Jilid 08
Dan lagi murid Pat-ci-kay-ong yaitu iblis rudin Siok Kuitiang, istri tersayang Coh Ki-sia masih berada di Hwi-hun-sancheng yang tengah menunggu dirinya puIang.
Kasih sayang dan perhatian Ci-bu-giok-li terhadap dirinya, Gerak gerik misterius pemuda baju kuning Tan Hak-siau, serta uluran tangan membantu kesukaran yang tengah di hadapi itu, semua peristiwa ini laksana gambar bioskop bergantian terbayang didalam benaknya.
Dalam jangka setengah tahun ini ia harus dapat menemukan gurunya, untuk berusaha menghadapi gerakan besar-besaran yang mungkin dikerahkan oleh hutan kematian.
Sungguh besar tanggung jawab yang dipikulnya ini ! Selain sakit hati keluarga dan tugas berat perguruan, sekarang secara tidak langsung dirinya sudah menjadi kurir sebagai penyambung berita akan bahaya kehidupan kaum persilatan khususnya.
Tapi sekarang dirinya sudah terjatuh di cengkeraman Kobok- im-hun, jalan darah tertutuk tak mampu bergerak, Sudah tentu Kim-pit dan Jan-hun-ti peninggalan gurunya itu sudah terampas oleh musuh, kalau dirinya tidak hati-hati dan sabar menghadapi situasi mungkin jiwanya sendiri juga bisa melayang.
Karena pikirannya ini, hatinya menjadi rawan dan masgul, tanpa merasa dua titik air mata mengalir keluar.
Sinar sang putri malam yang cemerlang menyorot masuk melalui celah-celah genteng yang pecah, menambah keadaan dan suasana dalam rumah bobrok ini menjadi sunyi seram.
Karena tidak dapat bergerak, pandangan mata Giok-liong hanya tertuju keatas, kebetulan di ujung atap sana ada lobang cukup besar untuk dapat memandang keluar, terlihat bintang kelap kelip diatas cakrawala nan biru kelam.
Air mata semakin membanjir keluar menggenangi kelopak matanya sehingga pandangan menjadi buram.
Giok-Iiong berusaha mengerahkan hawa murni untuk menjebol jalan darah yang tertutup, tapi usahanya ternyata sia-sia ! Baru sekarang didapatinya bahwa jalan darah yang tertutuk di dalam tubuhnya bukan satu dua tempat saja, Maka tidak mungkin lagi ia dapat menghimpun hawa murninya yang terpencar untuk menerjang jalan darah yang buntu.
Sungguh dia tidak tahu cara bagaimana ia harus berbuat.
Tengah pikirannya tenggelam dalam kehampaan, kedua gadis remaja yang duduk bersila itu sudah siuman.
Gadis disebelah kanan beraut muka rada lonjong pelan-pelan berdiri lemah gemulai, katanya kepada gadis disebelah kiri.
"Chiu-ki cici, apa Siocia ada memberitahu kapan beliau bakal kembali ?"
Gadis sebelah kiri itu juga bangun berdiri, sahutnya tersenyum manis.
"Ha-lian-cici tidak lama lagi pasti siocia bakal tiba."
"Siocia ini memang, kemanakah ia pergi, Sudah sekian lama belum pulang, sekarang sudah menjelang malam."
"Katanya Siocia pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli makan." "Ya, Allah. Berapa lama dari sini ke kota! Mengapa mendadak timbul keinginan Siocia hendak membeli makanan apa segala? Biasanya kalau melakukan perjalanan diatas belukar, selamanya belum pernah beliau membeli makanan tetek bengek."
Tanpa tedeng aling-aling mereka memperbincangkan sang majikan, tak tahunya ini Giok-liong sudah sadar sejak tadi.
Mendengar pembicaraan kedua gadis remaja ini, hati Giokliong menjadi heran.
Terang gamblang bahwa dirinya sudah terjatuh ditangan Ko bok-im-hun, lalu dari mana pula muncul seorang "Siocia"
Pula? Apakah Ci-hu-giok-li telah menolong dirinya? Tidak mungkin, Kalau benar Ci-hu giok-Ii, mengapa dia tidak membebaskan tutukan jalan darahnya? Tengah ia berpikir-pikir ini, tidak jauh dipinggir tubuhnya sana mendadak terdengar suara cekikikan merdu, serta suara berkatai "Ha lian, Chiu-ki, jangan sembarang ngomong ya, awas nanti kupotong kedua kaki kalian."
Ha-lian dan Chiu-ki saling berpandangan dan membuat muka setan sambil berjingkrak bangun, serunya.
"Siocia kau sudah datang!"
Bau arak dan daging panggang lantas terendus ke dalam hidung Giok-liong, sayang ia tidak mampu bergerak, kalau tidak tentu ia sudah berpaling kearata sana untuk melihat sebentar orang macam apakah siocia yang dibicarakan tadi sekarang dia hanya dapat memastikan sedikit, yaitu suara Siocia ini adalah sangat asing bagi pendengarannya.
Meskipun masih asing tapi enak didengar, seolah-olah bunyi kelintingan perak yang dapat menggetarkan sanubari pendengarannya.
Bau arak dan daging panggang yang harum semerbak membuat perutnya terasa keroncongan berbunyi kerutukan.
Suara merdu yang nyaring itu lantas berkata lagi.
"Ha-lian, orang she Ma itu sudah kelaparan, pergilah kau bebaskan jalan darahnya supaya dia makan sekedarnya."
Ha-lian mengiakan, lalu katanya.
"Orang ini memang cukup kasihan, ya, Siocia!"
Suaranya yang terakhir diulur panjang seakan-akan memang sengaja hendak bergurau dan menggoda.
"Hus, Ha lian, kau ini dengar perkataan ku tidak?"
Saat itulah Chiu-ki lantas menyela.
"Sio-cia, badan orang ini menderita luka-luka yang tidak ringan, apalagi jalan darahnya sudah tertutuk sehari semalam, mungkin rada... menurut hemat hamba, terlebih dulu harus dijejali obat kuat dulu."
"Hm ... terserahlah kepadamu."
Baru saja perkataan ini lenyap, terlihatlah sebuah tangan putih halus pelan-pelan diulurkan kedepan ointanya, jari-jari runcing bagai duri harus itu menjepit sebutir pil warna merah yang mengkilap terus dijejalkan kedalam mulutnya.
Segulung bau wangi yang menyegarkan badan dan semangat terus menerjang kedalam otaknya, sehingga badan yang tadi terasa pegal linu serta pikiran pepatnya seketika segar kembali, Pil itu begitu masuk kedalam mulut lantas lumer menjadi cairan tertelan masuk kedalam perut terus menembus ke pusarnya.
Dan bertepatan dengan itu tubuhnya terasa tergetar bergantian, nyata tutukan jalan darahnya telah dibebaskan.
Cepat-cepat ia kerahkan hawa murni menuntun khasiat obat berputar diseluruh badannya.
Tak lama kemudian terasa tenaga dalamnya penuh sesak, hawa murni bergulung-gulung seperti hendak melonjak keluar.
Nyata bahwa luka lukanya sudah sembuh seluruhnya.
Bergegas segera ia melompat bangun sam bil memandang celingukan Tampak terpaut setombak disebelan sana ada sebuah meja sembahyang yang sudah dibersihkan kedua sisi meja diduduki Ha-lian dan Chiu-ki sedang yang duduk ditengah adalah seorang gadis jelita yang mengenakan pakaian warna merah muda, Rambutnya panjang semampai laksana sutra halus berkilau gelap terjulur diatas pundaknya, alisnya lentik bagai bulan sabit, dengan bibir merah laksana delirna merekah, kulitnya putih halus laksana batu giok.
Melihat Giok liong sudah berdiri segera ia unjuk senyum manis, terlihatlah dekik menggiurkan di kedua pipinya, katanya nyaring.
"Ma-siau hiap, kau tidak kurang suatu apa bukan ?"
Tersipu-sipu Giok liong soja sembari katanya.
"Banyak terima kasih akan budi pertolongan nona ini, aku yang rendah takkan melupakan selamanya."
Dalam hati ia beranggapan bahwa dirinya telah tertolong dari cengkeraman Ko bok-imhun oleh ketiga majikan dan pelayan. Gadis jelita itu tersenyum simpul.
"Ah mengikat diriku saja, Ma-siau-hiap pasti sudah lama tidak makan bukan, mari silakan tangsel sekedarnya."
Giok-liong soji lebih dalam lagi, tanyanya.
"Harap tanya siapakah nama nona yang harum ?"
"Aku bernama Liong Soat-yan ....."
Lalu ia berdiri menunjuk kedua pelayannya di kanan kiri lalu sambungnya lagi ini Ha-lian dan ini Chiu-ki "
Giok-liong maju pelan-pelan menghampiri meja Ling Soatyan segera mengulurkan tangannya menyilakan Giok-liong duduk di-hadapannya.
Diatas meja penuh dihidangkan makanan-makanan lezat, ada sayur mayur dan ayam panggang serta arak dan lain-lain.
Setelah sekedarnya sapa sapi bermain sungkan-sungkan, mulailah mereka gegares bersama, Tapi terasa suasana rada janggal dan kikuk.
sedang Ha lian dan Chiu-ki saban-saban tertawa cekikikan sambil pelerak-pelerok.
Setelah menenggak secangkir arak, Ling Soat-yan berkata kepada Giok-liong sambil unjuk senyum manis.
"Konon kabarnya Ma-siau-hiap adalah murid penutup dari majikan Kim pit dan Jan-hun-ti !"
Bercekat hati Giok-liong, baru sekarang teringat potlot mas dan seruling samber nyawa itu olehnya, Entah apa masih digembol dalam badannya tidak, kalau sudah bilang entahlah harus bagaimana ! Namun sekarang tengah duduk makan minum berhadapan dengan nona Ling, kalau merogoh menggagapi kantong rasanya kurang hormat.
Sebaliknya pertanyaan yang diajukan sekarang ini, haruslah ia menjawab secara jujur atau perlu mengapusi saja ? Tapi setelah dipikir dipikir kembali, apa pula halangannya berkata terus terang ...
Ling Soat yan tertawa geli, ujarnya.
"Apakah Ma-siau-hiap ada kesukaran untuk menerangkan?"
Cepat Giok-liong unjuk tawa dibuat-buat, katanya.
"Ah, bukan, bukan begitu, potlot mas dan seruling samber nyawa itu memang pemberian guruku."
Raut muka Ling Soat-yan mengunjuk sedikit perubahan, tapi hanya sekejap saja lantas terlindung oleh senyum manisnya yang memikat hati, ujarnya nyaring.
"Kudengar katanya pertempuran semalam yang sengit itu adalah untuk memperebutkan seruling samber nyawa itu ?"
Giok-liong manggut-manggut.
"semalam Kim-i pang, Hiathong pang, Pek - hun - to dan Ko bok im-hun serentak turun tangan, situasi waktu itu sungguh sangat berbahaya. Mendadak Ling Soat-yan berseru heran, raut mukanya yang jelita itu mengunjuk rasa heran dan aneh, katanya.
"Lalu mengapa Ma-siau hiap semalam bisa berada didalam kuil bobrok ini, dengan tertutuk jalan darahnya ?"
"Apa?"
Tercetus pertanyaan Giok-liong keras-keras saking kaget, Bersama itu tangan kanan lantas menggagap kearah pinggang, dilain saat lantas terlihat selebar mukanya menjadi pucat pias.
Keringat dingin merembes diatas jidatnya, Kiranya Potlot mas memang masih ada tapi seruling samber nyawa itu sudah lenyap.
Terdengar Ling Soat yan berkata lagi.
"Waktu kami semalam lewat ditempat ini kulihat kau tertutuk jalan darahmu dan di baringkan disebelah sana . ."
"Kalau begitu ..... jadi nona Ling belum pernah bergebrak dengan Ko-bok-im-hun Ki-kiat?" .
"Tidak !"
Tanpa merasa Giok-liong menggigit gigi kencang-kencang sampai berbunyi berkeriutan, hawa amarah merangsang dalam benaknya, desisnya berat.
"Budi pertolongan nona Ling kali ini biarlah kelak kubalas, sekarang juga aku harus mengejar kembali benda pusaka milik perguruan itu, kalau tidak mana aku ada muka menghadap kcpaia guruku ... , belum habis kata-katanya, kaki kanan sedikit menggentak tanah, tubuhnya melejit ringan sekali laksana segulung kabut putih terus menerobos keluar lenyap dibalik hutan. Tercetus teriakan Ling Soat-yan.
"Ma-siau hiap tunggu sebentar. Dari jauh terdengar kumandang ucapan Giokliong.
"Harap maaf, lebih penting aku mengejar kembali milikku itu."
Suaranya terdengar semakin jauh dan lirih, akhirnya sirna, setelah Giok-liong pergi tanpa merasa Ha lian dan Chiu-ki terlongong longong memandangi Ling Soat-yan. Mendadak seperti paham sesuatu soal Ha lian berkata riang.
"siocia sungguh pintar! Kalau kita pulang tentu Loya sangat girang. Sebaliknya Chiu-ki berkata mendelu penuh sesal.
"siocia tidak seharusnya kau ngapusi dia Dia seorang yang sangat baik, jikalau dia tahu kau bohong, selamanya dia tak kan kembali lagi."
Ling Soat-yan menghela napas dengan masgul, ujarnya.
"Ayah menyuruh aku mencabut nyawanya dan merebut benda pusaka miliknya untuk memutus keturunan Ji-bun, tapi aku ... ."
Butir air mata laksana mutiara lambat laun menggenangi kelopak matanya terus mengalir membasahi pipinya, Pelanpelan dirogohnya keluar dari dalam bajunya sebatang seruling batu giok warna putih mulus bening.
Terang itulah Jan-hun-ti milik Giok-liong itu.
Butiran air mata berderai mengalir deras, kalanya sambil sesenggukkan dengan rawan.
"Oh, Tuhan, Kenapa aku harus terlahir di Hiat ing-bun...aku hendak kembalikan seruling ini lagi pada dia . ."
Ha-lian maju mendekat, katanya.
"Siocia, marilah kita lekas pulang, Loya pasti sangat senang, buat apa kau harus bersedih, seumpama seruling ini digembol olehnya, lambat laun cepat tentu juga direbut orang lain, bukankah sama saja persoalannya "
Sebaliknya Chiu-ki membujuk dengan kata-kata halus.
"Jikalau siocia tidak mau melukai hatinya segera harus menyusul ke-sana, Kalau terlambat mungkin dia bisa terjatuh dibelenggu Thian-lam-say-yau. Sampai saat mana menyesal juga sudah kasep !"
Ha lian juga tidak mau kalah debat, bentaknya.
"Orang she Ma itu boleh terhitung seorang pemuda gagah ganteng, tapi belum tentu siocia pasti ketarik akan tampangnya itu, seumpama lebih cakap lagi juga apa gunanya, sifatnya rada ketolol-tololan..."
Mendadak Ling Soat-yan mendehem pelan-pelan terus bergegas berdiri, agaknya ia sudah ambil keteiapan, katanya pada Ha-lian dan Chiu-ki.
"Kalian boleh pulang dulu memberi lapor kepada ayah, bahwa aku pergi mencarinya, jikalau ayah mendesak biarlah kelak aku yang memberi keterangan,"
Segera Ha-lian mengajukan usul yang menentang kehendak siocianya itu.
"Tidak bisa, kalau siocia pulang, tentu Loya akan marah."
Chiu-ki juga membujuk dengan lemah lembut.
"Siocia, biarlah hamba ikut kau saja, paling tidak sepanjang jalan ini kau punya kawan bicara."
Ling Soat-yan manggut-manggut, katanya.
"Baiklah.."
Lalu ia berpaling kearah Ha-lian dan berkata pula.
"Kau pulang lebih dulu, mari kita berangkat!"
Ha lian menjadi gugup, serunya.
"siocia mana boleh begini ..."
Namun Ling Soat-yan sudah berjalan pergi diikuti Chiu-ki, seruling samber nyawa disimpan lagi kedalam bajunya, tak lama kemudian bayangan mereka sudah menghilang didalam hutan. Ha lian menjadi gemas dan dongkol, gumamnya sambil membanting kaki.
"Tidak hiraukan aku lagi, aku pulang lapor! "
Lalu iapun berlari-lari kencang kearah yang berlawanan.
Setelah meninggalkan kuil bobrok itu Giok-Iiong terus berlari dengan pesatnya menerobos hutan lebat.
Timbul banyak pikiran yang menyangsikan membuat hatinya bergejolak.
Ling Soat-yan, gadis ayu jelita ini naga-naganya memiliki ilmu silat yang tinggi, Tapi diteropong dari seluruh dunia persilatan masa kini, hakikatnya tiada seorang tokoh kenamaan yang mempunyai nama she Ling, Begitulah sambil berlari otaknya terus bekerja.
Tidak terasa tahu-tahu dia telah menerobos ke luar dari hutan lebat itu.
Tiang sun po sudah diambang matanya.
Mayat bergelimpangan dimana-mana terlihat kaki tangan yang tidak lengkap dengan darah berceceran bercampur otak yang kepalanya pecah, sungguh pemandangan yang mengerikan.
Pertempuran berdarah semalam sudah lalu, keadaan disini menjadi begitu sunyi leosan, Ci-hu giok-li dan Tak Hak-siau tidak diketahui ujung parannya.
Yang paling celaka adalah kemana pula juntrungan Ko-bok-im hun.
Jikalau tidak dapat menemukan Ko-bok-im hun berarti seruling sambar nyawanya juga susah dicari kembali.
Tapi kemanakah sebetulnya Ko bokim hun telah pergi ?"
Mau tak mau Giok-liong harus berpikir secara cermat.
"Dia menaruhku didalam sebuah kuil bobrok, hanya menggondol seruling samber nyawa itu saja, ini menandakan bahwa dia sendiri juga menderita luka-luka parah, jikalau benar-benar ia terluka parah menggondol pergi benda pusaka lagi, pasti tindakan yang terutama baginya adalah mencari suatu tempat yang tersembunyi untuk mengobati iuka-lukanya dulu, baru mencari jalan keluar melalui semak belukar yang jarang diinjak manusia."
Analisa ini memang rada masuk diakal.
Semakin dipikir semakin tepat dugaannya, segera ia menyedot hawa dalam-dalam terus kembangkan Ieng-hun toh sampai puncak kemampuannya.
Maka terlihatlah segulungan bayangan putih yang samar-samar meIayang pesat sekali dari puncak kepuncak dengan gerik langkah laksana burung terbang.
Begitulah setelah sudah lama ia berlari lari diatas pegunungan yang senaak belukar iai tahu-tahu dia sudah berlari sejauh ratusan li, Keadaan disini rada datar tapi sekelilingnya penuh ditumbuhi pohon-pohon alas yang besar tinggi, kiranya dia semakin dalam memasuki hutan lebat yang belum pernah diinjak manusia.
Sekonyong-konyong Giok-liong merandekan langkahnya, Gesit sekali badannya mendadak berhenti meluncur terus berdiri tegak bagai terpaku didepan noktah-noktah darah yang masih segar.
Dari noktah darah yang masih belum membeku seluruhnya ini boleh dipastikan tentu ditinggalkan belum lama ini, ini berarti bahwa orang yang terluka tentu masih berada ditempat yang berdekatan saja.
Sambil mengerutkan alisnya Giok-liong beranjak memeriksa keadaan sekelilingnya.
Ditemukan disemak-semak rumput kering di sebelah kiri sana ada tetesan darah yang memanjang menuju kedalam sebuah hutan gelap.
Pelan-pelan Giok-liong menarik napas lalu mengerahkan tenaga Ji-lo untuk melindungi badan setindak demi setindak ia maju kearah hutan gelap itu.
Setelah berada dalam hutan yang sunyi dengan keadaan yang seram mencekam sanubari, dimana-mana terlihat rumput dan dedaunan kering berserakan mulai membusuk, walaupun saat itu tiada angin dingin menghembus, cuaca menjelang terang tanah ini dalam keadaannya yang sunyi menakutkan benar-benar membuat siapapun pasti bergidik merinding.
Sekonyong-konyong secuil kain kuning menarik perhatian Giok-Iiong.
Disemak di antara rumput-rumput kering yang tertumpuk dedaunan kering pula muncul selarik kain kuning, Kalau lebih ditegasi lagi lantas terlihat noktah-noktah darah bertetesan memanjang itu langsung menuju ketumpukan rumput dan dedaunan kering itu.
Bergetar jantung Giok-liong, Bukankah secarik kain kuning yang dilihatnya ini persis benar dengan pakaian kuning yang dikenakan oleh Tan Hak-siau, Tanpa ragu-ragu lagi segera ia melompat maju terus menyingkap tumpukan rumput kering itu.
Ya Allah, Pemuda baju kuning Tan Hak-siau rebah dengan kedua biji mata dipejamkan, air mukanya rada bersemu merah jingga.
Ujung mulutnya masih merembes darah segar badannya kaku rebah diatas tumpukan rumput kering itu.
Diulurkan tangan meraba pernapasannya terasa jalan pernapasannya sudah sangat lemah dan kempas kempis, jiwanya tinggal menunggu waktu saja, yang paling mengherankan adalah dari badan yang telah membeku kejang ini menguap hawa dingin.
Tak kuasa Giok-liong sampai berseru kwatir.
"Hian si im-cu. Mungkinkah Ko-bok-im-hun...."
Tidak banyak waktu untuk berpikir lagi, sebab kalau ia tidak segera memberikan pertolongan kemungkinan besar jiwa pemuda baju kuning ini takkan tertolong lagi.
Sedikit bimbang lantas Giok-Iiong merogoh keluar sebuah pulung kecil yang terbuat dari batu giok sedikit pencet pulung kecil itu pecah menjadi dua potong, Didalam pulung kecil ini tersimpan tiga butir pil merah, satu diantaranya lantas dijejalkan kedalam mulut Tan Hak siau, Lalu ia sendiri juga berjongkok membungkuk badan, setelah menarik napas panjang terus menempelkan mulut sendiri kemulut pemuda baju kuning.
Menanti pil merah itu sudah hancur mencair didalam mulutnya dan tertelan habis baru Giok liong bangkit dan menjinjing tubuhnya dibawa masuk kearah hutan yang lebih daIam.
Disebelah muka sana adalah lereng bukit yang rada curam, dilereng ini ada sebuah batu besar berdiri tegak ditengahtengah.
Waktu Giok-liong mengitari batu besar ini dilihatnya dibelakang sana ternyata terdapat sebuah gua besar.
Keruan hatinya girang bukan main, sambil menjinjing tubuh pemuda baju kuning Tan Hak-siau, Giok liong terus menerobos masuk.
Sampai saat itu Tan Hak-siau yang berada didalam pelukan dadanya semakin dingin dan kaku, seperti setunggak belok besar.
Teringat olehnya betapa simpatiknya pemuda baju kuning ini berulang kali mengulurkan tangan membantu dirinya.
Kini ternyata terluka oleh ilmu Hian-si-im-ou yang jahat dan berbisa, Betapa juga dirinya harus menolong sekuat tenaga.
Tadi ia sudah memberikan sebutir pil Hwe - yang - tan, obat paling mujarab dari perguruannya, bukan saja obat termahal dan paling manjur, obat ini juga tidak sembarangan boleh digunakan kalau tidak menghadapi jurang kematian.
Giok liong insyaf, jalan satu satunya untuk menolong jtwanya hanya mengorbankan ketiga butir Hwe-yang-tan ini, lalu menggerakkan hawa murni dan bara hangat dalam badannya untuk membamu bekerjanya kasiat obat malah harus mengerahkan seluruh tenaga lagi.
Dengan tubuh yang telanjang bulat saling dempet dan merapat mendesak hawa racun keluar badan, Selain cara ini agaknya tiada cara lain lagi yang lebih sempurna.
Dilihatnya pernapasan Tan Bak-siau semakin lemah, raut makanya juga sudah mulai berubah menggelap, Giok-liong tahu kalau tidak segera memberikan pertolongan, mungkin tiada harapan lagi.
Tapi cara pengobatan yang diketahui ini adalah cara yang paling menghabiskan semangat dan tenaga, Giok-liong juga tahu dengan kemampuan atau Latihan Lwekangnya sekarang jauh dari ukuran yang semestinya melakukan pengobatan cara berbahaya ini.
Seumpama ia nekad melakukan cara pengobatan ini, bukan mustahil bukan saja tidak dapat mengobati penyakit orang malah jiwa sendiri juga bakal dikorbankan seluruh hawa murni dan semangatnya akan terkuras habis.
Kalau hal ini sampai kejadian bagaimana mungkin dirinya dapat mengejar balik seruling samber nyawa itu? Pelan-pelan dengan ringan ia merebahkan badan Tan Hak siau diatas tanah.
Memandangi wajah yang mulai menggelap hitam itu, hati Giok-liong semakin gundah tak tentram.
Akhirnya ia menggertak gigi, berkata lirih.
"Seumpama harus berkorban lagi lebih parah betapa juga aku harus menolong jiwanya."
Setelah teguh tekadnya lalu dikeluarkan pula putaran kecil itu.
Dituangnya sisa kedua butir pil Hwe-yang-tan terus dimasukkan ke-dalam mulut sendiri terus dikunyah sampai hancur, seperti tadi ia membungkuk badan terus menjejalkan obat yang dikunyah itu ke dalam mulut Tan Hak-siau, malah harus mengerahkan hawa murni lagi untuk menyurung obat masuk ke dalam perutnya.
Pada saat mana diluar gua berkelebat bayangan merah jingga, bersama itu terdengar pula seru kejut yang tertahan.
Tapi perhatian Giok-liong seluruhnya sedang terpusatkan menyurung kasiat obat ke-dalam mulut Tan Hak siau, sudah tentu ia tidak perhatikan akan kejadian diluar.
Setetah seluruh cairan obat masuk kedalam mulut Tan Haksiau, Giok liong membimbing badan orang duduk lalu ia sendiri duduk bersila di belakangnya persis, Kedua telapak tangannya menyungging kepunggungnya, mulai ia mengerahkan tenaga murni menuntun kasiat obat bekerja diseluruh badannya.
Kira-kira seperminum teh berselang, jidat Giok-liong sudah basah kuyup oleh keringat sebesar kacang kedele, baru ia lepas tangan dan berdiri sungguh diluar perhitungannya bahwa Hian-si-im-ou ini ternyata sangat berbisa.
Membuat kekuatan bekerja tenaga murninya sangat lambat dan sangat dipaksakan.
Begitu lepas tangan ia baringkan lagi badan Tan Hak-sian.
Badannya kini rada sedikit lemas, Hawa dingin yang merembes keluar juga rada berkurang.
sebetulnya Giok-liong harus istirahat dulu menghimpun semangat baru bekerja lagi, namun dalam keadaan gawat dengan kemampuan sendiri yang terbatas ini ia tidak berani ajal-ajalan, sebab dia tahu cara pengobatan berat ini tidak boleh berhenti ditengah jalan, sekali berhenti kemungkinan besar jiwa pemuda baju kuning Tan Hak-siau ini bisa melayang.
Maka begitu ia berdiri langsung ia bekerja melucuti seluruh pakaian sendiri.
Walaupun ditempat sunyi tiada orang lain yang melihat, tak urung Giok-liong merasa jengah dan malu juga sampai muka terasa panas.
Tapi demi menolong jiwa orang apa boleh buat! Setelah seluruh pakaian sendiri dilucuti muIailah ia membuka pakaian pemuda baju kuning Tan Hak-siau.
Baru saja ia melucuti pakaian bagian atas, lantas Giok-liong berhenti dan melongo, Kontan merah padam kedua pipinya, Sebab apa yang terpentang didepan matanya tak lain adalah bukit tandus yang halus mengganjal padat dengan kulit yang putih mulus.
Tak lain inilah dada milik dara jejaka, Giok-liong mengeluh dalam hati.
"Oh Tuhan, mungkinkah dia seorang... Tapi bagaimana juga dia tidak boleh berhenti sebab tertunda sedetik saja jiwa Tan Hak-siau mungkin bisa tidak tertolong lagi, Maka setelah seluruh pakaiannya dilucuti pula, sepasang pandangan mata Giok liong menjadi gelap, otaknya juga butek seperti dipalu. Perempuan, tak lain memang perempuan adanya, Tubuh yang ramping menggiurkan dengan dada yang montok padat berkulit putih halus laksana batu giok yang bening. Giok liong menjadi ragu-ragu dan bimbang. Oh Tuhan bagaimanakah ini! Tak mungkin melihat kematian tanpa menolongnya. Tapi kenyataan dia adalah seorang gadis remaja bagaimana ia harus berbuat? Akhirnya ia nekad dan mengertak gigi, sambil pejam mata hawa murni terus dikerahkan seluruh badan sendiri terus menindih lempang dibadan Tan Hak-siau, Desis hawa murni yang panas mengepul keluar dari lobang pori pori seluruh badannya terus meresap masuk kedalam badan Tan Hak siau. Tiba-tiba diambang pintu gua muncul sesosok bayangan merah jingga, nyata Hiat-ing Kiongcu Ling Soat-yan telah tiba kedua matanya berlinang air mata. Sebetulnya ia sudah rada lama mengintip diluar gua dan menonton seluruh adegan yang terjadi didalam sini, pelanpelan ia angkat jari telunjuknya yang runcing halus tertuju kejalan darah Bing-bun hiat Giok-liong. Saat mana sedikit ia kerahkan tenaga saja, pasti Giok-liong dan Tan Hak-siau bakal melayang jiwanya secara penasaran. Lama dan lama kemudian, butiran air mata yang berkilau bening pelan-pelan mengalir turun dari kedua pipinya. Sambil menghela napas gegetun ia turunkan jari tangan kanannya, sepasang matanya yang bening indah memancarkan sorot kehampaan yang merawankan hati, sedikit bergerak laksana bintang jatuh bayangan merah menghilang sekejap saja ia sudah melesat keluar gua. Diluar gua tak jauh dari batu besar itu, Chiuki berdiri dengan gelisah. Begitu melihat majikannya keluar segera ia maju menyambut tanyany.
"Siocia, orang she Ma ... eh, siocia kau...
"
Kata Hiat ing Kongcu Ling Soat-yan sesenggukkan.
"Terhitung ....aku ini yang buta melek ... manusia rendah seperti binatang itu .., . pergi. pergi, pergi, Marikita tinggal pergi, aku ....selamanya tak sudi berjumpa pula dengan dia..."
Lemah semampai badannya bergerak, laksana kilat badannya meluncur keluar dari rimba gelap ini.
Meninggalkan butiran air matanya yang menyiram ditanah pegunungan.
Terpaksa Cniu-ki harus kembangkan juga Ginkangnya untuk mengejar majikannya.
Dalam pada itu begitu Giok-liong rebah menindih tengkurup rapat dengan tubuh yang langsing semampai, Meskipun ia kerahkan seluruh hawa murninya dengan sepenuh perhatian disalurkan masuk ketubuh orang, lama kelamaan ia merasa diatas badannya mulai ada sedikit perubahan yang aneh.
Dua benda padat yang tertekan dibawah dadanya mengeluarkan bau harum semerbak yang memabukkan kesadarannya.
Rangsangan bau perawan mengetuk hati kecilnya membuat hampir susah bernapas, segulung aliran panas mulai berjangkit dari bawah pusarnya terus mengalir naik.
Giok-Jiong menjadi kaget, tahu dia sekali pikirannya kabur dirinya sendiri pasti bakal tersesat dan badan mungkin bisa cacat untuk selama-lamanya.
Tapi dia seorang manusia yang punya perasaan malah masih muda mangkat kedewasaan dengan tubuh kekar dan sehat, Dalam keadaan macam itu untuk membendung dan menindas nafsu birahinya yang sudah mulai menjalar ke seluruh urat syarafnya boleh dikata seperti membendung air bah yang melanda datang, Beginilah aliran darah panss itu terus meluber ke seluruh sendi dan urat syarafnya malah terus bergelombang dari pusar tiada hentinya, kesadaran pikiran mulai kabur, seluruh badan sudah basah kuyup oleh keringat dingin.
Sekonyong-konyong, sebuah dengusan dingin yang keras menyentak kesadarannya dari jurang kenistaan, sedikit kesadaran ini cukup menarik kembali semangatnya yang sudah kabur tadi, dengan tekun dan giat ia kerahkan tenaganya untuk mengobati.
Kini pikiran dan semangatnya sudah sadar dan bening kembali.
Gelombang hangat dari pengerahan rawa murni dan tenaga panas berdebur semakin keras berbondong merembes masuk ke badan Tan Hak-siau.
Tatkala itulah sebuah bayangan seiring dengan gelak tawanya yang terloroh-loroh melesat datang secepat kilat tiba diambang pintu gua, jelas bahwa Ko bok-im-hun telah memutar balik lagi.
Begitu berdiri diambang pintu gua, lagi-lagi ia perdengarkan serentetan gelak tawa panjang, ujarnya.
"Bagus, tontonan gratis, ck, ck, ck ... Bocah ini, kematian sudah di ambang pintu masih coba mengecap kenikmatan Hehehehe ..."
Pikiran Giok-liong sudah sadar seluruhnya, mendengar ejekan ini tergetar sanubarinya, sungguh malu bukan buatan, dalam hati ia membatin.
"Tamat sudah. Kalau saat ini juga ia turun tangan pasti hancurlah seluruhnya."
Tapi dia tidak lantas menghentikan saluran tenaganya dan menghentikan pengobatannya, Malah ia kerahkan seluruh kemampuannya supaya lebih cepat selesai.
Maka terlihatlah seluruh badannya mulai mengepulkan asap putih, semakin lama semakin tebal bergulung-gulung bagai awan menyelubungi seluruh badan mereka berdua.
Ko bok im-hun mendongak sambil bergelak tertawa.
"Buyung, kau kira dengan berbuat begitu lantas dapat melindungi nyawamu ? ck ck, ck, Buyung, kalau kau tahu gelagat, lekaslah serahkan saja ..."
Pada saat-saat genting inilah sebuah bayangan merah jingga berkelebat tiba diiringi suara ejekan yang nyaring merdu berkata diluar sana.
"Manusia macam setan seperti kau ini, juga berani buka mulut besar, menyalak seperti anjing galak yang minta gebuk !"
Ini adalah suara Hiat-ing Kongcu Ling Soat-yan.
Kiranya waktu Ling Soat-yan melihat adegan yang dilakukan Giok liong atas tubuh Tan Hak-siu, disangkanya Giok-liong sebagai pemuda mata keranjang yang menggunakan kesempatan baik ini hendak memperkosa gadis suci.
Sudah tentu ini merupakan pukulan lahir batin bagi Ling Soat-yan, sebetulnya besar niatnya saat itu juga hendak turun tangan menutuk mati Giok-liong, tapi saban-saban ia tidak tega turun tangan.
Akhirnya sambil menghela napas dengan hati hancur ia tinggal pergi membawa Chiu ki.
Sepanjang jalan berlari-lari itu ia masih terus sesenggukan dengan sedihnya.
Sejak kecil Chiu-ki sudah ikut majikannya, ia tahu akan watak nonanya ini, maka segera ia membujuk.
"Siocia, orang she Ma itu baru sembuh dari luka-lukanya, sedang orang yang dijinjing masuk itu agaknya juga terluka berat, Kalau mereka ditinggal didalam gua itu, bila Ki-kiat si bangsat tua itu kembali bukankah celaka jiwa mereka."
Ling Soat-yan mendengus jengkel katanya penuh kedongkolan.
"Dia hidup atau mati bukan urusanku. Aku sudah berjanji tidak mau melihat tampangnya lagi! selama hidup ini tak sudi aku berjumpa dengan dia melirikpun aku tidak sudi ...
"
Dalam berkata-kata ini air mata semakin deras mengalir, kakipun masih beranjak dengan cepat laksana angin lalu, sehingga rambut panjangnya yang terurai melambai-lambai, keadaannya ini sungguh kasihan betul.
Chiu-ki sendiri juga merah kelopak matanya tergenang air mata hampir menangis, Diulurkan tangan untuk menyingkap rambutnya yang dihembus angin mudai msdil, kakinya sedikit diperkencang terus berendeng dengan Ling Soat-yan, katanya membujuk lagi.
"Siocia, marilah kembali lagi melihat keadaannya."
Sebetulnya Ling Soat-yan sudah menghentikan tangisnya, mendengar bujukan halus ini tak terasa air mata meleleh kembali, katanya.
"Chiu-ki, kau tidak tahu apa yang sedang dilakukan, kalau kau melihat dengan matamu sendiri, pasti kau bisa mati saking jengkel !"
Chiu-ki rada melengak, lantas sambungnya.
"Siocia, menurut hemat hamba, Ma-siau-hiap bukan manusia macam itu, Aku berani pastikan tentu kau salah lihat."
"Tidak mungkin, aku melihat sendiri dia sedang melucuti pakaian perempuan itu, Lalu membuka pakaian sendiri juga ..."
"Siocia, bukankah orang itu terluka parah ? Tadi waktu Ma siau hiap menjinjing tubuhnya, kita kan sudah melihat jelas. Dia tidak tahu dimana letak luka-luka itu, kemungkinan besar Ma-siauhiap sedang memeriksa keadaan luka-lukanya."
"Tidak mungkin, Memeriksa luka! Mengapa harus melucuti pakaian sendiri ? Apalagi orang itu adalah seorang gadis remaja .....
"
Sampai disini tiba-tiba ia merandek. Lalu mulutnya mengguman sendiri.
"Apa mungkin perempuan itu terserang bisa dingin yang sangat jahat lantas dia menggunakan hawa murni dalam tubuhnya untuk mengobati ... hm, kalau sedemikian kasih sayang dia mau mengobati perempuan lain, buat apa aku..."
Chiu ki segera menyanggah.
"Nah siocia cara berpikirmu ini terang berat sebelah. Bagaimana kalau jiwa orang itu sudah di-ambang pintu kematian ? Apalagi sebelum ini Ma-siau-hiap tidak tahu kalau dia seorang perempuan. Siocia, seumpama kau menjadi dia, kau mau menolong atau tidak ?"
Kontan merah jengah selebar pipi Ling Soat yan, jengeknya aleman.
"Cis, aku tak sudi menolongnya."
"Siocia, marilah kira kembali melihat keadaan, kita harus mencari tahu duduk perkara sebenarnya, Menurut kabarnya cara pengobatan semacam ini paling menghabiskan semangat dan tenaga. Malah tidak boleh mendapat gangguan dari luar. Kalau Ki-kiat bangsat tua itu muncul kembali, kejadian akan lebih parah lagi!"
Ling Soat-yan sudah memperlambat langkahnya, katanya masih jengkel.
"Ada apa yang perlu dikwatirkan ?"
"Sudah tentu Ma siau hiap terancam bahaya !"
"Kalau dia mati ada sangkut paut apa dengan aku ?"
Dari nangis Chiu-ki malah tertawa geli.
"Kalau dia betulbetul mati, hati hamba sendiri juga akan ikut bersedih, masa siocia kau takkan bersedih hati !"
"Cis, budak binal, Baiklah aku turut permintaanmu, kita kembali!"
Sebat sekali ia memutar tubuh terus berlari lebih kencang kearah datang semula. Di belakangnya Cbiu-ki mengulur lidah dan membuat muka setan, godanya lirih.
"NaH kembalinya kok berjalan begini cepat!"
Tanpa ajal iapun percepat langkahnya. Tempo dalam berlari kencang kembali ini sudah tentu lebih cepat, baru saja mereka menembus hutan, dikejauhan sana lantas terlihat sebuah bayangan kurus kering berkelebat menghilang di balik batu besar itu.
"Celaka."
Seru Chiu-ki kaget.
"Tua bangka renta itu betulbetul datang kembali."
Ling Soat-yan lantas berpaling, ujarnya.
"Chiu-ki kau sembunyi dulu, bekerjalah melihat keadaan."
Habis ucapannya badannya lantas melenting maju secepat anak panah lepas dari busurnya menubruk ke arah batu besar itu.
KebetuIan saat mana ko-bok-im-hun tengah bergelak tawa hendak beranjak masuk ke-dalam gua.
Begitulah sambil mengerahkan hawa murni untuk melindung badan, Ling Soat - yan menyambung obrolan orang.
"Manusia macam setan seperti kau ini juga berani pentang bacot, menyalak seperti anjing galak yang minta gebuk!"
Sembari berkata-kata ini halus seringan sutra melambai lengan bajunya dikebutkan segulung angin halus sepoi-sepoi menerpa keluar mengarah ke arah Ko-bon-im hun Ki-kiat. Ki-kiat menjadi terkejut, batinnya.
"Kapan budak perempuan ini mendesak tiba di belakangku mengapa sedikitpun aku tidak merasa?"
Tengah ia berpikir ini, segulung angin halus sudah menerjang tiba didepan dadanya. Segera ia tertawa gelak-gelak, serunya.
"Budak ayu jelita, Marilah kita juga adakan pertunjukan macam itu,"
Tahu-tahu badannya bergerak berputar seperti gangsingan sembari mengisar kesamping, dengan indah sekali ia hindarkan diri dari seraagan angin kebutan ini, dalam kejap lain tahu-tahu tubuhnya sudah berkisar dibalik batu besar sebelah sana.
Tahu-tahu sebuah bayangan merah jingga berkelebat didepan mata, Ling Soat-yan yang mengenakan selendang sutra semampai melambai-lambai itu sudah berdiri dihadapannya sambil tersenyum menggiurkan jaraknya tidak lebih delapan kaki.
Wajah ayu jelita berkulit putih itu kini bersemu merah, sepasang mata yang indah dan bening kini memancarkan sorot pandangan penuh nafsu membunuh.
Meskipun Ko bok-im-hun Ki-kiat seorang gembong iblis yang suka membunuh manusia tanpa berkedip, tak urung merasa gentar juga sanubarinya katanya dalam hati.
"Agaknya Lwekang budak perempuan ini sudah sempurna, Tapi sukar dilihat dari aliran mana. Tapi apa pedulinya, Lo ji berada disekitar ini segera bakal tiba kemari . .."
Ternyata semalam ia bertempur sengit melawan pemuda baju kuning yang melawan dengan mati-matian, meskipun lawan kecilnya dapat dilukai, tak urung dia sendiri juga terluka parah, untung ditengah jalan ia bertemu dengan saudara angkatnya kedua yaitu Ui-cwan-te-mo (iblis tanah dari akhirat) Ciok Kun, setelah Iuka-Iukanya diobati sembuh mereka berpencar mencari dan memeriksa sekitar pegunungan ini.
Kepandaian silat iblis tanah akhirat Ciok Kun benar hebat luar biasa, dibanding dengan Ko-bok-im-hun (sukma gentayangan dari kuburan) Ki-kiat entah berapa tingkat lebih tinggi, Maka begitu teringat akan saudara angkat kedua itu berada tak jauh dari tempat ini, legalah hatinya mendongak ke atas ia terkekeh kekeh, serunya sinis.
"Budak keciI, bagaimana ? Marilah kita juga adakan pertunjukkan semacam itu?"
Ling Soat-yan tertawa ringan mengunjuk kedua dekik didua pipinya, serunya aleman.
"Ki-kiat, nyawamu sudah hampir tamat, orang yang sudah hampir masuk liang kubur, maka nonamu ini juga tidak perlu main sungkan-sungkan lagi !"
Bercekat hati Ki-kiat, gelak tawanya semakin keras.
"Budak kecil, siapakah gurumu, sombong dan menyenangkan benar kau ini, Lohu ... ck, ck, ck, , .."
Sebetulnya orang yang kemarin malam beradu pukulan dengan dia bukan lain adalah Ling Soat-yan namun agaknya Ki-kiat tidak tahu dan melihat jelas waktu itu. Ling Soat-yan unjuk senyum menggiurkan, ujarnya.
"Guruku bernama Giam-lo-ong, Aku diutus kemari untuk mencabut nyawa iblis durjana seperti kau ini."
Baru lenyap suaranya lemah gemulai badannya bergelak maju terus menyerang.
Diam-diam Ko-bok-im-hun Ki-kiat terperanjat.
Walaupun wajah Ling Soat-yao menguIum senyum, berjalan gemulai kearahnya sedikitpun tidak mengunjuk gaya hendak menyerang, tapi sebetulnya sikapnya ini merupakan inisiatip penyerangan yang mengikuti gerak perubahan musuh yang hendak di serang, bagaimanapun polah gerak musuh akan dapat diikuti dengan perubahan yang tidak kalah rumitnya pula.
Maka begitu ia melihat cara gerak langkah Ling Soat-yan ini lantas terasalah olehnya bahwa kanan kiri depan dan belakang dirinya sudah tertutup rapat oleh kesiap siagaan orang, Selain ia berlaku nekad menempur dengan mati-matian tiada jalan lain untuk meloloskan diri.
Tapi lantas terpikir pula olehnya.
"Budak kecil ini naga-naganya masih hijau, muda usia lagi seumpama ia membekal kepandaian setinggi langit juga tentu latihannya belum sempurna betul"
Karena pikirannya ini berjangkitlah nyalinya kembali ia berkata, serunya.
"Budak kecil, siapa namamu ? Turut saja Lohu pulang kutanggung selama hidup ini kau akan senang berfoya-foya."
Seringan kupu menari selangkah demi selangkah Ling Soatyan maju mendekati mulutnya menyahut lincah.
"Nonamu ini bernama Ling Soat-yan, Kematian sudah di-depan matamu masih berani kau bermulut kotor, sungguh menggelikan,"
Mendadak langkah kakinya dipercepat, sekali berkelabat tahutahu ia sudah melejit sampai dihadapan K.o-bok-im-hun. Dinana lengannya diangkat berayun pelan-pelan terus mengebut kearah muka Ki-Kiat. Ki-kiat berjingkrak kaget, batinnya.
"Terhitung jurus silat dari aliran mana ini?"
Sembari berpikir sebat sekali tangan kanannya juga diulur maju terus mencengkeram kepergelangan tangan halus putih itu.
Baru saja tangannya terulur, mendadak bayangan merah berkelebat didepan matanya puluhan angin kencang secepat kilat berbareng menyerang keseluruh tempat-tempat penting tubuhnya laksana gugur gunung dahsyatnya.
Jantung Ki-kiat serasa hendak melonjak keluar teriaknya ketakutan.
"Hiat-ing-bun ..."
Lekas-lekas tangan kiri diayun keatas, selarik bara api warna hijau meluncur tinggi ketengah angkasa. Bertepatan dengan itu, suara tawa cekikikan terdengar disamping telinganya.
"Nonamu ini memang bukan lain adalah Hiat-ing Kongcu!"
"Haaaaa...duh..."
Jerit ketakutan yang menyayatkan hati terdengar keluar dari mulut Ko-bok-im-hun yang setengah sekarat belum mampus.
Bukan saja belum sempat ia menggunakan ilmu Hian-si-im ou, sampai mengerahkan tenaga untuk melindungi badansendiri juga tidak sempat lagi, tahu-tahu dirinya sudah menjadi korban dari serangan Hiat-ing Kongcu yang lihay.
Begitu bayangan orang terpencar, terdengar pula suara tawa cekikikan, Air muka Ko-bok-im-hun berubah hijau pucat, dengan langkah sempoyongan ia berusaha lari kedalam hutan.
Terlihat beberapa jalan darah penting ditubuhnya berbareng mengucurkan darah segar.
Setelah menerjang maju beberapa langkah badan bergoyang-goyang tubuhnya lantas tersungkur jatuh keatas tanah, kakinya berkelejetan sebentar dilain saat ia sudah mendaftarkan diri pada raja akhirat sebagai pendatang baru.
Wajah Hia -ing Kongcu mengunjuk senyum kepuasaan, mendongak keatas ia memandang mercon api yang meledak dan ber kembang warna hijau ditengah udara, Mulutnya mengguman,Kemungkinan betul Pit-loh thian-mo atau Ut-ttte- mo berada disekitar yang berdekatan sini.
selamanya Thian-lan sam-yau jarang beroperasi seorang diri.
Sejenak ia merenung lalu batinnya lagi.
"Bila mereka berdua datang bersamaan lalu bagaimana aku harus menghadapi mereka?"
Sambil berpikir pelan-pelan kakinya melangkah memutari batu besar itu terus melongok kedalam gua.
Dilihat didalam sana penuh diliputi kabut putih yang tebal bergulung-gulung sehingga badan Giok-liong dan gadis remaja itu tidak kelihatan.
Tapi dari kabut putih yang masih mengepul terus itu menandakan dimana Giok-liong masih berada.
Tanpa merasa Ling Soat-yan tersenyum getir, katanya menghibur diri.
"Kiranya dia tengah menolong orang, Aku..."
Hatinya menjadi sedih, air mata mengembang di kelopak matanya.
Sekonyong-konyong diatas pegunungan yang sunyi ini bergema suitan panjang yang berkumandang nyaring menembus angkasa, Gema suitan itu semakin dekat dan terus ku mandang di tengah udara, membuat pendengarannya merasa merinding dan mengkirik.
Hiat-ing Kongcu Ling Soat yan melolos keluar selarik selendang sutra sedikit pergelangan tangan menggertak lendang sutra itu mulur memanjang berkembang lebar, tertua ta panjang lima enam kaki, pelan-pelan lalu dilempitnya kembali dan digubatkan dipergelangan tangannya, tangannya yang halus membalut air matanya yang mengalir dipipinya serta batinnya.
"Ui cwan-te-mo Giok-Kun telah tiba!"
Benar juga tidak lama kemudian suitan itu berhenti, sesosok bayangan kuning laksana kilat menyamber tahu-tahu sudah meluncur turun diatas tanah sana, begitu tegak ia berdiri tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Tempat berdirinya itu tepat berada disisi mayat Ko-bok-im-hun Ki-kiat adik angkatnya itu.
Tampak pendatang ini mengenakan kain kasar yang terbuat dari kaci kotor, Rambut panjangnya itu penuh dihiasi kertas uang sembahyang yang lazimnya dibakar setelah sembahyang memperingati almarhum, Badannya tinggi kirakira setombak lebih, kurus kecil bagai geater, seluruh kulitnya berwarna kuning seperti sakit-sakitan dan yang terlebih aneh lagi adalah sepasang matanya yang cekung dalam itu setiap merem melek memancarkar sorot kektmingan yang berkilat menakutkan seperti mata serigala yang buas.
Sekian lama ia berdiam diri berdiri disamping mayat Ko bok-im hun, mendadak ia memutar badan menghadap kearah batu besar, sedikit angkat tangan lalu katanya kaku.
"Tokoh kosen darimanakah yang berani membunuh adik angkatku ini, Kukira setelah berani turun tangan tentu bukan seorang pengecut yang beraninya sembunyi kepala mengunjukkan ekor bukan?"
Suasana tetap sepi dibelakang batu besar tetap sunyi tanpa ada reaksi. Ui-cwan-te mo Ciok Kun mendengus hina, sambungnya lagi.
"Kalau tuan tidak mau keluar, apa perlu Lohu sendiri yang harus menyilakan keluar?"
Suara cekikikan geli terdengar dari belakang batu besar.
Seiring dengan tawa cekikikan ini dari balik batu besar itu gemulai berjalan keluar seorang gadis rupawan yang mengenakan pakaian serba merah dengan sari jingga melambai dipuncaknya.
Seketika Ui-cwan-te-mo melengak, diam-diam ia memuji dalam hati.
"Budak perempuan yang cakap jelita, tak mungkin dia mampu membunuh Losam!"
Dalam hati ia merasa kagum, tapi mulutnya bertanya dingin."
Budak kecil, apa kau yang membunuh dia?"
Sembari tangannya menunjuk kearah jenazah Ko-bok-im-hun. Ling Soat-yan tersenyum menggiurkan, sahutnya.
"Kematiannya memang setimpal!"
Bercekat Ui cwe-te mo Ciok Kun mendengar jawaban ini, katanya.
"Kau dari perguruan mana? siapa nama gurumu ?"
Tanpa bersuara Ling Soat-yan melayang maju dengan enteng, begitu bayangan merah berkelebat tahu-tahu ia sudah melejit tiba di-hadapan Ciok Kun terpaut satu tombak.
Sedikit berubah raut muka Ciok Kun, tapi cepat sekali lantas kembali seperti sedia tala, katanya.
"Kau..... kau dari aliran Hiat Ing-bun"
"Sungguh tajam pandangan Ciok-cianpwe!"
"Kau ini..." "Hiat-ing Kong-cu Ling Soat-yan."
"Oh, jadi kau adalah Hiat ing cu punya..."
"Putri tungga Hiat ing cu!"
Tergetar hati Ciok Kun mendengar pengakuan terus terang ini.
Ketahuilah bahwa Hiat-ing-cu merupakan seorang tokoh aneh yang kejam dan telengas lain dari yang lain.
Tiada seorang tokoh silat di Kangouw ini yang pernah melihat wajah asIinya.
Dulu waktu ia menggetarkan dunia persilatan, yang muncul dan terlihat oleh umum tak lain hanyalah berupa segulung merah darah saja.
Itulah pertanda bahwa latihan kepandaian tunggal Hiat-ing-bun sudah mencapai puncak setinggi yang sukar dijajaki.
Menurut kabarnya bagi semua korban yang mati dibawah tangan golongan Hiat-ing-bun, mayatnya pasti tidak ketinggalan utuh lagi, tinggal segenang air darah melulu.
Mengingat akan ini, tanpa merasa Ciok-Kun mendadak membuka mulut tertawa gelak-gelak dingin mendirikan dulu roma, katanya menyeringai.
"Sudah tentu kepandaianmu sangat tinggi. Tapi belum pasti kau merupakan salah seorang kerabat dari Hiat-ing-bun itu."
Ling Soat-yan tersenyum manis, katanya memandang kearah mayat Ko-bok-im-him.
"Baik, biar aku membuktikan siapa aku sebenarnya."
Habis ucapannya lantas terlihat sari panjang yang menggubat di badannya itu melambai-lambai tanpa terhembus angin, bergelombang semakin keras, pelanpelan dari atas badannya menguap kabut warna merah berkilau.
Terdengar Ling Soat-yan tertawa nyaring badannya berubah segulung bayangan merah terus melesat di tengah udara dengan kecepatan yang susah diukur terus menukik turun menubruk kearah mayat Ko-bok-im-hun.
Tokoh macam apakah iblis tanah akherat ini ? Bukan lain adalah gembong persilatan yang sudah malang melintang pada puluhan tahun yang lalu, kakinya sudah menjelajah seluruh dunia tanpa mengenal apa yang dinamakan kebaikan, Melihat tindak tanduk Ling Soat-yan yang bakal tidak menguntungkan jenazah saudara mudanya.
Mulutnya terus berpekik panjang seluruh tubuhnya mendadak menguapkan kabut kuning yang bergulung seperti air mendidih dalam kuali, Tubuhnya yang kurus tinggi itu memperdengarkan suara keretakan panjang seperti petasan, lambat laun berubah menjadi ungu gelap.
Dimana kakinya menjejak sambil terus berpekik panjang itu badannya melenting mengejar kearah Ling Soat-yan.
Sayang langkahnya terlambat setindak.
Tampak bayangan merah itu laksana kilai menyamber dari tengah angkasa terus menubruk keatas mayat Ko-bok-im-bun.
Begitu kena terus merembes masuk sirna didalam badan Ko bok-im-hun.
Hampir pecah dada iblis tanah akhirat saking marah bercampur sedih.
Dengan pekikan panjang yang menusuk telinga itu mendadak kedua tangannya bergerak cepat bersamaan dua gulung badai angin warna antara kuning dan ungu langsung menerpa kearah mayat Ko bok im-hun juga sedemikian dahsyat terjangan angin pukulan ini laksana gugur gunng.
Sebab dia insyaf kalau lambat sedikit tentu habis sudah nasib mayat saudara mudanya itu.
Angin pukulan membadai ini menderu hebat berputar berguIung-guIung laksana angin lesus Baru saja badai angin warna kuning ungu ini menerpa datang hampir menyentuh tanah, sesosok bayangan merah langsing mendadak melejit tinggi terus melayang kesamping mengikuti dorongan angin.
Waktu ditegasi mayat Ko bok-im hun itu kini sudah hilang berubah segenang air darah yang berceceran diatas tanah membasahi pakaian kosong yang masih ketinggalan.
Iblis tanah akhirat Ciok Kun menjerit pedih, kedua tangannya bergerak bersilang, badannya sekarang berubah warna merah ungu seluruhnya, terbungkus oleh gulungan kabut dingin yang berkilauan terus menubruk kearah bayangan merah darah yang lebih menyolok dan tebal dari semula itu, setelah melayang kesamping begitu menginjak tanah bayangan merah yang semakin menyala ini laksana bintang meteor langsung memapak maju kearah iblis akhirat yang menyerang datang ini.
Iblis tanah akhirat tahu akan kelihayan Hiai-ing-kang musuh, terutama setelah menyedot darah segar korbannya, kekuatan bertambah berlipat ganda terbukti dari warnanya yang semakin merah dan menyala itu.
Saking murka dan sedih, Ciok Kun menjadi nekad, bentaknya garang .
"Cari mati!"
Kontan Hian-si im-ou dikerahkan sampai puncak tertinggi, sinar merah ungu lantas memancar keluar angin badai yang dingin terus berkembang.
Perbawa ilmu yang dilancarkan ini jauh berbeda dengan yang pernah dilancarkan Ko-bok-im-bun tempo hari, keadaannya lebih seram dan menakjubkan.
Bayangan merah darah itu bergerak tanpa membawa suara sedikitpun.
Agaknya bayangan merah ini cukup cerdik, ia tidak mau bertanding berhadapan mengadu kekuatan, selincah kupu menari diantara rumpun bunga bayangan ini selulup timbul melayang kesana berkelebat kesini, selalu mencari lubang kelemahan terus menempel kearah badan Ciok Kun.
Naga-naganya Ciok Kun memang takut juga bersentuhan secara berhadapan, cara turun tangannya juga lantas tidak mengenal kasihan lagi angin badai yang dingin membeku badan terus berseliweran membawa kabut gelap, sementara waktu kedua belah pihak sama kuat bertahan.
Dalam pada itu, Giok-liong tengah mengarahkan hawa murninya yang terakhir dalam usahanya menolong jiwa Tan Hak-siau, hawa murni dalam pusarnya sudah hampir terkuras habis melalui pori-pori kulitnya terus merembes masuk kebadan pemuda baju kuning.
Sang waktu terus berjalan detik demi detik, keringat diatas badan Giok liong terus tercurah membasahi seluruh tubuh seperti kehujanan, cahaya air mukanya juga semakin guram.
Tan Hak siau yang tertindih dibawah badannya itu masih tetap celentang kaku tanpa bergerak seolah-olah jiwa sudah melayang, Hati Giok-liong menjadi gelisah dan gundah kemampuannya sudah dikerahkan sampai titik tertinggi, keadaan badannya sudah capek kehabisan tenaga.
Kalau keadaan seperti ini masih terus bertahan lagi seperminuman teh bukan mustahil Giok-liong sendiri bisa mampus saking lemas.
Sekarang badannya mulai mendingin seperti es, sulit untuk bertahan lebih lama lagi.
Tapi ia masih kertak gigi mengerahkan sisa tenaganya supaya hawa murninya terus menerobos dan bekerja bergelombang seputaran dalam badan Tan Hak-siau.
Sekonyong-konyong ia rasakan Tau Hak-siau yang tertindih di bawah itu bergerak-gerak, keruan girang bukan main hatinya.
Tapi menyusul itu ia rasakan kepalanya pusing tujuh keliling pandangannya menjadi gelap, hawa murni sudah luber seluruhnya, badannya menjadi dingin membeku, tak tertahan lagi ia terus menggelinding jatuh ke samping.
Tepat pada saat itulah Tan Hak-siau mulai siuman, pelanpelan ia membuka matanya yang bening cemerlang, pelan pelan ia mengulet dengan bernafsu, Tapi baru bergerak setengah saja ia lantas merandek kesima, mendadak ia menjerit kaget.
"Ah, ini..."
Waktu ia menunduk seketika merah jengah seluruh wajahnya cepat-cepat disambernya pakaian yang terletak disampingnya untuk menutupi badannya, terus bergegas loncat berdiri serta mundur sejauh lima kaki.
Mata yang bening indah itu seketika mengembang air mata terus meleleh kedua pipinya, Kini iapun sudah melihat Giok liong yang rebah tengkurep diatas tanah dengan telanjang bulat pula bermuka pucat pias laksana kertas.
Timbul rasa curiga dan heran dalam sanubarinya, lantas disusul perasaan marah membakar hatinya geramnya mendesis sambil mengertak gigi.
"Kiranya kau tak lain binatang rendah yang tidak tahu malu. Terhitung aku Tan Soat-kiau salah menilai orang, sehingga aku terluka parah ditangan Ko-bok-im hun karena kau. Siapa nyana air mata membanjir semakin deras, cepat cepat dikenakan pakaian sendiri. Sebetulnya Giok liong, hanya dalam keadaan sadar tak sadar, Kupingnya masin bisa mendengar suara Tan Hak siau tapi seolah-olah diucapkan dari tempat yang jauh sekali. Tahu dia, karena dirinya terlalu membuang tenaga sehingga hawa murninya kena cidera, asal bisa istirahat beberapa hari pasti kesehatannya bisa lekas pulih, Besar niatnya bangkit berdiri memberi penjelasan, tapi hakekatnya ia sendiri bergerak saja tidak bisa. Setelah mengenakan pakaiannya, sekian lama Tan Soatkiau menatap wajah Giok-liong. Mendadak seperti kesurupan setan ia menggembor terus menangis gerung-gerung, mulutnya mengigau.
"Aku benci, aku benci. Akan kubunuh Kau, bunuh kau ...."
Terus diangkatnya badan Giok-liong, beruntun tangannya bergerak "plak-plok "
Puluhan kali ia tampar muka Giok-liong keras, darah segar mengalir dari ujung mulutnya. Kedua pipinya bengap merah seperti bakpao. Dengan sulit Giok-hong coba berkata.
"Aku . .."
Lantas jatuh pingsan.