Seruling Samber Nyawa Jilid 12

Jilid 12

Terdengar rasul jubah abu-abu membentak.

"Bocah keparat, kiranya boleh juga ,.."

Masih terapung ditengah udara tiba-tiba ia meliukkan pinggang terus jumpalitan dengan gaya yang indah, kini ia berada di belakang Giok-liong lebih atas, dimana jubah panjang nya kelihatan melambai-lambai, mendadak ia perdengarkan serentetan gelombang tawa yang menusuk telinga, segulung angin dingin yang kencang membawa bau amis yang memuakkan langsung menerjang ke punggung Giok-liong.

Dilihat expresi wajahnya yang kaku membesi tak kelihatan perubahan apa-apa, tapi dari sorot matanya yang buas jalang terlihatlah nafsunya yang besar ingin membunuh, seringai sadis membayangkan pada pandang yang penuh kepuasan.

Mereka meluncur lewat benda pundak ditengah udara ini kejadian dalam sekejap mata saja, Tapi dalam waktu yang singkat ini rasul jubah abu-abu dapat jumpalitan melambung lebih tinggi sambil melancarkan serangan ganas dengan cara membokong menyerang punggung Giok-liong, terang kedudukan lebih menguntungkan.

Terang gamblang serangan angin dingin kencang itu sudah menggulung kearah punggung Giok-liong, namun rasul jubah abu-abu rasanya masih belum puas, kelima jarinya mendadak terjulur keluar dan lengan bajunya beruntun menjentik lima kali, maka lima utas uap putih yang samar-samar hampir tak terlihat oleh pandangan mata secepat kilat melesat terbagi atas tengah dan bawah menyerang kelima tempat jalan darah mematikan ditubah Giok-liong.

Bukan sampai sebegitu saja lihay serangan ini, terasa oleh Giok Iiong sekitar tubuhnya kini telah terkekang dan tertutup rapat oleh kebutan angin dingin yang dilancarkan oleh rasul jubah abu abu tadi.

Lapat-lapat terdengar helaan napas sedih dari dalam gua.

"Bocah ini terlalu membawa adat sendiri, oh sungguh tidak beruntung!"

Suaranya semakin lirih dan pilu, naga-naganya Li Hian seperti memejamkan mata tak tega melihat lagi.

Secara tiba-tiba terdengar lima macam irama seruling mengalun tinggi menggetarkan bumi memecahkan batu, Didalam gelanggang tiba-tiba timbul selarik sinar putih menari-nari laksana naga hidup.

Lantas terdengar jeritan ngeri yang memecah kesunyian malam.

"Bluk !"

Keras sekali badan rasul jubah abu abu terbanting diatas tanah sejauh lima tombak, darah mengalir deras dari lubang panca inderanya, setelah berkelojotan sekian lama lantas tak bergerak lagi, jiwanya melayang.

Sementara itu dengan tenang Giok liong berdiri tegak di samping sana tangan kanan menggenggam Seruling samber nyawa, air mukanya merah membara, mulutnya menggumam.

"sungguh berbahaya ! senjata berbisa yang jahat ini benarbenar lihay!"

Dari dalam gua terdengar pula suara Li Hian berkata .

"Buyung, lebih baik kau masuk saja kedalam gua sini Terang kau sudah mengikat permusuhan dengan pihak Hian-bing-mokek ! Masuklah biar Loltu lebih tegas melihat wajahmu..."

Dari nadanya ini terang telah timbul rasa simpatik dalam benaknya terhadap Giok liong.

Giok-liong sendiri juga merasa kecut dan terkam mendengar nada perkataan orang yang penuh welas asih dan prihatin, hampir tak tertahan ia mengalirkan air mata.

sudah lama sekali tiada seorang orang tua pernah berkata sebegitu cinta kasih terhadap dirinya.

Maka segera ia menyahut perlahan.

"Baiklah, Lo-cian-pwe !"

Lalu seruling samber nyawa diselipkan diikat pinggangnya berputar tubuh terus melangkah kedalam gua. Tapi baru saja ia melangkah berapa tindak, tiba-tiba terdengar bentakan dingin dari belakangnya.

"Berhenti!"

Kesiur angin dingin yang membekukan juga segera melingkari sekitar tanah lapang diluar gua itu.

Sigap sekali Giok-liong membalik tubuh, Tampak dibelakangnya beranjak puluhan tombak disana berjajar berdiri empat orang yang mengenakan pakaian seperti rasul jubah abu-abu tadi.

selayang pandang saja lantas bergetar perasaan Giok-liong.

Bukan saja cara berpakaian besar tinggi badan mereka yang sama, sampai wajahdan raut muka mereka juga persis benar, malah kaku dingin tanpa emosi lagi seperti wajah mayat hidup.

Setelah membalik badan Giok-liong juga mandah berdiam diri, hadap berhadapan tanpa membuka suara sekecappun, namun diam-diam otaknya berpikir cara bagaimana hendak menghadapi pendatang baru ini.

Diukur dari kepandaian silat dan Lwekang rasul jubah abuabu yang mampus itu terang masih setingkat dibawah kemampuannya.

Tapi bila kepandaian silat keempat rasul jubah abu-abu ini juga setarap dengan yang telah mampus itu, dengan gabungan kekuatan rnereka, payahlah pasti dirinya.

Sementara itu, tanpa bersuara keempat rasul jubah abu-abu sudah beranjak maju semakin dekat, Otak Giok- liong berputar cepat sekali sayang sekian lama ini tak terpikirkan olehnya cara yang tepat untuk menghadapi mereka.

Akhirnya ia ambil keputusan yang drastis.

"Permusuhan ini relatif sudah terjadi, sifat merekapun begitu buas tanpa perikemanusiaan, Berantas dan bunuh mereka habis-habisan!"

Waktu dia ambil ketetapan hati ini, keempat rasul jubah ibu abu sudah mendekat beranjak delapan tombak.

Wajah Giok-liong mulai bersemu merah nafsu membunuh sudah mencorong dari sorot matanya, pelan-pelan dirogohnya Kim-pit dan Jan hun-ti serta dicekal kencang-kencang, menarik napas panjang ia kerahkan Ji-lo berputar melindungi badan, dalam segala waktu ia bisa segera melancarkan seluruh kekuatannya untuk merobohkan musuh.

Tapi sikap ia berdiri rada acuh tak acuh kelihatan seperti tiada minat untuk bertempur.

Kupingnya mendengar pula bisikan Li-Hian berkata.

"Buyung, lekas masuk kemari, kau bukan menjadi tandingan mereka."

Nada perkataannya mengandung rasa kuatir dan gelisah. Dengan lemah lembut Giok-liong menyahut.

"Harap Cianpwe lega hati, Wanpwe pasti tidak akan menanggung kerugian! "-lalu pelan-pelan ia pejamkan mata untuk menutupi sorot matanya yang sudah membara penuh nafsa membunuh. Para rasul jubah abu abu sekarang sudah semakin dekat, malah berpencar membentuk setengah lingkaran terus memapak maju ketengah gelanggang. Kelopak mata Giok-liong merem melek, matanya hampir terpejam tinggal sebaris pandangan saja daIam penglihatannya, Ujung mulutnya juga mulai menyungging senyum ejek. Angin dingin menghembus rada keras melambaikan jubah putih Giok-liong, seperti sebatang pohon yang berdiri kokoh diterpa hujan baju dengan angker dan tenang ia berdiri dengan sikap gagah. Hening, melingkupi seluruh gelanggang seakan akan tiada insan penghidupan disekeliling ini, hawa membunuh semakin tebal melingkupi sanubari mereka. Serentak secara tiba-tiba keempat rasul jubah abu abu meluncur lurus menerjang kearah Giok-liong, pertempuran mati matian sudah tak mungkin terhindar lagi. Sekonyong-konyong rasul jubah abu abu nomer dua mendengus rendah, seketika empat suitan nyaring menembus angkasa, Berbareng bayangan abu abu yang bergerak lincah dengan kecepatan luar biasa membawa deru angin pukulan yang dahsyat dingin membeku menggulung tiba kearah Giokliong. Dari pengalaman tempur dengan rasul jubah abu-abu yang dibunuhnya tadi Giok-liong tahu bahwa mereka pasti juga membekal senjata rahasia yang jahat dan berisi, malah kepandaian silat yang mereka latih juga dari aliran amgi yang beracun lagi, Maka dengan berdiri tekun menghimpun semangat meski matanya rada merem melek, hakekatnya ia siap siaga mengawasi gerak gerik musuh dan siap menghadapinya. Baru saja keempat bayangan musuh meluncur dekat masih sejarak satu tombak, tubuh Giok-liong mendadak mengepulkan uap putih terus merembes dan meluas kesekitarnya. Semakin dekat Iuncuran keempat bayangan musuh semakin cepat udara sekitar gelanggang mendadak dilingkupi hawa dingin dan mega mendung. Bayangan kepalan dan telapak tangan pukulan laksana bunga salju menari-nari menerjang dan menyerang keperbagai jalan darah besar yang mematikan di tubuh Giokliong. Bayangan orang berseliweran, deru angin kencang mengamuk bergelombang besar, pekik pertempuran menambah ramai suasana arena perkelahian. Irama seruling mulai mengalun tinggi, sebuah bayang putih membawa tarikan sinar putih dan kuning melambung tinggi ketengah udara, ditengah udara menekuk pinggang sambil membentang kedua tangannya, dua jalur cahaya kuning dan putih lantas berputar memenuhi angkasa laksana naga mengamuk di tengah awan membawa deru gemuruh terus menyapu turun kearah keempat rasul jubah abu-abu. Agaknya keempat rasul jubah abu-abu tidak mengira bahwa pemuda baju putih yang kelihaian lemah lembut ini kiranya membekal ilmu silat dan tenaga dalam yang begitu hebat dan lihay. Saking kagetnya sedikit mereka tertegun irama seruling sudah mengalun dan angin keras juga sudah menyampuk tiba didepan muka, berbareng dua jalur sinar kuning dan putih juga sudah menyapu dan menyerampang datang. Dalam saat saat genting ini mereka berempat saling memberi tanda lalu serempak meloncat tinggi ketengah udara dan meluncur kesamping. Gagal dalam serangannya ini, Giok-liong lantas bersuit panjang nyaring, dimana badannya bergerak seketika ia lancarkan ilmu ajaran Jan-hun-su-sek. Sebuah bayangan putih laksana bayangan dedemit bergerak lincah secepat kilat, tubuhnya dijabat sinar kuning putih dan cemerlang mengeluarkan cahaya putih perak, begitu indah dan menakjupkan benar gerakannya sehingga keempat rasul jubah abu-abu hakikatnya terkekang, dalam serangan potlot mas dan seruling samber nyawa. Tapi keempat rasul jubah abu-abu juga bukan kaum kroco belaka ? Dengan bergabung mereka merangsak semakin hebat meronta seperti binatang dalam kurungan kabut gelap dan angin dingin menghembus keras menderu-deru, empat bayangan abu-abu bergerak limbung seperti setan gentayangan, meski serangan Giok-liong sedemikian gencar dan hebat, tapi mereka masih sekuatnya melawan dan balas menyerang dengan tidak kalah ganas dan lihay. Pertempuran semakin menjadi kacau balau, ditengah udara sekitar gelanggang terbayang mempetakan sebuah bundaran berwarna warni laksana bola kembang. Diatas bundaran bola kembang ini selain kelihatan sebuah bayangan putih bergerak dengan kecepatan seperti kilat, adalah yang paling menyolok mata dua sinar kuning putih yang meluncur memanjang laksana dua ekor naga yang menari lincah sekali. Adalah bola bundar berkembang itu hakikatnya bukan lain adalah kabut gelap dan mega putih yang bergulung berputar. Demikianlah pemandangan dari jauh. Kalau didekati maka dapatlah diketahui bahwa dari tengah-tengah kabut bundar itu saban-saban terdengar ledakan yang menghamburkan batupecah dan tanah, dahan dan daun pohon juga tidak ketinggalan beterbangan, malah mengeluarkan suara gemuruh lagi. Sekali serang tadi sebetulnya bermaksud menggetar menyiutkan nyali pihak lawannya membobol kepungan mereka. Diluar perhitungannya bahwa kepandaian lawan
 lawannya ternyata begitu lihay sekian lama mereka jadi sama kuat alias setali delapan uang. Sang waktu berjalan terus tanpa menanti hati Giok-liong menjadi gelisah.

"Bagaimana bila pihak Hiau bing-mo kek datang bala bantuan lagi ?"

Demikian batinnya.

Baru saja ia berpikir demikian, diujung timur sana berkumandang sebuah suitan yang melengking tinggi menembus awan, dengan kecepatan yang susah diukur tengah meluncur mendatang .

..

Begita mendengar suara lengking suitan ini, lantas Giokliong tahu bahwa pihak lawan kedatangan lagi seorang kosen yang berkepandaian lebih tinggi dari keempat lawannya ini.

Maka segera ia kerahkan seluruh hawa murninya, tangan kanan memainkan potlot mas dengan tipu Kang-sim-sek-bun (mengejutkan hati kehilangan sukma) sedang tangan kiri dengan bersenjatakan seruling samber nyawa menggunakan jurus Toan-bing-jao hun (kehilangan nyawa sukma tersiksa).

Jurus tipu ini terbagi dalam delapan gerakan yang berantai, seketika angin badai bergulung-gulung, pancaran sinar putih kuning semakin cemerlang, dimana mega putih menerjang dengan kekuatan dahsyat, seketika terdengar dua jeritan yang mengerikan lalu disusul ledakan keras yang menggetarkan bayangan orang terus berpencaran kabut masih tebal dan mengurung sekitar gelanggang.

Dua bayangan abu-abu membawa aliran darah yang deras terpental sungsang sumbel terbanting keras puluhan tombak jauhnya, setelah tergulung-gulung ditanah lantas tak bergerak lagi, sebaliknya kedua rasul jubah abu-abu lainnya matanya malah memancarkan sorot kegirangan tercampur rasa kejut berbareng mereka melejit mundur delapan tombak jauhnya dengan pandangan dingin mendelik tanpa bergerak mereka memandang kearah Giok-liong dengan berkedip.

Adalah jantung Giok liong bergejolak keras sekali, mata berkunang dan kepala pusing sehingga tak kuat berdiri tegak, beruntun ia tersurut mundur puluhan langkah baru berdiri tegak pula.

Lekas lekas ia himpun semangat dan kerahkan tenaga murni untuk memulihkan pernapasannya yang memburu.

Giok liong insaf bahwa pertempuran lebih dahsyat bakal dihadapinya.

Belum lenyap dugaannya, terdengarlah kesiur angin ringan tahu-tahu ditengah gelanggang sudah bertambah seorang, orang aneh yang mengenakan jubah panjang warna hitam gelap, berwajah hitam pula dengan sikap kaku dan dingin.

Begitu orang aneh jubah hitam itu muncul, kedua rasu! jubah abu abu itu lantas menyembah serta menyapa hormat.

"Rasul jubah abu-abu menghadap pada Hek-i-tong cu."

Terdengar Hek i-tong cu mendenguskan hidungnya, sekilas ia menyapu pandang kearah tiga mayat rasul jubah abu abu jengeknya dingin.

"Inikah hasil kalian?"

Kedua rasoi jubah abu-abu tidak berani bercuit sekian lama mereka menyambai tak berani bersuara dan bergerak akhirnya baru berkata dengan suara lirih.

"pihak musuh terlalu kuat malah membekal senjata pusaka seruling samber nyawa."

Teriihat badan Hek-i Tong-cu rada tergetar tercetus seruan kaget dari mututnya.

"Siapa?"

"Kim-pit-jan hun Ma Giok-liong!"

Pandangan Hek i Tong-cu penuh selidik melirik kearah Giok-liong yang berdiri tenang dengan tangan bertolak pinggang, menatapnya tanpa menunjukkan sesuatu mimik perubahan, tapi nada perkataannya rada ragu dan kurang percaya.

"Dia inikah?"

Kedua rasul jubah abu-abu manggut-manggut berbareng sambil mengiakan. Kata Hek i Tong cu.

"Yang mati siap dibawa puIang, yang luka diberi obat."

Kedua rasul jubah abu-abu mengiakan sambil membungkuk badan, lalu tinggal pergi mengurus ketiga kawannya yang luka-luka dan meninggal.

Dengan pandangan matanya yang tajam berkilat Hek-i Tong-cu tatap Giok liong lalu maju menghampiri dengan langkah lebar.

Angin malam menghembus keras sampai jubah panjang warna hitam yang dipakainya itu berbunyi melambai, demikian juga rambutnya yang hitam panjang menjadi riap riapan menari-nari.

Hanya dua titik sinar matanya yang berkilat itulah yang jelas mencorong dari badannya yang serba hitam, bagi yang bernyali kecil pasti ketakutan melihat rupanya bagai setan.

Belum orangnya sampai sudah terasa hawa sekelilingnya menjadi dingin mendesak kearah Giok liong membuatnya susah bernapas.

setelah mengamati dengan seksama Giokliong berpendapat bahwa Tong cu ini bersikap cukup tabah dan tenang, gerak geriknya sangat tangkas, jalan napasnya begitu ringan ini menandakan tenaga dalamnya sangat kokoh.

Kalau dibanding dirinya, paling tidak masih setingkat berada lebih atas.

Dengan pendapatannya ini hatinya menjadi kaget, pikirnya.

"Tokoh macam apakah sebetulnya Kek-cu ( pemimpin) dari Hian-bing-mo kek ini? Anak buahnya dari para rasul sampai Tong-cunya ini rata-rata berkepandaian begitu tinggi, Kalau anak buahnya saja sudah begini lihay maka dapatlah dibayangkan sifat pemimpinnya tentu hebat luar biasa."

Kira kira jarak tiga empat kaki dihadapan Giok-Iiong baru Hek-i Tong-cu menghentikan langkannya, dari kebawah ia amati lagi seluruh badan Giok-liong, lalu katanya sambil menyeringai dingin.

"Tuan adalah Ma Giok liong ?". Melihat orang mendesak sampai sedemikian dekat baru menghentikan langkah, diam-diam Giok-liong menjadi merinding, seumpama lawan mendadak turun tangan membokong sungguh sukar dijaga dan sungguh berbahaya, sebaliknya kalau dirinya turun tangan lebih dulu, agaknya sangat memalukan. Demikian dalam hati berpikir, mulutnya menyahut .

"Aku yang rendah benar Ma Giok liong adanya ! siapakah tuan ini ?"

"Kami merupakan salah satu diantara delapan belas Tongcu yang dipimbing oleh Hian-bing-mo-kek Kek cu !"

"Dimanakah letak Hian-bing mo-kek kalian ? selamanya aku yang rendah belum pernah dengar di kalangan Kangouw ada suatu organisasi macam Hian-bing-mo kek ini?"

Nada suara Hek i Tong cu selalu terdengar kaku sember sepatah demi sepatah tanpa irama.

Demikian juga mimik raut mukanya kaku membesi tanpa bergerak sedikitpun tidak terlihat expresi wajahnya, hanya sepasang sorot matanya itu yang memancarkan cahaya dingin masih dapat mengunjuk perubahan isi hatinya.

Tapi kala ini sorot matanya tidak berubah, suaranya senadakannya dingin.

"Tuan masih berusia muda sudah tentu belum pernah dengar perihal Hian-bing mo-kek, Kalau tuan sudah pernah dengar ketenaran nama organisasi kita ini. tentu tuan tidak batal berani turun tangan begitu kejam terhadap para rasul kita."

Ucapannya ini tak lain berarti.

"seumpama ilmu silatmu tinggi, sayang usiamu masih sangat muda. Begitu sempit pengalamanmu sampai Hian-bing-mo kek yang begitu tenar ditakuti orangpun kau belum pernah dengar, maka tidaklah heran kau berani berlaku lancang dan bertangan gapah "

Sudah tentu Giok-liong juga maklum akan isi kata-katanya ini, sahutnya.

"Mereka setimpal dihukum mati karena perbuatan yang kurang ajar, bukan menjadi dosaku malah."

"Hm ! Mereka kurang pandai belajar silat sehingga membikin malu nama baik wibawa Hian bing-mo,kek, nanti kalau pulang pasti mendapat ganjaran yang setimpal. Tapi kwatir kau sendiri tidak bisa lepas dari keadaan ini."

"Aku juga kwatir tuan tidak dapat melaksanakan seperti apa yang telah terjadi."

"Sudah tentu aku punya cara lain untuk menyelesaikan ?"

"Coba terangkan !"

"Pertama, serahkan seruling samber nyawa dan menghamba diri dibawah matian Kek-cu, hidupmu akan senang dan banyak mendapat kebaikan. Kedua, kalau tuan tidak ingin serahkan seruling samber nyawa itu kepadaku, bolehlah kau serahkan sendiri kepada Kek cu, tentu Kek cu tidak menyia-nyiakan kebaikanmu ini. Ketiga, tuan harus berkorban demi seruling samber nyawa itu, biarlah aku yang bawa pulang seruling sarnber nyawa ini, tentang jenazahmu kita akan mengurusnya dengan upacara besar. Keempat, kalau tuan mempunyai syarat apa silahkan sebutkan, pasti Kek cu tidak akan membuat tuan merasa kehilangan."

"Kalau satupun aku tidak mau pilih syarat tuan ini bagaimana ?"

"Tuan harus pilih satu diantaranya."

"Kalau tidak ?"

Tanpa bersuara lagi Hek-i Tongcu mundur tiga langkah, tangan kiri diayun keatas.

Sebuah benda bundar kecil meluncur dan meledak di udara membawa cahaya terang menyolok mata berbunyi nyaring kumandang ditengah malam nan gelap diatas alas pegunungan ini.

Baru saja cahaya ini meluncur setengah jalan, dari kejauhan sana lantas terdengar suara suitan saling bersahutan, sekejap saja suaranya sudah meluncur dekat.

Berkelebatlah beberapa bayangan abu-abu, tahu-tahu dipinggir gelanggang sudah bertambah sepuluh rasul jubah abu-abu, pakaian serta bentuk badan dan muka mereka sama, hanya kesepuluh rasul jubah abu-abu yang baru datang ini pinggangnya digubat sabuk hitam.

Begitu muncul lantas berpencar membentuk satu bundaran, dan Giok-liong dan Hek-i Tong-cu terkepung ditengah gelanggang, sekejappun tiada yang buka suara atau berani sembarangan bergerak.

Baru saja lingkaran pengepung ini bergerak rapi, tiba tiba tiga titik bayangan orang meluncur datang dari hutan semak belukar sana sambil bersuit nyaring menggetarkan sukma memekakkan telinga.

Begitu mendarat di sana sedikitpun kaki mereka tidak mengeluarkan suara atau menimbulkan debu mengepul.

Dengan tegak mereka berdiri bagaikan terpaku, mereka tak lain tak bukan adalah tiga orang Hek-i Tong-cu lagi, tepat sekali mereka berdiri berpencar diempat penjuru dalam lingkungan kepungan para rasul jubah abu-abu, jadi Giok-liong terkurung lapis dua.

Untuk selanjutnya masih terdengar suara lambai baju berseliweran, dari empat penjuru yang gelap sana mendadak bermunculan lagi tiga puluhan rasul jubah abu abu, dengan gerak cepat dan langkah ringan mereka membentuk suatu barisan, lalu berdiri tegak berdiam diri menanti komado.

Sekilas pandang lantas Giok-liong bercekat, dalam hati ia menimbang.

"Meski aku belum pernah belajar ilmu barisan, tapi formasi sesuatu barisan yang umum sudah sering kulihat malah mengetahui cara membobolnya. Tapi barisan yang mereka bentuk ini sungguh sangat aneh, seperti Su li-tin, tapi juga seperti Pat kwa-tin atau Ngo-heng-tin..."

Hek-i Tongcu yang terdahulu datang tadi melirik kearah Giok-liang lalu bertanya.

"Apakah tuan punya pegangan untuk menang melawan kekuatan gabungan kita berempat Hek-i Tong-cu ?"

Waktu ketiga Hek i Toog-cu yang ada datang tadi, Giokliong sudah melihat jelas cara gerak mereka adalah begitu cekatan dan tangkas sekali, paling tidak lebih unggul dari para tokoh kelas satu dari kalangan Kangouw umumnya.

Kalau benar-benar mereka bergabung mengeroyok dirinya, mungkin dalam dua puluh gebrakan saja dirinya takkan kuat bertahan.

"Maka menurut hematku lebih baik tuan memilih salah satu syarat yang ku ajukan tadi, kalau tidak bila benar benar bertempur bukan saja kalah malah teringkus lagi, buat nama dan muka nanti tentu tidak enak di dengar dan memalukan bukan?"

Hawa amarah seketika bergelak menerjang otak Giok-liong, Sekuatnya ia menahan napas dan mengendalikan diri, baru dapat mengekang sabar sekian lamanya, tapi bahwasanya otaknya bekerja cepat memikirkan cara bagaimana menghadapi atau mengatasi situasi yang gawat dan berbahaya ini.

Bila ia melulusi untuk menepati janji mengunjungi Hianbing- mo-kek itu berarti bahwa dirinya harus masuk mulut harimau, sampai pada saat itu apa yang dapat dilakukan dirinya tidak lain menjadi antek atau mengekor saja apa yang mereka perintahkan atas dirinya.

Namun seumpama menolak undangan ini, kalau kena digusur dan terbinasa inipun tidak menguntungkan bagi dirinya.

Sekonyong-konyong suara Li Fian berkumandang dipinggir telinganya.

"Buyung, dilihat dari situasi yang kau hadapi ini, terpaksa kau harus, melulusi permintaan mereka! Ketua mereka bukan seorang yang tidak mengenal aturan. Kalau kau mempunyai akal dan pintar memutar haluan, mungkin akibatnya baik dari pada keadaan sekarang bila kau melawan dengan kekerasan. Para Tong-cu ini rata-rata memliki kepandaian silat yang lihay dan banyak ragamnya, bukan tandingan sembarang tandingan."

Otak Giok liong berkeljat, sesuatu pikiran, katanya kepada Hek-i Tong-cu itu.

"Baik, Kuputuskan untuk menemui ketua kalian!"

"Yah, itulah baik sekali!"

"Tapi bukan sekarang?"

"Ini, lantas..."

"Sekarang aku punya urusan penting yang mendesak, kalau kalian percaya akan omonganku, apa bedanya kita bertemu lagi tiga bulan yang akan datang?"

Hek-i Tonf!-cu menjengek dingin.

"Hian-bing-mo-kek mana gampang ditipu orang ! Baik, tiga bulan yang akan datang kita nantikan kedatanganmu dipuncak ia hong-gay di gunung Bu lay san."

Habis berkata lantas ia berpaling menghadap ketiga Hek-i Tong-cu lainnya serta katanya.

"Terima kasih akan kedatangan para saudara."

Sembari mengulap tangan tubuhnya bergerak gesit sekali ia pimpin para rasul jubah abuabu terus menghilang dibalik hutan sebelah kiri yang gelap gulita, ditengah udara kupandang suitan panjang yang bergema lama mengalun tinggi.

Angin malam menghembus keras terasa dingin, sang putri malam sudah mulai doyong kearah barat, kegelapan yang pekat menjelang senja sudah mulai mendatang.

Seorang diri Giok-liong berdiri tegak dan termenung didepan gua dalam atas pegunungan yang sunyi ini, jubah putihnya melambai-lambai terhembus angin.

Dari dalam gua sana terdengar suara Li Hian berkata.

"Nak, marilah masuk mengobrol."

Giok liong mengiakan dengan suara lirih.

Pelan pelan ia masuk kedalam gua.

Diujung kiri dalam gua sana kini sudah duduk seorang tua yang berpakaian butut kasar dan rombeng, rambutnya sudah uban seluruhnya, air mukanya bersemu merah, jidat sebelah kiri kelihatan jelas sekali mengkilap bekas bacokan senjata tajam, orang tua ini bertubuh tinggi kekar.

Sambil melangkah masuk, mendadak Giok-liong merasa hatinya menjadi hampa dan kosong melompong.

Dengan pandangan berkilat orang tua ini menatap tajam kearah Giok-liong, wajahnya menampilkan rasa heran dan tidak percaya, Tapi begitu Giok-liong sudah melangkah dekat lantas ia bersikap biasa lagi, katanya.

"Nak, betulkah nama aslimu adalah Ma Giok-liong?"

"Betul, masa Cianpwe tidak percaya ?"

Li Hian menatapnya sekali, lalu katanya pula.

"Bukan begitu, mendadak Lohu teringat oleh suatu persoalan! Hm, apakah ayah bundamu masih hidup?"

Begitu membicarakan ayah bundanya lantas Giok-liong merasa berduka, kedua matanya menjadi merah dan hampir saja menangis, sahutnya lirih.

"Aku tidak tahu."

"Tidak tahu?"

"Ya, ayah sudah menghilang sejak aku masih kecil! sedang ibu mendapat celaka terbokong oleh musuh laknat, entah bagaimana mati hidupnya sekarang."

Tak tertahan lagi dua titik air mata mengalir membasahi pipinya. Selintas pandangan Li Hian mengunjuk rasa kejut dan tak mengerti, pelan-pelan ia menghela napas serta katanya.

"Nak, janganlah bersedih! Apakah kau tahu nama ibumu? Banyak kawan Lohu di kalangan Kang-ouw, mungkin aku bisa ikut menyirapi!"

Giok-Iiong sadar akan sikapnya yang kehilangan kontrol, cepat ia mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka air matanya, ka-tanya. sambil tertawa dibuat-buat.

"Membuat tertawaan Cian pwe saja!"

Lalu ia menyambung lagi.

"Dulu ibu sudah kenamaan dengan julukan Toh hu Siancu, tapi agaknya banyak orang Kangouw yarg tidak mengetahui akan hal ini."

Codet bekas luka di jidat Li Hian itu mendadak seperti melepuh besar merah membara sampai memancarkan sinar berkemilauan.

Terang bahwa hatinya juga ikut terharu dan terbawa arus perasaannya yang tak terkendali lago.

Rada lama kemudian baru ia dapat mengendalikan hatinya seperti biasa lagi, tanyanya.

"Nak, kapan ayahmu telah menghilang? Siapa pula namanya ?"

Giok-liong menggeleng, sahutnya.

"Wan-pwe kurang jelas." "Ai, sungguh kasihan ... ."

Agaknya Li Hian tenggelam dalam kenangan lama, kedua matanya rada dimeramkan lalu menunduk kepala tak bersuara lagi.

Sebetulnya Giok-liong bermaksud menceritakan apa yang pernah didengar dari cerita ibunya tentang didasar mata air rawa naga beracun di gunung Bu-i san ada peninggalan kata kata ayahmu."

Tapi setelah dipikir kembali kelihatan memang Li Hian sangat prihatin akan riwayat hidupnya ini, namun betapa juga mereka baru saja kenal, dunia persilatan penuh akal dan tipu muslihat kejam yang sering membawa bencana, serba serbi kejadian pernah terjadi maka ada lebih baik tutup mulut saja, karena disadari olehnya bahwa bencana kadang kadang datang dari mulut yang suka bicara.

Sekarang Li Hian angkat kepala lagi, sejenak ia menatap Giok-liong, matanya memancarkan cahaya aneh, tanyanya dengan pelahan.

"Nak, mereka memanggilmu Kim-pit-janhun?"

Giok liong mengiakan.

"Kenapa?"

"Sebab senjata yang Wanpwe gunakan adalah sebatang potlat mas."

"O, siapakah tokoh kosen gurumu itu?"

"Suhu bernama Pang Giok berjulukan To-ji!"

"Ha, beliau? Tak heran ilmu silatmu sedemikian hebat. Tapi ilmu kepandaiannya mungkin tidak banyak unggul dari kemampuan sekarang bukan?"

Giok liong tersenyum, katanya "Mana Waupwe bisa tahu betapa dalam dan tinggi kepandaian Suhu, yang terang kepandaian beliau sudah jauh sempurna.

Meskipun sejak berpisah dengas Suhu memang Wanpwe ada sedikit kemajuan, tapi mana berani dibanding dengan Suhu."

Li Hian menjadi geli, tanyanya lagi.

"Kuduga tentu kau menggembol suatu benda pusaka maka banyak kawanan manusia tamak di-Kangouw itu selalu membuntuti dan mengejar-ngejarmu, sehingga terpaksa kau terdesak dan membunuh orang, bukankah begitu?"

"Ya, benar."

Sahut Giok-liong manggut-manggut."

Wanpwe punya sebatang seruling samber nyawa benda pusaka inilah yang selalu menjadi incaran mereka, mereka selalu menggunakan kekerasan hendak merebut milikku ini, terpaksa Wanpwe harus turun tangan membunuh orang, apalagi kadang-kadang juga sangat dongkol dan susah bertahan lagi!"

"Oleh karena itu mereka lantas menjuluki kau Kim pit-jan hun!"

"Ya, begitulah!"

"Tahukah kau bahwa didalam seruling samber nyawa itu tersembunyi suatu rahasia besar persoalan dunia persilatan?"

"Harap Cian-pwe suka memberi petunjuk."

"Seruling samber nyawa adalah benda kuno yang sakti mandra guna, dari jaman kejaman menjadi tradisi peninggalan yang memilikinya, puluhan tokoh kosen yang pernah memegangnya sudah melebur bergantian dengan kekuatan mereka sehingga benda ini semakin hebat dapat menambah semangat dan kekuatan Lwekang orang yang menggunakannya, seribu tahun yang lalu seruling ini terjatuh ditangan sepasang suami istri suatu cikal bakal aliran persilatan yang kenamaan bernama Jan-hun cu, dengan suatu cara yang teristimewa, mereka menutup atau menyumbal daya sedot yang timbul dari seruling ini pada para pemakainya. Cara yang digunakan itu sudah dilebur kedalam seruling ini dijadikan sebuah lagu irama seruling yang hebat sekali."

Giok-liong menjadi heran dan tak mengerti, tanyanya.

"Seluruh batang bersih kemilau tiada tanda-tanda luar biasa, Wanpwe pernah memeriksa seruling ini dengan seksama, darimana bisa ditiupkan sebuah lagu irama seruling."

Li Hian mengelus-ngelus jenggot panjangnya yang memutih, katanya tertawa.

"Sudah tentu, karena beliau tidak mengukir not lagu itu diatas seruling itu."

"Lalu bagaimana bisa tahu cara bagaimana lagu itu harus ditiup dengan seruling?"

"Kalau Lwekangmu sendiri sudah mencapai tingkat yang sempurna tidak sembarang orang dapat mencapainya, lalu kau kerahkan Lwekang kedalam seruling itu, maka seruling itu akan melagukan beberapa irama seruling yang beraneka macam, ragam dari lagu itu itu tergantung dari kekuatan Lwekang orang yang memilikinya."

"Satu diantara irama lagu itu adalah curahan hasil semayam Jan-hun cu suami istri selama memperdalam ilmunya didalam gua semedinya itu, ada banyak peninggalan hasil jerih payahnya dalam memperdalam dan menyelidiki berbagai ilmu, umpamanya buku-buku ilmu pukulan, pedang serta buku perang serta ilmu pengobatan dan lain lain."

Giok-liong semakin tak mengerti tanyanya lagi.

"Kalau begitu banyak ragam lagu-lagu itu. Lalu dari mana bisa diketahui lagu manakah yang menyatakan petunjuk itu?"

"Rasa kecewa Jan huncu suami sitri selama hidup ini justru tidak memperoleh seorang murid yang baik. Sedang murid satu satunya malah mendirikan sebuah aliran tersendiri diluaran, bukan saja kejam dengan berbagai siksaan malah bersimaharaja puIa. Sudah tentu hal ini membuat mereka sangat sedih dan putus asa, waktu mereka mendengar kabar ini justru sedang saat-saat genting mereka menghadapi latihan ilmunya maka tiada tempo lagi untuk mengurusi murid murtad itu. Tapi mereka suami istri tahu, cepat atau lambat murid murid itu pasti akan menimbulkan bencana bagi dunia persilatan, maka didalam gua semadinya itu mereka meninggalkan hasil ciptaan jerih payah selama bertahun-tahun disana, lalu diatas seruling sambar nyawa itulah mereka meninggalkan kunci rahasia cara mendapatkan peninggalan mereka itu. Harapannya adalah dalam waktu yang tidak lama ini terdapat seorang berbakat dalam segala bidang dapat menerima peninggalannya itu menjadi murid resmi mereka.

"Sayang sekali selama seribu tahun ini, tiada seorangpun yang memperoleh seruling ini yang dapat atau mencocoki taraf yang telah ditentukan itu, juga tiada seorangpun yang dapat memasuki atau menemukan tempat gua semedinya itu. Maka jerih payah hasil ciptaan Jau-hun cu itu juga menjadi khayalan belaka."

Mendengar penjelasan yang panjang lebar ini Giok-liong jadi berpikir.

"Siapakah murid Jan-hun cu dulu itu ? Bukan mustahil adalah cikal bakal Hian-bing-mo-kek atau hutan kematian ?"

Dalam hati ia berpikir mulutnya lamas bertanya.

"siapakah murid Jan-hun cu dulu itu ? Apakata nama aliran yang telah didirikannya itu ?"

"Untuk persoalan ini aku sendiri juga kurang jelas,"

Sahut Li Hian.

"Apa yang tadi saya ceritakan kudengar dari penuturan majikanku dulu."

Terketuk hati Giok-liong! Li Hian masih punya majikan! Baru saja ia hendak bertanya siapakah majikan yang dimaksudkan itu, keburu Li Hian sudah membuka mulut lagi.

"Diluar gua sudah terang tanah, tak lama lagi Lohu harus meninggalkan tempat ini. Mungkin tidak lama lagi kita bakal berjumpa pula di kalangan Kangouw, tatkala itu kita bisa duduk mengobrol panjang lebar lagi memperbincangkan situasi dunia persilatan masa ini ! Waktu itu kalau kau banyak persoalan yang menimpa dinmu, sekuat tenaga Lohu akan membantumu . ."

Belum habis ia bicara, mendadak dari kejauhan sama kumandang gelak tawa yang menggila, suaranya seperti orang kegirangan dan mencak-mencak karena putus lotre, cepat sekali gema gelak tawa itu meluncur datang kearah gua ini.

Lantas terdengarlah sebuah suara serak seperti gembreng pecah berkata diluar gua sana.

"Li Hian bocah kurcaci, tidak lekas keluar kau, Apakah belum cukup derita yang kau terima ini ?"

Giok liong menjadi terperanjat, disangkanya musuh besar Li Hian siapa yang telah tiba lagi, atau anak murid dari Hian bing-mo-kek telah balik kembali. Kalau Giok-liong merasa khawatir sebaliknya Li Hian mandah tersenyum girang, serunya.

"Kunyuk kalian, tungguh menyenangkan punya teman-teman seperti kalian ! Lima puluh tahun sudah kalian masih ingat untuk datang kemari !"

Lalu ia mendongak dan terawa terbahak bahak juga, begitu keras gema tawanya itu sampai kuping Giok-liong mendengung. Kini keaaaan diluar gua sudah terang benderang. Gelak tawa yang ramai tadi berkumandang lagi, terdengar seseorang berkata.

"Bocah keparat Li Hian, agaknya kau tidak pandang sebelah mata pada kawan lama lagi, berani berkata omongan yang tidak enak didengar begitu ayo merangkak keluar, marilah kita bertemu dan bercengkerama akan kulihat macam apa lagi tampangmu yang bagus dulu."

Li Hian berkata kepada Giok-liong.

"Mari kita keluar melihat-lihat ! Hahahaha, lima puluh tahun sudah akhirnya aku bebas kembali,"

Sekali berkelebat ringan sekali tubuhnya melayang keluar gua secepat anak panah.

Giok-liong juga tidak mau ketinggalan ikut melesat keluar gua, Kelihatan diluar gua sana berjajar berdiri tiga orang mengenakan juban putih panjang, dengan rambut kepala ubanan semua, tapi air muka mereka beraneka ragam, berbeda-beda tapi bertubuh tinggi kekar.

Yang berdiri di sebelah kiri bermuka hitam kehijau-hijauan hidungnya bengkok, bermata juling seperti mata garuda sikapnya garang.

Di tengah yang terapit bertubuh tinggi besar hampir setombak lebih, kulit mukanya bersemu merah ungu, jenggot panjang terurai di depan dadanya, matanya besar berkilat sangat galak sekali.

Orang yang berdiri paling kanan lain pula rupanya penuh codet seperti bekas kena penyakit kudis, matanya bundar bermulut lebar besar berjambang bauk lebat, ia berdiri sambil bertolak pinggang sangat gagah dan angker.

Begitu sampai diluar segera Li Hian membungkuk memberi soja kepada mereka sambil berseru.

"Haya, Toako bertiga datang berkunjung bersama, sungguh menyiksa adikmu saja."

Si orang tua yang berdiri ditengah bertubuh kekar besar itu, begitu Li Han melangkah dekat lantas pentang kedua lengannya yang besar kuat memeluk Li Hian dengan kencang, sepasang matanya yang berkilat itu berlinang airmata, suaranya keras dan tertawa aneh.

"Losu beberapa puluh tahun ini, sungguh kau menderita ..."

Dua orang dikanan kiri itu juga merubung datang ikut berpelukan berempat mereka saling bertangisan, melampiaskan rasa rindu sekian lama ini sampai suara tangis yang menggerung-gerung ini bergema didalam alas pegunungan.

Giok-liong berdiri disamping, melihat adegan yang mengharukan ini, hatinya terasa kecut, batinnya.

"Ketiga orang ini kepandaian silatnya pasti sangat hebat tak dibawah Li Hian sendiri, sungguh merasa heran . , . tengah ia berpikir, mereka berempat sudah menghentikan tangisnya. Li Hian memutar tubuh, wajahnya berseri girang, tapi air mata masih meleleh saking kegirangan, katanya kepada Giokliong.

"Harap maaf karena kita sudah lama sekali tidak pernah bertemu .., mari, biar Lohu perkenalkan kepada ketiga Toakoku ini."

Lalu berpaling berkata kepada mereka bertiga.

"Toako, Jiko dan samko, mari kukenalkan seorang sahabat muda Ma Giok liong yang berjuluk Kim pit-jan hun!"

Serentak mereka tertegun memandang kearah Giok-liong.

Giok-liong merasa tiga pasang mata mereka laksana kilat menatap kearah wajahnya sehingga hatinya menjadi bercekat, namun lahirnya tetap tenang malah unjuk senyum wajar, serunya sambil unjuk hormat.

"Wanpwe Ma Giok-liong, selamat bertemu para Cian-pwe!"

Lalu satu persatu Li Hian perkenalkan mereka bertiga.

"Si tinggi besar ditengah itu bernama julukan Kiug-thian-sin La Say sebagai Toako, yang sebelah kiri adalah Wi-thian-ing KLo Biauw sebagai Jiko dan yang terakhir adalah Ka-long Ci Hong. Waktu satu persatu mereka membalas hormat Giok-liong, didapati olehnya sorot pasangan mereka memancarkan sinar aneh yang sulit diselami. Giok-liong tidak tahu apakah sebabnya, Tatkala ini tiada waktu untuk memperhatikan hal ini, maka persoalan ini juga lantas berlalu begitu saja, setelah basa basi sekadarnya lantas King-thiao-sin (malaikat penunggak gunung) Lu Say merangkap tangan didapati dada serta katanya sungguh.

"Losiu berempat sungguh sangat beruntung dapat berkenalan dengan Siau-hiap, sayang sekali waktu memburu kita harus segera kembali Ping goan di laut utara sana, terpaksa tidak banyak waktu untuk saling bercengkrama dengan siauhiap ! Besar harapan kami beberapa waktu lagi kita bisa bertemu dan berkunjung lagi dikalangan Kangouw !"

"ergerak hati Giok-Iiong, ada niatnya hendak menjelaskan tentang keonaran yang bakal menimpa kaum persilatan, diminta mereka suka memberikan bantuannya, namun setelah dipikirkan lebih lanjuf, rasanya rada janggal dan rikuh, P&Fog tidak mereka bakal kembali ke Tiong-goan lagi, tatkala mana pasti pada saatnya mereka bisa bertemu dan ngobrol. Maka segera ia unjuk soja, serunya.

"sungguh besar rejeki Wanpwe dapat berkenalan dengan para Cianpwe yang oiutai. Besar harapan Waupwe kelak dalam waktu yang tidak lama bertemu lagi, masih ada sesuatu hal yang Wanpwe akan minta bantuan dari para Cian-pwe."

King thian-sin berempat berbareng berkata.

"Kelak kalau kita kembali lagi ke Tiong goan, bila Siau-hiap benar-benar memerlukan bantuan kita, menerjang gunung bergolok atau lautan api juga pasti kita lakukan tanpa pamrih."

Habis berkata berbareng bayangan mereka berkelebat membawa kesiur angin yang ringan sekali tahu-tahu bayangan mereka sudah menghilang didalam hutan lebat di depan sana.

Hati Giok liong serasa kosong hampa, tapi rada terhibur dan bersyukur pula.

Menurut katanya tadi King-thian-sin Lo Say buru-buru hendak kembali ke Ping goan dilaut utara, terang bahwa pangkalan mereka pasti disana.

Apakah mereka ada hubungan dengan Hwi thian-khek Ma Huan dari laut utara itu ? Kalau dugaan ini benar maka-hari-hari selanjutnya banyak sekali pertolongan yang harus dinyatakan kepada mereka.

Sesaat Giok-liong berdiam diri, matahari sudah terbit semakin tinggi menerangi jagat raya ini, dalam hati ia tengah menerawang tindakan selanjutnya yang harus dilaksanakan.

Teringat tugas berat yang di-pikulnya, tanpa merasa ia menghela napas panjang.

Menjejakkan kaki, badan seringan asap lantas meluncur dengan pesat sekali sambil mengembangkan Leng-hun-toh ia berlari-lari kencang menuju ke timur laut.

Giok-liong sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk mengembangkan ilmu ringan tubuh leng hun-toh ini, maka badannya seperti berubah segulung jalur putih melesat kencang dan meluncur gesit selulup timbul di hutan lebat dan semak belukar.

Tapi hati Giok-liong sedang gundah dan memutar otak berpikir, sejak meninggalkan hutan kematian hampir satu bulan sudah.

Menurut pesan Wi hian ciang Liong Bun diharuskan dalam jangka waktu setengah tahun dirinya harus sudah dapat menemukan gurunya, menyatukan Ih lwe-su-cun bersama seluruh kaum gagah persilatan untuk melawan kekuatan terpendam dari Hutan Kematian.

Satu persoalan belum lagi dapat diatasi bersama pula, telah muncul golongan Hiat-ing-bun di Kangouw, Selama hampir satu bulan ini apa yang telah dialami sungguh sangat banyak dan ruwet sekali.

Istana beracun sudah ietaBS-tv".ausaii muncul kembali dengan taasNj terornya yang ganas meruntuh totalkan pihak Go bi-pan.

Serta Hian-bing-mo-kek yang serba misterius ini, ini cukup mengejutkan dan menguatirkan sekali.

Kalau dihitung secara total, kecuali Hiat-hong dan Kim-i dua organisasi jahat yang malang melintang di Kangouw tak terhitung didalamnya.

Hutan kematian, istana beracun, Hiat - ing - bun, Hian-bing-mo-kek serta aliran Ctrm merupakan lima golongan dan aliran yang hebat dan berkekuatan besar pula.

Kelima aliran jahat ini masing-masing tentu mempunyai kaki tangannya yang hebat dan lihay dengan berbagai ajaran silatnya yang tersendiri dan aneh.

Satu saja dari kelima golongan ganas ini cukup untuk menyapu dan memberantas golongan lurus kaum persilatan.

Jikalau delapan besar aliran silat lurus serta para orang gagah dan satria jantan tidak bisa bersatu padu, bekerja sama untuk membendung bencana yang bakal timbul ini, maka dunia persilatan didataran tengah ini sulitlah untuk angkat kepala atau hidup aman dan sentosa."

Karena pikirannya ini, seketika Giok-liong terbayang adegan pembunuhan total dipuncak Go bi-san tempo hari, tanpa merasa ia menjadi merinding dan ngeri, diam-diam ia ambil ketetapan dalam benaknya.

"Istana beracun sudah mulai mengulurkan cakar jahatnya, aku harus segera menuju ke Butong- san untuk mencegah terulangnya kejadian bencana darah."

Ya, memang letak Bu-tong adalah yang paling dekat dengan Go bi-san.

Maka dapatlah dipastikan sasaran kedua akan teror yang bakal dilaksanakan oleh pihak istana beracun pasti adalah Bu-tong pay! Maka tanpa ayal lagi kakinya semakin cepat bergerak terus melesat dengan kencang, membelok arah menuju ketimur laut.

Sehari-harian ia berlari kencang tanpa merasa sampai hari telah menjelang magrib Lwekang latihan Giok-liong boleh dikata sudah mencapai puncak kesempurnaannya, meskipun hari sudah mulai gelap matanya masih dapat melihat tegas dan jelas, pada saat mana ia sudah mulai memasuki daerah pegunungan Bu-san pada puncak kedua belas.

Suara burung gagak ramai dan ribut kembali kcdalam sarangnya, matahari memancarkan sinar kuningnya sebelum sembunyi kedalam peraduannya, setelah menembus sebuah hutan lebat Giok-liong tiba disebuah dataran rumput yang luas dan menghilang jelas terlihat didepan sana terbentang sebuah aliran sungai kecil, dengan aliran airnya yang bening gemericik, sungguh indah pemandangan panorama menjelang malam ini.

Setelah menempuh perjalanan jauh selama satu hari Giokliong merasa letih juga, sampai dipinggir sungai ia duduk serta menggayung air, dengan telapak tangannya untuk membasuh mukanya yang kotor penuh debu, seluruh badan seketika serasa nyaman dan silir sehingga semangatnya pulih kembali bergegas ia berdiri dan menggeliat dan memandang kesekitarnya.

Dilihatnya setelah melampaui padang rumput ini didepan sana terdapat sebuah hutan lebat pula, di belakang hutan ini adalah sebuah puncak gunung yang menembus awan sambung menyambung memanjang tak kelihatan ujung pangkalnya.

Menurut perhitungannya dengan kecepatan larinya ini, mungkin tengah malam nanti ia sudah dapat tiba di Sam-cingkoan di Bu-tong-san.

Begitulah setelah beristirahat sekedarnya, ia bergerak lagi dengan pesat berlari kencang didataran padang rumput ini terus menyelinap memasuki hutan lebat langsung menuju kearah letak Bu-tong-san.

Tidak lama setelah Giok liong melewati hutan lebat ini, dipinggir sungai sana terdengar kesiur angin dari lambaian pakaian orang, ternyata disana sini sudah berdiri jajar empat Hwesio pertengahan umur yang mengenakan jubah abu-abu disebe!ah samping lagi berdiri dua orang Tosu yang bersikap agung dan suci.

Salah seorang Hwesio yang terdepan menjengek kasar "Hm, betul juga dugaan ketua kita, kiranya tidak sia-sia kita menunggunya didalam hutan ini! iblis laknat ini terang sedang menuju ke Bu-tong-san."

Lalu ia ayunkan tangan menyambitkan selarik sinar putih perak berbunyi nyaring menembus angkasa, dibawah pancaran sinar matahari kuning sungguh sangat menyolok dan terang sekali.

Salah satu dari kedua Tosu yang berdiri disamping itu mengekeh dingin, katanya.

"Bocah keparat itu sekali ini pasti takkan dapat lolos, Hehehe, disorga ada jalan dia tak wau pergi, neraka tertutup sebaliknya ia datang menerjang, Butong- san agaknya bakal menjadi tempat kuburnya!"

Seorang Tosu yang lain mengerutkan alis, ujarnya.

"Aneh benar kulihat Ma Giok liong ini bukan ini bukan seorang tokoh kejam yang bertangan gapah dan berhati kejam. Kenapa lengannya itu berlepotan darah..."

Segera seorang Hwesio menyelak bicara.

"To heng menilai seseorang jangan dari raut mukanya, demikian juga mengukur dalamnya laut jangan dari permukaan airnya "Apa kau bisa menduga kalau bocah keparat itu memiliki kepandaian silat yang sehebat itu? Kalau hari ini tidak melihatnya sendiri sungguh aku tak percaya."

"Hahahaha, apapun yang bakal terjadi terang tindak tanduknya sudah masuk kedalam perhitungan kita! Mari jangan berayal, kita kuntit dirinya!"

Mereka saling pandang sambil tersenyum puas terus berloncatan dan berlari enteng seperti awan mengembang dan air mengalir langsung menembus kedalam hutan.

Baru saja bayangan mereka lenyap, dari atas pohon besar yang terdekat dipinggir sungai itu tiba tiba terdengar jengekan tertawa dingin orang, sedikit daun bergerak lantas berkelebatan bayangan scsok abu-abu melambung tinggi terus terbang pesat menyelinap kedalam hutan lebat di depan sana.

Suasana di padang rumput kembali menjadi sunyi, namun kadang kadang terdengar kesiur anngin dari lambaian baju orang yang tengah berlari kencang.

Tiba tiba berkelebat dua sosok langsing semampai, tahutahu dipinggir sungai itu telah berdiri dua gadis ayu jelita yang mengenakan mantel kuning serta baju putih.

Gadis sebelah kiri agaknya lebih tua dan matang dalam pengalaman, alisnya berkerut dalam, ujarnya lirih.

"Si moay, Kaucu menduga dia pasti lewat daerah sini, kiranya tepat sekali ! Tapi situasi sekarang semakin gawat, bagaimana kita harus cepat bekerja supaya berita ini dapat segera sampai pada Kaucu?"

Adik keempat disebelah kiri itu berseri tawa, biji matanya yang bundar hitam mengerling lalu sahutnya.

"Begini saja Samci, pergilah kau melapor kepada Kaucu, biar adikmu membuntuti dia!"

"Begitu juga baik, segera aku pulang meIapor!"

"Ingat, kau harus lekas pergi cepat kembali, urusan kali ini bukan persoalan sepele."

"Baiklah kita jumpa lagi nanti!"

Serentak mereka bergerak berpencar kedua jurusan sebentar saja bayangan mereka sudah berkelebat menghilang.

Keadaan pinggir sungai kembali hening lelap.

Sekarang marilah kita ikut perjalanan Giok-liong bagai angin lalu seperti burung terbang saja ia menembus hutan yang lebat ini, jurang dilompati lembah diselusuri seenak berlari di dataran lapang, begitulah menyelusuri pegunungan Bu-san ia terus menuju ke utara menempuh ke arah Bu-tongpay.

Kepandaian silatnya boleh dikata sudah dibekali Lwekang ratusan tahun lamanya, maka begitu ia mengembangkan ilmu ringan tubuhnya sekuat tenaga maka perbawanya sungguh sangat hebat.

Tepat tengah malam, sang putri malam memancarkan sinarnya yang cemerlang menerangi jagat raya, dari kejauhan Bu-tong sudah kelihatan seperti raksasa yang tengah berjongkok di bumi yang luas diliputi kegelapan.

Sepanjang jalan ini didapati oleh Giok-liong sudah beberapa kelompok kaum persilatan yang kosen dan lihay tengah menguntit dan mengawasi gerak geriknya.

Tapi dia tidak ambil peduli.

Sebab dia tahu, bahwa dirinya sudah menjadi tokoh yang menggemparkan dunia persilatan.

Maka dalam situasi yang genting dan banyak tokoh-tokoh silat yang mengasingkan diri saling bermunculan ini, tidaklah mengherankan kalau dirinya semakin menarik perhatian dan pengejaran mereka.

Tatkala ia sudah melampaui Bu san dan mulai menginjak daerah Bu-tong-san dengan pegunungan yang lebat memanjang itu.

Mendadak ia melihat dilamping gunung dikejauhan sana ada dua puluhan bayangan orang tengah melayang dan berkelebat menghilang.

Betapa tajam pandangan Giok-liong sekarang, sekilas pandang saja sudah cukup mengejutkan hatinya.

Karena kedua puluh bayangan manusia itu masing masing kepalanya berambut-panjang dan terurai melambai.

Dilihat gelagatnya naga naganya pihak Hian-bing-mo-kek juga sudah ikut bergerak didaerah pegunungan Bu tong-san ini.

Untuk apakah kedatangan mereka? Apakah mereka sudah akan mulai dengan pergerakan? Begitulah sambil berpikir ia meogempos semangat dan mengerahkan tenaga, kini badannya melenting semakin pesat menuju kepuncak Bu-tong-san.

Belum lama ia menempuh perjalanan, tiba-tiba terdengar kumandang tembang mantra dari belakang sebuah batu besar di pinggir jalan.

segera Giok liong menyilangkan kaki badannya terus berhenti bergerak dan berdiri tegak diatas tanah.

Dari belakang batu cadas besar berjalan keluar sebarisan pendeta gundul mengenakan seragam ungu.

Seorang yang memimpin didepan alisnya tampak gombyok memutih menjulai turun, air mukanya bersemu merah seperti muka bayi, sepasang matanya sedikit dipejamkan gerak geriknya sangat lamban dan agung sebagai pembawaan seorang suci.

Yang mengekor di belakangnya terdiri dua baris, kanan kiri masing-masing enam orang, semuanya berjumlah dua belas, rata rata sudah mencapai pertengahan umur, dengan pandangan mata berkilat tajam.

Sekali pandang saja lantas dapatlah diketahui bahwa kedua belas pendeta ini memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi.

Iringan para pendeta ini maju terus sampai didepan Giok liong sejauh lima tombak baru menghentikan langkahnya.

Pendeta pemimpin yang lebih tua itu masih beranjak maju dengan langkah lamban dan kalem sampai empat tindak di hadapan Giok-hong baru berhenti.

Sepasang matanya yang merem melek itu dengan seksama tengah mengamati Giok liong.

Melihat sikap pendeta tua yaag agung serta penuh hidmat ini, tahu Giok-liong bahwa orang dihadapannya ini pasti tokoh bukan sembarangan tokoh, sedikit soja ia berseru lantang.

"Toasuhu merintang jslan, entah ada petunjuk apakah?"

Pendeta tua angkat sebelah tangannya di-depan dada sambil bersabda Budha, lalu ia bertanya dengan suara rendah.

"Apakah Siau-si-cu ini adalah Kim-pit-jan hun Ma Giok liong yang baru-baru ini menggemparkan Bu lim?"

Alis Giok liong rada berjengkit, sahutnya sambil merangkap tangan.

"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong adanya, Harap tanya siapakah nama julukan Taysu ini serta dari aliran atau seaiaysjaa dikuil yang mana ?"

Sebentar sepasang mata pendeta tua memancarkan kilat tajam lantas menghilang, sahutnya tertekan.

"Loceng Hiankhong, Hong-tiang, Siau lim-si beserta dua belas muridku, sudah lama kita menunggu kedatangan tuan disini."

Terkejut Giok-liong dibuatnya, pikirnya.

"sungguh tak nyana Hong tiang Siao-lim-si Hian-khong Taysu pimpin para muridnya ikut campur dalam urusan ini. Apa mungkin kedatangan mereka disini melulu hendak menghadapi aku ?"

Ternyata ketua Siau-lim-si Hian-khong Taysu ini sudah puluhan tahun lamanya mengasingkan diri, sekian tahun lamanya tidak ikut campur mengurus perkara duniawi, Begitu hebat kepandaiannya menurut kabarnya sudah sempurna betul, tapi selama ini belum pernah dengar ada orang pernah menjajal ilmu silatnya itu.

Otaknya berpikir, namun lahirnya Giok liong tetap berlaku tenang, sikapnya ini sungguh sulit untuk dijajaki, katanya sambil tersenyum.

"O ini ... aku yang rendah sungguh tidak berani terima sampai sampai ketua Siaulim-si serta para Taysu menunggu aku disini, Hian-khong Lo cianpwe apakah ada urusan harap suka memberi petunjuk!"

Sekali lagi Hian-khong bersabda Budha, baru berkata lirih.

"Kedatangan pendeta tua ini tak lain bukan hanya untuk menolong bencana pembunuhan yang berkenaan di Bu-lim."

"Oh."

Ujar Giok-Hong.

"Menghindarkan bencana pembunuhan besar yang berkancah di Bulim ini, adakah sangkut pautnya dengan diriku ?"

"Kulihat Siau-si cu bermuka cakap bersinar terang, kalau dugaan Loceng tidak salah pasti kepandaian silatmu tidak sudah dibawah gurumu Pang cian-pwe bukan ?"

Giok liong unjuk senyum lagi, ujarnya.

"Cian-pwe terlalu memuji, aku yang rendah sungguh tak berani menerima pujian ini."

"Kalau Siausicu mempunyai dendam sakit hati dengan delapan aliran besar lurus Loceng ingin benar mendengar penjelasan serta seluk beluknya. Mungkin aku bisa jadi penengah untuk melerai pertikaian, demi Siau-sicu sendiri juga bagi kaum persilatan umumnya."

Mendadak Giok-liong mendongak bergelak tertawa, nada gelak tawanya kumandang meninggi seperti gerungan naga dan aum singa, bergema lama dan menembus ketengah awan.

Setelah menghentikan tawanya, mendadak ia berseru lantang "Para kawan sudah jauh berdatangan kemari, sungguh aku yang rendah merasa sangat beruntung mendapat kehormatan begini besar.

Mengapa bermain sembunyi kepala mengerutkan ekor seperti bangsa panca longok ?"

Kelihatan Hian-khong Taysu sedikit mengerutkan alis, hatinya membatin.

"Baru saja aku mendengar kesiur angin. Dia lantas bisa mengetahui ...

"

Benar juga dari belakang batu besar sebelah samping sana lantas kumandang tawa terkekeh yang menusuk telinga, beruntun melompat keluar tiga orang enam puluhan tahun, rambut dan jenggot mereka sudah beruban semua.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar