Kaki Tiga Menjangan Jilid 64

Jilid 64

Hati Siau Po berdetakan, hebat sekali pertanyaan ketua Sin Liong To itu. Telak dia kena dihajar. Celaka jika ia tak dapat menjawab dengan cepat.

"Memang sudah seharusnya sebawahanmu ini berdosa hingga harus mati berlaksa kali," Demikian ia memberikan jawabannya. "Satu kali lagi sebawahanmu ingin memberikan penghargaan dan kesetiaan terhadap Kaucu dan hujin. Benar-benar kaget sewaktu pertama kali sebawahan mendengar kabar dari Siu Cuncia bahwa Kauwcu dan Hujin telah ditawan oleh orang-orang jahat itu, sebawahanmu pun ngeri sekali bila ditawan, pastilah ia akan menyayat kulitnya dan menarik ototnya. Sebawahanmu ini 

memang takut mati, karena itu aku bersembunyi di baris belakang. Sebawahanmu ini cuma menugasi para perwiranya untuk menolong kaucu dan juga Hujin.. Ya memang sebawahanmu ini bersalah besar. "

Kaucu dan Hujin saling memandang dan Hujin mengangguk perlahan.

"Anak ini mengaku sendiri kalau ia itu takut mati, memanglah benar apa katanya kalau ia itu tidak berdusta," kata Hujin.

Kauwcu tidak menjawab pertanyaan istrinya, tetapi ia berkata dengan sabar namun tegas, "Tentang perkataanmu ini benar atau tidak aku akan menyelidikinya dengan perlahan, akan tetapi jika aku memperoleh buktinya kalau kau itu berdusta maka kau akan tahu sendiri. "

Siau Po mengangguk.

"Jikalau benar sebawahan telah bersalah, hukuman apa pun yang diberikan akan sebawahan terima, tetapi sekarang sebawahanmu ini minta dengan sangat agar jangan diserahkan pada Poan Toucu, Sin Touto dan Kho Hian bertiga, atau pada salah satu dari mereka! Kali ini mereka sedang mengatur tipu daya sangat licik, hingga mereka berhasil memancing tentara Ceng melakukan penyerangan mendadak ke Sin Liong To hingga terbinasa banyak saudara kita. Menurut sebawahanmu, langkah mereka itu sangatlah berbahaya atau mungkin Liok Kho Han mempunyai maksud tertentu untuk mengangkat dirinya menjadi seorang Kauwcu, Selama di Propinsi Inlam ia pernah mengadakan tidak akan atau mengharapkan hidup yang belaka, berbahagia atau hidup kekal sama dengan usia dewa, Tetapi ia mengharapkan dapat hidup seratus tahun saja itu sudah cukup. "

"Kau.... Kau. !" kata Kho Hian sangat gusar dan tangan yang satu sudah menampar 

Siau Po. Belum sempat Siau Po menangkis serangan itu, Bukin Tojin telah menangkisnya, maka terdengarlah suara tangan yang sedang beradu tadi. Tubuh orang yang menyerang itu mundur beberapa langkah sedangkan tubuh si imam hanya limbung.

"Liok Kho Hian!" katanya, "Bagaimana dapat kau menyerang orang di depan Kauwcu?"

Kho Hian sadar maka mukanya tiba-tiba menjadi merah, setelah itu ia memberikan hormat.

"Maafkan, Kauwcu..!" katanya dengan suara yang tidak lancar, "Anak ini telah memfitnah dengan hebat sekali hingga aku tak dapat menahan emosi lagi."

"Hm!" sang ketua memperdengarkan suaranya itu, Setelah itu ia berpaling pada Siau Po dan berkata, "Sekarang kau boleh mundur dahulu dan kau dapat beristirahat!" sedangkan pada sang imam ia berpesan, "Kau sendiri yang menilik padanya, jaga jangan sampai ada orang yang mencelakainya tetapi jangan pula dia kelayaban sembarangan! Anak ini sangat cerdik dan licin, jaga dengan perhatian yang istimewa. "

Bu Kin menjawab, "Ya!" dan seterusnya ia membungkuk lalu pergi.

Demikianlah seterusnya Bu Kin mengikuti terus ke mana Siau Po pergi dan memberi kamar hingga mereka berdua selalu dapat matahari, perahu di kasi jalan kearah utara.

Selama hari pertama Siau Po selalu mengharapkan untuk bertemu dengan Sie Long atau dengan yang lainnya, atau pasukannya agar ia dapat ditoIong. akan tetapi setelah itu ia menjadi sangat putus asa, tidak pernah ia bertemu dengan siapa saja dari pihaknya itu.

"Omonganmu dapat dipercaya oleh Kauwcu dan juga Hujin, sekarang tinggal aku memerintahkan pasukan perang untuk menghujani Sin Liong To dengan peluru. Syukur aku tak langsung membinasakan Kauwcu, Dan kapal ini melaju ke utara mungkin tujuannya itu Liauw-tong?" pikir Siau Po kemudian.

Lalu Siau Po bertanya pada Bu Kin, tetapi yang ditanya menjawab dengan semaunya saja. Beberapa kali Siau Po menanyakan hal yang lainnya, tetapi mendapatkan jawaban yang tidak enak didengar.

Akhirnya pada suatu saat orang itu memberitahukannya. "Kouwcu melarangku berbicara denganmu." katanya.

Siau Po hilang kegembiraannya, ia pun dilarang untuk ke luar kamar ia senantiasa menerka-nerka saja, apa yang akan kaucu lakukan pada dirinya, ia selalu berpikir jalan apa yang akan di ambil untuk meloloskan diri. 

Kemudian Siau Po ingat akan sesuatu. "Aku ditawan karena Phui Ie, apakah sekarang aku dapat meloloskan diri dari sini? sekarang jika aku dapat lolos dari sini aku tak akan berpaling lagi dengannya walaupun untuk sekali saja, Sudah dua kali aku dipermainkannya, Tak akan aku mencuranginya untuk yang kesekian kalinya.,." kata Siau Po dalam hati.

Akan tetapi jika ia membayangi wajah manis dan cantiknya itu, hati Siau Po menjadi luluh juga.

Kapal musuh saja mengarah ke utara, angin semakin dingin pula, Bu Kin mempunyai tenaga dalam yang mahir sehingga ia tak merasakan menderita dari udara yang dingin itu, Akan tetapi Siau Po tidak demikian, ia merasakan kedinginan yang amat sangat.

Pada suatu hari muncullah angin yang besar, membuat udara tambah membekukan, di saat lain turunlah hujan salju.

"Kali ini aku akan mati kedinginan!" kata Siau Po dalam hati.

"Kakak So Ngo To pernah menghadiahkan padaku baju dari kulit binatang Tiauw, sayang barang itu aku tinggalkan dalam markasku, Coba aku tahu Phui Ie akan mengakali aku, pasti kali ini aku sudah merangkulnya secara terus-terusan hingga aku tak akan kedinginan! Oh, Pek Liong Su! Benarkah kau menjadi begini bijak?" kata Siau Po dalam hati.

"Ah!" pikirnya, "Aku gila, Kalau aku tahu Phui Ie akan mengakali, aku tak akan menjadi seperti ini? sekalipun Sin Long kaucu dan semua memiliki ilmu silat yang sangat lihay, tak bakal mereka mampu menyerbu aku di pulau Tong Kit To..."

Kapal berlayar terus sampai tengah malam, tiba-tiba Siau Po mendengar suara nyaring berulang-ulang, mulanya ia heran sampai ia teringat, itulah es di tengah laut yang saling bertabrakan.

"Ah, celaka!" serunya, "Bagaimana kalau kapal ini terhadang es di tengah laut ini?" "Di tengah laut air tak dapat beku," kata Bu Kin Tojin, "Kita pun bakal segera 

mendarat."

"Apakah kita telah sampai di Liauw Tong?" tanya Siau Po. "Hm!" bersuara dingin si imam, yang terus tutup mulut.

Keesokan paginya, sewaktu Siau Po membuka jendelanya, di depannya tampak putih seluruhnya, itulah es air laut yang beku. Dari kejauhan tampak daratan, Di sana kapal menuju dan berlabuh di waktu sore. 

Walaupun Bu Kin berkata bahwa mereka akan segera mendarat dan jangkar telah diturunkan tetapi baru keesokkan paginya mereka benar-benar turun ke darat. Malam itu otak Siau Po terus berputar. Dia memikirkan nasibnya, sebab dia masih belum mengetahui keputusan terakhir dari Hong kaucu terhadap dirinya, Sia-sia belaka dia menduga-duga, Apakah ketua itu percaya penuh dengan keterangannya? Dia akan dihukum atau di bebaskan? Dan apa maunya Hong kaucu mendatangi tempat seperti ini?

Setelah letih menguras otaknya, Siau Po tertidur pulas, Dia bermimpi Pui Ie duduk di sisinya, Dia segera merangkul gadis itu dan nona itu berkata.

"Hush! jangan bercanda!"

"lstriku, aku memang hendak bergurau denganmu!" sahutnya.

Masih dalam mimpinya, Siau Po merasa Pui Ie meronta-ronta, lalu seperti setengah sadar setengah tidur, Siau Po mendengar seseorang berkata kepadanya.

"Siangkong, ayo cepat kita pergi!" Dia mengenali suara itu sebagai suara Song Ji.

Terkejut sekali hati Siau Po, dia langsung terjaga, Tapi dia benar-benar merasa ada seseorang yang memeluk tubuhnya. Tubuh orang itu sendiri lunak sekali, Hanya saja karena keadaan sangat gelap, dia tidak dapat melihat dengan jelas wajah orang itu. Dia menduga-duga, kemungkinan nona Pui atau Hong hujin.

Di atas kapal perang itu, setahunya hanya ada dua orang perempuan, si nona dan si nyonya ketua.

- Ah, perduli amat dia Pui Ie atau Hong hujin, lebih baik aku cium dulu dia satu kali... -

- pikirnya dalam hati, Dia segera membalikkan tubuhnya untuk mencium pipi orang itu. perempuan itu tertawa kecil, dia memaling wajahnya.

Mendengar suara tawa itu, Siau Po segera yakin bahwa yang datang memang Song Ji. Dia menjadi girang berbareng terkejut juga heran.

"Eh, Song Ji?" tanyanya, "Bagaimana caranya kau bisa sampai ke mari?"

"Ayo cepat kita pergi!" sahut Song Ji. "Urusan lainnya kita bicarakan nanti saja." Siau Po seperti lupa daratan, dia tertawa puIa.

"Aku dingin sekali, seluruh tubuhku terasa beku." katanya, "Mari masuk ke dalam selimutku!"

"Aih, Siangkong!" terdengar Song Ji mengeluh, "Siangkong yang baik, kalau kau ingin bergurau, tunggulah sampai kita sudah berada di tempat yang aman! Apakah Siangkong lupa tempat apa ini?"

Siau Po mempererat rangkulannya pada tubuh yang lunak itu. "Ke mana kita akan pergi menyingkir?" tanyanya.

"Ke belakang perahu." sahut Song Ji. "Di sana kita mencari perahu kecil untuk melarikan diri. sesampainya di tepian, walaupun ada orang yang memergoki kita, tidak mungkin mereka sempat mengejar kita lagi dan kita pun tidak akan tertawan."

"Bagus! Bagus!" seru Siau Po saking senangnya, Tiba-tiba suatu ingatan melintas dalam benaknya, "Ah! Mana si imam?"

"Dia telah ku totok dan tak berkutik lagi." sahut si nona cilik.

Bukan main senangnya hati Siau Po. Di samping itu, dia juga kagum sekali dengan kelihayan si nona.

Song Ji menarik tangan Siau Po. Keduanya segera ke luar dari kamar, Di luar wajah Siau Po diterpa angin kencang, Dia terkejut sekali mendapatkan hawa yang demikian dingin. Dia segera lari kembali ke dalam kamar untuk mengambil jubah Bu Kin tojin yang kemudian digunakannya untuk menyelimuti tubuhnya agar jangan menggigil.

Ketika itu, malam gelap sekali, Tidak tampak adanya rembulan Sebaliknya, salju sedang turun, Hal ini membuat cuaca luar biasa dinginnya.

Setibanya di luar, sepasang muda-mudi itu memasang telinganya, Keadaan di sekitar sunyi senyap, bahkan juru mudi pun sudah tertidur pulas, Begitu sampai di belakang perahu, Song Ji berbisik.

"Aku turun terlebih dahulu, nanti kau menyusul, Siangkong. "

Siau Po menganggukkan kepalanya, Si nona sendiri langsung melompat turun ke sebuah perahu kecil yang tertambat di belakang kapal Memang setiap kapal yang tidak dapat berlabuh sampai tepian sekali selalu membutuhkan perahu kecil untuk menurunkan dan mendaratkan para penumpangnya. Perahu-perahu kecil itu juga dapat digunakan sebagai sarana penyelamatan diri apa bila kapal yang ditumpangi karam terhajar badai misalnya.

Tubuh Song Ji ringan sekaIi. Dia dapat tiba di depan perahu tanpa meninggalkan suara sedikit pun.

Siau Po melongok ke bawah, Gelap seluruhnya sehingga hatinya agak gentar Tetapi dia dapat melompat turun juga. Di perahu kecil Si nona menyambutinya sehingga kakinya dapat mendarat tanpa menimbulkan suara.

Tepat pada saat itulah, dari atas kapal terdengar pertanyaan. "Siapa di sana?" Itulah suaranya Hong kaucu. Baik Siau Po maupun Song Ji terkejut sekali, walaupun keadaan di sekitar sangat gelap, tapi mereka segera menggeser dan mendekam di lantai perahu. Mereka tidak berani menerbitkan suara sedikit pun juga.

Segera juga dari jendela kapal tampak sinar api yang menyorot ke Iuar.

Song Ji merasa pasti Hong kaucu sudah mendengar suara bisikan mereka, Tidak ayal lagi dia berdiri dan mengangkat pengayuh dengan maksud mengayuh perahu kecil itu agar mereka dapat melarikan diri, Dengan demikian suara dayungnya langsung terdengar oleh orang yang ada di atas.

"Siapa di sana?" Kembali terdengar pertanyaan yang keras, "Jangan bergerak!"

Kembali kedua muda-mudi itu terkejut Apalagi perahu mereka tidak mau maju sedikit pun. Rupanya dalam keadaan gugup, Song Ji lupa melepaskan tambatan perahu tersebut Karena itu, Siau Po segera memasukkan tangannya ke dalam air yang dirasakannya dingin sekali.

Perahu kecil itu tertambat dengan rantai besi. suaranya bising sekali ketika Siau Po mengangkatnya, Suara itu segera terdengar oleh orang-orang di atas kapal.

"Pek Liong Su lenyap!" demikian terdengar suara teriakan berulang-ulang. "Tentu dia yang kabur! Ke mana perginya orang itu? Lekas kejar! Lekas susul!"

Dalam keadaan seperti itu, Siau Po tidak menjadi bingung. Dia segera mengeluarkan pisau belatinya yang tajam dan dikutungkannya rantai besi yang menambat perahu tersebut. perahu itu langsung meluncur karena Song Ji masih mengayuhnya keras- keras.

Ketika itu, Hong kaucu bersama Kho Cun cia, Ay Cun cia juga Bu Kin tojin sudah lari ke buritan kapal Liok Kho Hian pun menyusul di belakang, Dengan bantuan sinar api, mereka sempat melihat perahu kecil yang mengangkut Siau Po serta Song Ji melaju pesat. Dalam sekejap mata jarak antara mereka sudah beberapa tombak.

Bukan main marahnya hati Hong kaucu, tangannya segera bergerak untuk menyambar sepotong kayu dan digunakannya untuk menimpuk ke arah perahu kecil dengan sekuat tenaganya. Sayangnya, walaupun tenaga dalam orang itu sudah mahir sekali, tapi kayu itu sangat ringan. Karena itu serangannya gagal. 

Hajarannya hanya mengenai air di belakang perahu sebab perahu itu sendiri keburu melesat ke depan.

Ketika itu Bu Kin tojin dan yang lainnya tidak berani turut menyerang dengan menggunakan senjata rahasia masing-masing. Mereka masih belum tahu pikiran ketuanya, Mereka masih takut mencelakai Siau Po.  Hal itu bisa membuat mereka menjadi sasaran amarah kalau melihat kegusaran ketuanya sekarang ini, Sesaat kemudian mereka baru berani mulai menyerang.

Tidak ada senjata rahasia yang mengenai sepasang muda-mudi itu. perahu kecil mereka melaju dengan pesat sehingga keduanya bebas dari ancaman maut.

"Bocah itu benar-benar licin!" teriak Kho Cuncia saking mendongkolnya, "Sedari siang-siang aku sudah tahu dia bukan orang baik-baik, seharusnya dia ditebas batang lehernya! Hidupnya orang itu bisa mendatangkan bencana besar bagi kita!"

Hong kauw cu memang sedang kesal dan marah. Kata Kho Cun cia seperti minyak yang disiramkan ke atas api. Tentu saja dia mengetahui bahwa Kho Cun cia setengah mengejeknya. Karena itu dengan tangan kirinya dia langsung menyambar bagian leher orang itu sembari membentak.

"Lekas kau bekuk dan bawa dia kembali!" tangan kirinya itu terus diangkat sehingga tubuh Kho Cun cia terangkat juga, sedangkan tangan kanannya digunakan untuk menampar sebawahannya itu sambil membentak lagi, "Lekas pergi!"

Perintah itu diiringi dengan pengerahan tenaga dalam pada kedua lengannya yang digerakkan ke depan, Dengan demikian tubuh Kho Cun cia bagaikan bola daging yang langsung meluncur jauh ke laut, ke arah perahu Siau Po.

Song Ji terus mengayuh perahunya kuat-kuat.

"Oh, celaka!" teriak Siau Po yang samar-samar melihat datangnya serangan yang istimewa itu. "Awas! ada peluru daging!"

Tapi, seperti juga batangan kayu dan berbagai senjata rahasia tadi, Tubuh Kho Cun cia yang meluncur juga tidak sampai ke perahu, Dia terbanting keras ke permukaan air, Dengan demikian air laut jadi muncrat dan terdengar suara jeburannya yang nyaring sekali. Jarak antara perahu dan tubuh orang itu hanya beberapa kaki saja, Hal itu membuktikan betapa kuatnya lemparan Hong kaucu tadi.

Kho Cun cia pandai berenang, Begitu tubuhnya tercebur ke dalam laut, dia segera mengulurkan tangannya untuk menyambar perahu kecil yang maksudnya hendak mencekalnya dan membuatnya terbalik agar karam, Tetapi Song Ji mengetahui gerak- gerik orang itu. Dia segera menghajar dengan dayungnya yang mengenai kepala orang itu sampai Kho Cun cia merasa kesakitan dan pusing tujuh keliling, walaupun demikian, cekalan tangannya pada perahu tidak segera di lepaskan.

Song Ji kebingungan Dia menyerang sekali lagi, Kali ini dia membuat lawannya hampir pingsan walaupun demikian, lawannya itu masih belum melepaskan cekalannya juga. Karena itu, Siau Po segera bertindak. Dengan pisau belatinya, dia mengutungkan ke lima jari tangan orang itu. Kho Cun cia kesakitan Dia tidak bisa menahannya sehingga cekalannya terpaksa dilepaskan Hatinya panas sekali, Di samping menahan rasa sakit, mulutnya terus mencaci maki.

Song Ji tidak memperdulikan orang itu, dia terus mengayuh perahunya agar melaju ke depan, dengan cepat dia memisahkan diri dari kapal Hong kaucu.

Siau Po menjemput sehelai papan pendek dari dasar perahu, Dia membantu si nona mengayuh sehingga perahu itu semakin laju, Ketika melarikan diri, telinganya masih sempat mendengar suara sayup-sayup makian dari atas kapal, rupanya Hong kaucu sedang memaki kalang kabut.

Sesaat kemudian, suara cacian pun lenyap terbawa angin.

Siau Po menghela napas panjang, hatinya terasa agak lega, tidak seperti barusan yang terus berdebar-debar saking tegangnya.

"Syukur kepada Langit dan Bumi! Akhirnya kita berhasil juga meloloskan diri!" katanya.

Song Ji mengayuh terus, akhirnya mereka sampai juga ke tepian Dia melompat turun ke air yang dalamnya sebatas lutut Kemudian dia menarik perahunya ke pinggiran sehingga menempel pada daratan Lalu dia berkata.

"Sudah cukup, Siangkong, kau boleh melompat sekarang!"

Siau Po menurut dengan menjejakkan kaki di perahunya kemudian mencelat ke daratan.

"Kita selamat!" serunya. Song Ji tertawa.

"Jangan kegirangan saja, Siangkong!" tegumya, "Mari kita menyingkir terus! Kita harus waspada agar Hong kaucu tidak bisa menyusul kita."

Siau Po terkejut Alisnya langsung berkerut dia segera melihat ke sekitarnya, Kecuali warna putih dari salju, bumi masih gelap, Tadi saja Song Ji tahu mereka sudah sampai di mana karena di tepian karena perahu tidak dapat maju lagi.

"Aku sendiri tidak tahu apa nama tempat ini dan di mana letaknya?" kata Song Ji. "Sekarang, Siangkong, arah mana yang harus kita tempuh?"

Nona ini turut membalikkan tubuhnya untuk mengawasi sekitarnya, Dia lebih memang dalam hal ilmu silat tapi dalam hal kecerdikan, dia masih kalah di bandingkan dengan Siau Po. Namun di saat itu, otak Siau Po sedang tumpul.

Hawa dingin bagaikan membuat otaknya menjadi beku, Rasanya sukar baginya untuk memikirkan daya upaya.

"Dasar si Pui Ie celaka!" akhirnya dia mendamprat "Dia membuatku sengsara seperti ini!"

"Mari kita pergi!" kata Song Ji. "Dengan berjalan seluruh tubuh kita bergerak, otot kita tak akan kaku seperti sekarang. Kita akan mendapatkan hawa hangat agar tidak terasa begitu dingin."

Siau Po menganggap pikiran itu ada benarnya. Dia menurut bahkan keduanya lantas berjalan dengan bergandengan tangan. Namun, mereka masih merasakan penderitaan Salju yang tebal membuat mereka sukar melangkah meskipun mereka berjalan dengan menyeret kaki satu tindak demi satu tindak, Hal ini karena kaki mereka melesak ke dalam salju sampai batas betis.

Dengan melawan penderitaan itu, Siau Po melangkah terus. sebelum dia mengetahui di tempat mana dia berada, dia masih khawatir akan tersusul oleh Hong kaucu. Apalagi jalan mereka sekarang begitu lambat dan jejak kaki mereka tertanam jelas di atas salju.

Sambil berjalan, Siau Po menanyakan Song Ji bagaimana bisa berada di atas kapal musuh, Song Ji segera memberikan keterangannya, "Hari itu, secara sembunyi- sembunyi aku mengikuti siangkong. Aku dapat melihat bagaimana orang-orang itu menawanmu, justru ketika semua orang sedang memperhatikan siangkong, diam-diam aku menyelinap ke belakang kapal itulah kapal pemerintah yang berhasil di rampas oleh Hong kaucu. 

Di situ masih terdapat sejumlah anggota tentara tangsi Jiau Kie Eng, Kaucu itu sendiri masih mengenakan seragam tangsi itu. Aku menunggu sampai tengah malam dan keadaan sudah sunyi, baru aku keluar menolong siangkong."

Siau Po merasa bersyukur dan senang sekali Dia memuji kecerdikan dan keberanian si nona.

"Pui Ie, si budak celaka telah mengkhianati aku. sebaliknya kaulah yang baik hati Kau telah menolongku Aku tidak sudi lagi mengambil Pui Ie sebagai istri, aku akan menikahimu saja, Song Ji..!"

Si nona cilik terkejut, dia melepaskan cekalan tangannya dan menggeser ke samping.

"Aih, siangkong!" katanya, "Akulah budakmu, aku memang harus melayani kau seumur hidupku." "Justru karena kau adalah budakku, maka sekarang ini aku merasa bahagia sekali." sahut Siau Po. "Rupanya karena aku sering mengetuk Bok gi dan membaca doa, aku mendapatkan keberuntungan ini."

Song Ji tertawa.

"Siangkong bisa saja!" katanya.

Perjalanan dilanjutkan sampai terang tanah, Telah jauh mereka meninggalkan tepi laut Di atas salju tampak tegas jejak kaki. Di sekitar mereka, terlihat tempat itu demikian luas seakan tidak ada batasnya. Tidak ada tanda-tanda dari pihak Hong kaucu, akan tetapi hal itu masih belum membuat hati Siau Po merasa tentram.

" Entah tempat apa ini? -- pikir Siau Po dalam hatinya, -- Biar bagaimana ada kemungkinan ini masih wilayah kekuasaan ketua Sin Liong kau itu... --. Karena mendapat pemikiran ini, dia segera berkata kepada rekan seperjalanannya. "Kalau begini terus, meskipun kita berjalan sampai belasan hari, masih ada kemungkinan orang-orang Hong kaucu bisa menyusul kita."

Song Ji menganggukkan kepalanya, Kemudian dia menunjuk ke depan. "Bukankah tempat itu banyak pepohonannya?" tanyanya, "Nah, mari kita pergi ke 

sana! Dengan berada di dalam hutan, musuh sukar melihat atau mencari kita."

Siau Po memperhatikan tempat yang di tunjuk oleh si nona itu.

"Bagus kalau itu memang hutan," katanya, "Tapi rasanya kok bukan. "

Tapi keduanya toh menuju ke sana juga, Mereka berjalan dengan setengah berlari, setelah kurang lebih satu jam, jarak mereka baru agak dekat dan mereka dapat melihat dengan jelas, Rupanya itu memang bukan hutan, hanya sebuah bukit kecil. 

Keadaannya belum diselimuti salju seluruhnya. Disana juga tidak ada tempat persembunyiannya.

"Coba kita melihat ke belakangnya," kata Siau Po. "Mungkin di sana ada tempat untuk berlindung. " Dan dia terus berjalan, nafasnya mulai terasa sesak.

Kurang lebih setengah jam telah lewat pula, Mereka sudah sampai di belakang bukit itu, keadaan di sana justru putih seluruhnya dan mirip dengan lautan salju, Di sana juga tidak ada tempat untuk bersembunyi.

Siau Po membaringkan tubuhnya di atas tanah salju tersebut Dia merasa letih dan lapar. "Oh, Song Ji yang baik," katanya. Dalam keadaan seperti ini, ia masih dapat bergurau, "Kalau kau tidak mengijinkan aku memeluk tubuhmu dan mencium pipimu, mungkin aku tidak mempunyai tenaga untuk berjalan lebih jauh lagi..."

Wajah si nona cilik jadi merah padam. Dia merasa jengah serta malu, Dia juga merasa serba salah, Menampik atau jangan? Tapi ketika dia sedang ragu-ragu itulah, tiba-tiba telinganya mendengar suara samar-samar dari belakang mereka, Dia merasa terkejut sekali sehingga cepat-cepat dia menolehkan kepalanya.

Di sana, dari balik bukit, muncul tujuh atau delapan ekor manjangan besar.

"Bagus!" seru Siau Po. "Nah, Song Ji, apakah kau mempunyai jalan untuk menangkap salah seekor manjangan itu? Kita sudah lapar, kita bisa menyantap dagingnya sebagai pengganti nasi. "

"Nanti aku coba," sahut si nona, Dia tidak begitu letih kalau dibandingkan Siau Po. Mendadak dia melompat terus berlari ke arah serombongan binatang berkaki empat itu.

Gerakannya gesit sekali, Mungkin hal ini karena ilmu silatnya yang jauh lebih tinggi dari pada Siau Po. Sang manjangan terkejut. Mereka langsung lari kocar kacir, Sia-sia saja si nona mengejar sehingga sampai akhirnya dia menjadi letih sendiri.

Tapi, ternyata binatang-binatang itu tidak takut terhadap manusia, Melihat Song Ji berhenti berlari, mereka pun tidak kabur lebih jauh. Mereka berhenti dan memalingkan kepala untuk mengawasi Song Ji.

"Sulit rasanya menangkap binatang itu," kata Song Ji akhirnya kepada Siau Po. "Mari kita menggunakan akal!" kata Siau Po yang cerdik, "Kita pura-pura mati saja, 

lalu kita lihat, mereka akan mendekati kita atau tidak. Kalau mereka menghampiri kita. "

Si nona tertawa.

"Akal itu sangatlah bagus!" katanya, "Baik. Mari kita mencobanya!" Kemudian ia merebahkan tubuhnya.

Siau Po memang sudah rebah, dia terus berdiam saja, Akan tetapi, dasarnya memang jenaka, dia tetap saja mengoceh terus.

"Manjangan mari kau datang padaku, Kamu tahu kami berdua telah mati! Kami berdua bagaikan berada dalam liang kubur, tak dapat kami bergerak. Akan tetapi Song Ji telah memberikan aku delapan orang anak laki-laki dan sembilan anak perempuan. "

"Siapakah yang melahirkan anak sedemikian banyak padamu itu." tanyanya dan mukanya menjadi merah. "Kalau delapan dan sembilan anak terlalu banyak menurut kamu, berarti cukup masing-masing tiga saja!" kata Siau Po sambil tertawa pelan.

"Tidak..." kata si nona, ia berhenti berbicara karena kawanan manjangan itu sedang mendatangi mereka.

Si Kacung pun lantas menutup mulutnya.

Siau Po dan juga Song Ji berpura-pura mati, Napas mereka berhenti, tetapi mata mereka terus saja mengawasi kawanan manjangan yang mendekati itu.

Beberapa kawanan manjangan itu mendekati lalu menjilati Siau Po dan Song Ji.

Segera setelah saatnya tiba, mendadak Siau Po melompat langsung ke punggung salah satu manjangan itu dan kakinya menjepit perutnya serta kedua tangannya menyambar ke lehernya, yang terus di peluknya ke atas.

Melihat tindakan Siau Po, Song Ji pun tak mau kalah, Dengan sekali gerakannya Song Ji telah berada di punggung menjangan yang Iain.

Sisa menjangan yang kaget lari semuanya.

"Kau potong manjangan itu dan nanti kita akan dapat makan dengan daging manjangan yang lezat ini!" kata si nona.

"Sabar dahulu!" kata Siau Po. "Lebih baik kita menggunakan hewan ini untuk melarikan diri dari kejaran Hong kaucu, pastilah mereka tak dapat mengejar kita!" katanya pula.

"Baik. Baik!" kata si nona, "Apakah kau dapat mengendalikan binatang ini? jika 

tidak kita akan terpental karenanya. "

Siau Po mengangguk.

"Mari kita berangkat" Ajak Siau Po yang langsung menggeprak binatang itu agar berlari.

Song Ji mengikuti cara yang dilakukan Siau Po.

Aneh adalah sifat dari binatang manjangan itu, ia suka berkawan, Sisa yang kabur itu, melihat kedua kawanannya tidak terganggu, semua datang mendekati kawannya itu untuk berjalan bersama-sama. jelas sifat mereka itu gemar berkumpul dan juga bergerombol dan lari mereka tidak kalah dengan larinya kuda.

Arah tujuan Siau Po adalah barat daya, Sesudah berlari dengan kencang mereka lalu memperlambat larinya, Dua manjangan yang ada penunggangnya berjingkrakan akan melemparkan si penunggangnya itu. Tetapi Siau Po dan juga Song Ji tak dapat  dirobohkannya. Kaki Siau Po dan juga kaki Song Ji menjepit dengan keras sedangkan tangannya memeluk leher binatang itu dengan keras juga.

"Kita jangan turun! Jika kita sampai turun sulit bagi kita untuk naik kembali ke punggungnya, Kita harus dapat melarikannya sejauh mungkin. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, sekali kata-kata sudah terucap maka manjangan pun tak dapat mengejarnya?" kata Siau Po.

Song Ji hanya dapat mengangguk dan tersenyum.

Siau Po dan Song Ji sangat letih tetapi mereka itu tak mau melepaskan binatang itu. Mereka membiarkan tubuh mereka dibawa kabur oleh binatang itu. Sampai datangnya sang magrib mereka itu sudah dibawa ke sebuah rimba.

Siau Po melihat ke sekitarnya.

"Nah di sini saja kita beristirahat" katanya.

Kemudian Siau Po mengambil pisaunya lalu ditusukkannya pada leher manjangan itu, Ditariknya, pisau itu ke bawah dan ke atas, hingga leher binatang itu seakan mau putus.

Sang manjangan itu kaget dan kesakitan ia berontak dan berlompat-lompatan. Tak lama kemudian tubuh manjangan itu roboh sebab nyawanya telah hilang.

Siau Po dengan cepat melompat dari punggung manjangan itu sehingga tubuh Siau Po tidak terpental

"Aku rasa satu ekor saja sudahlah cukup, maka sebaiknya yang satu ekor ini aku bebaskan saja." kata Song Ji yang setelah berkata demikian ia pun berlompat turun.

Untuk sekejap Siau Po merebahkan tubuhnya ke tanah untuk melegakan pernapasannya, Baru setelah itu ia mendekati manjangan itu dan menadahkan dengan mulutnya darah yang mengalir dari lehernya itu. 

Siau Po telah meminum darah manjangan itu sampai ia merasa puas, Setelah itu barulah ia memanggil Song Ji untuk sama meminum. Gadis itu menurut juga.

Setelah meminum darah manjangan itu, tubuh mereka terasa segar dan juga hangat tidak seperti semula.

Selesai beristirahat Song Ji meminjam pisau belati Siau Po untuk mengambil daging manjangan itu, Setelah itu ia mengumpulkan kayu bakar dari ranting pohon yang kering lalu dibakarnya. "Manjangan, maafkan kami! Kau telah menolong kami, tetapi kau kubinasakan, itu terpaksa sebab kami perlu mengisi perut, Di sini tak ada makanan yang dapat kami makan..!"

Demikianlah, setelah daging itu matang mereka langsung menyantapnya, Setelah memakan daging manjangan itu mereka barulah merasakan segar kembali, dan dalam beberapa detik dapat melupakan orang yang sedang mencarinya.

"Song Ji yang baik!" kata Siau Po kemudian. "Mari kita tetap tinggal dalam hutan ini. Aku sebagai seorang pemburu sedangkan kau sebagai seorang istri dari pemburu, Rasanya aku tak ingin kembali lagi ke Pakhia." katanya.

Song Ji tertunduk.

"Ke mana juga Siangkong pergi, aku akan tetap bersamamu untuk merawatmu." katanya dengan perlahan-lahan, "Sebaiknya Siangkong kembali saja ke kota raja untuk memangku jabatan yang penting atau pun tetap di sini sebagai seorang gembala, aku tetap saja sebagai seorang budakmu." lanjutnya.

Song Ji yang sangat cantik dan kulit tubuhnya kuning, mulus itu sangat menarik hati Siau Po.

"Dengan demikian bukankah itu berarti hidup kita telah menjadi sempurna?" katanya sambil tertawa.

"Oh!" kata si nona yang tampaknya sangat kaget Setelah itu ia berlompat naik ke atas pohon dan berkata, "Belum.... Belum. "

Siau Po tertawa menyaksikan hal itu, Setelah malam tiba mereka sama-sama tertidur Keesokannya Song Ji bangun langsung mengambil daging manjangan yang tersisa itu untuk mereka sarapan, sedangkan kulit dari manjangan itu akan dijadikan baju untuk Siau Po dan sisanya akan digunakan untuk membuat topi,

Sampai pada waktu itu Siau Po masih belum dapat melupakan musuhnya yang menurutnya masih saja mengejarnya.

"Kita sudah dapat meloloskan diri dari tangan Hong kaucu tetapi aku rasa kita ini belum lagi aman sepenuhnya." kata Siau Po yang mengutarakan halnya pada Song Ji.

"Aku anggap kita harus mencari manjangan lagi untuk kita pergi ke arah utara selama tiga atau empat hari lamanya, Di sana, di tempat yang aman sentosa barulah aku akan menjadi Wi kaucu dan kau Song Ji Hujinnya buat kita hidup beruntung dan usia kita sama dengan usia langit." Song Ji tertawa.

"Apa itu Song Ji Hujin? Rasanya kata-kata itu tak enak didengar." kata si nona. "Tetapi untuk menunggangi manjangan itu aku rasa tidaklah sulit karena kawanan- kawanan manjangan itu sedang menuju ke mari. Coba kau lihat di sana itu! Bukankah manjangan-manjangan itu sedang menuju ke mari?" kata Song Ji.

Manjangan-manjangan itu datang dari arah timur karena di arah sana terdapat hujan salju, Mungkin itu kawanan manjangan yang kemarin kabur, tetapi sekarang jumlahnya makin besar.

Mereka berjalan dengan mengangkat kepala dan sambil memakan dedaunan, rupanya manjangan itu jarang sekali atau tidak pernah melihat manusia, Hal itu terbukti dengan binatang itu yang tidak takut pada manusia malah, dan malah mendekatinya....

"Semua manjangan itu sangat baik. sebaiknya kita jangan mengganggunya," kata Song Ji. "Manjangan yang kemarin saja sudah cukup untuk kita makan selama sepuluh hari atau lebih. " katanya pula.

Selesai berkata demikian Song Ji membungkus daging yang tersisa itu dengan kulitnya dan memberikannya pada Siau Po satu dan untuknya satu, Dengan demikian mereka itu membawa persediaan mereka masing-masing dan mereka menggendongnya.

Selain bekerja mereka berdua berjalan dengan perlahan-lahan mendekati kawanan manjangan itu, Siau Po kemudian mendekati manjangan yang paling besar lalu mengusap-usap kepala binatang ku. Anehnya binatang itu malah menjilati muka Siau Po, bukannya pada lari....

"Manjangan ini dapat membuatku berhasil!" kata Song Ji pada Siau Po.

Siau Po menurut Dengan perlahan tetapi pasti, kacung itu telah naik ke punggung manjangan, sedangkan sang manjangan itu tetap saja diam.

Song Ji pun telah berhasil mencari manjangan yang lainnya. "Nah marilah kita berangkat!" kata Siau Po.

Maka kemudian manjangan itu berlari dengan cepat menuju arah dalam rimba, Kedua ekor manjangan itu dapat dikendalikan maka mereka berangkat dengan rasa aman.

Lewat beberapa saat, pada suatu tempat Siau Po dan juga Song Ji turun dari manjangan itu. Kemudian mereka membebaskan manjangan itu untuk pergi.

Setelah melihat arah yang akan dituju, Siau Po mengajak Song Ji untuk pergi ke arah utara. Mereka menganggap, dengan demikian mereka sudah terpisah dari Hong kaucu. Ketika mereka berada di dalam rimba, mereka sudah berjalan belasan hari, Kemudian mereka bertemu dengan lain manjangan, Hidup dari daging manjangan itu. Kesulitan yang mereka rasakan hanyalah dikarenakan pakaian mereka robek terkena duri dan juga ranting hingga mereka itu harus menggunakan pakaian dari kulit manjangan dan begitu juga dengan sepatu mereka.

Pada suatu hari ketika mereka sedang berjalan, mereka mendengar suara air yang mengalir dengan derasnya, Kemudian mereka mendekati arah datangnya suara itu, barulah mereka dapat melihat, ternyata di sana terdapat sebuah sungai. Mendadak mereka merasa senang.

Masih saja mereka berjalan beberapa lie jauhnya dan berjam-jam lamanya, Baru setelah itu ia bertemu dengan orang, orang-orang itu memakai pakaian dari kulit manjangan juga, dan membawa pacul, Mereka tampaknya adalah seorang pemburu.

Girang hati Siau Po dapat bertemu dengan keempat orang itu, "Kalian mau pergi ke mana?" tanya Siau Po.

"Kami ingin pergi ke pasar di Bouw Tan Kang, dan kalian?" kata salah satu orang yang usianya lebih tua.

"Oh, untuk pergi ke Bouw Tan Kang itu melewati jalan itu dan bukan jalan ini." kata Siau Po yang menjawab dengan ragu-ragu. "Jikalau demikian, kami salah jalan! Bagaimana kalau kami ikut jalan bersama dengan kalian? Baik bukan?" tanyanya pula.

Orang-orang itu tidak merasa keberatan, lalu Siau Po dan juga kawan barunya itu jalan bersama-sama, Di tengah perjalanan mereka berbicara dari hal yang kurang penting sampai pada soal yang agak penting. Hal itu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan orang-orang itu dan juga, asal-usulnya.

Setelah itu barulah diketahui kalau orang itu adalah suku Tungku atau Tungus, yang hidup sebagai pemburu yang setelah mendapatkan hasil buruan mereka membawanya ke pasar yang sekarang akan mereka tuju. Di sana mereka berhubungan dengan Bangsa Tionghoa, makanya mereka jadi mengetahui Bahasa orang Tionghoa.

Kiranya pasar yang mereka tuju itu adalah pasar besar.

Siau Po merogoh kantung untuk mengambil beberapa tail uang peraknya, kemudian mengajak kawan barunya untuk makan dan minum arak di salah satu rumah makan.

Ketika mereka sedang minum, mereka mendengar seseorang yang duduk di meja sebelahnya berkata.

"Tongkatmu ini memang bagus, namun tongkatku yang tahun dulu aku dapatkan dari gunung Humaer Wotsi, menurut catatannya lebih tua lima puluh tahun dari kepunyaanmu ini." Siau Po dan Song Ji segera menoleh pada mereka, Bukannya tertarik pada tongkat atau pada pembicaraannya itu, tapi mereka terkejut dengan disebutkannya nama gunung yang pernah mereka dengar itu. Mereka lalu saling lirik.

Siau Po kemudian mengeluarkan beberapa tail perak, lalu memanggil pelayan untuk menyediakan daging sepanci besar dan arak dua kati untuk kedua tetangganya itu, Mereka merasa heran, kenapa si pemburu sangat baik hati, Kemudian mereka mengucapkan terimakasih.

Siau Po pun mengajak tetangganya untuk minum bersama-sama dengan mereka, sehingga sesaat kemudian mereka sudah dapat berbicara tentang letak gunung itu dan beberapa sungainya.

Untuk memperoleh penjelasan, Siau Po kemudian memanggil Song Ji untuk menyebutkan nama beberapa gunung dan sungai yang disebutkan oleh orang yang duduk di meja sebelahnya itu.

Selesai makan dan minum, Siau Po memisahkan diri dengan kedua tetangganya dan ketiga kawan barunya itu, ia memisahkan diri untuk berpikir tentang masalah itu.

"Jikalau demikian, gunung Lok Teng San masih terpisah beberapa lie jauhnya dari sini, Tetapi mumpung sekarang aku sedang merantau, sebaiknya aku pergi ke sana untuk mengambil harta itu. Baiklah aku dan Song Ji berdiam saja di tempat asing, menanti sampai delapan atau sepuluh tahun, mustahil jika kaucu belum juga mati.   

Benarkah usianya akan sama kekal dengan usia langit?"

Siau Po masih membekal uangnya, Maka ia lantas menyewa kereta untuk pergi ke utara bersama Song Ji. ia mengambil perjalanan ke utara, dikarenakan semakin ia ke utara maka semakin jauh dari kawanan Sin Liong Kauw....

Oleh karena itu rasa khawatir ada orang yang mengenalinya maka Siau Po memutuskan untuk tetap memakai pakaian kulit rusa dan di tambah dengan muka yang di coret-coret, Di dalam kereta ia selalu berbicara dengan Siau Po dengan gembira. 

Setelah berjalan beberapa hari lamanya, Siau Po merasakan udara di daerah itu semakin dingin, bahkan keretanya lambat jalannya karena yang dilewatinya tertutup salju, Oleh karena itu mereka melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda, Tak lama kemudian, kuda itu pun tak dapat berlari.

Maka Siau Po dan Song Ji melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, Mereka berjalan melalui rimba dan tanah yang datar.

Di tempat yang sepi itu hati Siau Po merasa sangat tenang, ia merasa telah jauh dari musuhnya dan bahkan musuh tak mengetahui akan keadaannya. Song Ji berotak cemerlang atau pintar, perjalanan dilanjutkan dengan cara seperti primitip dan terus menuju utara, Kalau mereka bertemu dengan para pemburu tak lupa Siau Po meminta keterangan dari mereka itu.

Di atas peta bumi terdapat delapan bundaran merah. itulah letaknya Lok Teng San (Gunung Kaki Tiga Manjangan), Tempat itu merupakan tempat bertemunya dua aliran sungai besar.

Pada suatu hari, akhirnya sampai juga Siau Po dan Song Ji di tempat yang terpisah dari tempat yang lainnya yaitu sebuah Rimba, Di sanalah Siau Po dan Song Ji berjalan dengan berpegangan tangan, Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara ledakan senjata api.

"Mari cepat!" Siau Po berseru sambil menarik tangan Song Ji, "Celaka! Hong kaucu telah menyusul kita!" katanya pula.

Mereka segera bersembunyi ditengah rerumputan yang lebat dan tinggi.

Baru saja Siau Po dan Song Ji bersembunyi terdengar suara teriakan-teriakan dari belasan orang dan juga suara derap kaki kuda yang mendatangi mereka.

Siau Po memasang telinga memperhatikan suara orang dari pihak Hong kaucu yang ia takuti itu. Kacung itu merasa takut, sebab kalau ia sampai di tawan maka kulitnya pasti akan diseset dan ototnya akan ditariki. 

Akan tetapi kemudian Siau Po merasa lega karena yang datang itu bukannya orang dari partai Sin Liong Kau, melainkan orang Iain. Maka ia langsung saja mengintai orang yang baru saja datang itu.

Di sana terlihat orang-orang Tungku berlarian mendatangi, sambil berteriak-teriak. Yang membuat Siau Po kaget adalah terdengarnya suara senjata api yang disusul oleh robohnya satu persatu orang Tungku.

Siau Po memegang tangan Song Ji erat-erat. Dalam hati ia berkata, "Senjata-senjata api itu milik orang asing."

Terkaan Siau Po ternyata benar. Tak berapa lama kemudian datanglah beberapa orang menunggang kuda ke arah Orang Tungku tadi, rata-rata mereka berambut kuning dan bermata biru. 

Jelas mereka itu opsir atau para perwira yang kesemuanya bertubuh kekar dengan muka yang bengis-bengis, Mereka itu bersenjatakan pedang yang melengkung. Dengan senjata api mereka itu menyerang orang Tungku sampai habis, semuanya mati di pedang mereka, Setelah itu mereka tertawa dan berlompatan dari punggung kudanya lalu menggeledah para korban dan mengambil kulit binatang Ciauw, Kemudian mereka berbicara berbisik-bisik dan pergi. Siau Po dan Song Ji terus saja bersembunyi sesudah orang-orang asing itu pergi, barulah mereka keluar dari persembunyian Keduanya tercengang melihat mayat orang Tungku bergeletakan dengan berlumuran darah.

"Hantu-hantu orang asing itu pastilah juga orang-orang begal yang suka merampok Bahkan jauh lebih jahat, Mungkinkah Gouw Sam Kui sudah memulai memberontak?" kata Siau Po dengan kesal.

Siau Po baru teringat telah bersengkongkolnya Gouw Sam Kui dengan bangsa asing, Asal Propinsi Inlam bergerak, maka bangsa Losat akan menyerang dari arah utara, Mengingat angkatan perang lawan sangat kuat dan tangguh, ia pun timbul rasa khawatirnya pada si raja cilik, maka matanya melotot menyaksikan salah satu mayat itu.

Song Ji menyaksikan Siau Po terus.

"Kasihan sekali para pemburu ini pastilah ayah, ibu, istri dan anaknya sedang menanti hasilnya.-." katanya terharu.

"Oh! Aku ingin menemui si raja cilik," kata Siau Po.

"Menemui raja cilik?" tanya Song Ji yang terus saja mengawasi Siau Po. "Tak salah, Gouw Sam Kui telah berkhianat, pastilah raja cilik akan berbicara 

denganku, tentulah banyak kata-kata yang akan dia ucapkan padaku, Taruh kata aku tak dapat memberikan jalan pikiran yang baik, paling tidak aku dapat menghibur hatinya yang sedang resah itu, Nah... marilah kita kembali!" kata Siau Po.

Song Ji merasa heran.

"Jadi batal kita pergi ke Lok Teng San?" tanyanya.

"Sekarang kita tangguhkan dahulu, lain waktu mudah-mudahan kita dapat pergi lagi mencari!" kata Siau Po.

Siau Po tamak tetapi seperti telah ia katakan, kekayaan yang ia pakai sekarang ini sudah tak habis-habisnya. Mengingat Lok Teng San itu merupakan gunung urat nadi raja cilik, ia khawatir jikalau ia menggali tempat pusaka itu ia akan meminta kurban raja cilik, sekarang ini biar bagaimana pun ia merasakan persahabatannya dengan Kaisar Kong Hie sangat erat, Lagi pula jikalau hanya mereka berdua mana dapat menggali harta di Lok Teng San itu? Dan jika mereka berhasil menggalinya, mana sanggup mereka membawa barang itu? Dan bagaimana jikalau kepergok oleh para penjaga gunung itu?

Dalam hal itu Song Ji tak mempunyai pikiran apa-apa ia hanya menurut saja apa kata Siau Po. "Dalam perjalanan itu kita tak boleh bertemu dengan orang asing itu, sebaiknya kita berjalan melalui pesisir pantai saja sambil melihat-lihat apakah terdapat perahu sewaan atau tidak..." kata Siau Po.

Song Ji mengangguk, maka bersama-sama mereka memasuki rimba itu lalu terus berjalan ke arah timur Kira-kira tengah hari mereka sudah tiba di tepi pantai, Dari kejauhan tampaklah sebuah kota, Melihat hal itu hati Siau Po merasa girang sekali.

"Sesampainya di dalam kota, aku akan menyewa perahu atau menyewa kuda itu sama saja, yang penting kita sampai ke kota raja." kata Siau Po.

Maka perjalanan dilakukan dengan cepat.

Setelah lewat beberapa lie, tampak sebuah sungai yang luas yang airnya mengalir dari barat daya dan banyak pengkolannya, Air sungai itu mengalir sangat deras, Yang menarik perhatian yaitu sungai tersebut berhubungan dengan sungai lain.

Menyaksikan sungai itu kemudian Song Ji berkata.

"Siangkong, ini dia sungai Amur serta sungai Hek Liong Kang dan itu. itu adalah 

gunung Lok Teng San." ia pun segera menunjuk pada benteng kota.

Siau Po terperanjat dia menoleh pada Song Ji. iapun mengawasi sasaran yang di tunjuk si nona.

"Apakah kau tidak keliru? Sungguh suatu hal yang sangat kebetulan sekali!" kata Siau Po.

"Demikianlah halnya yang ada dalam peta bumi itu. Dalam peta itu hanya terdapat delapan bundaran berwarna, tetapi tidak ada kota atau bentengnya, " kata Song Ji.

"Di dekat gunung Lok Teng San terdapat gunung lain dan kau katakan tadi tidak ada kota dan bentengnya, sungguh luar biasa! Maka menurutku kota dan benteng itu tak dapat di percaya. sebaiknya kita jangan pergi ke sana.,." kata Siau Po.

"Apakah artinya tidak dapat di percaya itu?" tanya Song Ji.

"Lihatlah di atas benteng kota itu! Bukankah itu ada mengembang mega? Bukankah mega itu mega siluman! Di dalam kota itu mesti terdapat siluman." kata Siau Po.

Song Ji terkejut.

"Oh! Memang aku paling takut pada siluman! Siangkong, mari kita cepat-cepat pergi menyingkir katanya.

Pada waktu itu terdengar derap kaki kuda, dari pesisir pantai yang deras itu, Ketika Siau Po dan Song Ji menoleh tampak dari kejauhan para penunggang kuda. Sementara Siau Po dan Song Ji sedang berada di tempat terbuka dan di sekitarnya pun tanah terbuka, tidak ada tempat untuk bersembunyi. Melihat demikian, Siau Po lalu menarik tangan Song Ji mengajak menjauhkan diri, mereka bergulingan di pesisir sungai dan akhirnya bersembunyi di balik batu yang ada di tepi sungai itu.

Segera juga para penunggang kuda itu melewatinya. Ternyata mereka itu adalah para serdadu bangsa asing. Melihat mereka Siau Po mengeluarkan lidahnya meledek, sementara mereka itu sudah memasuki benteng kota.

"Nah, benar tidak apa kataku? Aku tadi mengatakan bahwa kota itu tak dapat di percaya, hanya saja yang datang tadi bukanlah bangsa siluman, melainkan bangsa asing itu yang menempatinya." kata Siau Po.

"Dengan susah payah kita mencari gunung Lok Teng San dan ternyata bangsa asing itu yang telah menempatinya lebih dahulu dan telah merampasnya." kata Song Ji.

"Oh!" Siau Po menjerit dengan tiba-tiba dan melompat berjingkrakan, "Celaka.   

Celaka!" serunya.

Song Ji terperanjat dan heran.

"Apakah yang kamu maksud dengan celaka?" tanya Song Ji yang melihat wajah Siau Po menjadi pucat.

"Pasti orang-orang asing itu telah mengetahui rahasia gunung Lok Teng San!" kata Siau Po. "Kalau tidak, mau apa mereka datang ke sini? pastilah harta dan juga urat nadi naga itu telah mereka ketahui. "

Song Ji heran karena belum pernah mendengar tentang harta dan juga urat nadi naga itu. Gadis itu hanya mengetahui tentang peta itu yang di dapatnya secara susah payah. ia dapat menerka bahwa pastilah telah ada sesuatunya yang sangat penting dan berharga sekali, ia lalu mengawasi Siangkong atau tuan mudanya itu.

"Siangkong, kalau orang asing itu telah mengetahui dan telah mengambilnya berarti kita sudah tidak ada daya lagi. Mereka bersenjata api lagi pula bengis dan kejam, Kita hanya berdua saja, mana dapat kita melawan mereka yang kuat itu?" katanyaa

Siau Po menghela napas panjang.

"Aneh sekali! Bukankah peta bumi itu baru saja kita selesaikan dalam beberapa hari ini? Bagaimana rahasia itu dapat sampai bocor keluar, terutama dapat diketahui bangsa asing itu? Ah, Tolol, Tolol!" kata Siau Po.

Siau Po memukul kepalanya sendiri. Song Ji segera mencegahnya. "Eh Siangkong kau kenapa? jangan kau memukuli kepalamu sendiri!" kata Song Ji. "Mungkin setelah aku selesai mengakurkan ada orang yang telah mencuri atau 

melihatnya. Aku telah menugaskan Liok Kho Hian dan Ay Gun cia menunggui kau. 

Karena itu mungkinkah yang telah mencuri dan melihatnya itu kedua orang jahanam itu?" katanya.

"Ah! Ya, Mungkin saja! Mungkin mereka telah mencuri dan melihatnya sewaktu aku sedang tertidur pulas." katanya.

Siau Po tertawa.

"Kau yang begini cantik tentulah kedua setan itu telah pula mengawasimu di samping mengawasi peta itu." kata Siau Po.

"Hus!" kata Song Ji yang mukanya terus memerah.

"Aku mengatakan mereka itu telah melihat peta bumi yang kau rancang itu." kata Song Ji.

Siau Po tertawa sementara hati dan pikirannya terus saja bekerja memikirkan hal itu. "Mungkinkah setelah mereka mengetahui peta bumi itu lalu melaporkannya pada 

Hong kaucu dan setelah itu kaucu melaporkannya pula pada orang asing itu? Akan 

tetapi mengapa mereka mengatakannya secepat ini? Mengapa kaucu tidak menelannya sendiri? Padahal itu pastilah terdapat rahasianya, sekarang aku harus mengetahui apakah bangsa asing itu telah mengetahuinya atau belum? Apakah mereka telah merusaknya atau belum? Tak dapat tidak aku harus melakukan penyelidikan untuk mendapatkan kepastiannya."

"Bukankah kalau aku pergi ke sana itu sangat berbahaya? Maka aku harus mencari akal agar aku dapat pergi ke sana." katanya.

"Kita pergi nanti saja setelah matahari terbenam. Dengan demikian mereka akan mengalami kesulitan untuk mengetahui kedatangan kita, maka kita dapat lebih leluasa." kata Song Ji

Siau Po membenarkan pikiran Song Ji. ia terus makan daging dendeng bekalnya itu. Setelah itu mereka merebahkan diri sambil menanti datangnya sang malam.

Kira-kira jam dua mereka bangkit menuju ke kota, malam itu jagat sangat sunyi, rembulan pun bercahaya terang.

Terlihat benteng kota yang tentunya di buat bukan dalam waktu satu hari. Ketika berjalan, Siau Po terperanjat melihat bayangan sendiri dan Song Ji. "Dari atas musuh pasti akan melihat kedatangan kita." kata Siau Po.

"Kalau mereka menembak beberapa kali saja, pastilah jiwa kita akan melayang..." pikirnya.

Maka Siau Po menarik tangan Song Ji dan langsung dibawanya bersembunyi sambil mereka memasang telinganya.

Di atas tembok sebelah timur laut tampak sebuah rumah kecil yang jendelanya terbuka, Dari jendela itu ke luar sinar yang terpancar dari sebuah lampu, Rupanya di sana terdapat tempat untuk berjaga-jaga.

"Mari kita pergi ke sana untuk menyingkir dari para penjaga yang berada di dalam rumah itu!" kata Siau Po dengan berbisik-bisik di telinga Song Ji.

Song Ji mengangguk.

Mereka berdua lalu mengendap-endap untuk naik ke atas rumah itu.

Setelah sampai di rumah itu, mereka berdua mendengar suara tawa dari dalam rumah itu. Setelah mereka perhatikan suara tawa itu ternyata suara tawa seorang perempuan. Berkali-kali wanita itu tertawa genit sambil berkata.

Siau Po dan juga Song Ji terheran-heran mendengar suara tawa itu, Mereka saling memandangi dan berkata dalam hati masing-masing. "Mengapa dalam rumah penjagaan ini terdapat seorang wanita?"

Siau Po mencoba mengintip dari celah-celah jendela, tetapi tak terlihat, sebab dalam musim dingin ini orang memakai gorden tebal, sedangkan suara tawa itu terus saja terdengar dari luar dan sesekali mereka berkata-kata namun bahasa mereka itu tak dapat dimengerti oleh Siau Po. 

Siau Po hanya dapat menerka-nerka, bahwa sepasang manusia yang ada di dalam rumah itu pastilah bukan orang baik-baik. Mereka pastilah sedang melakukan perbuatan yang kurang sopan....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar