Jilid 06
Diambang pintu berdiri seorang pelayan yang mengenakan baju tebal terbuat dari kapuk, setiap kali ada orang berjalan, ia membungkuk-bungkuk badan sambil menyilakan orang mampir.
Pelan-pelan Giok-liong maju mendekat.
Pelayan itu segera maju menghampiri sambil berseri tawa, ujarnya.
"Kongcu, hawa sedingin ini bajumu tipis lagi, awas nanti kena pilek! Kongcu warung kita merupakan yang paling terkenal dikota ini dengan masakan yang paling lezat, Keadaan didalam hangat lagi silakan masuk dulu untuk sekedar istirahat ! Nanti setelah sang surya naik tinggi keadaan hawa jaga sudah panas setelah perut kenyang tentu semangat bertambah untuk melakukan perjalanan."
Sambil berkata ia lantas menyingkap gordyin tebal itu menyilahkan tamunya masuk.
Begitu gordyin tersingkap bau harum arak serta masakan segera merangsang hidung hawa hangat juga lantas mengalir keluar menyampok badannya.
Giok- liong sedikit menganggukkan kepala kearah si pelayan terus melangkah masuk, Tepat pada waktu Giok-liong melangkah masuk ini, seseorang bajingan yang berada dipinggir emperan memutar biji matanya terus bergegas lari pergi.
Saat itu meskipun hari masih sangat pagi, tapi orang yang datang kepasaran dikota ini sudah banyak selalu tidak heran dalam warung daging sapi ini sudah penuh sesak dan hiruk pikuk oleh pembicaraan para tamu.
Acuh tak acuh Giok liong mencari tempat kosong, dimintanya seporsi Sop buntut serta arak sepoci kecil, seorang diri ia makan minum dengan tenangnya.
Para tamu yang hadir dalam warung makan ini boleh dikata terdiri dari segala lapisan masyarakat dari kaum yang rendah sampai yang terpelajar juga tidak sedikit para buaya darat berkumpul disini.
Sebuah meja besar yang terletak ditengah ruangan penuh dikerumuni banyak laki-laki bermuka garang dengan jambang lebat tebal serta mata yang mendelik besar, sambil makan minum tak henti-hentinya mulutnya mengoceh panjang pendek ngelantur menerbangkan ludahnya.
Terdengar salah seorang laki-laki kasar yang berusia tiga puluhan duduk di paling tengah membuka mulutnya yang besar sedang bicara.
"Maknya, sungguh ajaib dan mengherankan akhir-akhir ini banyak kejadian aneh yang telah timbul dalam kaum persilatan. Dilihat-naga-naganya, bakal ada lagi adegan seram dan mengejutkan bakal terjadi tak lama ini."
Orang-orang yang berduduk disekitarnya lantas bertanya berbareng.
"Thio toako, coba kau ceritakan untuk kita dengar bersama!"
Melihat banyak orang ketarik oleh obrolannya, giranglah orang itu, telapak tangannya segera menepuk dada, serunya tertawa "He, siapa tidak tahu aku simulut cepat Thio Sam paling lincah mendapat kabar, Kalian jangan kesusu, dengarkan dulu suatu suatu peristiwa yang baru saja terjadi di tempat yang berdekatan ini."
Suasana seketika menjadi sunyi dan tenang, semua orang mementang mata lebar-lebar dan memasang kuping untuk mendengar ceritanya. Terlebih dulu si mulut cepat Thio Sam menenggak araknya, lalu menggerung batuk-batuk. ujarnya.
"Belakangan ini dikalangan Kangouw telah muncul seorang pemuda pendekar yang diberi julukan Kim-pit-jan-hun, apakah kalian sudah pernah dengar?"
Serentak para hadirin menyatakan tidak tahu. "Ha, bicara tentang Kim pit-jan-hun ini orang akan mengkirik ketakutan."
Sampai disini ia menenggak lagi araknya, lalu menyumpit sekerat daging sapi terus dijejalkan kedalam mulutnya, pelan-pelan dikunyahnya.
Para teman-teman yang memenuhi sekeliling meja besar ini rata-rata adalah orang-orang yang kenyang berkelana di kalangan Kangouw, melihat tingkah si mulut cepat yang tengik jual mahal itu, ada diantaranya yang berangasan lantas tercetus bertanya.
"Thio-toako, sudahlah lanjutkan ceritamu, jangan jual mahal apa segala."
"Thio toako, siapakah sebenarnya Kim-pit-jan hun itu?"
Si mulut cepat Thio Sam menenggak seteguk arak lagi, lalu berkecek kecek-kecek mulut, katanya.
"Buat apa gugup, bicara tentang Potlot emas samber nyawa ini. Wah kepandaian silatnya benar-benar bukan olah-olah hebatnya!"
"Bagaimana hebatnya?"
"Coba kalian katakan, selain sembilan perguruan besar yang kenamaan itu, sekarang ini kekuatan siapakah yang paling berpengaruh dikalangan Kangouw?"
"Kim i pang."
"Bukan, kukira Siok li-kan lebih kuat,"
"Salah, yang benar adalah Hiat hong-pang"- Begitulah para hadirin menjadi ribut adu mulut, masing-masing mengukuhi pendapatnya sendiri. Si mulut cepat membentang kedua tangannya seraya mencegah.
"Sudah jangan ribut. Memang dalam dunia persilatan sekarang banyak kumpulan atau organisasi yang saling bermunculan, sudah tentu diantara sekian banyak itu ada beberapa yang berkekuatan besar, tapi yang kumaksudkan dalam ceritaku ini adalah Hiat-hong-pang."
"Hiat-hong-pang kenapa? " "Sekali ini Hiat-hong-pang dibikin kucar-kacir oleh Potlot mas samber nyawa!"
"Ha, ada kejadian begitu?"
Semua hadirin menjadi tertegun kaget, ini betul betul suatu berita yang mengejutkan siapakah orang yang berani memancing kerusuhan dengan pihak Hiat hong-pang.
Melihat ceritanya ini mengejutkan semua hadirin sampai melongo dan melompong saking heran si mulut cepat Thio Sam semakin takabur, sekilas matanya menyapu pandang keempat penjuru dilihatnya dalam warung-daging sapi ini ada begitu banyak orang yang tengah pasang kuping mendengarkan ceritanya maka semakin semangat ia mengobral ludahnya dengan suaranya yang lebih lantang.
"Bukan saja dibikin kocar kacir, sampai kedua pelindung kanan kirinya juga terbunuh oleh musuh."
Sebenarnya tokoh macam apakah Potlot emas samber nyawa itu? Apakah dia seorang diri yang melakukan semua itu."
"Bukan, dia bergabung dan bekerja sama dengan iblis rudin Siok Kui-tiang, kira-kira tiga puluhan jago-jago silat pihak Hiathong- pang yang dikerahkan hampir dibunuhnya semua, pertempuran yang dahsyat itu, ia, seumpama bumi berguncang langit menjadi gelap darah mengalir seperti sungai, mayat bertumpuk seperti bukit."
"Kejadian yang seram ini tidak perlu dibuat heran. bukankah iblis rudin juga ikut andil dalam pertempuran itu, maka tidak perlu dibuat heran akan hasil ini."
"Hehehe, kau salah lagi. walaupun iblis rudin sangat lihay, tapi bila dia tidak dibantu oleh Potlot emas samber nyawa, mungkin jiwa sendiri sudah melayang ditangan pelindung pihak Hiat-hong-pang!" "Wah, masa demikian? Kalau begitu pasti kedua pelindung kanan kiri itu juga merupakan tokoh silat yang bukan olaholah kepandaiannya?"
"Sudah tentu, karena mereka adalah murid Lwe-hwe-cun cia yang bersemayam didaerah barat sana."
"Apa? Murid iblis tua itu! Mati ditangan Potlot emas samber nyawa?"
"Ya, malah kematiannya sangat mengerikan."
"Thio-toako, dari mana kau ketahui semua kejadian ini?"
"Seorang sahabat kentalku adalah mata hidung dari perkumpulan itu, dialah yang memberi tahu kepadaku! Menurut katanya Hiat-hong Pang-cu sangat murka, sudah dikeluarkan Hiat-hong ling, mereka akan mengerahkan segala kekuatan dan daya upaya untuk membunuh kedua musuhnya itu!"
"Thio-toako, kau sudah bercerita setengah harian, siapakah sebenarnya tokoh macam Kim-pit-jan-hun ini? Bagaimanakah asal-usulnya?"
"Kalau kukatakan siapa dia pasti kalian tidak mau percaya, Hanya seorang pemuda remaja yang lemah lembut, berwajah cakap berdandan sebagai sastrawan, Mengenakan jubah putih panjang, dengan ikat kepala dari kain sutra, hakikatnya seperti bukan seorang yang pandai bermain silat!"
Bicara sampai disini matanya melihat Giok-liong yang duduk disamping sana, latuas ia main tunjuk kearah Giok-liong serta tambahnya lagi.
"Nah, seperti inilah!"
Serentak sorot pandangan seluruh hadirin dalam warung sapi itu lantas tertuju kearah Giok liong dengan pandangan main selidik, Malah terdengar juga ada orang yang menghela napas serta berkata gegetun.
"Masa betul-betul lemah-lembut demikian?"
Dalam hati Giok-liong merasa geli, batinnya.
"Sudah pasti mereka tengah memperbincangkan aku! Hehehe, Kim-pit jin hun atau Potlot emas samber nyawa, julukan ini bagus juga."
Mendadak terasakan olehnya diantara sorot mata yang memandang kearah dirinya, ada beberapa sorot pandangan yang berkilat dingin seperti kilat menyapu lintas kearah dirinya serta-merta dia lantas siaga dan berlaku cermat, sementara itu, terdengar si mulut cepat Thio Sam tengah menyambung ceritanya.
"Apakah kalian tahu asal-usulnya?"
"Tidak tahu?"
"Coba kalian pikir-pikir dulu, apa yang dinamakan Kim-pitjin- hun?"
"Apa mungkin senjatanya itu merupakan Kim-pit?"
"Bukan musahil dia ada hubungan atau sangkut pautnya dengan Jan-hun cu!"
"Hahaha, benar, tapi juga tidak benar! Memang senjata yang digunakan adalah Kim-Pit (Potlot Emas), Tapi dia tiada sangkut-pautnya dengan Jan-hun-cu!"
"Maka menurut kataku, jikalau dia ada sangkut-pautnya dengan Jan hun cu, wah pasti hebat sekali, tokoh silat nomor satu diseluruh dunia persilatan ini pasti akan diperolehnya."
Seorang jago mendadak menjerit kaget.
"Apa Potlot emas ? Apa bukan Potlot emas milik To-ji Pang Giok itu?"
"Tepat sekali menurut tafsiran analisa yang tepat, pasti dia adalah murid dari To ji Pang Giok."
"Wah, apa benar ? Tidak heran ia mempunyai kepandaian sedemikian tinggi. Apakah dia ada permusuhan dengan pihak Hiat-hong-pang ?" "Perihal ini aku sendiri tidak begitu jelas, tapi sebelum ini memang Hiat-hong Pang-cu pernah mengeluarkan perintah untuk meringkusnya."
"Siapakah namanya ? Coba katakan supaya menambah pengalaman kita beramai."
"Namanya Ma Giok-liong !"
Bicara sampai disini, tiba-tiba gordyin diluar pintu itu tersingkap, bajingan yang jelilatan diluar emper rumah tadi tampak berjalan masuk. Segera ada salah seorang yang duduk mengelilingi meja itu berteriak.
"Hai, Ong Bi, marilah duduk disini minum seteguk sambil mengobroI."
Bajingan yang dipanggil Ong Bi itu segera maju mendekat, lalu berbisih dipinggir telinga temannya.
"Awas amat-amatilah bocah disana itu, keadaannya rada menyolok mata."
Walaupun ia berbisik suaranya rendah dan lirih, tapi tak luput dari pendengaran kuping Giok-Iioog yang tajam dan jeli.
Sebaliknya, saat mana Giok-liong sendiri juga menemukan tiga orang yang perlu diambil perhatian ikut bercampur baur diantara sekian banyak tamu tamu yang tengah makan minum sambil mendengar obrolan Thio Sam itu.
Dipojok sebelah sana, duduk seorang laki-laki pertengahan umur berpakain jubah ungu yang agak kumal tengah makan minum seorang diri, jubah panjangnya itu sebetulnya bewarna biru, mungkin karena sering dipakai dan sudah lama sehingga luntur berganti warna, Raut mukanya kelihatan rada kurus tepos dengan expresi yang membeku tanpa emosi.
Kedua biji matanya rada di pejamkan, seolah-olah sudah terpengaruh oleh arak sehingga agak mabuk tapi juga seperti terpulas ditempat duduknya.
Namun dalam pandangan Giok-liong meskipun dia tengah memejamkan mata tapi masih tak luput memancarkan sorot pandangan yang tajam dingin.
Selain itu, dipinggir sebelah kiri duduk seorang pemuda berpakaian serba kuning, sambil angkat poci dan mangkuk araknya, terlongong-longong memandang keluar jendela.
Tapi lapat-lapat terdengar ia tengah mengejek memperdengarkan tawa dingin.
Tidak jauh dibelakang laki-laki pertengahan umur berpakaian kucal itu dipojokan yang agak gelap, duduk tenang seorang tua aneh yang berambut putih ubanan, bermuka panjang mengenakan kain kasaran warna merah.
Lain sekali sikap orang tua ini, duduk tanpa bergerak, kadang kadang saja angkat sumpitnya menyumpit sayur dan daging dari mangkuk dihadapannya terus dijejalkan kedalam mulutnya, tapi gerak geriknya ini juga tampak sangat kaku, setelah lebih diamati baru diketahui bahwa lengan baju sebelah kanan serta celana panjang sebelah kirinya kosong melambai.
Terang kalau lengan kanan serta kaki kirinya itu telah kutung nienjadi cacat.
Hakikatnya ia tidak ambil peduli segela sesuatu yang terjadi dalam warung makan ini, Sejak Giok-Iiong datang tadi siangsiang ia sudah duduk disitu, malah gaya duduknya juga terus begitu tanpa berganti atau beringsut.
Melihat keadaan tiga orang yang berlainan ini, Giok-Iiong menjadi mengerutkan kening, Dilihat keadaan mereka naganaganya kepandaian ketiga orang ini pasti luar biasa dibanding tokoh tokoh silat kalangan Kangouw umumnya.
Kalau tafsirannya ini tepat, kepandaian si orang tua cacat itu adalah yang paling tinggi, bukan mustahil sudah mencapai kesempurnaannya, sedang pemuda berpakaian kuning itu mungkin rada rendah sedikit.
Sedang pelajar pertengahan umur itu adalah yang paling rendah.
Tengah Giok-liong berpikir-pikir ini, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang ribut dan cepat sekali diselingi suara keliningan berbunyi tengah mendatangi dari jauh.
Sampai didepan warung makan itu segera kuda disentakkan berhenti sehingga berjingkrak berdiri dan bebenger keras sekali, suara keliningan terdengar semakin keras dan ribut.
Maka dilain saat begitu gordyin besar didepan pintu itu tersingkap, seorang gadis remaja yang mengenakan pakaian warna un^i dengan rumpi-rumpi panjang berjalan seperti melayang memasuki ruangan warung seketika hilang semua orang dirangsang oleh bebauan yang harum semerbak.
Dimana sepasang matanya yang jeli mengerling, dengan pinggang bergoyang gontai, dia tudah memilih sebuah tempat kosong terus berjalan kearah pintu.
Salah seorang laki-laki dimeja tengah itu seketika membelalakkan kedua matanya terus mengikuti pandangan yang memikat hati ini.
Waktu si gadis remaja ini lewat dipingtir meja ada seorang laki-laki kasar bertubuh tinggi kekar berdiri seraya bersiul ujarnya.
"Wah gadis ayu rupawan, tuan..."
Belum habis perkataannya tiba tiba terdengar suara "Plakplok"
Yang nyaring disertai gerungan kesakitan si laki-laki tinggi besar itu, badannya juga lantas roboh terbanting diatas meja besar itu sehingga mangkuk piring serta sayur mayurnya pecah berantakan terlihat dari tujuh lobang indranya melelehkan darah segar, nyata jiwanya sudah melayang.
Semua hadirin kurang jelas apakah gadis berpakaian ungu ini ada turun tangan tidak, Sebab tatkala itu juga ia sudah sampai ditempat kosong terus duduk seenaknya, suaranya terdengar merdu seperti suara kelintingan memanggil pelayan memesan masakan, Sudah tentu para laki-laki yang mengelilingi meja besar itu menjadi gaduh dan ribut.
Sekonyong-konyong terdengar suara jengek tertawa dingin seseorang, Waktu semua orang memandang kearah datangnya suara tawa dingin ini tampak laki-laki pertengahan umur berpakaian seperti pelajar rudin itu telah mengunyah daging sapi dimulutnya, sedang tawa dingin tadi justru keluar dari mulutnya.
Para bajingan-bajingan kasar yang mengelilingi meja itu terang tidak melihat sigadis turun tangan, sedang kejadian ini terjadi begitu cepat dan mendadak terdengar pelaiar rudin pertengahan umur ini memperdengarkan suara jengeknya, segera seorang mereka tertegun sejenak mendadak tengah laki-laki tromok yang beralis tebal bermata juling lantas melolos golok, bajunya dan punggung terus memaki garang.
"Maknya, coba tertawa lagi, biar tuanmu ini ..."
"Siuuuut"
Terdengar angin keras menyamber lantas terdengar lagi Jeblus"
Disusul suara gaduh lagi akan terbantingnya sesuatu benda yang berat diatas tanah, Kiranya laki-laki tromok itu sudah terjungkal roboh dengan badan meringkik tanpa bergerak lagi, jiwanya melayang, sebatang sumpit yang berlepotan darah melesat masuk kedalam dadanya terus tembus sampai dipunggungnya menancap diatas meja tinggal separo yang muncul di permukaan.
Suara dingin kaku di pelajar rudin itu terdengar berkata pada pelayan.
"Pelayan ambilkan sebatang sumpit kemari!"
Keadaan dalam warung makan kini menjadi gempar dengan adanya keonaran ini.
Bagi yang bernyali kecil segera angkat langkah seribu.
Sebaliknya rombongan para bajingan yang mengelilingi meja besar itu menjadi insaf bahwa mereka sekarang tengah menghadapi musuh kosen, serentak mereka mencabut senjata masing-masing siap bersiaga, lalu perlahan-lahan menggeser keluar pintu.
Begitu tiba diluar serempak mereka berteriak terus berlari kencang sipat kuping seperti di kejar setan.
Pemilik warung makan itu juga entah sudah sembunyi dimana, peristiwa ini terjadi begitu cepat, perubahan yang mendadak ini menjadikan warung makan yang tadi penuh sesak dan hiruk pikuk sekarang menjadi sepi lengang, selain kedua sosok mayat itu tinggal lagi lima orang yang masih duduk tenang dalam warung itu.
Mereka tengah asyik menikmati hidangan di meja mereka masing masing.
Tapi walaupun suasana sunyi tapi tertampak suatu ketegangan yang mencekam hati, Diam-diam Giok liong harus berpikir.
"Lebih baik aku juga segera tinggal pergi. Nagataganya bakal terjadi perkara lagi di-sini."
Baru saja ia hendak berbangkit dan tinggal pergi, diluar pintu sana tiba-tiba terdengar suara ribut yang mendatangi "Nah, lihat Say-bun-siang dan Siau cu-koh telah tiba."
"Heran mengapa mereka juga bisa datang kemari.. .."
"Sungguh kebetulan mereka dapat bersama muncul ditempat ini."
Hati kecil Giok-liong sendiri juga rada tergetar.
Maklum bahwa Say-bun siang Lip Jin-kiong dan Siau-cu-koh Pui Gi adalah pendekar kenamaan nomor satu dari dunia persilatan yang berkedudukan di utara dan selatan sungai besar, berapa tinggi kepandaian mereka tiada seorangpun yang mengetahui seluk-beluknya.
Sesuai dengan nama julukannya sebagai pendekar selama hidup ini perbuatan mereka mengutamakan kebijaksanaan dan menjunjung tinggi kebenaran, bijak pada sesama umat manusia, suka melerai dan menyelesaikan setiap perkara besar atau kecil dengan adil.
Setiap kali terjadi pertikaian asal salah satu diantara mereka turun tangan pasti beres.
Hari ini sungguh mengherankan mereka berdua ternyata bisa bersama datang ditempat perbatasan yang masih rada liar ini.
Tatkala itulah, begitu gordyin besar itu tersingkap beriring berjalan masuk dua orang.
Orang yang sebelah kiri berbadan tinggi besar rada gemuk, mengenakan pakaian sebagai seorang hartawan yang kaya raya dengan sebuah huruf "Siu"
Yang besar tersulam indah dijubah panjang yang mewah itu.
Orang yang disebelah kanan mengenakan jubah panjang warna hijau, tangannya memegang kipas sambil digoyanggoyangkan, wajahnya bersih dan ganteng, badannya rada pendek dibanding temannya yang disebelah kiri, tapi dia sendiri mempunyai suatu sikap dan pembawaan yang lain dari yang lain.
Selayang pandang saja lantas dapat dimengerti bahwa orang tinggi besar disebelah kiri itu pasti Say-bun-siang Lip Jin-kiong seketika tergetar hati Giok-liong, agaknya pernah dilihatnya orang ini, tapi entah dimana, Tapi setelah diamatamati lebih cermat terasa rada asing dan agaknya memang belum pernah bertemu muka sebelum itu.
Pait-m pada itu, begitu mereka memasuki ruang warung makan ini, agaknya mereka rada terkejut Sebab kelima orang yang duduk tenang dimeja masing-masing, tiada seorangpun yang berdiri menyambut kedatangan mereka atau sekedar sapa sapa juga tidak.
Akan tetapi, cepat sekali mereka berdua lantas dapat mengendalikan diri, Terdengar Say-bun siang Lip Jin kiong tertawa terbahak bahak, langsung menghampiri kearah si orang tua cacat itu dengan langkah lebar, begitu tiba dihadapannya lantas membungkuk diri mengangkat tangan memberi hormat sembari katanya.
"Sa-locian-pwe tidak mengecap kesenangan hidup tua digurun utara, ternyata berkecimpung lagi di kalangan Kangouw, ini benar benar merupakan keberuntungan dunia persilatan umumnya."
Begitu mendengar perkataan orang baru Giok-liong terkejut dan teringat olehnya akan seseorang, Tidak perlu disangkal lagi bahwa si orang tua bermuka panjang ini pasti adalah Bokpak it- jan Sa Ko yang dulu sejajar dan setingkat dengan gurunya dalam Ih-lwe-su cun, sungguh tidak diduga iblis kawakan pada ratusan tahun yang lalu kiranya sekarang muncul lagi didunia persilatan ini, benar-benar membuat orang serba sulit untuk memikirkannya.
Tanpa berkedip mata sedikitpun Bo pak-it-jan Sa Ko menyahut dingin.
"Bocah siapa kau ? Berani kau mengurusi aku orang tua ini ?"
Kembali Say-bun-siang Lip Jin-kiong tertawa lebar, sahutnya.
"walaupun Lo cianpwe tidak kenal aku yang rendah, tapi aku yang rendah sudah lama mengagumi kau orang tua, Sungguh tidak nyana hari ini kita bisa bertemu ditempat ini, betul betul merupakan keberuntunganku selama hidup ini."
Sementara Say-bun-siang Lip Jin kiong tengah bertanya jawab dengan Bo-pak-it-jan disebelah sana Siau cu-koh Pui Gi juga telah menghampiri pelajar rudin pertengahan umur itu, sedikit angkat tangan memberi hormat ia berkata tersenyum.
"Tidak nyana ternyata saudara Pek juga sudah sampai ditempat belukar yang liar ini ?"
Pelajar pertengahan umur ini ternyata bukan lain adalah seorang tokoh aneh di-kalangan Kangouw yang telah menggetarkan dunia persilatan dengan julukannya Ham-kang it-ha Pek Su-in.
Tahu dirinya yang dijadikan sasaran pertanyaan itu, ia menjengek dingin, sahutnya.
"Tuan sendiri boleh datang masa aku yang rendah lantas tidak bisa kemari ?"
Siau-cu koh Pui Gi rada tercengang akan sambutan yang dingin ini, tapi sebentar saja ia lantas unjuk senyum lebar lagi, katanya.
"Ucapan saudara Pek ini rada keterlaluan sedikit, siaute hanya sedikit heran, mengapa saudara Pek tidak mengecap hidup senang di atas pulau Pek hun-to, sebaliknya datang di-perbatasan yang belukar dan liar ini."
Ham-kang it bo mendengus hina, sahutnya menyeringai.
"Aku maklum akan ucapan tuan yang mengandung arti itu, sudahlah jangan banyak cerewet lagi."
Lalu diangkatnya poci arak terus ditenggaknya sambil ber kecek-kecek mulut, hakikatnya sedikitpun ia tidak hiraukan lagi akan kehadiran Siau -cu-koh Pui Gi.
Dari samping dengan teliti Giok-liong awasi terus adegan yang terjadi ini, hatinya menjadi gundah dan tidak tentram tak tahu dn apa yang bakal terjadi nanti.
Seketika suasana dalam warung makan ini menjadi serba runyam dan lucu, Tidak heran karena Say-bun-siang dan Siaucu- koh berdua biasanya sangat dijunjung tinggi sebagai pendekar yang kenamaan dikalangan Kangouw.
Tak nyana hari ini mereka bisa berbareng berkunjung ketempat sepi ini bersamaan menghadapi sikap kaku dan ketus dari orang yang diajak bicara, setelah saling pandang memandang, mereka hanya bisa tertawa getir terus angkat tangan serta sedikit membungkuk badan seraya katanya.
"Baiklah kami yang rendah minta diri saja."
Tiada seorangpun hadirin yang memperdulikan mereka lagi.
Tapi lain halnya penerimaan Giok-liong, diam-diam bercekat hatinya.
Karena sebelum beranjak pergi tadi mereka berdua menyapu pandang sekilas kearah Giok-liong.
Terasakan oleh Giok liong bahwa sorot pandangan mereka mengandung arti yang harus dijajaki, seolah-olah mereka ingin dirinya ikut mereka meninggalkan tempat ini.
Begitulah setelah memberi hormat sekedarnya, mereka berdua lantas menyengkap gordyin terus mengundurkan diri keluar pintu.
Sedikit ragu lantas Giok liong ambil ketetapan hati, bergegas ia berdiri hendak meninggalkan warung makan ini.
Namun sebelum kakinya melangkah keluar pintu terdengarlah dengusan dingin dibelakangnya disusul suara merdu nyaring terkiang dipinggir telinganya.
"Ma Giok-liong..."
Begitu mendengar ada orang memanggil namanya, kontan Giok-liong berhenti terus berpaling kebelakang, sahutnya.
"Siapa panggil aku?"
Lantas terlihat gadis rupawan berpakaian ungu itu tersenyum manis kearahnya serta katanya.
"Betulkah kau ini Ma Giok-liong? Akulah yang panggil kau"
Sementara waktu Giok-liong melongo dan terheran heran dibuatnya, ujarnya.
"Aku dan kau selama ini belum pernah berkenalan ..."
Waktu ia angkat bicara ini terasa olehnya berbagai sorot pandangan dingin laksana kilat tertuju kearah dirinya, Serta merta ia merandek bicara, lalu menyapu pandang keempat penjuru, Terlihat olehnya tiga orang lain yang hadir dalam warung makan itu tengah memusatkan perhatiannya kearah dirinya.
Gadis rupawan berpakaian ungu itu menampilkan senyum manis lagi, ujarnya.
"Meskipun kau belum kenal aku, tapi aku sudah tahu siapa kau." "Aku ada urusan yang hendak kukatakan kepadanya, tiada halangannya kau ikut aku kemari ..."
Tanpa menanti jawaban Gick-liong sudi atau tidak ikut dia, dengan langkah lemah gemulai langsung ia berjalan keluar.
Tadi Giok liong sudah melihat bagaimana telengas cara nona muda ini turun tangan kepada para bajingan yang usil mulut itu, tahu dia bahwa nona lembut ini juga pasti bukan sembarang tokoh silat biasa.
Tapi bagaimana juga ia tidak mengerti cara bagaimana gadis rupawan ini bisa mengenal akan namanya.
sebetulnya ini soal sepele, betapa cepat kabar yang tersiar di kalangan Kangouw berpuluh kali lebih cepat dari rambatan api yang membakar ladang belalang, sebagian besar kaum persilatan hampir seluruhnya sudah mengetahui akan munculnya seorang tokoh muda yang berjuluk Poilot emas sumber nyawa, pendekar gagah murid To-ji Pang Giok yang sangat kenamaan dan disegani pada masa-masa yang silang sebagai tokoh nomer satu dari Ih-lwe-su-cun.
Bagi angkatan yang lebih tua banyak orang mengetahui bahwa benda pusaka seruling samber nyawa peninggalan Janhun cu dulu sudah terjatuh ditangan To ji Pang Giok.
Betapapun susah payah ke!ayak ramai ingin merebut seruling ampuh itu, toh mereka tidak dapat menemukan jejak Pang Giok yang sesungguhnya.
Sekarang bertepatan dengan bakal terjadi keonaran besar yang membahayakan ketentraman hidup kaum persilatan bermunculan pulalah para iblis durjana yang jahat serta telengas itu.
Untung pula muncullah Kim-pit-jan-hun (potlot emas samber nyawa) Ma Giok-liong.
Bukankah gampang saja bagi para takoh-tokoh angkatan tua yang mengetahui duduk persoalan yang tersembunyi itu mengutus kaki tangannya untuk menyirapi kebenaran serta jejak seruling yang ampuh mandraguna itu.
Hanya Ma Giok-liong seorang yang masih diketahui karena pengalamannya yang kurang luas serta kurang dapat berpikir panjang secara mendalam.
BegituIah dengan cepat otaknya berputar, akhirnya ia ambil putusan.
"Terlalu lama aku berdiam ditempat ini pasti tidak menguntungkan jiwaku. Terpaksa aku harus ikut dulu nona ini meninggalkan tempat ini, untuk menentukan langkah selanjutnya."
Karena pikirannya imi, segera ia merogoh pecahan uang perak terus ditaruh diatas meja, memutar tubuh lantas hendak tinggal pergi. Sebuah suara dingin berkata.
"Kau tetap tinggal disitu!"
Kiranya Han-kang-it-ho Pek Su-in buka suara. Dingin-dingin saja Giok-liong memandang sekilas, dalam hati ia mengumpat dengan gusar.
"Orang-orang disini mengapa rata-rata tidak tahu sopan santun dan aturan."
Karena berpikir demikian, ia mandah mendengus hidung terus angkat langkah mengikuti gadis rupawan berpakaian ungu itu menuju ke luar pintu. Ham-kang-it-ho menjadi dongkol, dampratnya.
"Bocah ini terlalu takabur, Hm!"
Seiring dengan gerungannya ini, jari tengahnya sedikit diselentingkan, kontan selarik angin keras yang bersuit nyaring melesat mengarah punggung Giok liong, Giok-liong menjadi pusar, baru saja ia hendak membalik badan.
Tahu-tahu terasa angin berkesiur membawa bau harum disusul bayangan ungu berkelebat suara gadis berpakaian ungu itu telah berkata disampingnya.
"Pek Su in, berani kau bertingkah!"
Jari-jarinya yang halus juga sedikit diangkat kesiur angin kencang itu lantas lenyap sirna berganti suara "blang"
Yang keras, kekuatan selentikan jari kedua belah pihak beradu ditengah jalan dan sama-sama hilang tanpa bekas.
Wajah Ham-kang-it-hi Pek Su-in yang pucat dingin itu sedikit mengunjuk rasa kejut, tapi hanya sebentar saja lantas kembali seperti semula, tanyanya dingin.
"Ci hu-sin-kim itu apamu ?"
Gadis berpakaian ungu tersenyum simpul, sahutnya.
"Kau belum berharga menanyakan."
Setiap kali berkata suaranya terdengar nyaring merdu dan lemah lembut, tapi arti katanya cukup membuat Ham-kang it-ho menjadi malu dan serba runyam saking gemesnya air mukanya menjadi kaku, geramnya.
"Budak, yang bermulut tajam ..."
Merah jengah kedua pipi gadis berpakaian ungu itu, sahutnya tertawa.
"Kalau kau tidak terima, baiklah nanti tengah malam kita bertemu di Thiang-sun-po, sepuluh li diselatan kota ini,"
Setelah itu ia berpaling kearah Giok-iiong sambil tersenyum, katanya.
"Mari kita pergi."
Saking gusar wajah Ham-kang-it-ko sampai mengunjuk nafsu membunuh, sebelah tangannya menekan pinggir meja, sahutnya menyeringai.
"Tepat pada waktunya pasti aku orang she Pek akan memenuhi harapan nona."
"cras"
Pinggir meja itu hancur menjadi bubuk tertekan oleh tenaganya yang dahsyat sampai berhamburan di lantai. Lalu ia melotot kearah Giok-Iiong serta tantangnya.
"Buyung, nanti malam kau juga harus datang."
Rasa dongkol hati Giok-liong masih belum lenyap, diapun tidak mau kalah garang sahutnya temberang.
"Tuan mudamu senantiasa akan mengiringi kau"
Sambil berkata sengaja atau tidak sekilas ia memandang kearah pemuda berbaju kuning yang duduk dipinggir jendela itu.
Terlihat olehnya pemuda baju kuning itu sedikit manggut kepadanya, sebetulnya memang Giok-liong merasa simpatik terhadap pemuda ini, iapun belas sedikit manggut sambil tersenyum.
Saat itulah Bo-pak it-jan yang sejak tadi duduk mematung tanpa bergerak itu mendadak membalikkan sepasang matanya yang aneh, sorot gusar yang meluncurkan kilat tajam dari kedua matanya itu, ia meIingking tajam.
"Anak jadah she Ma lekas kemari mengharap Lohu."
Sejenak Giok-liong tercengang, namun dilain saat segera ia membungkuk memberi hormat, sapanya.
"Adakah petunjuk apa-apa dan Lo-cian-pwe ?"
Mendadak Bo-pak-it-jan Sa Ko terkekeh-kekeh aneh, serunya.
"Kau tidak boleh pergi."
Sekarang Giok-liong sudah paham dan isyaf apa yang bakal terjadi dalam warung makan ini, maka hatinya menjadi sedikit tabah, namun tak urung tercetus juga pertanyaannya.
"Kenapa ?"
"Sebab Lohu tidak mengijinkan kau pergi !"
"Jikalau Wanpwe harus segera pergi bagaimana ?"
"Heheheheheeeeeh! Kccuaii kb,u sudah tidak ingin hidup!"
"Kalau begitu Wanpwe harus segera pergi."
Mendadak gadis berbaju ungu itu tertawa nyaring, telunjuknya yang runcing dan halus putih ifu menunjuk kearah Bo-pak-it-jan, serunya lantang.
"Sa Ko, kalau lain orang takut kepadamu. Aku Ci-hu giok-li tidak mempan akan gertakanmu itu."
Bo-pak-it-jan (sicacat dari gurun utara) Sa Ko membelalakkan kedua biji matanya yang aneh itu, serunya setelah bergelak tertawa.
"Mengandal kau budak kecil yang masih berbau bawang juga berani mengeluarkan kata sombong? Hehehe, betapa juga Lohu hari ini harus menahan buyung she Ma ini!"
Sikap Ci hu-giok-li tetap tenang serta katanya lagi tertawa.
"Sebaliknya aku tidak ijinkan kau menahan dia."
Tatkala itulah pemuda baju kuning yang cakap ganteng itu perlahan-lahan bangkit berdiri serta ujarnya lemah lembut.
"Lo cian-pwe hendak menahan orang, sedang baju ungu ini hendak melepas orang! Lantas bagaimana pendapat Ma kongcu sendiri."
Ham-kang-it-ho (bangau tunggal dari sungai Ham) berdiri sambil menjengek dingin timbrungnya.
"Lebih baik kita bsramai bertemu di Tiang-sun po pada lengah malam nanti."
Si cacat dari gurun utara segera mendengus, katanya.
"Baiklah, jikalau siapa diantara kalian tidak datang tepat pada waktunya, cepat atau lambat pasti Lohu akan puntir batang lehernya sampai mampus.". sorot pandangannya setajam ujung pedang menatap setiap hadirin dengan ancaman yang serius, teristimewa ia tatap wajah Giok-liong dengan lekat! "Marilah kita berangkat."
Tambahnya kepada Giok-liong sambil mengerling penuh arti.
Tanpa bersuara segera Giok-liong mengintil di belakang terus keluar dari warung makan itu, Diiuar pintu banyak orang tengah merubung datang mengintip ingin melihat keramaian, tapi mereka tidak berani maju mendekat.
Maka begitu melihat mereka berdua berjalan keluar segera mereka berlari bubar keempat penjuru.
Tapi cukup hanya selayang pandang saja lantas dapat diketahui oleh Giok - liong bahwa diantara sekian banyak orang menonton itu ada beberapa pasang mata berkilat yang berkelebat diantara mereka, waktu ditegasi lagi, pandangan berkilat itu sudah menghilang tercampur baur diantara sekian banyak orang yang berlari bubar itu.
Selanjutnya pemuda baju kuning, Ham-kang-it-ho dan Bo- Pak-it-jan juga berkelebat keluar, sekejap mata saja bayangan mereka sudah menghilang entah kemana.
Hanya pemuda baju kuning itulah sebelum pergi menampilkan sorot pandangan penuh prihatin kearah Giokliong, sayang Giok-liong tidak tahu akan hal ini.
Sementara itu Ci-hu-giok-li berpaling ke arah Giok-liong.
Serta katanya.
"Marilah kita cari penginapan untuk istirahat dulu!"
Dengan heran Giok liong tatap wajah orang, balas tanya, Bukankah nona ada urusan penting yang minta aku ikut untuk menyelesaikan?"
Ci-hu-giok-li tersenyum memikat, ujarnya "Memang biarlah nanti seteleh sampai di penginapan baru kita rundingkan lagi."
Bergegas ia berlari kesamping rumah untuk menuntun kuda tunggangannya itu.
Baru sekarang Giok-liong melihat tegas, bukan saja kuda tunggangannya ini tinggi besar dan gagah sekali, bulunya memutih bersemu ungu, benar benar merupakan seekor kuda jempolan yang jarang ada.
Dibawah lehernya tergantung sebuah kelintingan warna ungu, juga entah terbuat dari benda apa, seiring dengan goyang gontai kepala kuda berbunyilah keliningan itu nyaring.
Melihat Giok liong terlongong memandangi kuda tunggangannya, Ci hu-giok-li menjadi geli, katanya Iambat.
"inilah Ci-liong-ki yang khusus dipilihkan oleh ayah untukku. Namamu yaitu Ci-liong ( naga ungu). Kekuatannya memang hebat, sehari dapat menempuh seribu li, kalau malam dapat berlari sejauh delapan ratus li. Benar-benar seekor kuda yang jempol."
Tahu bahwa dirinya dipuji oleh majikannya, sang kuda segera angkat kepala manggut-manggut saking girang sorot matanya mengunjuk rasa gembira.
Begitulah sambil berjalan berendeng mereka menyusuri jalan raya sehingga menimbulkan perhatian orang disepanjang jalan.
Sungguh harus dipuji sikap Ci-hu-giok-li yang tetap riang dan wajar tanpa malu-malu suaranya tetap nyaring tanpa ragu-ragu atau rikuh.
Tidak berapa jauh mereka maju ke depan tibalah mereka didepan sebuah penginapan yang cukup besar.
Langsung mereka minta disediakan umpan yang terbaik bagi kudanya, lalu langsung mereka memasuki kamar.
Baru saja duduk, lantas Giok-liong tidak sabaran lagi bertanya.
"Ada urusan apakah yang hendak nona rundingkan dengan aku yang rendah?"
"Aku bernama Kiong Ling ling, selanjutnya kau panggil aku Ling-ling saja."
"Oh, ya, Nona Kiong ada urusan apa"
Kiong Ling-ling membanting kaki, katanya cemberut.
"Kau ini bagaimana, apa tadi yang telah kukatakan?"
"Nona mengatakan bahwa aku yang rendah boleh panggil nona Ling-ling saja."
"Sudahlah, jika kau ingin tahu apa yang hendak kukatakan, untuk selanjutnya tidak perlu lagi menggunakan istilah nona atau noni apa segala."
Giok liong menjadi uring-uringan, batinnya.
"Waa, lucu bin ajaib. Terang kau sendiri yang minta aku ikut kemari, katanya ada urusan yang minta bantuanku untuk menyelesaikannya, Akibatnya sekarang menggunakan alasan ini untuk mengancam aku..."
Tapi begitu melihat sikap Kiong Ling-ling yang polos serta lincah jenaka itu, hatinya menjadi lemas, katanya.
"Baik, baik, Ling ling ada urusan apa yang hendak kau katakan kepadaku?"
Mendengar orang betul-betul patuh akan permintaannya memanggil singkat namanya betapa girang dan terasa syuur hatinya, wajahnya nan ayu jelita bak bunga mekar di-musim semi tersimpuI oleh senyuman manis yang memikat hati, sahutnya dengan lambat-lambat .
"Sebetulnya ..."
"Sebetulnya ada apa ?"
"Sebetulnya kedatanganku ini berusaha merebut suatu benda milikmu."
Giok liong berjiigkrak kaget, serunya tak tertahan.
"Barangku apa yang hendak kau rebut ?"
Air muka Kiong Ling-Iing mengunjuk rasa kikuk dan serba salah, sahutnya tertawa dibuat-buat.
"Aku hendak merebut Jan-hun-ti milikmu itu."
"Apa ? Dari mana kau dapat tahu kalau aku memiliki Seruling samber nyawa?"
"Aku hanya dengar kabar tersiar dikalangan Kangouw."
"Bagaiamana mereka bisa tahu ?"
"Sudah tentu mereka tidak tahu, yang terang mereka hanya tahu bahwa kau adalah murid penutup dari Pang-locianpwe, Maka ayahku berani memastikan bahwa seruling samber nyawa itu pasti berada diatas badanmu."
"0h, menurut analisa mu ini, terang kalau Bo-pak-it-jan serta yvitu laii-it-ho itu juga berniat hendak merebut seruling samber nyawa itu ?" "Hal ini ...sudah tentu ada kemungkinan itu ! Tapi sekarang mereka takkan berhasil."
"Kenapa ?"
"Sebab aku akan membantu kau."
"Lho, kenapa kau hendak bantu aku ?"
"Aku ... apa jelek kalau orang membantu kau, untuk apa kau nyerocos bertanya."
"Tidak aku harus mengetahui apa alasannya !"
"Tidak ada alasan dan tidak perlu alasan, aku senang berbuat begitu."
"Benar-benar kau tidak ingin merebutnya ?"
"Tepat, aku tidak akan rnerebutnya lagi."
Untuk sementara waktu masing-masing tenggelam dalam renungan masing-masing. Saban-saban Ling-ling melirik mesra kearah Giok liong. Akhirnya Giok-liong buka suara lagi.
"Ling ling, lebih baik kau tidak usah membantu aku."
"Sudahlah tidak perlu dipersoalkan lagi, kau harus segera istirahat, nanti malam mungkin kita harus menghadapi sebuah pertempuran dahsyat."
"Baiklah, kau juga perlu istirahat,"
Lalu ia pamitan kembali kekamarnya sendiri.
Tengah malam telah tiba, seluruh alam semesta ini dilingkupi kegelapan, tiada bintang tiada sinar rembulan udara mendung dan hawa dingin, Saat begini orang-orang banyak yang meringkuk diatas ranjang tidur mendengkur dengan nyenyaknya.
Tian-sun-po yang terletak sepuluh Ii di-sebelah kota An-sun biasanya merupakan tempat semak belukar yang jarang diinjak kaki manusia, lebih seram keadaan malam ini yang sunyi serta dilengkapi hawa membunuh yang menghantui sanubari sedap manusia yang hadir.
Benar benar menggiriskan.
Didepan sebuah hutan gelap yang terletak di Tiang-sun-po itu, mendadak muncul seorang berkedok yang mengenakan pakaian serba hitam, dimana tangannya diangkat bertepuk empat kali.
Suara tepukan tangan yang nyaring ini memecah kesunyian alam sekelilingnya.
Seketika itu juga dari dalam hutan melesat keluar dua orang berkedok yang mengenakan seragam hitam pula, langsung mereka maju menghadap terus membungkuk memberi hormat serta katanya lirih tertahan.
"Bala bantuan yang diandalkan dari kumpulan kita sudah lengkap scmua, adakah petunjuk Tong cu, selanjutnya?"
"Bagainjana dengan saudara dari Kim i-pang?"
"Mereka sudah dipencar keempat penjuru."
Sekonyong-konyong sebuah bayangan kuning mas berkelebat seorang laki-laki perte ngahan umur yang mengenakan baju serba kuning mas berkilau melompat keluar dari belakang batu besar disemak belukar sana, laksana anak panah cepatnya tahu-tahu sudah meluncur datang ditengah gelanggang, sedikit tersenyum lantas katanya.
"Malam ini sedapat mungkin kita harus mengerahkan segala tenaga dan daya upaya."
Orang berkedok hitam manggut-manggut sahutnya.
"Hiathong dan Kim-i menjadi satu seumpama saudara kandung, malam ini untuk pertama kali kita bergabung beroperasi besar harapan bisa mendapat sukses." "Para Pang-cu kita segera akan tiba, perintahkan kepada semua anak buahmu untuk tidak usah keluar menyambut dan jangan lupa suruh mereka sembunyi yang rapi, jangan terlalu dekat dengan gelanggang pertempuran. Sebab tokoh-tokoh yang datang dalam ini berkepandaian cukup tinggi, jikalau sembunyi kita sudah kenangan sebelum bergerak, pasti gatal total seluruh rencana kita,"
Kedua orang berkedok itu berbareng mengiakan.
"Awas dan ingat, sebelum Kim ding-ling dan Hiat hong-ling dilepas bersama, siapapun dilarang mengunjukkan diri! Tahu? Baik, kembalilan ke tempat masing-masing."
Sinar kuning mas dan bayangan hitam berkelebat, serentak ketiga orang itu melesat hilang di kegelapan.
Tidak berselang lama, jauh di pinggir hutan di lereng gunung sana, dua bayangan sinar kuning keemasan dan sebuah bayangan hitam meluncur datang cepat sekali terus melambung tinggi menghilang didalam hutan.
Alam sekitarnya kembali menjadi sunyi lengang, siapapun takkan menduga bahwa dimalam sunyi berhawa dingin dengan angin badai menghembus kencang ini, diatas lereng gunung yang liar belukar ini,akan terjadi suatu pertempuran besar serta menjadi tempat penjagalan manusia yang tidak mengenal kasihan.
Baru saja terdengar kentongan ketiga berbunyi, sebuah bayangan keputih-putihan melayang tiba diatas lereng bukit itu,sejenak ia berhenti mengamat-ngamati keadaan sekelilingnya, terus berkelebat hilang di kegelapan.
Selanjutnya tampak lagi sebuah bayangan ungu bergerak gerak, tahu-tahu diatas lereng bukit itu sudah bertambah seorang gadis berpakaian ungu berbadan langsing semampai berwajah ayu rupawan.
Berputar badan ia menghadap kearah tempat menghilangnya bayangan keputihan tadi lantas terdengar suaranya berkata.
"Ma Giok-liong, tokoh yang pegang peranan malam hari ini kemungkinan besar adalah kau Iho."
Habis berkata, ia berpaling kearah tempat yang agak jauh sana, lalu katanya lagi sambil tertawa. itulah pelajar rudin kecut itu telah datang."
Giok-liong sembunyi diatas sebuah pohon besar yang rindang, sahutnya tertawa.
"Tadi nona berkata lebih baik aku jangan keluar dulu..."
"Nona yang mana?"
Giok-Iiong tercengang, akhirnya ia paham sendiri, katanya geli.
"Ling-ling, kau bukan yang berkata."
"Apa lagi yang telah kukatakan?"
"Menurut pesanmu...jikalau keadaan tidak menguntungkan, kau menyuruh aku segera angkat kaki, habis perkara,"
"Tapi aku yang rendah bulan manusia macam begitu,"
"Kau ...
"
Saat itulah sebuah bayangan hijau telah meluncur tiba dari jarak yang agak jauh sana, langsung hinggap diatas lereng bukit itu, pendatang ini bukan lain adalah Ham-kang-it-ho Pek Su -in adanya.
Begitu menginjak tanah, segera celingukan keempat penjuru, lalu jengeknya dingin.
"Kirarya nona juga dapat dipercaya."
Ci-hu-giok-li Kiong Ling-ling tertawa cekikikan, ujarnya.
"Kaum keluarga Ci-hu selamanya dapat dipercaya."
Ham-kang it-ho menyeringai, katanya mengejek.
"Tidak sedikit jumlah kaum keluarga Ci nu yang ikut datang hari ini."
Sikap Kiong Liag-ling tetap wajar, jengeknya kembali.
"Bantuan yang diundang dari Pek-hun-to, mungkin lebih banyak dari kedatangan orang-orang Ci-hu bukan."
"Hm, aku yang rendah datang seorang diri."
"Nonamu ini juga bertandang sendirian."
Berubah air, muka Pek Su-in, desisnya dengan nada berat.
"Lalu kemana bocah she Ma?"
Sebuah suara tawa dingin yang serak terkiang ditengah gelanggang Dimana angin berkesiur keras disusul bayangan berkelebat tahu-tahu Bo pak-it-jan Sa Ko sudah berdiri tegak dihadapan mereka, sebagainya dingin.
"Kiranya sia-sia saja Pek-bun Toju memberi makan dan membesarkan kau bocah ini ! Bukankao bocah she Ma itu tengah ungkang-ungkang duduk diatas dahan pohon itu?"
Telunjuknya menuding keatas.
"Siuuur"
Meluncurlah selarik angin keras langsung menerjang kearah pohon besar yang diduduki Giok-liong. Giok-liong terbahak-bahak, serunya lantang.
"Ternyata tidak bernama kosong."
Di mana terlinat bayangan putih melejit berkelit enteng sekali Gtok-liong hindarkan diri dari sambaran angin tusukan jari yang lihay itu, setelah hinggap di tengah gelanggang, sedikit saja ia berkata tersenyum.
"Aku yang rendah Ma Giok-liong, harap terimalah hormatku ini."
Disindir sedemikian rupa oleh Bo pak-it-jan Ham-kang-it-ho Pek Su in menjadi malu dan dongkol sampai air mukanya berubah hijau, jengeknya sinis.
"Lohu kira bocah hijau macam mu ini sudah lari sembunyi tak berani muncul lagi, takut mati!"
Mendadak dari dalam rimba sebelah sana terdengar suara penyahutan yang lantang.
"Ya, yang takut mati memangnya takkan berani datang!"
Belum hilang suaranya, tahu-tahu pemuda berpakaian serba kuning itu sudah melangkah ringan berlenggang memasuki gelanggang, menghadap kearah para hadirin ia hunjuk senyum lebar, malah sengaja atau tidak matanya lekat-lekat menatap ke arah Giok-liong.
Bok-pak-it-jan mengekeh tawa, selanya.
"Apa maksud kedatangan kalian ?"
Pemuda baju kuning mandah tertawa tawa saja melangkah ke pinggir tanpa membuka mulut. Sebaliknya Ham-kang-it-ho terdengar mendenguskan hidung. Terdengar Ci hu giok li menyahut lembut.
"Sa-lo-than pertanyaanmu ini sungguh mengherankan."
"Apa yang perlu diherankan ?"
Ci-hu-giok-Ii tertawa lagi, tanyanya.
"Kau sendiri apa maksud kedatanganku ini?"
Bo-pak- it-jan melengak, air mukanya, yang kaku itu sedikit bergerak, sahutnya.
"Budak, kecil, kau sendiri apa kehendakmu kemari ?"
"Alah, main pura-pura."
Sahut Ci-hu-giok-li "Bukankah kau sudah dengar aku ada janji dengan Pek-tay-hiap untuk menyeleaikan suatu urusan disini."
"Hm, sudah tentu Lohu sendiri juga ada urusan yang perlu diselesaikan."
"Sa cianpwe mempunyai urusan apa ?"
Sepasang mata Sa Ko memancarkan cahaya beringas yang aneh menatap kearah Giok-liong, ujarnya.
"Kedatanganku ini hendak membawa buyung kecil ini pulang."
Giok-liong tetap berlaku tenang, dengan sikap dingin ia pandang sekilas kearah orang tua cacad ini lalu berpaling kearah Ci-hu-giok li.
Ci-hu-giok-li tertawa manis, diulurkan telunjuknya yang runcing putih itu menunduk kearah Bo-pak-it-jan seraya berkata.
"Sa-lo-thau, coba kau tanya pada yang bersangkutan, apakah dia sudi pergi dengan kau ?"
Bo-pak-it-jan menyeringai lebar katanya kepada Giok-liong.
"Buyung, ikut Lotau saja, Lohu berani tanggung akan mendidikmu menjadi seorang terlihay nomer satu di jagad ini."
Giok-liong tersenyum ewa, sahutnya sambil sedikit saja.
"Maaf Wanpwe tidak dapat memenuhi harapan cianpwe ini."
Ci-bu-giok-li tertawa cekikikan saking geli sampai dia menekuk pinggang memegang perut, ujarnya.
"Coba lihat, dia tak sudi ikut kau pergi bukan."
Bo-pak-it jan merengut membesi, serunya geram.
"Tidak mau juga harus mau, bagaimana juga hari ini kau harus ikut Lohu."
Seiring dengan lenyap suaranya, badannya mendadak berkelebat sebat sekali laksana kilat merangsak kearah Giokliong.
Sejak tadi Giok-liong sudah kerahkan ilmunya pelindung badan, begitu melihat orang melesat datang gesit sekali kakinya bergerak lincah menggeser kedudukan delapan kaki kesamping.
Baru saja ia berdiri tegak bayangan Bo-pak-It jan sudah menubruk datang dengan didahului terjangan angin keras.
Keruan kejut hati Giok-liong, siapa kan nyana meskipun Bopak- it-jan tinggal sebuah kaki saja, tapi gerak-geriknya ternyata sedemikian tangkas, Terpaksa ia gerakkan kedua tangannya melintang bersilang didepan dada berbareng kakinya menjejak tanah sehingga tubuhnya melayang mundur kebelakang, Pada saat itulah lantas terlihat bayangan ungu berkelebat disertai suara merdu nyaring berkata.
"Tua bangka cacat, Kau tahu malu tidak, pintarmu hanya menghina angkatan muda ,. , ."
Lima jalur angin tutukan jari mendesis meluncur datang dari arah samping sana langsung mengarah lima tempat jalan darah dibawah lambung kanan Sa Ko.
Betapa lihay kekuatan kelima jalur angin tutukan jari ini, disertai kabut ungu berputar.
Sa Ko tahu akan kehebatan serangan ini, tak berani menangkis maka kaki tunggalnya itu berputar lincah sekali muncul beberapa langkah, bentaknya dewasa murka.
"Budak keparat berani kau ... ?"
Ci hu-giok-li lantas menyambung.
"Kalau kau ada kepandaian silakan keluarkan saja, Aku tidak akan bilang kepada ayah bahwa kau telah menindas aku."
Sebetulnya Ci-hu-sin-kun sendiri juga sudah keluar dari tempat kediamannya berkecimpung lagi didunia persilatan.
Tujuan Kiong-ki tak lain adalah hendak mencari jejak Jan-hunti peninggalan Jan-hun-cu yang akhirnya terjatuh ditangan Pang Giok.
Ci-hu-giok li tahu duduk persoalan ini secara jelas maka bagaimana juga dia takkan memberitahukan peristiwa malam ini kepada ayahnya.
Agaknya Bo pak-it-jan rada keder atau segan menghadapi Ci-hun sin kun Kiong Ki.
Mendengar ocehan Ci-hu-giok-li tadi, ia lantas terkekeh, katanya.
"Budak keparat, kau sendiri yang bilang."
"Tentu, selamanya kaum Ci-hu tiada yang pernah berbohong."
"Baiklah..."
Seiring dengan seruannya ini, tiba-tiba lengan tunggalnya seolah-olah mulur menjadi lebih panjang secepat kilat serentak ia kirim delapan belas kali pukulan mengarah seluruh tempat-tempat penting yang mematikan di seluruh tubuh Ci-hu-giok-li.
Ci-hu giok li tertawa ringan, kabut ungu lantas mengembang dimana pinggangnya meliuk gemulai tiba-tiba ia melejit masuk kedalam bayangan pukulan musuh, beruntun kedua tangannya yang putih halus itu bergerak-gerak dengan kecepatan yang susah diukur sekaligus ia lancarkan ajaran tunggal keluarganya untuk bergebrak secara kilat.
Sementara itu, tadi waktu Giok-liong meluputkan diri dari angin pukulan Bo pak-it-jan, baru saja ia berhenti bergerak dan belum sempat berdiri tegak, mendadak terasa sejalur angin kencang langsung menutuk tiba di jalan darah Bing-bun niat di punggung.
Bertepatan dengan itu terdengar suara bentakan yang nyaring pula.
"Pek Su in. membokong dari belakang kau tahu malu tidak?"
Agaknya suara bentakan pemuda baju kuning itu.
Tapi tiada banyak kesempatan bagi GioK liong untuk banyak pikir, tiba-tiba ia membungkukkan badan berbareng kedua kakinya menjejak tanah sambil mengerahkan tenaga murninya, seketika badannya melambung tinggi dua tombak.
"Siut"
Angin kencang yang mendesis itu persis melesat lewat di bawah kakinya. Giok-liong menjadi murka, bentaknya.
"Serangan bagus."
Air mukanya seketika menjadi merah membara, dimana kedua kakinya saling tendang, badannya lantas melambung lebih tinggi lagi dua tombak.
Berbareng dengan berkelebatnya sebuah bayangan diiringi suara jengekan dingin, tahu-tahu Pek Su-in sudah mengejar datang, tangan kanannya diayun berulang-ulang langsung mencengkeram kearah pinggang Giok-liong dimana terletak kantongan yang menyimpan bekalnya.
Giok-liong tertawa terbahak bahak, se-runya.
"Oho, inikah yang dinamakan tokoh kenamaan dari Pek-hun-to, hitunghitung hari ini aku yang rendah sudah berkenalan."
"Wut"
Tiba-tiba menendang kesikut kanan Pek Su-in yang terjulur maju ini.
Pek Suin terperanjat, sungguh tak duga olehnya bahwa pemuda ini kiranya berkepandaian tinggi, badan masih terapung ditengah udara tapi dapat balas melancarkan serangan kearah musuh.
Tapi dia sendiri juga bukan tokoh silat sembarangan dalam seribu kerepotannya, tangan kanannya dibalikkan terus merangsang ketumit Giok-liong di tempat jalan darah Cu-ping hiat.
Tapi baru saja"
Tangannya membalik belum sempat mengarah sasarannya, kaki kanan Giok-liong sudah ditarik balik.
"Wut"
Sekarang ganti kaki kiri yang menendang datang.
Ham-kang-it ho Pek Su in mendengus hidung keras-keras, tangan kanannya juga cepat ditarik balik, ganti tangan kiri yang disodorkan kedepan, seketika timbul gelombang angin membadai menerpa keras sekali kearah Giok-liong mengarah tulang kering di kaki kiri.
Kalau serangan ini tepat mengenai kaki kiri Giok-liong maka kakinya itu pasti akan hancur dan menjadi cacat.
Mendadak Giok-liong bersuit panjang, kedua tangannya dipentang lebar sehingga tubuhnya melejit tinggi lagi bersama itu pinggangnya sedikit ditekuk untuk jumpalitan ditengah udara.
Kedua tangannya lantas bergetar mempetakan bayangan pukulan yang memenuhi ditengah udara terus menyerang kearah Pek-Su-in.
Kejut Pek Su-in bukan alang kepalang, sambil menghardik keras ia kerahkan seluruh tenaga murninya ketelapak tangannya terus menyambut keatas.
"Blang"
Kontan terdengar ledakan dahsyat menggetarkan butni, krikil dan pasir beterbangan menari-nari dahan-dahan putus merontokan dedaunan sekeIilingnya.
Jantung Pek Su-in berdebar keras, terasa kepalanya pusing tujuh keliling segumpal hawa panas lantas menerjang naik dari pusarnya, badannya juga lantas terbanting turun cepat sekali.
Tapi sekuat tenaga ia berusaha bertahan, setelah mendehem keras-keras ia menyedot hawa panjang, kakinya menginjak tanah terus sempoyongan delapan langkah jauhnya baru bisa berdiri tegak.
Giok-liong sendiri meskipun menubruk musuh dari atas, tapi juga tidak banyak mengambil keuntungan, karena daya benturan yang keras ini, badannya terpental balik ketengah udara lebih tinggi lagi.
pandangannya menjadi berkunangkunang susah payah ia coba kendalikan tubuhnya terus meluncur turun dua tombak di sebelah sana.
Tatkala itu, Pek Su in sudah dapat mengatur pernapasannya kembali.
Begitu melihat Giok-liong meluncur turun segera ia mendesis geram.
"Hm, akan kulihat sampai dimana kemampuanmu!"