Kaki Tiga Menjangan Jilid 90

Jilid 90

"Begitu bertemu dengan pasukan Lo Sat, hamba akan menyampaikan Firman Sri Baginda dan meminta mereka menyampaikannya kepada Ratu Sophia," sahut Siau Po.

"Aku sudah mengundang beberapa orang Profesor Barat datang ke sini dan meminta mereka menjelaskan sejarah Negara Barat serta letak tanah dan Hong Sui, juga keadaan politik di sana..."

"Bagus, bagus sekali. Mengetahui kondisi musuh seperti mengetahui keadaan diri sendiri Dengan demikian kita pasti mendapatkan kemenangan," tukas Siau Po.

Kaisar Kong Hi tersenyum.

"Para profesor mengatakan bahwa bangsa Lo Sat benci kelemahan tapi takut terhadap yang keras, Semakin kita bersikap lunak, semakin tinggi kepala kita diinjaknya. Semakin lama sikap mereka semakin berani. 

Mereka harus kita beri sedikit pelajaran bahwa bangsa kita bukan bangsa yang bisa dipermainkan Karena itu, di satu pihak kita mengerahkan pasukan besar Kalau mereka ingin berperang, layani saja. 

Di sisi lain kita juga menunjukkan adat ketimuran kita bahwa kita bukan bangsa yang tidak beradab, kita tidak akan memaksakan kehendak dengan semena-mena," katanya.

"Hamba mengerti sepenuhnya, Seakan main layang-layang, kita harus tahu kapan menarik benangnya dan kapan harus menguIurnya. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Cu Kek Liang, kita akan membuat musuh takluk sedalam-dalamnya sehingga kelak mereka tidak berani bertindak sewenang-wenang lagi," sahut Siau Po.

Kaisar Kong Hi tertawa terkekeh-kekeh. "Betul, begitulah maksudku."

Siau Po melihat senyumnya yang aneh seakan menyimpan suatu rahasia, Diam- diam dia memutar otaknya, kemudian suatu ingatan melintas dalam benaknya. "Seperti Sri Baginda menekan hamba dengan cara halus sehingga hamba merasa berterima kasih sekaligus takut. Dengan demikian mulai sekarang hamba juga tidak akan berbuat macam-macam lagi. Siau Kui Cu sendiri seperti Sun Go Kong, untuk selamanya tidak dapat melepaskan diri dari Ban Sui Ya, si Ju Lay Hud!" ujarnya sambil tertawa.

Kong Hi tertawa.

"Usiamu sudah bertambah beberapa tahun, Semakin lama kau jadi semakin rendah hati, Kalau kau benar-benar ingin melepaskan diri dari telapak tanganku kau kira aku sanggup mencengkerammu terus?"

"Hamba merasa aman dan damai dalam genggaman tangan Sri Baginda, mengapa hamba harus melarikan diri?" sahut Siau Po yang cerdas.

"Keberhasilan kami membereskan Go Sam Kui, jasamu terhitung besar juga, Meskipun kau tidak sempat menikmati akhir ceritanya, namun sekarang aku akan menugaskan kau memimpin sejumlah besar pasukan untuk menggempur Negara Lo Sat Kota Ya Lung Ke dekat dengan puncak Gunung Lu Ting San (Gunung Menjangan), maka aku menganugerahkan gelar Pangeran Gunung Menjangan Tingkat Tiga sekaligus sebagai panglima perang. 

Dalam mengatasi masalah perang, biar Peng Cun si Komandan Pasukan, Panglima dari Hek Liong Ciang Lu Pu Sut, dan Panglima dari Ling Ku Ta yakni Pa Hai Ciangkun yang akan membantumu Mengenai surat menyurat, So Ngo Ta lah yang akan melayanimu Pertama-tama kita kerahkan pasukan berkuda sebanyak lima laksa orang dan pasukan Angkatan Laut berjumlah lima ribu. 

Apabila masih belum cukup, berapa banyak yang kau inginkan masih tersedia, perbekalan yang kami siapkan cukup untuk keperluan para prajurit selama tiga tahun penuh. Untuk menyerang musuh, kami sudah mempersiapkan meriam tiga ratus lima puluh buah, sedangkan sebagai pertahanan kami menyediakan lima puluh buah meriam. Cukup?" tanya Kaisar Kong Hi.

Setiap kali Kaisar Kong Hi mengucapkan sepatah kata, Siau Po langsung mengucapkan terima kasih. Ketika Kong Hi menyelesaikan ucapannya, dia segera menjatuhkan diri berlutut lalu menyembah beberapa kali.

"Jumlah pasukan berkuda serta prajurit Negara Lo Sat yang berada di Ya Lung Ke dan Ni Pu Ju tidak lebih dari enam ribu orang, Kita mengerahkan pasukan sebanyak delapan kali lipat dari mereka, rasanya sudah lebih dari cukup. Asal kau tidak ceroboh menjatuhkan wibawa kami Bangsa Tionghoa," kata Kaisar Kong Hi pula.

"Dalam peperangan ini hamba toh mewakili Sri Baginda, Kalau ada sedikit celah saja yang terlihay tentu kita akan dipandang rendah oleh Bangsa Lo Sat. Harap Sri Baginda tidak mengkhawatirkan hal ini." "Bagus, Apakah masih ada hal lain yang kau perlukan?" tanya Kaisar Kong Hi.

"Dari Taiwan hamba membawa lima ratusan prajurit Mereka sudah pernah berperang melawan Setan-Setan Berambut Merah, karena itu pandai menggunakan senjata api. Hamba bermaksud membawa mereka dalam menghadapi Negara Lo Sat kali ini," kata Siau Po.

Kong Hi senang sekali mendengarnya.

"Bagus sekali Para prajurit The Seng Kong pernah mengalahkan Setan-Setan Berambut Merah dari HoIland, Kau bisa membawa mereka para prajurit itu, berarti kepercayaan kita terhadap kekuatan sendiri bertambah lagi tiga bagian, Tadinya aku khawatir persenjataan Bangsa Lo Sat terlalu hebat sehingga banyak prajurit kita yang akan menjadi korban."

"Sebagian prajurit harus menggunakan perisai dari baja, perisai sejenis ini bisa digunakan untuk menahan peluru, Setelah itu mereka menggulingkan diri ke depan dan menebas kaki musuh dengan golok besar Cara ini mungkin dapat dipraktekkan nanti," kata Siau Po memberikan pendapatnya.

"Bagus sekali!" seru Kaisar Kong Hi gembira.

"Hamba mempunyai seorang selir yang dulu pernah mengikuti hamba ke Moskow, Dia mahir sekali Bahasa Lo Sat. Hamba bermaksud mengajukan permohonan kepada Sri Baginda agar mengijinkan dia menyertai kami sebagai prajurit dalam peperangan ini," kata Siau Po pula.

Dalam undang-undang Dinasti Ceng, setiap panglima yang berangkat perang tidak boleh ada yang membawa keluarganya, Hal ini dianggap sebagai dosa besar itulah sebabnya Siau Po mengajukan permohonan terlebih dahulu.

Kaisar Kong Hi menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Aku mengerti. Baik-baiklah kau menunaikan tugasmu!"

Sekali lagi Siau Po berlutut menyembah serta memohon diri, Ketika sampai di depan pintu, terdengar Kaisar Kong Hi bertanya.

"Aku dengar bahwa gurumu, Tan Eng Hoa dibunuh oleh The Kek Song, benarkah?" Siau Po tertegun.

"Betul," sahutnya kemudian.

"The Kek Song sudah menyatakan takluk terhadap pemerintahan Ceng, Aku sudah berjanji untuk tidak menyulitkan keturunan The Seng Kong, harap kau juga berbuat sama," kata Kong Hi pula. Siau Po terpaksa memberikan janjinya.

Ketika berangkat menuju Kotaraja ini, diam-diam Siau Po sudah bertekad untuk menemui The Kek Song agar dapat melampiaskan kedongkolan hatinya.

Siapa sangka, apa pun yang dipikirkannya selalu dapat ditebak oleh si Raja Cilik sehingga belum sempat kesampaian niatnya, dia sudah harus berjanji Apabila dia tetap mengganggu The Kek Song, maka berarti sekali lagi dia menentang Firman Kaisar.

Dalam hati Siau Po berpikir.

-- Masa dendam terhadap si budak busuk yang membunuh guruku harus dilupakan begitu saja? --Dia berjalan dengan kepala tertunduk, tiba-tiba ada seseorang yang berkata.

"Saudara Wi, selamat!"

Siau Po merasa suara itu tidak asing bagi telinganya. Dia segera mendongakkan kepalanya, tampak seorang laki-laki bertubuh besar serta bahunya lebar, Orang itu sedang menatapnya dengan tersenyum simpul. 

Ternyata dialah si Komandan para siwi yang dulu akrab sekali dengannya, yakni To Lung, Rasa terkejutnya jangan dikatakan lagi, Hari itu terang-terangan dia telah menikam orang ini di dalam rumahnya sendiri. Apakah yang datang ini arwah nya yang merasa penasaran?

Untuk sesaat tubuhnya sampai gemetaran Rasa-nya ingin sekali membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri, juga terlintas keinginan untuk berlutut memohon pengampunan dari orang itu. 

Namun sepasang kakinya bagai terpantek di atas tanah, dia sama sekali tidak sanggup menggerakkannya, Bagian bawah tubuhnya seperti lumpuh, hampir saja dia terkencing-kencing di celana.

To Lung menghampiri Siau Po dan menarik tangannya.

"Saudaraku yang baik, berapa tahun kita tidak bertemu, Kakakmu ini sudah rindu sekali, Rasanya selama ini kau pasti senang sekali, Dengar-dengar kau disuruh memancing ikan di atas pulau Tong Sip to oleh Sri Baginda, Beberapa kali beliau menaikkan pangkatmu, aku jadi gembira mengetahuinya," katanya sambil tertawa.

Siau Po dapat merasakan tangannya yang hangat Matahari menyinari koridor panjang itu. Di sisi To Lung terlihat bayangannya, kalau begitu dia tentu bukan setan gentayangan Rasa takutnya sirna seketika, lalu terdengar dia menjawab dengan suara seperti gumaman. "Ya, ya." Dia masih khawatir To Lung menaruh dendam terhadapnya, Jangan-jangan dia ingin mengadakan perhitungan atas hutang lama, Namun dia yakin pisau belatinya yang tajam jelas menancap di punggung orang ini, mengapa dia tidak mati? pikirannya sedang kusut, bagaimana dia bisa berpikir dengan jernih?

Terdengar To Lung berkata pula.

"Tempo hari, ketika berada di rumahmu, kakakmu ini telah dibokong oleh seseorang, namun untung Saudara Wi berhasil mengenyahkan musuh itu. Dengan demikian selembar jiwa ini bisa dipertahankan. Selama ini aku belum mendapat kesempatan untuk menyatakan terima kasihku kepadamu, namun dalam hati aku selalu mengingatnya. sedangkan kau masih menitipkan hadiah lewat Sie Long, aku benar- benar malu jadinya."

Siau Po memperhatikan mimik wajah orang itu, tampaknya dia tidak berbohong, Dalam hati dia berpikir lagi.

-- Dia seorang komandan para siwi, berarti bawahan yang selalu dekat dengan Sri Baginda, Ketika Sie Long membagi-bagikan hadiah, dia pasti kebagian juga, Mungkin dia menanyakan diriku kepada Sie long dan orang itu sengaja mengatakan bahwa hadiah-hadiah itu merupakan titipanku, Dia takut aku memburuk-burukkan namanya di depan si Raja Cilik, lagipula, dengan menunjukkan keakrabannya denganku, dia tidak perlu khawatir orang-orang di istana ini memberikan kesulitan bagi dirinya. 

Tapi, mengapa To lung mengatakan bahwa aku telah mengusir orang yang membokongnya, hal ini benar-benar membuat kepala pusing! 

To Lung melihat wajah Siau Po pucat pasi, orangnya juga seperti orang linglung, Dia menduga bahwa Siau Po baru saja mendapat teguran dari Kaisar Kong Hi, maka dia menghiburnya dengan berkata,

"Akhir-akhir ini watak Sri Baginda memang kurang baik, ini disebabkan kekesalannya terhadap negara Lo Sat yang terlalu merendahkan derajat kita, Saudara Wi tidak perlu khawatir Nanti setelah selesai bertugas, kita pergi mencari makan yang enak agar meringankan beban hati."

"Budi Sri Baginda besar sekali, barusan beliau menaikkan pangkatku lagi, justru aku merasa berterima kasih sekali, entah dengan cara apa aku baru bisa membalas budi beliau," sahut Siau Po.

To Lung tertawa.

"Selamat! Selamat! Saudara Wi memang pandai, melakukan tugas apa pun selalu sempurna, selalu mengurangi permasalahan Hong Siang kita. Maka sudah sepantasnya kalau setiap kali mendapat anugerah kenaikan pangkat dari beliau." Siau Po merasakan sikap To Lung terhadapnya sangat akrab, pandangannya juga menyiratkan kekaguman LagipuIa orang ini selalu bersikap terbuka dan terang-terangan dalam menghadapi apa pun. Tidak mungkin dia bisa bersandiwara sebaik ini. Rasa takut dan khawatirnya pun sirna seketika, Dia baru bisa tertawa lepas.

"To toako, harap kau tunggu sebentar saudaramu ini dari tadi kebelet kencing, Tadi Sri Baginda menyatakan ingin bertemu, dan pesan yang disampaikannya banyak sekali, Dari tadi aku menahan diri, sekarang benar-benar tidak sanggup menahannya lagi," katanya,

To Lung tertawa terbahak-bahak. Dia tahu, apabila raja ingin bertemu dengan menteri-menteri atau bawahannya, maka sebelum pertemuan itu selesai, hamba- hambanya tidak boleh memohon diri dengan alasan apa pun. Kalau hamba-hambanya kebelet ingin buang air kecil, maka situasinya bisa jadi sulit sekali, Tapi dasar Sri Baginda memang sayang sekali kepada Siau Po. 

Terhadap bawahan yang lain, sang raja juga tidak pernah berbincang-bincang begitu lama. Kalau terhadap hambanya yang lain, biasanya Kong Hi hanya menyampaikan pesannya satu dua patah kata lalu menyuruh mereka mengundurkan diri, Dengan demikian mereka juga tidak sampai kebelet buang air kecil.

Selama ini hubungan To lung dengan Siau Po memang dekat sekali Hari ini keduanya dapat berjumpa kembali, tentu saja hati mereka merasa senang, Oleh karena itu To Lung segera menarik tangan Siau Po dan mengantarkannya ke rumah pondok, Di luar pintu dia menunggu Siau Po menyelesaikan hajatnya.

Tempo hari Siau Po terpaksa membokong To Lung karena dia terdesak untuk menolong guru serta saudara-saudaranya dari perkumpulan Thian Te hwee, sekarang dia teringat lagi bahwa selamanya sikap To Lung terhadapnya sangat baik, maka dalam hati dia merasa menyesal juga. 

Tak disangka To Lung ternyata tidak mati, malah tidak sedikit pun tampak sikap menyalahkan Siau Po atas kejadian yang latu, Oleh karena itu dia cepat-cepat menumpahkan air seninya yang sudah penuh, Begitu keluar dari rumah pondok (Sekarang kita sebut toilet) itu, dia pura-pura menanyakan kejadian tempo hari.

"Ketika aku tersadar tempo hari, ternyata aku sudah pingsan selama tiga hari empat malam. Menurut Tabib Kwan, untung letak jantungku agak berbeda dengan orang biasa, yakni lebih ke kanan sedikit, sehingga yang tertikam justru limpa, kalau tidak, aku pasti sudah mati. 

Dia juga mengatakan bahwa orang yang kedudukan jantungnya seperti jantungku ini, dalam sepuluh laksa manusia di dunia ini, mungkin hanya ada satu saja yang sama," kata To Lung menjelaskan

Dalam hati Siau Po berkata, - Memalukan, rupanya begitu maka dia tidak mati! - sedangkan di luarnya dia tersenyum dan berkata, "Selama ini aku tahu bahwa To toako adalah manusia yang baik serta jujur, tidak tahunya hatinya malah miring, Kalau miring artinya kan tidak adil, Tidak adil terhadap siapa? istri muda atau anak-anak?"

To Lung tertegun sejenak, kemudian dia sadar bahwa Siau Po sedang bergurau dengannya, maka dia pun tertawa.

"Kalau adik Wi tidak mengungkitnya, aku sendiri juga tidak punya ingatan, Memang selama ini aku sayang sekali terhadap selirku yang ke delapan, ini pasti disebabkan kedudukan hatiku yang miring sedikit," sahutnya geli.

Kedua orang itu pun tertawa terbahak-bahak, lalu Siau Po berkata pula. "Penyerang gelap itu mempunyai ilmu yang tinggi sekali Mula-mula aku juga tidak 

sadar bahwa dia ingin membokong Toako."

"Memang betuI," sahut To Lung yang kemudian merendahkan suaranya serta melanjutkan "Kebetulan waktu itu Kian Leng kongcu datang menemui adik Wi. Urusan ini siapa pun tidak ada yang berani menanyakannya, Hampir tiga bulan aku merawat diri akhirnya baru sembuh total, Sri Baginda menyampaikan Firman yang isinya mengatakan bahwa adik Wi telah menyelamatkan jiwaku ini dengan gagah berani, dengan tangan sendiri adik Wi berhasil membunuh penyerang gelap itu. Apa yang terjadi kemudian tidak perlu diceritakan dengan terperinci lagi, pokoknya kakakmu ini telah berhutang nyawa kepada mu."

Muka Siau Po sebenarnya cukup tebal Dari jaman perkenalannya dengan Kaisar Kong Hi saja sudah sulit menemukan tandingannya Tapi mendengar kata-kata To Lung barusan, wajahnya agak merah juga. 

Dia baru sadar bahwa sekali lagi Kaisar Kong Hi telah menyelamatkan mukanya. Pertama, Kong Hi yang mengatakannya sendiri, dengan demikian sudah barang tentu To Lung percaya se-penuhnya. 

Kedua, urusan ini ada sangkut pautnya dengan Kian Leng kongcu, Orang-orang di istana sadar, masalah yang menyangkut keluarga sang raja ini sebaiknya jangan banyak dibicarakan Meskipun dalam hati mereka merasa curiga, namun lebih aman kalau mereka pura-pura tidak tahu. Kalau bukan karena Kaisar Kong Hi sendiri, ingin mengarang sebuah cerita untuk menutupi kejadian ini juga bukan hal yang mudah.

Diam-diam Siau Po merasa malu, dia berjanji untuk melakukan yang terbaik untuk membalas jasa orang yang jujur dan tulus terhadapnya ini. Maka dia berkata.

"To toako, dari Taiwan adikmu ini membawa beberapa macam tanda mata, nanti aku akan menyuruh orang mengantarnya ke rumah To toako."

To Lung mengibaskan tangannya berkali-kali. "Jangan, jangan, Kita kan orang sendiri, buat apa bersikap demikian sungkan? Tempo hari hadiah yang dibawakan Sie Long saja sudah terlalu banyak."

"Tiba-tiba suatu ingatan melintas dalam benak Siau Po.

-- Urusan ini toh lebih banyak untungnya daripada ruginya, seandainya Sri Baginda mengetahui-nya, aku juga tidak akan dikatakan menentang Fir-man Kaisar, -- pikirnya.

"To toako, setelah menyatakan takluk terhadap Kerajaan Ceng, bagaimana keadaan si bocah The Kek Song?" tanyanya kemudian.

"Sikap Hong Siang terhadapnya masih lumayan juga, dia dianugerahi pangkat pangeran Tingkat Satu, Bocah ini tidak becus apa-apa, tapi berkat rejeki leluhurnya maka dia bisa memperoleh pangkat yang lebih tinggi dari adik Wi sendiri," sahut To Lung.

"Tempo hari kita mempermainkannya dengan mendesaknya berhutang pada para siwi sebanyak selaksa tail, akhirnya adikmu ini yang membayarnya Apakah To toako masih ingat peristiwa itu?" tanya Siau Po pula.

To Lung tertawa terbahak-bahak.

Tentu saja ingat. Bagaimana dengan nona yang adik Wi sukai itu? Kalau dia masih ikut dengan The Kek Song, biar sekarang kita rebut dia kembali."

Siau Po tersenyum.

"Nona itu sudah cukup lama menjadi istriku, bahkan sudah melahirkan seorang putra dariku," katanya.

To Lung tertawa lebar.

"Selamat, selamat! Kalau tidak, kita akan mendatangi si bocah The Kek Song itu, tidak perduli pangkatnya Pangeran Tingkat Satu kek, tingkat dua kek, yang penting kedudukannya toh pangkat kosong. Aku jamin kentut pun dia tidak berani. Pangeran yang telah takluk ini setiap hari pasti merasa cemas, sikapnya seperti kerbau dicucuk hidungnya, takut kalau ada sedikit kesalahan saja Sri Baginda akan meringkusnya untuk dihukum mati karena dianggap akan memberontak lagi."

"Kita juga tidak perlu menghinanya, Tapi membunuh harus membayar dengan jiwanya, hutang uang bayar uang, ini toh sudah merupakan undang-undang yang tidak tertuIis. jangankan dia cuma Pangeran-pangeranan, biarpun dia pangeran beneran, dia juga tidak boleh melupakan hutangnya begitu saja," kata Siau Po.

"Benar, benar," sahut To Lung, "Tempo hari dia berhutang kepada Adik Wi sebanyak selaksa tail, banyak siwi yang menjadi saksinya, sekarang juga kita mencarinya untuk menagih hutang." Siau Po tersenyum.

"Bocah ini memang keterlaluan Kalau cuma selaksa tail masih tidak apa-apa. Belakangan dia malah meminjam lagi sejumlah besar uang, bahkan aku masih menyimpan bon pernyataan hutangnya, Keluarga The selama tiga generasi menjadi raja di Tai-wan, mana mungkin hartanya cuma sedikit? Pasti diam-diam dia membawanya ke Kotaraja, The Seng Kong dan The Keng adalah laki-laki sejati, manusia baik-baik yang tidak mungkin atau memeras rakyat. 

Namun si bocah busuk The Kek Song ini lain lagi, mana mungkin dia bersikap sungkan-sungkan terhadap rakyat? Satu hari saja dia menjadi Ongya, kemungkinan pemasukannya seratus laksa tail, dua hari berarti dua ratus laksa tail. Coba hitung sendiri, sudah berapa lama dia menjadi Ongya di Taiwan, berapa kira-kira uang rakyat yang telah diperasnya?"

To Lung meleletkan lidahnya. "Hebat, hebat!" serunya.

"Sebentar nanti aku akan kembali membawa pernyataan hutangnya, Uang ini aku sendiri tidak menginginkannya lagi." kata Siau Po.

To Lung cepat-cepat menukas.

"Saudaramu ini akan membantumu menagih hutang, kurang sepeser pun tidak boleh. Aku akan membawa beberapa orang siwi sebagai saksi mata."

"Jumlah hutangnya terlalu besar Tempo hari si bocah busuk ini pandai sekali berfoya-foya. Dia memakai uang seperti menuangkan air saja. Kalau suruh dia bayar 

sekaligus, pasti keberatan Begini saja, Toako bawa orang menagih hutang, kalau dalam sepuluh hari dia tidak mengeluarkan uangnya, suruh dia buat satu pernyataan lagi bahwa hutangnya sekarang harus dibayarkan kepada para siwi sekalian.

Setiap siwi memegang satu lembar jumlahnya boleh seribu tail atau dua ribu tail, Siwi mana yang berhasil menagihnya maka uang itu pun menjadi miliknya," kata Siau Po.

"Mana boleh? Para siwi di sini rata-rata bekas bawahan adik Wi. Kalau hanya membantu adik Wi menagih sedikit hutang saja, toh tidak usah diberikan imbalan?" sahut To Lung.

"Mereka merupakan bekas bawahanku yang baik, juga terhitung sahabat dan saudaraku yang baik, Selama beberapa tahun ini pangkatku terus dinaikkan oleh Sri Baginda, Namun karena berada di pulau yang terpencil aku tidak bisa memberikan keuntungan apa-apa bagi mereka. Rasanya aku jadi tidak enak hati, Beberapa ratus laksa tail ini biar dibagi rata kepada para saudara siwi saja," kata Siau Po memaksakan.

To Lung terkejut setengah mati. "Apa? Jum... lahnya men... capai beberapa ratus laksa tail?" tanyanya dengan suara bergetar.

Siau Po tersenyum.

"Jumlah yang sebenarnya sih tidak seberapa, tapi dengan sedikit permainan, sedikit bunga, sedikit renten di sana-sini, otomatis jumlahnya jadi banyak, Dari jumlah ini, harap To toako ambil dulu beberapa bagian."

To Lung hampir saja tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Tampak dia bergumam seorang diri.

"Beberapa ratus laksa tail? Apakah jumlahnya tidak terlalu banyak?"

"ltulah makanya dia harus membagikannya menjadi beberapa surat pernyataan. Dengan demikian To toako dan para saudara siwi tidak terlalu susah menagihnya," sahut Siau Po. Kemudian dia merendahkan suaranya. 

"Sebaiknya jangan menyebut-nyebut namaku dalam urusan ini. Kalau sampai para menteri di istana tahu, mereka tentu menganggap aku membungakan uang. Biar bagaimana itu terhitung sebuah dosa, Kalau para siwi yang menagih, mereka mengira The Kek Song memang ada hutang dengan mereka, Urusan ini tidak akan dipersoalkan panjang lebar."

To Lung mengiakan. Dalam hati dia berjanji kalau hutang ini sudah tertagih, lebih dari setengahnya harus dikembalikan kepada Siau Po. walaupun pemuda ini royal serta berjiwa besar, tapi jangan sampai tidak kembali modal sama sekali.

Siau Po merasa senang sekali, Dia berpikir bahwa To Lung pasti akan membawa rombongan para siwi serta prajurit yang rakus akan uang untuk menagih piutang. Kali ini kepala The Kek Song pasti pusing tujuh keliling dibuatnya, walaupun Sri Baginda sudah berpesan bahwa dia tidak boleh menyulitkan The Kek Song atas dendamnya terhadap kematian sang guru namun perbuatannya kali ini bisa membuat si anak muda dari Taiwan itu bangkrut seketika. 

Dia yakin The Kek Song tidak berani mengungkap masalah ini Kalau pun sampai ada yang tahu, paling-paling mereka mengira hal ini merupakan urusan pribadi para siwi yang menagih piutang terhadap The Kek Song. 

Dan kemungkinan mereka menduga si bocah Kek Song yang menyerahkan diri ke Kotaraja menjadi stress sehingga setiap hari pergi berjudi sedangkan uangnya adalah hasil pinjaman sana sini dari para siwi Bagaimanapun tidak ada kaitannya dengan diri Siau Po.

Begitu keluar dari istana, So Ngo Ta, Kong Cin Ong, Li Wei serta sejumlah pembesar lainnya sudah menanti di depan gerbang. Mereka memberikan selamat kepada Siau Po, lalu mengiringinya keluar bersama. Sesampainya di sebuah lorong, Siau Po melihat sebuah gedung mewah dan jauh lebih besar dari gedung miliknya dulu, Di depan atas pintu gerbang rumah itu tergantung sebuah papan besar, Namun tidak ada satu huruf pun yang tertera di dalamnya. Siau Po memang tidak pernah bersekolah Huruf yang dikenalinya juga cuma satu dua. Namun setidaknya dia masih bisa membedakan papan yang ada tulisannya atau tidak, Karena itu dia berdiri tertegun melihat pemandangan di depannya. ! 

Kong Cin Ong tertawa.

"Saudara Wi, budi Sri Baginda memang besar sekali terhadapmu Dulu gedung Pak Ciak hu milikmu pernah terbakar, sedangkan kau tidak ada di Kota-raja. Ketika Sri Baginda mengetahuinya, beliau segera mengutus kakakmu ini membangunnya kembali.

Bahkan dalam firman kaisar tidak disebut berapa biaya yang dibataskan untuk membangunnya, malah tercantum bahwa setiap kekurangan silahkan ambil pada bagian keuangan. Gedung ini merupakan hadiah dari Sri Baginda, maka aku yang jadi kakakmu rasanya tidak perlu berhemat bagimu, Karena itu aku pun memilih semua bahan yang terbaik untuk membangunnya, Adik Wi, coba kau !ihat, apakah rumah ini sesuai dengan seleramu?"

Siau Po cepat-cepat mengucapkan terima kasih, Begitu masuk melalui pintu gerbang utama, tampak tata ruangan di dalamnya sangat mewah dan indah. BoIeh dibilang tidak kalah dengan gedung Kong Cin Ong Hu sendiri. 

Para pembesar yang ikut mengantarnya segera menyatakan pujian dan kekaguman mereka atas keindahan gedung baru Siau Po ini.

"Gedung ini sudah selesai dibangun cukup lama, Tinggal menunggu adik Wi kembali ke Kotaraja untuk menempatinya, Tapi kakakmu ini tidak tahu pangkat apalagi yang akan dianugerahkan Sri Baginda kepada mu. itulah sebabnya papan nama di atas pintu gerbang masih dibiarkan kosong, sekarang kami baru saja mengetahuinya, nama gedung Xu Ting Kong Hu" (Sesuai dengan pangkat Siau Po) biar aku suruh Guru besar Li menuliskannya untukmu," kata Kong Cin Ong.

Li Wei merupakan juru Tulis Kerajaan yang telah memperoleh gelar Guru Besar (Sekarang kita sebut Profesor), Pendidikannya dianggap tertinggi di antara Kerani- kerani lain dari istana, Dia juga sudah lama mengenal Siau Po sehingga tidak menolak permintaan Kong Cin Ong. 

Dia segera menyuruh orang menurunkan papan nama itu dan menulis empat huruf "Lu Ting Kong Hu" di atasnya, Setelah itu dia menyuruh beberapa orang tukang yang ahli untuk menyemprotnya dengan tinta air emas. Setelah selesai baru digantung kembali Tampak huruf-huruf itu bertengger di atas pintu gerbang dengan megah.

Malam harinya "Lu Ting Kong Hu" mengadakan perjamuan besar-besaran, Sejumlah pembesar istana dan sahabat-sahabat Siau Po diundang Bahkan The Kek Song dan  Pang Ci Hoan juga menyuruh orang mengantarkan hadiah kepada Siau Po, namun mereka tidak menghadiri perjamuannya.

Sesudah mengantarkan tamu-tamunya pulang, kembali Siau Po mengadakan perjamuan keluarga, Ketujuh orang istrinya memberikan ucapan selamat kepadanya. 

Saat itulah Siau Po mengungkit urusan bahwa dia akan membawa Song Ji menyertainya ke utara, Keenam istrinya yang lain langsung protes, Mereka mengatakan Siau Po pilih kasih, Siau Po terpaksa mengoceh sembarangan. Kepergian Song Ji merupakan Firman Kaisar Kong Hi, katanya sebagai alasan, Akhirnya keenam istrinya yang lain tidak berani memrotes lagi. 

Untung saja Song Ji mempunyai sifat lembut, hubungannya dengan istri-istri Siau Po yang lain juga sangat akrab, jadi mereka tidak terlalu cemburu terhadapnya, Hanya Kian Leng kongcu seorang yang masih mendongkol. Dia merasa status dirinya sebagai adik kaisar, lebih tinggi dari istri Siau Po yang lain, namun nilainya ternyata masih dikalahkan oleh seorang budak. 

Tentu saja diam-diam dia merasa tidak puas, Disamping itu, dia juga sadar bahwa dirinyalah yang akan dikeroyok oleh istri-istri "Siau Po yang lain bila mempersoalkan masalah ini. Siau Po juga jarang membelanya. 

Dalam beberapa tahun belakangan ini si Tuan Puteri sudah muIai belajar mengendalikan perasaannya, tidak seperti dulu yang suka meledakkan emosi di depan orang banyak.

Kecsokan harinya Siau Po menyuruh Song Ji mengeluarkan surat pernyataan hutang The Kek Song yang disimpannya tempo hari, Setelah itu dia memanggil To Lung untuk menghadap, Diserahkannya surat pernyataan hutang itu kepada si komandan siwi. Tentu saja To Lung merasa senang sekali.

"Dengan adanya surat pernyataan hutang ini, biar dari dalam batu dia juga harus memeras minyaknya, Kalau dia berani tidak membayar hutangnya, maka kami para siwi dan prajurit tidak punya muka lagi untuk tetap mencari makan di Kotaraja ini."

Selama beberapa hari sejak itu, setiap harinya Siau Po pasti mendapat panggilan untuk menemui raja di ruang perpustakaan, Kong Hi menjelaskan bagaimana caranya melakukan penyerangan membuat benteng pertahanan, dan melakukan transaksi dengan pihak musuh, Kalau ada hal-hal yang kurang jelas bagi Siau Po, Kong Hi akan menggambarkannya di atas sehelai kertas dan mengulangi keterangannya.

"Pokoknya hamba hanya mewakili Sri Baginda dalam peperangan ini, Hamba tidak mengerti apa-apa, juga tidak berani sembarangan mengambil keputusan, semuanya tinggal mengikuti ajaran Sri Baginda saja. Kalau tidak, meskipun hamba berhasil memenangkan peperangan ini, Sri Baginda juga tidak merasa senang karenanya," sahut Siau Po. Kong Hie menganggukkan kepala sambil tersenyum, Kata-kata Siau Po barusan cocok sekali dengan keinginan hatinya, Sejak kecil dia sudah mempelajari ilmu politik dan ilmu perang, namun selama ini dia tidak pernah mendapat kesempatan untuk mempraktekkannya. 

Di masa kecil dia hanya pernah bermain gulat dengan Siau Po. Setelah agak besar sedikit, setiap urusannya diserahkannya kepada bocah itu, Dalam hati diam-diam dia mengumpamakan Siau Po sebagai dirinya yang menjalani berbagai tugas. 

Padahal usia Siau Po lebih muda sedikit dibandingkan dengan usianya, Baik dalam ilmu silat, surat maupun politik, bocah itu tidak seujung kuku dirinya, sedangkan setiap tugas yang diberikan selalu dapat diselesaikan oleh Siau Po dengan baik, apalagi kalau dirinya sendiri yang turun tangan. Dengan memberikan tugas kepada Siau Po dia mendapat kepuasan sendiri yang sulit dikatakan.

Tidak lama lagi Siau Po akan menjalankan tugasnya. Dia tidak berani menemui rekan-rekannya dari perkumpulan Thian Te hwee, Dalam hati dia berpikir.

- Sri Baginda tidak menyuruhku membasmi perkumpulan Thian Te hwee, ini merupakan cara untuk menyatakan dirinya telah mengalah terhadapku. Boleh dibilang aku sudah diberikan muka yang terang, Kalau aku masih tidak tahu diri dan pergi menemui Ci Thian Coan dan yang Iainnya, kelak semua dosa-dosaku akan diungkit kembali. 

Sama saja aku menimpukkan batu di atas mata kakiku sendiri Jadi orang tidak boleh terlalu bodoh, juga jangan terlalu menonjolkan kepintaran -

Setelah menentukan hari baik, rombongan Siau Po pun berangkat menuju utara, Banyak sekali pembesar atau pun para siwi dari istana yang mengantarkan keberangkatannya, Ketika mereka melihat Siau Po mengenakan jubah kebesarannya, diam-diam mereka merasa geli dalam hati. 

Mana tampak wibawa sedikit pun pada diri anak muda itu? Malah lebih mirip pemain sandiwara di atas panggung, Meskipun demikian, mereka tahu bahwa Siau Po telah mengangkat saudara dengan Kong Cin Ong, siapa yang berani menertawakan nya secara terang-terangan? 

Siau Po sudah sering mendapat tugas dari Kaisar Kong Hi, namun wibawanya tidak seperti hari ini. Diam-diam dia merasa bangga sekali, Dia juga sadar masalah yang ditanganinya kali ini merupakan kaliber atas, maka dia berusaha keras menunjukkan wibawanya. 

Selama perjalanan dia tidak berani mengajak bawahannya bermain judi, Kalau terasa iseng, pa!ing-paling dia mengajak beberapa orang yang dekat dengannya untuk melempar dadu, main tebakan atau minum arak. Tidak sampai satu hari, mereka sudah tiba di wilayah utara yakni Liau Tong. Di daerah ini Siau Po pernah tinggal beberapa lama bersama Song Ji. Di sini mereka berburu menjangan untuk menangsal perut. Keadaan saat itu tentu jauh berbeda dengan sekarang.

Angin musim semi berhembus sejuk. Para prajurit dari rombongan Siau Po meneruskan perjalanan jarak antara tempat itu dengan kota Ya Ke Lung masih ada ratusan li. 

Utusan dari pasukan terdepan kembali dengan laporan: Mereka mendapat kabar dari penduduk setempat bahwa para prajurit Lo Sat menyusahkan rakyat, dengan seenaknya membunuh orang atau pun membakar rumah. 

Tidak satu kejahatan pun yang tidak mereka lakukan Rakyat tampak sengsara sekali hidup dalam penindasan Belasan hari sekali mereka pasti muncul untuk menimbulkan keonaran Mereka yakin dalam beberapa hari lagi para prajurit Lo Sat itu pasti kembali lagi.

Siau Po sudah mendapat pengarahan dari Kaisar Kong Hi. Mereka mencari tempat yang agak jauh lagi terpencil untuk membangun tenda, sedangkan di dekat perbatasan para prajuritnya harus mendirikan kelompok, jumlahnya sepuluh kelompok, tiap kelompok terdiri dari seratus orang. 

Mereka harus berpencar untuk menyembunyikan diri. Bila jumlah pasukan Lo Sat yang datang besar sekali, mereka tidak boleh memperlihatkan diri terlebih dahulu, Dengan demikian dapat dijaga kemungkinan jatuh korban banyak, sedangkan kalau yang datang jumlahnya sedikit, mereka harus bergerak cepat melakukan penyerangan, jangan sampai ada yang berhasil meloloskan diri lalu mengirim berita untuk mendatangkan bala bantuan.

Beberapa hari kemudian, dari kejauhan terdengar suara tembakan yang tiada henti- hentinya, Siau Po tahu pasukannya yang terdepan sudah berperang melawan prajurit Lo Sat. 

Hati Siau Po berdebar-debar untuk mengetahui akhir ceritanya, sampai menjelang sore, Ho Yu (Komandan Pasukan Terdepan) mengutus anak buahnya untuk memberikan laporan, mereka berhasil membunuh dua puluh lima orang prajurit Lo Sat dan masih ada dua belas orang yang berhasil diringkus hidup-hidup. Menjelang malam hari, kedua belas tawanan perang itu pun digiring ke tenda Siau Po.

Tentu saja Siau Po senang sekali dengan hasil gebrakan pertama ini. Dia mengumumkan bahwa dia sendiri yang akan menginterogasi kedua belas tawanan tersebut, Para tawanan menjadi heran ketika mengetahui bahwa Siau Po mengerti bahasa Lo Sat mereka, Namun mereka memprotes, kekalahan mereka tidak perlu disalahkan Mereka mendapat tekanan karena jumlah prajurit Ceng banyak sekali, Mereka juga menyatakan bahwa kemenangan pihak Siau Po tidak membawa kegemilangan bagi kerajaan Ceng, Siau Po marah sekali mendengar protes mereka, Dia segera menyuruh beberapa anak buahnya untuk menggiring dua tawanan Lo Sat ke hadapannya, Begitu mereka masuk ke tenda Siau Po, anak muda itu langsung menyerahkan dua butir dadu kepada kedua tawanan itu.

"Ayo, kalian lempar dadu itu!" bentaknya.

Melempar dadu merupakan permainan sejak jaman dulu bagi dunia barat, Caranya pun tidak berbeda dengan Tiongkok, Tentu saja kedua tawanan itu tahu bagaimana cara memainkannya, namun mereka tidak mengerti untuk apa Sang panglima musuh yang masih muda itu meminta mereka melempar dadu, Karena merasa tidak merugikan pihak mana pun, mereka segera melemparkan dadu ke atas meja seperti apa yang disuruh Siau Po.

Kedua butir dadu itu berputar Yang satu menunjukkan tujuh titik, sedangkan yang lainnya menunjukkan lima titik.

Siau Po menunjuk kepada tawanan yang dadunya menunjukkan lima titik. "Kau sudah kalah, mampuslah!" Dia menoleh kepada seorang cong peng dan 

memberi perintah, "Bawa dia ke luar dan penggal kepalanya!"

Empat orang cong peng segera mengiakan, lalu mereka menyeret tawanan itu ke luar Tidak lama kemudian mereka kembali lagi dengan membawa batok kepala orang itu. Tentu saja kesebelas tawanan yang lain terkejut setengah mati melihat hal itu. Wajah mereka langsung berubah pucat pasi.

Siau Po menunjuk lagi kepada dua tawanan Lo Sat lainnya. "Sekarang giliran kalian berdua yang melempar dadu!" katanya.

Sudah pasti kedua tawanan itu tidak sudi jiwa mereka dijadikan pertaruhan dalam permainan tersebut karenanya serentak mereka berteriak.

"Kami tidak mau!"

"Baik, tidak apa-apa kalau kalian memang tidak mau." Siau Po menolehkan kepalanya kepada empat orang cong peng tadi dan menurunkan perintah.

"Seret kedua-duanya dan penggal kepala mereka !"

Dalam sekejap mata kembali dua orang tawanan kehilangan batok kepalanya. Sekali lagi Siau Po menunjuk kepada dua orang tawanan Lo Sat yang lainnya. "Sekarang giliran kalian berdua!" Kedua orang itu sadar, apabila mereka menolak, mereka berdua pasti akan mengalami nasib yang tragis seperti kedua rekannya barusan. 

Tapi kalau mereka bersedia melemparkan dadu, masih ada kesempatan lima puluh persen untuk hidup, Dengan ragu-ragu mereka masing-masing mengambil sebutir dadu, Baru saja mereka bermaksud melemparkannya, tiba-tiba salah seorang rekan tawanan itu mengangkat telunjuknya ke atas.

"Biar aku saja yang melempar," katanya kepada Siau Po. sikapnya sombong sekali. Siau Po tertawa.

"Bagus! Ternyata kau berani menentang aku. Nah, kau dulu yang lempar!" katanya.

Tawanan itu melemparkan dadunya, Dia memperoleh tujuh titik, sedangkan Siau Po memperoleh sepuluh titik, Sekali lagi Siau Po tertawa.

"Bagaimana?" tanyanya.

Mimik wajah tawanan itu menunjukkan kekecewaan.

"Memang nasibku saja yang sedang apes, apalagi yang harus kukatakan!" "Ketika kau datang ke negara kami, berapa banyak bangsa kami yang telah kau 

bunuh?" tanya Siau Po pula.

Tawanan itu tampak agak bingung.

"Aku tidak ingat lagi, mungkin paling tidak ada tujuh atau delapan belas orang, Kau boleh membunuhku sekarang, pokoknya aku masih tidak merasa dirugikan," sahutnya berani.

Siau Po memberi perintah untuk memenggal kepala orang itu, lalu menunjuk kepada seorang tawanan lainnya, Dengan gemetar orang itu melemparkan dadu tersebut ke atas meja, Setelah bergerak ke sana ke mari, jumlah yang ditunjukkan sebanyak sebelas titik, Berarti kesempatan untuk menang besar sekali.

Siau Po bermaksud main curang, lagipula dia memang ahlinya melempar dadu, namun kali ini ternyata gerakan tangannya kurang meyakinkan, angka yang terlihat justru hanya dua titik, untuk sesaat dia sampai tertegun, kemudian dia tertawa terbahak- bahak.

"Aku menang!" seru nya.

"Jumlah dadu yang kulemparkan sebelas titik, sedangkan jumlah dadumu hanya dua titik, bagaimana mungkin kau yang menang?" sahut tawanan itu cepat. "Kali ini jumlah yang kecillah yang menang, yang besar justru kalah!" kata Siau Po seenaknya.

Tawanan itu merasa tidak puas.

"Tentu saja yang jumlahnya besar yang menang, Di negara Lo Sat kami peraturannya juga begitu!"

Mimik wajah Siau Po langsung berubah sehingga tidak sedap dilihat.

"Sekarang kau ada di Negara Lo Sat atau negara Tiongkok?" tanyanya dengan suara tajam.

"Negara.,., Ti... Tiongkok," sahut tawanan itu gugup.

"Kalau tahu kau ada di Negara Tiongkok, maka peraturan Tiongkoklah yang dipakai, Lain kali kalau aku mengunjungi negara Lo Sat, baru kita gunakan peraturan negaramu itu. Mampuslah kau!" 

Kembali Siau Po memerintahkan anak buahnya agar menyeret orang itu ke luar untuk dipenggal kepalanya, Setelah itu kembali dia menunjuk kepada seorang tawanan Lo Sat lainnya.

Tampaknya tawanan yang satu ini lebih cerdas dari teman-temannya yang lain, Sebelum melemparkan dadu, dia bertanya terlebih dahulu.

"Kalau menurut peraturan Tiongkok, kali ini yang besar yang menang atau yang kecil yang menang?"

"Menurut peraturan negara kami, Bangsa Tiong-hoalah yang menang, Kalau biji dadu yang dilemparkan Bangsa Tionghoa kecil, maka yang kecil yang menang, Kalau biji dadu yang dilemparkan bangsa kami menunjukkan jumlah besar, maka yang besarlah yang menang."

Tawanan itu kesal sekali dibuatnya.

"Kau benar-benar keterlaluan! itu namanya tidak pakai peraturan!"

"Tentara Lo Sat yang datang ke negara kami dan sembarangan merebut tempat serta membunuh orang, bukan bangsa kami yang datang ke negaramu untuk membunuh bangsamu, Coba kau katakan, siapa yang keterlaluan dan tidak tahu aturan?"

Tawanan itu terdiam.

"Cepat lempar dadunya!" bentak Siau Po. "Biar bagaimana toh aku yang akan kalah, buat apa melempar dadu lagi?" kata tawanan itu.

"Tidak mau? Mampuslah kau!" teriak Siau Po,

Kembali dia memanggil seorang tawanan Lo Sat untuk maju ke depan, orang itu bertubuh tinggi besar, wajahnya penuh dengan cambang.

"Budak Cina, kau tidak perlu main gila, Bunuh saja aku sesuka hatimu, Kali ini jumlah kalian banyak, Lagipula kalian bersembunyi di bawah salju lalu tiba-tiba menyerbu keluar, Menang juga tidak perlu dibanggakan Suatu hari pasukan besar negara kami akan menyerang kembali dan membunuh kalian semua!" katanya dengan suara keras.

"Jadi karena kalian berhasil kami ringkus lalu kalian merasa tidak puas?" tanya Siau Po.

"Tentu saja tidak puas!" sahut tawanan itu dengan berani.

"Dalam anggapanmu, kalau kita berhadapan dengan jumlah yang sama maka pihakmu yang akan meraih kemenangan, begitu?" tanya Siau Po pula.

Dengan sombong tawanan itu menjawab.

"Sudah pasti, Bangsa Lo Sat kami satu orang bisa mengalahkan bangsa kalian lima orang, Kalau tidak, kami juga tidak berani datang ke negara Tiongkok kalian. Aku berani bertaruh denganmu, Kau perintahkan lima orang dari pihakmu ke luar ke depan, suruh mereka berkelahi denganku, Kalau kalian menang, silahkan penggal kepalaku, Tapi kalau aku yang menang, kau harus melepasku!"

Orang ini merupakan prajurit yang gagah dalam pasukan Lo Sat. Tenaganya besar sekali, Dia melihat setiap prajurit yang dipimpin Siau Po rata-rata lebih pendek satu kepala darinya, maka biar pun satu lawan lima, kemungkinan menangnya masih lebih besar.

Sejak tadi Song Ji duduk di samping, Mendengar nada suara orang itu yang sombong, hatinya jadi mendongkol.

"Orang Lo Sat, tidak ada gunanya kau sesumbar. Wanita Cina saja masih dapat mengalahkan dirimu," katanya sambil berdiri dan berjalan ke samping Siau Po.

Tawanan itu melihat tubuh Song Ji yang kecil sekali, wajahnya juga cantik jelita, Dia menjadi geli sehingga tertawa terbahak-bahak.

"Apakah kau ingin melawanku?" tanyanya.

Siau Po menyuruh seorang cong peng melepaskan tali yang mengikat kedua tangan tawanan tersebut Sambil tersenyum dia berkata. "Song Ji ku yang baik, biar dia rasakan kelihaian wanita Cina kita!"

"Wanita Cina bisa berbahasa Lo Sat, bagus sekali, bagus seka li!" seru tawanan itu.

Bahasa Lo Sat Song Ji masih kalah jauh dibandingkan dengan Siau Po, karenanya dia tidak sudi banyak bicara, Tangan kirinya memukul ke depan, sebuah jurus pukulan dilancarkan ke arah muka tawanan itu. 

Tawanan itu cepat-cepat menundukkan kepalanya, Namun dalam saat yang bersamaan Song Ji juga mengirimkan sebuah tendangan. Perut si tawanan telak terkena sehingga orang itu terkejut setengah mati. 

Sambil meraung keras-keras, kedua tinjunya menghantam ke depan, Dia adalah jago tinju di Negara Lo Sat, gerakannya cepat dan tinjunya kuat sekali, Song Ji bisa melihat kehebatan orang itu, Dia berkelebat ke bagian punggung si Tawanan dan dengan gerakan yang indah dia mengeluarkan sebuah jurus andalannya, Plak! Plok! Terdengar suara keras dua kali berturut-turut pinggang kiri dan kanan si tawanan kembali terkena tendangan maut Song ji.

Tawanan itu menjerit kesakitan.

"Kau menggunakan kaki, curang! Curang!" teriaknya marah.

Rupanya ada peraturan bagi Bangsa Lo Sat yang sedang mengadu tinju. Mereka tidak boleh menggunakan kaki untuk menyerang lawan.

"lni Negara Cina, berkelahi juga harus mengikuti peraturan Cina!" kata Siau Po sambil tertawa.

"Menggunakan cara Lo Sat aku juga akan menang!" seru Song ji.

Secepat kilat tinju kanannya menghantam ke depan, Tawanan itu berusaha menangkis, ternyata jurus yang dikerahkan Song Ji adalah jurus tipuan, Belum apa-apa dia sudah menarik kembali tinju kanannya sementara itu tinju kirinya sudah bergerak pula ke depan. 

Berulang kali hal ini terjadi, sebetulnya tidak berbeda dengan adu tinju di Negara Lo Sat. Kadang-kadang lawan justru terkecoh dengan siasat ini. Hanya saja gerakan Song Ji jauh lebih cepat beberapa kali lipat dibandingkan orang-orang Lo Sat.

Tawanan itu menangkis beberapa kali, namun setiap kali dia gagal. Akhirnya dia tertawa terbahak-bahak.

"Permainan wanita Cina juga tidak berarti.,." Belum lagi kata-katanya selesai, kedua pipinya sudah terkena pukulan tinju Song Ji. Dia jadi marah sekali Kedua tangannya langsung menghantam ke atas dan ke bawah secara serampangan. Song Ji menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindar. Kedua jari telunjuk dan jari tengahnya menjulur ke depan, tahu-tahu Tay Yang Hiat orang itu sudah ditotoknya. Tawanan itu merasa kepalanya pusing tujuh keliling. 

Tubuhnya terhuyung-huyung, Song Ji mencelat ke atas melampaui tubuh si tawanan, telapak tangannya menepuk bagian belakang kepala lawannya. Meskipun tubuh tawanan itu tinggi besar, namun dia juga tidak sanggup menahan diri dari pukulan Song Ji. Tubuhnya terkulai di atas tanah dan tidak sanggup bangkit kembali.

Siau Po senang sekali melihatnya, Dia menggandeng tangan Song Ji lalu didupaknya kepala tawanan itu satu kali.

"Apakah kau sudah merasa puas sekarang?" tanyanya. Tawanan itu masih merasa pusing.

"Wanita Cina... menggunakan ilmu... sihir, Dukun wanita yang.,,."

Siau Po marah mendengar makiannya terhadap Song Ji, dan segera menukas ucapan orang itu.

"Babi busuk, ilmu sihir apa? Seret dia ke luar dan penggal kepalanya! Kalian para prajurit Lo Sat, siapa yang masih belum puas? Aku ke luar dan kita mengadakan pertandingan lagi!" teriaknya keras.

Sisa lima orang tawanan itu saling memandang.

Mereka melihat si Hercules yang tenaganya besar saja sudah dikalahkan dengan mudah oleh perempuan di samping panglima itu, tentu mereka juga bukan tandingannya. Tidak ada seorang pun yang berani mengajukan diri.

"Kalau kalian menyatakan takluk, maka aku tidak akan membunuh kalian, Bila tidak, coba saja adu lempar dadu lagi denganku, Kita gunakan cara Tiong-kok, yang bisa mengalahkan aku boleh terus hidup!" kata Siau Po pula, Dia membuat gerakan isyarat dengan tangannya yang artinya memenggal kepala orang.

Ke lima tawanan itu berpikir dalam hati.

-- Kalau menggunakan cara Cina, berapa jumlah dadu yang ke luar pun tetap kau yang menang! -

Salah seorang di antaranya segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat dan berkata.

"Aku menyatakan takluk!"

"Bagus! Ambil arak dan daging, kasih dia makan!" seru Siau Po. Beberapa orang cong peng segera mengambil arak dan daging semangkok penuh, Setelah itu dia melepaskan ikatan tangan si tawanan dan mempersilahkannya makan.

Negara Lo Sat dingin sekali, setiap penduduknya suka minum minuman keras, Meskipun Siau Po sendiri tidak begitu suka minum arak, namun persediaan yang dibawakan para anak buahnya merupakan arak kelas satu sehingga baunya harum sekali.

Ke empat orang tawanan lainnya masih ragu-ragu, namun ketika mencium bau harum arak, air liur mereka terasa akan menetes. Dan saat melihat rekannya makan minum dengan lahap, rasa yang meng-gelitik dalam perut mereka tidak tertahankan lagi.

Satu per satu segera menyatakan takluk kepada Siau Po. Beberapa orang cong peng diperintahkan untuk melepaskan ikatan tangan mereka, Lalu seperti rekannya yang pertama, mereka juga disediakan arak dan daging, semuanya makan dengan lahap. 

Kalau mengingat kembali bahwa jiwa mereka berhasil diselamatkan bahkan diberi makan minum yang enak, mereka bersyukur sekali, Beramai-ramai mereka menyatakan terima kasih kepada Siau Po. 

Beberapa di antaranya malah minum sampai mabuk, Mereka menari-nari dan bernyanyi Tentu saja para prajurit Siau Po tidak mengerti lagu apa yang mereka nyanyikan, tapi kalau didengar lama-lama iramanya lumayan juga.

Selama beberapa hari berturut-turut, komandan barisan terdepan Ho Yu berhasil lagi meringkus beberapa tawanan Lo Sat, Kadang-kadang jumlahnya mencapai tujuh belas orang, paling sedikitnya satu dua orang, Siau Po sengaja menjalankan siasatnya. 

Para tawanan itu tidak langsung dibunuh, melainkan dibiarkan bertemu dengan beberapa kawannya yang sudah menyatakan takluk, Dari mulut rekan-rekannya itulah, para tawanan itu mengetahui apabila mereka mau diajak melempar dadu dengan Siau Po, satu per satu pasti dihukum penggal kepala. 

Namun apabila mereka menyatakan takluk, setiap hari mereka malah disediakan arak mahal dan makanan yang enak-enak. Oleh karena itu, setiap tawanan yang berhasil ditangkap, boleh dibilang semuanya menyatakan takluk.

Bangsa Lo Sat adalah bangsa yang besar. Saking besarnya negara itu, perekonomian mereka jadi kacau. Banyak penduduknya yang hidup di jalan sesat. Umpamanya mencuri, merampok atau membunuh pun dihalalkan agar bisa menyambung jiwa keluarganya. 

Demikian pula para tentara negara itu, mereka tidak merasa takut terhadap siapa pun, Selama ini sikap mereka sombong sekali, Apalagi setelah berhasil menduduki wilayah Cina dan dalam anggapan mereka rakyat Cina terlalu lemah serta tidak berani memberikan perlawanan.  Sampai Siau Po membawa pasukannya datang ke daerah tersebut dan langsung memamerkan hukuman penggal kepala, mereka baru tahu kelihaian Bangsa Cina.

Pada saat itu, Komandan Pasukan Kolichin telah mendapat perintah dari Ratu Sophia agar kembali ke Moskow untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, sedangkan panglima perang yang memimpin Ya Ke Lung bernama Alexi Tolbusin. 

Beberapa kali dia mengirim pasukan kecil untuk meninjau daerah Liau Tong, Tapi semuanya hilang tanpa kabar berita, Tolbusin menyuruh orang menyelidiki masalah ini, namun tetap tidak mendapat jawaban yang memuaskan. 

Dia segera sadar ada sesuatu yang tidak beres di balik semua ini, Akhirnya dia mengambil keputusan untuk memimpin dua ribu orang prajuritnya dan menyelidiki sendiri apa yang telah terjadi.

Dalam perjalanannya, Tolbusin tidak melihat apa-apa yang mencurigakan Apabila mereka bertemu dengan penduduk Cina yang kebanyakan merupakan petani, dia segera memerintahkan anak buahnya untuk membakar ladang orang tersebut dan membunuh pemiliknya.

Kira-kira menempuh perjalanan sejauh dua puluh li, tiba-tiba dia mendengar derap suara kaki kuda, serombongan pasukan berkuda mendatangi ke arahnya.

Tolbusin segera memerintahkan anak buahnya untuk berpencar Tampak serombongan prajurit Kerajaan Ceng dengan menunggang kuda menyerbu ke arah mereka. Prajurit Kerajaan Ceng langsung membidikkan anak panah. Tolbusin tertawa terbahak-bahak melihatnya.

"Bangsa Cina yang bodoh hanya bisa membidikkan anak panah, mana bisa melawan pasukan kita yang mempunyai senjata api lengkap?" katanya.

Dia langsung menurunkan perintah untuk melepas tembakan, Dalam waktu yang singkat belasan prajurit Ceng telah terkulai dari kuda masing-masing.

Dari antara pasukan berkuda Ceng terdengar suara teriakan keras. Mereka segera memutar arah dan lari ke selatan, Tolbusin tidak sudi melepaskan mereka begitu saja. Dia memerintahkan para serdadunya untuk mengejar. 

Kuda yang ditunggangi prajurit Kerajaan Ceng merupakan kuda-kuda pilihan. Larinya cepat sekali. Untuk sesaat pasti tidak bisa tersusul Setelah mengejar kurang lebih tujuh delapan li, tiba-tiba serdadu Lo Sat melihat ada sebuah bendera kuning bergambar naga terpancang pada dahan sebatang pohon. 

Setelah agak dekat mereka baru tahu bahwa prajurit kerajaan Ceng mendirikan beberapa puluh tenda di sana. Serdadu Lo Sat segera melepaskan tembakan serombongan prajurit Kerajaan Ceng berhamburan ke luar dan membidikkan anak panah.  Setelah itu mereka melompat naik ke punggung kuda dan melarikan diri ke arah selatan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar