Kaki Tiga Menjangan Jilid 85

Jilid 85

"Naik pangkat atau menjadi kaya tentu penting, tapi biar bagaimana, jiwalah yang terutama," sahut Hong Ci Tiong, Tiba-tiba tubuhnya berkelebat tahu-tahu dia sudah berada di belakang punggung Siau Po. 

DijuIurkannya tangannya untuk mengambil pisau belati yang terselip di dalam kaos kaki lalu ditudingkan ke punggung pemuda itu. "Wi Tayjin, pisau belatimu ini benar- benar tajam, hamba pernah menyaksikan Tayjin menggunakannya beberapa kali."

Siau Po hanya dapat tertawa getir, namun punggungnya terasa agak nyeri sehingga dia tahu pisau belatinya telah mengoyak jubah luarnya, Meskipun di dalamnya dia mengenakan baju mustika, tapi tetap saja tidak mempan terhadap pisau saktinya itu.

"Kalian semua balikkan badan lalu lempar senjata masing-masing!" bentak Hong Ci Tiong.

Melihat keadaan di depan mata, Su Cuan beserta yang lainnya terpaksa menuruti perkataan orang itu. Mereka membalikkan tubuh lalu melemparkan senjata masing- masing.

Hong Ci Tiong melihat di sudut satunya ada enam orang anak buati Thian Te hwee, dia segera memanggil mereka.

"Kalian ke mari! Ada yang ingin kukatakan!" katanya.

Keenam orang itu masih belum mengerti apa yang telah terjadi, karena itu mereka pun menghampirinya.

Lengan kanan Hong Ci Tiong terangkat ke atas, lalu dengan cepat dia menampar ke kiri dan kanan, Dalam waktu yang bersamaan golok ditangan kirinya juga mengeluarkan suara mendesing, dan dalam beberapa detik saja enam anak murid Thian Te hwee itu telah terkapar di atas tanah dalam keadaan mati. 

Gerakan tangan orang ini benar-benar cepat, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa ilmu silatnya telah mencapai taraf yang sangat tinggi, Kekejaman hatinya juga tidak perlu diragukan lagi.  Tanpa sadar Su Cuan membalikkan tubuhnya, tampak mayat ke enam murid Thian Te hwee itu sudah bergelimpangan, sedangkan para wanita yang lain juga penasaran, namun mereka segera menjerit histeris begitu melihat keadaan di depan mata.

Rupanya Hong Ci Tiong sudah merasa bahwa kedoknya sendiri telah terbuka, maka apabila sampai terjadi perkelahian dia cuma seorang diri, kerugian sudah jelas ada di pihaknya Jadi sebelum pihak murid Thian Te hwee menyadari apa yang telah terjadi, lebih baik dia menghabisi mereka terlebih dahuIu.

Pertama tentu saja untuk menambah kewibawaan dirinya sehingga Siau Po serta yang lainnya tidak berani mengadakan perlawanan Kedua, demi meringankan jumlah musuh yang sudah ada. 

Dengan demikian, meskipun jumlah pihak lawan masih cukup banyak, tapi laki- lakinya hanya tinggal satu, dia tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya lagi.

Hong Ci Tiong menarik kembali goloknya lalu dikalungkan ke leher Siau Po. "Wi Tayjin, mari kita turun ke perahu!" katanya.

Pikirnya, bila dengan menggiring Siau Po dan The Kek Song ke hadapan Sri Baginda, berarti dia sudah mendirikan jasa besar

Ketujuh perempuan itu ditinggalkannya di atas pulau, Dia tidak ingin mendapatkan kesulitan lagi di atas perahu nanti, Bukannya Hong Ci Tiong bermurah hati, tapi dia juga memikirkan akibatnya apabila dia membunuh ketujuh perempuan itu. 

Siau Po tentu akan membencinya sampai ke tulang sum-sum. sedangkan bocah busuk itu pernah mendapat kasih sayang yang besar dari Sri Baginda, Siapa pun tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi begitu mereka dipertemukan. Bisa saja Sri Baginda memaafkan segala kesalahannya, Apabila benar demikian, tentu tamatlah riwayat Hong Ci Tiong saat itu.

Para wanita yang melihat Siau Po digiring pergi, benar-benar merasa tercekam hatinya, Mereka sempat bingung apa yang harus dilakukan, justru pada saat itulah Kian Leng kongcu berteriak kalap.

"Kau kira siapa dirimu? Berani-beraninya kau kurang ajar! Cepat lemparkan golokmu itu!"

Hong Ci Tiong hanya mendengus satu kali. Dia pernah menemani Siau Po

mengiringi Kian Leng kongcu untuk menjadi mempelai ke Hun Lam, Dia tahu benar adat si Tuan Puteri, karenanya dia juga tidak berani berdebat dengan perempuan itu.

Melihat dirinya tidak digubris oleh Hong Ci Ti-ong, Kian Leng kongcu semakin berang, Kenyataannya, di dunia ini kecuali Thay Hou, Sri Baginda, Siau Po dan Su Cuan berempat, tidak ada seorang pun yang ditakutinya, Dia membungkukkan  tubuhnya untuk memungut sebatang goIok, lalu tanpa berpikir panjang lagi dia menerjang ke arah Hong Ci Tiong dan menebaskan golok dari atas ke bawah.

Hong Ci Tiong memiringkan tubuhnya untuk memghindar. Kian Leng kongcu menyerang tiga kali berturut-turut, tapi selalu dapat dihindari dengan mudah oleh Hong Ci Tiong. Coba kalau kedudukan si Tuan Puteri diganti dengan perempuan lainnya, Hong Ci Tiong pasti sudah mendupaknya agar jatuh ke dalam lautan. 

Namun yang menyerangnya justru adik kesayangan Sri Baginda, ibarat wanita bertubuh emas, siapa yang berani menyalahinya? Apalagi dia berniat mendirikan jasa besar agar mendapat kedudukan yang mulia, maka dia hanya mengelak ke sana-ke mari.

Kian Leng kongcu semakin marah.

"Budak telur busuk!" teriaknya, "Jangan bergerak! Aku akan memenggal kepalamu, mengapa kau terus berputar tidak karuan? Lain kali aku akan mengadu kepada Hongte koko, biar kau ditebas seribu kali!"

Hong Ci Tiong terkejut setengah mati Dia tahu perempuan ini sanggup melakukan apa yang dikatakannya, Dia toh adik kandung Sri Baginda, sedangkan dirinya sendiri hanya sebutir pasir di gurun luas, bagaimana mungkin dirinya sanggup menandingi Tuan Puteri tersebut? Semakin dipikirkan hatinya semakin ciut. Meskipun demikian, apabila dia harus membiarkan batok kepalanya ditebas oleh perempuan tengil itu, rasanya kok berat juga.

Sembari memaki-maki, golok di tangan Kian Leng kongcu tetap mengayun ke sana ke mari, Hong Ci Tiong hanya menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindarkan diri. Tampaknya jarak antara golok Tuan Puteri dengan tubuh Hong Ci Tiong sangat dekat, namun setiap kali serangannya selalu gagal. 

Kian Leng kongcu menjadi kalap, Dia menerjang dengan keras, tapi karena golok itu cukup berat, maka tubuhnya jadi terbawa arus getaran sehingga sulit mengendalikan diri.

Sekali lagi Hong Ci Tiong terkesiap, karena begitu dia memiringkan tubuhnya, tampaknya golok di tangan Kian Leng kongcu akan meluncur terus ke arah pundak Siau Po.

"Hati-hati!" teriak Hong Ci Tiong sambil memutar tubuhnya sedikit dan menomplok kepada Siau Po sehingga mereka jatuh bersamaan di atas tanah, kemudian secepat kilat dia menutulkan kakinya untuk mencelat sejauh mungkin.

Song Ji menggunakan kesempatan itu untuk menghambur ke depan, Didekapnya tubuh Siau Po lalu diseretnya sejauh mungkin, Hong Ci Tiong terkejut melihat keadaan itu, lalu sembari mengayunkan goloknya dia mengejar. Meskipun ilmu silat Song ji cukup tinggi, tapi tenaganya masih belum memadai, Apalagi dia lebih pendek satu kepala dari Siau Po, maka dengan memondong pemuda itu, dia hanya sanggup mencelat sejauh dua depa, sedangkan Hong Ci Tiong sudah mengejar tiba, Punggung Siau Po langsung tertotok sehingga kaki dan tangannya terasa lemas, dia hanya dapat berbisik

"Lepaskan aku, biar aku tembakkan senjata rahasia kepadanya."

Sayangnya gerakan Hong Ci Tiong terlalu cepat, Apabila Song Ji melepaskan Siau Po, pasti pemuda itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meluncurkan senjata rahasianya, Dalam keadaan panik, dia melemparkan tubuh pemuda itu sekuat tenaga.

Hong Ci Tiong kegirangan, dan cepat-cepat menjulurkan tangannya untuk menyambut tubuh Siau Po. Tiba-tiba dari bagian punggungnya terdengar suara letusan, lalu terasa ada sesuatu yang membakar tubuhnya dan diiringi bau asap, Belum lagi dia berpikir lebih lanjut, tubuhnya sudah terkulai di atas tanah serta berkelojotan beberapa kali dan akhirnya tidak bergerak lagi.

Siau Po sendiri yang terhempas di atas tanah tidak mengalami luka apa-apa. Namun untuk sesaat dia mengalami kesulitan untuk berdiri Tampak di hadapan Song Ji terdapat segumpal asap putih yang melingkar, dan tangan gadis itu menggenggam sebuah pistol pendek. 

Dia ingat benda itu merupakan hadiah dari Gouw Liok Ki ketika mengangkat saudara dengan gadis itu, Benda itu juga merupakan senjata api dari negara Lo Sat, yang hebatnya bukan main. walaupun ilmu silat Hong Ci Tiong sangat tinggi, tapi tetap tubuhnya terdiri dari darah dan daging, mana mungkin sanggup bertahan menghadapi senjata tersebut?

Song Ji sendiri juga terkesima, begitu senjatanya meletus. Lengannya seperti ngilu, dan tanpa terasa dia menjatuhkan senjata api itu ke atas tanah.

Siau Po khawatir Ci Tiong masih belum mati, maka dia segera menghambur ke depan orang itu lalu mengarahkan senjata rahasia di pinggangnya dan ditekannya beberapa kali, Senjata rahasia yang halus itu meluncur tepat mengenai seluruh tubuh Hong Ci Tiong, tapi orang itu sama sekali tidak bergerak. 

Ketika senjata api di tangan Song Ji meletus mengenai dirinya, tidak lebih dari sepuluh detik jiwanya sudah melayang.

Para perempuan yang lain segera bersorak senang dan segera menghambur datang. Tujuh orang perempuan mengerubuti Siau Po. Bayangkan kalau tujuh lembar mulut perempuan sudah berbicara! Mereka menanyakan berbagai hal kepada Siau Po, sehingga si pemuda kewalahan menjawab nya.

Hubungan Song Ji dengan Hong Ci Tiong sangat dekat Mereka sering bertukar pikiran, dan ke mana-mana pun sering bersama-sama. Sikap Hong Ci Tiong selama ini  menunjukkan kasih sayang dan hormat yang dalam terhadapnya, Siapa sangka orang ini berhati busuk. 

Semakin diingat kembali, Song Ji semakin tercekam hatinya, Entah berapa banyak kesempatan yang pernah ada apabila Hong Ci Tiong benar-benar ingin mencelakainya, Di samping itu, Song Ji juga menyadari satu hal. 

Dia sekarang mengerti mengapa dulu Gouw Liok Ki memaksakan diri untuk mengangkat saudara dengannya, Rupanya orang itu ingin suatu hari Siau Po menikahinya, tapi dirinya hanya seorang budak, Derajatnya jauh di bawah Siau Po. 

Orang aneh itu tentu mempunyai pikiran, setelah menjadi adik angkat dari Hiocu, bendera merahnya Thian Te hwee, Song Ji tentu pantas bersanding dengan Hiocu dari Ceng Bok Tong. Dibayangkannya kebaikan hati Gi heng (kakak angkat) nya itu. senjatanya sudah dipungut kembali oleh Song Ji, tapi pemiliknya sendiri sudah tidak ada, tanpa sadar airmatanya menetes.

Siau Po membalikkan tubuhnya, Tampak The Kek Song berempat sedang berjalan menuju tepi pantai dan bersiap-siap naik ke atas perahu, Hatinya berpikir -- Dia sudah membunuh Suhu, apabila membiarkan dia pergi begitu saja, benar-benar keenakan baginya! -

Karena itu dia segera mengambil pisau belatinya dan mengejar "Berhenti dulu!" teriaknya.

The Kek Song menghentikan langkah kakinya dan menolehkan kepalanya, wajahnya langsung berubah kelabu.

"Wi... Wi Hiocu, kau sudah... berjanji untuk melepaskan aku... eh... kami!" katanya. Siau Po tertawa dingin.

"Aku memang berjanji untuk tidak membunuhmu, tapi apakah aku pernah mengatakan bawah aku tidak akan memotong sebelah kakimu?"

Pengikut sekaligus guru pangeran dari Taiwan itu marah sekali, tapi dia hanya sanggup mengangkat tangannya sedikit, tubuhnya masih terasa lemah, sedangkan The Kek Song sendiri sudah ketakutan setengah mati, lalu segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.

"Wi Hiocu, apa.,., bila engkau mengutungkan sebelah kakiku, bagaimana aku akan hidup selanjutnya ?" tanya pemuda itu dengan suara memelas.

Siau Po menggelengkan kepalanya. "Pasti bisa! Kau berhutang padaku sebanyak selaksa taiI. Berikut bunganya jadi seratus laksa tail, Lalu kau ingin menggunakan A Ko sebagai jaminan, tapi dia sudah pernah bersembahyang kepada langit dan bumi denganku, dan dalam perutnya juga mengandung anakku, jadi dia sudah resmi sebagai istriku, bagaimana mungkin kau menggunakannya sebagai jaminan? Lagipula di dunia ini mana ada peraturan seperti itu?" sahutnya.

Pada saat itu, Su Cuan, Pui Ie, Cin Ju, Bhok Kiam Peng dan Kian Leng kongcu berdiri di dekat Siau Po. Mendengar perkataan pemuda itu, mereka segera mendumel.

"Dasar mata keranjang!"

Sejak tadi otak The Kek Song memang sudah ruwet, tapi dia masih sadar apa yang dikatakan Siau Po ada benarnya, maka dia bertanya:

"Lalu bagaimana?"

"Begini saja, sekarang aku akan mengutungkan sebelah lengan dan sebelah kakimu sebagai jaminan. Kelak apabila kau sudah membayar hutangmu yang sebanyak seratus laksa tail itu, aku akan mengembalikan kutungan kaki dan lenganmu," sahut Siau Po.

“Tapi... ,tapi tadi kau sudah mengatakan bahwa A Ko sudah dijual putus kepadamu.   

Tentunya hutang yang seratus laksa tail itu juga sudah lunas, bu. kan?" kata Kek Song 

gemetar.

Siau Po menggelengkan kepalanya semakin keras.

"Tidak bisa, Tadi aku kan hanya mengoceh sembarangan sehingga bisa diperdayai olehmu, A Ko kan istriku sendiri, mana bisa engkau yang menjualnya kepadaku? Baiklah, sekarang aku akan menjual ibumu kepadamu dengan harga seratus laksa tail, kemudian aku juga akan menjual bapakmu kepadamu, lalu menjual nenekmu kepadamu... harganya jadi. "

"Tapi nenekku sudah mati!" sela Kek Song cepat.

"Orang mati juga boleh dijual!" sahut Siau Po. "Mayatnya aku jual lagi kepadamu, biar deh kalau orang mati korting delapan puluh persen, harganya jadi dua puluh laksa tail Dan petinya gratis, tidak usah dibayar!"

Kek Song mendengar kata-kata Siau Po semakin lama semakin banyak, bahkan sekarang keluarga yang sudah mati pun dijual lagi kepadanya, Kalau dihitung dari nenek moyangnya, entah sudah berapa banyak keturunan keluarga mereka, Meskipun orang mati dikorting delapan puluh persen, tetap saja Kek Song merasa keblinger, Akhirnya dengan melas dia berkata.

"Sudah... sudah, Wi Hiocu, aku tidak sanggup membeli semuanya. " "Baiklah, kalau sudah tidak sanggup membeli Iagi, ya tidak apa-apa. Tapi yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan Tadi aku sudah menyebutkan ibumu, bapakmu, nenekmu dari pihak bapak dan nenekmu dari pihak ibu. Dipotong kortingan hutangmu jadi tiga ratus dua puluh laksa tail, bagaimana kau akan membayarnya?" tanya Siau Po seenaknya.

Kiang Leng kongcu tertawa terkekeh-kekeh.

"Hihi... hi... hi. Tiga ratus dua puluh laksa tail, cepat bayar!" katanya.

Kek Song segera memasang wajah melas.

"Sekarang seribu tail saja aku tidak punya, mana mungkin mengeluarkan tiga ratus dua puluh laksa tail?" sahutnya.

"Sudahlah, kalau tidak punya uang, apa boleh buat! Kembalikan saja apa yang sudah kau beli, sekarang juga kau harus mengembalikan ibu, ayah, nenek dalam serta jenasah nenek luarmu, kurang sehelai rambut saja tidak masuk hitungan!" kata Siau Po.

Kek Song berpikir dalam haii, kalau mengaco begini terus, kapan urusannya bisa selesai? Matanya melirik kepada A Ko, dia berharap perempuan itu akan membantunya, Tapi perempuan itu justru berdiri jauh-jauh seakan tidak sudi ikut campur dalam masalah ini. 

Hati Kek Song semakin panik, Kalau menilik sikap Siau Po sekarang, sebentar lagi dia pasti akan kehilangan sebelah lengan dan kakinya, Oleh karena itu cepat-cepat dia menyembah berkali-kali, bahkan kepalanya diantuk-antukkan ke atas tanah.

"Wi Hiocu, aku telah mencelakai Tan Kunsu, maka dosaku berat sekali Aku memang pantas dihukum mati, tapi aku mohon ampunilah selembar jiwa hamba ini, Aku mengaku berhutang kepadamu sebanyak tiga ratus dua puluh laksa tail, dan biar bagaimana hamba akan berusaha membayarnya!" katanya meratap.

Siau Po sendiri merasa sudah keterlaluan menyiksa Kek Song dan kebencian dalam hatinya pun sudah jauh berkurang.

"Kalau begitu aku minta surat pernyataan darimu," katanya.

"Baik, baik," sahut Kek Song. Dia membalikkan tubuhnya dan memberi perintah kepada anak buahnya. "Ambilkan sehelai kertas!"

Mendapat perintah itu, anak buah Kek Song sempat bingung, Di atas pulau kosong ini bagaimana bisa mendapatkan kertas dan pena? Untung saja otak orang itu cukup encer Cepat-cepat dia melepaskan jubahnya sendiri sambil berkata.

"Di sana toh banyak orang mati, Kita gunakan saja darah mereka sebagai tinta." Sembari berjalan ke arah Hong Ci Tiong untuk mengambil darahnya. Tanpa mengatakan apa-apa, Siau Po menarik pergelangan tangan Kek Song, dan dengan pisau belatinya yang tajam, dia menyayat jari telunjuk pemuda itu, Kek Song langsung menjerit kesakitan.

"Gunakan darahmu sendiri untuk menulis!" kata Siau Po.

Begitu sakitnya sampai tubuh Kek Song gemetar, dan untuk sesaat dia tidak sanggup melakukan apa-apa.

"Pelan-pelan saja menulisnya," kata Siau Po. "Apabila darah di telunjukmu sudah kering, aku toh bisa menyayat jari tengahmu dan demikian pula dengan selanjutnya."

"lya, iya," sahut Kek Song cepat Dia tidak berani berlambat-lambat. Sambil menahan rasa sakit dia segera menggunakan jari telunjuknya yang kutung itu untuk menulis "Hutang tiga ratus dua puluh laksa tail, Tertanda The Kek Song.

Siau Po tertawa dingin.

"Huh! Namanya sih putera Pangeran, tapi tulisannya miring tidak karuan, masih lumayan ceker ayam." Diambilnya jubah bertulisan itu lalu diserahkannya kepada Song Ji. "Simpan baik-baik. Coba perhatikan apakah jumlah yang dituliskan sudah cukup? Orang ini licik sekali, pokoknya kurang beberapa tail juga tidak boleh!"

Song Ji tertawa.

"Tiga ratus dua puluh laksa tail, tidak kurang tidak lebih," sahutnya.

Lengan jubah itu dikoyaknya sehingga tinggal sepotong kain kecil yang bertulisan, kemudian Song Ji memasukkannya ke dalam saku bajunya.

Siau Po tertawa terbahak-bahak, lalu disepaknya Kek Song keras-keras. "Menggelindinglah kau kepada nenek luarmu!"

Tubuh Kek Song terhempas, lalu menggelinding di atas pasir. Beberapa orang wisu segera membimbingnya bangun lalu membungkus jari telunjuknya yang luka, Mereka juga memondongnya ke arah perahu kecil. 

Tentu saja guru si pemuda, Pang Ci Hoan juga dibawa sekalian, sebentar saja perahu kecil itu sudah melaju ke arah lautan luas, Saking gelinya Siau Po tertawa terus, tapi begitu teringat nasib gurunya yang mati secara mengenaskan, dia segera menangis meraung-raung.

Setelah meninggalkan pantai sejauh beberapa depa, hati Kek Song baru terasa agak tenang. "Kita rebut saja kapal besar di sana, biar mereka tidak punya kesempatan untuk mengejar kita lagi," katanya.

Tapi begitu dekat dengan kapal, mereka baru melihat bahwa di atasnya tidak ada perlengkapan apa-apa. Layar tidak ada, dayung besar pun tidak ada. Pang Ci Hoan marah sekali.

“Tentu sudah disembunyikan oleh perempuan-perempuan busuk itu!" katanya.

Tanpa perlengkapan dan bekal makanan serta minuman, bagaimana mungkin mereka bisa bertahan di atas lautan?

"Biar kita kembali saja ke daratan aku akan memohon bocah busuk itu untuk memberikan sedikit bekal makanan dan minuman, Paling-paling aku harus menulis pernyataan hutang tiga ratus laksa tail lagi," kata Kek Song.

"Mereka hanya mempunyai sebuah kapal, sedangkan jumlah orang mereka juga banyak, mana mungkin mereka sudi membagi makanan untuk kita, Lagipula, aku yakin bahwa mereka memang sudah merencanakan semua ini. Biar harus mati ditelan ikan, aku juga tidak sudi memohon belas kasihan dari mereka!" teriak Pang Ci Hoan.

Mendengar nada suara gurunya yang begitu tegas, Kek Song tidak berani membantah lagi. Terpaksa dia memerintahkan anak buahnya untuk mengayuh perahu kecil itu ke arah lautan luas.

Siau Po beramai-ramai dapat melihat perahu Kek Song dilajukan ke arah kapal, namun setelah melihat di atasnya tidak ada perlengkapan apa-apa, mereka terpaksa berlayar pergi dengan perahu kecil, Diam-diam mereka merasa geli menyaksikan hal itu.

Su Cuan melihat Siau Po sebentar tertawa sebentar menangis, dia mengerti bahwa pemuda itu tentu masih berat ditinggalkan oleh gurunya, Oleh karena itu dia merasa ingin menghibur hati pemuda itu.

"The kongcu dari Taiwan ini orangnya licik sekali, Siau Po, tampaknya hutang yang tiga ratus dua puluh laksa tail itu juga tidak mungkin dibayar olehnya," katanya.

"Aku juga tahu bahwa dia tidak mungkin membayarnya," sahut Siau Po. Su Cuan tertawa.

"Biasanya otakmu selalu mempunyai akal bagus untuk menyelesaikan satu persoalan, tapi tadi dia menjual istrimu sendiri kepadamu senilai seratus laksa tail, tanpa pikir panjang lagi kau langsung menyetujuinya, Tampaknya cintamu kepada A Ko sudah mencapai taraf slebor, seandainya tadi dia meminta agar engkau yang menambahkan seratus laksa tail, kemungkinan kau juga akan menyetujuinya." Siau Po mengusap air mata di pipinya dengan menggunakan ujung lengan bajunya kemudian tertawa.

"Bodoh amat! Pokoknya asal setuju dulu, urusan lainnya bisa belakangan." "Akhirnya kau kok bisa merasa kalau kau sudah dirugikan olehnya?" tanya Pui Ie. Siau Po mengangkat bahunya sambil menggelengkan kepalanya.

"Sesudah Hong Ci Tiong terbunuh, pikiranku sudah agak kendor, otomatis lancar sendiri," sahutnya.

Padahal dia sendiri juga tidak pernah mencurigai Hong Ci Tiong, hanya saja selama ini dia selalu merasa di sisinya ada bahaya yang mengintai, tetapi kalau ditanya bahaya seperti apa, dia sendiri juga tidak dapat menjawabnya.

Tapi gerak-geriknya seakan diawasi oleh seseorang yang cukup dekat dengannya, itu saja, Sampai Hong Ci Tiong membongkar kedoknya sendiri kemudian mati terbunuh, Siau Po baru merasa seperti terlepas dari beban yang berat sehingga perasaannya juga jauh lebih ringan dari sebelum nya.

Dalam hati dia berpikir, -- Kemungkinan sudah lama aku merasa takut terhadap maling tua yang satu ini, hanya saja aku tidak pernah menyadarinya! --

Yang lain-lainnya berdiri termangu-mangu, sebagian besar musuh mereka sudah mati, dan sisanya sudah kabur, maka mereka baru merasa betapa sunyinya pulau ini. 

Siau Po sendiri merasa kakinya sudah tidak tahan untuk berdiri lebih lama lagi sehingga perlahan-lahan dia jatuh terduduk di atas tanah, Su Cuan membiarkan tubuh pemuda itu tengkurap, lalu dengan lembut dia mengurut jalan darah di punggung Siau Po yang tertotok oleh Hong Ci Tiong tadi.

Matahari tidak begitu terik lagi, gelombang di lautan pun tampak tenang, Dengan perasaan lelah, satu per satu perempuan-perempuan itu menjatuhkan diri untuk melepaskan lelah di atas pasir. 

Yang pertama-tama terdengar adalah suara dengkuran Siau Po, namun lambat laun para perempuan itu pun ikut tertidur saking lelahnya.

Kurang lebih satu kentungan kemudian, Pui le lah yang mula-mula terjaga, Dia menuju pondok tempat tinggal Siau Po untuk menyiapkan beberapa macam hidangan setelah selesai, dia membangunkan yang lainnya untuk bersantap bersama-sama.

Di dalam ruangan itu telah dipasang dua batang obor dari dahan pohon Siong, sehingga suasananya jadi terang benderang, Delapan orang itu duduk mengelilingi meja sambil bersantap. Sesudah selesai, Pui Ie dan Song Ji membereskan piring mangkok untuk dicuci di belakang pondok. Siau Po mengedarkan matanya dari Su Cuan sampai ke A Ko. Tampak masing- masing mempunyai kelebihan. Ada yang cantik jelita, ada yang manis, ada yang enak dipandang, ada yang lembut dan ada juga yang lincah. 

Hatinya menjadi gembira sekali pikirannya juga tenang, jauh berbeda dengan suasana hati ketika ia satu tempat tidur dengan ketujuh perempuan itu di Li Cun Wan tempo hari, Sembari tertawa lebar dia berkata.

"Tempo hari aku pernah menamakan pulau ini Tong Sip to (Pulau makan semua), Rupanya aku memang sudah punya firasat, bahwa kalian bertujuh bersedia menjadi istriku. Ternyata semua ini sudah kehendak Yang Kuasa sehingga bagaimana pun tidak dapat diingkari lagi. Mulai sekarang kita berdelapan akan hidup seperti di khayangan, panjang umur bagai para Dewata di pulau ini."

"Siau Po, kata-kata itu tidak baik diucapkan, maka lain kali jangan menyebut- nyebutnya lagi," tukas Su Cuan.

Siau Po segera tersadar, dia tahu kalau Su Cuan tidak mau mendengar kata-kata yang sering digunakan Hong Kaucu, maka dia segera menyahut.

"Baik, baik, Kata-kata itu memang tidak cocok, aku saja yang suka mengoceh sembarangan."

"Apabila berhasil pulang ke Taiwan dengan selamat, Sie Long maupun The Kek Song pasti akan membawa orang-orangnya untuk membalas dendam, Kita tidak bisa tinggal di sini lama-lama, sebaiknya kita pergi saja," kata Su Cuan pula.

Yang lainnya menyetujui pendapatnya.

"Cuan cici, kalau menurut pendapatmu kemana kita harus pergi?" tanya Pui Ie. Su Cuan melirik kepada Siau Po, sambil tersenyum .

"Untuk hal ini sebaiknya kita tanyakan kepada Tuan Besar Wi Siau Po," sahutnya. Siau Po tertawa.

"Kau memanggilku Tuan Besar?" tanyanya.

"Kalau bukan Tuan Besar benar-benar, mana mungkin bisa makan semuanya?" sahut Su Cuan puIa.

Siau Po tertawa terbahak-bahak.

"Namaku kan Siau Po, sedangkan Siau artinya kecil, sebetulnya aku lebih cocok dipanggil Tuan kecil, malah sekarang ada yang menjuluki aku Tuan Besar!" Pandangan matanya mengedar, lalu melihat para perempuan itu masih menunggu jawabannya, Setelah merenung sejenak, dia berkata lagi.

"Kita tidak mungkin kembali ke Tionggoan, sedangkan jarak Sin Liong to dengan pulau ini terlalu dekat, pasti jejak kita akan ketahuan Kita harus pergi ke tempat yang aman dan terpencil.

Namun tempat yang aman dan terpencil pasti tidak ada penghuninya, dan tentu saja tidak ada kesenangan sedangkan tempat yang menyenangkan pasti banyak orangnya, Apalagi kesenangan Siau Po justru berjudi, berfoya-foya, nonton sandiwara, makan minum yang enak, setiap hari bisa mencuci mata (melihat wanita cantik) bahkan kurang satu saja sudah tidak seru baginya.

Tempat yang menyediakan berbagai fasilitas untuk memenuhi kegembiraannya tentu kota-kota besar seperti Pe King atau Yang-ciu. Yang lainnya masih belum cukup memenuhi syarat.

Membayangkan berbagai kesenangan ini, rasa bakti dalam hatinya timbul seketika. "Sebetulnya, kita bisa berkumpul bersama-sama di sini sudah termasuk hal yang 

menyenangkan, entah bagaimana keadaan ibuku yang kesepian seorang diri?" 

katanya.

Hampir semua perempuan-perempuan yang mendampinginya tidak pernah tahu perihal ibunya, Melihat Siau Po masih punya sedikit rasa bakti, mereka pun merasa ikut senang.

"Di mana ibumu sekarang?" tanya mereka serentak Ada pula yang berpikir.

- ibumu toh mertuaku, biar bagaimana aku harus mencari jalan agar kita dapat melewati kehidupan bersama-sama! --

Siau Po menarik nafas panjang.

"lbuku ada di gedung Li Cun Wan, Yang-ciu," sahutnya.

Mendengar kata-kata "Li Cun Wan, Yang-ciu”, kecuali Kian Leng kongcu, yang lainnya terkejut sekali, Ada yang menundukkan kepalanya, dan ada pula yang memalingkan wajahnya.

"Hah? Li Cun Wan di Yang-ciu? Kau pernah mengatakan bahwa itulah tempat yang paling menyenangkan di dunia ini. Kau juga pernah berjanji akan mengajakku ke sana!" seru Kian Leng kongcu. Pui Ie tersenyum.

"Dia membohongimu. jangan percaya ocehannya, tempat itu... tidak beres," katanya. "Kenapa tidak beres?" tanya Kian Leng kongcu, "Apakah kau sudah pernah ke sana? Eh, kenapa tampang kalian semuanya aneh?"

Tanpa dapat menahan diri lagi Pui Ie tertawa geli. Kian Leng kongcu segera meraih pundak Bhok Kiam Peng sambil bertanya dengan suara merayu.

"Adikku yang baik, bagaimana kalau kau yang menceritakannya kepadaku?"

Wajah Bhok Kiam Peng jadi merah jengah, "Itu... itu tempat pelacuran," sahut gadis itu akhirnya.

Sang Tuan Puteri masih belum mengerti juga, "Mengapa ibunya ada di Li Cun Wan, tempat pelacuran itu? Dengar orang bilang, itu kan tempat bersenang-senangnya laki- laki hidung belang!" Pui Ie tersenyum.

"Dia kan selamanya suka mengoceh yang bukan-bukan, kalau kau percaya setengah patah ucapannya saja, maka setiap hari kepalamu bisa pusing," katanya. 

Tempo hari ketika berada di Li Cun Wan, kecuali Tuan Puteri yang menggantikan kedudukan si Moler tua (Permaisuri palsu), yang lainnya pun semua ada di depan mata, Kegalakan Kian Leng kongcu tidak kalah oleh Mao Tung Cu, tapi tidak sekejam ibunya lagipula dia jauh lebih muda dan cantik. 

Dalam hal ini, Siau Po merasa beruntung dengan takdir hidupnya. Yang Kuasa memang mengasihinya, seandainya sekarang yang menemaninya di pulau ini bukan sang Tuan Puteri tetapi ibunya, entah apa yang harus dilakukannya? 

Kemungkinan akhirnya dia akan bernasib seperti Lo Hong ya (Kaisar tua), yakni pergi ke Ngo Tay san untuk mencukur rambut menjadi pendeta, Tapi, apabila dia memang harus menjadi pendeta, biar bagaimana ketujuh istrinya ini tetap akan dibawa serta.

Melihat mimik wajah keenam perempuan yang pernah bersama-samanya di Li Cun Wan, dia tahu mereka tentu sedang mengenangkan kembali kejadian malam itu.

-- Malam itu gelap sekali, aku sembarangan nemplok ke sana ke mari, Pada waktu itu aku sendiri tidak tahu siapa yang kebagian duluan dan siapa yang belakangan. Di perut A Ko dan Su Cuan sudah ada benih dariku, jadi sudah dua orang yang ketahuan. Rasanya masih ada satu lagi, tapi siapa kira-kira orangnya? Ah, pelan-pelan aku bisa mencari tahu! -pikirnya dalam hati.

Membayangkan hal itu, kembali dia tersenyum simpul.

"Seandainya kita tinggal di pulau ini untuk selamanya, rasanya kita juga tidak perlu takut kesepian Cuan cici, Kongcu, A Ko, dalam perut kalian sudah ada keturunanku, entah siapa lagi di antara kalian yang sedang hamil, katakan saja terus terang sekarang!" Begitu mendengar ucapannya, wajah keempat perempuan yang lain langsung berubah merah.

"Aku tidak! Aku tidak!" seru Bhok Kiam Peng.

Cin Ju melihat ekor mata Siau Po melirik kepadanya, maka dia langsung mendelik. “Tidak!" katanya lantang.

"Song Ji, rasanya usaha kitalah yang berhasil," ujar Siau Po.

Song Ji segera menghambur untuk bersembunyi di sudut pondok itu. "Tidak, tidak!"

Siau Po segera tersenyum kepada Pui Ie.

"Pui cici, bagaimana dengan engkau? Ketika kau datang ke Li Cun Wan tempo hari, perutmu kan diganjai bantal dan pura-pura jadi orang bunting? Jangan-jangan sebelumnya kau juga sudah punya firasat?"

Pui Ie tidak dapat menahan kegelian dalam hatinya sehingga dia tertawa terkekeh- kekeh.

"Thay-kam tidak tahu mampus, aku toh tidak pernah... begitu... denganmu, mana mungkin. "

"lya, betul Su Ci, Cin cici, adik Song Ji maupun aku tidak pernah menyembah langit bumi bersamamu mana mungkin punya anak? Kau memang jahat! Kapan kau menyembah langit dan bumi bersama cici Cuan, Kongcu serta cici A Ko? Mengapa kau tidak pernah mengatakan apa-apa? Kau juga tidak mengundang kami menikmati arak kebahagiaanmu?" tukas Bhok Kiam Peng.

Gadis yang satu ini masih polos sekali Dalam pikirannya, hanya laki-Iaki dan perempuan yang sudah menyembah langit dan bumi yang ada kemungkinan punya anak.

Mendengar kata-katanya yang lugu, yang lainnya tertawa semakin geli Sembari tersenyum Pui Ie merangkul pinggang gadis itu.

"Sumoay, kalau begitu malam ini kau boleh menyembah langit dan bumi dengannya agar kalian bisa menjadi suami istri," katanya.

"Mana bisa? Di sini kan tidak ada jembatan bunga? Aku sering melihat pengantin wanita, mereka mengenakan tudung kepala berwarna merah dan dihiasi berbagai perhiasan, mereka juga mengenakan pakaian berwarna merah yang lebar dan besar, Di sini toh tidak ada persediaan apa-apa," sahut Kiam Peng. Su Cuan tertawa.

Tidak menggunakan berbagai peradatan begitu juga tidak apa-apa, Kita petik saja beberapa kuntum bunga lalu kita rangkai menjadi mahkota untuk dipasang di atas kepalamu, Kan sama saja?"

Siau Po melihat ketujuh perempuan itu saling berolok-olok dalam suasana rukun, namun hatinya sendiri masih gundah.

-- Siapa yang satu lagi? -- pikirnya terus berputar - Mungkinkah A Ki? Aku ingat pernah memondongnya ke sana ke mari, tapi rasanya kemudian aku meletakkannya di atas kursi, aku tidak memondong-nya ke atas ranjang, Tapi malam itu, perempuan yang ada di sana memang sudah kelewat banyak, bisa jadi aku sendiri kelupaan saking keblingernya serta memondong A Ki ke tempat tidur juga. 

Kalau dia benar-benar mengandung anakku, bocah itu kemudian hari terpaksa menjadi Pangeran semuanya Beres di Mongolia. Ah! Mungkinkah si Moler tua? 

Celaka! Kalau benar-benar dia, berarti calon anakku juga sudah terbunuh di tangan Kui Heng Su sekalian! --

Terdengar Bhok Kiam Peng berkata, "Biarpun kita bisa menyembah langit dan bumi di sini, toh seharusnya Pui cici yang terlebih dahulu melakukannya."

“Tidak, kau kan seorang Siau Kuncu, tentu saja kau yang harus melakukannya terlebih dahulu," sahut Pui Ie.

"Kita kan dari pihak negara yang dikalahkan, untuk apa menyebut-nyebut panggilan Kuncu lagi?" kata Kiam Peng.

Pui Ie tertawa.

"Kalau begitu, biar adik Song Ji yang menyembah langit bumi terlebih dahulu dengannya jarak waktu yang kau habiskan bersamanya kan paling lama? Kalian sudah sering merasakan susah dan senang bersama-sama. Kau juga sudah sering mengorbankan diri demi kepentingannya, tentu saja kedudukanmu mempunyai tempat yang istimewa dalam hatinya," katanya kemudian.

Wajah Song Ji semakin merah padam.

"Coba katakan lagi! Aku akan pergi sekarang juga!" sahutnya pura-pura mengancam.

Song Ji sengaja melangkah ke pintu, tapi baru beberapa langkah sudah ditarik dan dipeluk oleh Pui Ie.

Su Cuan tertawa kepada Siau Po.

"Siau Po, kau sendirilah yang seharusnya mengambil keputusan," katanya. "Urusan bersembahyang kepada Langit dan Bumi, nanti saja kita bicarakan lagi, Besok kita harus memakamkan jenasah guruku terlebih dahulu," sahut pemuda itu.

Mendengar ucapannya, perempuan-perempuan itu langsung tertegun, Kalau menilik sikap Siau Po selama ini, siapa pun tidak ada yang mengira kalau dia begitu menghormati gurunya sehingga bisa mengeluarkan kata-kata tadi.

Tapi siapa nyana ucapan yang keluar dari mulutnya kemudian toh menunjukkan watak aslinya.

"Kalian semua merupakan istriku, Tidak ada sebutan yang tua atau yang muda, Kelak, setiap malam kalian harus main lempar dadu, siapa yang menang, dialah yang akan menemaniku malam itu." Sembari berkata dia mengeluarkan dua butir dadu dari saku bajunya, Ditiupnya dadu itu satu kali lalu dengan gerakan manis dilemparkannya ke atas meja.

Kian Leng kongcu mencibirkan bibirnya.

"Memang kau kecakepan? Siapa kalah dialah yang akan menemanimu," katanya. Siau Po tertawa,

"Betul, betul. Seperti main kepalan tangan, siapa yang kalah harus minum secawan arak. Nah, sekarang siapa yang bersedia mulai duluan?"

Suasana di atas pulau malam itu pun jadi romantis sekali. Suara tawa dan canda terus bergema, Siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam permainan dadu, rasanya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut pokoknya sejak hari itu, acara melempar dadu menjadi kebiasaan rutin dalam kehidupan keluarga Wi. 

Sejak dulu Siau Po sendiri memang senang bermain dadu, tentu saja dengan taruhan uang, semakin besar semakin menyenangkan baginya, Namun sekarang dirinyalah yang menjadi benda taruhan, Mula-mula memang terasa menggemaskan tapi lama kelamaan dia menjadi jenuh juga. 

Biar bagaimana tenaganya sebagai seorang pemuda toh terbatas, untung saja istrinya yang berjumlah tujuh orang itu kebanyakan berpengertian.

Keesokan harinya, sampai siang mereka baru terjaga, Begitu bangun, Siau Po memerintahkan ke-tujuh istrinya untuk membantunya memakamkan jenasah Tan Kin Lam. 

Melihat tanah merah sedikit demi sedikit mulai menimbuni tubuh gurunya, Siau Po tidak dapat menahan kesedihan hatinya lagi, dia menangis tersedu-sedu. Perempuan- perempuan yang lain juga segera menjatuhkan diri berlutut sebagai penghormatan mereka yang terakhir. Sebetulnya hati Kongcu agak kurang rela. Dalam bayangannya dia toh seorang Tuan Puteri dari Kerajaan yang besar, mengapa dia harus berlutut di hadapan makam seorang pengkhianat negara? Namun dia juga sadar, walaupun derajatnya yang terlihat sangat mulia, tapi kemungkinan dalam hati Siau Po sendiri kedudukannya paling rendah. 

Bayangkan saja, kesetiaannya tidak dapat menandingi Song Ji, kecantikannya tidak bisa melebihi A Ko, ilmu silatnya tidak bisa menandingi Su Cuan, kecerdasannya tidak melebihi Pui Ie, kelembutannya tidak bisa menandingi Cin Ju, keluguan dan kelincahannya tidak dapat menyamai Bhok Kiam Peng. 

Kelebihannya sendiri justru mulutnya yang judes dan hatinya yang egois, Kalau sekarang dia tidak turut memberikan penyem-bahan penghormatan terhadap jenasah Tan Kin Lam, kemungkinan Siau Po akan memusuhinya secara terang-terangan. 

Malah ada kemungkinan dia berbuat curang dengan dadunya sehingga setiap malam kalau main lempar dadu, dialah yang akan mendapat kemenangan terus-menerus.

Itulah sebabnya si Tuan Puteri terpaksa berlutut, namun dalam hatinya dia berkata.

-- Pemberontak, oh Pemberontak, aku adalah seorang Tuan puteri yang kedudukannya mulia sekali sebetulnya tidak baik aku menyembahyangimu, sebab kemungkinan arwahmu di alam baka tidak bisa memperoleh kedamaian, bahkan semakin sial! --

Selesai memberikan penghormatan terakhir, beramai-ramai mereka bangkit Tiba-tiba terdengar seruan Pui Ie.

"Aduh! Kemana kapal kita? Kemana kapal kita?"

Mendengar teriakannya yang penuh kepanikan, yang lainnya segera mengalihkan pandangannya ke arah lautan. Tampak tempat kapal mereka berlabuh sudah kosong melompong, kapalnya sendiri sudah hilang tak berbekas, Semuanya menjadi terkesiap melihat kenyataan ini. Mereka segera mempertajam pandangannya, di kejauhan terlihat langit biru terbentang luas, juga tampak puluhan ekor camar terbang ke sana ke mari.

Su Cuan segera berlari ke atas bukit dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling pulau tersebut Di sebelah manapun tidak terlihat bayangan kapal itu, Pui Ie segera menghambur ke arah goa tempat mereka menyimpan berbagai keperluan kapal, Namun rasa terkejutnya semakin menjadi-jadi karena semuanya juga hilang tidak berbekas.

Semuanya berkumpul menjadi satu. Untuk beberapa saat mereka hanya dapat saling memandang, Tadi malam mereka terus bersenda gurau sampai larut sekali, siapa pun tidak ada yang terpikir untuk saling aplus menjaga. Tentu tukang perahu yang mencuri semua peralatan lalu menggunakan kapal itu untuk melarikan diri. Dengan demikian, mereka terpaksa tinggal terus di pulau itu, entah kapan lagi ada kesempatan untuk pergi dari sana, Siau Po membayangkan Sie Long ataupun The Kek Song yang akan membawa pasukan mereka untuk membalas dendam. 

Apabila hal itu sampai terjadi, bagaimana mereka sanggup mempertahankan diri dari serangan musuh? seandainya Su Cuan, A Ko dan Kongcu melahirkan bayi prematur, toh jumlah mereka juga tidak lebih dari sebelas orang!

Su Cuan yang usianya paling tua dan paling banyak pengalaman segera menghibur yang lainnya.

"Nasi toh sudah jadi bubur, panik juga tidak ada gunanya, Perlahan-lahan kita cari jalan keluarnya nanti."

Mereka kembali ke dalam pondok, seperti sudah berjanjian sebelumnya, mereka beramai-ramai menyumpahi si tukang perahu, Tapi biar memaki sampai mulut berbusa sekalipun, tetap saja tidak ada keajaiban yang muncul, akhirnya mereka menjadi capek sendiri

"Sekarang yang harus kita utamakan adalah ber-siap-siap menghadapi datangnya serangan para tentara," kata Su Cuan kepada Siau Po. "Bagaimana pendapatmu?"

"Kalau para tentara kembali melakukan penyerangan jumlahnya kali ini pasti jauh lebih besar, Kalaupun mengadu kekerasan, kita pasti kalah, jalan satu-satunya hanya mencari tempat untuk bersembunyi kita hanya dapat berharap mereka tidak segera menemukan kita. Dengan demikian mereka bisa menduga kalau kita sudah meninggalkan tempat ini dengan menggunakan kapal," sahut Siau Po. 

Su Cuan menganggukkan kepalanya, "Apa yang kau katakan memang benar, Para tentara pasti tidak menduga kalau kapal kita sudah dicuri orang."

Hati Siau Po menjadi lega seketika, "Kalau aku menjadi Sie Long, tentu aku tidak akan kembali lagi ke pulau ini. Dia tentu mempunyai pikiran bahwa selesai pertarungan tempo hari, kita pasti sudah mengangkat kaki meninggalkan tempat ini jauh-jauh, tidak mungkin kita tetap berdiam di sini menunggu datangnya para tentara untuk menangkap kita," katanya.

"Tapi bila dia melapor kepada Hongte koko, beliau pasti akan mengutus orang untuk melihat-lihat tempat ini, Biarpun kita sudah pergi, siapa tahu ada jejak yang kita tinggalkan sehingga mereka dapat menelusuri ke mana tujuan kita," ujar Kian Leng kongcu.

Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Sie Long tidak akan menyampaikan laporan kepada Sri Baginda," katanya yakin. Mata Kian Leng kongcu langsung mendelik. "Kenapa?" "Kalau dia menyampaikan laporan, tentu Sri Baginda akan menanyakan mengapa dia tidak meringkus kita? Kalau sampai hal ini terjadi, dia terpaksa mengaku bahwa dia telah dikalahkan oleh kita. Apa bukan cari penyakit sendiri namanya," kata Siau Po.

Su Cuan tertawa.

"Tepat sekali. Kemampuan Siau Po menjadi pejabat pemerintahan memang tidak perlu diragukan lagi, Ada saja akalnya untuk mengelabui atasan, sudah bukan rahasia lagi."

Siau Po juga ikut tertawa.

"Kalau Cuan cici mau menjadi pejabat pemerintahan aku yakin dalam waktu yang singkat bisa menduduki jabatan yang tinggi dan kaya mendadak."

Su Cuan tersenyum simpul, dan dalam hati dia berpikir, -- Kelakuan para pengikut Sin Liong kau juga banyak macamnya, toh kenyataannya tidak jauh berbeda dengan politik pemerintahan -

"Kalau Sie Long memberikan laporan, kemungkinan Sri Baginda akan memakinya sebagai manusia yang tidak berguna, itu sih tidak apa-apa. Coba bayangkan kalau Sri Baginda mengutusnya kembali dengan membawa pasukan besar dan kali ini harus berhasil meringkus kita. sedangkan dalam pikiran Sie Long kita tidak mungkin masih berdiam di pulau ini, Bukankah dia akan melakukan perjalanan yang sia-sia? Bukankah penyakit yang dicarinya semakin bertambah? Kan lebih baik dia diam-diam saja dan menikmati rejeki yang diperolehnya," kata Siau Po pula.

Para perempuan yang mendengarkan uraiannya sadar bahwa apa yang dikatakannya memang beralasan Oleh karena itu keresahan dalam hati mereka pun sirna seketika.

"Bagaimana dengan bocah The Kek Song?" tanya Kian Leng kongcu tiba-tiba. "Mungkin dia masih merasa sakit hati terhadap perlakuanmu tempo hari.”

Sembari berbicara matanya melirik kepada A Ko. Yang lainnya tentu tahu makna yang dalam dari kata-katanya, Dia pasti bermaksud The Kek Song mana mungkin bersedia menyerahkan A Ko yang cantik begitu saja? Kemungkinan besar dia akan membawa sejumlah pasukan untuk merebutnya kembali."

Wajah A Ko menjadi merah padam, Kepalanya tertunduk dalam-dalam.

"Ka... lau dia datang lagi, a... ku akan bunuh diri. pokoknya aku tidak akan ikut dengannya," kata-katanya tegas sekali.

Hati Siau Po gembira sekali Dia ingat selama ini A Ko yang paling membencinya, Malah dia harus menggunakan berbagai macam akal busuk baru berhasil mendapatkan perempuan yang satu ini.  Sekarang, mendengar sumpahnya yang berat, hati Siau Po langsung berbunga- bunga, malah jauh lebih gembira sekalipun sekarang dia bisa menemukan sepuluh buah kapal Tanpa malu-malu dia segera memeluk perempuan itu dan mencium pipinya berkali-kali.

"0h... A Ko ku sayang, dia pasti tidak berani datang lagi, Dia toh punya hutang sebanyak tiga ratus dua puluh laksa tail, masa nyalinya begitu besar sehingga berani menemui bossnya?"

"Aduh, genitnya!" ejek Kian Leng kongcu, "Dia pasti akan datang lagi dengan membawa pasukan besar Pada saat itu dia akan mengambil kembali tanda hutangnya, Dia juga akan merebut A Ko darimu, lalu akan menjual ayahmu, ibumu, nenekmu, kakekmu kepadamu, yang jumlah seluruhnya tujuh juta laksa tail dan meminta engkau melunasinya saat itu juga."

Semakin didengar, kepala Siau Po semakin pusing, Mending kalau urusan ini bisa diselesaikannya, Tapi dia tahu Kek Song memang licik, kalau benar apa yang dikatakan si Tuan Puteri dan dia memang bisa menyediakan orangnya, bagi Siau Po masih tidak apa-apa. 

Tapi sejak lahir dia sendiri tidak tahu siapa ayahnya, mana mungkin dia bisa tahu siapa nenek dalamnya? seandainya Kek Song bersikeras, tanpa menyerahkan orangnya maka harganya menjadi sepuluh kali lipat, bukankah masalahnya bisa semakin runyam? Hatinya langsung berubah kesal.

"Jangan bicara lagi!" teriaknya, "Kalau si budak Kek Song berani kembali lagi ke mari, untuk pertama-tama aku tidak akan menjual siapa pun kecuali satu orang yang nilainya pating tinggi, yakni adik kandung kaisar sekarang, Aku juga menghadiahkan seorang bayi dalam perutnya, harganya sepuluh juta laksa tail, Dihitung-hitung dia masih harus mengembalikan tiga ratus ribu laksa tail kepadaku, Jual beli ini masih menguntungkan pihakku!"

Kian Leng kongcu langsung membuka mulutnya lebar-lebar dan nangis berkoak- koak, kemudian menutup mukanya dan lari ke dalam pondok. Bhok Kiam Peng segera menyusul perempuan itu untuk menghiburnya. Dia mengatakan bahwa Siau Po tidak mempunyai niat seperti itu, dia hanya menakut-nakuti saja, Tuan puteri tidak perlu bersedih karena persoalan kecil ini.

Setelah melampiaskan kekesalan hatinya, Siau Po sendiri jadi uring-uringan, dia tidak bisa mengemukakan pendapat apa-apa lagi. Yang lainnya terpaksa menanyakan saran Su Cuan, Mereka segera berpencar mencari tempat untuk bersembunyi Akhirnya mereka menemukan sebuah goa besar di tengah-tengah hutan. 

Mereka segera membersihkannya untuk dijadikan tempat tinggal, Pondok yang ada dibiarkan begitu saja. Mereka berharap dapat mengelabui Sie Long seandainya orang itu kembali lagi. Melihat keadaan pulau yang sunyi senyap, Sie Long pasti beranggapan mereka sudah pergi. Mula-mula mereka masih berdebar-debar, khawatir pasukan tentara benar-benar akan mendatangi tempat itu, Siang malam mereka naik ke atas bukit untuk melihat lautan di sekitar pulau tersebut. 

Namun setelah beberapa bulan, jangan kata tentara kerajaan atau pasukan dari Taiwan, bahkan perahu serta kapal nelayan pun tidak pernah terlihat. Lambat laun hati mereka menjadi tenang, Mereka beranggapan Sie Long benar-benar tidak berani mencari penyakit sedangkan perahu kecil yang ditumpangi Kek Song kemungkinan tidak dapat bertahan lama dan akhirnya tenggelam di tengah lautan.

Kedelapan orang itu hidup di tengah pulau dengan menangkap ikan, berburu, membidik burung atau pun memetik buah-buahan. Setiap hari mereka mengatur tugas secara bergantian Kehidupan mereka pun cukup tenang, tidak ada keributan lagi seperti sebelumnya. 

Untung binatang liar di pulau itu cukup banyak, sedangkan ikan-ikan di pinggiran pantai juga mudah didapat Apalagi mereka rata-rata berilmu lumayan sehingga selama ini tidak pernah mengalami kesulitan untuk menyambung hidup.

Musim gugur telah berlalu diganti dengan musim salju, Udara semakin hari semakin dingin. Perut Kongcu, A Ko, dan Su Cuan pun semakin hari semakin membesar. Pui Ie dan Song Ji sibuk mengumpulkan kulit binatang serta membuat pakaian untuk mereka berdelapan, Pakaian untuk ketiga bayi juga sudah dibuat sehelai demi sehelai.

Setengah bulan kembali berlalu, Tiba-tiba salju turun dengan deras, Dalam waktu satu hari satu malam saja, seluruh permukaan pulau itu sudah berubah warna menjadi putih bersih karena tertutup timbunan salju.

Kedelapan orang itu sudah mengadakan persiapan sejak jauh hari, Daging kering serta manisan atau asinan buah disimpan sebagai penangsal perut jumlahnya jauh melebihi cukup untuk menjalani hidup menghadapi musim dingin. 

Tidak ada pekerjaan yang dapat mereka lakukan, kecuali menyalakan api unggun dan mengobrol ngalor ngidul, Tentu saja topik pembicaraan mereka tidak bergeser dari ketiga bayi yang tidak lama lagi akan terlahir ke dunia.

Malam itu tidak turun salju lagi, tapi angin tetap bertiup dengan kencang. Hembusan angin yang dingin tidak henti-hentinya menerpa masuk melalui mulut goa. Song Ji terus menambahkan kayu kering di atas api unggun agar udara dingin tidak terlalu menusuk. 

Siau Po sendiri segera mengeluarkan biji dadunya agar para perempuan itu dapat bertaruh.

Lima perempuan sudah mendapat bagian untuk melemparkan dadu. Bhok Kiam Peng mendapat nilai terkecil yakni tiga titik, Tampaknya malam ini dia sudah pasti kalah. Cin Ju tertawa.

"Adik Kiam Penglah yang kalah, aku tidak perlu melempar dadu lagi," katanya. Bhok Kiam Peng juga ikut tertawa.

“Tidak bisa! Cepat lempar dadu itu! Siapa tahu kau mendapat nilai dua titik."

Dengan apa boleh buat Cin Ju mengambil dadu-dadu itu dari atas meja kain yang hanya dialaskan di atas lantai, Ditiupnya dadu itu satu kali mengikuti gaya Siau Po. Baru saja dia hendak melemparkannya, angin dingin menghembus dari luar Sayup-sayup terdengar suara panggilan seseorang.

Wajah mereka langsung berubah hebat Padahal tadinya Su Cuan sudah tertidur, dia pun ikut terduduk seketika. Kedelapan orang itu saling memandang. Untuk sesaat muka mereka menjadi pucat pasi. Kiam Peng menghembuskan nafas panjang lalu menyusup ke dalam pelukan Pui Ie.

Tidak lama kemudian, angin bertiup lagi, kali ini lebih kencang dari yang sebelumnya, otomatis suara orang yang terpantul pun lebih jelas.

"Siau Kui cu, Siau Kui cu, di mana engkau? Siau Hian cu sudah rindu sekali kepadamu!" Demikianlah kata-kata yang menyusup ke dalam gendang telinga mereka.

Siau Po langsung mencelat bangun, dan dengan suara gemetar dia berkata. "Siau... Hian... cu datang mencari aku!"

"Siapa Siau Hian cu itu?" tanya Kian Leng kongcu. "Dia... dia. " .

Nama Siau Hian cu hanya dia sendiri yang tahu, yakni sebutan bagi Kaisar Kong Hi. Dia tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun, Dan dia yakin Kaisar Kong Hi sendiri terlebih tidak mungkin menceritakannya kepada siapa pun, namun tiba-tiba ada orang yang menyebutkan nama itu. Dan suaranya demikian lantang!

Seluruh tubuhnya gemetar, dia merasa urusan ini benar-benar aneh, Jangan-jangan Kaisar Kong Hi sudah wafat dan sekarang arwah kaisar itu mendatanginya. 

Untuk sesaat, tanpa terasa air matanya mengalir dengan deras, ia segera menghambur ke luar dari dalam goa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar