba kepada dua belas laki-laki berambut panjang ber-seragam hitam, serunya.

"Sambut tugas ini dan siapkan melaksanakan hukuman."

Empat orang seragam hitam maju menggantikan kedudukan empat seragam abu-abu yang menggusur Liong Bun tadi, Keempat seragam abu-abu itu lantas meloncat mundur ikut mengepung Giok liong diluar batas tiga tombak jauhnya.

Dua belas pelaksana hukum berseragam abu-abu ini siap waspada tanpa mengeluarkan suara atau sembarangan bergerak, tenaga sudah dihimpun dengan pandangan mata yang berkilat menatap tajam kearah Giok-liong tanpa berkedip.

Giok-Iioug semakin gelisah seperti dibakar hardiknya menggerung .

"Lekas lepaskan Liong Tay-hiap, mari kita bicarakan lagi urusan ini !"

Liong-tong Tong-cu memberi salam kepada Houtong Tongcu serta katanya.

"Tugas ini sudah kami serahkan, seluruh tanggung jawab dan pelaksanaannya terserah kepada seksi kalian."

Lalu ia melangkah maju beberapa tindak, katanya kepada Giok-liong.

"Siau-hiap, dalam tiga hari ini aku menanti kedatangan tuan, Harap tuan tidak mengecewakan harapan Lim-cu."

Tatkala itu, Houtong Tong-cu mencibirkan bibir bersuit nyaring dan keras menembus angkasa laksana gerungan harimau yang berang.

Dari luar hutan dari berbagai penjuru lantas terdengar derap langkah berlari, geseran daun daun pohon serta berkelebatnya bayangan orang samar-samar terlihat ratusan orang seragam hitam serentak merubung datang kearah sini.

Pandangan Houtong Tong cu berkilat tajam, serunya lantang ."Atas perintah Lim-cu, seorang yang bernama Wihian- ciang Liong Bun, memendam diri menjadi mata-mata dengan tujuan yang tidak menguntungkan bagi Hutan kematian, menurut undang-undang hukum kita dihukum cacat jiwa, Kali ini sekte kita mendapat penghargaan untuk melaksanakan hukuman ini, Laksanakan hukuman !"

Serentak berpuluh sampai beratus mulut bersama mengiakan sehingga hutan ini menjadi bergoncang seperti air mendidih, sedemikian keras sampai kumandang dan bergema sekian lama. "Mulai !"

Terdengar Houtong Tong-cu melompat maju sambil berteriak bengis seperti pekik kokok beluk, seiring dengan bentakannya ini kedua tangannya bergantian menghantam kearah Liong Bun. Giok liong melompat maju sambil menggerung gusar.

"Nyali besar ! Tahan !"

Namun belum lagi Giok-liong dapat bergerak maju, Liongtong Tong cu bersama dua belas pelaksana hukumnya sudah serentak menggerakkan tangan menyerang sekaligus dengan gabungan tenaga mereka seketika Giok-liong menjadi terhalang ditengah jalan, terpaksa ia harus membela diri demi keselamatan sendiri.

Di sebelah sana terdengarlah jeritan panjang yang mengerikan.

Itulah pekik Liong Bun dalam jiwa meregang sebelum ajal.

Giok liong mendengar dengan jelas sampai badannya terasa merinding, hatinya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.

Tapi gabungan serangan dua belas jago jago kelas wahid dari Liong-tong mana mungkin dapat ia atasi begitu saja.

Apalagi dua puluh enam telapak tangan mereka sekaligus melancarkan tipu-tipu aneh yang sulit diraba sebelumnya, sungguh pengepungan yang rapat tiada lubang titik kelemahannya.

Diluar gelanggang pengepungan saban-saban masih terdengar jerit kesakitan dan gerangan gusar dari pelampiasan dongkol, angin menderu dari tenaga pukulan yang menimpa diatas tubuh manusia sampai berbunyi gedebukan.

Entah sudah berselang berapa lama, dan berapa banyak pukulan sudah dijatuhkan diluar gelanggang sana, Tiba tiba Liong-tong Tong-cu berseru keras.

"Liong-tong Tecu siap kembali !"

Angin berkesiur disertai lambaian baju, begitu cepat gerak gerik mereka sekejap saja keadaan menjadi sunyi dan sekelilingnya sudah kosong meIompong.

Tiga belas orang dari Liong-tong sudah menghilang tanpa bekas dalam sekejap mata.

Demikian juga seluruh anak buah Houtong Tongcu sebanyak ratusan orang itu sudah tak kelihatan lagi mata hidungnya, semua sudah pergi tanpa meninggalkan jejak.

Keadaan dalam hutan kembali menjadi sunyi senyap, angin berlalu membawa bau amis darah yang memualkan.

Diatas tanah sana terlihat segundukan daging dan tulang-tulang manusia yang terpukul hancur lebur tanpa ujud lagi.

Tinggal rantai yang mengikat di tulang Liong Bun saja yang masih ketinggalan memancarkan sinarnya yang redup menyolok mata.

Tak tertahan lagi kepedihan hati Giok-liong, ujarnya sambil sesenggukan dengan sedihnya.

"saudara tua, belum lagi citacitamu terlaksana badan sendiri sudah hancur lebur, siaute ...

"

Sekonyong-konyong...

"Bocah keparat, akhirnya toh kutemukan juga!"

Seiring dengan bentakan ini dari luar hutan sana menerjang datang seorang laki-laki bertubuh kekar, bermuka kuning persegi, alisnya lentik menaungi sepatang mata yang berkilat tajam, dagunya tumbun lima jalur jenggot pendek hitam.

Mengenakan pakaian ketat dengan mantel kuning berkembang, sepatunya tinggi peranti untuk jalan jauh, sikapnya garang dan angker kegusaran.

Giok liong melihat air muka orang rada bersih, semangatnya menyala-nyala, terang bukan anak buah dari Hutan kematian.

Maka tak berani ia berlaku gegabah, serunya lantang.

"Kenapa tuan bicara tidak sopan?" "Terhadap siapa bicara apa!"

"Kau kira siapa aku ini ?"

"Manusia rendah hina dina, mata keranjang hidung belang !"

"Kau terlalu menghina !"

Secara langsung dimaki begitu kotor keruan Giok-liong tak kuat menahan hawa amarah dengan sengit ia mengerjakan tangannya melancarkan jurus Cin-chiu dari ilmu Sam- ji-cui-hun chiu, maka mega putih bergulung keluar menerjang dengan dahsyatnya.

Apalagi tenaganya ditandai rasa gusar sudah tentu bukan olah-olah hebatnya.

"Hei, apa hubungan mu dengan Toji Pang Giok ?"

Laki-taki kekar itu berkelit ke samping, wajahnya mengunjuk rasa kejut dan heran.

"Murid tunggalnya!"

Sedikit merenung laki-laki kekar itu lantai membanting kaki, ujarnya.

"Merusak nama baik Bu-lim-su cun Pang lo cianpwe saja. Sayang sekali!"

Mendengar ucapan orang tergetar hati Giok-liong, pikirnya "Apa mungkin orang ini ada hubungan erat dengan perguruanku tak boleh aku berlaku kasar."

Karena pikirannya ini maka jurus kedua dari Sam jicui-hun chiu yaitu Tiam-bwe lekas lekas ditarik kembali ditengah jalan, serunya sambil melompat mundur .

"Apa maksud ucapan tuan ini ?"

"Jangan kau pura-pura linglung menjadi gendeng, seumpama aku harus berlaku salah terhadap Pang-lo cian pwe ,betapapun aku harus mewakili dia untuk menghajar bocah keparat seperti kau ini sampah dunia persilatan. Baru terlampias rasa dongkolku ini." "Wut... ."

Segulung angin kencang laksana badai angin terus menerjang datang dari tengah udara, sungguh dahsyat dan berbahaya sekali.

Karena tidak menduga hampir saja Giok-liong tergulung oleh serangan lawan.

Cepat-cepat ia menjejakkan kaki mencelat mundur setombak lebih untung benar dapat terhindar dari bahaya elmaut, walaupun demikian, daun dan rumput beterbangan mengotori seluruh tubuhnya, juga ujung bajunya telah tergetar hancur berkeping-keping melayang ditengah udara.

"Bocah keparat, kiranya cuma begitu saja kepandaianmu!"

Begitu mendapat kesempatan merangsak laki laki kekar itu lantas menarikan kedua tangannya dengan lincah dan secepat kilat, sekejap mata saja beruntun ia menepuk dan memukul dua belas pukulan, setiap pukulan mesti dilandasi kekuatan dahsyat, tak jauh dari sekitar badan Giok-liong.

Keruan Giok-liong menjadi kelabakan berputar dan berkelit dengan susah payah.

Terpaksa Ling hun-toh harus dikembangkan ringan sekali tubuhnya berkelebat selulup timbul berlarian diantara dahan-dahan pohon besar disekitar gelanggang.

Mendapat angin laki-laki kekar itu semakin bernafsu dan tidak memberi ampun untuk lawan sempat ganti napas.

Dengan menggereng marah, lagi - lagi ia lancarkan sebuah pukulan dahsyat, laksana arus sungai Tiangkang membadai menggulung dari segala penjuru angin.

Akhirnya memuncak juga rasa gusar Giok liong, sekali kesempatan ia berkelit ke belakang sebuah dahan pohon besar terus melejit jauh beberapa meter, serunya gusar.

"selama ini kita belum saling kenal, tuan terlalu mendesak orang, maka jangan salahkan kalau aku berlaku kurang hormat!"

Habis ucapannya segera ia bergerak gesit sekali ia melancarkan jurus serangan balasan.

Seketika mega putih bergumpal melebar luas, bayangan telapak tangan berubah laksana ratusan dan ribuan pukulan telapak tangan, serentak ia balas menyerang dengan nafsu dan sengit.

Gerak berkelit, mengambil imsiatif balas menyerang, berganti jurus melompat menerjang dilakukan dalam satu gerakan serempak sehingga menambah semangat dan melihat gandakan daya kekuatan serangannya.

BegituIah terjadi pertempuran sengit tanpa juntrungan, empat kepalan tangan menari pesat dan lincah sekali di tengah udara, tipu lawan, tendangan lawan kegesitan, bukan saja mereka harus cekatan menjaga diri juga harus pandai melihat gelagat, mengincar lubang kelemahan pihak musuh untuk melancarkan serangan total berusaha menang.

Saking seru dan sengit pertempuran ini masing masing pihak sudah kerahkan seluruh kekuatannya sehingga angin menderu, suasana gegap gempita ini merobohkan pohonpohon sekitar gelanggang sehingga menambah pertempuran ini semakin gaduh.

Sinar matahari begitu cemerlang menyinari pertempuran yang aneh dan menjadikan pemandangan mata yang menakjubkan sekali pertempuran bagi tokoh kosen, setiap jurus setiap gerak langkahnya harus dilakukan hati-hati dan secepat kilat, sebentar saja tahu-tahu pertempuran ini sudah berlangsung seratus jurus lebih.

Setelah sekian lama bertempur tanpa dapat merobohkan lawan, Giok-liong menjadi semakin gelisah, sekilas berkelebat pikirannya, sinar matanya terpancar semakin tajam, timbul hawa membunuh.

Mendadak ia menggembor keras, suaranya mendengung menembus angkasa.

Belum hilang gema suara gemborannya tiba tiba ia menghardik lagi .

"Awas, sambut ini !"

Kontan terdengar seruan tertahan, bayangan kuning terpental mundur sejauh lima tombak badan masih terhuyung lagi tiga langkah terus jatuh terduduk, untung belakangnya terdapat sebuah pohon besar yang menahan badannya, sehingga ia tidak jatuh ternauar.

Mulut laki-laki kekar ita mengalirkan darah, sinar matanya menjadi redup, wajahnya yang kaatng seperti berpenyakitan itu kini berubah pucat pasi, nafasnya memburu kencang, sebelah tangannya menekan dada, terputus-putus ia berkata menuding Giok-liong.

"Baik ... aku , ..mengaku . , . tapi . , , kau ... hidung belang , . tak tahu malu , ..ba . , , bagai .., mana ... terhadap ... Wahaaahh !"

Ia berkata terlalu dipaksakan sekaligus ia menyeburkan dua gumpal darah segar. Melihat luka orang yang rada berat, Giok-liong menjadi tidak tega, batinnya.

"Aku tiada bermusuhan atau dendam sakit hati terhadap dia, untuk apa aku turun tangan terlalu berat !"

Maka segera ia maju beberapa langkah terus berjongkok, katanya rendah.

"selamanya aku belum pernah kenal dengan tuan, namun kau begitu bernafsu menyerang dengan jurus mematikan sehingga aku kelepasan tangan melukai tuan !"

"Crot !"

Lakf-laki kekar itu meludahi muka Giok liong dengan riak tercampur darah.

"Kau ! Cari mampus !"

Giok liong berjingkrak gusar, sebat sekali tangannya diulur, dua jari tangannya dengan tepat menutuk dijalan darah Hiat hay di dada orang. Desisnya mengancam .

"Kau tidak dapat membedakan salah dan benar, jangan salahkan aku tidak mengenal kasihan."

"Kalau kau berani, cobalah bunuh aku!"

"Hm, kau kira aku tidak berani ?". "Keparat kau memang telengas kejam, rendah dan hina lagi, perbuatan apa yang tidak pernah kau lakukan."

"Sekaii lagi tuan mengudal mulut semena-mena, asal aku mengerahkan sedikit tenaga, cukup membuat kau mampus tanpa liang kubur ..."

Tiba-tiba sebuah hardikan nyaring menembus angkasa, sebuah bayangan putih meluncur datang dari tengah udara, Siuuur, sejalur kain sutra panjang mendesis keras tahu-tahu sudah menggubat dileher Giok-liong, sedikitpun Giok liong tidak menduga dirinya bakal dibokong dari belakang, begitu mendengar angin mendesis dan tahu gelagat yang membahayakan untuk berkelit sudah tidak sampai lagi.

Tahu-tahu ia merasa napasnya menjadi sesak lehernya terikat kencang, sedapat mungkin ia meronta berusaha melepaskan diri, tapi gerak gerik pendatang baru ini betulbetul cepat luar biasa, begitu serangannya berhasil tanpa ayal tangannya lantas menarik dan menyendal dengan keras.

Karena leher digubat selendang satra, Gi-ok-liong sulit mengerahkan Lwekangnya, kontan tubuhnya kena digentak mumbul ketengah udara, melayang seperti layang layang putus benang setinggi tiga tombak terus terbanting keras di tanah.

Karena tiada kesempatan untuk mengerahkan hawa murni melindungi badan, seketika ia terbanting celentang dengan kaki tangan menghadap kelangit.

Keruan sakitnya bukan buatan, sampai mata berkunangkunang kepala pusing tujuh keliling.

Bantingan keras ini betul-betul merupakan suatu pukulan keras bagi Giok-liong selama kelana di Kangouw, betapa dia takkan berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot.

Begitu tubuhnya menyentuh tanah, hawa murni segera di empos, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia mencelat setinggi tiga tombak, badannya terus meluncur tiba sambil menggerakkan kedua telapak tangannya.

Saking susar dan gemas maka luncuran serta serangannya ini betul-betui hebat sekali, seolah-olah ingin rasanya sekali pukul hancur leburkan lawan menjadi bergedel.

Begitulah dengan nafsu membunuh yang bergelora di badannya Giok-liong meluncur turun laksana air bah dicurahkan dari tengah udara, tapi tiba-tiba ia berseru kejut.

Lekas lekas ia menarik serangannya dan punahkan tenaga kekuatan pukulannya, badan juga lantas berhenti meluncur dan hinggap ditengah jalan, Begitu berdiri tegak dengan kesima ia berdiri mendelong, berutang kali ia kucek-kucek matanya menatap pendatang baru ini, air mukanya kaku tanpa perasaan ia berdiri terlongong seperti patung.

"Bocah keparat, apa yang kau lihat !"

Giok-liong tetap kesima berdiri ditempatnya, Sebab perempuan pertengahan umur yang membawa selendang sutra sepanjang dua tombak itu betul betul persis seseorang, seorang yang selalu dirindukan oleh Giok-liong.

"Persis benar, seperti pinang dibelah dua !"

Dalam hari Giok-liong membatin .

"Selain usianya yang berbeda, boleh dikata orang ini seperti duplikat adik Sia, mungkinkah didunia ini terdapat orang yang begitu mirip satu sama lain ! "

Sementara itu, perempuan pertengahan umur itu sudah menggulung selendangnya terus menghampiri kesamping lakilaki kekar, suaranya lembut penuh kekwatiran .

"Bagaimana luka-Iukamu ..."

Wajah laki-laki kekar mengunjuk penasaran dan gusar, sahutnya dengan kepedihan.

"jangan kau hiraukan aku ! carilah dia ...."

Sampai disini ia sudah tak kuat meneruskan sambil menunjuk Giok liong yang masih berdiri terlongong itu ia berkata lagi tergagap.

"Ringkus dia ... tuntut pertanggungan jawabnya !"

Perempuan pertengahan umur menjadi terharu dan mengembeng air mata, Tar ...tiba-tiba ia mengayun selendang sutra ditangani nya seperti pecut, terus menerjang maju kehadapan Giok liong, bentaknya sengit.

"Bocah keparat, kembalikan anak putriku!"

Saat mana Giok-liong, tengah berdiri kesima, seketika ia menjadi tertegun mendengar seruan orang mundur selangkah ia bertanya.

"Putrimu! Dari mana asal pertanyaanmu ini, selamanya kiia belum pernah bertemu muka. apa kau sudah gila!"

"Apa, jadi kau hendak mungkir!"

"Bukan aku ingin mungkir, adalah menista orang semenamena!"

"Kau melepas api membakar rumah, pura-pura mau sembunyi tangan, lihat serangan."

Selendang sutranya berputar ditengah udara melingkar seperti-ular hidup terus menukik turun menindih ke atas kepala Giok-liong, perbawa serangan ini cukup lihay dan hebat.

Kalau Giok-liong tidak mau melawan, terpaksa ia harus melompat mundur baru bisa menghindar dari ancaman berbahaya ini, Tapi pelajaran yang dialami tadi membuat ia harus berpikir dua belas kali, berulang kali ia sudah berusaha mengalah dan main mundur, akhirnya dirinya malah kehilangan kontrol dan kepepet semakin payah, kehilangan inisiatif menyerang setiap tindak, setiap langkahnya selalu menghadapi mara bahaya melulu.

Maka untuk kali ini terpaksa ia tidak sudi main mengalah atau mundur lagi, jurus Cin chiu pelan-pelan dilancarkan untuk memunahkan serangan musuh mengurangi tekanan dahsyat.

bentaknya keras.

"Nama atau shemu saja aku tidak tahu darimana . .."

"Tidak tahu sudah tentu akan kubuat tahu!"

Perempuan pertengahan umur ini menyerang dengan penuh nafsu, seiring dengan makiannya, selendang sutra dilarikan semakin kencang sebegitu lincah dan cepat sekali seumpama hujan angin juga sudah menembusnya.

Begitu besar tenaga yang terkerahkan di atas senjata panjangnya ini sampai angin menderu menyapu debu dan rumput disekitar geIanggang.

Tatkala itu sudah menjelang tengah hari, bayangan selendang berlapis-lapis melayang ditengah udara memancarkan sinar sutra yang berkiiau menyilaukan mata.

Apalagi pakaian panjang yang dikenakan perempuan pertengahan juga warna putih dari sutra lagi.

Demikian juga jubah panjang Giok-liong berwarna putih bersih pula, Maka terlihatlah dua bayangan putih saling berloncatan dengan diselubungi seleadang sutra yang selulup timbul diantara mega putih laksana naga mengamuk.

Sebetulnya kalau Giok-liong mau melancarkan kepandaian simpanannya, selendang sutra lawan sejak tadi sudah berhasil dapat dihantam hancur berkeping-keping, paling tidak musuh juga sudah terluka parah, Andaikata tidak bagian Lwekangnya saja yang terkerahkan kiranya cukup dapat mengambil kemenangan tanpa menghadapi rintangan yang berarti ! Tapi Giok-liong tidak mau berbuat demikian, karena apakah ? Tak lain karena wajah perempuan pertengahan umur persis benar dengan istri tercinta yang tengah mengharap dirinya pulang ke Hwi-hun san-cheng.

Betapapun ia tidak tega turun tangan untuk menurunkan tangan kejam.

Pertempuran silat tingkat tinggi memerlukan kosentrasi yang berlipat ganda, bagaimanapun sekali pikirannya bercabang, bukan saja tidak dapat mengambil kemenangan malah mungkin sedikit saja saja lantas mengunjuk setitik lubang kelemahan ini cukup kesempatan bagi musuh untuk melancarkan serangan mematikan.

Demikianlah keadaan pertempuran saat itu, sekejap mata lima enam puluh jurus sudah berlalu.

Diatas dataran lamping gunung ini, selendang sutra putih sepanjang dua tombak telah ditarikan demikian rupa oleh perempuan pertengahan umur sehingga angin menderu laksasa angin lesus, laksana hujan badai seperti pula gelombang ombak samudra, semakin lama ternyata semakin cepat dan semangat, sebaliknya keadaan Giok liong semakin terdesak dan terkekang didalam lingkungan angin menderu, keadaannya sudah semakin payah dan terdesak dibawab angin, terang tidak lama lagi dirinya pasti dapat dikalahkan.

Sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring merdu.

"Roboh!"

Bayangan putih berkelebat sejalur serangan dahsyat bagai layung menerjang tiba "Celaka !"

Dalam kesibukannya, lekas-lekas Giok-liong gunakan tipu Jiang-liong-jip-hun (ular naga menyusup ke dalam awan) sekuat tenaga kakinya menjejak tanah, seketika tubuhnya mencelat tinggi melambung ke tengah udara setinggi lima tombak.

"Blang."

Ledakan dahsyat seperti gugur gunung menggetarkan bumi pegunungan. Ternyata selendang sutra yang lemas itu telah melilit sebuah pohon besar terus digulung tinggi tercabut keakar-akarnya terbang meninggi ketengah udara.

"Krak". "Byar!"

Daun dan debu beterbangan sejauh tujuh delapan tombak.

Bayangkan betapa dahsyat perbawa keku atan selendang sutra ini, seumpama orang yang kena dililit dan dibanting pasti badannya hancur lebiir menjadi perkedel, masa bisa hidup lagi.

Begitu jurus serangan ampuhnya melilit roboh sebuah pohon, bukan saja rasa amarah perempuan pertengahan belum reda malah semakin berkobar seperti api disiram minyak, Kelihatan rasa gemas dan dongkolnya semakin mendalam, sekali lagi ia ayun dan tarikan selendang senjatanya itu, seraya melompat menubruk.

Udara serasa menjadi gelap kerena tertutup oleh putaran selendang yang melebar dan mendesis kencang itu, laksana mega mendung menjelang hujan lebat dengan angin badai menerpa dahsyat.

Belum lagi badan Giok-liong menyentuh tanah, selendang sutra yang lemas itu sudah memecut tiba lagi.

Bercekat hati Giok-liong, hatinya rada gentar menghadapi senjata lemas musuh yang hebat tadi, cepat-cepat ia gunakan gaya Hoan-inhu hu.

untuk kedua kalinya badannya melenting tinggi, dalam seribu kerepotannya, tangannya meraih sebatang dahan pohon dengan meninjam daya pantulan dahan pohon ini badannya terus terayun lima tombak lebih jauhnya.

Waktu badannya meluncur turun dan hinggap ditanah kebetulan tiba disamping laki laki kekar yang tengah duduk semadi mengerahkan tenaga istirahat, sebetulnya bagi Giokliong tiada maksud tertentu.

Tapi lain bagi penerimaan perempuan pertengahan umur itu, bentaknya nyaring penuh kekuatiran.

"Bocah keparat, berani kau!"

Ternyata ia mengira Giok-liong hendak mengambil keuntungan ini menyerang orang yang sudah terluka tak mampu bergerak itu.

Seiring dengan bentakannya, selendang putih panjang itu telah disapukan datang dengan kencang laksana sebatang tongkat besi dengan jurus Heng cio-jian-kun dengan kencang menyerampang tiba.

Kembali amarah Giok liong semakin berkobar beruntun ia sudah mengalah malah jiwa sendiri hampir melayang karena musuh mendapat kemurahan hatinya, kini saking marah timbul nafsu membunuh dalam benaknya.

Tanpa berkelit atau menyingkir lagi ia kerahkan hawa Ji-lo melindungi badan, seketika mega putih bergulung mengitari dan menyelubungi badannya, ditengah mega putih yang bergulung gulung itu telapak kanannya tiba-tiba menyampok maju menangkis selendang musuh yang lempang seperti tongkat besi itu, bersama itu selicin belut segesit kera melompat tahu-tahu ia bergerak lincah sekali melesat kehadapan perempuan pertengahan umur.

Telapak tangan kiri pelan-pelan menyelonong maju menekan kejalan darah Tiong-ting perempuan pertengahan umur.

Perempuan pertengahan umur terkejut bukan main, lekaslekas ia menarik balik selendang putihnya.

"Waa..."

Aduh" - "Hm!"

Tiga macam jerit dan seruan yang berlainan berbunyi bersama, bayangan orang lantas berpencar kedua jurusan.

Sebetulnya telapak tangan kiri Giok-liong sudah tepat menekan kejalan darah Tiong-ting, tapi mendadak ia teringat bahwa musuh adalah kaum hawa, tak mungkin dirinya berlaku begitu kurang adat, maka ditengah jalan ia rubah sasarannya berganti menepuk pundaknya, ternyata dengan telak serangannya telah mengenai sasarannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar