Kaki Tiga Menjangan Jilid 54

Jilid 54

Siau Po heran mendengar ucapan yang terakhir tadi.

"Persahabatan kita lain dari pada yang lain, Dan diantara kita tak ada perbedaan!" katanya! 

"Mari. Mari, semuanya minum siapa yang tidak minum maka sampai sinting tak 

akan dapat pulang kembali ke rumahnya masing-masing!"

Pesta benar-benar berjalan dengan sangat meriah

Siau Po berpikir dan berkata dalam hatinya, "Jika saja tempat ini aku jadikan sebagai tempat pelesiran, tentu aku akan mendapatkan uang yang sangat banyak!"

Besok paginya Siau Po menemui Kui Lan untuk memberitahukan padanya, bahwa ia akan pergi ke propinsi In Lam untuk melaksanakan tugas dari raja. Yaitu menikahkan putri raja pada putra Gauw Sam Kui, Peng See Ong atau raja muda.

Siau Po sangat girang karena ia ditemani langsung olehnya dan ditambah lagi dengan turutnya A Ko pada perjalanan itu. Sebelurn berangkat Siau Po mampir pada gurunya dan melaporkan tugas itu.

"Raja demikian menghormatinya, dan hal itu hanya bersifat sementara, Hal itu yang membuat kita menjadi sulit untuk menangkapnya, maka kita harus mencari-cari alasan agar ia mau melakukan perlawanan pada kita dan membuat huru-hara, Sebab jika tidak, maka kita yang akan dicurigai mereka. Dan karena Ji kongcu telah diculik maka aku harus menolongnya, Karena itu aku tak dapat ikut serta dengan kalian, Jika kalian memerluka bantuan, bawalah serta saudara-saudara seperguruannya.

"Suhu! Bukankah orang yang akan kau tolong itu orang jahat? Menurutku lebih baik suhu tak usah menolongnya, karena aku khawatir nanti setelah kita menolongnya ia akan mendatangkan bencana bagi kita!"

Tan Kiu Lan menghela napas panjang.

"Kau benar," katanya. "Akan tetapi Kok Seng Ya dan Ongya sangat baik sekali, Maka untuk membalas budi mereka, meskipun harus mati tak mungkin aku dapat membalasnya, sedangkan yang akan aku tolong adalah anak yang paling ia sayang!"

"She Liong sangat menjemukan! Bagaimana jika aku mengatakannya pada raja untuk memenggal kepalanya?" tanya Siau Po.

Kiu Lan bangkit berdiri. "Janganlah kau berbuat demikian, Kalau kita melakukan hal yang demikian maka itu bukanlah tindakan orang gagah!" kata gurunya.

"Baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan suhu, aku pun tak akan membawa saudara-saudara kami ikut denganku!" katanya.

Kiu Lan lalu menepuk bahu muridnya itu.

"Mengenai Gauw Sam Kui adalah hal yang sangat penting, maka itu kau harus memusatkan pikiran dan juga tenagamu, Nanti setelah aku berhasil menolongnya, aku akan menyusulmu ke sana, Aku tak menginginkan ia yang mendahului kita." kata gurunya.

Siau Po mengangguk.

"Coba kau buka mulutmu?" kata gurunya. "Racun dalam tubuhmu belum juga lenyap!"

Selang beberapa hari Siau Po mempersiapkan hal yang akan dibawanya menuju ke In Lam.

Setelah mohon diri pada raja dan ibu suri ia lalu berangkat beserta A Ko yang meniru sebagai dayang, dan kawan-kawannya yang meniru sebagai para pengikut Siau Po. Demikianlah perjalanan menuju ke In Lam.

Seperti biasanya tuan putri selalu memanggil Siau Po untuk teman bicaranya, Setiap kali Siau Po dipanggil ia selalu membawa temannya sebagai pengawalnya. 

Hal itu sering dilakukan Siau Po sewaktu mereka dalam perjalanan sampai sekarang telah tiba di In Lam.

Kali ini Siau Po dipanggil dengan tuan putrinya dan ia pun tak lupa membawa kawan- kawannya itu. Tetapi kali ini tuan putri memanggil dan ia menggunakan pakaian yang sangat tipis, Siau Po terus mengawasinya.

"Siau Po apakah kau merasa gerah?" tanya pengawalnya. "Tidak!" jawabnya.

"Tetapi mengapa dahimu berkeringat?" tanyanya lagi.

Siau Po lalu mengusap dahinya yang berkeringat itu dengan ujung bajunya sampai kering.

Siau Po lalu diberi minum oleh tuan putrinya, Tetapi setelah mereka meminum arak pemberian tuan putri itu kepala mereka menjadi sangat pusing dan satu persatu terjatuh pingsan.

Setelah beberapa waktu lamanya pingsan Siau Po tersadar Siau Po lalu mengawasi isi kamar itu. Ternyata mereka hanya berdua saja dan yang lebih mengagetkannya yaitu Siau Po berada dalam keadaan telanjang bulat.

"Mana kedua kawanku itu? Dan mengapa kau berbuat seperti ini apa yang kau inginkan?" tanya Siau Po.

"Aku sebel dengan mereka itu! Para pengikutmu tadi sudah aku perintahkan untuk memenggal mereka berdua!" kata tuan putri.

"Apakah sari buah tadi telah kau campur dengan obat bius?" tanya Siau Po.

Kian Leng kongcu tertawa, "Kau sungguh cerdik tapi sayang kau sudah terlambat." kata tuan putrinya.

"Dan pasti obat itu kau dapat dari para Sie Wie itu?" tanyanya. Kembali Kian Leng tertawa.

"Segala sesuatu dapat kau ketahui, tapi kau tak mengetahui sari buah tadi ada obat biusnya atau tidak." kata putri itu. "Aku memang mengetahuinya, dan sekarang kau bebas melakukan apa yang akan kau lakukan pada diriku ini. Bukankah kaki dan tanganku sudah kau ikat?" katanya.

Kian Leng kembali tertawa.

"Jika kau membuka mulut kau akan rasakan pisau belatimu ini!" ancam tuan putri itu.

Siau Po berpikir, tahu kalau tuan putrinya itu sangat takut pada setan atau pun sejenisnya, Maka setelah ia mengetahui kelemahan lawan, ia berusaha mempengaruhinya dengan cerita-cerita yang menakutkan itu.

"Jika hal itu sampai terjadi maka aku bukan lagi sebagai thay-kam hidup atau thay- kam mati, melainkan akan menjadi iblis yang sangat jahat dan aku akan menggodamu selama-lamanya."

"Kau akan menakut-nakuti aku, yah?" kata si putri.

Siau Po lalu didupak beberapa kali dan itu membuat Siau Po menjadi ingin membuang hajat.

"Aku paling suka rnencambuk orang." katanya dan lalu mengambil cambuk yang terdapat di bawah kasur.

Tubuh yang tanpa sehelai benang pun dicambuk beberapa kali dan akhirnya bekas cambukan itu mengeluarkan darah segar.

Melihat hal itu tuan putri malah tertawa dengan senangnya dan ia mengusap-usap luka yang terdapat pada tubuh Siau Po.

"Bukankah kau yang mengusulkan agar aku menikah dengan orang yang belum aku kenal itu?" tanyanya.

"Bukan.,., Bukan aku, itu perintah raja." jawabnya.

"Tapi mengapa aku harus menikah dengan dia dan biasanya ibu suri sangat menyayangi aku tetapi sewaktu aku hendak pamitan ia nampak acuh saja padaku?" tanyanya.

Setelah berkata demikian tuan putri itu mendekap mukanya dengan telapak tangannya dan menangis.

Hanya sebentar tuan putri itu menangis lalu kembali marah dan mendupak beberapa kali pada Siau Po.

Siau Po menahan rasa nyeri. "Kongcu, kau tak ingin menikah dengannya mengapa kau tak mengatakan padaku? Aku sudah mempunyai jalan yang terbaik untuk kita." kata Siau Po.

Kian Leng lalu menghentikan tendangannya, ia pun memasang telinganya untuk mendengarkannya.

"Kau akan mendustaiku? Lalu apa yang akan kau katakan?" tanya tuan putri itu. "Memang tak ada yang dapat merubah keputusan raja tetapi kita dapat 

melakukannya dengan tidak menentang keputusan itu." katanya.

"Lalu bagaimana caranya?" tanya tuan putri.

"Di sana ada orang yang sangat disegani dan raja sendiri tak dapat melakukan apa- apa kita butuh seseorang." katanya.

"Siapa orang itu?" tanya tuan putri.

"Dialah Giam Lo Ong, Nanti dia yang kita gunakan tenaganya untuk membekuk calon suami putri dan nanti ia tak akan dapat menikah dengan tuan putri. Dengan demikian kita tak melakukan pelanggaran pada keputusan raja." kata Siau Po.

Kian Leng tetap menatap wajah orang yang menjadi tahanan, ia heran dan berpikir. "Kau mengajari aku membunuh suamiku?" tanyanya.

"Tidak, Bukan kita yang membunuhnya!" kata Siau Po.

Mendengar hal demikian tuan putri jadi marah dan ia memulai mencambuk tubuh Siau Po yang sudah bermandikan darah itu lagi.

"Apakah kau merasa nyeri? Jika kau merasa nyeri aku semakin senang sekali." Sambil berkata tangannya terus saja mencambuk tubuh Siau Po.

Kemudian tuan putri itu hendak membakarnya dengan terlebih dahulu ia menyiram tubuh itu dengan minyak.

Berpikir demikian, tuan putri itu pergi mencari minyak.

Siau Po berpikir bagaimana caranya dapat membebaskan diri dari tuan putrinya itu. Tak lama terdengar suara yang berasal dari luar kamar tuan putri Siau Po mengenali betul suara itu suara gurunya.

Siau Po sangat girang sekali kedatangan gurunya sangatlah tepat, Maka ia laju mengatakan apa yang terjadi pada dirinya. Ternyata gurunya itu tak dapat menolongnya, sebab Siau Po telanjang bulat sedang ia seorang peribadat dan yang seorang lagi wanita. Belum sempat sang guru menolong muridnya, tiba-tiba terdengar suara tuan putrinya yang kembali dari mencari minyak.

Tampak tuan putri itu tak membawa minyak tanah atau minyak sayur

Tuan putri itu lalu membakar dada Siau Po yang baunya sampai ke luar kamar Hal itu membuat sang guru menjadi tak tahan lalu dengan cepat ia membuka pintu kamar itu dan menyambar tubuh Siau Po.

"Lekas tolong Siau Po!" perintahnya pada nona A Ko.

A Ko bukannya menolongnya melainkan malah menyerang tuan putri dan membuatnya tak berdaya.

Menyaksikan hal itu tuan putri lalu mendamprat dengan kasarnya pada A Ko.

"Kau sendiri yang jahat masih mau ngomeli orang!" kata A Ko yang sedang dongkol itu.

Setelah mendamprat tuan putri, A Ko menangis. Hal itu yang membuat tuan putri menjadi heran.

Tak lama A Ko menangis, ia lalu mengambil pisau belati untuk membuka tambang yang mengikat tangan Siau Po. ia lalu memberikan pisau itu padanya lalu meninggalkan kamar itu.

Para dayang sebenarnya telah mendengar suara ribut-ribut dalam kamar tuan putrinya, tetapi karena sebelumnya semua sudah dipesan, maka mereka tak ada yang berani berbuat yang tidak-tidak.

Setelah tangannya dibuka dari ikatannya Siau Po lalu membuka tutup mulut dan ikat kakinya, ia mendekati tuan putri yang sedang merasakan sakit karena A Ko berhasil mematahkan tangannya.

Siau Po lalu mengikat tangan tuan putrinya dan menyobek baju wanita itu pada bagian dadanya, Maka dengan demikian tampaklah buah dada yang montok dan mulus itu.

Saking bengisnya Siau Po lalu membakar dada nona itu. Kian Leng kongcu menjerit menahan rasa sakit,

“Tak apa, kau pun harus merasakan rasa itu dan juga sari dari kaos kakiku ini." kata Siau Po yang kemudian menyumbat mulut wanita itu dengan kaos kaki nya.

"Sudah, jangan kau sumbat mulutku aku berjanji tak akan membuka mulut lagi." katanya. Siau Po tak jadi membakar tuan putrinya, "Kui Pee Lek, jika kau ingin membakar aku maka bakarlah aku. Dan jika kau ingin mencambuk aku maka cambuklah aku biar hatimu puas!" kata tuan putri itu.

"Memang aku akan mencambukmu dan membakarmu." jawab Siau Po.

Siau Po lalu menghajar tuan putri itu beberapa kali tetapi yang dihajar bukannya merintih kesakitan melainkan sebaliknya malah tertawa kegirangan.

"Oh, budak hina! Kau merasa senang,ya?" tanya Siau Po.

"Ya. Akulah si budak hina dan kau hayo hajarlah aku!" kata tuan putri itu sambil tertawa.

"Mana pakaianku?" tanya Siau Po.

“ToIong perbaiki dahulu tulang sikutku, nanti aku akan membantumu mengenakan pakaianmu." kata si putri.

Siau Po berpikir dan berkata dalam hati, "Aku harus menghajar dia agar mau menunjukkan tempat pakaianku."

Tetapi malah sebaliknya tuannya itu malah tertawa.

"Cepat kau perbaiki tulang sikutku atau kau tak mendapatkan bajumu yang kusimpan itu!" katanya.

Terpaksa Siau Po menolongnya, sejak tadi tubuh mereka selalu beradu dan keduanya tak mengenakan sehelai benang pun.

"Duduklah kau yang benar agar aku dapat menolongmu!" katanya. "Lagakmu seperti lagak istriku saja!" kata Siau Po.

"Aku justru ingin kau anggap sebagai istrimu." katanya.

Setelah berkata demikian tuan putri merangkul tubuh Siau Po dengan eratnya dan menciumnya.

Tak lama kemudian tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari luar kamar. "Siau Po kau berada di dalamkah?" tanya A Ko.

"Ya. Ya," sahut Siau Po.

"Sedang apakah kau?" tanya A Ko. "Tidak, aku tidak berbuat apa-apa." jawab Siau Po. "Siapa dia?" tanya tuan putri, 

"Dialah istriku." jawab Siau Po. "Cepat kau suruh dia pergi bukankah aku ini istrimu?" kata tuan putri,

Mendengar ucapan itu A Ko cepat pergi, Dengan sakit hatinya karena mendengar kata-kata putri itu.

"Sucie. Sucie!" panggil Siau Po berulang-ulang,

Tetapi A ko tetap saja pergi meninggalkan Siau Po. Tidak ada jawaban dari A Ko.

Maka pada pagi harinya rombongan melanjutkan perjalanan ke propinsi In Lam. Pada suatu hari mereka tiba juga di tempat tujuan, Belum lagi mereka memasuki batas propinsi di sana sudah berada pasukan penyambut yang dikirim Gauw Sam Kui. Pasukan itu berada di bawah pasukan pimpinan Ma Po. ia berpangkat brigadir jenderal Siau Po pernah bertemu dengannya di kuil Siau Lim Sie.

Ketika itu Kian Leng bergaul dengan rapat dengan Siau Po mendengar Eng Him yang menyambut kedatangannya. Maka tuan putri itu kumat tabiat aslinya.

Kian Leng menatap kekasihnya itu, ia mendongkol melihat Siau Po berdiam saja. ia menegur dengan suara keras.

"Kenapa kau bungkam?" Bukankah kau yang mengatakan mulanya?" Pikiran itu toh bukan ke luar dari hati mulutku untuk membunuh calon suamiku."

"Memang ia harus dibinasakan, akan tetapi kita harus menanti kesempatan yang baik," kata Siau Po.

Mendengar kata-kata keras itu Siau Po menjadi gusar, Tangannya menampar telinga putri sambil membentak. Yang dibentak malah tertawa.

Siau Po terdiam.

Pada suatu hari mereka datang ke ibukota propinsi In Lam. Atas laporan yang diberikan pada Siau Po, Peng See Ong datang menyambut tuan putri, ia menyambut dengan beberapa tentara yang seragamnya sangat bagus.

Menyusul terdengar suara musik dan beberapa pasukan yang menggunakan seragam merah, Siau Po mengawasi panglima perang itu sambit berdiri, Di sisi kereta, ia lalu menyuruh seseorang untuk memberitahukan pada Gauw Sam Kui agar tidak menggunakan adat yang berlebihan Gauw Sam Kui tertawa. Tak tama rombongan itu telah sampai di In Lam. sambutan yang diberikan sangatlah memuaskan hati rombongan Siau Po.

Keesokan harinya Siau Po diundang untuk memeriksa pasukan perang yang dipimpin oleh Gauw Sam Kui dan puteranya.

Selesai Gauw Sam Kui memeriksa pasukan, Siau Po memberikan firman raja dan meminta agar dibaca di depan umum.

Selesai membacakan firman raja itu, Gauw Sam Kui mengundang Siau Po untuk minum arak, Pada saat itulah Siau Po menanyakan tentang Yo Ek Jie.

Gauw Sam Kui menjawab, kalau Yo Ek Jie sedang ditugaskan ke Tibet untuk menyelesaikan suatu masalah.

Siau Po tidak percaya begitu saja, ia mengutus anak buahnya untuk mencari tahu di mana sebenarnya Yo Ek Jie itu, Tak lama kemudian datanglah utusan itu dengan membawa kabar bahwa Yo Ek Jie sekarang sedang dalam tahanan.

Mendengar keterangan itu Siau Po membagi tugas pada para bawahan untuk menolong Yo Ek Jie dan ia mengundang anak Gauw Sam Kui untuk ditahan dan dijadikan sandera.

Tak lama kemudian para utusan yang menangani masalah itu telah kembali dengan hasil yang baik.

"Bagus.,, bagus...!" katanya, "Apakah kau telah berhasil membebaskan Yo Ek Jie dan menawan anak Gauw Sam Kui itu untuk dijadikan sandera agar Gauw Sam Kui tak dapat sembrono terhadapnya!"

Segera mereka menganggukkan kepala.

Setelah itu Siau Po memeriksa Yo Ek Jie yang seperti orang yang kurang sehat itu.

Siau Po sangat kaget karena Ek Jie telah kehilangan tangan dan kakinya hingga tinggal tubuh dan kepalanya.

"Lidahnya telah dipotong dan matanya juga sudah dicongkel keluar!" Cen Tian Coan memberikan laporannya.

Usia Wie Siau Po masih sangat muda, namun pengalamannya sangat luas, setelah melihat keadaan Ek Jie yang tidak memiliki tangan dan kaki ia menjadi sangat sedih, karena keduanya sudah saling mengangkat saudara.

Siau Po menangis sejadi-jadinya lalu mengeluarkan pisau belatinya dan berkata dengan suara nyaring. "Aku hendak mengutungkan kaki dan tangan Gauw Eng Him" Hong Cie Tiong menarik tangan Siau Po.

"Sabar Hiocu... sabar!" ujarnya. "Kita harus berdamai dahulu."

She Hong mempunyai watak pendiam, tetapi sekali berbicara isi pembicaraannya sangatlah bagus. Terhadap kawannya yang satu ini Siau Po sangat menghargainya.

"Toako benar," katanya.

Tian Coan telah menyelimuti Ek Jie.

"Kiranya urusan Ek Jie ini ada sangkut pautnya dengan kita." katanya, "Gauw Sam Kui merasa tak puas Ek Jie telah bergaul denganmu, dan ia menuduh Ek Jie sebagai orang yang suka membalikkan tangan atau ular berkepala dua."

"Mulai leluhurnya Gauw Sam Kui memang si kura-kura hitam yang mau mampus." katanya dengan gemas.

"Dengan Yo Toako yang bersahabat ia tak pernah berdusta, Dasar dialah si pengecut dan pendurhaka yang tidak karuan Maka dengan demikian jelaslah sudah tujuan pemberontakan sebenarnya apa sebabnya mereka memberontak?"

"Hiocu benar, sebaiknya melaporkan hal ini pada raja dan Hiocu yang langsung menjadi saksinya..." kata Tin Loa Pun.

Siau Po tak menjawab, ia hanya menoleh.

"Toako, bagaimanakah kiranya hingga kau mengetahui halnya Gauw Sam Kui menyiksanya karena ia bergaul denganku ?" tanya nya.

Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Siau Po tetapi malah pergi ke luar, dan kembali dengan membawa orang yang langsung dijatuhkan.

"Wi Hiocu, orang ini yang nama besarnya sering kita dengar Dia itu Yo It Hong," kata orang She Jie itu.

"Ah, rupanya kau, dulu di kotaraja kau bertindak sangat bebas sekali, Dulu kaupun pernah ditendang oleh Gauw Eng Him dan mengapa sekarang berada di sini?" tanya Siau Po.

"ltu yang dikatakan musuh saling bertemu dalam tempat yang sempit," kata Cie Thian Coan.

"Jahanam itu justru sipir penjara besar Hek Kam Cu itu, Biar wajahnya berubah menjadi abu, aku pasti dapat mengenalnya, Ketika kami menjadi pengikut Gauw Sam  Kui. ia mendatangi penjara yang lantas mempertontonkan lagak tengiknya, ia lalu meminta tulisan tangan Peng See Ong, si celaka itu."

Siau Po mengangguk,

"Ya, sungguh sangat kebetulan kita telah bertemu dengan makhluk ini. Dengan demikian kita dapat lebih mudah menolong orang," katanya.

"Dia ini yang memberitahukan pada Gauw Sam Kui, Dia menganggap masalah ini rahasia," katanya. Siau Po menendang orang yang berada di depannya itu. Maka tak ayal lagi gigi orang yang ditendangnya itu copot, dan ia lalu berkata.

"Sekarang aku akan kembali ke Gauw Eng Him untuk menunggunya, Saudara semua silakan memeriksa, jika ia memang tak mau bicara maka potong saja kedua tangan dan kakinya itu."

"Aku. Aku mau bicara," katanya dengan mulut yang masih bercucuran darah.

Orang itu cepat-cepat menjawab setiap pertanyaan karena takut kalau ia melakukan hal yang serupa dengan yang terjadi pada Yo Ek Jie, yang terpotong tangan dan kakinya ditambah lagi dengan mata dan lidahnya juga dicelakai.

Siau Po tidak langsung pergi, ia terlebih dahulu menghampiri Yo Ek Jie. "Toako. !" 

panggilnya.

Orang yang dipanggil itu lalu bergerak ingin bangun tetapi jatuh kembali Melihat hal demikian Siau Po dan kawan-kawannya sangat terharu, ia menjadi benci pada Gauw Sam Kui dan juga anaknya.

Siau Po mengusap air matanya, lalu pergi ke luar dan menuju pendopo besar itu sambil berkata.

"Sungguh sangat menarik hati!" kata Siau Po yang terus berusaha menyenangkan hatinya.

Sesampai mereka di pendopo besar itu, ternyata permainan wayang sudah berhenti Tetapi begitu melihat tuannya datang, mereka mulai lagi.

"Maaf Sio Ongya, tadi aku dipanggil oleh Tuan putri untuk ditanya tentang lampang, kegemaran dan sifat Sio Ongya, Kongcu menanya demikian banyak hingga Sio Ongya menanti dengan lama. " kata Siau Po.

"Tidak. Tidak apa," kata Eng Hian yang merasa gembira karena calon isterinya 

sangat memperhatikannya,

Selesai pertunjukan wayang, para tamu kembali ke tempat masing-masing, Siau Po lalu pergi ke tempatnya dan di sana ia tak menemukan siapapun. "Aneh.,., Apakah yang akan mereka lakukan?" tanya Siau Po dalam hatinya.

Siau Po menunggu sampai larut malam, barulah mereka kembali dengan membawa tawanan yang lainnya.

Mereka tadi berhasil mendapatkan keterangan dari tawanan yang pertama, bahwa Gauw Sam Kui menyiksa Yo Ek sedemikian rupa sebab Yo Ek disangka bersahabat dengan Siau Po, untuk sama-sama berkhianat pada raja atau karena putra raja dari Mongolia. Akhir-akhir ini orang Mongolia erat hubungannya dengan orang She Gauw. 

Tak putus-putusnya mereka masing-masing mengirim bingkisan. Dan akhir-akhir ini ia telah mengirim utusan ke Bun Beng, untuk beberapa lama, Sewaktu mereka mengadakan perundingan Yo Ek disangka telah mengetahuinya. Keterangan itu didapat dari tawanan yang baru saja dapat.

Toan Coan lalu berunding untuk membahas masalah yang baru saja mereka dapatkan itu, dan pada akhirnya mereka setuju akan terus menyamar sebagai pengawal pribadi Gauw Sam Kui.

Siau Po ternyata kenal dengan Kearltan yang sekarang menjadi tawanan, ia kenal sewaktu bertemu di kuil Siau Lim Sie. pangeran itu besar kepala dan pernah juga menyerang Siau Po dengan senjata rahasia Piauw, untunglah saat itu Siau Po mengenakan pakaian wasiatnya hingga ia tak menemui celaka, Karena itu ia percaya orang Mongolia yang baru saja ditemuinya itu pun bukan orang baik-baik.

"Coba bawa dia pergi melihat Yo Toako!" kata Siau Po.

Salah seorang anak buah Siau Po lalu membawa mereka pergi. Tiba-tiba terdengar jeritan, ternyata orang Mongol itu telah melihat keadaan Yo Ek Jie. Setelah itu tawanan tersebut dibawa kembali dan tampaknya ia sangat ketakutan.

"Kau sudah melihat orang itu?" tanya Siau Po pada tawanan itu. Tawanan itu lalu mengangguk.

"Ada pertanyaan yang aku ajukan padanya, tetapi sewaktu menjawab ia tidak jujur, Satu kata tak jujur maka satu kakinya pun hilang, dua kata tak jujur, kedua kakinya pun hilang, sehingga akhirnya seperti itu," kata Siau Po.

"la telah berdusta tujuh kata," kata anak buah Siau Po.

"Ah, kalau demikian ia sudah terlalu banyak mendustaiku, Untuk itu maka sebaiknya ia dipotong kaki dan tangannya, bola matanya, lidahnya baru kepalanya," kata Siau Po.

Setelah berkata demikian Siau Po mengambil pisaunya lalu menebas kaki kursi, Sekali tebas saja kaki kursi itu buntung, Kemudian ia berkata pada tawanan itu. "Kalau pisauku ini dipakai untuk memotong kaki atau tangan orang, sedikit saja tak ada darah yang mengotori pisauku ini, Nah, apakah kau ingin merasakan tajamnya pisauku ini?" tanya Siau Po.

"Pa. Paduka, apa yang hendak paduka tanyakan pada hamba yang rendah ini, tak 

berani hamba berdusta pada paduka barang setengah kata pun," kata Khantema itu,

"Bagus, Peng See Ong menghendaki agar aku menanya kau, yaitu kata-katamu pada raja itu benar atau dusta belaka? Katakanlah!" katanya.

"Paduka, hamba mana berani berdusta pada raja," katanya. Siau Po menggelengkan kepala.

"Akan tetapi Ongya tak percaya itu, katanya kau orang MongoI licik dan licin, kata- katamu tak dapat dipegang dan kau paling sering menyangkal kata Siau Po"

Tiba-tiba wajah orang tawanan itu berubah merah karena merasa dongkol dan ia berkata dengan suara keras.

"Kami anak cucu Jenghiz Khan, jika kami mengatakan satu, maka satu dan satu itu dua. !" katanya.

Siau Po mengangguk.

"Tidak salah," katanya, Tiga dikatakan tiga, Empat dikatakan empat. "

Khanlema itu terkejut ia bisa bicara Tionghoa dengan baik, tetapi mengenai pepatah atau pribahasanya masih sangat terbatas, ia tak tahu kalau Siau Po telah menyindirnya, Karena itu ia tak mengerti dan diam saja.

Siau Po memperhatikan wajah Khantema.

"Tahukah kau bahwa aku ini orang macam apa?" tanyanya dengan suara keras. "Hamba tak tahu," jawab orang MongoI itu.

"Nah, cobalah kau terka!"

Khantema melihat bangunan An Hu Wan besar dan megah, Walaupun Siau Po masih muda, tetapi sudah berpangkat tinggi, Hal itu terbukti dengan pakaian kerajaan dan topi yang dihiasi dengan batu permata, ia seorang pemimpin pasukan pengawal raja.

"Maaf, hamba mempunyai mata tetapi seperti tak mempunyai bijinya, Kiranya padukalah putranya Peng See Ong.,." kata orang MongoI itu dengan penuh hormat pada Siau Po. Siau Po terbengong mendengar kata-kata orang itu, ia heran sekaligus dongkol. "Apa katamu? Kau kira aku putra si penghianat besar itu? Dengan demikian 

bukankah aku nantinya menjadi anak pengkhianat Si kura-kura hitam?" kata Siau Po

sambil tertawa dan berkata lagi.

"Kau benar cerdas luar biasa, tanpa lawan! PantasIah Kaerltan mengutusmu ke mari dengan tugas begini besar! Memang juga pangeranmu erat hubungannya dengan aku. pernah aku merundingkan soal ilmu silat yang ia pertontonkan padaku, pangeranmu sungguh hebat.,." kata Siau Po.

Mendengar perkataan demikian, utusan MongoI itu menjadi sangat girang, hingga ia memberikan pujian pada Siau Po.

"Kiranya paduka dan pangeran kami bersahabat erat sekali seperti keluarga sendiri!" katanya kemudian

"Apakah pangeranmu baik-baik saja? dan apakah pangeranmu itu masih suka bergaul dengan lhama dari Tibet?" tanya Siau Po.

"Sekarang ini justru lhama itu sedang menjadi tamu pada istana pangeran kami itu," jawabnya.

"Apa seorang Nona bernama A Kie dari Tiong-hoa yang biasa memakai pakaian warna gelap ada dalam istanamu?" tanya Siau Po.

"Oh, kiranya paduka mengetahui semuanya sampai soal Nona itu, Paduka sangat hebat.,." pujinya.

Siau Po pun girang tak menyangka tebakannya itu benar, ia lalu tertawa. "Pangeranmu itu tak menyembunyikan apa pun juga padaku, A Kie itu menjadi 

kenalan baik pangeranmu, sedangkan adik nona itu, A Ko menjadi sahabatku Bukankah 

dengan demikian kita bagaikan keluarga?" katanya.

Khantema turut tertawa.

"Ayahandaku memerintahkan padaku untuk menanyakan masalah yang kau laporkan itu benar atau tidak?" tanya Siau Po.

"Sio Ongya, kau dan pangeranku adalah sahabat yang kekal, bagaimana kau dapat mencurigaiku?" tanya orang Mongol itu.

"Soalnya bukanlah demikian, Ayahanda mengatakan kalau seseorang bicara dusta maka kata yang pertama dengan yang kedua tidak sama atau paling tidak ada beda sedikit. Dalam hal ini jika kurang berhati hati maka kita nanti akan rugi, Oleh karena itu ingin aku mendengarkan satu kata lagi langsung darimu, biar dapat diketahui apakah  ada perbedaannya atau tidak. Dan bukannya aku tak percaya, kita ini baru pertama kali bertemu maka aku harus berhati-hati, harap kau menjadi maklum," kata Siau Po.

"Ya, memang kalau rahasia bocor, itu sangat berbahaya karena kita akan kehilangan jiwa. Biasa Peng See Ong memang sangat teliti, ada empat keluarga yang akan bergerak, dan masing-masing akan mengerahkan angkatan perangnya untuk merampas negara-negara terdekat Peng See Ong itu sendiri mendapat wilayah Tionggoan, dan tiga yang lainnya pasti iri hati," katanya.

Mendengar keterangan tersebut Siau Po menjadi kaget, ternyata bukan hanya satu tetapi ada empat keluarga yang akan berontak. Siau Po berpikir dan berkata dalam hati, "Entah siapa mereka yang tiga tersebut? Kalau aku menanyakannya, nanti akan dapat diketahui bahwa aku tak tahu menahu tentang masalah ini," berpikir demikian ia lalu berkata.

"Tentang masalah itu aku sudah merundingkannya pada pangeranmu, Akan tetapi belum ada kepastian dari masing-masing dalam pembagian wilayah apabila maksud kita ini berhasil sebenarnya apa kata rajamu?"

"Pangeranku tak serakah dalam pembagian daerah itu, hanya dalam soal berserikat dengan negara Losat, agar negara itupun menurunkan tentaranya," kata orang Mongol itu.

Kembali Siau Po terkejut, namun ia sempat menyembunyikan rasa itu dan belum sempat Siau Po berkata apa pun, orang Mongol itu melanjutkan lagi kata-katanya.

"Baru setelah pangeranku berbicara banyak, kesepakatan itu pun dapat diperoleh. Tentara Losat itu sangat lihay dalam senjata api. Asal meriam dan senjatanya berbunyi, tentara Ceng pastilah tak mampu menandinginya. 

Negara itu berjanji akan mengirimkan pasukan perangnya, nanti Peng See Ong akan menjadi kaisar besar di Tiongkok dan Ongya akan menjadi Cin Ong!" kata orang Mongol itu.

Losat atau Rusia adalah negara besar, dahulu tentaranya pernah bertempur dengan tentara Ceng, namun mereka berhasil dikalahkan. Disamping itu kerugian tentara Ceng sangat besar.

Siau Po tak menyangka kalau Peng See Ong telah berserikat dengan negara Losat, Maka hal ini sangatlah penting untuk diberitahukan pada raja agar ia mengadakan persiapan.

Orang Mongol itu heran melihat Siau Po terdiam saja. "Sio Ongya, adakah petunjuk dari Sio Ongya?" tanyanya. Ditanya demikian Siau Po lalu bangkit berdiri. "Petunjuk apa dariku?" katanya dengan nada kesal, "Kalau Ongya menjadi raja, kakakku yang akan menggantikannya lalu aku akan menjadi raja muda, untuk apakah hal seperti itu?" lanjutnya.

Mendengar kata-kata Siau Po, orang Mongol itu tersadar lalu berkata.

"Pangeranku bersahabat dengan Ongya, maka nanti sepulangnya aku dari sini aku akan memberitahukan pada pangeran tentang niat Ongya tersebut Nanti setelah usaha kita berhasil, maka negaraku dan negara Losat ditambah dengan budha dari Tibet akan mendukung Ongya, apa yang Ongya khawatirkan?" katanya.

"Kiranya empat keluarga yang dimaksud itu adalah MongoIia, Tibet, Losat dan Gauw Sam Kui," kata Siau Po dalam hati.

"Jika kalian berusaha dengan sungguh-sungguh maka kekuasaan ada dalam genggamanku, pasti aku akan membalas budi baik itu, tak akan aku dapat melupakannya," kata Siau Po berdusta.

Berkata demikian lalu Siau Po mengambil uang dari sakunya dan memberikannya pada orang Mongol itu.

"Ambillah uang ini untuk berbelanja dan berpesta pora!" katanya.

Orang Mongol itu sangat girang dengan kemurahan pangeran yang sekarang berada di depannya itu, ia menerima uang pemberian dari Siau Po yang dikiranya pangeran anak dari Gauw Sam Kui, yang sedang memperebutkan kedudukan raja dengan kakaknya.

"Apakah kata pengeranmu setelah urusan mereka itu berhasil? Apakah negara dapat dipecah-pecah menjadi beberapa bagian?" tanya Siau Po.

"Tentu saja dapat, Tionggoan ini bagian keluarga Gauw, bagian selatan masuk bagian empat serikat Mongolia, See Coan dan Kokonor masuk pada pendeta Tibet dan kedua serikat bagian barat Cahar Jehol, Suiyuan dan Sengtauw masuk pada kami Mongolia," katanya.

"Oh, wilayah itu luas sekali," kata Siau Po.

Sebenarnya Siau Po tak mengetahui wilayah yang telah disebutkan itu, Tetapi orang itu telah memberikan gambaran padanya, hingga ia dapat mengira-ngiranya.

Khantema itu tersenyum.

"Kami Bangsa MongoIia telah mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membantu Ongya," katanya.

Siau Po mengangguk "Lalu bagaimana dengan negara Losat itu?" tanyanya.

"Kaisar Losat telah mengatakan bahwa wilayahnya perbatasan dengan wilayah Ongya, ia berjanji tak akan melintasi perbatasan tersebut. Negara Losat hanya akan mengambil seluruh wilayah Boancu, tak akan menduduki tanah Tiongkok," jawab Khantema.

"Begitu adil pembagian itu, lalu kapankah kita mulai bergerak menurut rajamu?" tanya Siau Po.

Dalam hal ini Ongyalah yang menentukannya, sedangkan tiga keluarga yang lainnya hanya menyambut saja," jawab orang Mongol.

"Sekarang kau katakan, bagaimana cara kalian bergerak jika hal itu sudah ditentukan?" tanya Siau Po.

"Mengenai hal itu janganlah menjadi pikiran, Sewaktu pasukan Ongya bergerak dari Inlam, tentara kami bergerak dari barat ke timur, Tentara berkuda Losat dan pasukan senapannya dari utara ke selatan untuk menggencet Pakhia, sedangkan pendeta dari Tibet akan menyerbu propinsi See Coan, sementara pasukan agama Sin Liong Kau. "

"Oh!" kata Siau Po tertahan tetapi dengan segera menepuk pahanya dengan kedua tangannya, "Kau pun tahu urusan Sin Liong Kau. apakah ketuanya Hong kaucu?" 

tanyanya.

"Urusan Sin Liong Kau itu, apakah Ongya telah bicarakan juga dengan Sio Ongya?" Khantema itu balik bertanya.

Siau Po dengan cepat dapat menguasai dirinya.

"Kenapa tidak?" katanya, "Dengan Hong Kaucu dan Hong Hujin pernah dua kali aku berbicara lama dengan mereka, bahkan aku telah menemukan Ngo Liong Su, kelima naga petugasnya, Aku hanya mengira pangeranmu tidak mengetahui tentang kaum agama itu."

Khantema tersenyum.

"Ketua kaum agama itu telah menerima anugerah dari Losat, oleh karena itu asal Losat turun tangan, kaum itu pasti menyambutnya, maka kelak pulau di Tiongkok akan menjadi tempat kaum agama itu, belum lagi dari propinsi yang lain, singkatnya jika Ongya berbicara pasti mereka itu pada membantu, Bukankah dengan demikian wilayah Boancu menjadi milik Ongya?"

Siau Po tertawa lagi.

"Bagus, Bagus!" ia berkata dalam hatinya, sebaliknya ia mengeluh "Celaka.   

Sungguh ceIaka. Siapa sangka urusan ini akan menjadi sangat luas." "Hubungan Ongya dengan pangeran kami sangatlah erat, begitu juga dengan hamba Ongya yang sangat baik, Maka bila Ongya memiliki masalah, biar hamba yang menyelesaikannya, walaupun tubuh hamba hancur, tak mungkin hamba dapat me- noIaknya," kata orang Mongol itu.

"Sebenarnya aku sedang memikir, jika kalian berpencar satu dengan yang lainnya maka tugasku sangatlah berat,.," kata Siau Po yang telah dapat menguasai dirinya.

"Oh, kiranya kau mengkhawatirkan masalah itu! Kekhawatiranmu itu beralasan juga," katanya dalam hati.

Karena berpikir demikian, maka ia pun berkata.

"Sio Ongya jika nanti Ongya berhasil memimpin negeri, segala Keng Ceng Tiong, Shiang Ko Hie, dan Kong Su Ceng, mereka dapat disingkirkan satu demi satu. Andaikata Ongya membutuhkan bantuan, kami akan membantu Ongya semampu kami," katanya.

"Terimakasih! Kau harus menyampaikan kata terimakasihku pada pangeranmu! kaulah orang kepercayaannya, maka janji yang kau berikan sama dengan janji pangeranmu," kata Siau Po.

Selesai bertanya Siau Po berkata.

"Sekarang beristirahatlah kau di sini! Aku hendak pergi untuk memberikan laporan pada ayahandaku, Kau awas jangan sampai pembicaraan kita ini diketahui oleh kakakku dan juga ayahku! Dia nanti akan marah dan akan menghukum kau dan juga mengenai pertemuan kita!" ancam Siau Po.

Selesai berkata demikian Siau Po pergi ke luar hendak menemui sahabatnya, Sebelum berangkat, ia menitip pesan pada anak buahnya agar menjaga orang Mongol itu dengan baik, Kemudian ia menjenguk Yo Ek Jie. Sesampat mereka di sana, Siau Po terkejut sekali melihat tubuh Yo Ek yang tanpa tangan dan kaki itu sudah tak bernyawa lagi. Dan pada kasur tempat tidur Yo Ek itu tertulis kata-kata.

"Apakah bunyi semua hurup ini?" tanya Siau Po yang buta huruf.

"Tujuh huruf itu berbunyi, Gauw Sam Kui memberontak dengan menjual negara," kata Ma Can Ciauw.

Siau Po menarik napas panjang.

"Kasihan kau Yo Toako!" katanya sedih. "Di saat kematiannya ia masih dapat menulis dengan tangan buntungnya." Segera setelah itu, Siau Po mengumpulkan kawan-kawannya untuk membicarakan keterangan yang didapat dari orang Mongol itu. Mereka semua mengecam tindakan Gauw Sam Kui yang berupa pengkhianatannya yang kedua.

"Saudara-saudara lihat!" kata Hian Ceng Ti Jin dengan nada suara kesal, sambil membuka bajunya.

Mereka kaget melihat bekas luka pada dada dan tangan orang itu dan dalam hati mereka bertanyatanya bekas luka apakah itu.

"lnilah bekas luka dari senjata apinya Losat," kata Hian Ceng Tojin.

"Kami semua berjumlah sembilan, Saudaraku, ayahku, kakak dan adikku, semuanya telah mati, tinggal aku yang hidup."

"Sekarang bangsa Losat bersatu dengan Gauw Sam Kui untuk merampas negara Tatcu, ini ada baiknya, Kita menonton saja, mereka yang bertempur hingga terlihat seperti langit roboh dan bumi meledak. Pada saat itu kita mengambil kesempatan untuk membangun kembali kerajaan Beng kita," kata Cie Tian Coang.

"Tetapi kita harus waspada, sebab Bangsa Losat itu sangat kejam dan licik, kemungkinan mereka tak puas dengan wilayah jajahannya dan bisa saja menyerang kita," kata Hian Ceng.

"Habis apakah kita harus membantu bangsa Boancu?" tanya Cie Tian Coan. "Sekarang kita tak usah cepat-cepat mengambil keputusan tentang usaha 

pemberontakan itu, kita lebih baik membicarakan urusan yang ada di depan mata. Kita 

telah membebaskan Yo Ek dan menawan orang Mongol itu dan usaha kita ini sudah dapat dicium oleh Gauw Sam Kui. sekarang kalian pikirkan bagaimana cara kita menghadapi raja muda yang akan berkhianat itu," kata Siau Po.

Mendengar pertanyaan Siau Po memang sangatlah tepat Mereka semua terdiam berpikir keras.

"Si kura-kura hitam dan Gauw Sam Kui banyak mempunyai perwira, Jika kita akan pergi tak lama kita akan tertangkap, jika hendak melawan sekarang bukanlah saatnya, Maka aku pikir sebaiknya kita bawa mayat Yo Ek Jie dan Yo It Hong kembali ke Hek Kamcu..." kata Siau Po.

"Mengantarkan mereka kembali?" demikian pertanyaan mereka semua.

"Benar, untuk kita menggertak Yo It Hong itu agar tak membuka mulut Jika nanti ia membuka mulut ia sendiri juga tidak lolos dari kecurigaan, dia akan bersangkut paut, Karena Yo Toako telah mati, kita merasa sulit merawat mayatnya," kata Siau Po. "Aku sangsi pada keteranganmu, apakah ia akan diam sementara urusan begini besar?" kata Hian Ceng.

Siau Po tertawa.

"Aku justru bukan mengkhawatirkan keberaniannya, tetapi ketololannya dan tak bergunaannya, Dalam pepatah mengatakan, mendustakan itu ke atas bukan ke bawah terserah keadaan mau bagaimana, sekarang sebaiknya kau bawa pembesar itu padaku biar aku yang membuatnya sadar," kata Siau Po.

Selesai Siau Po berkata demikian salah seorang kawan Siau Po pergi untuk mengambil tawanan itu, dan tak lama kemudian mereka datang kembali dengan membawa tawanan yang dimaksud itu. Wajah tawanan itu pucat pasi karena ia khawatir nanti akan disiksa.

Melihat wajah tawanan itu Siau Po pun tertawa. "Yo Toako kau tampak cape?" tanyanya.

"Oh, tidak Tidak!" jawab tawanan itu.

"Yo Toako, kaulah sahabat sejati, kau telah memberitahukan pada kami rahasia Peng See Ong. Sahabat harus dibayar dengan persahabatan karenanya aku hendak membebaskanmu, Kau harus percaya aku tak akan memberitahukan pada siapapun Aku anggota Kangouw sejati, satu aku bilang satu, dua aku bilang dua, tidak sepertimu yang membuka rahasia dengan begitu kau hendak menentang pada Peng See Ong," kata Siau Po.

Berkata demikian Siau Po terus saja tertawa, Dia membawakannya dengan sikap yang wajar-wajar saja.

"Biar hamba ini mempunyai nyali setinggi langit tak akan hamba melakukan itu..." katanya sambil tertawa.

"Bagus," kata Siau Po. "Nah, saudara-saudaraku, cepat kalian antarkan ia ke kantornya dan sekalian mayat Yo Ek agar dibawa dan jika nanti ia ditanya pada atasannya dia dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya."

Lewat beberapa hari kawan-kawan Siau Po merasa tidak tenang, ia takut kalau orang yang ia bebaskan itu membuka mulut dan mereka semua ditahan oleh Gauw Sam Kui.

"Sekarang begini saja," kata Siau Po yang ingin membuat kawan-kawannya merasa tenang, "Aku akan mengunjungi Gauw Sam Kui untuk mengetahui apa yang ia akan bicarakan."

"Aku khawatir justru kau yang akan ditawan mereka, bukankah itu berbahaya? Celaka jika ia menawanmu..." kata sang imam. Siau Po tertawa.

"Bukankah sekarang kita dalam genggamannya? Jika ia menginginkan mana kita tak dapat lagi menyingkir," kata Siau Po.

Kemudian Siau Po membawa pasukannya dan para Sie Wie pergi ke istana Gauw Sam Kui, dan langsung disambut oleh Gauw Sam Kui sendiri.

Ketika Siau Po dan pasukannya datang, langsung Gauw Sam Kui yang menyambutnya, ia menjabat tangan Siau Po untuk selanjutnya mengajaknya masuk ke dalam istananya.

"Ada kabar apakah Wie Toutong?" tanya Gauw Sam Kui dengan wajah riang. "Jikalau kau ada urusan tidakkah kau cukup memanggil anakku, Untuk apa Toutong 

bersusah payah kemari." kata Gauw Sam Kui.

"Oh, Ongya sangat sungkan, bukankah pangkat ku sangatlah rendah? mana berani aku memanggil anak Ongya?" kata Siau Po.

"Tapi Wie Toutong, kaulah perwira kesayangan baginda dan kau orang kepercayaan raja," kata raja muda itu memuji.

"Hari depanmu masih panjang dan penuh dengan harapan, bahkan tak aneh jika suatu hari kau yang menjadi raja muda di sini."

"Oh, Ongya kata-katamu itu tidaklah tepat," kata Siau Po.

"Mengapa tidak tepat? Bukankah usiamu baru lima atau enam belas tahun dan kau sudah menjadi Hu Toutong dan merangkap menteri besar yang mendapat kepercayaan raja? Maka untuk menjadi itu paling membutuhkan waktu yang tak lama lagi," katanya.

Berkata demikian Peng See Ong tertawa, Siau Po menggeleng-gelengkan kepala, "Ongya, mari aku beritahu!" kata Siau Po. "Sewaktu aku diutus baginda raja, ia memesan, kau anjurkan Gauw Sam Kui untuk baik-baik memangku jabatannya, karena ia harus mengetahui bahwa nanti akan digantikan oleh Gauw Eng Him, iparnya, dan jika nanti Gauw Eng Him telah mati, maka ia akan digantikan oleh anaknya, singkatnya kedudukan Peng See Ong itu turun temurun, Ongya tahu baginda mengatakan demikian secara sungguh-sungguh," kata Siau Po.

Dalam hati Gauw Sam Kui girang mendengarkan kata-kata itu. "Benarkah baginda mengatakan demikian?" tanyanya.

"Mana dapat aku mendustaimu, hanya saja aku tidak boleh memberitahukanmu dengan terburu-buru, sebab perlu dicari tahu Ongya menteri yang setia atau tidak? Tetapi aku memikir lain hal itu toh sudah aku beritahukan padamu," kata Siau Po. "Hm, sekarang kau telah mengatakannya padaku, bukankah dengan demikian kau telah mengatakan bahwa aku menteri yang setia?" katanya.

"Kenapa tidak, jika Ongya saja sudah tak setia maka di kolong jagat ini sudah tak ada lagi menteri yang setia," kata Siau Po.

Sambil berkata demikian mereka terus saja berjalan ke dalam, Gauw Sam Kui sangat girang hingga ia tak lepas-lepasnya memegang erat tangan Siau Po.

"Mari. Mari kita duduk dalam kamar tulisku saja!" ajaknya,

"Oh, Ongya kulit harimau itu mahal sekali, di istana saja tak ada sungguh mataku terbuka," katanya.

Kamar tulis yang menurut dugaan Siau Po hanya berisi buku-buku, kali ini lain dari pada yang Iain. Ternyata kamar itu penuh dengan senjata yang dipampang pada dinding kamar itu.

"Ongya, benarkah Ongya seorang gagah, pendekar?" tanya Siau Po. "Sekalipun dalam kamar tulis Ongya tersimpan senjata, aku memang tak dapat membaca tetapi biasanya kamar baca itu isinya hanya buku, Maka sungguh di luar dugaanku kamar ini sangat indah!" pujinya.

Gauw Sam Kui tertawa lebar.

"Semua senjata ini ada riwayatnya," katanya bangga. "Aku memajangnya di sini agar menjadi peringatan bagi diriku."

"Oh begitu," kata Siau Po yang terus bermain komedi.

"Dahulu Ongya bersarang di barat dan timur, utara dan selatan hingga Ongya telah berhasil membangun jasa yang sangat banyak, pastilah senjata-senjata ini yang pernah digunakan," kata Siau Po.

Gauw Sam Kui tersenyum dan tangannya mengelus-elus kumisnya, lalu ia pun tertawa.

"Benar," sahutnya, "Aku telah mengalami perang kecil dan perang besar beberapa ratus kali, itu artinya keluar hidup masuk mati, atau tegasnya mati dan hidup, Jadi kedudukan raja muda kuperoleh antara mati dan hidup," katanya dengan semangat.

Siau Po mengangguk-angguk.

"Benar," katanya, "Ongya ketika dahulu pernah memangku jabatan Sanhay Kwan, senjata manakah yang Ongya pakai dan tanda jasa apa yang paling tinggi.,.?" tanya Siau Po. Wajah raja muda itu secara tiba-tiba berubah. pertanyaan itu membuatnya kaget, peperangan yang ia lakukan adalah melawan bangsa Boan, dan semakin besar pertempuran maka semakin banyak korban bangsa Boan. 

Karena ia merasa pertanyaan itu telah menyindirnya, maka ia menggenggam tangan dengan erat maksudnya agar ia dapat menahan hawa napsunya.

Siau Po pura-pura tak mengetahui Peng See Ong menjadi gusar dan dongkoI serta maIu.

"Kata kaisar Eng Hek dari Ahala Beng telah Ongya kejar dari Inlam sampai ke Birma, Di negara asing itu sang kaisar telah berhasil ditawan, lalu karena tali busur akhirnya kaisar itu telah menemui ajalnya," katanya.

Berkata demikian Siau Po menghadap pada dinding yang terdapat panah dan ia menambahkan kata-katanya.

"Bukankah panah itu yang Ongya gunakan?" tanyanya.

Peristiwa matinya kaisar itu sebagai bukti bahwa ia akan setia pada pemerintahan Boanceng. Tetapi sekarang lain, dalam istananya ada orang yang menanyakan hal itu, maka ibarat luka baru saja ingin sembuh sudah berdarah lagi.

"Wie Toutong," katanya dengan suara keras sebab ia sudah tak dapat menahan amarah lagi, "Apakah maksud Toutong mengeluarkan kata-kata sindiran itu?" tanyanya. 

Siau Po terperanjat. "Oh tidak... tidak," sahutnya dengan cepat "Mana berani aku menyindir Ongya, sebenarnya selama di Pakhia aku mendengar para menteri yang menceritakan sekalipun kaisar Beng telah Ongya jerat mati, hal ini yang membuat jasa besar pada pemerintahan Ceng bahkan katanya menjerat kaisar itu sudah dilakukannya dengan tangan sendiri hingga terdengarnya tali busur itu dan kaisar merintih, Ongya terus tertawa dan berkata, bagus, bagus, bukankah itu yang menandakan kesetiaan Ongya?" 

Gauw Sam Kui yang sedang duduk mendadak bangun. Sewaktu hendak mengumbar nafsunya ia ingat akan sesuatu, Dalam pikirannya ia masih kecil, apakah mungkin jika tak ada orang yang telah mengajarkannya, Mungkin raja cilik itu atau menteri ku yang merasa iri denganku, mereka membuatku gusar dengan demikian akan mudah menahanku.

Karena memikir demikian maka Gauw Sam Kui tersadar lalu ia berubah manis dan sangat sabar Sambil berkata-kata iapun tersenyum manis.

Siau Po tertawa.

"Sungguh bagus seandainya sekarang ini ada orang yang akan memberontak katanya dengan sikap wajar" Hati Peng See Ong berdenyut keras. "Mengapa demikian?" tanyanya.

"Jikalau ada yang akan memberontak baginda memerintahkan aku untuk menumpas pemberontak itu. Maka aku akan bertempur mati-matian dan pasti baginda memerintahkan aku untuk memimpin pasukan perang yang sangat besar Di situ baru aku dapat membuktikan bahwa aku setia pada raja dan nanti raja akan memberiku istana dan aku sebagai raja mudanya," kata Siau Po. 

"Apakah ada kemungkinan sekarang ini ada yang akan memberontak pada raja?" tanyanya.

Gauw Sam Kui terdiam sesaat.

Sambil berkata mata Siau Po terus saja diarahkan pada meja, karena pada meja itu terdapat kitab yang sedang dicarinya, Dari memancing kemarahan dirubah menjadi berkata yang membuat Gauw Sam Kui senang. Hal itu dilakukan karena ia menginginkan kitab yang ada di meja itu.

"Jikalau aku menggunakan Firman palsu untuk mendapatkan kitab itu pastilah ia akan menyerahkannya, tetapi aku khawatir kalau-kalau kitab itu palsu..." kata Siau Po dalam hati,

Memikir demikian, lalu Siau Po menarik tangan Gauw Sam Kui untuk diajaknya berbicara secara perIahan-lahan.

"Ongya, sebenarnya hamba dititipi sebuah firman rahasia dari Sri Baginda Raja."

Peng See Ong terperanjat hingga ia berdiri "Hamba sedia menerima firman," katanya, "Baginda mengetahui bahwa Ongya seorang menteri yang setia pada kerajaan Ceng yang maha agung. walaupun demikian berulang-ulang beliau memesan agar aku tetap mencari tahu anak Tiong Sin atau Kan Sin. Apakah Ongya tahu apa maksud yang sebenarnya dari raja?" katanya.

Gauw Sam Kui menggelengkan kepala, "Sebenarnya ada tugas yang besar untukmu, Ongya!. Namun untuk itu baginda merasa ragu-ragu, nanti Ongya akan bekerja dengan sungguh-sungguh atau tidak... baginda menikahkan Kian Leng Kongcu itulah sebabnya..."

"Jikalau baginda yang akan memerintahkan padaku pasti aku akan menjalankan perintah itu dengan sungguh-sungguh," katanya.

"Tugas itu tugas yang sangat penting, sekarang begini saja, besok pada waktu yang sama silakan Ongya menunggu di istana Ongya, dan nanti aku akan datang untuk menyampaikan firman rahasia tersebut," kata Siau Po.

Besoknya Siau Po datang pada tempat dan waktu yang telah dijanjikan Kembali mereka berkumpul dalam kamar tulis. "Ongya," kata Siau Po setelah mereka mengambil tempat duduk, "Soal ini sangatlah penting, Aku memesan agar rahasia ini jangan sampai bocor. Bahkan, sekalipun dalam laporan Ongya terhadap baginda jangan disebut-sebut mengenai rahasia ini!" kata Siau Po.

"Baik, baik!" Gauw Sam Kui memberikan janjinya. "Pasti rahasia ini tak akan bocor." "Sebenarnya baginda telah mendapatkan laporan rahasia bahwa Siang Ko Hie 

bersama dengan Keng Ceng Tiong berniat mendurhaka, memberontak pada baginda..." 

kata Siau Po dengan suara yang sangat pelan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar