Kaki Tiga Menjangan Jilid 58

Jilid 58

Siau Po mengangguk

"Aku tahu itu," katanya, "Terang mereka sudah bernyali besar."

"Memang demikian adanya, maka mendengar kata-kata demikian kami menjadi marah, bahkan Co Jioko melemparkan uang kemudian ia menghunus pedangnya. Di luar dugaan dengan hanya sekali kibas saja Co Jioko sudah terkena tinjunya, bahkan lebih dari itu langsung tak dapat bangun lagi. Melihat kejadian itu kami berempat menyerang bersama-sama, orang itu lihay luar biasa. Di luar sadarku, aku terkena tinjunya hingga kepalaku menjadi pusing, tubuhku terlempar ke luar kamar judi dan aku tak ingat apa-apa lagi, Kemudian ketika kami sadar tampak kawan-kawan kami sudah pada pingsan semua, sedangkan dengan sebelah kakinya, musuh menginjak kepala Jioko seraya ia berkata:  "Di sini ada enam kepala, masing-masing kepala seharga enam ribu tail perak. Maka sekarang cepat kau pergi untuk mencari uang guna membebaskan kawan-kawan kalian ini, tuan besarmu akan menunggu. Selama dua jam dan selebihnya aku tak tahu menahu. Aku akan memenggal kepala kawan-kawanmu satu persatu, dan nanti aku akan menjualnya dengan harga sepuluh tail perak untuk satu kepala, Jika barang itu tak laku aku yakin akan dapat menjual seribu untuk salah satu kepala kalian."

"Orang macam apa dia itu? Kalian dapat mengenalinya atau tidak?" tanya Siau Po dengan perasaan yang mendongkol.

"Dia bertubuh gagah dan berkepala besar, mukanya penuh dengan rambut dan jenggotnya putih," sahut orang yang ditanya "Tetapi ia mengenakan pakaian acak- acakan. Dia lebih mirip dengan seorang pengemis tua."

"Apakah dia mempunyai kawan? Dan berapa jumlah kawan-kawannya itu?" tanya Siau Po.

"ltu yang bawahan tak memperhatikannya. Ketika itu, di tempat judi ada tujuh atau delapan belas orang tetapi aku tak tahu mereka itu kawannya atau bukan." jawab Kong Lian.

Siau Po dapat mengetahui kebingungan orang itu sebab orang itu baru saja kena hajar jadi dia tak dapat berpikir secara normal.

"Tak mungkin aku akan membawa serdadu yang jumlahnya banyak itu hanya untuk satu orang yang seperti pengemis itu." kata Siau Po dalam hatinya.

"Kalau aku memerintahkan seratus Sie Wie yang dapat diandalkan untuk mengawal tuan aku rasa sudah cukup." kata Kong Lian.

Siau Po berpikir sebelum menjawab pertanyaan Kong Lian itu. Dan setelah mendapatkan jalan pikirannya Siau Po berkata.

"Tak usah biar aku saja yang menyelesaikannya, kalian jangan khawatir!" kata Siau Po.

"Tetapi mereka itu sangat lihay dalam ilmu silatnya." kata Kong Lian memperingatkan Siau Po.

Siau Po tak menjawab perkataan Kong Iian, ia malah kembali ke kamarnya untuk mengambil uang emas dan gimpon. Setelah itu Siau Po pergi ke kamar dua orang kawannya.

Kedua kawan Siau Po yang diajak pergi tersebut bukanlah orang-orang sembarangan melainkan orang yang mempunyai ilmu silat yang tinggi, umpamanya saja Ay Cun-cia dia dapat menandingi orang-orang Siau Lim Pay dari kalangan Sip-Pat  Lohan atau Lohan yang ke delapan belas, begitu juga Ko Han, dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi.

Untuk menghadapi orang yang menahannya itu Siau Po merasa sudah cukup.

Walaupun dengan hati yang tidak tenang Kong Lian akhirnya mengantarkan Siau Po dan kawan-kawannya itu ke tempat judi, dari luar Siau Po dan kawan-kawannya sudah dapat mendengar omongan mereka yang berada dalam rumah judi tersebut.

"Kepandaian berjudiku ini, terkecuali orang yang pandai luar biasa, tak mungkin ada yang dapat mengalahkan." kata salah seorang penjudi itu.

Siau Po kemudian memasuki rumah itu, sedangkan kawannya dan juga Kong Lian menunggu di depan pintu, untuk selanjutnya menunggu aba-aba dari Siau Po.

Setelah Siau Po dan kawan-kawannya memasuki rumah itu, mereka terdiam, Kemudian Siau Po mengawasi sebuah meja dengan empat orang yang sedang asyik berjudi seolah-olah mereka tak mengetahui kedatangan Siau Po dan kawan-kawannya itu.

Di bawah orang yang sedang berjudi itu tampak para Sie Wie yang masih mereka tawan, dan tampak di antara mereka seorang yang mengenakan baju robek-robek, dan pada badannya dipenuhi dengan rambut itulah orang yang dimaksud dengan Kong Lian.

Di ujung meja duduk pemuda tampan, yang dandanannya mirip seorang pelajar. Melihat pemuda itu Siau Po langsung mengenalinya dalam hati ia berkata, "Ah, dia! Mengapa dia ada di sini?"

Pemuda itu adalah Lie See Hoa, yang pernah bertemu dengan Siau Po di kota raja. ia mempunyai ilmu silat yang cukup lihay tetapi ia pernah juga diajar oleh ilmu silat jambretan Gie Sin Jiaou dari Tan Kin Lam dan semenjak itu ia tak pernah bertemu lagi dengannya.

Dan tampak di sebelah utara seorang yang luar biasa, dengan pakaian rapi dan sangat indah, ia mengenakan baju panjang dengan lapisan muka semacam rompi sulam, ia menyipitkan dan mengarahkan matanya pada kartu yang dipegangnya, sudah jelas ia tengah memusatkan perhatiannya pada kartu itu.

Setelah memperhatikan orang-orang itu, Siau Po lalu mencari tempat duduk dekat mereka.

"Keempat sahabat, nampaknya kalian tengah bergembira sekali, bagaimana jika aku turut dengan kalian berempat main? Dapatkah?" ujarnya sambil tertawa.

Tatkala Siau Po ingin mendekati, tampak di atas meja telah bertumpuk uang kira-kira berjumlah lima atau enam ribu tail perak, terutama yang terbanyak yang ada di depan  pak tani yang wajahnya nampak sedih dan berduka. Anehnya, orang itu tidak merasa puas dan masih saja tampak sedih.

"Bagus. Bagus!" kata orang itu sambil tertawa terbahak-bahak, "Lihatlah siapa yang 

menang?"

Siau Po terus saja memperhatikan orang-orang yang sedang bermain itu. Petani itu rupanya penggemar judi, Hal ini dapat dilihat baik kalah maupun menang ia tetap tenang.

Siau Po menyaksikan kedua orang itu tengah bertengkar omong, yaitu antara pak tani itu dengan yang kate gendut.

Melihat hal itu Siau Po berkata.

"Sudah. Sudah,., daripada main kartu lebih kita main dadu!"

Si kate menggoyang-goyangkan kepalanya. "Aku justru senang main kartu." katanya.

"Tapi kau tak mengerti aturan mainnya mana dapat kau melanjutkan permainan itu?" kata temannya.

Si kate itu menjadi gusar maka ia mengangkat badan orang yang berkata itu lalu digoyang-goyangnya.

"Apa katamu?" tanyanya dengan sengit "Kau katakan aku tak mengerti aturan permainan kartu?"

Siau Po merasakan tulang tubuhnya pada berbunyi.

"Kho Cun Cia, jangan-jangan tuan ini Wie Tayjin. kau jangan bertindak 

sembarangan jangan sampai kau mendapat salah! Cepat kau bebaskan dia?" kata Ay Cun-cia.

"Apa?" tanya si kate "Apakah,., apakah. apakah ia Wie Siau Po? Ha, ha, aku 

memang sedang menanti dapat bertemu dengan dia, ini sangatlah kebetulan sekali."

"Kho Cun-cia," tegur Kho Hian. "Kau sudah mengenal Wie Tayjin, tetapi mengapa kau masih kurang ajar padanya? Cepat kau bebaskan dia!"

"Sekalipun kauwcu yang datang padaku, masih aku tidak mau membebaskannya, kecuali jika ia memberikan obat pemunah Kay-toh!" katanya.

"Sudah, Suko jangan kau main gila! Kau toh tak meminum racun itu, buat apakah obat pemunah itu?" tanya Ay Cun-cia. "Kau tahu apa?" kata si kate dengan suara keras, "Cepat kalian buka jalan untukku, jangan kalian tidak dapat berlaku sungkan lagi!"

Saat itu Siau Po baru mengerti kalau orang yang gemuk itu adalah gendak ibu suri yang palsu yang dahulu pernah kepergok dengannya dalam keraton. 

Dan yang lebih mengherankan dia itu kakak seperguruan Ay Cun-cia dan sekarang Siau Po baru dapat melihat orang itu dengan jelas.

Ingat pada si kate itu, Siau Po berpikir lebih jauh, "Menurut Ay Cun, dia dan si kate ini dahulu diperintahkan oleh gurunya untuk pergi ke luar negeri, tetapi mereka diserang angin sehingga mereka harus kembali lagi ke darat belum pada waktunya. Karena mereka sudah terlanjur meminum obat racun itu sehingga Ay Cuncia kini bertubuh jangkung dan kurus sedangkan Kho Cun-cia bertubuh gemuk sehingga mirip dengan labu. Tetapi mereka itu telah meminum obat pemunah racun itu, mengapa sekarang ia memintanya padaku? Oh, ya aku mengertil ibu suri masih belum dapat disembuhkan dan mereka berdua adalah sahabatnya yang sangat kental."

Memikir hal tersebut Siau Po lalu mengeluarkan suaranya,"jikalau kau menginginkan obat pemunah itu, bebaskan dulu aku, baru nanti kuberikan obat itu padamu."

Mendengar sebutan nama obat itu Kho Cun-cia menjadi takut dan ngeri lalu ia menurunkan tangannya, dan menyodorkan tangan kirinya untuk meminta obat itu. "Mana, mari kau berikan obat itu padaku !"

"Tetapi kau telah berlaku kurang ajar terhadapku." kata Siau Po. Meskipun demikian ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan lencana Ngo Liong Leng.... Lima Naga... seraya berkata dengan keras, "Kau lihat apa ini?"

Orang itu nampak sangat kaget sehingga mukanya pucat, tetapi ia masih saja sangsi. Kakinya mundur satu langkah sedangkan matanya mencekung.

"Eh, Kho Cun-cia apa katamu barusan?" tanya Siau Po.

Rupanya si kate itu telah berpikir dan secara tiba-tiba ia melakukan penyerangan pada Siau Po, tangannya diarahkan pada dada lawan.

"Cepat berikan obat itu!" katanya dengan berteriak. "Jangan!" teriak Ay Cun-cia dan Liok Kho Hian serentak.

Sementara itu datang pula tiga tangan, itulah si pengemis tua yang mengancam jalan darah Pek-hiat-hwee pada kepala, tepatnya ubun-ubun tangan Lie See Hoa mengancam belakang kepalanya, jalan darah Giok-Cu Hiat, dan tangan si pak tani sudah siap menotok mukanya, tepatnya pada matanya. Kho Cun-cia kalah daripada Siau Po, tak heran kalau tangan tiga orang itu telah mengancam muka, dada, kepala dan punggungnya.

"Jangan!" Mereka berteriak mencegah. Mereka tahu jika ia mengerahkan tenaganya, Khu Cun-cia akan tak bernyawa lagi.

"Eh, kate! Angkatlah tanganmu!" kata si pengemis.

"Asal ia memberikan obat itu padaku, aku akan mengangkat tanganku dari sini?" katanya.

"Jikalau kau tak mengangkat tanganmu aku akan mengarahkan tenagaku untuk mencegahnya!" ancam si pengemis itu.

"ltu tak apa paling-paling kita mati bersama-sama." kata si kate itu.

Justru saat mereka itu sedang berbicara Ay Cun-cia dan Liok Kho Hian bergerak benama-sama masing-masing mengancam dada dan leher pengemis itu.

Melihat itu semua pak tani menjadi tertawa sendiri, tetapi tak ayal ia pun terkena ancam, sehingga jumlah mereka yang saling ancam itu tujuh orang.

Siau Po tertawa.

"Sungguh menarik hati! Eh, orang cebol! jikalau kau menghajar aku sampai mati, itu tidak ada artinya, kau tahu, kau tak akan mendapatkan obat itu, yaitu obat Tok Liong Wan yang hanya ada di Siau Lim See. hendakmu yang tua itu nanti akan mati secara perlahan-lahan pertama dagingnya membusuk, kemudian kepalanya membotak, dan kemudian. "

"Tutup mulutmu!" kata si katai. Siau Po tertawa.

"Dan mukanya karena luka itu nantinya akan menjadi bolong-bolong. !" demikian 

katanya tanpa menghiraukan larangan itu.

Baru berhenti suara Siau Po, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan keren. "Di manakah tawanan semua?"

Suara itu telah berhasil menarik perhatian orang-orang itu, sehingga mereka terperanjat karena kaget Mereka lalu berpaling ke arah suara itu. Bersamaan dengan itu mereka melihat sinar putih pedang yang mengkilap. 

Kemudian tampak seseorang mendekati mereka. Kemudian orang itu menotoki jalan darah mereka, maka tak ayal lagi mereka ambruk semua. Ternyata yang datang itu berjumlah empat orang.

"Oh, A Ko kau datang!" kata Siau Po dengan suara perlahan sekali. Yang berdiri di sisi A Ko adalah Lie Cu Sen, di sebelah kirinya The Kok Song, dan di sebelah kanannya justru orang She The yang paling tidak ia sukai.

Masih ada orang yang ke empat, dialah Phang Sek Hoan yang bergelar "lt Kian Gu Hiat" si pedang tanpa darah.

Di antara kedelapan orang itu, bahkan Kong Lian terkena tusukan.

"Kau makhluk apa? Kau berani menotok jalan darah Kwat-hiat dan Sin-tong-hiat aku?" kata Kho Cun-cia.

Phang Sek Hoan tertawa dingin.

"Ternyata ilmu silatmu tak ada apa-apanya. Kau ketahui jalan darahmu kena tertotok." katanya.

"Cepat kau bebaskan jalan darahku, mari kau layani orang tuamu beberapa jurus! Caramu sekarang ini main bokong, itu bukannya cara orang Enghiong." kata si kate.

"Kaukah si Enghiong? Benar-benar gila! Bukankah kau roboh di lantai tanpa berkutik? Beginikah cara orang Enghiong?" tanya Sek Hoan.

Kho Cun Cia panas hatinya.

"Tuan besarmu bukan roboh, melainkan dia sedang duduk. Apakah kau tidak punya mata?" katanya sengit.

Sek Hoan mengangkat kakinya dan ia lalu menendang orang kate itu, Si kate jatuh roboh tetapi anehnya, ia cepat bangun kembali sehingga ia terduduk lagi seperti semula, Memang beda dengan yang lainnya, ia duduk tidak jatuh seperti yang Iainnya, itu dikarenakan badannya yang gemuk itu dapat menjadi bahan penimbang. 

Asalkan mau roboh, ia dapat bangun kembali, jadi ia seperti boneka yang tak dapat tertidur, ia hanya duduk saja.

The Kek Song tertawa menyaksikan hal itu.

"Kau lihat adik Kok?" demikian katanya, inilah suatu boneka hidup! Bagus bukan?" lanjutnya.

"Ya, memang sangat aneh dan sangat lucu!" jawabnya.

"Kau mau mencari si setan cilik untuk membalas sakit hatimu dan akhirnya sekarang kau dapatkan itu dapat memenuhi keinginanmu dan kita telah berhasil menawannya.  Seterusnya kau boleh menyiksanya dengan perlahan-Iahan. atau barangkali kau ingin membinasakannya dengan satu kali tebas saja?" tanya Kek Song pada A Ko.

Siau Po terkejut.

"Si setan cilik?" pikirnya, "Terang dengan demikian akulah orang yang dimaksudkan Mustahil A Ko akan membinasakan aku? Aku toh tak pernah bersalah padanya?"

Segera terdengar suara sengit dari si nona.

"Jikalau aku melihat dia lama-lama hatiku semakin panas! Aku pikir, jika kutebas satu kali saja, hal itu lebih memuaskan hatiku." kata A Ko dengan kesalnya.

Kata-kata itu dibarengi dengan keluarnya sebuah golok dari dalam sarungnya, Kemudian nona itu mendekati Siau Po.

"Jangan. jangan bunuh dia!" kata Kho Cun Cia, Liok Kho Hian dan juga Kong Hian.

"Su-Cie, bukankah aku tidak. " kata Siau Po.

"Siapa yang menjadi Su-Ciemu? Setan cilik kau justru berdaya hendak mencelakai aku." kata si nona yang langsung mengangkat pedangnya untuk menikam dada Siau Po.

Semua orang yang berada di sana berteriak, justru itu pedang si nona terpental setelah mengenai sasaran sedangkan Siau Po tak terluka, karena ia menggunakan baju anti senjatanya yang tak mempan dengan senjata apa pun. Menyaksikan hal itu si nona tercengang saking herannya.

"Tusuk matanya!" kata Kek Song, Sebab ia mengetahui kalau orang tidak mempan ditusuk badannya maka ia akan mempan jika ditusuk matanya.

"Benar," kata si nona yang sadar, dan terus mengulangi serangannya dan kali ini mengarah ke mata Siau Po.

Kembali orang-orang itu terkejut.

Sewaktu serangan berlalu, ada orang melompat menubruk Siau Po. Dia berlompat dari pojok tembok, karena itu ujung pedang mengenai bahunya.

Akan tetapi ia terus memeluk Siau Po, untuk diajak menjatuhkan diri kembali ke pojok rumah, ia lalu mengambil pisau Siau Po.

Orang itu memakai pakaian tentara Sie Wie, tubuhnya kotor dan dekil, walaupun orang tak melihatnya, dia pasti memiliki ilmu silat yang tinggi. "Ah, dia setia sekali." demikian kata mereka bersama. Phang Sek Hian menghunus pedangnya, ia maju lalu memutar tubuhnya dan senjatanya sehingga ruangan itu penuh dengan sinar berkilauan dan langsung menyerang tentara itu.

Senjata itu beradu dengan senjata lawan, akan tetapi tentara itu banyak mengeluarkan darah.

Sek Hoan malu dan penasaran, wajahnya jadi merah padam.

Terdengar suara "Trang" senjata kedua belah pihak beradu. Karena beradunya senjata itu maka senjata lawan yang beradu dengan senjata Siau Po menjadi buntung.

Maka itu Siau Po sudah kembali pada jalan darahnya.

"Ha ha ha ha! Phang Sek Hian, kau hanya dapat melawan serdaduku dan mencelakainya saja, Untuk itu sebaiknya kau ganti saja gelarmu dengan yang lainnya. Bagaimana jika kuganti dengan Poan Kiam Yu Hiat Phang Sek Hian?" katanya.

Setelah itu Cun Cia sangat gusar dan kesal sekali, Bukankah mereka itu orang-orang yang lihay dalam ilmu silatnya, sementara yang sedang tertotok itu lalu tertawa mendengar Siau Po menyebutkan kata-kata itu.

Begitu juga si pengemis tua, dia langsung memperdengarkan suaranya yang nyaring. "Bagus. Bagus kata-kata itu sangat cocok denganmu, gelar itu sekarang dapat kau 

gunakan, Dasar kau orang yang tidak tahu malu!" katanya.

Lie See Hoan heran.

"Kenapa dia terhitung juga keduanya?" tanyanya, "Aku mohon penjelasan darimu!" "Sebab jika diadu dengan Gauw Sam Kui ia masih kalah seurat!" sahutnya.

Kembali orang banyak tertawa lagi.

"Menurut aku bedanya sangat terbatas!" kata Kho Hian turut berkata pula.

Panas hati Sek Hian mendengarkan kata-kata itu, tetapi ia masih dapat mengekang amarahnya, sehingga tubuhnya bergetar

"Apakah She dan namamu?" dia tanya pada si serdadu, "Hari ini aku belum mau mengambil nyawamu, tetapi lain waktu jika ketemu lagi denganku tak dapat aku mengampunimu. Aku akan membuat kau mati secara tersiksa!"

"Aku, aku. " sahut si serdadu suaranya perlahan namun halus,

Siau Po terkejut dan merasa girang. "0h. Oh, kiranya kau Song Jie!" Siau Po lalu membuka topi Song Jie maka 

terlihatlah rambutnya yang panjang itu, Kemudian ia merangkul tubuhnya dan berbalik menatap pada Phang Sek Hian dan berkata, "Hm, sekali pun budak cilik, kau tak sanggup melawannya! Untuk apa kau membual. ?"

Sek Hian gusar mendadak, kakinya terangkat lalu menginjak meja yang ada di depannya, Maka uang yang ada di atas meja itu juga tubuh Tiao Cee Hian ikut terangkat

Setelah itu mereka berjalan pergi, tetapi baru saja sampai di pintu ada dua orang yang menghampirinya.

"Minggir!" bentaknya dengan suara keras.

Tangannya beradu dengan tangan orang yang berada di depan pintu, Kedua orang tua terdorong beberapa langkah ke belakang. Sek Hian terus melangkah, sementara kedua orang itu langsung mengeluarkan darah segar dari mulutnya.

Siau Po cepat-cepat memaksakan diri untuk bangun, Setelah melihat lebih dekat ternyata yang datang itu Cie Tiong, Hian Ceng, Dan tak lama kemudian datanglah kawan-kawan Siau Po.

A Ko yang melihat kawan-kawan Siau Po semakin banyak itu memberikan isyarat pada kawannya agar segera pergi.

Lie Cu Seng menghampiri Siau Po, lalu ia menghentakkan tongkatnya ke lantai, terus ia berkata.

"Seorang laki-laki sejati harus dapat membedakan budi dengan sakit hati! Dahulu gurumu tidak membinasakan aku, maka hari ini kau pun tidak aku bunuh, senang aku mengampuni selembar nyawamu! Namun setelah hari ini jika kau masih tetap mengikuti putriku, atau kau mengucapkan sepatah kata dengannya, awas, akan aku cincang dagingmu hingga hancur!"

Siau Po berani sekali.

"Apakah menurutmu tentang satu ucapan yang dikeluarkan oleh seorang laki-laki? Dahulu kau katakan A Ko telah resmi menjadi istriku, Hal itu kau ucapkan di depan kekasihmu Tan Wan Wan, di kuil Sam Seng Am, Mengapa sekarang kau melarangku untuk bertemu dengan istriku? Mengapa kau menyangkalnya? Mustahil kau, seorang mertua melarang anaknya bertemu dengan suaminya!"

Muka A Ko menjadi merah.

"Ayah, mari kita pergi!" ajaknya pada Lie Cu Seng, "Janganlah Ayah melayani orang yang bicara ngaco itu! Di. Di mulut anjingnya tak mungkin terdapat gigi gajah, Maka 

itu mana dapat kita mengeluarkan kata-kata yang baik padanya.,.?" "Bagus.,.! Akhirnya kau mau mengakui ia sebagai ayahmu! Bagaimana tentang keputusan ayah dan bundamu, kau turut atau tidak?"

Lie Cu Seng gusar bukan kepalang, belum lagi putrinya menyahut dia mengangkat tongkatnya.

"Hay, Anak haram masih kau tak mau menutup mulutmu.,.?" tegurnya dengan bengis.

Melihat hal itu kawan-kawan Siau Po langsung maju dengan golok terhunus...

Cian Lao Pun dan Cian Coan langsung membacokkan goloknya ke punggung Lie Cu Seng, Melihat lawan menyerang maka Lie Cu Seng memutar tongkatnya untuk menangkis golok lawan, Dengan demikian maka gagallah serangan itu.

Kho Gan Ciauw pun sudah mengeluarkan golok dari sarungnya segera digunakan untuk memapak serangan senjata lawan. Siau Po yang menyaksikan hal itu segera berkata dengan suara keras.

"Lie Cu Seng, kau ingat, selama dalam kota Kun-beng, siapakah yang telah menolong jiwamu? Anakmu dan kekasihmu? Mengapa sekarang kau menentang budi baikku dan berlaku begini menentang perikebajikan? Sungguh kau tidak tahu malu!"

Mendengar perkataan Siau Po, Lie Cu Seng dan juga yang berada di luar merasa sangat kaget Lie Cu Seng sangat tersinggung.

"Kau.... Kau. " Lie See Hao berseru, "Lie Cu Seng, kiranya kau belum mati, bagus!"

Kata-kata itu dikeluarkan dengan nada penasaran.

Dahulu semasa berkuasa, Lie Cu Seng memandang jiwa orang lain bukanlah jiwa manusia, maka itu ia telah menyebabkan banyak orang merasa sakit hati, hingga banyak orang yang menginginkan balas dendam padanya, sekarang pun ia masih ingin membalas dendam padanya, maka setelah ia mendengar nama itu darahnya mulai mendidih. Padahal sebelumnya ia orang yang paling sabar

A Ko menarik baju Lie Cu Seng.

"Ayah, mari kita pergi!" katanya dengan berbisik.

Kembali Lie Cu Seng menggedukkan tongkatnya ke lantai, kemudian berlalu pergi, diikuti anaknya dan Kek Song.

Melihat itu Lie See Hao berkata dengan suara nyaring. "Lie Cu Seng, jikalau kau laki-laki sejati, kutunggu kau pada waktu dan tempat yang sama. Kutantang kau bertempur satu lawan satu, sampai diantara kita ada yang mati! Kau mempunyai nyali atau tidak?"

Lie Cu Seng kemudian berpaling, matanya mengawasi tajam, dengan tatapan menghina lalu ia menjawab.

"Loocu telah malang melintang di kolong langit ini! Ketika itu kau belum lahir Karena aku seorang She Lie, aku orang gagah, laki-laki sejati atau bukan, tak usah kau yang menilainya!"

Semua orang terdiam, tetapi semua beranggapan katanya itu beralasan, mereka mengetahui kalau Lie Cu Seng bukan hanya orang yang berani, tetapi juga bertanggung jawab. 

Hal itu diakui mereka baik yang menyukainya maupun yang tidak. Dan ternyata sekarang walaupun sudah berusia lanjut, ia tetap gagah dan perkasa.

"Song jie, bagaimana kau datang ke mari? Kebetulan sekali kau pun telah dapat menolongku! Jika tadi tidak kau tolong mungkin aku telah mati di tangan istriku itu!" kata Siau Po sambil membantu membalut luka di tubuh Song Jie.

"Aku bukannya datang secara kebetulan tetapi memang telah mengikutimu sejak tadi, hanya saja Kong Kong tak mengetahuinya!" jawab Song Jie.

Siau Po heran. "Jadi kau senantiasa berada di dekatku?" tanya Siau Po.

Bersamaan dengan itu terdengar suara nyaring dari Kho Cu. Cia, "Hai, tolong bebaskan totokan ini, dan cepat kau berikan obat itu kalau tidak awas aku..."

Mendengar itu, mereka semua tertawa,

Akhirnya mereka dibebaskan dari totokan satu persatu, Yang pertama dibebaskan yaitu si petani, setelah itu kedua kawan Siau Po kemudian si pengemis tua. Dan terakhir Kho Cun Cia, namun yang terakhir ini tidak langsung dibebaskan.

Akhirnya mereka merasa kasihan dengan keadaan Kho Cun Cia maka si pengemis itu lalu membebaskan totokan itu.

Setelah bebas dari totokan Kho Cu Cia langsung menyerang Siau Po. Melihat hal itu, si pengemis langsung mencegahnya, tetapi Kho Cun Cia balas menyerang pada si pengemis.

Si pengemis berkelit ke sisi, dari situ ia mengirim tangannya ke atas untuk menyerang tubuh lawan. Namun si penyerang dapat menekan kaki lawan, hingga tubuhnya kembali terpental. -ooo) II-62 (ooo-

Kejadian itu terus berulang beberapa kali, hingga tubuh Kho Cun Cia seperti tak pernah menapak lantai, Dari situ terbukti ilmu silatnya benar-benar lihay, Hingga Lie See Hoa semua menjadi kagum pertempuran seperti itu belum pernah mereka menyaksikan sebelumnya.

Diam-diam semua orang pun memperhatikan cara bersilatnya si pengemis yang tak kalah lihaynya itu.

Dari sikap serangan dan gerakan yang dilancarkan dalam pertarungan itu terasa seru dengan menggetarkan, hal itu membuat Lie See Hoa semua mundur ke tembok.

Segera juga terdengar seruan Kho Cun Cia ketika kembali menyerang si pengemis tersebut yang dimulai dengan tangan kanannya dan disusul tangan kirinya mengancam ubun-ubun lawan.

"Bagus!" berseru si pengomis, yang langsung bergerak merendah sambil kedua tangannya diangkat ke atas perlahan untuk menyambut Maka tangan mereka yang saling beradu keras, Dan kesudahannya, lagi-lagi Kho Cun Cia terpental ke atas, hingga tubuhnya membentur langit-langit. 

Tampak beberapa genteng pecah dan jatuh berantakan, tempat itu pun seketika berantakan, berserakan pecahan genteng di mana-mana.

Setelah membentur tubuh Kho Cun Cia terbanting ke lantai.

Kali ini si pengemis menyingkir ke sisi, membiarkan tubuh lawannya jatuh ke lantai. "Hahaha!" si pengemis tertawa melihat lawannya jatuh, Belum berhenti suaranya, 

tubuh Kho Cun Cia kembali melesat ke atas dan dengan kepalanya dia menyerang pula.

Si pengemis bergerak ke pinggir untuk menyelamatkan diri, Dengan posisi terbaring tangan kanannya dipakai untuk menepuk kepala lawan sambil berseru, Maka terlihat tegas bagaimana Kho Cun Cia meluncur terus semakin keras, Kepalanya bergerak menuju ke tembok di depannyal

Ketika kepala itu membentur tembok, semua orang terkejut melihat kejadian tersebut itulah yang berbahaya buat Cun Cia.

Ay Cun Cia juga melihat bencana bagi saudara seperguruannya itu, namun ia tak menjadi bingung dan gugup. Sebab luar biasa ia menyambit tubuh orang Sie Wie yang menggeletak ke tanah dan ia lemparkan ke arah tembok, mendahului tubuh saudara seperguruannya.  Hal itu tepat ketika kepala Kho Cun Cia menghajar tembok, maka terasa kepalanya terganjal perut Sie Wie. seketika perut Sie Wie itu pecah dan meletus kepala Kho Cun Cia melesak ke dalam perut yang pecah itu.

Tak urung, tembok itu gempur tertembus tubuh Sie Wie.

Ketika Kho Cun Cia menjejakkan kaki tubuhnya berdiri sedikit terhuyung. Kepala dan kakinya berlepotan darah Sie Wie. Dia mendongkol sekali hingga mengeluarkan kutukan, Dia pun repot membersihkan darah di muka dan kakinya itu.

Semua orang terkejut dan kagum, bersyukur Kho Cun Cia tak kurang suatu apa pun pada dirinya.

"Nah bagaimana?" si pengemis tertawa dan bertanya, "Kau masih mau bertempur atau cukup sampai di sini?"

"Dahulu waktu tubuhku tinggi besar, kau tak dapat mengalahkan.." sahut Kho Cun Cia.

"Dan sekarang?" tegas si pengemis.

Kho Cun Cia menggeleng kepala. "Sekarang aku tidak sanggup melawanmu!" jawabnya manggut "Ya. Sudah, sudahlah!"

Setelah mengaku kalah, tubuh Koh Cun Cia mencelat ke arah dinding, ke tempat tadi tubuh Sie Wie yang menghalang-halangi. Hingga terdengarlah suara keras dan berisik, sebab tembok tergempur dan tertembuskan tubuh Sie Wie turut molos ke luar.

Ay Cun Cia kaget sekali.

"Suko! Suko!" panggilnya berulang-ulang dan ia pun terus melompat menyusul saudara seperguruannya.

"Wie Tayjin... nanti aku pergi melihat," kata Lio Kho Hian, yang terus memberi hormat pada si Tayjin cilik, untuk berlompat pergi, menjeblos lobang di dinding tembok itu.

"Bagus!" beberapa orang memberikan pujian sesuai dengan apa yang telah disaksikan Suatu pertunjukan yang indah dari orang She Liok itu ketika loncat keluar.

"Sementara itu Cie Thian Thoan Cian Lao Pan semua berkata di dalam hatinya masing-masing. Entah dari mana Wie Hiocu dapat berdua sebawahannya itu. Ternyata mereka memiliki ilmu silat yang baik sekali dan mahir, mereka lebih jauh menang dibandingkan dengan kita."

Sementara itu Lie See Hong memberi hormat seraya berkata, "Maaf, aku tak dapat lama menemani pula," lalu terus berjalan pergi. Siau Po memberi hormat pada pengemis seraya berkata, "Heng Tay, dapatkah mereka itu diijinkan pergi?" ia pun menunjuk pada Cie Hian semua, ia memanggil "Heng Tay, itu adalah sebutan kakak yang dihargai atau terhormat.

Pengemis itu tertawa.

"Jikalau dari tadi siang aku tahu bahwa mereka sebawahan saudara Wie, aku tidak berani berbuat salah terhadap mereka," katanya seraya mengulurkan tangan. Tak tampak bagaimana caranya bekerja, setelah orang pada bangun berdiri mereka semua telah terbebas dari totokan masing-masing. 

"Terima kasih!" kata Siau Po, dan terus meminta Cie Hian untuk memintanya pulang terlebih dahulu.

Cian Coan melirik pada Song Ji.

"Apakah nona ini menjadi orang kepercayaan Wie Hiocu?" tanyanya. "Benar," sahut Hiaucu itu. "Apakah juga tidak disembunyikan dari dirinya?"

"Nona ini sangat muda tapi dia memiliki kesetiaan dan keberanian yang tinggi." si pengemis angkat bicara, "Susah mencari orang seperti dia yang berwatak demikian itu, Coba tadi dia tidak datang menghadang, pastilah mata Hiocu tak akan terlindung dengan baik tanpa dia."

"Benar-benar!" kata Siau Po seraya menarik tangan si nona. "Syukur dia telah menolongku!" lanjutnya.

Wajah Song Ji menjadi merah seluruhnya, ia malu karena banyak orang memujinya dan ia langsung menunduk tak berani mengawasi mereka satu persatu.

Cie Cian Thoan melangkah ke depannya si pengemis. "Lima orang yang memisahkan sebuah syair tubuh Hong Eng tak ada yang tahu!" katanya, seraya menggunakan kata-kata Thian Tee Hwee.

Atas ucapan itu si pengemis menjawab! "Sejak ini dapat mewariskan sekalian saudara, kemudian saling mengenali maka bersatulah kita."

Siau Po pun mengetahui segala rahasia tersebut maksudnya istilah-istilah itu. Mulanya ia tak ingat semua, tetapi pada saat pengemis menyinggung dan bicara ia pun ikut bicara.

"Mula pertama memasuki mengangkat saudara di saat langit terang untuk bersumpah menunjukkan hati yang sebenarnya." ujarnya.

"Pintu merah," diartikan Hong Bung, Kembali si pengemis berkata, "Cemara dan satu, dua cabangnya terbagi kiri dan kanan, di tengahnya terdapat bunga merah membesar tempat" mengangkat saudara."

Siau Po menimpali pula, "Di depan ruang kesetiaan dan kejujuran saudara-saudara berkumpul, di dalam kota panglima memimpin sejuta jiwa tentara."

Masih si pengemis melayani bicara katanya: "Di depan rumah Hok Tek Su datang mengangkat sumpah, menentang Cheng membangun Beng. Dialah Hong Eng kami!"

Sampai di situ kacung kita tidak melanjutkan kata-kata rahasianya, Dia berkata "Wie Siau Po sekarang ini menjadi Hiocu dari Cheng Bok Tong, Mohon tanya, kakak, Semua yang mulia serta namamu yang besar, serta sekarang ini kakak termasuk golongan mana serta apa jabatannya?

Dengan "golongan Siau Po yang dimaksudkan "Tong" atau cabang.

Pengemis itu menjawab "Aku ini Gou Liok Kie, sekarang Hiocu dari Gou Liok Kie.   

Maksudku dari Hong Sun Tong, Hari ini aku dapat bertemu dengan Wie Hiocu serta sekian saudaraku aku sangat bergembira!"

Mendengar disebutnya nama tersebut, semua orang pihak Wie Siau Po terperanjat merasa girang. Semua lantas menunduk hormat pada pengemis itu, sebab Gouw Liok Kie ini sangat terkenal pelajarannya.

Sebenarnya Gouw Liok Kie pernah memegang jabatan atau pangkat yang tinggi sebagai pangkat militer yang dinamakan Tee Tok, Seorang gubernur militer propinsi Kweitang, Di tangannya terdapat satu pasukan yang sangat besar, akan tetapi karena petunjuk Ca La Mong di dalam hatinya tumbuh semangat mencintai negara. 

Maka dia bercita-cita membangun kerajaan Beng, bersiap akan menjatuhkan pemerintah Tjeng. Kemudian secara diam-diam ia masuk menjadi anggota Thian Tee Hwee di mana ia dipercayakan kedudukan Hiocu atau Ang Kie Hiocu, Hiocu bendera merah dari Hong Sun Tong, Keluarga atau kalangan Thian Tee Hwee sangat menghargai dan menghormati huruf "Han" dan bangsawan Han, sebab salah satu asal utama dari kesuku-an Tionghoa. 

Kalau huruf "Han" itu disingkirkan tiga coretan di dalamnya yaitu huruf "Touw", "Tanah", maka huruf itu berubah sendirinya menjadi huruf "Hong". Dengan huruf Touw" "Tanah" itu , yang berarti sebutan di antara persaudaraan kaum Thian Tee Hwee, sebagai tanda peringatan yang bangsa Han tak akan melupakan cita-cita membangun pula negara (kerajaan Beng).

"Begitulah Siau Po, aku mengirim sepuluh saudara ke Inlam guna bekerja secara diam-diam dan akhirnya mereka bekerja hampir secara sempurna, Secara kebetulan segala ancaman bencana dapat kami hindarkan, sehingga Hong Sun Tong tak usah membantu apa-apa. Dan beberapa hari yang lalu aku mendapat kabar hingga diam- diam aku menyusul ke sana dan menyamar." Mendengar itu Siau Po girang sekali.

"Oh, kiranya demikian," kata Siau Po. Dia tak menyangka gurunya sangat memperhatikannya serta Giao Hiocu. "Aku sangat berterima kasih atas kejadian ini semua, Namamu sangat terkenal di empat penjuru lautan, tiada yang tidak mengenal Siapa tahu kaulah kiranya saudara kami!"

Di mulut Siau Po mengatakan demikian, padahal dia baru dengar nama tersebut pada saat kejadian itu.

Liok Kei berkata, "Justru kaulah yang terkenal di empat penjuru lautan Wie Hiocu.,.! Kau telah membinasakan Go Pay yang tersohor itu."

"Di antara saudara-saudara sendiri, janganlah kita terlalu sungkan, Aku minta maaf karena telah berbuat yang tidak pantas terhadap Sie-Wie bawahanmu"

Siau Po tertawa.

"Jangan sungkan, justru para Sie Wie itulah yang kurang ajar dan berbuat gila. Sudah kalah masih saja menyangkal! Pantas jika kau menghajar mereka agar lain kali kalau berjudi tahu aturan, jangan seenak perutnya saja! justru aku yang minta maaf dan terima kasih pada Hiocu!"

Liok Kie tertawa terbahak dan bergelak.

Sampai di situ semua orang duduk dan Gouw Liok Kie mulai menanyakan segala tindak lanjut Siau Po selama di Inlam. Akhirnya kacung memberikan keterangan yang seperlunya.

Gouw Liok Kie kagum mendengar Siau Po sudah mempunyai keterangan lengkap tentang niat Gauw Sam Kui memberontak melawan pemerintah. Terus kabarnya jika pengkhianat itu mulai bekerja pasti ia menyerbu ke propinsi Kwietang, Nah, pada saat itu mereka dapat menggempurnya, Setelah dia dapat ditumpas, baru mereka dapat menuju ke utara guna menyerbu kota Pakhia!

Pada saat mereka ngobrol datanglah Ma Ciau Hia, Hiocu dari Kee Hou Long. Dia menerima berita perihal Siau Po dan Liok Kie. Dia bertemu dengan Liok Kie dan bicara banyak tentang peristiwa yang baru terjadi.

"Phang Sek Hoan manusia busuk." Liok Kei menambahkan kemudian, "Dia berlaku curang sehingga hampir aku celaka karenanya! Lain kali kalau aku bertemu dengannya akan kugempur kembali"

Dapatlah dimengerti bahwa si Giao Hiocu sangat bersakit hati. Seumur hidup belum pernah ada orang dapat membuatnya tidak perdaya. "Si pemberontak telah membunuh Kaisar Cong Ceng. kebetulan dia berada di Liu- Ciu baik kita jangan melepaskannya."

"Thian Tee Hwee bersetia terhadap Kerajaan Beng, dengan demikian sendirinya Lie Cu Seng dipandang musuh besar. Lie Cu Seng yang memaksa hingga Kaisar Beng yang terakhir itu menggantung diri sampai mati di bukit Bwee San."

Kemudian lagi, Siau Po meminta penjelasan kepada Song Jie bagaimana mulanya dia mengikutinya. dan si nona cilik memberikan penuturannya.

Setelah terpisah di Ngo Tay San, Song Jie terus mencari si kacung di mana-mana. Maka ia lantas menyusul ke Pakhia, Namun siapa tahu kacung kita justru telah pergi ke selatan, Tidak bersangsi pula dia menyusul, bahkan sebelum lagi si kacung kita keluar dari propinsi Hoo Pak. Dia berpikir sesudah memangku pangkat yang besar, mungkin Siau Po membutuhkan pula perjalanannya yang lebih jauh dari itu. 

Dia tak berani pergi menemui sebaliknya dia bersiasat dengan mencuri seragam Jiau Kie Eng dan menyamar menjadi serdadu tangsi itu. Dia berdiam di tangsi tanpa diketahui rahasianya. Dan dia terus berada di Inlam dan Kwie Say sampai terjadi peristiwa yang hebat di saat A Ko hendak membinasakannya baru dia muncul, menolong dan terus dapat dikenali oleh si kacung.

Siau Po sangat bergembira dan bersyukur serta tertawa. Dia merangkul dan mencium pipinya, Dia pun berkata, "Oh, budak tolol, mana aku tak dapat menghendaki pertolonganmu Bahkan aku ingin diajari selama hidupku kecuali jika kau sendiri yang sudah tak menyukai disebabkan kau memikir hendak menikah...!"

Song Jie gembira bercampur malu dan mukanya menjadi merah,

“Tidak... tidak..." katanya sukar keluar. "Tak nanti aku menikah dengan orang lain...!"

Malam itu Ma Ciau Hin mengadakan pesta di sebuah rumah pelesiran buat menghormati Gou Liok Kie. Di saat pesta berlangsung, datang laporan dari salah seorang anggota Thian Tee Hwee yang ditugaskan mencari informasi tentang Lie Cu Seng. Melaporkan kedatangan orang di dalam rumah kecil di tepi sungai Liu Kang.

Kota Liu Ciu terkenal karena kayunya, terutama peti matinya, tersohor di seluruh negara, hingga ada pepatah yang berbunyi, "Mampir di Hang Ciu bersantap di Kwie Ciu dan mati di Liu Ciu", 

Di Liu Kang, potongan-potongan kayu semacam getek dari arah timurnya dialirkan ke hilir, Di sungai Liukang ini getek kayu terdapat banyak bagaikan tak dapat terhitung jumlahnya, di situ pula banyak dibangun gubuk atau rumah kecil. 

Tidak heran jika orang sukar dicari andaikata ia bersembunyi di tempat seperti itu. Mungkin kalau bukan orang Thian Tee Hwe, yang jumlahnya besar, sangat sulit orang mencari orang lain di tempat itu. Gouw Liok Kie menepuk meja sambil dia berjingkrak bangun.

"Mari, kita lekas pergi!" serunya, Tak usah kita minum arak lebih jauh."

"Sabar." kata Ma Ciau Hin. "Nanti aku mengatur dahulu supaya mereka tak sampai dapat meloloskan diri."

Orang menanti sampai jam yang kedua barulah Ma Hiocu mengajak rombongannya pergi ke sungai Liokang, ke tepi sungai di mana terdapat sebuah perahu, Ke atas perahu itu mereka pada naik. 

Tukang perahunya tanpa diperintahkan pula segera melajukan kendaraan itu. Di belakang mereka mengikuti delapan buah perahu lainnya, mengikuti tidak begitu jauh.

Sesudah melewati perjalanan jauh, tujuh atau delapan Lie, perahu segera dihentikan. Seorang anak perahu masuk ke dalam perahu untuk berkata sangat perlahan, "Hiocu bertiga, orang yang dicari itu berada di dalam rumah kecil di atas getek kayu di depan kita ini."

Siau Po pergi ke luar perahu, akan mengawasi ke depan. Memang di atas deretan getek terdapat sebuah rumah kecil.

Dari dalam mana menyorot keluar sebuah cahaya api bersinar kuning, Ketika ia mengawasi ke arah sungai matanya segera melihat di sebelah timur atau di barat terdapat masing-masing sebuah perahu, Begitu pula di arah lainnnya, jumlahnya tak kurang dari empat puluh perahu,

"Semua perahu kepunyaan kita..." Ma Ciu Hin berbisik.

Siau Po gembira mendengar keterangan itu Pikirnya, "Kalau di dalam perahu terdapat sepuluh orang. jumlah mereka sudah empat ratus jiwa, Biarlah Lie Cu Seng dan Phang Sek Hoan lihay sekali, apa kiranya mereka bakal sanggup meloloskan diri.?"

Justru itu maka dari dalam rumah kecil di depan itu terdengar bentakan bertanya, "Siapa itu di luar?! Kenapa lagakmu mirip hantu?" suaranya gagah berani. Ya suara Lie Cu Seng.

Dari tepian, terdengar suara tawa yang nyaring disusul dengan jawaban, "Lie Cu Seng, akhir-akhir ini aku toh dapat mencarimu!"

Dan itulah suara Lie See Hoa.

Ma Ciau Hin dan Gou Liok Kie saling memandang, Keduanya merasa aneh. Di dalam hati mereka saling bertanya, "Aneh! Kenapa dia kini dapat mencari sampai di sini?" Setelah itu mereka melihat sesosok bayangan hitam berlompat ke arah getek kayu, Di bawah sinar rembulan terlihat pedangnya berkilau, sedangkan dari dalam rumah gubuk itu segera tampak seseorang berlompat keluar. 

Di tangannya tercekal sebatang siang-thung tongkat sucinya, Sebab dialah Lie Cu Seng si bhiku.

"Bagus.,.!" pendeta itu berseru keras, "Akhirnya kau dapat juga mencari aku!"

Lantas kata Lie See Hoa, "Jlkalau hari ini aku merampas nyawamu mungkin kau setan sesudah menjadi, kaulah si setan yang tak tahu apa-apa!"

Jawab Lie Cu Seng, sederhana saja, "Aku sih orang She Lie, aku telah membinasakan orang berjumlah selaksa jiwa, mana sempat aku menanyakan mereka satu demi satu? Maka itu, kau menyerahlah.! Dan segera majuIah...!"

Suara itu menggelegar bagaikan guntur. Kumandangnya terdengar jauh di sungai itu, Dan setelah itu tongkat sudah menyambar ke arah si orang she Lie!

Lie See Hoa tidak menangkis hanya berkelit sehingga ujung tongkat lewat. Habis itu barulah ia membabat dengan pedangnya.

Lie Cung mengelit. Tongkatnya cepat ditarik pulang untuk kemudian dibabatkan ke punggung lawan.

Ketika itu tampak si orang She Lie, Kaki kirinya ditaruh pada ujung perahu, dan kaki kanannya dibiarkan berada di permukaan air.

"Maju sedikit, mari kita lihat dengan lebih tegas!" katanya. Kemudian si tukang perahu itu menjalankah perahunya.

Kata Ma Ciauw Hin, "Sekarang ada orang yang menggerembengi dia, itu lebih baik bagi kita." Terus ia berkata pada si tukang perahu itu, "Lekas berikan aba-aba!"

"Baik," kata si anak buah.

Kemudian anak buah itu mengambil lentera merah dan mengikatkannya pada tiang perahu itu.

Setelah melihat tanda rahasia itu, samar-samar Siau Po melihat beberapa orang ke luar dari perahunya masing-masing lalu turun ke air.

"Bagus! Bagus!" kata Siau Po kegirangan Siau Po tak pandai bermain silat, makanya bocah itu senang dengan cara keroyokan ia pun percaya, dengan jumlah yang lebih besar, tentu pihaknya akan lebih berhasil. orang-orang Thian Tee Hwee itu pandai  berenang dan juga menyelam. Secara diam-diam mereka mendekati perahu lawan untuk memutuskan hubungan satu dengan yang lainnya.

Tiba-tiba Siau Po teringat bahwa dalam rombongan Lie Cu Seng terdapat seorang nona, maka cepat-cepat ia berkata pada Ma Ciauw Him.

"Ma Toako, dalam rumah kecil itu ada seorang nona, dialah calon istriku, Maka harus dijaga, jangan sampai ia mati kelelep."

"Jangan khawatir, Wie Hiocu!" sahutnya sambil tertawa, "Saudaramu ini telah mengatur, di antara orang-orangku ini ada sepuluh orang yang kutugaskan secara istimewa untuk menolong si nonamu itu, mereka semua pandai berenang dalam air, dan sangat gesit bagaikan ikan, sekalipun ikan dapat mereka bekuk!"

"Bagus. Bagus!" Siau Po memuji saking senangnya, dalam hati ia berkata, "Paling 

baik Kek Song yang mati tenggelam dalam air."

Tampak mereka bergerak perlahan-lahan menuju perahu itu, di atas perahu itu tampak sinar putih berkelebat ternyata pertempuran tengah berlangsung dengan serunya.

"Rupanya Lie Cu Seng belum mencapai latihan yang sempurna." kata Gouw Liok Kie sewaktu mereka menonton pertarungan itu.

"Dia hanya mengandalkan tenaga besarnya saja, Aku percaya dalam beberapa jurus lagi Lie Cu Seng akan dapat dikalahkan oleh Lie See Hoa." Aku tidak percaya kalau seorang kosen yang ternama itu bakal mati kecewa di sungai Liukang ini." lanjutnya.

Siau Po tidak mengatakan apa-apa, ia bukanlah ahli dalam ilmu silat ia hanya dapat mengetahuinya sewaktu Lie Cu Seng semakin terdesak dan terus saja mundur.

"The Kongcu, cepat minta Phang Suhu untuk membantu ayah!" Suara itu berasal dari dalam rumah kecil itu. Siau Po mengetahuinya kalau itu suara A Ko, istrinya.

"Baik." jawab Kek Song, dan kemudian ia berkata lagi. "Suhu, tolong bereskan anak yang berada di luar itu!"

Begitu suara Kek Song terhenti pintu kamar itu pun terpental Tampak muncul Phang 

Sek Hoan, dengan pedang terhunus.

Ketika itu tubuh Lie Cu Seng sudah terdesak jauh dan kakinya sudah sampai pada tepi perahu itu, jika ia tetap saja mundur, maka tak ayal lagi tubuhnya akan kecebur ke dalam air.

Justru itu terdengar teriakan Phang Sek Hoan. "Hay bocah, akan kutusuk jalan darah Leng tay-hiat yang ada di punggungmu!" Dan benar saja pedang itu sudah mengarah pada punggung lawannya itu.

Lie See Hoa hendak menangkis serangan itu untuk membela diri, tetapi dari arah wuwungan rumah itu terdengar teriakan, "Hay bocah, aku akan menikam jalan darah Leng tay-hiat yang berada di punggungmu!" 

Dan suara itu disusul dengan berkelebatnya satu bayangan putih, sebab sudah banyak orang yang turun menyerang jalan darah Phang Sek Hoan.

Munculnya orang-orang itu membuat kaget semua orang yang berada di situ. Di luar dugaan, di atas rumah itu sudah banyak orang yang anehnya dari lawan dan bukan kawan sendiri Hal itu membuat orang She Phang menjadi bingung.

Phang Sek Hoan tak dapat menyerang Lie See Hoa, maka terpaksa ia harus memutar tubuhnya untuk menangkis serangan-serangan lawan yang datang secara 

tiba-tiba itu, dengan demikian senjata-senjata mereka saling beradu sehingga terdengar suara nyaring.

Ternyata para penyerang yang datang dari atap itu bersenjatakan sebilah golok.

Kedua-duanya sama-sama mundur, mereka merasa bahwa lawan mereka kali ini sangatlah tangguh.

"Siapakah kau?" tanya Phang. Orang yang ditanya itu tertawa, "Aku kenal kau sebagai poan Kiam Yu Hiat Phang Sek Hoan." jawabnya dengan tenang, "Apakah kau benar-benar tidak mengenali aku lagi?"

Sekarang Siau Po dapat melihat dengan jelas orang yang berada di atas wuwungan itu mengenakan baju dan juga kain dari bahan yang kasar. Kepala mereka diikat dengan sabuk warna putih, pinggangnya terikat ikat pinggang warna hijau dan sepatunya sepatu rumput. 

Dialah orang tani yang telah berhasil membebaskan dari totokannya, rupanya ia menjadi dendam pada Phang Sek Hoan sehingga kali ini ia datang.

"Tuan, dengan kepandaianmu ini, kau mungkin bukan sembarang orang. Maka itu aneh mengapa kau membawa dirimu dengan cara seperti ini. Kau seperti main sembunyi-sembunyian." kata Sek Hoan dengan terkejut.

"Sekalipun aku bukan orang yang ternama, tetapi aku masih mempunyai harga diri dan lebih menang daripada Poan Kiam Yu Hiat." katanya dengan tenang.

Sek Hoan menjadi gusar, maka ia langsung menyerang orang itu secara tiba-tiba.

Si orang tani itu menangkis serangan Sek Hoan dan kemudian dia pun balik menyerang dengan goloknya. Nampaknya mereka ingin saling membunuh, tetapi golok telah sampai duluan daripada pedang, Melihat hal itu Phang Hoan kaget, sehingga ia tak sempat menangkis serangan itu tetapi ia sempat berkelit melompat ke samping.

Si orang tani yang melihat serangannya itu gagal, terus menyerang lagi dengan sangat cepatnya yang mengarah pada pinggang Sek Hoan.

Kali ini Sek Hoan sempat menangkis serangan lawan.

Si orang desa itu terus saja menyerangnya dan kali ini goloknya mengarah pada bahu lawan.

Sek Hoan berlaku tangkas, Sambil menahan serangan lawan, ia pun membalas serangan dengan tusukan-tusukan pedangnya yang sangat tajam.

Seperti semula, sewaktu Sek Hoan menyerang, si orang desa itu bukanya berkelit melainkan balas menyerang, Melihat kenyataan itu Sek Hoan kembali berkelit karena tangannya terancam golok.

Sungguh luar biasa pertarungan itu!

Si orang desa yang lugu dan nampaknya dungu itu, sangat lihay memainkan goloknya. cepatnya sabetan golok bagaikan sambaran kilat maka itu Gouw Liok Kie dan kawan-kawannya menjadi heran, mereka menonton dengan penuh perhatian

"Tahan!" teriak Sek Hoan, ia pun melompat mundur "Oh, kiranya tuan yang terhormat adalah Peng Seng. "

"Jangan banyak bicara!" kata si orang desa itu, "Mari kita bertempur terus!" Kemudian si orang desa itu melompat dan menyerang Iagi. Dalam beberapa kali itu 

Sek Hoan tetap saja hanya berkelit

Terdesak demikian Phang Sek Hoan balas menyerang, ternyata ia pandai juga dalam memainkan senjatanya, Dengan memusatkan perhatiannya, ia berhasil mengimbangi kegesitan lawannya, sehingga orang desa itu tak dapat berbuat seperti semula. 

Sering senjata mereka beradu sehingga terdengarlah suara nyaring yang berasal dari senjata yang beradu itu, dan mereka masing-masing berkelit dari serangan lawan.

Di lain tempat terlihat Lie Cu Seng yang bertempur dengan Lie See Hoa, si orang She Lie terus saja bertahan, A Ko bersama The Kek Song, dengan senjata di tangannya siap membantu kawan-kawannya. Setelah bertempur cukup lama Lie See Hoa menggunakan tipu silat, "Go In Hoan" Awan Timur Berbalik, suatu jurus turunan dari Yan ceng salah seorang pendekar dari gunung Liang San pada jaman kerajaan Song.

Sambil melakukan tipu silat itu ia berkata, "Hari ini kau tak akan hidup lebih lama!" katanya.

Mereka yang menyaksikan hal itu merasa heran, terutama A Ko dan Kek Song, Mereka menjadi heran hingga tak sempat memberikan bantuan.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan dari Lie Cu Seng, yang matanya melotot dan suaranya mengguntur, membuat orang yang berada di situ menjadi ketulian, sedangkan Lie See Hoa menjadi kaget sehingga senjata yang berada di tangannya terlepas, justru itu Lie Cu Seng mengambil kesempatan itu, ia lalu menendang Lie See Hoa, membuat orang yang ditendang itu menjadi terjungkal balik, sedangkan tongkat Lie Cu Seng sudah siap untuk menyerang dada lawannya.

Dengan demikian pertarungan akan segera berhenti Lie See Hoa akan menemui ajalnya bila Lie Cu Seng mengayunkan tongkatnya.

"Asalkan engkau mengaku kalah aku akan mengampuni selembar nyawamu!" kata Lie Cu Seng.

"Cepat kau bunuh aku! Aku tak dapat membalas sakit hati ayahku, mana aku mempunyai muka denganmu? Lebih baik aku mati daripada hidup harus menanggung malu!" katanya.

Lie Cu Seng tertawa.

"Apakah kau orang She Lie dari HoIam?" tanyanya.

"Ya." sahut See Hoa. "Sayang di antara orang She Lie telah terlahir kau, orang yang picik dan tak lapang dada, sehingga kau menjadi manusia pengecut yang gagal membangun hal yang terbesar!" Hati Lie Cu Seng bergetar, ketika See Hoa berkata demikian, maka ia pun bertanya, "Lie Gam Lie Kongcu pernah apakah denganmu?" 

"Dia ayahku!" jawab Lie See Hoa, "Seumur hidupku, perbuatanku yang paling bersalah adalah mencelakai ayahmu." kata Lie Cu Seng. "Kau mengatakan aku si pengecut yang tidak berhasil berusaha besar itu tidaklah salah! Kau sekarang hendak membalas sakit hati ayahmu itu pun sudah selayaknya dan pantas sekali, Seumurku, aku telah membinasakan berlaksa-laksa jiwa. semua itu tak dapat masuk dalam pikiran, akan tetapi sewaktu ia membunuh ayahmu aku sangat malu."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar