Kaki Tiga Menjangan Jilid 70

Jilid 70

Keempat panglimanya sangat gembira mendengar kata-kata Siau Po tadi, Mereka tahu kalau Siau Po adalah orang kesayangan Sri Baginda, dan juga tahu apa saja yang dikatakan Siau Po pastilah akan diterima oleh Sri Baginda, maka mereka yakin akan mendapatkan hadiah yang sangat besar dari bagindanya.

Pada mulanya Siau Po khawatir kalau-kalau Cin Ju akan ikut dengan para wanita mengungsi ke tempat yang aman, dia ingin gadis itu menyertainya ke Yang-ciu, tetapi ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya sebagai alasan. 

Setelah ia melihat gadis itu mengganti pakaiannya dengan pakaian laki-laki dan berjalan bersama See To Peng, hatinya gembira tidak kepalang.

Dalam perjalanan Siau Po selalu mencari kesempatan untuk dapat bermesraan dengan Cin Ju. Akan tetapi wanita itu selalu berjalan berdekatan dengan para saudara- saudaranya, Setiap kali Siau Po melihat kepada Cin Ju, wanita itu hanya tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun. 

Siau Po ingin sekali berkata sepatah dua patah kata dengan gadis itu, tetapi dari awal perjalanan hingga akhir Siau Po tidak ada kesempatan untuk itu. 

Hal itu menjadikan hatinya resah, seandainya hanya sebagai seorang pembesar kerajaan Ceng tentulah Siau Po sudah berterus terang berkata secara terbuka pada Cin Ju. Tetapi karena kedudukannya sebagai seorang Hio Cu dari Thian Te hwee, maka ia merasa tidak enak jika terlihat oleh saudara-saudaranya yang lain. Oleh karena itu ia menahan keinginan hatinya dan menunggu kesempatan yang lebih baik.

Sepanjang perjalanan banyak yang menyambut mereka dan kesemuanya itu adalah para pembesar setempat. Mereka pun banyak yang memberikan hadiah pada Siau Po dan tentu saja Siau Po tidak menolaknya. 

Ketika menuju ke selatan, bawaan mereka semakin berat saja, Siau Po mengatakan pada saudara-saudaranya dari Thian Te hwee bahwa ada baiknya ia menerima hadiah- hadiah itu, toh kesemuanya itu adalah hasil memeras dan rakyat yang dilakukan oleh para pembesar-pembesar itu, dan kemungkinan kelak ada faedahnya khususnya untuk pergerakan mereka. Ci Thian Coan dan yang lainnya hanya mengangguk setuju.

Belum satu hari mereka tiba di Yang-ciu, dua pembesar setempat yaitu Ma Kit Kiu dan juga Kian Leng serta para pembesar yang lainnya segera menemui Siau Po. Mereka mengadakan acara penyambutan pada Siau Po dan rombongan jarak mereka hanya beberapa Li dari perbatasan kota.

Pada mulanya Siau Po ditempatkan di salah satu rumah pembesar kota itu, tetapi karena penjagaan di sana terlalu ketat, maka anak muda itu tidak merasa kerasan tinggal di tempat itu, Siau Po mengatakan pada pembesar itu bahwa ia akan pindah ke tempat yang lain. 

Tujuannya pindah tempat tinggal ialah Siau Po ingin dekat dengan bekas tempat tinggalnya yang dahulu yakni rumah pelesiran Li Cun Wan, Siau Po ingin membanggakan kedudukannya yang sekarang ini dan sebenarnya Siau Po berniat akan berhenti pada usia yang masih sangat muda itu.

Siau Po berniat akan membangun tempat pelesiran yang lebih indah dan juga sangat mewah di Li Cun Wan dari kekayaannya sekarang, dan hal itu pastilah ia akan merasakan hidup senang sampai akhir tua nanti.

Ada satu lagi niatnya dalam hati yakni akan memetik semua bunga-bunga obat yang ada di depan kuil Tan Ci Si, karena bunga-bunga obat kota Yang-ciu memang sangat terkenal. Di kuil itu tumbuh dengan subur bunga-bunga obat yang jumlahnya sangatlah banyak sekali, bahkan besar-besar dan jenisnya berlain-lainan.

Siau Po ingat sewaktu ia berusia sepuluh tahun ia pernah bermain-main di depan kuil itu dengan serombongan kawan-kawannya. Melihat bunga-bunga yang cantik itu Siau Po memetik dua kuntum untuk dimainkannya, namun perbuatannya itu telah diketahui oleh salah satu Hwesio dari kuil tersebut. Dua kuntum bunga yang telah dipetiknya itu diambil kembali dan bahkan Siau Po terkena dua kali tamparan oleh orang itu.

Siau Po meronta-ronta menendang, memukul bahkan sampai menggigit Hwesio itu. Akan tetapi karena tubuhnya tubuh Siau Po masih kecil dan usianya pun masih sangat muda maka ia dengan mudah dapat didorong oleh Hwesio itu sehingga jatuh terjerembab di atas tanah dan ditambah dengan tendangan beberapa kali dari orang itu.

Melihat hal itu rombongan kawan-kawan Siau Po menjadi sangat kalap, Mereka ikut menyerbu Hwe Ciu itu, dan beberapa orang di antaranya ada yang mengambil bunga- bunga obat itu.

Hwesio yang melihat anak-anak itu mengambil bunga-bunga obat itu ia menjadi bingung, maka lalu berteriak-teriak histeris.

Mendengar teriakan Hwesio itu kawan-kawannya yang berada di dalam kuil itu berlari ke luar dan membawa kayu di tangannya, Mereka sampai di tempat itu para Hwesio itu  langsung menyerang kawan-kawan Siau Po, sehingga anak-anak itu kena terhajar beberapa kali. 

Yang paling celaka yaitu Siau Po, karena sesudah terkena tendangan ia juga terkena beberapa kali pukulan di kepalanya sehingga kepalanya menjadi benjoI sebesar telur ayam.

Ketika kembali ke tempat pelesiran Li Cun Wan Siau Po dipukul beberapa kali oleh ibunya, dan dihukum tidak boleh makan malam, Meskipun pada akhirnya Siau Po berhasil mencuri makanan dari dalam dapur, tetapi peristiwa memetik bunga di kuil Tan Ci Si membuatnya menjadi dendam dalam hati.

Pada hari kedua Siau Po datang ke kuil itu dari jauh ia sudah memaki-maki dalam hati.

"Dari Ji Lay Hud ibu para Hwesio sampai ke cucu Adam aku bersumpah, pada suatu hari Lohu akan memetik habis bunga-bunga di kuil ini. Lohu juga akan meratakan kuil ini dengan tanah dan mcmbakarnya sampai habis. Pada saat itu kalian baru tahu siapa sebenarnya aku."

Siau Po terus saja memaki sampai serombongan Hwesio mengejarnya ke luar, Melihat banyaknya Hwesio yang ke luar, Siau Po langsung mengambil langkah seribu.

Peristiwa itu telah lama berlalu dan Siau Po pun telah melupakannya, Akan tetapi kali Siau Po kembali lagi ke Yang-ciu, melihat suasana dan keadaan sekitarnya ia jadi teringat kembali peristiwa itu.

Siau Po langsung mengatakan pada salah seorang perwira di Yang-ciu, bahwa ia mempunyai niat untuk mengunjungi kuil tersebut, dan kalau perlu akan tinggal di sana.

Perwira tersebut lalu berpikir dalam hati.

-- Tan Cie Sie adalah tempat, para umat Budha dan dilarang untuk orang umum dan itu sudah berlaku sejak ribuan tahun yang lalu, dan tak pernah ada salah seorang pembesar yang ada tinggal di dalamnya, takutnya hal ini dapat menimbulkan keonaran -

Setelah berpikir demikian perwira itu lalu berkata.

"Jawab Tayjin, kuil Tan Cie Sie memang memiliki pemandangan yang indah sekali, Pie Cit sungguh sangat kagum terhadap pandangan Tayjin yang sangat tinggi. Akan tetapi dalam kuil Tan Cie Sie ada larangan meminum-minuman arak dan juga sembarangan bertindak, takutnya hal ini dapat membuat Tayjin menjadi tidak leluasa."

"Mengapa pusing-pusing?" kata Siau Po. "Bukankah kita dapat memindahkan semua patung-patung pemujaan yang ada di dalam kuil itu? Maka dengan demikian sudah tidak ada larangan lagi, dan kita dapat berbuat sesuka hati kita." Perwira itu terkejut mendengar kata-kata Siau Po.

"Bagaimana mungkin patung-patung pemujaan itu boleh dipindahkan karena hal ini dapat menimbulkan bencana." katanya dalam hati, "Apalagi rakyat di kota Yang Cu sangat menghormati dewa-dewa yang dipuja dalam kuil itu, kemungkinan mereka semua akan memberontak pada para pemimpin di kota itu!"

Karena itu perwira itu segera memberi hormat pada Siau Po dan berkata dengan suara yang perlahan.

"Sahut Tayjin! Kota Yang Cu memang terkenal dengan bunga-bunganya. Karena di sepanjang perjalanan Tayjin telah capai dan lelah, maka sesampainya di tempat ini hamba tentunya akan memberikan pelayanan yang baik, Untuk itu hamba telah memanggilkan beberapa orang penyanyi wanita yang mereka itu sangat cantik. 

Mereka juga pandai memainkan kecapi dan menyanyi, tentunya Tayjin akan merasa puas, namun karena di dalam kuil tempat tidurnya keras, dan para Hwesio tidak enak dipandang, maka hal ini tidak akan menyenangkan Tayjin." katanya.

Siau Po berpikir, bahwa apa yang dikatakan perwira itu memang ada benarnya. "Kalau menurut pendapatmu kira-kira di mana aku dapat tinggal, sehingga hatiku 

menjadi se-nang?" tanyanya sambil tertawa.

"Di dalam kota Yang-ciu, ada seorang saudagar yang bernama Hou Yan. Rumah saudagar itu penuh dengan bunga-bunga dan ia mempunyai niat untuk melayani Tayjin dengan baik. 

Sejak mendengar kedatangan Tayjin ia telah mempersiapkan segala sesuatunya, tetapi karena pangkatnya terlalu rendah, maka ia tak dapat berkata apa-apa. Seandainya Tayjin tidak keberatan, cobalah tinggal barang beberapa hari di sana!" jawab perwira itu.

Orang She Ho ini memang seorang yang sangat kaya raya, Ketika Siau Po masih kecil, sering bermain di luar tembok halamannya, dan dari dalam sering terdengar suara kelentingan yang merdu. 

Hati Siau Po kagum mendengar suara itu, sayangnya ia tak ada kesempatan untuk melihat ke dalam. Siau Po ingin tahu bunyi-bunyian apa yang terdengar sampai di luar itu, karena itu ia lalu berkata.

"Bagus! Coba saja kita menginap di sana barang beberapa hari, kalau memang tidak cocok kita dapat pindah ke tempat yang lainnya, Di kota Yang-ciu saudagar garam memang banyak sekali, kita dapat tinggal di sini beberapa hari dan di sana beberapa hari tentulah mereka tidak akan miskin karenanya." Rumah Hou Yan itu ternyata sangat indah, di halamannya saja terdapat batu-batuan yang dibuat menyerupai gunung-gunung dan dipahat dengan indah, Bunga-bunganya sangat serasi karena ditata dengan rapi dan baik sekali. 

Ada jembatan kecil yang di bawahnya terdapat air mengalir sungguh pemandangan yang menyegarkan, sekali lihat saja Siau Po sudah dapat mengira-ngira sudah seberapa banyak uang yang telah dihabiskan untuk membangun tempat itu, Dalam hati Siau Po merasa sangat kagum, Anak muda itu berjanji bahwa pada suatu hari kelak ia akan membuat rumah yang seperti itu.

Kemudian Siau Po memerintahkan para tentara untuk masuk ke dalam dan membawakan barang-barangnya. Thio Yong dan yang lainnya tinggal di sana sedangkan yang lainnya yaitu para tentara dan opsir-opsir bawahan berpencaran tinggal di rumah-rumah para pembesar setempat dan juga rumah-rumah para penduduk.

Sebenarnya keindahan dan juga kemewahan kota Yang-ciu sudah terkenal sejak lama, Pada jaman dinasti Tong ada pepatah yang mengatakan. Hamparan mutiara sejauh sepuluh Lie, dua puluh empat jembatan menghiasi bukit Bahkan sampai jaman dinasti Ceng kehidupan para saudagar-saudagar garam di sana semakin subur saja. Kehidupan rakyatnya pun semakin makmur saja. 

Ketika terjadi pertempuran antara kerajaan Beng dan kerajaan Ceng banyak sekali para pemudanya yang gugur sehingga sampai jaman Kaisar Kong Hi di tahun keenam, jumlah pemuda yang ada hanya sembilan ribu delapan ratus jiwa, Akan tetapi belakangan ini menanjak kembali, bukan saja keadaannya yang semakin membaik, kehidupan rakyatnya pun semakin makmur.

Para hari kedua para pembesar di kota Yang-ciu, dan para bawahannya, semuanya datang menemui Siau Po. sedangkan Siau Po sendiri setelah melihat orang-orang itu segera ia mengeluarkan firman raja tersebut Siau Po tidak mengetahui apa yang ditulis dalam firman itu, tetapi sebelumnya ia telah meminta salah seorang temannya untuk membacakannya sehingga ia telah menghapal seluruh isinya dengan baik. 

Untung saja daya ingatnya bagus, sehingga ia tidak salah dalam membaca, Bahkan sewaktu ia membacakan firman itu Siau Po memegangnya secara terbalik, untung saja tidak ada seorang pun yang melihatnya.

Para pembesar setempat mendengar bahwa Sri Baginda akan membebaskan kota Yang-ciu dari pajak selama tiga tahun, dan akan memberikan tunjangan hadiah kepada para janda veteran perang, serta akan membangun kuil Tiong Liat Su dan akan menghormati para pahlawan seperti Suko Pat dan yang lainnya. 

Semuanya mengucapkan selamat panjang umur pada sang Baginda dan mereka sangat berterima kasih sekali.

Setelah selesai membacakan firman itu Siau Po berkata: "Tayjin sekalian, ketika saudaramu ini ingin ke luar dari kota raja, Sri Baginda telah berpesan bahwa propinsi Yang-ciu, banyak menghasilkan rempah-rempah, bahkan pada tahun belakangan ini semuanya panen dengan subur, Hamba diperintahkan para para petani dan peladang setempat untuk mengurusnya secara baik-baik jangan sampai timbul hal-hal yang tidak diinginkan. 

Hal ini untuk kemakmuran rakyat itu sendiri Kalian lihat, Baginda begitu sangat memperhatikan para rakyat-rakyat kota Yang-ciu. Kita semua sebagai bawahannya sudah sepantasnyalah untuk bekerja dengan sepenuh hati untuk membalas kebaikannya," kata Siau Po.

Para pembesar setempat segera menyetujui akan tetapi dalam hati mereka mengeluh.

Sebenarnya kata-kata yang diucapkan oleh Siau Po itu mengingatkan mereka semua agar jangan sampai berdua hati, Di samping itu jika mereka mengatakan pemberontakan tentunya si Baginda akan mengambil tindakan yang tegas. 

Siau Po sendiri tidak mungkin dapat mengatakan kata-kata tersebut kalau bukan So Ngo Ta yang telah mengajarkannya.

Dengan turunnya firman dari raja maka dengan sendirinya para pembesar itu melaksanakannya, mereka mulai membangun kuil yang dimaksudkan itu. Dan yang sebagian lagi mencari para janda veteran perang, untuk diberikan tunjangan dari Sri Baginda raja, Beberapa perwira menuju perkampungan kota Yang-ciu itu, mereka menyerahkan tunjangan berupa uang, beras dan kebutuhan yang Iain-lainnya.

Tentulah urusan ini tidak akan sampai satu atau dua hari dapat selesai. Pada waktu yang senggang Siau Po di Yang-ciu hanya bersenang-senang saja, apa lagi dalam beberapa hari ini para pembesar tidak henti-hentinya mengantarkan hadiah pada Siau Po, ada yang berupa uang emas, uang perak dan barang-barang berharga yang lainnya.

Setiap hari Siau Po teringat pada ibunya yang berada di Li Cun Wan, dan karenanya ia sangat ingin menjenguknya, Akan tetapi di sana-sini orang banyak yang mengundang Siau Po. Hal itu tak pernah henti-hentinya, dapat dikatakan tidak ada kesempatan sama sekali, apa lagi ia sebagai seorang pembesar kerajaan Ceng, yang mempunyai ibu seorang perempuan penghibur di rumah pelesiran Li Cun Wan, tentu saja rahasia ini sama sekali tidak boleh terbongkar. 

Karena jika sampai terbongkar urusan ini benar-benar dapat membuat Siau Po malu dan hilang harga diri serta kehormatannya, dan juga dapat menyangkut nama-nama para pembesar kerajaan Ceng.

Siau Po sudah lama menduduki kedudukannya. Sudah cukup lama dan sama sekali ia belum pernah menjemput ibunya dari Li Cun Wan ke kota raja untuk bersenang- senang.  Bahkan Siau Po membiarkan ibunya terjerumus ke dalam lembah kenistaan Hal ini dapat dikatakan kalau Siau Po adalah seorang yang tidak berbakti pada orang tuanya.

Dalam hati ia berpikir, lebih baik ia menunggu kesempatan yang baik untuk mengambil ibunya dan mengangkatnya dari lembah yang hina itu.

Dengan sembunyi-sembunyi Siau Po mengganti pakaiannya dan merubah dandanannya, ia menyamar sebagai rakyat biasa dan pergi ke Li cun Wan, kemudian memerintahkan pada beberapa tentaranya untuk mengantarkan ibunya ke kota raja, agar dapat menetap di sana.

Hal ini haruslah dirahasiakan Siapa pun tak boleh mengetahuinya,

Dahulu Siau Po selalu mengambil keputusan yang gila-giIaan. Asalkan telah melihat keadaan yang tidak menguntungkannya, ia lalu mencari akal untuk meloloskan diri. 

Tidak disangka-sangka pangkatnya semakin lama malah semakin tinggi, dan semakin lama hatinya pun semakin senang, Akhirnya Siau Po mulai terbiasa dengan kehidupan mewah seperti sekarang ini. Sekarang anak muda itu berpikir untuk menjemput ibunya ke kota raja, tampaknya ia memang tidak ingin melepaskan jabatannya ini.

Beberapa hari kemudian salah seorang pejabat kota Yang-ciu yakni Gouw Cie Yong, berniat akan menjamu Siau Po. ia pernah mendengar dari salah seorang perwira kalau Siau Po ingin sekali berkunjung ke kuil Tan Cie Sie dalam hati ia berkata:

"Kuil Tan Cie Sie memang sangat indah, tetapi yang paling menarik adalah beberapa bunga yang berada di halaman kuil itu. Bunga-bunga itu dapat dijadikan obat seandainya pembesar itu ingin mengunjungi kuil tersebut pastilah ia sangat senang dengan pemandangan bunga-bunga!" 

Karena itu ia lalu memerintahkan beberapa orang ahli untuk membuat karangan bunga yang besar-besar dan dengan jenis yang bermacam-macam, bahkan tempatnya saja terbuat dari ukiran kayu yang sangat indah. 

Ada lagi yang sangat khusus dibuat seperti pemandangan alam seperti jembatan dengan air terjun yang suaranya menggemerisik, hal itu memang sangat indah, kesemuanya itu ditaruh di kamar tamu sehingga terlihat semakin serasi.

Siapa yang menyangka kalau Siau Po itu tidak terpelajar. Mereka tidak mengetahui akan hal itu, bahkan begitu Siau Po sampai di tempat orang itu, sebagai kata-kata yang pertamanya.

"Lho! Mengapa banyak sekali bunga-bunga di sini? Juga terdapat banyak meja yang sengaja dipajangkan bunga? Oh! Aku tahu tentu para Hwesio dari kuil Tan Cie Sie akan mengadakan upacara sembahyang, mereka meletakkan bunga-bunga ini tentulah untuk memuja setan-setan yang kelaparan Bukankah demikian?" kata Siau Po. Jerih payah Gouw Cie Yong menjadi sia-sia. Wajah orang itu menjadi murung, tetapi ia tetap berkata.

"Ah! Tayjin memang pandai berbicara! sayangnya pandangan Pie cit terlalu rendah, Andaikata dekorasi ruangan ini tidak sesuai dengan kesukaan Tayjin mohon dimaafkan!" katanya.

Siau Po hanya menganggukkan kepalanya, ia melihat para tamu sudah berdiri dengan penuh hormat kepadanya, Siau Po melambaikan tangannya pada beberapa orang kemudian ia duduk pada tempat yang telah disediakan.

Para pembesar setempat semuanya ikut hadir pada undangan itu, Selain itu masih ada beberapa orang yang lainnya yang mereka itu bukanlah para pembesar, melainkan terdiri dari tokoh masyarakat dan sebagian lagi para saudagar garam yang kaya raya itu.

Kota Yang-ciu terkenal dengan berbagai macam hasil bumi, garam, biji pala atau pun lada. Meskipun Siau Po sendiri adalah penduduk asli kota setempat, tetapi pengetahuannya sangat kurang sekali jadi dia pun tidak begitu mengetahuinya.

Setelah meminum teh sejenak, matahari perlahan-lahan turun ke ufuk barat, sekarang cahayanya tepat menyinari bunga-bungaan yang ada di ruang itu sehingga kelihatannya sangat indah sekali, seperti hamparan bunga-bunga yang sangat luas. 

Akan tetapi Siau Po yang melihatnya malah semakin keki, karena hal itu mengingatkannya pada kuil Tan Cie Sie tempat ia mendapat penghinaan yang sangat besar, yaitu dipukuli habis-habisan oleh para Hwesio.

Rasanya Siau Po ingin mencabut semua bunga-bunga itu dan membakarnya sampai habis, Akan tetapi ia harus memiliki alasan yang tepat untuk menghancurkan bunga- bunga itu, barulah ia dapat turun tangan, Tepat pikirannya sedang melayang-layang, salah seorang pembesar yang bernama Ma Yue berkata.

"Wi Tayjin, kalau mendengar nada suaranya tampaknya Wi Tayjin pernah tinggal di daerah sini, Daerah Wi Yang memang sangat subur karenanya banyak orang-orang terkenal yang berasal dari daerah sini, demikian juga bunga-bunganya." katanya.

Para pembesar semua mengetahui kalau Siau Po adalah salah seorang pemimpin dari bendera kuning, justru Ma Jue yang mendengar nada bicaranya sehingga ia demikian yakinnya, karena itu ia lalu mengambil sesuatu untuk diserahkan pada Siau Po. sedangkan pada saat itu Siau Po sedang berpikir untuk menghancurkan karangan bunga-bunga itu, tanpa sadar ia memaki.

"Dari seluruh kota Yang-ciu kaulah orang yang paling buruk!" kata Siau Po dengan nada mendongkol. Ma Yue diam saja ia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan perkataan Siau Po itu.

Sedangkan walikota Mu Cian Yan, adalah seorang yang berpendidikan tinggi, maka ia langsung berkata.

"Wi Tayjin, pandangan Wi Tayjin memang sangat luas, mereka itu tidak menghargai para pembesar negeri dan sering berkata secara menebak saja," katanya.

Mendengar perkataan gubernur itu Siau Po merasa gembira sekali.

"Benar sekali. Benar Wi Tayjin adalah seorang yang berpendidikan tentulah 

mengetahui segala hal dari pada aku yang bodoh ini." kata Siau Po sambil tertawa.

"Wi Tayjin jangan berkata demikian hamba tidak berani untuk menerimanya!" kata sang gubernur itu. "Pada jaman kerajaan Ceng, ada cerita tentang Wang Hue Pikka Louw, bukankah cerita tersebut juga berasal dari kota Yang-ciu?" tanyanya pula.

Siau Po paling senang jika mendengar cerita, maka dengan cepat ia bertanya. "Cerita apakah itu? Dan apa yang dimaksud dengan Wang Hue Pikka Louw itu?" 

tanyanya.

"Cerita ini berasal dari kuil Ciok Tok Sie di kota Yang-ciu dan hal itu terjadi di jaman dinasti Tong. Ciok Tok Sie itu juga disebut Box Lan Wan, sedangkan penyair Wang Hue pada usia mudanya berasal dari keluarga yang sangat miskin sekali,.." katanya.

"Oh rupanya orang itu bernama Wang Hue! Saya kira Kuang Hue (Sehelai kain kuning)!" kata Siau Po dalam hati.

Terdengar Mu Cian Yan melanjutkan perkataannya lagi.

"Wang Hue tinggal di Box Lan Wam, setiap kali jika waktu makan telah tiba lonceng selalu dibunyikan oleh salah seorang Hwesio sebagai tanda, Begitu mendengar suara lonceng itu dibunyikan maka Wang Hue cepat-cepat berlari menuju ruang makan dan ikut makan bersama para Hwesio. 

Itulah sebabnya para Hwe Sio sangat membencinya. Pada suatu hari mereka menggunakan akal, semua Hwesio itu makan lebih awal dan dengan cepat, Setelah selesai makan mereka barulah membunyikan bel itu. 

Wang Hue yang mendengar suara bel itu segera lari ke ruang makan, akan tetapi tampaknya semua orang sudah bubar, bahkan makanan yang berada di atas meja semuanya telah habis. "

Wi Siau Po menggebrak meja keras-keras, ia sangat marah sekali. "Hwesio kurang ajar!" bentaknya. Mu Cian Yan segera berkata.

"Benar, satu kali makan saja memangnya habis berapa, Pada waktu itu hati Wang Hue sangat kesal sekali, maka ia lalu menulis sebuah syair di atas tembok yang bunyinya sebagai berikut, Yang kuasa telah membedakan antara timur dengan barat, akan tetapi para Hwesio telah merubah jam makannya, tanpa mengindahkan peraturan yang telah disetujui dan dibuat sejak dahulu kala. "

Siau Po menganggukkan kepalanya.

"Lalu bagaimana?" tanya Siau Po kemudian.

"Dikemudian hari Wang Hue menjadi seorang pembesar." kata Mu Cian Yan melanjutkan pembicaraannya, "Kerajaan mengutusnya untuk melihat keadaan kota Yang-ciu dan ia kembali lagi ke tempat kuil itu. Tentu saja para Hwesio menyambut kedatangannya dengan hormat. 

Pada saat itu ia langsung menuju ruang makan dan ia ingin melihat para tembok itu apakah syair yang ditulisnya masih ada atau tidak, Ternyata ia melihat tembok itu telah ditutupi oleh sebuah bingkai dari batu pualam dan kedua baris itu tepat melingkari syair yang ditulisnya itu. 

Maka dengan demikian tulisan syairnya tidak akan rusak. Wang Hue merasa terharu sekali melihat kenyataan itu, kemudian ia menambahkan lagi dua baris di belakangnya, yang berbunyi: Tiga puluh tahun yang lalu debu melumuri muka, dan ternyata tulisan tak berharga telah di kelilingi batu kumala." kata Mu Cian Yan yang melanjutkan ceritanya itu.

"Tentu Wang Hue menangkap para Hwesio itu bukan?" tanya Siau Po yang sedang penasaran itu.

"Wang Hue adalah seorang pahlawan, dan ia adalah seorang laki-laki yang gagah." sahut Mu Cian Yan. "la tidak mengambil hati urusan yang telah berlalu itu."

Dalam hati Siau Po berkata:

"Kalau aku jadi dia mana mau aku harus melepaskan mereka dengan demikian mudahnya! Akan tetapi jika aku harus menulis syair aku tidak memiliki keahlian seperti itu, aku hanya pandai membohong dan tak dapat aku menulis, bahkan membaca pun aku sulit."

Sambil meminum teh yang telah disuguhkan itu, Siau Po mengawasi keadaan di sekitar ruangan itu. Matanya terus saja melihat-lihat ruangan, Siau Po melihat Tong Cin Huk yang sedang meminum arak seteguk-seteguk dalam cangkir yang besar, tampaknya sangat menyenangkan sekali.

"Tong Cen Kuin! Kau pernah mengatakan apabila kuda-kuda yang digunakan minum obat, maka tenaganya akan jauh lebih besar! Bukankah demikian kau mengatakannya padaku?" kata Siau Po.

Sambil berkata demikian, Siau Po mengedipkan matanya sebagai isyarat.

Tong Cin Huk tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan perkataan Siau Po dan dengan tanda isyarat itu, maka ia berkata:

"Ini. Ini.,.!" katanya tersendat-sendat

"Sri Baginda sering bahkan selalu menggunakan kuda-kuda pilihan entah itu kuda Mongol, kuda Tibet atau pun kuda Sucuan dan kuda-kuda pilihan lainnya, Sri Baginda juga memesan agar kita dapat memelihara dan merawat kuda-kuda itu, bukankah demikian?" tanya Siau Po.

Kaisar Kong Hi memang menyukai kuda-kuda pilihan. Siau Po mengetahui akan hal itu begitu juga Cin Huk.

"Apa yang dikatakan Tayjin memanglah sangat benar." kata Cin Huk.

"Kau sangat tahu sifat-sifat kuda." kata Siau Po. "Ketika di kota Piecin, kau telah mengatakan apabila kuda-kuda yang digunakan dalam peperangan memakan bunga obat kota Yang-ciu, maka larinya dapat berlipat ganda. 

Sri Baginda demikian menyukai kuda, maka kaulah sebagai hamba-hambanya tentulah harus mengikuti keinginannya dan memenuhi kepuasan hatinya, Apabila kita memetik bunga-bunga obat di sini dan membawanya ke kota raja untuk diserahkan pada pengurus-pengurus kuda agar diberikan pada kuda pilihan itu, dan Baginda mengetahuinya tentulah ia merasa sangat senang sekali."

Para hadirin yang mendengarkannya menunjukkan mimik wajah yang aneh. Bunga obat yang tumbuh di kota Yang-ciu memang baru kali ini ia mendengarnya, Apa lagi melihat tampang Tong Cin Hok yang serba salah dan merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dikatakannya. 

Namun meskipun curiga mereka tidak berani berkata apa-apa. Apalagi sedikit-sedikit Siau Po membawa nama Sri Baginda, siapa lagi yang berani mencelanya atau membantah ucapannya itu.

"Pengetahuan Wi Tayjin sungguh sangat luas," kata Gouw Cie Yong. "Hal ini sungguh membuat kami merasa sangat kagum, Bunga-bunga obat ini sebenarnya  akarnyalah yang mempunyai manfaat. Ada yang mengatakan dapat meluruskan kembali darah-darah yang telah membeku. 

Dan mengapa bunga semacam ini diberi nama bunga obat tampaknya sejak jaman dahulu orang-orang telah mengetahui bahwa bunga ini dapat dijadikan obat yang sangat berkhasiat Kalau kuda-kuda memakan obat ini darahnya tentu akan beredar dengan cepat, hal ini membuat kuda-kuda itu dapat berlari sama dengan keledai, sekembalinya Wi Tayjin ke kota raja nanti hamba akan memerintahkan orang untuk memetik seluruh bunga-bunga obat di sini dan membawanya pulang ke kota raja."

Para pembesar yang lainnya yang mendengarkan perkataan Gouw Cie Yong, memaki-maki orang itu yang menurutnya sangat licik dan tidak tahu malu. Demi mengambil hati seorang pembesar dia tidak segan-segannya merusak pemandangan yang sangat indah di kota Yang-ciu.

Wi Siau Po lalu bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak.

"Gouw Tayjin memang pandai bekerja.... Bagus sekali.... Bagus sekali.. Ha.... Ha.   

Ha!"

Gouw Cie Yong merasa sangat bangga mendengar ucapan Siau Po, maka ia lalu memberikan hormat pada Siau Po sambil berkata.

"Terima kasih atas pujian Wi Tayjin!" katanya.

Wali kota Mu Cian Yan berjalan ke arah hamparan bunga-bunga, dan dari hamparan bunga yang banyak itu ia memetik sekuntum yang besar sekali, Kemudian ia kembali ke tempat duduknya, dengan kedua tangannya ia menyerahkan bunga itu pada Siau Po.

"Harap Wi Tayjin sudi menancapkan bunga ini di atas kopiah! Pie cit mempunyai sebuah cerita yang Wi Tayjin sudi mendengarkannya," katanya sambil tertawa.

Wi Siau Po yang mendengar kalau Mu Cian Yang akan bercerita ia menjadi senang sekali, Maka ia segera mengambil bunga itu dan tampak pada bunga itu terdapat sebuah garis merah tua sedangkan di bagian tengahnya terdapat serat-serat kuning keemasan.

Paduan warna yang sangat serasi sekali dan ia segera menancapkan bunga itu pada kopiahnya.

"Selamat kepala Wi Tayjin!" kata Mu Cian Yan. "Bunga obat ini mempunyai julukan Kim Tay Wi (Sabuk emas), jenis ini sungguh langka bahkan pada jaman dahulu sampai menjadi legenda rakyat dan terdapat pada buku-buku. Barang siapa yang dapat melihat Kim Tay Wi tersebut, maka kelak akan menjadi orang suci yang masuk ke dalam surga."

"Benarkah?" tanya Siau Po sambil tertawa. "Cerita ini berasal dari dinasti Song di daerah utara, Pada jaman itu Han Wie Kong yang menjaga kota Yang-ciu, Tepat di depan kuil Tan Cie Sie, di antara gerombolan bunga-bunga obat ini kebetulan sekali ada sebuah pohon yang sedang mekar dan jumlah bunganya hanya ada enam kuntum. 

Bunga itu mempunyai warna pinggir merah tua dan di tengah-tengahnya terdapat warna kuning emas. itulah bunga yang mendapat julukan Kim Tay Wie ini. Jenis bunga yang satu ini belum pernah ia lihat sebelumnya jadi ia beranggapan kalau bunga itu adalah bunga yang sangat langka. 

Ketika mendapatkan laporan dari bawahannya Han Wie Kong menjadi penasaran ia lalu memerintahkan salah seorang bawahannya untuk memetik bunga itu, dan membawakan untuknya, Hatinya sangat senang sekali, apa lagi jumlahnya ada empat kuntum. Kemudian terpikir olehnya untuk mengundang tiga orang tamu lagi agar dapat sama-sama menikmati keindahan bunga tersebut."

Dengan hati yang penasaran Siau Po menurunkan kembali kembang yang berada di kepalanya dan dilihatnya kembali bunga itu dengan teliti, ternyata memang sama dengan apa yang dikatakan oleh Mu Cian Yan.

Kalau diperhatikan dengan seksama bunga ini memang sangat langka sekali. "Pada saat itu di kota Yang-ciu terdapat dua orang yang sangat terkenal, yang satu 

bernama Ong Kui dan yang satu lagi bernama Ong An Ciok. 

Keduanya memiliki pandangan yang sangat luas dan pengetahuan yang sangat tinggi, sebab mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai pendidikan Han Wie Kong berpikir dalam hatinya, jumlah bunga seluruhnya ada empat kuntum sedangkan orangnya hanya ada tiga, seakan kecantikan yang kurang sempurna dia harus mengundang satu orang lagi, sehingga menjadi sama dengan jumlah bunga yang ada. 

Akan tetapi untuk mencari orang itu tidaklah mudah, apalagi ia tidak menginginkan orang yang sembarangan Kebetulan pada saat itu datanglah seorang bawahannya melaporkan bahwa telah datang seorang tamu yang bernama Tam Sin cie, yaitu seorang laki-laki yang gagah perkasa dan sangat terkenal, Han Wie Kong gembira sekali. 

Pada hari kedua ia mengundang semua tamunya untuk berkumpul di taman bunganya itu, dan ia memberikan masing-masing sekuntum bunga tersebut kepada para tamunya sehingga cerita ini menjadi legenda rakyat, dan akhirnya menurut cerita yang tersiar itu, keempat orang tersebut menjadi orang suci dan naik ke surga."

Wi Siau Po tertawa.

"Menyenangkan sekali! Keempat orang itu adalah orang-orang yang berpendidikan mereka dapat membuat syair dan dapat mengubah kata-kata menjadi indah. sedangkan  aku mana dapat melakukan kesemuanya itu, apalagi jika dibandingkan dengan mereka itu." kata Siau Po.

"Tidak dapat dikatakan demikian," kata Mu Cian Yan. "Pada jaman dinasti Cong memang banyak sekali orang-orang yang terpelajar tetapi tidak semua orang-orang itu dapat menjadi orang suci apalagi menjabat sesuatu yang tinggi atau menjadi menteri sedangkan kerajaan Ceng kita pada saat sekarang ini, sudah dapat kita bayangkan kalau kerajaan kita sudah menuju ke saat-saat kecermelangan dan akan merasakan seluruh dunia, Sri Baginda adalah orang yang berpandangan sangat luas, tentulah ia mengetahuinya mana pahlawan-pahlawan yang dapat diandalkannya itu."

Mendengar perkataan orang itu hati Siau Po menjadi sangat senang sekali. Tentu saja itu merupakan pujian untuk dirinya, sehingga tidak henti-hentinya ia menganggukkan kepalanya.

Mu Cian Yan yang melihat bahwa perkataannya itu mendapat sambutan yang sangat baik, segera melanjutkan kata-katanya tersebut.

"Wi Tayjin! Bunga Kim Tay Wie atau sabuk emas ini tidaklah selangka pada jaman dahulu itu, sekarang sudah banyak bermekaran di mana-mana. Akan tetapi mekarnya yang sekarang tepat sekali dengan kedatangan Wi Tayjin, itu bukanlah sesuatu yang sifatnya kebetulan, melainkan merupakan kehendak yang Maha Kuasa, Pie cit mempunyai sedikit pandangan, harap Wi Tayjin tidak keberatan jikalau Pie cit mengatakannya." kata Mu Cian Yan. 

"Harap aku diberikan petunjuk!" kata Siau Po. 

"Untuk memberikan petunjuk itulah hamba tidak berani. Akar bunga-bunga obat ini, di toko obat mana pun sekarang telah ada dan sudah banyak terjual. Andaikata Wi Tayjin akan memberikan makan pada kuda-kuda pilihan Sri Baginda raja tentulah akar-akar obat yang telah diolah, karena itulah yang banyak manfaatnya, Pie cit nanti akan memerintahkan pada beberapa orang untuk memesannya dan mengirimkannya ke kota raja untuk diberikan pada Wi Tayjin dan selanjutnya Wi Tayjin dapat memberikannya pada para pengurus kuda-kuda pilihan Sri Baginda raja, sedangkan bunga-bunga obat yang ada di sini harap Wi Tayjin mengingatnya, penyambutan mereka, Walau demikian semarak dapatkah hamba memohon agar Wi Tayjin membiarkannya untuk sementara waktu, seandainya di suatu hari nanti Wi Tayjin dapat berkunjung kembali ke kota Yang- ciu ini tentulah tidak menyenangkan jikalau seluruh daerah ini telah tandus, tanpa ada sekuntum bunga pun. 

Wi Tayjin adalah seorang yang terkenal, maka hamba yakin nama Wi Tayjin akan dikenang sepanjang masa, bahkan dapat seperti tokoh yang lainnya, Nama dan juga peran dari Wi Tayjin akan menjadi sangat menarik dan juga menjadi contoh dari para generasi yang akan datang dan mereka akan sangat menghormati Wi Tayjin." katanya.

Hati Siau Po menjadi sangat senang mendengarkan perkataan itu. "Kau katakan bahwa aku akan menjadi salah seorang tokoh cerita? Yang ada dalam legenda?" kata Siau Po.

"Benar." kata Mu Cian Yan. "Dan tentu saja seorang yang tampan dan juga gagah dalam memerankan tokoh Wi Tayjin, juga ada lagi beberapa orang yang memerankan berjanggut putih, bercambang hitam, berwajah bintik-bintik berhidung putih, dan yang lainnya sebagai kami-kami ini."

Mendengar perkataan itu para undangan tertawa terbahak-bahak dan Wi Siau Po sangat senang sekali.

"Lalu apa nama ceritera ini?" tanya Siau Po sambil tersenyum. Mu Cian Yan menoleh pada Ma Yue dan ia berkata.

"Dalam hal ini kita haruslah meminta pendapat dari saudara Ma!" katanya, Karena ia melihat sejak tadi Ma Yue diam saja, akhirnya ia menjadi tidak enak melihatnya.

Ma Yue tertawa.

"Kelak Wi Tayjin ingin mendampingi Sri Baginda, Dan hal ini sudah pasti akan menjadi suatu kenyataan Bagaimana kalau kami namakan cerita itu sebagai raja dan wakilnya yang sedang menikmati bunga-bunga?" katanya pula.

Para tamu yang mendengarkan pembicaraan itu segera bertepuk tangan tanda setuju.

Hati Siau Po menjadi senang sekali apalagi ia mendapatkan pujian dari kanan kirinya, Dan hal itu dapat menghilangkan kenangan pahitnya di masa lalu.

"Aku tidak percaya kalau hanya sekuntum bunga saja orang dapat menjadi seorang yang suci. Akan tetapi biarlah ada baiknya juga jika aku membiarkan bunga-bunga ini tumbuh di kota Yang-ciu. Setidaknya jikalau dihari tua nanti jika aku telah merasa bosan memangku jabatan ini aku akan tinggal di kota ini, dan aku dapat menikmati keindahan alam yang ada di daerah ini." kata Siau Po dalam hatinya.

Kemudian Siau Po berkata dengan tenang:

"Sudahlah! Sudah cukup kita membicarakan soal bunga-bunga itu. sekarang lebih baik kalian panggillah para penyanyi itu, aku akan mendengarkan sebuah lagu!" katanya.

Para pembesar yang lainnya segera mengingatkan Memang sejak semula Gouw Cie Yong sudah merencanakannya, maka ia lalu memberikan isyarat Tak lama kemudian terdengarlah dentingan-dentingan suara musik diiringi dengan hembusan wewangian yang entah dari mana datangnya. Semangat Wi Siau Po menjadi terbangun

"Pastilah ada banyak wanita yang cantik-cantik yang dapat dilihat!" katanya dalam hati.

Belum lama Siau Po berpikir demikian, keluarlah seorang gadis yang berjalan dengan lemah gemulai menuju taman bunga buatan itu, gadis itu membungkukkan tubuhnya sedikit, dan berkata dengan suara lantang.

"Siau Lie memberi hormat pada Tayjin semoga kesehatan Tayjin dalam keadaan baik-baik dan sekarang Siau Lie akan membawakan sebuah lagu." katanya dengan lembut.

Gadis itu berusia kira-kira di bawah tiga puluh tahun, tetapi tidak tergolong cantik sekali.

Seorang laki-laki yang duduk di sudut ruangan segera meniupkan serulingnya, dan gadis itu pun mulai bernyanyi

Gadis itu menyanyikan sebuah lagu lama yang sudah terkenal di kota Yang-ciu, Siau Po mendengarkannya, suaranya memang enak, tetapi hati Siau Po menjadi kurang sabar, karena ia toh bukan ingin melihat atau mendengarkan gadis itu bernyanyi melainkan hanya ingin melihat wanita-wanita yang cantik-cantik saja.

Setelah gadis itu selesai menyanyikan sebuah lagu lama itu, tampak masuk lagi seorang wanita yang lainnya, Wanita yang baru saja masuk itu usianya kira-kira tiga puluh lima tahun, suaranya bagus dan lagaknya pun cukup luwes, tetapi Siau Po memandangnya dengan enggan.

Setelah selesai bernyanyi, kemudian wanita itu memberi hormat pada Siau Po dan berlalu kembali sambil tertawa.

"Kedua penyanyi-penyanyi itu adalah penyanyi-penyanyi yang sekarang sedang terkenal di kota Yang-ciu, Lagu-Iagu yang dinyanyikannya juga lagu-lagu yang sudah terkenal di daerah ini, sekarang bagaimana pendapat Wi Tayjin!" kata Gouw Cie Yong.

Apabila Wi Siau Po akan mendengarkan lagu atau nyanyian ada syaratnya, Yang pertama haruslah gadis yang cantik-cantik, kedua lagunya haruslah lagu yang romantis, dan ketiga lagak penyanyinya haruslah kegenit-genitan.

Dahulu kala Siau Po pernah mendengar Tan Wan Wan menyanyi dan menari. Dalam keadaan terpaksa saja ia mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan itu sampai selesai.

Sekarang kedua orang penyanyi itu sama sekali tidak menarik hatinya, entahlah apa pula yang dinyanyikannya, Siau Po sengaja bersin keras-keras ketika mendengar pertanyaan Gouw Cie Yong, akan tetapi ia menjawab: "Lumayan. Lumayan, hanya saja ketinggalan jaman sedikit, sehingga aku tidak 

begitu berselera." katanya setengah memuji.

"Benar. Benar." kata Gouw Cie Yong. "Lagu yang dinyanyikannya memang lagu 

yang berasal dari dinasti Tong, dan pada hakekatnya memang ketinggalan jaman, Ada sebuah lagu yang baru dirancang oleh salah seorang pemuda yang baru saja terkenal di kota Yang-ciu ini, dan benar-benar menyegarkan."

Gouw Cie Yong segera menepuk tangan, maka tak lama kemudian muncullah seorang penyanyi ke hadapannya.

"Jikalau Wi Siau Po mengatakan ketinggalan jaman, maksudnya yang ketinggalan jaman itu adalah penyanyinya, Akan tetapi Gouw Cie Yong salah tanggap, bukannya menyajikan penyanyi yang cantik malah ia menyajikan penyanyi yang lainnya, sedangkan Siau Po tidak mengetahui kalau lagu itu lagu pada jaman dinasti Tong atau pun dinasti yang lainnya, Siau Po hanya mendengar Gouw Cie Yong mengatakan sangat menyegarkan.

Siau Po mengira kalau kali ini gadis yang akan menyanyikan lagu itu adalah gadis seperti yang dimaksudkan.

"Yah! jikalau penyanyinya dapat menyegarkan apa salahnya, aku melihatnya!" katanya dalam hati.

Siau Po tidak memperhatikan penyanyi yang baru saja masuk. Akan tetapi setelah Siau Po melihatnya, hawa amarahnya serasa langsung meluap ke atas, rasanya ia ingin berteriak dengan keras. 

Ternyata penyanyi yang ini usianya kurang lebih lima puluh tahun bahkan pada rambutnya sudah mulai banyak ditumbuhi uban, mukanya sudah keriput dandanannya sangat medok, bibirnya diolesi gincu yang tebal, benar-benar sangat menyebalkan.

Suaranya memang masih bagus, tetapi Siau Po tidak ingin mendengarkan nyanyian itu, dan kaIaulah perlu ingin menutup kupingnya, Siau Po sangat kesal sekali, tetapi karena ia diundang oleh sekian banyak para pembesar, maka tidak enak hati jika ia mengumbar kemarahannya. 

Terpaksa Siau Po harus menahan diri sampai penyanyi itu menyelesaikannya.

Setelah orang itu selesai menyanyikan lagu, dan kembali ke ruang dalam, Siau Po langsung saja memohon diri untuk kembali pada tempat kediamannya yaitu di rumah salah seorang saudagar garam.

Sekembalinya ke rumah saudagar garam itu, Siau Po lalu masuk ke dalam kamarnya, sebelumnya ia memerintahkan pada penjaga agar terus menjaga, dan jikalau ada orang yang akan bertemu dengannya katakan kalau ia ingin beristirahat Tidak perduli tamu mana pun yang datang ia tidak mau menemuinya. Setelah merapatkan pintu itu Siau Po mengganti pakaiannya dengan pakaian yang rombeng yang dibeberapa bagian banyak terdapat noda-noda minyak sehingga kotor tak karuan ia pun mengganti sepatunya dengan sepatu yang sudah koyak di sana-sini. Tidak cukup hanya sampai di situ ia pun melumuri wajahnya dengan abu.

Setelah selesai berdandan Siau Po mengaca di cermin itu untuk melihat dirinya sendiri, Tampak dirinya sudah kembali seperti seorang kacung yang bekerja di rumah pelesiran, ia sangat senang dengan penyamaran yang macam itu.

Song Ji membantu Siau Po memakai pakaiannya juga mendandaninya, Dan ia pun jadi tertawa begitu melihat wajah Siau Po dan juga penampilannya berubah, maka ia pun berkata.

"Siangkong, penampilan Siangkong kali ini benar-benar berubah, Apakah pada jaman dahulu menteri Touw Liong To yang menyamar sebagai seorang pengemis, juga mempunyai tampang yang seperti ini?" tanyanya.

"Hampir sama." jawab Siau Po. "Akan tetapi pada dasarnya wajah Touw Liong To itu memang hitam sehingga tidak perlu untuk dilumuri abu lagi."

"Siangkong, bagaimana kalau aku menemanimu?" tanya Song Ji. "Kalau kau pergi seorang diri aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada dirimu tidak ada orang yang akan membantumu."

"Tempat yang akan aku masuki ini tidak boleh dimasuki oleh gadis-gadis cantik seperti kamu." kata Siau Po sambil tertawa.

Sambil berkata Siau Po mulai menyanyi lagu yang ada di rumah pelesiran itu, sedangkan Song Ji hanya diam saja.

"Raba sini raba sana, raba ratu cantik Song Jiku tersayang yang elok...!"

Sambil bernyanyi demikian Siau Po mengulurkan tangannya untuk mengusap-usap tubuh Song Ji, sedangkan Song Ji menjadi malu wajahnya berubah menjadi merah padam, ia tertawa terkekeh-kekeh sambil ia mengegoskan wajahnya.

Siau Po mengambil segumpal cek dan segenggam uang recehan yang kemudian dimasukkannya ke dalam sakunya, Kemudian ia memeluk Song Ji dan mencium pipi kiri dan kanannya, Setelah itu Siau Po menyelinap ke luar dari pintu belakang.

Para penjaga yang melihat seseorang berjalan ke luar rumah itu segera membentaknya, "Siapa kau?!" bentaknya.

"Aku adik misan dari keluarga Houw, apa urusannya dengan kalian?" jawab Siau Po. Para perwira itu tertegun Mereka masih belum dapat mengerti hubungan keluarga macam apa yang telah disebutkan oleh Siau Po itu, dan juga mereka tidak mengenali pembesar itu. sementara itu Siau Po sudah menyelinap ke luar lewat pintu belakang.

Jalanan besar dan jalanan kecil di kota Yang-ciu, tidak ada satu pun yang tidak dikenalinya, Dapat dikatakan dengan memejamkan matanya pun Siau Po tidak akan mengalami salah jalah.

Tidak lama kemudian Siau Po telah sampai di pinggir telaga yang jaraknya tidak jauh dari Li Cun Wan. Sayup-sayup mulai terdengar suara ketupan dan suara seruling serta nyanyian yang sumbang.

Dengan mengendap-endap, Siau Po berjalan menuju bagian luar kamar ibunya, Ketika dia melongok ke dalamnya, dia melihat kamar itu kosong, Tahulah dia bahwa ibunya sedang menerima tahu. Dalam hati dia berkata.

-- Dasar ibu murahan, entah !aki-laki mana yang hari ini sedang bergelut dengan ibuku dan menjadi ayah angkatku untuk satu hari? -

Dia masuk ke dalam kamar, tampak selimut yang terlipat di atas tempat tidur masih yang dulu juga, Tetapi sudah jauh lebih usang. Dalam hati ia berpikir lagi.

-- Rupanya bisnis ibu kurang lancar, ayah angkat yang datang tidak banyak. --

Dia memalingkan kepalanya untuk menatap ke arah sebuah tempat tidur kecil yang menjadi miliknya duIu. Letaknya masih dalam posisi semula, Di depan tempat tidur terdapat sepasang sepatu rombeng miliknya, sedangkan selimutnya dicuci bersih dan dilipat dengan rapi. 

Dia berjalan ke tempat tidur itu dan duduk di atasnya, Tampak sehelai jubah kepunyaannya juga terlipat rapi di samping tempat tidur itu. Hatinya merasa agak bersalah.

-- Rupanya ibu selalu menunggu kepu!anganku, Maknya! Lohu hidup mewah di kota raja, selama ini tidak pernah menyuruh orang mengantarkan uang untuk ibu. Tampaknya ingatanku sudah kurang baik! -- pikirnya. 

Dia menyandarkan tubuhnya di tembok pembaringan untuk menunggu kembalinya sang ibu.

Di dalam rumah pelesiran ada sebuah peraturan apabila menerima tamu yang bermalam, di sana ada disediakan sebuah kamar khusus yang lebih besar serta bersih, perabotannya juga lengkap, sedangkan para pelacur ditempatkan dalam kamar yang kecil-kecil, keadaannya juga sederhana sekali.

Pelacur yang usianya lebih muda dan wajahnya cantik mendapat fasilitas yang lebih memadai, mereka bisa menarik langganan yang lebih banyak. Sedangkan yang sudah setengah baya seperti ibu Siau Po, jarang dicari para tamu, induk semang atau kata kasarnya, germo mereka juga memperlakukannya dengan seenak hati, pokoknya tidak sampai terlantar saja.

Siau Po berbaring sejenak, tiba-tiba dari sebelah kamar terdengar suara bentakan yang nyaring, Ternyata suaranya si mucikari.

"Nenekmu ini sudah mengeluarkan uang banyak untuk membelimu, tapi kau selalu menolak sana menolak sini, sampai sekarang tetap tidak bersedia menerima tamu, Hm! Apakah aku membelimu hanya sebagai patung Kuan Im yang di-pajang? Apakah kau hanya sebagai penghias di rumah pelesiran ini? pukul dia! Pukul yang keras biar tahu rasa!"

Kemudian terdengar suara cambuk yang menghajar kulit tubuh, juga suara jeritan histeris dan teriakan kesakitan, Suara tangis serta bentakan saling membaur.

Suara semacam ini sudah tidak asing lagi bagi telinga Siau Po. Dia tahu si mucikari pasti mendapatkan barang baru dan hendak dipaksanya untuk menerima tamu, Kalau hanya dicambuk saja sudah merupakan hal yang lumrah, Kalau si gadis masih tidak mau menuruti kemauan si mucikari, kadang-kadang penyiksaan yang dialami para gadis itu lebih sadis lagi, misalnya kuku jari ditusuk dengan jarum panjang, atau sekujur tubuh disundut dengan gagang besi yang telah dipanggang di atas bara api, Pokoknya, masih banyak jenis siksaan yang lain kalau mau disebutkan satu persatu.

Suara jeritan atau tangisan seperti ini sudah lumrah terdengar dalam rumah-rumah pelesiran mana pun. Merupakan suatu hal yang sulit dihindari Siau Po sudah lama meninggalkan Li Cun Wan, sekarang mendengar kembali suara-suara itu, kenangan lamanya bagai terungkit kembali. Namun, dia juga tidak begitu merasa kasihan terhadap gadis malang itu.

Terdengar gadis itu meratap dengan suara keras.

"Kau bunuh saja aku! Biar mati sekali pun aku tidak mau menerima tamu. Aku akan membenturkan kepalaku ini ke tembok."

Si mucikari menyuruh kacungnya memukul lebih keras lagi, Kemudian terdengarlah suara cambukan sebanyak dua tiga puluh kali, nona itu masih terus menjerit dengan histeris.

"Hari ini tidak bisa pukul lagi, Lihat besok saja." kata si kacung. "Seret barang murahan ini ke luar!" perintah si mucikari.

Si kacung memapah gadis itu ke luar, sesaat kemudian dia sudah kembali lagi.

"Barang murahan ini tidak dapat dihadapi dengan cara keras. sebaiknya kita gunakan cara lunak saja. Kasih dia minum arak Mi Jun ciu." kata si mucikari. "Tapi, dia tidak mau minum arak.,." sahut si kacung.

"Dasar anak cacing! Campurkan saja ke dalam daging atau hidangan lainnya, bukankah sama saja?" kata si mucikari.

"Betul, betuI, Jit ci (kakak ke tujuh), Kau memang selalu punya akal yang hebat!" sahut si kacung.

Sekali lagi Siau Po mengedarkan pandangan matanya ke dalam, Tampak si mucikari membuka sebuah lemari dan mengeluarkan sebuah botol arak, Dia menyerahkannya kepada si kacung, setelah menuangkan sedikit isinya ke dalam gelas, Terdengar dia berkata.

"Kedua teman yang ditemani Cun Fang hari ini, tampaknya mempunyai uang yang cukup banyak, Mereka mengatakan akan bermalam di sini untuk menunggu teman, sebetulnya pemuda-pemuda ganteng seperti mereka tidak mungkin menaksir Cung Fang, sebentar aku akan menemui mereka untuk menawarkan si barang murahan tadi, kalau peruntungan kita cukup bagus, mungkin kita akan dibayar tiga atau empat ratus tail perak."

"Selamat kepada Jit ci yang selalu mendapat akal untuk memperoleh keuntungan. Kalau benar, tentu aku bisa menumpang sedikit rejeki untuk membayar hutang di sana- sini." sahut si kacung.

Terdengar si mucikari menggerutu.

"Dasar orang tolol! Punya sedikit uang yang didapatkan dengan susah payah, malah disetorkan ke rumah judi, Ayo, laksanakan tugasmu dengan baik! Awas, kalau tidak, aku akan menggorok batang lehermu!"

Siau Po tahu bahwa Mi Jun Ciu adalah sejenis arak yang dapat membuat orang terbius, Setelah minum arak itu, orang menjadi tidak sadarkan diri. Setiap rumah pelesiran di mana pun selalu tersedia arak semacam ini. Khusus digunakan terhadap para gadis yang menolak menerima tamu. Ketika pertama kali mendengarnya, dia juga merasa heran, tapi kemudian dia tahu dan sekarang sudah tidak merasa aneh lagi.

- Ayah angkatku hari ini merupakan dua orang pemuda? Entah siapa mereka? Aku ingin melihatnya! -- katanya dalam hati.

Perlahan-lahan dia menyelinap ke ruang besar yang khusus digunakan untuk menyambut tamu. Dia berdiri di atas sebuah batu yang selalu digunakannya sejak dulu, jendela ruangan itu besar sekali, sedangkan tempatnya berdiri berada di sudut yang gelap. 

Tamu yang ada dalam ruangan duduk menyamping dengan arahnya, Dia bisa melihat ke dalam dengan Ieluasa, tapi tamu yang di dalam justru tidak tahu kalau ada  orang yang mengintai. Dulu, perbuatan ini telah dilakukannya entah berapa ratus kali, selama itu dia belum pernah kepergok sekalipun.

Di dalam ruangan, tampak beberapa batang lilin merah yang besar sedang menyala dengan terang, ibunya sedang menemani dua orang tamu minum arak sambil tersenyum-senyum. Siau Po memperhatikan ibunya dengan seksama. Katanya dalam hati.

- Ternyata ibu sudah jauh lebih tua. -- ibunya memakai pakaian berwarna merah jambu, di bagian sanggulnya tertancap sekuntum bunga merah. pipinya dilumuri bedak yang tebal -- Bisnis ini mungkin tidak dapat digeluti lebih lama lagi, hanya kedua pemuda tolol ini saja yang mau memanggilnya untuk menemani minum arak. 

Nyanyian ibu juga tidak bagus, Kalau aku yang berpelesiran ke rumah hina, dan kalau dia bukan ibuku, meskipun dikasih uang seribu tail, aku juga tidak akan memanggilnya untuk menemani aku. --

Terdengar ibunya tertawa dan berkata.

"Kongcu berdua sudah minum beberapa cawan arak, sekarang biarlah aku menyanyikan sebuah lagu untuk kalian berdua." Dia pun mulai bernyanyi.

Siau Po yang mendengarnya langsung menarik napas panjang. Dalam hati dia berkata.

-- Lagu yang bisa dinyanyikan oleh ibu hanya itu-itu saja, Paling-paling cuma tiga buah lagu. Mengapa tidak belajar beberapa lagu baru, agar langganan lebih tertarik? --

Tiba-tiba hatinya tergerak, dia tersenyum sendiri -- Aku belajar silat juga tidak pernah serius, rupanya ini merupakan turunan dari ibu... --

Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang melengking. "Sudah!"

Begitu kata-kata itu menyusup ke dalam telinganya, seluruh tubuh Siau Po langsung bergetar Hampir saja dia tergelincir jatuh dari atas batu tempat dia berdiri, Perlahan- Iahan dia mengedarkan pandangan matanya, Tampak sebuah tangan sedang menahan sebuah cawan yang disodorkan ke hadapannya, Dari bagian jari tangan itu, Siau Po menyusuri pandangannya ke atas. 

Dia melihat seraut wajah yang manis, siapa lagi kalau bukan A Ko? Hatinya gembira bukan kepalang, Hampir saja dia tidak dapat menahan luapan hatinya.

-- Mengapa A Ko bisa datang ke Yang-ciu? Mengapa dia bisa muncul di Li Cun Wan ini bahkan memanggil ibuku untuk menemaninya? Dia datang ke sini dengan menyamar  sebagai laki-laki, yang dipanggilnya bukan orang lain, tapi ibuku, pasti tujuannya untuk mencari aku.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar