Jilid 92
Peng Cun, Ho Yu membawa sejumlah prajurit untuk membantu penduduk mendatangkan lebih banyak lagi alat pertukangan ke tenda mereka. Dalam waktu beberapa hari, meriam air yang diperlukan sudah selesai. Siau Po segera memerintahkan agar meriam-meriam air itu diangkut ke atas bukit, dan moncongnya diarahkan ke tembok kota.
Para prajurit bersorak-sorai, Meriam ditembakkan sebanyak tiga kali sebagai tanda perang akan dimulai. Kuali besar juga sudah disiapkan, bongkahan salju dimasukkan ke dalam kuali panas dan dididihkan, Setelah itu mereka menggunakan tong untuk menuangkannya ke dalam meriam air itu.
Saat itu Tolbusin sedang tertidur lelap di balik selimutnya yang tebal, Tiba-tiba dia mendengar suara meriam ditembakkan, Cepat-cepat dia melompat bangun dan secepat kilat pula mengenakan pakaiannya, dia berlari ke luar untuk melongok lewat tembok kota. Ketika itu angin bertiup dengan kencang dan langit gelap, Dalam remang- remangnya cuaca dian melihat para prajurit Kerajaan Ceng sedang meng-isikan sesuatu ke dalam batang pohon, Maka hatinya bertanya-tanya, Tiba-tiba terdengar seruan para prajurit itu disusul dengan semprotan air dari beribu-ribu batang pohon.
Tolbusin terkejut setengah mati.
"Aduh!" jeritnya keras-keras, sekumpulan air panas menyembur ke arah dadanya, walaupun cuaca sangat dingin dan air panas yang mencapai tubuhnya hanya terasa suam-suam kuku, namun derasnya air membuat tubuhnya terpelanting ke belakang.
Beberapa serdadu yang berdiri di dekatnya cepat-cepat membangunkan panglima itu, namun dalam waktu yang bersamaan mereka juga memekik terkejut. Pancuran air yang jumlahnya tidak terkirakan menyemprot ke arah mereka. Dalam sekejap mata seluruh kota Ya Ke Lung penuh dengan uap putih, hal ini disebabkan hawa air hangat yang mengenai salju di atas tanah.
Hati Tolbusin menjadi panik melihatnya.
"Bangsa Cina yang bodoh kembali menggunakan ilmu sihir!" teriaknya histeris.
Dari dalam batang pohon tahu-tahu bisa menyemprotkan air, tentu saja mereka menganggapnya sebagai ilmu sihir, Dengan gugup dia berkata pula. "Cepat tembak! jangan sampai Bangsa Cina yang bodoh itu memanjat ke atas tembok kota!"
Sejak hari itu dia ditelanjangi anak buahnya dan diarak kembali ke kota, wibawanya sudah jatuh, Serdadunya tidak terlalu memperdulikan perintahnya lagi, Mereka meninjau situasi yang sedang dihadapi. Kalau membahayakan jiwa, mereka memilih tidak menuruti perintah panglimanya, sedangkan saat ini mereka melihat pancuran air yang tidak henti-hentinya menyembur ke dalam kota, setiap orang berusaha menghindarkan diri, siapa yang kerajinan menuruti perintah Tolbusin.
Para laki-laki Cina yang ada di dalam kota Ya Ke Lung sejak semula sudah dibunuh oleh anak buah Tolbusin, Yang tersisa hanya beberapa perempuan yang masih muda, Mereka dipaksa menjadi gundik para pembesar Lo Sat.
Bagi yang tidak mau akan dihukum mati juga, Jadi, dalam kota itu sekarang hampir seluruhnya merupakan Bangsa Lo Sat. Ketika terjadi keributan, mereka berbondong- bondong ke luar untuk melihat apa yang terjadi otomatis mereka pun terkena semprotan air dari meriam batang pohon yang dilancarkan prajurit Siau Po.
Tubuh mereka dari kepala sampai ke kaki basah seketika, Mula-mula airnya memang terasa hangat di badan, namun karena dinginnya cuaca, sebentar saja pakaian mereka sudah berlapis es. Bangsa Lo Sat terkejut setengah mati.
Cepat-cepat mereka membuka seluruh pakaian dan sepatu, Mereka sadar apabila hal ini tidak cepat dilakukan, maka dengan bertambah dinginnya cuaca, pakaian serta sepatu mereka akan membeku menjadi es. Saat itu apabila mereka ingin melepasnya, pasti sudah sulit sekali, namun kalau dibiarkan akan lebih berbahaya, Bayangkan tubuh yang ditutupi pakaian dari es. Dalam waktu beberapa jam saja mereka akan mati membeku.
Suasana di dalam kota Ya Ke Lung jadi kacau balau, Suara jeritan dan tangisan membaur menjadi satu. Air yang menyembur di atas tanah sebentar saja sudah menggumpal seperti bubur, Kaki Bangsa Lo Sat yang telanjang menginjak di atasnya, dinginnya jangan ditanyakan lagi.
Suara jeritan semakin menjadi-jadi. Mereka berdesak-desakan untuk memanjat ke tempat yang lebih tinggi, bahkan sebagian di antaranya naik ke atas genteng.
Tolbusin mengenakan mantel yang terbuat dari kulit harimau, tangannya membawa sebuah payung besar, Dia kembali ke arena untuk melihat perkembangan. Tiba-tiba dia mendengar salah seorang serdadunya berseru.
"Lebih baik kita menyerah saja!" Tolbusin marah sekali.
"Siapa yang berani mengacau di sini? Seret dia ke luar dan penggal kepalanya!" bentaknya garang. Para serdadunya melihat Tolbusin mengenakan mantel kulit yang tidak dapat merembes air. Pasti tubuhnya hangat sekali, Dan sekarang dia berdiri sambil bertolak pinggang dan marah-marah. Tentu saja anak buahnya merasa tidak puas, Salah satu di antaranya mengambil sebongkah es batu dan dilemparkannya ke arah sang Panglima. Tolbusin marah sekali, lalu mencabut pistol pendeknya dan Banggg!!
Dada orang itu tertembak dan mati seketika, sekarang giliran serdadunya yang berang, Beramai-ramai mereka memunguti bongkahan salju dan ditimpukkan ke arah panglimanya, Bahkan ada beberapa di antaranya yang menerjang ke arah Tolbusin hingga orang itu jatuh bergulingan di atas hamparan salju.
Di saat ribut-ribut itu, sepasukan serdadu lainnya muncul dari dalam kota, Serdadu yang mula-mula menerjang TuIbosin takut akan timbul keonaran di antara orang sendiri, maka terpaksa mereka melepaskan sang panglima, Baru saja TuIbosin berusaha bangkit dari hamparan salju, dua semburan air yang keras mengenai kepalanya sehingga dia kebasahan juga, Kakinya mencak-mencak, air yang mengalir lewat kerah mantelnya membasahi tubuhnya sehingga dia merasa kedinginan. Dalam keadaan demikian terpaksa dia meminta anak buahnya untuk melepaskan pakaian dan sepatunya.
Prajurit Kerajaan Ceng yang melihat kepanikan serdadu Lo Sat tentu saja merasa senang sekali, Ada yang bertepuk tangan keras-keras, ada yang bersuit sambil menari- nari, ada yang menyanyikan lagu macam-macam, bahkan ada yang menyenandungkan lagu "Raba sana raba sini" gubahan Siau Po.
Peng Cun dan yang lainnya bertambah sibuk, Bongkahan salju yang diambil semakin banyak. Api terus membara di bawah kuali, dan air panas yang disemprotkan ke arah tembok kota pun semakin meluap.
Siapa pun tidak menyangka kedahsyatan meriam air yang dilancarkan Siau Po. Serdadu Lo Sat kehilangan kendali Masih ada sebagian yang bisa berpikir panjang, mereka mengeluarkan meriam untuk balas menembak, namun hal ini tidak berlangsung lama.
Air yang menyembur mengenai moncong meriam, dalam sekejap juga membeku menjadi es. Meriam-meriam itu malah menjadi barang rongsokan yang tidak terpakai. Atap rumah, jendela dan bagian lainnya yang terkena guyuran air juga langsung membeku Cuaca di dalam kota itu semakin dingin, pakaian kering yang disimpan untuk salin menyerap hawa dingin sehingga tidak dapat dikenakan.
Bahkan lantai didalam rumah pun tidak luput dari genangan air yang akhirnya membeku menjadi salju pula, Ke-adaan di dalam kota itu hampir tidak terkendalikan lagi, Siau Po senang sekali melihatnya.
Dia bermaksud menyuruh anak buahnya untuk mempergencar serangan, namun tiba-tiba melihat bongkahan salju di permukaan sungai tinggal sedikit, paling-paling untuk mengisi puluhan meriam batang pohon lagi, Hatinya menjadi kecewa seketika, dan wajahnya pun berubah murung, Dia benar-benar tidak tahu cara apa lagi yang harus ditempuh apabila serangan kali ini gagal. Namun justru di saat itulah pintu gerbang utama kota terpentang lebar, ratusan serdadu berhamburan ke luar sambil berteriak.
"Menyerah! Kami menyerah!"
Luka di kepala Lung Pu Suk seperti sembuh setengahnya begitu mendengar suara itu. Dia segera memerintahkan seribu prajurit dari pasukan berkudanya untuk maju ke depan menghampiri para serdadu yang menyerahkan diri itu.
"Yang menyerah duduk di atas tanah!" teriaknya lantang.
Serdadu Lo Sat tidak mengerti apa yang dikatakannya Mereka saling memandang dengan rekan-rekannya, Seorang prajurit Kerajaan Ceng menunjuk ke atas tanah dan berkata.
"Duduk! Duduk!"
Tepat pada saat itulah pintu gerbang kota dirapatkan kembali Dari atas tembok muncul beberapa moncong meriam dan ditembakkan ke bawah sehingga puluhan serdadu Lo Sat mati seketika terkena ledakannya.
Prajurit Kerajaan Ceng membidikkan meriam air ke arah atas tembok kota. Begitu serdadu Lo Sat menembakkan meriam, mereka juga menyemprotkan air dalam waktu yang bersamaan Meriam yang meluncur ke depan langsung terpental membalik oleh kencangnya semburan air, jatuhnya tepat di atas tembok tempat para serdadu Lo Sat sedang mengintai Blammm!
Terdengar suara dentuman meriam disusul dengan jeritan yang menyayat hati, Serdadu Lo Sat yang ada di atas tembok mati dengan tubuh hancur akibat "Senjata yang makan tuan.
Siau Po bertepuk tangan keras-keras, Dia tidak menyangka semburan air yang kuat dapat membalikkan meriam yang sedang meluncur, semangatnya terbangkit kembali Keyakinannya juga semakin bertambah.
Tulbosin membentak dengan suara keras, dia menyuruh anak buahnya yang lain menggantikan kedudukan serdadu-serdadu yang mati, Tapi anak buahnya malah memalingkan kepala, tidak ada seorang pun yang menuruti perintahnya.
Tulbosin marah sekali, dia mengulurkan tangannya untuk memukul salah seorang serdadu yang ada di dekatnya, Serdadu itu menggeser tubuhnya sedikit untuk meng- hindar, Tentunya Tulbosin tidak sudi melepaskan orang itu begitu saja, dia langsung mengejarnya. Tapi apa mau dikata, tiba-tiba kakinya tergelincir dan jatuh terpeleset, ini yang dinamakan "Sudah jatuh tertimpa tangga pula, Seorang serdadunya yang lain cepat- cepat mendorong Tulbosin sehingga dia terjatuh ke dalam sebuah lubang yang tadinya digunakan untuk menempatkan meriam.
Tulbosin berusaha memanjat ke atas, tapi salju yang terdapat di sekeliling liang itu licin sekali, Berkali-kali Tulbosin mencoba, namun berkali-kali pula dia terperosok lagi.
"Tolong aku! Tolong aku!" serunya, sementara itu, air yang deras masih menyembur ke dalam kota, Lubang tempat Tulbosin terperosok pun tergenang air, Tulbosin semakin kelabakan, sedangkan para serdadunya malah berkerumun untuk melihat keadaannya yang mengenaskan.
Air yang menggenang di dalam lubang perlahan-lahan membeku menjadi salju, TuIbosin berusaha meronta, namun tidak ada gunanya, Sesaat kemudian, setengah tubuhnya sudah tertimpa salju.
Sementara itu, tampaknya para serdadu Lo Sat sudah bersatu hati, Mereka membuka pintu gerbang lalu berhamburan ke luar sambil berseru, "Menyerah!"
Karena perasaan hatinya yang terlampau gembira, Siau Po sampai melompat turun dari kudanya, lalu menari-nari. Mulutnya mengoceh macam-macam, namun tidak ada seorang prajurit mengerti apa yang diperintahkannya, Untung masih ada beberapa Komandan lain yang sudah berpengalaman dalam peperangan.
Dia segera mengambil alih tugas Siau Po. Serdadu Lo Sat yang menyerah segera dikumpulkan menjadi satu, Kemudian dia memerintahkan ratusan anak buahnya agar masuk ke kota untuk mengambil benda-benda yang bermanfaat bagi mereka.
Dalam keadaan seperti ini, otomatis Siau Po, So Ngo Ta dan beberapa pembesar lainnya juga mendapatkan banyak rejeki, sebagian harta benda yang tidak terkirakan nilainya dibawa ke hadapan Siau Po.
Pihak mereka sudah berhasil memenangkan perang kali ini. Malam harinya diadakan perjamuan besar-besaran, sebagian besar prajurit Kerajaan Ceng masih bekerja keras, Kalau tadi mereka membekukan Kota Ya Ke Lung, sekarang mereka justru mencairkan esnya agar mengalir kembali ke dalam sungai, pekerjaan ini pun bukan pekerjaan yang mudah. Akhirnya mereka memutuskan untuk melakukannya sedikit demi sedikit.
So Ngo Ta dan lainnya memberikan pujian kepada Siau Po. Mereka mengatakan belum pernah ada peperangan yang berhasil segemilang ini dari jaman dulu.
Salah seorang utusan kaisar yang kebetulan masih ada di sana berkata. "Ketika hamba berangkat dari Kotaraja, Sri Baginda menyuruh hamba melihat
perkembangan yang sedang berlangsung, Beliau juga meminta hamba menyampaikan
kepada Wi Thayswe agar jangan terlalu banyak melakukan pembunuhan. Ternyata hari ini Wi Thayswe benar-benar berhasil dengan gemilang, Yang mengagumkan justru tidak adanya korban yang jatuh di pihak kita, walaupun lawan menggunakan senjata api yang dahsyat.
Sejak jaman dulu, mungkin hanya Wi Thayswe seorang yang sanggup melakukan nya. Bahkan kelak di kemudian hari belum tentu ada orang yang sanggup menyamai Wi Thayswe."
Siau Po merasa bangga sekali, dan sifat membualnya kumat lagi.
"Untuk menghancurkan sebuah kota seperti Ya Ke Lung sebetulnya juga bukan urusan yang sulit Satu-satunya kesulitan yang kita temui justru terletak pada sikap Sri Baginda yang pemaaf, Beliau tidak ingin banyak orang menjadi korban walaupun yang dimaksud itu musuh negaranya sendiri itulah sebabnya aku menunggu sampai hari ini baru mengeluarkan strategi yang satu ini.
Maksudnya untuk membuktikan kebaikan Sri Baginda, Kita semua bekerja untuk Sri Baginda, melakukan peperangan tanpa perduli berapa banyak korban pun yang jatuh merupakan urusan yang mudah sekali Tapi bila ingin memenuhi firman kaisar yakni menang dalam perang tanpa jatuh korban, ini memang agak sulit sedikit."
Tentu saja para prajurit tahu bahwa anak muda ini sedang membual, namun untuk memenangkan perang tanpa jatuh korban dari pihak sendiri mereka mengakui memang bukan hal yang mudah.
"Hal ini merupakan rejeki dari Sri Baginda dan bakat ajaib dari Wi Thayswe," kata So Ngo Ta.
"Dalam peperangan kali ini, dari yang pangkatnya tinggi sampai rendah, semuanya telah mendirikan jasa yang besar Kalau bukan nasib baik yang dibawa oleh utusan kaisar dan So Tayjin, kita juga tidak mungkin memenangkan peperangan ini," sahut Siau Po.
Tentu saja utusan Kaisar dan So Ngo Ta senang sekali mendengar kata-katanya. Mereka merasa terharu atas kebaikan hati Siau Po. Padahal, ketika perang berlangsung mereka berdua selalu menyembunyikan diri jauh-jauh.
Kedua-duanya takut terkena sasaran tembakan atau pun ledakan meriam, Apa hubungannya dengan "nasib baik" yang dikatakan Siau Po? Tapi dengan ucapan Siau Po barusan, berarti mereka berdua juga ikut mendirikan jasa besar dalam peperangan kali ini. Hadiah bagi yang berjasa dalam perang paling banyak dibandingkan hadiah untuk jasa lainnya.
Siau Po paling pandai melihat situasi Membagi jasa kepada utusan kaisar ini tidak akan merugikan dirinya, malah sebaliknya akan mendatangkan keuntungan baginya. Sekembalinya utusan ini ke Kota-raja, dia pati akan membual tentang dirinya setinggi langit di hadapan Sri Baginda, Taruhlah jasanya hanya lima bagian juga akan dikatakan sebanyak sepuluh bagian.
Kalaupun ada sedikit kesalahan yang pernah dilakukannya, baik sang utusan maupun So Ngo Ta pasti akan ditutupinya, Mereka akan menutup mulut rapat-rapat.
Mereka makan minum dengan lahap, Seorang prajurit datang melaporkan bahwa mereka mendapat kisikan dari serdadu Lo Sat yang menyerah bahwa mereka telah mengeluarkan tubuh Tolbusin, Saat itu sang panglima sudah mati beku, Seluruh tubuhnya berubah menjadi kehijau-hijauan.
"Ketika masih bayi, orang ini diberi nama yang salah, Dia tidak boleh menggunakan nama Tolbusin (Sin merupakan terjemahan dari Cing yang artinya hijau), seharusnya dia bernama Tolbucai (Cai = rejeki) agar rejekinya banyak dan panjang umur, Kalau begitu dia tidak perlu menjadi hijau, malah menjadi kaya," kata Siau Po sembari menarik nafas panjang, Kemudian dia memerintahkan anak buahnya untuk pergi membeli peti mati guna pemakaman jenasah ToIbusin.
Setelah menyelesaikan berbagai hal yang diperlukan Siau Po mengutus So Ngo Ta bersama utusan kaisar segera memacu kuda mereka kembali ke Kota-raja memberikan laporan kepada Kaisar Kong Hi.
Malam harinya Siau Po dan Song Ji bermalam di rumah yang tadinya ditempati oleh Gubernur setempat Tungku api membara, selimut dari kulit harimau menutupi tubuh. suasananya romantis sekali.
Tempat ini merupakan tempat nostalgia bagi Siau Po. Ketika dia membuka sebuah peti yang terdapat di samping tempat tidur, isinya ternyata baju seragam serta senapan api.
Song Ji tersenyum.
"Apakah Siangkong berharap dari dalam peti keluar seorang ratu negara Lo Sat?" tanyanya menggoda.
Siau Po tertawa.
"Kau kan Tuan Puteri dari Tiongkok, jauh lebih baik daripada seorang ratu dari Negara Lo Sat," sahutnya tak mau kalah.
Song Ji menjadi geli mendengarnya.
"Sayangnya Puteri Tiongkokmu yang asli masih ada di Peking, bukan di sini," katanya.
"Song Ji ku yang baik, bukankah pekerjaan kita hari ini dapat dikatakan sebuah "jasa yang bukan main besarnya"?" goda Siau Po. Wajah Song Ji menjadi merah padam. Untuk sesaat dia tersenyum tersipu-sipu, Meskipun dia sudah cukup lama menjadi istri Siau Po, namun mendengar godaan suaminya, dia masih merasa jengah.
Siau Po meraih pinggang Song Ji dan diajaknya duduk di tepi tempat tidur.
"Berkat bantuanmu, akhirnya kita berhasil merebut kembali Gunung Lu Ting San. Sri Baginda menganugerahi aku pangkat Lu Ting Kong, Tampaknya wilayah ini akan menjadi kekuasaanku Di dalam gunung ini banyak tersimpan emas permata, Perlahan- lahan kita menggalinya, Suatu hari kelak namaku harus diganti menjadi Wi Tuo Po (Wi banyak harta)," katanya.
"Siangkong sudah memiliki banyak uang emas maupun perak, Biar digunakan sampai seumur hidup juga masih berlebihan sedemikian banyaknya emas permata juga tidak ada gunanya, Aku rasa sebaiknya Siangkong tetap menjadi Wi Siau Po (Wi yang harta-nya sedikit)," sahut Song Ji.
Siau Po mengecup pipi Song ji dengan lembut.
"Benar, benar! Selama beberapa hari ini aku terus dicekam keraguan, Kalau hanya menggali harta saja sih tidak apa-apa, Takutnya salah menggali sehingga memutuskan urat nadi naga Bangsa Boan Ciu. Dengan demikian aku telah mencelakai Sri Baginda, Selama ini Sri Baginda selalu memperlakukan diriku dengan baik,
Bukanlah suatu perbuatan yang terpuji bila aku malah mencelakakannya. Namun kalau harta itu tidak digali, rasanya sayang juga, Lebih baik begini saja, untuk sementara kita jangan menggali harta karun ini. Apabila suatu hari nanti Sri Baginda sudah wafat, tentunya kita juga sudah jatuh miskin. Sampai saat itu toh masih belum terlambat untuk menggali harta karun ini," katanya pula.
Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba dari dalam peti kemas terdengar suara samar- samar. Kedua orang itu saling melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah peti, Sampai sekian lama tidak terlihat gerakan apa-apa.
Perlahan-lahan Siau Po menepuk tangannya tiga kali, Song Ji keluar untuk memanggil ke empat penjaga yang meronda di depan, Siau Po menunjuk ke arah peti dan berkata dengan suara berbisik. "Di dalam peti ada orang!"
Keempat penjaga itu terkejut setengah mati, Mereka segera membuka tutup peti, tampak di bagian atasnya penuh dengan pakaian seragam, Siau Po memberi isyarat dengan gerakan tangan. Para penjaga itu mengerti lalu mereka mengangkat pakaian seragam itu satu per satu sampai akhirnya tampak sebuah lubang, Tepat pada saat itulah terdengar suara, Dor! Moncong sebuah senapan tersembul ke luar. Salah seorang penjaga yang berada di bagian paling depan menjerit satu kali kemudian roboh terjengkang ke belakang. Song Ji segera menarik Siau Po lalu berlindung di punggungnya, Siau Po menunjuk ke arah tungku api dan memberikan isyarat kembali dengan tangannya. Seorang penjaga mengajak rekannya mengangkat tungku api itu lalu dituangkannya ke dalam lubang.
Terdengar seseorang berteriak dengan Bahasa Lo Sat dari dalam lubang tersebut.
"Jangan buang bara api, aku akan menyerah!" Disusul dengan suara batuk-batuk yang tidak henti-hentinya, Mungkin nafasnya sesak karena asap yang keluar dari bara api.
"Lemparkan dulu senapanmu, lalu merangkaklah ke luar perlahan-lahan!" kata Siau Po dengan bahasa Lo Sat.
Dari dalam lubang menyembul ke luar sebuah senapan pendek, kemudian tampak seseorang merangkak ke luar, Seorang penjaga menjambak rambut orang itu lalu menariknya ke atas, sedangkan seorang penjaga yang lain segera melintangkan goloknya di leher orang itu.
Janggut orang itu mengeluarkan asap, tampaknya api yang membakar jenggot itu masih belum padam sehingga dia meraung-raung kesakitan.
"Apakah di bawah sana masih ada orang lain?" bentak Siau Po. Terdengar sahutan dari dalam lubang.
"Masih ada satu orang lain lagi! Aku menyerah! Aku menyerah!" "Lempar ke luar senapanmu!" teriak Siau Po.
Tampak sekilas cahaya dari dalam lubang berkelebat sebuah golok dilempar ke luar disusul dengan setumpukan kobaran api yang menyala, Rupanya orang yang satu ini mengalami kebakaran di rambut kepalanya.
Para tentaranya atau prajurit yang berada di depan kamar Siau Po mendengar suara gempar di dalam Mereka segera berhamburan datang untuk melihat kejadian apa yang menimpa Panglima Besar-nya.
Tujuh delapan orang prajurit segera memadamkan api yang membakar rambut dan jenggot kedua orang itu. Setelah itu kedua tawanan tersebut baru diikat dengan tali kuat-kuat.
Tiba-tiba Siau Po menunjuk kepada salah seorang Bangsa Lo Sat sambil berkata. "Kau adalah Wang Pat Se Ki (Si Kura-kura Ayam Mampus)!" Tawanan itu menunjukkan wajah berseri-seri. "BetuI, betul Pembesar bocah Tiongkok, aku memang bernama Walpatsky!"
Seorang tawanan Lo Sat lainnya juga ikut berseru. "Pembesar bocah Tiongkok, aku bernama Che-konof!"
Untuk sesaat Siau Po menatap mereka dengan pandangan ragu, jenggot dan rambut mereka terbakar sehingga tidak karuan, sedangkan wajah mereka merah membengkak Namun masih bisa dikenali Karena itu dia tertawa terbahak-bahak.
"Benar, benar, Kau memang Cu Ke Juo Fu (Manusia rendah turunan Babi)!" Chekonof gembira sekali, dia tidak paham apa arti kata-kata Siau Po dalam bahasa
Cinanya.
"Betul pembesar bocah Tiongkok, aku kawan baikmu!"
Walpatsky dan Chekonof merupakan dua orang di antara para siwi Ratu Sophia, Tempo hari mereka berdua mengiringi Siau Po berangkat ke Moskow dari kota Ya Ke Lung.
Ketika terjadi keributan tempo hari, ada empat orang siwi bawahan Ratu Sophia yang telah mendirikan jasa besar sehingga pangkatnya naik menjadi Komandan pasukan Perang.
Di saat terjadi bentrokan kembali dengan pasukan Kerajaan Ceng, keempat orang ini diutus kembali untuk meredakannya, akan tetapi kali ini keadaannya justru terbalik, pihak mereka yang mengalami kekalahan.
Dua di antaranya mengalami musibah, yang satu mati kena ledakan, sedangkan satunya lagi mati kedinginan Sisa dua orang lainnya segera bersembunyi di jalan bawah tanah, mereka berharap dapat melarikan diri ke luar kota.
Tidak disangka-sangka kalau ujung jalan satunya sudah tersumbat, sedangkan ujung sebelah sini merupakan kamar tidur sang Panglima, Mereka jadi mundur salah maju salah, akhirnya malah ketangkap basah.
Tempo hari Siau Po memang memanggil mereka sebagai Wang Pat Se Ki dan Cu Ke Juo Fu, Kedua orang ini tentu saja tidak tahu arti yang sebenarnya, Mereka mengira orang Cina aksennya tidak becus sehingga kata-kata yang diucapkannya agak aneh kedengarannya, itulah sebabnya mereka langsung mengiakan panggilan Siau Po tadi.
Selain itu, mereka sering mendengar Ratu Sophia memanggil Siau Po sebagai "Bocah Tiongkok", Pada mulanya mereka juga menyebut Siau Po sebagai Bocah Tiongkok, tapi setelah Siau Po mendirikan jasa dan dianugerahi pangkat oleh Ratu Sophia, maka mereka menyebutnya "Pembesar Bocah Tiongkok" Siau Po menanyakan awal kedatangan mereka, lalu menyuruh para prajurit melepaskan ikatan pada kedua tangan tawanan tersebut, kemudian mengajak mereka ke luar untuk menikmati hidangan yang telah disajikan.
Para prajurit khawatir kalau-kalau di dalam lubang masih terdapat para serdadu Bangsa Lo Sat. Mereka lalu menyusup masuk untuk mengadakan pemeriksaan. Akhirnya mereka tahu bahwa lubang itu telah tersumbat di ujungnya sehingga tidak ada jalan untuk melarikan diri.
Komandan para penjaga segera menghadap Siau Po dan memohon pengampunan atas keteledorannya.
Diam-diam dia membayangkan, apabila ada beberapa serdadu Lo Sat yang bersembunyi di dalam lubang itu dan Siau Po serta Song Ji kebetulan tidak memergokinya, lalu kedua suami istri itu terbunuh pada malam harinya, kemungkinan kepalanya sendiri harus dipenggal lima belas kali atas tanggung jawab yang mesti dipikulnya.
Keesokan harinya, Siau Po memanggil Walpatsky dan Chekonof untuk menanyakan keadaan Ratu Sophia, Kedua orang itu mengatakan bahwa Ratu Sophia pandai mengatur politik di negara nya.
Para menteri maupun pembesar setempat tidak ada yang berani membantah apapun yang dikatakannya, sedangkan kedua pangeran lainnya masih kecil-kecil, tentu saja mereka menurut saja apa yang dikatakan oleh kakaknya.
Chekonof tertawa sambil berkata, "Tuan puteri kami rindu sekali kepada pembesar Bocah Tiongkok, Kami diperintahkan ke mari untuk mencari berita tentang Anda. Apabila kami berhasil bertemu dengan Anda, maka kami harus mengundang Anda untuk bermain-main lagi ke Moskow, Pasti ada hadiah besar yang menanti Anda di sana."
"Tuan Puteri tidak tahu kalau pembesar Bocah Tiongkok yang memimpin peperangan ini, kalau tidak, semuanya toh merupakan sahabat sehati, kawan karib, tentunya peperangan ini tidak perlu dilanjutkan lagi," kata Walpatsky.
"Ah, kalian hanya mengacau, bohong!" teriak Siau Po.
Kedua orang segera bersumpah seberat-beratnya, mereka menyatakan bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran yang sejati dan tidak mengada-ada.
Siau Po berpikir dalam hati.
- Sri Baginda toh menyuruhku mencari jalan agar dapat berdamai dengan negara Lo Sat, Ada baiknya aku meminta kedua orang ini menjadi penengahnya.
Oleh karena itu, dia berkata, "Aku ingin menulis sepucuk surat, kalian harus menyerahkannya kepada Tuan Puteri. Namun tulisan ceker ayam saja aku tidak bisa, apalagi tulisan Ceng-corang Bangsa Lo Sat. Karena itu aku meminta kalian yang mewakili aku menulisnya."
Untuk sesaat kedua tawanan itu saling memandang sejenak, wajah mereka menunjukkan roman serba salah. Sejak kecil mereka biasa hidup kasar, setelah dewasa diharuskan berlatih agar dapat diandalkan dalam peperangan.
Mana mereka punya waktu untuk bersekolah? pada dasarnya kedua tawanan itu tidak berbeda dengan Siau Po. Mereka juga buta huruf Akhirnya Chekonof mendapat jalan.
"Pembesar Bocah Tiongkok ingin menulis surat cinta, kita tidak akan mengerti menyusun kata-kata-nya. sebaiknya kita undang saja seorang ahli Sastra."
Siau Po menyetujuinya, Dia memerintah beberapa anak buahnya untuk membawa kedua tawanan itu agar dapat mencari seorang ahli sastra di antara serdadu-serdadu Lo Sat yang telah menyerah.
Tidak lama kemudian, kedua tawanan itu kembali lagi dengan membawa seorang laki-laki yang bercambang lebat, Pada waktu itu, Bangsa Lo Sat yang mengerti ilmu surat masih sedikit sekali, Ahli Sastra yang ikut dalam pasukan perang mempunyai tugas untuk memimpin pembacaan doa dan memberi ceramah agar para serdadu tetap terbangun semangatnya.
Selain itu masih ada satu tugas khusus yang harus dilakukannya, yakni mewakili para serdadu menulis surat untuk keluarga masing-masing agar para istri dan anak- anak mereka dapat mengetahui keadaan serdadu-serdadu tersebut.
Ahli sastra itu mengenakan seragam serdadu yang kesempitan, Tubuhnya terbungkus ketat bagai bungkus kacang, maka tampak lucu sekali, Dia ketakutan setengah mati ketika mengetahui dua orang tawanan sebangsanya mengajaknya menemui Siau Po.
Dia berkata dengan suara tergagap-gagap.
"Tu... han memberkati panglima Cina, semoga seluruh keluarga Pang.. lima Besar Cina dalam keada... an sehat-se... hat se... lalu!"
Siau Po mempersilahkan orang itu duduk.
"Kau wakili aku menulis sepucuk surat untuk Ratu Sophia kalian," katanya.
Ahli sastra itu segera mengiakan berkali-kali, prajurit Siau Po sudah menyediakan berbagai perlengkapan alat tulis yang diperlukan. Ahli sastra itu segera mengambil sebatang pit lalu mulai menulis huruf huruf Lo Sat yang mirip Cengcorang berjalan. Tapi alat tulis yang digunakan Bangsa Cina berlainan dengan yang digunakan Bangsa Lo Sat- Pit yang ujungnya berbulu itu sangat lunak, apabila digunakan untuk menulis, hurufnya jadi tebal tipis tidak karuan. Namun dia tidak berani berkata apa-apa, khawatir ucapannya akan membangkitkan kemarahan panglima Besar Cina itu.
"TuIis begini: "Sejak perpisahan kita tempo hari, siang dan malam aku selalu merindukan Tuan Puteri. Aku sangat berharap dapat mengambil Tuan Puteri sebagai istriku. "
Kalimat yang dibacakan Siau Po membuat ahli sastra itu bagai disambar petir, Tangannya gemetar, dan pit yang digenggamnya sampai membuat coretan panjang di atas kertas.
Chekonof segera menjelaskan kepada ahli sastra itu.
"Pembesar Bocah Tiongkok ini merupakan buah hati Tuan Puteri kita. Tuan Puteri sangat mencintainya. Beliau sering mengatakan bahwa kekasih Bangsa Cina lebih hebat seratus kali lipat dibandingkan kekasih Bangsa Lo Sat sendiri."
Orang ini ingin mengambil hati Siau Po. itulah sebabnya dia sengaja melebih- lebihkan persoalannya.
Ahli sastra itu menganggukkan kepalanya ber-kali-kali.
"BetuI, betul. Memang lebih hebat seratus kali lipat, seratus kali lipat!" ucapnya berkali-kali pula.
Meskipun demikian, biasanya dia menggunakan kata-kata kelas tinggi untuk menulis surat kepada ratunya, Baru kali ini dia disuruh menulis sepucuk surat cinta, dia tidak tahu bagaimana harus menulisnya sehingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk menulis apa yang dikatakan Siau Po saja.
Ternyata isinya tidak jauh berbeda dengan surat-surat yang dituIiskan para serdadu untuk istri mereka di kampung halaman, Hanya saja kata-kata yang diucapkan Siau Po lebih membuat bulu roma merinding, antara lain: "Kekasihku tersayang", Tadi malam aku bermimpi bermesraan lagi denganmu", "Aku menciummu seribu kali dan lain- lainnya.
Siau Po melihat orang itu menulis dengan cepat sekali, maka hatinya merasa puas sekali.
"Kalian para serdadu Bangsa Lo Sat seenaknya menduduki tanah negara kami, Sri Baginda gusar sekali karena hal ini, itulah sebab aku diutus untuk memimpin pasukan perang guna menggempur kalian, sekarang aku sudah berhasil meringkus sejumlah besar serdadu kalian, Aku akan memotong tubuh mereka sekerat demi sekerat untuk kujadikan Sia-sunik," katanya pula. Ahli sastra itu terkejut setengah mati mendengar kata-kata Siau Po. Tanpa sadar dia berseru.
"Oh,Tuhanku!"
Siau Po tidak memperdulikan orang itu, dia melanjutkan kata-katanya.
"Tapi, karena memandang muka Tuan Putri yang cantik jelita, untuk sementara aku tidak memotong mereka. Namun mereka juga tidak akan kulepaskan begitu saja, sebelum Tuan puteri berjanji kelak tidak akan ada serdadu kalian yang kembali menduduki tanah Tiongkok kami dengan seenaknya sehingga Negara Tiongkok dan Lo Sat akan menjadi sahabat untuk selamanya. Namun kalau kau tidak menurut apa yang kukatakan, aku akan memimpin sejumlah besar pasukan perang menuju Negara Lo Sat dan membunuh semua laki-Iaki yang ada di sana, Dengan demikian tidak tersisa satu pun laki-Iaki di Negara Lo Sat yang dapat menemanimu tidur di malam hari. Kalau kau ingin ada laki-Iaki yang menemanimu tidur, yang tertinggal hanya laki-Iaki Bangsa Tiongkok kami saja."
Diam-diam ahli sastra merasa tidak puas, dia berkata dalam hati,
-- Kalaupun kau membunuh semua laki-laki Bangsa Lo Sat, yang tertinggal di dunia ini juga bukan hanya laki-Iaki Bangsa Cina saja, Kata-katamu itu benar-benar tidak masuk akal, -- Dia juga merasa kata-kata yang kasar itu tidak pantas ditujukan kepada tuan puterinya, Diam-diam dia merubah kalimat itu menjadi beberapa patah kata-kata yang manis.
Dia membayangkan bahwa Siau Po juga tidak akan mengetahui apa yang ditulisnya, Namun watak orang ini sangat teliti, Dia khawatir ada jejak yang tertinggal sehingga rahasianya akan terbongkar Karena itu, beberapa kalimat yang diucapkan Siau Po tadi diubahnya dengan kata-kata yang manis, tapi ditulisnya dalam bahasa Latin, Setelah selesai, wajahnya ber-seri-seri dan bibirnya tersenyum.
Terdengar Siau Po berkata kembali.
"Sekarang aku akan mengutus Wang Pat Se Ki dan Cu Ke Juo Fu untuk membawakan surat ini kepadamu, aku juga mengantarkan beberapa macam hadiah, Kau ingin menjadi kekasihku atau musuhku, keputusannya ada di tanganmu sendiri."
Ahli sastra itu kembali mengganti kata-katanya yang terakhir dengan ungkapan yang lebih halus.
"Menteri kecil dari Cina mengingat budi besar yang telah diberikan oleh Tuan Puteri, Sebagai balas jasanya menteri kecil mengirimkan beberapa macam hadiah, seandainya ada jodoh dalam kehidupan yang akan datang, menteri kecil dengan senang hati menjadi hamba bagi Tuan Puteri, Namun dalam kehidupan ini, menteri kecil mengharap kerukunan kedua negara, Bila seluruh serdadu yang tadinya diperintahkan datang menduduki tanah Cina ditarik kembali, hamba akan semakin mengingat budi besar Tuan Puteri." Demikian tulis ahli sastra.
Ka limat yang terakhir merupakan ungkapan keegoisan hatinya sendiri. Dia membayangkan, apabila kedua negara ini tidak bisa didamaikan, maka dia beserta seluruh serdadu Bangsa Lo Sat yang telah menjadi tawanan patsi akan dihukum mati untuk melampiaskan kedongkolan hati si panglima besar ini.
Siau Po menunggu sampai orang itu menyelesaikan suratnya, kemudian baru berkata.
"Sudah, begitu saja, coba bacakan sekali lagi!" Si Ahli Sastra mengangkat surat itu tinggi-tinggi, lalu langsung membacakan sekali lagi isi surat itu. Sampai batas yang telah diubahnya, dia tetap membacakan apa yang dikatakan Siau Po. Bahasa Lo Sat Siau Po memang terbatas, apalagi dia tidak mengerti bahasa surat.
Ketika dia mendengar isinya ternyata tidak banyak berbeda dengan yang dikatakannya, maka hatinya merasa puas. Dia mana mengira ahli sastra itu berani mati mengubah beberapa bagian dari isi suratnya? Dia pun menganggukkan kepalanya dengan puas dan memuji. "Bagus sekali!"
Dia mengambil sebuah cap besar yang tertera nama serta pangkatnya untuk dicapkan di atas sampul sebuah surat. Dengan demikian, surat yang tidak mirip surat cinta, namun berisi kata-kata mesra, juga tidak mirip surat dinas namun berisi pernyataan per-damaian kedua negara ini pun selesai sudah, Dia sendiri yang memasukkan surat tersebut ke dalam ampIop.
Setelah selesai, Siau Po menyuruh ahli sastra itu ke luar untuk menikmati hidangan yang telah disajikan Kemudian dia memerintahkan seorang ahli sastra Bangsa Ceng untuk merekatkan surat itu serta menulis beberapa kata pengantar di depannya dengan menggunakan tulisan Cina.
Di sini kembali terjadi sedikit kekacauan Ahli sastra berkebangsaan Cina ini menulis nama yang ditujukan oleh surat itu, yakni Ratu Sophia, Namun dalam bahasa Cina, Fi yang ada di tengah nama sang ratu bisa berarti yang bukan-bukan, maka dia merasa bahwa kata-kata itu harus diubahnya. Surat ini ditulis demi kerukunan kedua negara, itulah sebabnya nama Sophia diganti menjadi Sopheisia (Pheisia artinya pelangi melintasi sebetulnya orang itu benar- benar kekurangan pekerjaan Apa yang ditulisnya saja tidak dimengerti oleh Siau Po kecuali dia mengenali tulisan namanya sendiri, sedangkan Bangsa Lo Sat juga belum tentu mengerti Bahasa Cina, maka kemungkinan tulisan di depan amplop itu tidak akan menjadi perhatian pihak lawan.
Itulah sebabnya, ketika melihat ahli sastra itu menambahkan tulisan panjang di bagian depan dan blok amplop, Siau Po segera menghentikannya dengan berseru.
"Sudah, sudah! Tulisanmu bagus sekali, bahkan lebih bagus dari tikus Bangsa Lo Sat tadi!" Dia segera menunjuk seorang wakilnya untuk mengambil beberapa macam benda- benda berharga, Benda-benda itu merupakan sitaan dari dalam Kota Ya Ke Lung, jadi dia tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk membelinya. Setelah itu, kembali dia memerintahkan anak buahnya untuk memanggil Walpatsky dan Chekonof, Kedua orang itu harus memilih seratus serdadu Lo Sat yang telah menyerahkan diri untuk mengawal kepulangan mereka ke Negara Lo Sat mengantarkan surat kepada Ratu Sophia.
Tentu saja kedua komandan itu gembira setengah mati. Berulang kali mereka membungkukkan tubuhnya dan mengucapkan terima kasih. Bahkan mereka juga menarik tangan Siau Po untuk dicium berkali-kali, jenggot kedua orang itu kasar-kasar sehingga punggung telapak tangan Siau Po kegelian. Pemuda itu pun tertawa terbahak- bahak sambil menahan rasa geli di tangannya.
Kota Ya Ke Lung kecil sekali sehingga tidak dapat menampung seluruh prajurit Kerajaan Ceng, karena itu, Siau Po memerintahkan dua orang komandan beserta dua ribu orang prajurit untuk menjaga di kota tersebut sedangkan dia sendiri membawa pasukan besarnya bergerak ke arah selatan, sebelumnya dia berpesan kepada Lim Heng Cu, yaitu salah seorang dari Komandan tersebut bahwa mereka dilarang menggali sumur di Kota Ya Ke Lung, juga tidak boleh menggali jalan di bawah tanah.
Sisa pasukan yang besar itu mulai bergerak ke selatan, Siau Po memerintahkan para serdadu Lo Sat yang telah menyerahkan diri untuk mengganti pakaian mereka dengan seragam prajurit Kerajaan Ceng, Dia juga menyuruh beberapa anak buahnya mengajar mereka Bahasa Cina, sepanjang jalan mereka diharuskan menghafal bermacam- macam pujian bagi Kaisar Kong Hi. Setelah para serdadu itu hafal luar kepala, dia baru memerintahkan sejumlah prajurit nya untuk menggiring mereka ke Kotaraja.
Tidak lupa dia menambahkan bahwa mereka sudah harus menyerukan pujian bagi Kaisar Kerajaan Ceng begitu masuk pintu gerbang Kotaraja dan setelah bertemu dengan rajanya sendiri Seruan mereka harus di-perkeras, Dia juga mengatakan, apabila seruan mereka semakin lantang, raja akan semakin suka sehingga ada kemungkinan jiwa mereka akan diampuni.
Kurang lebih dua puluh hari kemudian, datang firman kaisar Kong Hi menyatakan salut atas kemenangan mereka. Siau Po dinaikkan lagi pangkatnya menjadi Pangeran Gunung Puncak Menjangan tingkat dua, sedangkan setiap orang yang berjasa dalam peperangan ini juga dinaikkan pangkatnya masing-masing satu tingkat.
Selesai membacakan firman, utusan kaisar menyerahkan sebuah kotak kayu berukiran kepada Siau Po. Anak muda itu menyambutnya sambil mengucapkan terima kasih, Dia tahu isinya pasti merupakan hadiah pribadi dari Kaisar Kong Hi untuknya.
Ketika dia membuka tutup kotak kayu itu, untuk sesaat dia sempat terpana, isinya ternyata sebuah mangkok emas. Di dalam mangkok terukir tulisan "Pangeran yang paling banyak jasa bagi negara", Dia tahu mangkok itu merupakan pemberian Sie Long dulu, namun tulisannya sudah dihapus dan dicetak ulang serta diganti kata-katanya. Siau Po ingat mangkok emas itu pernah diletakkan dalam lemari pajangan di rumah kediamannya yang lama, mengapa tiba-tiba bisa muncul di sini? Dia merenung sejenak, namun akhirnya mengerti, Tempo hari rumah lamanya sudah diledakkan atas perintah Kaisar Kong Hi. pasti setelah keadaan aman, para prajurit mengadakan pemeriksaan dan barang-barangnya yang masih bisa diselamatkan tentu mereka serahkan ke sang Raja.
Akhirnya Kaisar Kong Hi menyuruh orang melebur mangkok emas itu dan mencetaknya dengan kalimat yang baru.
Kali ini Kong Hi mcnghadiahkannya kembali kepada Siau Po. Maknanya pasti menyatakan bahwa mangkok nasinya sudah pernah hancur satu kali, sekarang dia harus menjaganya baik-baik agar tidak rusak untuk kedua kalinya.
Siau Po berpikir dalam hati, - Si Raja cilik cukup solider terhadapku Antara kami harus saling take and give. Dia telah mengampuni berbagai kesalahanku dan akupun tidak boleh merusak nadi naganya --
Malam harinya dia mengadakan perjamuan khusus bagi utusan kaisar Selesai bersantap dia juga menggelar permainan judi.
Kurang lebih dua bulan kemudian, kembali datang firman dari Kaisar Kong Hi. Namun isinya kali ini ada kerlingan besar dalam pujian bagi dirinya, Kaisar Kong Hi malah mengatakan bahwa Siau Po mengacau saja. isi firmannya antara lain mengatakan: - Sebagai laki-laki harus bijaksana, yang terpenting mendahulukan perasaan sesama manusia, Dalam pandangan Thian Yang Kuasa, manusia di dunia ini tidak ada perbedaannya. Meskipun Bangsa Lo Sat kasar serta kurang terpelajar, namun kita harus menghargai pernyataan takluk mereka, Serdadu yang sudah kalah perang tidak boleh dihina lagi, apalagi mengajarkan mereka menghapal berbagai pujian yang hanya menjatuhkan derajat mereka sendiri.
Bagaimana perasaan mereka ketika mengetahui apa arti seruan yang mereka elu- elukan tiap hari itu? Dalam pandangan Kaisar Kong Hi sendiri, apa yang dilakukan Siau Po itu masih bisa dimaafkan, namun dosanya besar sekali dalam pandangan Yang Kuasa, --
Ternyata kali ini ilmu menepuk pantat kuda salah alamat, Yang ditepuknya bukan pantat kuda tapi kaki kuda sehingga diri sendiri yang tersepak, Untungnya muka Siau Po cukup tebal, di hadapan utusan kaisar itu dia menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya, walaupun dalam hati merasa masa bodoh. Diam-diam dia malah berpikir.
-- Pasti bahasa Cina Bangsa Lo Sat itu kacau balau sehingga Sri Baginda salah tanggapannya, padahal siapa sih di dunia ini yang tidak senang mendapat pujian? -
Akhirnya dia memanggil beberapa anak buahnya yang tempo hari diperintah mengajarkan Bahasa Cina kepada para serdadu Bangsa Lo Sat itu, Dia memaki mereka habis-habisan, Setelah puas dia malah mengajak mereka berjudi, Tentu saja cercaan Kaisar Kong Hi dalam firmannya tidak dipikirkan lagi.
Dengan cepat waktu berlalu, musim dingin telah berganti dengan musim semi. Meskipun kehidupan Siau Po di tempat itu cukup menyenangkan, namun tidak jarang dia merasa rindu terhadap A Ko, Su Cuan dan istri-istrinya yang lain.
Tentunya dia juga merasa kehilangan kedua putra dan seorang putrinya, Cepat- cepat dia menyuruh anak buahnya untuk menyiapkan berbagai hadiah untuk dikirim ke Kotaraja. Keenam istrinya masing-masing mendapat kiriman pakaian serta barang- barang keperluan lainnya.
Namun mereka tahu Siau Po buta huruf, jadi percuma saja bila mereka menulis surat untuknya, Akhirnya mereka hanya menyampaikan kata-kata lisan lewat prajurit yang menjadi utusan Siau Po.
Dikatakan bahwa seluruh keluarga baik yang besar maupun yang kecil dalam keadaan baik-baik saja, semoga Thayswe dapat secepatnya kembali ke samping mereka.
Hari ini kembali datang firman dari Kaisar Kong Hi. Selain itu ada sejumlah tentara pilihan serta beberapa pembesar yang mengiringi kedatangan utusan kaisar tersebut Mereka diharuskan menemani Siau Po yang akan mengadakan perundingan dengan pihak Negara Lo Sat sehubungan dengan datangnya balasan surat dari kedua pangeran dari negara itu.
Tentu saja surat itu juga ditulis oleh sekretaris negara karena kedua pangeran Lo Sat masih muda belia dan belum berpengalaman dalam masalah politik.
Utusan kaisar membacakan surat balasan dari negara Lo Sat, namun karena kata- katanya yang dalam, dia harus menjelaskan artinya begitu selesai membacakan surat tersebut, Utusan kaisar tertawa.
"Rupanya Ratu dari Negara Lo Sat tidak pernah melupakan kisah asmaranya dengan Wi Thayswe. Hadiah yang dikirimkannya juga banyak sekali, Sri Baginda memerintahkan hamba membawa semuanya ke mari agar dapat diterima langsung oleh Wi Thay-swe," katanya kemudian.
Siau Po mengangkat tangannya ke atas lalu menjura kepada utusan kaisar itu. "Terima kasih, terima kasih!" sahutnya. "Bangsa Lo Sat benar-benar tidak tahu etiket
pergaulan seharusnya mereka merendahkan diri dengan mengatakan "Sedikit hadiah
dari Ratu kami", masa membanggakan hadiahnya yang besar. Hadiah yang ditujukan untuk Sri Baginda baru harus yang berat, tapi kalau mengirimkan hadiah besar untukku, bukankah akan menjadi bahan tertawaan orang saja?" "Memang betul, Wi Thayswe menyuruh para prajurit menggiring serdadu Lo Sat yang telah menyerahkan diri ke Kotaraja, Sri Baginda sendiri yang mengadakan pemeriksaan Ternyata dalam barisan para serdadu itu ditemukan seorang pejabat tinggi pemerintahan Negara Lo Sat," kata utusan kaisar itu pula.
Siau Po menunjukkan roman terkejut "Masa ada kejadian seperti itu?" tanyanya kurang percaya.
"Orang ini benar-benar licik. Dia sengaja berbaur dengan para serdadu dan tidak pernah memperlihatkan gerak-gerik apapun. Tempo hari Sri Baginda mengadakan pemeriksaan terhadap para tawanan. Karena susah mengadakan komunikasi, Sri Baginda mendatangkan seorang penterjemah berkebangsaan HolIand, Sri Baginda menggunakan Bahasa Latin untuk berbicara dengan Penterjemah itu. Di antara orang banyak ada seorang serdadu Bangsa Lo Sat, tiba-tiba wajahnya menunjukkan mimik yang mencurigakan Sri Baginda bertanya apakah dia mengerti Bahasa Latin, tapi orang itu terus menggelengkan kepalanya, Kemudian Sri Baginda berkata dalam Bahasa Latin, "Bawa orang ini ke luar dan penggal kepalanya!",
Orang itu terkejut setengah mati lalu dia segera menjatuhkan diri berlutut serta mengaku bahwa dia memang mengerti Bahasa Latin," kata utusan kaisar itu pula.
"Apa sih Bahasa Latin itu? Mengapa Sri Baginda bisa mengerti Bahasa Latin yang digunakan sebagian Bangsa Lo Sat?" tanya Siau Po.
"Sri Baginda sangat cerdas, Bahasa Latin sangat populer di kalangan Barat, tentu saja Sri Baginda mengerti cara menggunakannya," sahut sang utusan.
"Tapi mengapa Sri Baginda tidak mengerti Bahasa Lo Sat malah mengerti Bahasa Latin yang mereka gunakan?" tanya Siau Po yang masih penasaran.
Utusan kaisar itu kebingungan memberikan jawaban.
"Apa sebenarnya rahasia di balik semua ini tentu saja hamba tidak mengerti, Lain kali kalau Thayswe bertemu sendiri dengan Sri Baginda, harap jangan lupa menanyakan hal ini," ujarnya sambil tertawa.
Siau Po menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Kemudian apa yang terjadi dengan orang Lo Sat itu?"
"Sri Baginda menginterogasinya dengan teliti. Perlahan-Iahan rahasianya terkorek juga. Rupanya orang ini bernama Yalcinsky. Dia Gubernur daerah Ya Ke Lung dan Ni Pu Ju," sahut Sang utusan.
Orang-orang yang mendengar keterangan itu langsung mendesah terkejut. "Pangkat orang ini benar-benar tidak rendah," kata Siau Po. "lya kan? Boleh dibilang di antara para utusan Negara Lo Sat yang didatangkan ke Negara Timur kita, orang inilah yang pangkatnya paling tinggi. Mungkin ketika terjadi kekacauan dalam kota Ya Ke Lung, orang ini segera mengganti pakaiannya dengan seragam para serdadu sehingga untuk sekian lama kedoknya tidak terbuka," sahut utusan Kaisar itu.
Siau Po menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
"Bukan begitu, Ketika terjadi kekacauan di Kota Ya Ke Lung tempo hari, hampir seluruh Bangsa Lo Sat membuka pakaian mereka sehingga telanjang bulat Saking tidak tahan melawan dingin barulah mereka menyerahkan diri. Dalam keadaan demikian, tampang mereka semua hampir sama, Mana bisa membedakan mana komandan, mana serdadu atau pembesarnya?
Memang tidak salah pepatah yang mengatakan "Pangkat seseorang hanya bisa dikenali dari penampilan luarnya saja", Jadi saudaraku, ini bukan semata-mata kesalahanku bukan?"
Para hadirin tertawa terbahak-bahak, mereka berebut menceritakan situasi kemenangan yang diperoleh mereka tempo hari.
Utusan Kaisar itu tertawa geli mendengar keterangan tersebut.
"Begitu rupanya! ini juga tidak dapat disalahkan, Sri Baginda berkata bahwa Siau Po berhasil meringkus Gubernur Ya Ke Lung dan Ni Pu Ju, jasanya ini besar sekali, sayangnya dia agak ceroboh sehingga mengira orang itu hanya seorang serdadu biasa, Jadi dalam hal ini hitungannya seri. Dia tidak mendapat hukuman tapi juga tidak mendapat hadiah apa-apa." Siau Po segera berdiri dan berkata dengan nada menghormat.
"Budi Sri Baginda tidak terkirakan, hamba merasa terharu sekali!"
"Selama enam hari berturut-turut Sri Baginda menginterogasi Yalcinsky, Berbagai urusan baik yang berhubungan dengan Negara Lo Sat maupun para serdadu nya serta kekuatan mereka ditanyakan satu persatu oleh Sri Baginda, Bahkan akhirnya Sri Baginda berhasil mendapatkan sebuah informasi penting, Seperti yang Wi Thayswe katakan, ketika menyatakan takluk, orang ini tidak mengenakan sehelai benang pun, namun toh dia berhasil menyembunyikan sejumlah dokumen penting," kata si utusan pula.
Siau Po langsung memaki.
"Neneknya! Si Yal entah bau bacin kartu ceki apa ini benar-benar banyak akal busuknya, lain kali kalau bertemu denganku lagi, aku akan menunjukkan sedikit kelihaian di hadapannya! Tapi, di mana dia menyembunyikan dokumen penting itu? Masa dia menyembunyikannya di dalam lubang pan..." "Ketika para serdadu Lo Sat yang sudah menyatakan takluk harus digiring ke hadapan Sri Baginda, mereka tentunya sudah diperiksa dengan teliti. Bahkan rambut, tubuh sampai ketiak pun harus dipentang lebar-lebar. Baju mereka juga dilepaskan semua. Wi Thayswe kan tahu hati Bangsa Lo Sat itu busuk sekali, bagaimana kalau mereka menyembunyikan senjata tajam secara diam-diam? Yalcinsky ini juga diperiksa secara teliti, pada tubuhnya tidak ditemukan apa-apa, tapi Sri Baginda melihat ada tonjolan pada ketiaknya, Lagipula mata orang itu berkali-kali melirik ke bagian yang satu ini. Maka Sri Baginda bertanya kepadanya, benda apakah yang dikepit dalam ketiaknya itu?
Yalcinsky menyahut bahwa ketiaknya terluka sehingga dibalut dengan kain kasa, Tapi Sri Baginda tidak percaya begitu saja, Beliau segera menyuruh orang untuk membuka perban itu. Wajah Yalcinsky pucat seketika, Wi Thayswe, coba kau tebak apa yang dikempit dalam ketiaknya?"
"Pasti dokumen berharga yang tadi kau katakan bukan?" Si utusan menepuk tangannya sambil tersenyum.
"Memang benar, Tidak heran kalau Sri Baginda sering memuji kecerdasan Wi Thayswe, ternyata sekali tebak langsung jitu, Yang disembunyikan oleh Yalcinsky itu bukan hanya sebuah dokumen penting, tapi juga merupakan firman rahasia dari kedua pangeran Negara Lo Sat," sahutnya.
Sang utusan mengeluarkan sebuah surat dari dalam saku pakaiannya kemudian membacakan isinya. Rupanya surat itu merupakan warisan dari Raja tua Lo Sat untuk kedua pangerannya, dan ketika Yalcinsky mendapat perintah untuk menjabat sebagai gubernur di daerah Ya Ke Lung dan Ni Pu Ju, surat warisan itu terus dibawanya untuk mengingatkan pesan almarhum rajanya.
Isinya antara Iain menyatakan bahwa Negara Cina adalah negara yang sangat besar, namun sejak jaman dahulu tidak ada seorang pun dari kaisarnya yang berotak cerdas, Negara besar ini mengalami berbagai kemelut. Berebutan tahta kerajaan seakan sudah menjadi tradisi bagi bangsa ini. Oleh karena itu Bangsa Lo Sat harus pandai menggunakan kelemahan mereka untuk menguasai sedikit demi sedikit wilayah Cina.
Yang paling penting adalah mengadu domba bangsa mereka sehingga terjadi perpecahan di mana-mana. Kalau perlu mengajak bangsa lain untuk bekerja sama merebut Negara Cina. Apabila sudah berhasil, barulah enyahkan satu per satu bangsa yang memberikan bantuan sebelumnya.
Setiap kali utusan itu membacakan isi dokumen rahasia, setiap kali pula Siau Po memaki: "Kentut!" Ketika utusan itu selesai membaca, entah sudah berapa kali ucapan itu ke luar dari mulutnya.
Si utusan berkata pula. "Sri Baginda menyatakan bahwa watak Bangsa Lo Sat sangat membanggakan diri mereka sendiri Surat ini dibuat oleh almarhum Raja tua. Yakni ayah dari kedua pangeran sekarang, Raja itu belum tahu kelihaian bangsa kita.