Kaki Tiga Menjangan Jilid 98 (Tamat)

Jilid 98 Tamat

Siau Po melihat Kaisar Kong Hi berbicara dengan mata berkaca-kaca. Dalam hati dia berpikir.

- Sejak kecil kami merupakan sahabat karib, biar bagaimana aku harus menolongnya kali ini. -

Maka dia pun berkata.

"Sri Baginda, terus terang saja, ketika menjadi pembesar di Taiwan hamba kecipratan sedikit rejeki. Akhir-akhir ini ada pula orang Taiwan yang membayar hutangnya. Mengandalkan mangkok emas dari Sri Baginda saja hamba seumur hidup tidak akan mati kelaparan. Harap Sri Baginda sudi menerima sedikit sumbangan hamba untuk menolong rakyat Taiwan yang tertimpa musibah itu." 

Kaisar Kong Hi tersenyum.

"Jumlah penduduk Taiwan yang terkena bencana alam banyak sekali. Cipratan rejekimu yang sedikit itu mana cukup untuk membantu meringankan penderitaan mereka, sebaiknya mulai besok aku akan menurunkan firman agar setiap penduduk di Kota raja ini mengurangi anggaran pengeluaran mereka, setiap ibu rumah tangga  jangan membeli alat kecantikan yang berlebihan, agar setiap bulan mereka dapat menyisakan uang untuk sumbangan bencana alam di Taiwan, Dalam waktu beberapa bulan mungkin kita bisa mengumpulkan sumbangan sebanyak lima puluh laksa tail untuk membantu korban-korban bencana alam itu," katanya.

"Dosa hamba berat sekali, mungkin hukuman yang paling setimpal adalah kematian" sahut Siau Po.

"Mengapa kau berkata demikian?" tanya Kaisar Kong Hi

"Selama menjadi pembesar hamba benar-benar serakah, di Taiwan saja hamba kecipratan rejeki sebesar seratus laksa tail. Dan baru-baru ini hamba menagih hutang kepada The Kek song, dia juga membayar hutangnya sebanyak seratus laksa tail lebih—

-" 

Kong Hi terkejut setengah mati "Sebanyak itu?"

Siau Po menabok mulutnya perlahan-lahan. "Siau Kui Cu memang patut mati"

Kaisar Kong Hi malah tertawa terbahak-bahak

"llmumu meminta uang rupanya hebat juga, mengapa selama ini aku tidak pernah tahu?" katanya.

"Siau Kui Cu memang patut mati" sahut Siau Po sekali lagi.

Padahal diam-diam dia merasa bangga. Dalam hati dia berpikir, - seorang pembesar sering mengulurkan tangannya meminta uang, kau yang jadi raja mana boleh tahu Kau bisa memasang mata-mata dalam pasukanku, yang diselidikinya paling-paling aku berani memberontak atau tidak, suami adikmu ini meminta uang dengan tangan kiri, memasukkan uang ke dalam saku dengan tangan kanan. Adikmu sendiri saja tidak tahu, apalagi kau sang ipar? -

Di mulut dia selalu membahasakan dirinya sebagai hamba, namun dalam hati dia menyebut dirinya "Iparmu". Kaisar Kong Hi merenung sesaat.

"Pembesar yang mencintai rakyat seperti engkau ini juga sulit ditemukan Begini saja, kau mengeluarkan uang sebanyak seratus lima puluh laksa tail, aku akan mengirit anggaranku sendiri dan menyumbangkan uang sebanyak lima puluh laksa tail jumlahnya jadi dua ratus laksa tail.

Kita majikan dan bawahan bekerja sama. Rakyat Taiwan yang menjadi korban bencana alam jumlahnya mencapai belasan ribu keluarga. Masing-masing mendapat sumbangan sebanyak seratus tail lebih. Rasanya cukup untuk membantu mereka memperbaiki segala kerusakan" katanya pula-

Barusan Siau Po diserang emosinya sendiri sehingga mengatakan jumlah harta yang dimilikinya, sekarang hatinya terasa agak menyesal juga kalau harus kehilangan uang sebanyak itu. Tiba-tiba dia mendengar Kong Hi mengatakan akan membantunya sebanyak lima puluh laksa tail, berarti sisa untuk dirinya masih banyak Hatinya menjadi gembira seketika. "Betul, betul sri Baginda sangat mencintai rakyat, Thian yang Kuasa pasti akan memberkati sri Baginda selamanya, Negara akan aman tanpa diganggu bencana alam apapun," sahutnya cepat.

Sejak mendengar bencana alam yang melanda Taiwan, sepanjang hari ini wajahnya muram terus, Sekarang tanpa susah payah dia bisa mendapatkan sumbangan uang begitu banyak, tentu saja hatinya menjadi senang sekali.

"Juga melindungimu agar pangkatnya naik terus dan selalu mendapat rejeki" katanya, Siau Po tertawa.

"Terima kasih atas ucapan emas dari Ban sui ya. Hamba bisa naik pangkat ataupun ketiban rejeki juga merupakan budi besar dari sri Baginda, Lagi pula, uang yang hamba miliki itu asalnya juga dari orang-orang Taiwan, hitung-hitung sapi pulang... pulang ke Taiwan saja," sahutnya. 

Kong Hi tertawa terbahak-bahak-

"Maknya Pepatah yang mengatakan 'sapi pulang ke kandang' malah kau ubah menjadi 'sapi pulang ke Taiwan.'"

"Betul, betul untuk sesaat hamba sampai lupa kata-kata 'kandang'nya. orang Taiwan gemar memelihara sapi, tidak heran kalau pertanian mereka maju pesat dibandingkan negara lain. Tadinya hamba masih terus bertanya-tanya dalam hati apa gerangan sebabnya," sahut Siau Po-

Kong Hi menjadi geli. Dia tahu Siau Po ini agak bebal otaknya. Kalau diajari baik-baik belum tentu bisa mengerti. Mana ada sapi untuk membajak sawah, ada juga kerbau. Tapi percuma menjelaskannya panjang tebar, soal pengetahuan pasti antri di bagian yang paling akhir dalam pilihan Siau Po. Maka dia sengaja menggoda anak muda itu.

"Betul sekali, betul sekali. Ada lagi pepatah yang berbunyi "Wi Pian sam Kiat" (Wi menguasai tiga macam ilmu), artinya keluarga Wi kalian rajin belajar, rata-rata berpendidikan tinggi. Kau pasti merasa bangga bukan?"

Siau Po menggelengkan kepalanya, 

"Pendidikan hamba rendahnya tidak ketolongan Benar-benar memalukan leluhur marga Wi,".sahutnya.

"Mengenai tugas mengirimkan bantuan bagi korban bencana alam di Taiwan. " 

Tadinya Kong Hi ingin mencari jalan mudahnya saja dengan mengutus Siau Po ke Taiwan mengantarkan bantuan uang, namun dia pertimbangkan sekali lagi.

— Dia mengeluarkan uang sebesar ini, tentunya karena merasa solider terhadapku Bukan benar-benar mencintai rakyat sekeluarnya dari istana, kemungkinan dia akan merasa menyesal Kalau dia pergi ke Taiwan membuang uang sebanyak dua ratus laksa tail, mungkin dia ingin meminta modalnya kembali Kalau bisa malah sama bunganya sekalian, —

Maka dia segera mengubah kata-katanya, 

"Merupakan tugas yang mudah sekali Tidak perlu kau yang berangkat sedangkan pangkatmu sebagai Lu Ting Kong Tingkat satu juga tidak perlu diturunkan lagi. Diantara kita toh masih ada tali persaudaraan yang erat Tidak perlu sungkan-sungkan."  Siau Po mengucapkan terima kasih. Dia menyembah satu kali kemudian berdiri

" Hamba mengeluarkan uang bantuan ini tidak lain karena mengembalikan sapi ke kandangnya, sedangkan sri Baginda terpaksa mengurangi anggaran belanja keluarga, ketulusannya saja sudah jauh berbeda." 

Kong Hi menggelengkan kepalanya.

"Apa yang kau katakan tidak tepat, seluruh keperluan rumah tanggaku berasal dari rakyat pula. Rakyat bersusah payah menghidupi aku maka sebagai pemimpin aku pun harus memperhatikan kesejahteraan mereka. Kau makan dari mangkok majikanmu maka kau harus setia terhadap majikanmu.

Aku makan dari mangkok rakyat maka aku harus setulusnya setia kepada rakyat pula.

Pepatah mengatakan 'Empat lautan penuh penderitaan, jodoh langit sampai di sini saja.' Artinya, kalau rakyat susah, maka raja-nyalah yang tidak becus. Kalau langit marah maka akupun tidak akan jadi raja lagi," katanya. 

"Tidak, itu tidak mungkin terjadi"

"Hari ini kau bisa jadi pembesar dikarenakan budi yang kutanamkan. Hari ini aku bisa menjadi kaisar dikarenakan budi yang diberikan oleh Thian. Kalau kau tidak becus kerja, aku akan memenggal kepalamu. Kalau aku tidak mengurus rakyatku dengan baik, Thian akan mencari seorang kaisar lain untuk menggantikan aku."

Kaisar Kong Hi mengambil sebuah buku lalu membalikkan halamannya, 

"Isi buku ini bagus sekali Di dalamnya terdapat berbagai filsafat tentang kehidupan seorang raja. Biarpun isinya lebih banyak mengandung sindiran, tapi aku menyetujui pandangan pengarangnya. Dikatakan bahwa seorang raja biasanya menghendaki rakyatnya bersikap baik, tidak boleh egois, jangan suka mencari keuntungan dari penderitaan orang lain.

Padahal dia sendiri suka mencari keuntungan dari penderitaan orang lain. Padahal dia sendirilah manusia yang paling egois di dunia, dia pulalah manusia yang paling banyak meraih keuntungan dari penderitaan orang lain.

Dan dia merasa bahwa peraturan yang dikeluarkannya itu merupakan peraturan paling adil di dunia. Awal sikap ini saja sudah tidak baik, dan kalau dibiarkan akan menjadi suatu kebiasaan. Dia merasa pandangannya selalu benar dan pandangan orang di sekelilingnya pasti salah-"

"Itu kan raja yang jahat, kalau sri Baginda kan Niau seng Hi Tong, apa yang dikatakannya sudah tidak benar" sahut Siau Po-

"He he Asal yang jadi raja, orang selalu menganggapnya Niau seng Hi Tong, siapa yang mengaku dirinya tidak benar? Lagi pula, di samping raja yang rendah pasti ada beberapa bawahannya yang kerjanya cuma menepuk pantat kuda saja. Dengan demikian si Raja semakin tidak menyadari kekeliruannya," ejek Kaisar Kong Hi. _

Siau Po tertawa.

"Untung sri Baginda ini barang tulen, murni Niau Seng Hi Tong, kalau tidak hamba pasti dicap tukang menepuk pantat kuda" Kaisar Kong Hi menghentakkan kaki kirinya keras-keras di atas tanah "Kau memang ahlinya menepuk pantat kuda, masih tidak mau mengaku? 

Menggelindinglah kau ke sana" katanya pura-pura marah

Siau Po tertawa sekilas, kemudian wajahnya berubah menjadi serius.

"Hong siang, hamba ingin memohon budimu yang besar agar boleh berlibur beberapa lama. Hamba ingin menjenguk ibu hamba di Yang-ciu." 

Kaisar Kong Hi tersenyum, 

"Kalau kau masih mempunyai rasa berbakti kepada orang tuamu, itu memang sudah seharusnya kau menjenguk beliau, Lagi pula kalau kemewahan tidak dibawa pulang ke kampung halaman, ibarat mengenakan mantel bulu di tempat yang gelap, Memang seharusnya kau pulang untuk menunjukkan kebanggaan di depan teman-teman sekampungmu.

Kau boleh pergi asal jangan lama-lama. Ajaklah ibumu ke Kota raja dan menetap di sini. Aku akan menuliskan sepucuk firman agar ibumu mendapat kedudukan sebagai ibu seorang pembesar siapa nama ayahmu yang sudah meninggal itu, kau sebutkan di depan penasehatku, sebab Almarhum juga patut diberi bintang jasa, sebetulnya ketika kau pulang ke Yang-ciu tempo hari, urusan ini sudah seharusnya diselesaikan sayangnya saat itu kita terlalu sibuk mengurus Go sam Kui sehingga masalah ini terbengkalai" katanya.

Kong Hi menduga bahwa Siau Po pasti tidak tahu bagaimana menulis nama ayahnya, maka setelah bertemu dengan ibunya Siau Po baru meminta ibunya menuliskan untuk diserahkan kepada Penasehat Raja, Meskipun Kaisar ini sangat cerdas, namun dalam hal ini dia masih salah tebak- Siau Po bukan tidak bisa menulis nama ayahnya saja, bahkan siapa ayahnya pun dia belum pernah tahu.

Siau Po mengucapkan terima kasih lalu mengundurkan diri- Dia pulang ke rumahnya dan mengambil uang sebanyak seratus lima puluh laksa tail. Dia membawa uang itu pada Bendahara Kerajaan dan mencap namanya dengan stempel merah yang telah tersedia-

Setelah itu dia mengundang Su Cuan untuk menulis sebuah nama karangan sebagai nama ayahnya bahkan lengkap sampai tiga generasi berturut-turut, Siau Po segera menyuruh keluarganya bebenah kemudian berangkat hari itu juga-

Pada dasarnya anak muda ini memang mudah bergaul dengan siapa saja, otomatis orang-orang yang mengantar keberangkatan mereka bukan main banyaknya. Menjelang keberangkatannya, Siau Po teringat kembali akan uang seratus lima puluh laksa tail miliknya yang disumbangkan.

Hatinya sedikit menyesal, maka dia menyuruh orang ke rumah The Kek song untuk menagih lagi hutangnya, walaupun sisanya masih banyak, tapi Siau Po hanya berhasil mendapatkan belasan ribu laksa tail dari orang itu

Tidak lama kemudian, rombongan itu pun berangkat Dari Kam Lu mereka tiba di Tong Ciu. Di sana mereka menyuruh kereta-kereta mereka pulang, dan rombongan itu melanjutkan perjalanan dengan kapal, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan melalui  Tiam Cing, Leng cing dan melintasi sungai Ho Pada malam harinya kapal rombongan berlabuh di dekat sai yang untuk beristirahat

Usai makan malam, Siau Po dan para istrinya berkumpul dalam kabin untuk berbincang- bincang. Terdengar Su Cuan berkata.

"Siau Po, besok kita sudah sampai di Cun Ing. jaman dulu di kota ini ada seorang yang memangku jabatan Cun Ing Hou. "

"Hm, pangkatnya masih lebih rendah daripada aku.." tukas Siau Po- Su Cuan tertawa.

"Tidak juga, orang ini pernah memangku jabatan sebagai ongya dan sebagainya. Tetapi karena sang Raja takut dia akan memberontak maka pangkatnya diturunkan menjadi Cun Ing Hou. Orang ini bernama Han Sing, sangat terkenal pada jamannya."

"Ah, aku tahu. Dalam beberapa sandiwara yang kutonton, orang inilah yang menjadi tokoh utamanya," sahut Siau Po-

"Memang betul, Orang ini mempunyai beberapa keahlian, jasanya pun besar sekali, pendekar besar seperti Cu Pao ong saja kalah di tangannya, Sayang akhir nasibnya mengenaskan, dia mati dibunuh oleh Kaisar dan Thay Hou," kata Su Cuan pula. Siau Po menarik nafas panjang-

"Sayang.. Sayang.. Kenapa Raja membunuhnya? Apakah dia memang memberontak?" tanyanya-

Su Cuan menggelengkan kepalanya.

"Tidak- dia tidak memberontak Tapi Raja menganggap keahlian orang ini sudah terlalu banyak, takut suatu hari dia akan memberontak-"

"Untung keahlianku terbatas sekali. Dalam segala hal sri Baginda melebihi aku, jadi tidak mungkin beliau merasa iri Aku hanya melebihi sri Baginda dalam satu hal. Kecuali yang satu ini, dia lebih unggul daripada aku," kata Siau Po. 

"Dalam hal apa kau melebihi sri Baginda?" tanya A Ko-

"Aku mempunyai tujuh orang istri yang cantik jelita- Di dunia ini sulit mencari wanita kedelapan yang secantik para istriku. Meskipun sri Baginda mempunyai rejeki yang besar, tapi aku sebagai hambanya juga tidak kalah beruntung, cuma rejeki nya yang lain, peruntunganku justru ada pada istri-istriku yang cantik,"

Dengan menebalkan muka Siau Po membual setinggi langit Istri- istrinya jadi geli sehingga tertawa terkekeh-kekeh-

"Tidak tahu malu, memuji diri sendiri Kau memang pantas menjadi raja, tapi Raja Monyet" goda Pui Ie-

"Betul, akulah Bi Hou ong (Raja Monyet cantik) dari Goa Cui Lian Tong. Aku memimpin serombongan nyonya-nyonya Monyet, putra- putri Monyet untuk melewatkan hari-hari yang indah seperti dalam khayangan" sahut Siau Po.

Di saat mereka sedang bersenda gurau itulah muncul seorang prajurit yang berseru dengan suara lantang.

"Ada tamu yang memohon bertemu dengan Wi Tayjin" Kemudian prajurit itu menyodorkan empat lembar kartu nama.

Su Cuan menerima kartu nama tersebut dan berbisik di telinga Siau Po- "Mereka terdiri dari Ku Yan Bu, Lu Liu Liang dan kawan-kawan."

"Oh, rupanya rombongan Ku siansing Bagaimana pun aku harus bertemu dengan mereka," kata Siau Po sambil memerintahkan pelayannya untuk mengundang para tamu itu masuk dan menghidangkan minuman untuk mereka.

Siau Po sendiri segera masuk ke ruangan satunya untuk mengganti pakaian kemudian baru menemui tamu-tamunya.

Ku Yan Bu dan yang lain-lainnya merupakan bawahan Go Ci yong di Yang-ciu- Pernah jiwa mereka hampir melayang, untung ada Siau Po yang menolong. Kalau Lu Liu Liang memang baru kali ini bertemu dengan Siau Po- Di belakangnya mengikuti dua orang anak muda. Mereka adalah anak-anak Lu Liu Liang, yakni Lu Pao Cung dan Lu Hao Cung.

Setelah saling memberikan penghormatan para tamu pun dipersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan Lu Pao Cung dan Lu Hao Cung berdiri di belakang ayah mereka.

"Kedatangan kami kali ini sebetulnya ingin mengajak Wi Hiocu merundingkan suatu persoalan Tapi daerah ini kurang aman, kami khawatir banyak telinga dan mata yang mengawasi kami. Bolehkah Wi Hiocu menyuruh tukang perahumu menjalankan kapal ini sejauh beberapa li sehingga kita dapat berbicara dengan leluasa?" ujar Ku Yan Bu.

Ketika diadakan rapat besar membasmi kura-kura tempo hari. Ku Yan Bu ini pernah terpilih menjadi Cong Kunsu oleh orang-orang gagah dari berbagai daerah. Namanya sudah sangat terkenal di dunia kangouw. Dia sangat mengagumi Siau Po- Karena itu Siau Po

Segera menyetujui permintaannya. Dia menyampaikan pesan kepada Su Cuan dan yang lainnya.

"Jangan pergi sendiri Kalian boleh menggunakan perahu kecil ke tengah sungai untuk berbicara. Tapi hati orang siapa tahu, sebaiknya kita waspada. Kapal kami akan mengikuti dari belakang, kita bisa menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi," kata Su Cuan memperingatkan.

Siau Po ingat Ku Yan Bu mengatakan akan mengajaknya ke tempat yang sunyi, hatinya memang agak curiga. Tapi kalau ada tujuh istrinya yang melindungi perasaannya jadi agak tenang. Maka dia segera menyetujui usul Su Cuan.

Dia memerintahkan anak buahnya untuk menjalankan perahu kecil dan kapalnya ke tengah sungai Alasannya pemandangan di tempat itu bagus sekali, siapa tahu Wi Kongya akan mendapatkan ilham untuk menciptakan beberapa syair sedangkan sisa perahu yang lain tetap menunggu di tempat semula.

Sesampainya di tengah sungai, Siau Po melihat ke sekeliling. Daerah itu memang sepi sekali. Kecuali perahu dan kapalnya, tidak tampak adanya perahu atau kapal lain yang berhilir mudik di sana, Siau Po memerintahkan para pelayannya untuk menunggu di kabin belakang. Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin pembicaraan dengan tamu-tamunya terganggu Begitu semua pelayan pergi. Ku Yan Bu dan yang lainnya sekali lagi mengucapkan terima kasih atas pertolongan Siau Po dulu, Siau Po bersikap rendah hati.

Dia mengatakan bahwa urusan kecil itu tidak perlu diungkit-ungkit lagi Dia juga menceritakan urusan Go Liok Ki dan Tan Kin Lam yang telah dicelakai sampai sejelas- jelasnya.

Ku Yan Bu serta kawan-kawannya memandang siauPo dengan mimik bingung. "Gosip yang tersebar di dunia kangouw memang berlebihan. Ada desas-desus yang 

mengatakan bahwa Wi Hiocu gila kedudukan dan tamak akan kekayaan sehingga membunuh guru serta saudara seperguruannya sendiri saudara Ca, saudara Oey dan aku sendiri tidak yakin dengan berita itu. 

Bayangkan saja, dulu kami tidak begitu kenal dengan wi Hiocu, tapi Wi Hiocu bersedia menempuh bahaya untuk menyelamatkan jiwa kami dengan membunuh si Penjahat Go Ci yong.

Orang yang berbudi luhur seperti Wi Hiocu ini mana mungkin tega membunuh gurunya yang sudah seperti orang tuanya sendiri?" kata Ku Yan Bu.

"Ketika kami mendengar teman-teman dari dunia kangouw membicarakan hal ini, kami selalu membela Wi Hiocu, Tapi mereka malah membantah, katanya dalam firman raja saja terang-terangan telah dinyatakan bahwa kaulah yang membunuh gurumu, Wi Hiocu, orang besar mana yang dalam hidupnya tidak diceritakan orang, terutama keburukannya. Kau tidak perlu memasukkannya dalam hati. Bahkan Tio Kong saja pernah difitnah sampai urusannya dibawa ke pengadilan," kata rekannya.

Siau Po tidak tahu siapa Tio Keng, terlebih-lebih tidak mengerti urusan apa yang dibawa sampai ke pengadilan Tapi dia manggut-manggut saja seperti burung pelatuk-

"Wi Hiocu mengalami berbagai penderitaan dalam menangani setiap masalah. Biarlah bila orang-orang tidak mengerti juga. Asal Wi Hiocu berhasil menunaikan sebuah tugas yang maha besar, pada saat itulah mata orang-orang yang buta itu akan terbuka," kata Lu

Liu Liang.

Dalam hati Siau Po berpikir-

— Tugas maha besar apa yang bisa kuselesaikan? Aduh Celaka Jangan-jangan orang-orang ini juga menyuruhku mengatur rencana pembunuhan atas diri raja. Bagaimana aku harus menolak mereka kali ini? sebaiknya aku berusaha menutup pintu rapat-rapat — Maka dia berkata.

"Aku tidak mempunyai keahlian apa-apa, terlebih-lebih pendidikan Menulis saja aku tidak bisa. Kalau melakukan apa-apa tidak pernah beres. Aku merasa kecewa sekali terhadap diri sendiri. Kali ini aku justru merasa sudah tua sehingga ingin pulang ke kampung halaman untuk pensiun."

Lu Hao Cung melihat usia Siau Po malah lebih muda beberapa tahun daripada dirinya. Namun dia mengatakan bahwa dirinya merasa tua sehingga ingin pulang ke  kampung halaman untuk pensiun. Tentu saja dia jadi geli sehingga tidak dapat menahan diri untuk tertawa. Ku Yan Bu dan yang lainnya juga merasa lucu, mereka saling pandang sambil tersenyum.

"Masa depan wi Hiocu cerah sekali, usianya masih muda, orangnya gagah pula, Kesalahpahaman sesaat bagi orang yang belum tahu tidak dapat dianggap dosa," kata oey Li ciu.

"Tidak bisa. Kalau keterusan bisa-bisa mencelakakan orang lain oey siansing, bukankah kaupernah mengarang sebuah buku yang judulnya... aih pokoknya aku tidak ingat lagi," kata Siau Po-oey Li ciu merasa heran

— orang ini buta huruf, tapi mengapa dia bisa tahu aku mengarang sebuah buku? - tanyanya dalam hati- Namun dia menjawab juga. 

"Memang betul."

"Di dalam bukumu itu terdapat berbagai makian terhadap para kaisar, bukan?" tanya Siau Po cula.

Oey Li ciu dan yang lainnya terkejut setengah mati.

— isi buku itu saja sudah diketahui oleh orang ini, jangan-jangan buntutnya bisa membawa bencana, pikir mereka dalam hati.

"Bukan memaki para kaisar, tapi dalam bukunya Oey heng menjelaskan sikap seorang raja yang baik dan mencela sikap raja yang jahat," kata Ku Yan Bu cepat- cepat.

"Betul selama beberapa hari ini sri Baginda terus-terusan membaca buku karangan Oey siansing. Beliau memuji isinya yang bagus, Beliau juga menyatakan kekagumannya terhadap oey siansing. awat, jangan-jangan sri Baginda ada maksud mengundangmu ke istana untuk menjadi Ahli sastranya," ujar Siau Po-

"Wi Hiocu hanya bergurau saja, mana ada urusan seperti itu?" kata oey Li Ciu.

Siau Po langsung menceritakan bagaimana Kaisar Kong Hi memuji isi buku itu dan menjelaskan artinya kepada dirinya yang tidak becus membaca—. Mendengar keterangannya. Ku Yan Bu dan yang lainnya baru merasa lega.

"Ternyata Raja Tatcu juga bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah" kata Oey siansing.

Siau Po segera mencengkeram kesempatan itu baik-baik,

"Memang betul si Raja Cilik mengatakan bahwa meskipun dia bukan Niau seng Hi Tong, tapi kalau dibandingkan dengan raja-raja yang pernah memerintah selama Dinasti Beng, dirinya masih lebih unggul, selama dia menjadi raja, hari-hari yang dilalui rakyat jauh lebih baik dibandingkan dengan hari-hari yang dilalui rakyat selama pemerintahan Dinasti Beng, Aku tidak punya pendidikan tidak ada pengetahuan sama sekali Maka aku juga tidak tahu apa yang dikatakannya benar atau tidak-"

Ku Yan Bu, Li Liu Liang dan yang lainnya saling memandang. Terbayang kembali di benak mereka masa-masa pemerintahan Dinasti Beng, sejak Beng Thaycou menjadi kaisar sampai Raja Beng yang terakhir memang selalu timbul masalah- Kalau bukan pembunuhan secara besar-besaran, rakyat pasti banyak yang mati kelaparan Beberapa diantaranya malah hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri sehingga rakyat menderita. Mana ada yang sanggup menandingi Kaisar Kong Hi?

Keempat tamu Siau Po ini merupakan sisa orang-orang gagah jaman Dinasti Beng. semuanya hapal sekali sejarah kerajaan Beng, Mereka juga tidak mau membohongi hati kecilnya sendiri, maka terpaksa mereka menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang dikatakan Siau Po barusan.

"ltulah, sri Baginda orangnya baik, saudara-saudara dari Thian Te hwee juga baik-sri Baginda menyuruhku membasmi perkumpulan Thian Te Hwee, namun dengan cara apapun aku menolaknya. Dan ketika saudara-saudara dari Thian Te hwee merencanakan pembunuhan atas diri raja, aku juga menolaknya. Akhirnya kedua pihak sama-sama menyalahkan diriku. Bayangkan saja bagaimana sulitnya aku jadi orang? setelah mempertimbangkan sekian lama, belakangan aku mengambil keputusan untuk pensiun dan kembali ke kampung halaman," kata Siau Po-

"Wi Hiocu, kedatangan kami kali ini bukan ingin memintamu merencanakan pembunuhan atas diri raja" ujar Ku Yan Bu menjelaskan, Siau Po gembira sekali mendengarnya.

"Bagus Asal bukan merencanakan pembunuhan atas diri raja, urusan lainnya aku tidak akan menolak- Entah urusan apa yang saudara sekalian inginkan bantuanku?"

Ku Yan Bu membuka jendela kabin itu, kepalanya melongok ke luar pandangan matanya beredar Dia melihat keadaan masih sunyi senyap seperti tadt, maka dia berkata.

"Kami ingin mengajukan permohonan agar Wi Hiocu bersedia mengangkat diri sendiri sebagai raja"

Prang cawan arak di tangan Siau Po terlepas seketika. Dia benar-benar terkejut mendengar permintaan itu.

"Kalian tentu sedang bergurau bukan?" tanyanya tidak percaya.

"Tidak ada setitik pun niat kami untuk bercanda, selama beberapa bulan ini kami selalu melakukan perundingan Kami merasa semangat Beng sudah pudar, semakin hari rakyat sudah semakin melupakan dinasti yang terdahulu.

Rupanya raja-raja dari Dinasti Beng telah membuat rakyat sedemikian sengsaranya sehingga mereka merasa benci mengenang kembali- Tapi Raja Tatcu telah menguasai negeri kita. Bangsa kita dipaksanya untuk mengepung rambut dan mengenakan pakaian adat mereka-

Hati kami tentu saja merasa tidak puas diperlakukan sedemikian rupa- Wi Hiocu sekarang telah menjabat sebagai panglima Besar, prajurit yang dibawahi Wi Hiocu pasti banyak sekali, Lagi pula. Raja Tatcu sangat mempercayai Wi Hiocu, Asal Wi Hiocu bersedia memimpin pasukannya menyerbu istana dan merebut tahta kerajaan, kami yakin rakyat di seluruh negeri akan memberikan dukungan kepada Wi Hiocu," kata Li Liu Liang. Rasa terkejut dalam hati Siau Po masih belum hilang juga. Berkali-kali dia menggoyangkan tangannya

"Aku... aku tidak mempunyai peruntungan sebagus itu, Lagi pula aku tidak sanggup menjadi raja," sahutnya dengan suara gemetar.

"Wi Hiocu orangnya bijaksana. Peruntungannya malah lebih bagus lagi. Dalam dunia ini, kecuali Wi Hiocu, tidak ada orang Bangsa Han lainnya yang sanggup menjadi raja," kata Ku Yan Bu ikut membujuk.

Jumlah rakyat Han di negeri inijauh lebih banyak dari rakyat Boan ciunya sendiri seratus orang melawan satu orang, masa tidak menang? Tempo hari Go sam Kui pernah memberontak sayangnya dialah si pengkhianat bangsa yang menyerahkan negeri kita ke tangan orang asing sehingga rakyat membencinya- itulah sebabnya dia mengalami kegagalan, sedangkan wi Hiocu pandai bergaul-

Belum lama ini berhasil mengusir serdadu-serdadu Lo sat pula. Nama Wi Hiocu sudah berkumandang di mana-mana, ibarat matahari yang memancarkan sinarnya. Asal Wi Hiocu sudi menganggukkan kepala, kami akan sebera menghubungi rekan- rekan sejalan dari berbagai daerah untuk memberi dukungan kepada Wi Hiocu," kata Li Liu Liang.

Hati Siau Po berdebar-debar, dalam mimpi pun dia tidak pernah membayangkan pada suatu hari akan datang orang yang menyarankannya mengangkat diri menjadi raja, untuk sesaat tampak dia merenung.

"Aku ini keturunan anak jalanan, keahlianku hanya memaki orang dan bermain judi, setelah menjadi panglima saja sudah banyak orang yang merasa tidak puas, apalagi kalau aku menjadi raja?" sahutnya.

Setelah berdiam diri sesaat, dia melanjutkan kembali, 

"Untuk menjadi raja, nasib seseorang sudah digaris oleh Yang Kuasa, Peruntunganku tidak sebaik itu. Karena Pek Ji (Hitungan tanggal lahir) kujuga tidak tepat, seorang peramal pernah mengatakan, kalau aku sampai menjadi raja, umurku tidak akan lebih dari tiga hari."

Lu Hao Cung mendengar anak muda ini suka mengoceh sembarangan tanpa dapat menahan diri dia tertawa lagi.

"Bolehkah Wi Hiocu menyebut tanggal, bulan dan tahun kelahiran Wi Hiocu? Nanti kami akan mencari seorang peramal yang ahli untuk menghitungnya sekali lagi," kata Ca siansing.

Mereka tahu bahwa Siau Po tidak pernah mengenyam pendidikan, juga tidak mempunyai pengetahuan yang luas- Kalau mereka bilang hitam dia hanya tahu cara berdebat sampai orang itu mengaku putih. Demikian pula sebaliknya. Tapi kalau mereka berhasil menyuap seorang peramal, mungkin Siau Po akan mempercayai ocehan orang itu. siapa sangka jawaban Siau Po tidak sesuai dengan keinginan mereka.

"Hanya ibuku yang tahu tanggal, bulan dan tahun kelahiranku Begitu sampai di kota Yang-ciu, aku akan menanyakannya." Ku Yan Bu dan yang lainnya tahu dia sengaja menjawab sembarangan maka mereka terpaksa mendesak terus.

"Bagi seorang pendekar sejati ucapan seorang peramal hanya main asal tebak saja. Bahkan kaisar pertama dari Dinasti Han paling tidak percaya segala macam takhyul, orangnya sederhana dan suka mengikuti apa adanya saja," kata Li Liu Liang.

Dalam hati dia berpikir, — Kau mengaku sebagai anak jalanan, sebetulnya itu tidak menjadi persoalan Kaisar pertama juga anak jalanan, dia malah terkenal suka memaki orang seenaknya dan gila judinya melebihi engkau, tapi akhirnya dia bisa menjadi raja juga, -Siau Po mengibaskan tangannya beberapa kali.

"Kita semua kan kawan baik, jadi biar aku katakan terus terang kepada kalian.,." Sambil berbicara dia mengusap-usap kepalanya sendiri, 

"Mulutku ini masih ingin merasakan nasi selama berpuluh-puluh tahun. Di bagian atas mulut ini masih ada sepasang mata yang ingin kugunakan untuk menonton sandiwara dan menyaksikan wanita yang cantik-cantik. Di samping itu masih ada sepasang telinga yang masih akan kugunakan untuk mendengar nyanyian dan bisikan mesra istri-istriku.

Kalau aku bermaksud menjadi raja, kemungkinan panca inderaku ini tidak bisa bertahan lama, seandainya batok kepala ini sampai terpenggal saja, semua ini sudah jadi kacau, Lagi pula, apa enaknya sih jadi raja? Begitu mendengar Taiwan diserang badai, hatinya langsung sedih.

Mengetahui ada orang yang akan melakukan pemberontakan di Hun Lam, kepalanya jadi pusing. jadi Raja itu repot, menderita dan tidak menyenangkan pokoknya aku tidak suka menjadi raja."

Ku Yan Bu dan yang lainnya saling memandang, mereka merasa apa yang dikatakan Siau Po memang benar. Kalau anak muda ini kurang besar jiwanya Lagi pula enggan memahami penderitaan rakyat, untuk apa membujuknya menjadi raja? Bisa-bisa semuanya semakin berantakan.

Sesaat kemudian, terdengar Ku Yan Bu berkata pula.

"Urusan ini besar sekali, untuk sesaat memang sulit diambil keputusannya. "

Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara tiupan terompet Ternyata ada belasan ekor kuda yang sedang memacu ke arah utara. Malam itu sunyi sekali sehingga suara sedikit pun terdengar jelas.

"Tengah malam seperti ini dari mana datangnya pasukan berkuda?" kata Oey Li Ciu. "Mungkinkah prajurit yang sedang meronda?" tanya Li Liu Liang.

Tidak mungkin prajurit peronda biasanya mondar-mandir dengan santai, mana mungkin mereka melarikan kuda secepat itu? Mungkinkah teman-teman pendekar dari dunia kangouw?" tanya Ca sian-sing pula.

Selama pembicaraan berlangsung, dari arah timur datang lagi serombongan orang- orang berkuda, tanah daratan di sisi sungai tidak seberapa lebar, karena itu suara derap kaki kuda dapat terdengar jelas sampai di atas perahu. Kapal yang mengikuti di belakang perahu yang ditumpangi Siau Po diperintahkan untuk mendekat Su Cuan dan Song ji melompat ke atas perahu. 

"Siangkong, orang-orang yang baru datang itu kemungkinan mempunyai niat jahat. sebaiknya kita berkumpul bersama-sama saja," kata Su Cuan.

"Baiklah. Ku siansing dan kawan-kawannya sudah tua. Tampaknya mereka juga tidak mirip laki-laki hidung belang. Kalian semua masuk saja ke mari. dilihat oleh mereka juga tidak apa-apa," sahut Siau Po.

- Ngaco - Maki Ku Yan Bu dan lainnya dalam hati-

Mereka merasa tidak pantas bertemu dengan istri-istri Siau Po karena itu mereka segera menuju kabin belakang, sedangkan A Ko, Kian Leng kongcu dan yang lainnya naik ke atas perahu Siau Po-

Terdengar suara siulan dari arah barat dan timur. Rupanya para penunggang kuda itu menggunakan semacam sandi untuk berhubungan dengan kawan-kawannya, Siau Po gembira sekali mendengar suara itu. 

"Suara siulan para anggota Thian Te hwee" serunya.

Penunggang-penunggang kuda dari sisi daratan mendekati perahu-perahu kerajaan yang sedang berlabuh Terdengar seseorang berteriak dengan suara lantang.

"Wi Siau Po, keluar"

"Maknya Kurang ajar benar Panggil Wi Hiocu saja segan" makinya dengan suara lirih.

Baru saja dia berniat ke luar dari kabin perahu, tangannya sudah ditarik oleh Su Cuan.

"Tunggu dulu, biar aku menanyakan mereka sampai jelas," kata wanita itu- Dia berjalan ke luar lalu berseru dengan suara keras, "Entah sahabat dari kalangan mana yang ingin bertemu dengan wi siang-kong?"

Matanya memandang ke tepi sungai, tampak rombongan orang-orang itu menggunakan kain hijau untuk menutupi bagian kepalanya, tangan mereka masing- masing menggenggam sebatang golok.

Dari daratan sebelah barat terdengar seseorang menyahut, "Kami dari perkumpulan Thian Te hwee"

"Kata sandi apa yang digunakan untuk bertemu dengan sesama anggota Thian Te hwee?" tanya Su Cuan kepada Siau Po-

Siau Po berjalan ke luar lalu berseru, 

"Lima orang berbagi pantun, diri sendiri pendekar tidak ada orang yang tahu" Terdengar orang yang nongkrong di atas kuda itu menyahut,

"ltu sih kata sandi lama perkumpulan Thian Te hwee, sejak Wi Siau Po berkhianat terhadap perkumpulan kami sudah menggantinya dengan kata sandi yang baru." 

Siau Po terkejut mendengarnya,  "Siapa kau? Mengapa berkata demikian?" 

"Apakah kau yang bernama Wi Siau Po?" orang itu balas bertanya, Siau Po merasa tidak mungkin mungkir lagi. Maka dia menyahut. 

"Akulah Wi Siau Po."

"Kalau begitu boleh kukatakan kepadamu. Aku bawahan dari Hung Hua Tong, margaku Su" kata orang itu.

"Oh, Rupanya Su Toako, Di balik ini terdapat kesalah pahaman yang besar sekali. Apakah Li Hiocu dari bagian kalian ikut hadir di sini?" tanya Siau Po-

"Dosamu sudah tidak terkatakan lagi, Li Hiocu kami justru mati kesal karena mu" teriak seseorang dari tepi sungai.

"Wi Siau Po berkhianat terhadap perkumpulan dan menyerah pada pihak musuh. Demi kekuasaan dia sampai hati membunuh gurunya sendiri, su Toako tidak perlu banyak cakap dengannya, Hari ini kita tangkap orang itu dan hancurkan seluruh tubuhnya untuk membalaskan dendam kematian Tan Congtocu serta Li Hiocu kita" sahut seseorang yang lain.

Tiba-tiba terdengar suara desiran angin, rupanya ada seseorang yang melemparkan batu ke atas perahu, Siau Po mengeluh dalam hati, dia cepat cepat menyurutkan kepalanya.

- Rupanya Li Hiocu sudah mati. saudara-saudara ini tidak memberi kesempatan kepada kami untuk menjelaskan persoalannya. Apa yang harus kulakukan sekarang? — tanyanya dalam hati.

Terdengar suara Tik Tak Tik Tak dari tepi sungai, Rupanya rombongan orang-orang itu mulai menyambitkan senjata rahasia ke arah perahu, untung saja jarak perahu itu dengan daratan agak jauh sehingga senjata-senjata rahasia yang disambitkan kebanyakan jatuh ke dalam sungai, walaupun ada beberapa yang sempat mencapai perahu namun tenaga sambitannya sudah lemah sekali sehingga tidak membuat orang terluka.

Inilah yang dinamakan 'Perahu rumput meminjam panah', aku adalah Lu siau, bagianku hanya ketakutan. 

"Adakah seseorang yang bisa menyamai Cu Kek Liang di sini? cepat cari akal" kata Siau Po-

Ku Yan Bu dan yang lainnya ada di kabin belakang. Melihat pihak lawan menyambitkan senjata rahasia, mereka segera merunduk rendah-rendah untuk menyembunyikan diri.

Tiba-tiba tampak berkilas-kilas cahaya terang. Rupanya ada orang yang membidikkan panah api- Dua diantaranya sempat mengenai perahu sehingga anjungan perahu itu terbakar seketika,

"Aduh, minta ampun Api membakar Wi Siau Po" teriak si anak muda yang konyol itu. "Ku Yan Bu siansing dan yang lain-lainnya ada di sini, kalian tidak boleh kurang ajar" 

seru Su Cuan sekeras-kerasnya. Dia merasa nama Ku Yan Bu di dunia kangouw sudah terkenal sekali. Para anggota Thian Te hwee pasti pernah mendengar namanya dan menaruh hormat kepada orang ini. Maka dia berteriak keras-keras, sayangnya keadaan di tepi sungai kacau sekali, teriakan orang-orang berkuda itu lebih kuat lagi sehingga suaranya kalah-

" Istri- istriku, sebaiknya kita berteriak bersama-sama, mungkin mereka dapat mendengarnya, satu, dua tiga" ajak Siau Po-

"Ku Yan Bu siansing ada di sini" teriak mereka serentak-

Setelah mereka berteriak sampai tiga kali, suara gaduh di seberang sungai mulai mereda, orang marga Su yang memperkenalkan diri tadi segera bertanya dengan suara lantang.

"Apakah Ku Yan Bu siansing ada di atas perahu?"

Ku Yan Bu segera melangkah keluar kemudian sambil menjura dia menjawab. "Aku Ku Yan Bu ada di sini"

Orang marga su itu mendesah terkejut, lalu cepat-cepat dia memberikan perintah.

"Saudara-saudara yang ahli menyelam cepat terjun ke dalam sungai, dorong perahu itu ke tepi"

Terdengar suara deburan air, ternyata belasan anggota Thian Te hwee yang pandai berenang sudah terjun ke dalam sungai, sebagian dari mereka memutar ke belakang untuk mendorong perahu, sebagian lagi menarik tali yang mengikat bagian depannya- Dalam waktu yang tidak berapa lama perahu itu sudah hampir mencapai tepi sungai.

Pada saat itu bagian tengah perahu mulai terbakar Api berkobar-kobar, Songji menarik tangan Siau Po lalu diajaknya melompat ke daratan, yang lainnya segera menyusul Para anggota Thian Te hwee yang ada di tepi sungai segera menyebar untuk mengepung Siau Po dan lain-lainnya-

Orang marga Su itu langsung membungkukkan tubuhnya dan menjura kepada Ku Yan Bu.

"Aku yang rendah Su Hua Liong dari bagian Hung Hua Tong perkumpulan Thian Te hwee menjumpai Tuan Ku Yan Bu" katanya.

Ku Yan Bu merangkapkan kedua tangannya membalas penghormatan itu. seorang anggota Thian Te hwee yang sudah tua melangkah ke depan dan menjura-

"Ketika diadakan rapat besar membunuh kura-kura tempo hari, aku yang rendah juga hadir Di sana Cayhe pernah melihat Ku siansing satu kali- Kami telah bersikap kasar hari ini, harap Ku siansing sudi memaafkan" katanya-

Siau Po tertawa-

"Kalian kalau melakukan apa-apa memang suka tanpa aturan" tukasnya-

"Aku sedang berbicara dengan Tuan Ku, siapa yang sudi berbicara dengan seorang pengkhianat kecil seperti kau?" bentak orang tua itu dengan suara tajam- Tahu-tahu dia mengulurkan tangannya untuk mencengkeram dada Siau Po- Su Cuan melesat ke depan. Dalam sekali gerak dia sudah berhasil mencekal tangan orang tua itu. Kemudian ia mengerahkan tenaga untuk mendorong, orang tua itu tidak dapat mempertahankan diri, sehingga tubuhnya terhempas ke belakang, untung ada dua anggota Thian Te hwee segera menangkap tubuhnya sehingga dia tidak sampai terjatuh. 

"Ada apa-apa kita bicarakan baik-baik jangan menggunakan kekerasan" teriak Ku Yan Bu.

Pada saat itu perahu sudah hampir musnah terbakar, cahaya api yang merah menerangi seluruh tempat itu. Su Cuan berpikir bahwa ilmunya dan ilmu Songji cukup tinggi, untuk melindungi sang suami saja pasti bukan persoalan sedangkan yang diinginkan pihak Thian Te hwee hanya Siau Po seorang, mereka tidak akan menyulitkan orang perempuan.

Karena itu keduanya segera berpencarkan diri dan melindungi Siau Po- Mereka memperhatikan tiga ekor kuda yang tampaknya gagah sekali, Bila kesempatan datang, mereka akan merebutnya untuk membawa kabur Siau Po-

Sementara itu Ku Yan Bu menarik tangan Su Hua Liong lalu diajaknya menjauh dari kerumunan orang-orang itu.

"Saudara su, bolehkah kita bicara di sana sebentar?"

Su Hua Liong mengiakan Di tempat yang agak jauh tampak mereka saling berbisik beberapa kata, lalu Su Hua Liong menyuruh beberapa orang lainnya menghampiri mereka-

Tampaknya orang yang dipanggil itu merupakan pimpinan dari kelompok tertentu, termasuk si orang tua yang didorong Su Cuan tadi-

"Harta benda diperahuku itu cukup banyak, sekarang perahunya sudah terbakar Kalau Hung Hua Tong kalian yang harus menggantinya, bisa-bisa kalian jadi bangkrut," kata Siau Po-

Beberapa anggota Thian Te hwee membuka mulut memakinya, ada pula yang diam saja, Siau Po tenang-tenang saja, sebab dia yakin Ku Yan Bu pasti sanggup memberi penjelasan kepada su Hua Liong dan yang lainnya.

Benar, sesaat kemudian tampak su Hua Liong berjalan menghampiri Siau Po- Ku Yan Bu menjelaskan peristiwa yang dialami Siau Po selama ini. Para anggota Thian Te hwee mungkin tidak bisa mengerti mengapa Siau Po harus bekerja pada Kerajaan Ceng, tapi setidaknya sekarang mereka tahu bukan Siau Po tidak membunuh Tan Kin Lam. Dengan demikian kebencian mereka pun berangsur-angsur hilang.

Ciu Hu Liong menjura kepada Siau Po-

"Wi Hiocu, kejadian tadi merupakan kesalah pahaman kami terhadapmu Kalau bukan Tuan Ku yang memberikan penjelasan, kemungkinan saat ini kami sudah melakukan kesalahan fatal," katanya, Siau Po tertawa.

"Bila kalian benar-benar ingin menangkapku, rasanya juga tidak begitu mudah" sahutnya sambil menghambur ke depan. Dia mengerahkan ilmu langkah ajaibnya untuk  menyusup ke sana ke mari. Dalam sekejap mata dia sudah mencelat ke atas seekor kuda dan nongkrong di atasnya.

Su Hua Liong terkejut setengah mati. Dia tidak menyangka ilmu peringan tubuh Siau Po sudah mencapai taraf setinggi itu. Tidak heran dalam usianya yang masih kecil dulu dia sudah menjabat Hiocu dari Ceng Bok Tong.

Memang benar pepatah yang mengatakan "Guru yang pandai akan membuahkan murid yang pandai pula". Semua orang tahu ilmu silat Tan Kin Lam sangat tinggi, Hanya nasibnya yang sial sehingga dibokong oleh putra majikannya sendiri, sedangkan orang tua dari Hung Hua Tong juga memiliki ilmu yang cukup tinggi, tapi dia toh tidak bisa menahan diri dari dorongan Su Cuan yang asal-asalan.

Tampaknya ke tujuh istri Siau Po juga mempunyai ilmu yang tinggi-tinggi. Kalau mereka tadi sampai bergebrak, meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak, belum tentu mereka akan menang.

"Maaf, aku akan pergi sekarang" seru Siau Po dan langsung menarik tali laso tunggangannya lalu melakukan gerakan seperti sebelumnya, Kudanya mengikuti gerakan tangan Siau Po dengan menerjang ke sana ke mari. Tahu-tahu dia sudah berada di samping Su Cuan dan Songji lagi.

Para anggota Thian Te hwee bersorak memujinya.

"Ilmu Wi Hiocu tinggi sekali, sungguh membuat kami kagum" Siau Po merangkapkan kedua tangannya.

"Harus memamerkan sedikit kejelekan," sahutnya.

"Tadi Tuan Ku mengatakan bahwa tubuh Wi Hiocu memang ada di Kerajaan Ceng tapi hatinya berpihak pada bangsa Han, Beliau juga mengatakan bahwa Wi Hiocu akan melakukan sebuah tugas yang maha besar sehingga orang-orang nanti akan tahu bahwa Wi Hiocu sama sekali tidak bersalah. Apabila Wi Hiocu sudah mantap keputusannya, harap hubungi kami. Meskipun pihak Hung Hua Tong kami tidak mempunyai kebisaan apa-apa, tapi kami tidak akan menolak meskipun harus terjun ke dalam, lautan api," kata su Hua Liong.

Siau Po hanya menganggukkan kepalanya. "Baik, baik"

Su Hua Liong dapat melihat sikapnya yang tawar. Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya untuk mencolok mata kirinya. Darah langsung membasahi seluruh wajahnya, orang-orang yang hadir di tempat itu langsung menjerit melihat keadaan itu. Siau Po, Ku Yan Bu dan yang lainnya juga terkejut setengah mati-

"Su Toako, mengapa kau— melakukan hal ini?" tanya mereka serentak. Dengan tenang Su Hua Liong menyahut.

" Aku telah melanggar peraturan perkumpulan, seharusnya aku membutakan sepasang mataku ini, karena walaupun ada sepasang mata ternyata aku tidak melihat apa-apa. Tapi aku hanya membutakan sebuah mataku saja. sebab aku membiarkan mataku yang satu lagi melihat tugas besar yang akan dilakukan Wi Hiocu kelak" "Seandainya Tuan Ku dan kita semua telah ditipu, ternyata Wi Hiocu mengingkari janjinya sendiri dan tetap menjadi pembesar Boan ciu, bagaimana?" tanya si orang tua seolah menyesalkan tindakan tergesa-gesa Su Hua Liong.

"Kalau begitu aku minta Wi Hiocu mengorek biji matanya sendiri untuk menggantikan mataku ini," kata Su Hua Liong tegas, Lalu dia menoleh kepada Ku Yan Bu serta Siau Po-sekali lagi dia menjura. 

"Wi Hiocu, kami menunggu kabar darimu."

Tangan kirinya dikibaskan, anak buahnya segera berpencar, kemudian naik ke atas kuda masing-masing untuk meninggalkan tempat itu. si orang tua tadi menolehkan kepalanya dan berseru.

"Wi Hiocu, kalau kau pulang nanti, tanyakan kepada ibumu, bapakmu orang Han atau orang Boan Manusia tidak boleh melupakan leluhurnya sendiri"

Dalam sekejap mata orang-orang yang memenuhi tempat itu sudah pergi semuanya, suasana jadi lenggang kembali Namun api yang berkobar di atas perahu masih belum padam juga.

Ku Yan Bu menarik nafas panjang. 

"Tampaknya saudara-saudara tadi masih menaruh kecurigaan terhadap Wi Hiocu. Mereka rata-rata keturunan orang persilatan. Baik bicara maupun tindakan memang agak kasar, tapi kesetiaan mereka terhadap negara patut kita hargai Wi Hiocu, apa yang ingin kami katakan telah kami sampaikan jangan lupa bahwa kau juga keturunan Bangsa Han. Kita berpisah saja di sini. sampai jumpa"

Selesai bicara dia menjura kepada Siau Po dan isteri nya. setelah itu dia mengajak rekan-rekannya meninggalkan tempat itu.

Siau Po berdiri tertegun di tepi sungai. Angin berhembus sepoi-sepoi Api yang berkobar hanya tinggal sisanya. Kadang-kadang terdengar suara peletekan dari kayu yang termakan api, kemudian api yang sempat menyala sebentar tampak mengecil kembali, Siau Po menggumam seorang diri 

"Apa yang harus kulakukan? ,Apa yang harus kulakukan?"

"Untung masih ada satu kapal lagi. Kita kembali dulu ke sai yang Ki, di sana kita baru berunding lagi" kata Su Cuan

"Orang tua tadi menyuruhku pulang untuk bertanya kepada ibuku, apakah bapakku orang Han atau bukan, He he he, tampaknya saran ini ada benarnya juga." gumam Siau Po kembali, Su Cuan segera memberikan nasehat kepadanya.

"Siau Po, kata-kata orang kasar itu tidak perlu kau simpan dalam hati. Mari kita naik ke atas kapal"

Siau Po masih terpaku di tempatnya. Ketika dia menundukkan kepala, tampak di atas tanah tertetes noda darah, pasti darah yang keluar dari mata Su Hua Liong tadi-Tiba- tiba dia berseru.

"Aku tidak akan melakukan apa-apa lagi Aku akan pensiun" Ketujuh istrinya terkejut sekali Wi Song Song tadinya sudah tertidur nyenyak dalam pelukan ibunya. Mendengar suara teriakan bapaknya, dia langsung terjaga dan menangis keras-keras.

"Sri Baginda memaksaku membunuh saudara-saudara dari Thian Te hwee, sedangkan orang-orang memintaku membunuh Sri Baginda, sepasang kakiku menginjak dua perahu, aku jadi serba salah, sebelah sini ingin memenggal batok kepalaku, yang satunya ingin mengorek biji mataku. Memangnya kepalaku ini ada beberapa buah? Memangnya mataku ini ada beberapa pasang, dan apakah kalau hilang masih ada serepnya? pokoknya aku tidak akan menuruti pihak mana pun, aku akan berhenti" teriak Siau Po sekali lagi.

Su Cuan dapat melihat jiwa suaminya sedang terguncang, dia segera menasehati dengan suara lembut.

"Jadi pembesar setiap hari hatimu dilanda kecemasan, jadi Hiocunya perkumpulan Thian Te hwee juga tidak ada yang menyenangkan. Kalau kau memang bertekad melepaskan diri dari semua ini, aku bisa mengatakan bahwa inilah hal yang terbaik bagimu" Siau Po gembira sekali.

"Jadi kalian setuju kalau aku melepaskan diri dari semua ini?" tanyanya menegaskan.

Su Cuan, A Ko, Pui Ie, Bhok Kiam Peng, Cinju dan Songji langsung menyatakan setuju, hanya Kian Leng kongcu sendiri yang tampak kurang senang.

"Pangkatmu masih bisa naik terus, mengapa kau harus berhenti? Tunggu kalau kau sudah menjadi ongya, barulah kau pensiun Lagi pula, kalau kau minta berhenti sekarang, aku yakin Hongte kokojuga tidak akan mengijinkan" kata si Tuan puteri-Siau Po menjadi marah.

"Kalau aku tidak menjadi pembesar lagi, tentu tidak perlu menuruti apa yang dikatakan sri Baginda, Dia cuma kakak iparku, maknya siapa yang masih berani mengoceh, biar aku memutuskan hubungan dengan iparku itu sekalian" teriaknya kalap

Kalau dia tidak mengaku Sri Baginda sebagai iparnya lagi, sama saja artinya dia juga tidak mengakui Tuan puteri sebagai istrinya. Kian Leng kongcu terkejut setengah mati, namun tidak berani berbicara apa-apa lagi

Melihat ketujuh istrinya tidak ada yang mengatakan apa-apa lagi, hati Siau Po menjadi lega seketika-

"Kebetulan orang-orang dari Hung Hua Tong itu membakar habis perahuku- sementara kita bisa bersembunyi di tempat yang terpencil Kalau berita ini sudah tersebar, Sri Baginda pasti menduga kita semua juga mati dalam kebakaran itu- Dengan demikian dia tidak akan mengutus orang mencari kita lagi," katanya-

Delapan orang itu segera mengadakan perundingan Akhirnya Siau Po memutuskan, Songji dan Kian Leng kongcu mengganti dandanan untuk berangkat terlebih dahulu ke Kota Cun Ing dan menunggu yang lainnya di penginapan, sedangkan Su Cuan, A Ko, Pui Ie, Cinju dan Bhok Kiam Peng mengumpulkan harta benda yang terdapat di dalam kapal kemudian membakar habis kapal itu.

Setelah itu mereka akan menyebarkan berita bahwa Wi Tayjin telah tertimpa musibah-Dalam perjalanannya ke kota Yang-ciu, malam-malam ada penjahat yang merampok kapalnya dan membunuh seluruh keluarga.

Tapi masih ada beberapa pengawal serta tukang perahu yang mengetahui jalannya kejadian Mereka mungkin akan memberikan laporan kepada pembesar setempat, Su Cuan menyarankan agar mereka itu dibunuh saja, untuk mendukung cerita yang disebar luaskan.

Tapi Bhok Kiam Peng merasa tidak tega. Dia mengatakan sebaiknya mereka jangan membunuh orang yang tidak berdosa. 

"Baiklah, Hati adik Kiam Peng memang sangat mulia, semoga Thian memberkatimu sehingga dalam waktu dekat kau bisa melahirkan beberapa putra yang montok- SiauPo, aku akan menusukmu dengan pedang, kau berlarilah sambil berkaok-kaok. seakan- akan kau terbunuh di tanganku," kata Su Cuan Siau Po tertawa-

"Oh, rupanya kau ingin menjadi istri yang sadis sehingga tega membunuh suami sendiri?" 

Lalu dia berteriak sekeras-kerasnya. 

"Tolong.. Tolong Ada orang yang ingin membunuhku"

Dia mengerahkan langkah ajaibnya untuk berlari sekencang-kencangnya. Su Cuan menghunus pedangnya tinggi-tinggi lalu mengejar dari belakang.

Padahal Bhok Kiam Peng tahu bahwa semua ini merupakan sandiwara yang telah diatur bersama, tapi mendengar bentakan Siau Po yang demikian menyayat, hatinya berdebar-debar juga.

"Adik Songji, ini pasti bohong-bohongan kan?" tanyanya.

"Jangan takut, tentu saja bohongan," sahut Songji. Meskipun ia berkata demikian, tapi hatinya sendiri agak khawatir juga. Tidak lama kemudian, tampak Su Cuan berlari ke luar dari hutan sambil mengacung kan pedangnya. 

"Bunuh tukang perahu dan yang lain-lainnya" teriak wanita itu.

Sejak tadi tukang-tukang perahu dan beberapa pengawal tetap berdiri di tepi sungai. Mereka ketakutan ketika orang-orang Thian Te hwee membidikkan panah api ke arah perahu mereka. Hati mereka agak tenang melihat akhirnya urusan dapat diselesaikan Tapi entah kenapa istri-istri Wi Tayjin mendadak jadi gila? Tampak salah satu diantaranya menghunus pedang dan mengejar Wi Tayjin yang berlari ke arah hutan Apalagi kemudian mereka mendengar suara teriakan Su Cuan. Mereka yakin Wi Tayjin telah terbunuh, sekarang giliran mereka dibungkam. Maka mereka langsung lari terbirit- birit.

Songji menunggu sekian lama, tidak tampak Siau Po berlari kembali. Hatinya jadi khawatir Cepat-cepat dia menghambur ke dalam hutan untuk melihat apa yang terjadi- Tampak Siau Po tergeletak di tanah tanpa bergerak sedikit pun. Songji terkejut sekali. Dia cepat-cepat menghampirinya lalu membalikkan tubuhnya. Mata Siau Po terpejam rapat, keadaannya seperti orang yang tidak sadarkan diri-

Songji menjadi panik, 

"Siangkong siangkong" teriaknya. Dia tidak mengerti apa yang terjadi atas diri suaminya, sementara dia masih terpana, tiba-tiba Siau Po membuka matanya dan tangan kanannya meraih pinggang Songji. 

"Rencana kita berhasil cium dong" goda Siau Po.

Keenam istri Siau Po yang lain pun menyusul tiba. Mereka terpaksa mengubah rencana. Karena harta benda sudah terkumpul mereka segera berangkat ke kota Yang- ciu. Mereka menjemput ibu Siau Po lalu diajaknya ke Hun Lam dan menetap di kota Tali.

Kadang-kadang Siau Po merasa kesepian. Di tempat itu tidak ada hiburan yang menarik. Harta bendanya memang tidak sebanyak dulu lagi. Namun kalau dia mengingat harta karun yang terpendam di kaki gunung Lu Ting san, hatinya merasa puas, untuk seumur hidup dia tidak perlu khawatir kekurangan, namun mengingat hubungannya dengan Kaisar Kong Hi, dia tidak sampai hati merusak urat nadi Bangsa Boan.

-OOO) PENUTUP (OOO-

Kaisar Kong Hi tahu Siau Po sangat licik dan banyak akalnya. Meskipun tidak mengenyam pendidikan tapi kecerdasannya tidak kalah dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Tidak mungkin dia begitu mudah dicelakai oleh orang jahat.

Apalagi sampai sekian lama mayatnya tidak berhasil ditemukan Maka tidak hentinya dia mengutus orang untuk melakukan pencarian. Namun tidak pernah mendapatkan hasil yang memuaskan.

Berkali-kali Kaisar Kong Hi menyamar sebagai orang biasa pergi ke Kang Lam yang terdapat di wilayah selatan. Mengapa dulu-dulunya dia tidak pernah mendatangi daerah itu, sedangkan sejak menghilangnya Siau Po dia sering mengunjungi daerah itu dengan alasan meninjau pembuatan tanggul sungai Huang Ho?

Selama menyamar Kaisar Kong Hijuga memasuki tempat-tempat perjudian, rumah- rumah pelacuran dan sebagainya. Di sana dia selalu menanyakan Siau Po, namun selama itu pula tidak pernah ada orang yang mengaku kenal dengannya, apalagi mengetahui di mana dia berada, sebenarnya di mana tempat persembunyian Siau Po sehingga jejaknya begitu sulit dilacak?

Rupanya tempo hari Siau Po membawa seluruh keluarganya ke Kota Yang-ciu untuk menemui ibunya, setelah sekian lama berpisah, ibu dan anak itu dapat berkumpul kembali, sudah tentu hati keduanya terharu sekali sehingga mereka langsung berpelukan dengan mesra.

Melihat ke tujuh menantunya, semuanya cantik, Wi Cun Fang (Ibu Siau Po) berkata dalam hati. — Si Maling kecil Siau Po ini mempunyai pandangan mata yang bagus. Kalau dia membuka usaha pelacuran, perempuan-perempuan yang dipeliharanya pasti terdiri dari perempuan-perempuan pilihan, uang tentu mengalir masuk seperti air. —

Sesudah berbasa-basi, Siau Po menarik ibunya ke dalam kamar. "Mak, bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

Ibunya jadi heran, tapi dia mengangukkan kepalanya juga. "Tanyakan saja" 

"Siapakah bapakku sebenarnya?" tanya Siau Po. Mata Wi Cun Fang langsung mendelik.

"Mana aku tahu?" sahutnya, Siau Po mengerutkan keningnya.

"Sebelum mengandung aku, tamu-tamu dari golongan mana saja yang pernah kau temani?"

" Waktu itu ibumu sedang laris-larisnya, satu hari bisa menerima beberapa tamu, mana aku ingat tamu-tamu dari golongan apa?" jawab Cun Fang.

"Apakah tamu-tamu itu semuanya orang Bangsa Han?" tanya Siau Po penasaran. "Tentu saja ada yang orang Han. namun kadang-kadang kami menerima tamu orang 

Boan juga, selain itu masih ada Bangsa Mongol." 

"Apakah ada tamu bangsa asing?" tanya Siau Po-

"Kau pikir ibumu ini pelacur murahan? Masa aku sudi menerima tamu bangsa asing pokoknya setiap orang bule, baik Bangsa Losat maupun setan Berambut Merah ada yang berani masuk ke Li Cun Wan ini, ibumu akan mengusir mereka dengan sapu" sahut Cun Fang kesal.

Hati Siau Po menjadi lega seketika. "Bagus" katanya.

Cun Fang mendongakkan kepalanya sedikit seakan sedang mengenangkan masa lalunya.

"Tempo hari ada seorang laki-laki yang tampan sekali. Dia sering mengunjungi aku, setiap kali teringat kepadanya, aku selalu berkata dalam hati. Anak kesayanganku si Siau Po mempunyai bentuk hidung yang bagus, mirip dengan orang itu."

"Orang cina, orang Mongol, orang Boan semuanya ada. Entah apakah ada tamu dari Tibet?" tanya Siau Po ingin tahu.

Wi Cun Fang sepertinya bangga sekali ketika mudanya banyak melayani laki-laki dari berbagai suku.

“Tentu saja ada Ada seorang pendeta dari Tibet, sikapnya lucu sekali, sebelum naik ke atas tempat tidur dia selalu membaca doa. sembari membaca doa matanya memandang lekat-lekat kepadaku, Eh, kalau membayangkan kembali matanya yang bersinar terang, berkilau-kilauan seperti mutiara, rasa-rasanya persis deh dengan matamu itu" Siau Po hampir semaput mendengar keterangan terakhir ibunya, ya ampun 

-- T A M A T --
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar