Kaki Tiga Menjangan Jilid 51

Jilid 51

Sian Po membalas hormat

"Ah dasar kau yang mengalah, saudara silahkan diiduk!" katanya, ia pun berlaku sungkan.

Berkata demikian diam-diam kacung itu mengedipkan mata pada kawannya. Hong Ci Tiong memainkan peranannya sangat bagus, dia berpura-pura malu,

"Wi Enghiong tersohor gagah. Sungguh itu sangat tepat. Namun enghiong, aku yang rendah ini ingin juga mencoba barang tiga jurus. Apakab sudi melayani aku?" tanyanya

Siau Po mengangguk "Baik," sahutnya singkat dan ia pun maju untuk memutai menyerang. Tangan kirinya menyambar ke dada orang itu, dan tangan kanannya mencari rusuknya, itulah silat Siau Lim Sie yang diberi nama Ciam Moa Kimna Chiu.

Tian Coan maju untuk bergurau saja, ia tak menyangka si kacung menggunakan tipu silat yang terkenal. Diam-diam ia sangat kagum dan ia berkata dalam haii,

"Wie HiocU sangat cerdast" ia hanya menyangka ilmu silat itu sangat cepat sekali hingga orang yang terkena tidak celaka karena Siau Po menggunakannya tanpa dukungan tenaga dalam

Dengan sabar ia membalas untuk melayani orang itu dalam berlatih Karena Siau Po melayaninya dengan sungguh-sungguh maka ia pun sungguh-sungguh pula hingga tampak mereka sedang bertempur

Lewat beberapa jurus, kelihatan mereka bergumul dan mendadak Tian Coan menjerit "Aduh!" Lalu tangannya pun turun, Orang itu mundur beberapa langkah dan tangan kirinya dipakai untuk memegangi tangannya yang kanan, ia berlagak seperti orang terkilir.

"Aku takluk." katanya sambil ia memegangi tangan sendiri yang keseleo itu. Hingga sempurna sekali ia memainkan perannya itu,

Menyusul orang Sie Cie itu, Hoan Kong Hian dan Cian Lau pun menantang bergebrak dengan cara bergantian Siau Po tetap menggunakan jurus itu dan dengan hanya delapan jurus mereka satu persatu mengalah kalah.

"Kali ini kami melihat ilmu silat Wi Enghiong. Baru mata kami terbuka dan apabila Enghiong lewat di Hok Gu San kami minta Enghiong sudi mampir barang beberapa hari!" kata Ko Gan Ciau,

Semua kawanan berandal dari Hok Gu San memanggil "Enghiong" yang berarti pendekar pada Siau Po. ia pun membawa aksi dengan baik,

"Pasti!" jawab Siau Po. "Namun harap saja kedatanganku tidak dijadikan gangguan...!"

Lalu kawanan perampok itu memberi hormat dan berlalu dari hadapannya sambil menuntun kuda mereka, sampai jauh mereka baru menaiki kuda-kuda nya. Mereka tidak berani menaiki kudanya di depan Siau Po.

Sampai di situ tak dapat The Kek Song tidak takluk, ia lalu menghampiri Siau Po dan memberikan ucapan terima kasih.

"Jangan sungkan-sungkan, hanya nasib baik saja yang membuatku dapat mengalahkan mereka itu!" kata Siau Po sambil tertawa. Kali ini Siau Po berbicara dengan sungguh-sungguh akan tetapi dengan cara merendah itu The Kek Song merasa malu dan hal itu yang membuat mukanya berubah merah karena malu.

Siau Po lalu melanjutkan perjalanan, dan malam itu Siau Po telah sampai di kecamatan Hian Koan dan mereka mencari rumah penginapan.

Sewaktu mereka berada berdua Kui Lan berkata pada Siau Po. "Orang yang bermain sandiwara tadi siang itu apakah sahabatmu?"

Guru itu sangatlah lihay hingga ia dapat melihat orang yang berlatih secara sungguh- sungguh dan orang yang sedang bermain-main, Cuma Kek Song saja yang dapat dikelabuhinya.

Siau Po tahu kalau gurunya itu dapat mengetahui sandiwaranya, maka ia memberikan jawaban sambil tertawa.

"Mereka cuma kenalan biasa saja."

"Mereka semua berilmu sangat tinggi mengapa mereka mau berkelahi denganmu secara main-main?" tanyanya.

Siau Po kembali menjawab.

"Mereka itu semua tidak puas menyaksikan kejumawaan The kongcu. ia sengaja meminjam muridmu ini, suhu, buat memberi pelajaran kepada kejumawaan pemuda takabur itu." kata Siau Po.

Kiu Lan berdiam sejenak, jawaban itu beralasan juga.

"Tadi ilmu silatmu itu kau jalankan dengan baik juga." kata Kiu Lan kemudian "ltuIah gerak-gerik dari ilmu Poan Jiak Ciang."

"Sebenarnya itu tak ada harganya, itu hanya dapat dipakai untuk menggertak orang." kata si anak muda yang tertawa pula.

Pembicaraan itu terhenti karena di luar rumah penginapan terdengar suara kuda yang berisik, jelas ada orang yang mau bermalam di situ, Menyusul terdengar pula suara keras dari seseorang.

"Kami membutuhkan sebuah kamar kelas satu yang paling baik, buat yang lainnya seadanya saja pun boleh!"

Siau Po mengenali suara orang yang berbicara itu, ialah Yau Tau Say Cu Gou Lip Sin. Lalu terdengar suara pemilik hotel yang menjamin kamarnya terpilih dan tak ada kutu busuknya meski cuma satu ekor.

"Silahkan Tuan turut aku!" kata pemilik itu. Siau Po lalu menanyakan pada gurunya.

"Suhu bukankah kita akan membinasakan Gouw Sam Kui?"

"Ya," sahut Kiu Lan. "Akan tetapi bukan sekarang. Aku memerlukan sebuah tempat sunyi untuk aku beristirahat satu bulan lamanya guna memulihkan seluruh kesehatanku, Tentang gerak-gerik kita lebih jauh akan aku tentukan nanti saja, Jika sekarang aku menemukan lawan yang lihay, aku tak dapat melayaninya, Kau tahu caramu mengacau itu tak cocok bagi kami kaum Tiat Kiam Bun."

Walaupun ia mengatakan demikian, Pek I Ni tersenyum. ia teringat semua perbuatan Siau Po yang sangat jenaka.

Siau Po mengangguk. "Benar, Kesehatan suhu paling utama." katanya.

Kacung ini lantas membuka buntalannya dan mengeluarkan daun Teh Kie Ciou Ling Ceng yang paling tersohor ia segera menyeduh daun teh itu. Setelah itu ia menyuguhkannya kepada gurunya sambil berkata.

"Kelak di kemudian hari, apa bila aku sudah berhasil mempelajari ilmu silat dari suhu, Setiap berhadapan dengan musuh, akan aku gempur musuh itu secara laki-laki sejati. Suhu, aku ingin pergi ke luar untuk melihat-lihat ada sayuran apa yang masih segar."

Kiu Lan mengangguk memberikan perkenannya, maka muridnya itu pergi ke luar Tampak Kek Song dan A Ko sedang berjalan bergandeng tangan. ke luar dari rumah penginapan Nampaknya pergaulan mereka semakin erat.

Menyaksikan demikian, Siau Po merasa iri hati. Diam-diam ia mengintip mereka itu. Ketika A Ko menolehkan kepalanya ke belakang, tampak Siau Po yang sedang berjalan di belakangnya.

"Mau apa kau mengikuti aku?"

"Aku bukan lagi mengikuti kau!" sahut Siau Po. "Aku sedang membeli sayuran untuk suhu."

"Baik." kata si nona dengan suara keras, "The kongcu, mari kita pergi ke sana!" Dan dengan tangannya ia menunjuk ke barat kota tempat sebuah bukit kecil.

Panas hatinya Siau Po dan ia berkata. "Kau harus berlaku sedikit berhati-hati! jika kau bertemu orang jahat, aku tak dapat menolongmu lagi!"

Mata si nona terbelalak mendengar ucapan itu.

"Siapakah yang menginginkan pertolonganmu?" tanyanya ketus.

Sementara itu A Ko dan The kongcu merasa tidak puas terhadap Siau Po. "Hm!" terus ia mempercepat langkah nya, untuk meninggalkannya pergi

Siau Po tidak melayani si nona bicara, Anak muda itu mengawasi nona itu menyusul di pemuda, ia mendengar tawa A Ko dan hatinya menjadi panas. Tanpa terasa ia meraba pisau belatinya yang sangat tajam, yang sudah sering meminta korban.

Hampir ia lari menyusup tapi baru dua tindak, ia sudah berhenti karena hatinya berpikir, "Aku bukanlah mereka berdua."

Dengan menahan hawa amarahnya, Siau Po lalu pergi ke pasar untuk membeli sayuran, seperti Kuacay dan jamur lalu kembali ke hotel, Ketika itu A Ko berdua masih belum pulang. Mungkin mereka berdua sedang berkasih-kasihan. 

Kembali ia menjadi sangat mendongkol hingga ia berkata seorang diri, lalu ia terkejut karena ada orang yang menepuk bahunya dengan perlahan seraya orang itu memeluknya sambil tertawa.

"Eh, Wie Toutong kau ada di sini?" katanya.

Siau Po menoleh dengan cepat, ia mengenali orang itu Gie lim Sie Wie Cong Koan To Liong kepala pengawal pasukan raja, dari terperanjat ia menjadi girang dan tertawa.

"Eh, kau pun berada di sini?" tanyanya.

Di belakangnya juga tampak beberapa Sie Wie yang mengenakan pakaian seragam pasukan biasa namun mereka tidak ada yang berani datang.

"Di sini ada banyak orang mari ke kamarku!" To Liong berbisik. Kiranya yang datang tadi itu termasuk rombongan Sie Wie ini.

Siau Po menurut, dan sampainya ia di dalam kamar barulah Sie Wie itu memberi hormat.

"Sudah. Sudah,." sambil berkata demikian ia merogoh sakunya untuk mengambil 

uang dan berkata "Pergi kalian minum arak!" Semua Sie Wie tahu jika ia bertemu dengan Siau Po pasti mereka memperoleh uang dan sekarang ini terbukti Mereka menerima uang dan mengucapkan terima kasih lalu mereka pergi.

Seberlalunya beberapa orang Sie Wie, To Liong berkata pada Siau Po dengan sangat perlahan.

"Ada segerombolan pengkhianat yang berniat melakukan pemberontakan dan mereka sekarang sedang berkumpul di Ho Kan tempat mereka membuat permufakatan. Sri Baginda dapat tahu maka kami dikirim ke mari untuk melakukan penyelidikan.

Dalam hati Siau Po terkejut juga.

"Si raja cilik itu pandai juga mencari rahasia gerak-gerik pemberontak" pikirnya. Siau Po berkata pada kepala barisan pengawal pribadi raja itu.

"Aku juga datang ke mari untuk maksud yang sama. Menurut apa yang aku dengar, rapat mereka apa yang disebut Sat Kui Tay Wie rapat besar untuk membunuh kura- kura. "

To Liong mengacungkan jempoInya.

"Hebat. Hebat.,." puji nya. "Apa pun tak dapat lewat dari mata Wie Toutong!"

Siau Po terdiam.

"Berita apa saja yang telah kalian peroleh?" tanya Siau Po selang sejenak.

"Dua orang anggotaku sudah masuk menelusup ikut rapat besar mereka." kata To Liong.

"Kami mendengar halnya, mereka itu akan menentang Gouw Sam Kui, untuk itu setiap propinsi telah mengangkat ketua ikatan, yang disebut Beng-cu. Kami telah mengetahui nama mereka itu."

Hati Siau Po tercekat juga.

"Siapa. siapakah beberapa Bengcu itu?" tanyanya.

"Merekalah Bok Kiam Seng dari In Lam dan The Kek Song putera kedua dari The Keng dari taiwan Hokiang." sahut To Liong dan ia pun menyebutkan nama-nama yang lainnya.

"Apakah kau pernah lihat atau pernah mendengar Bok Kiam Seng dan The Kek Song itu?" Siau Po menanya lebih jauh. "Bagaimanakah roman dan potongan tubuhnya?" "Karena di waktu malam dan gelap, kedua saudara kami itu tidak dapat melihat dengan jelas." Si congkoan memberikan keterangan "Mereka berdua juga tak berani mendekati."

"Ada titah apa lagi dari Sri Baginda?" tanya Siau Po yang kemudian menanyakan hal yang lain.

"Sri Baginda memerintahkan pada kami untuk mengadakan penyelidikan secara diam-diam, supaya kami jangan seperti menggeprak rumput dan membuat ular kabur Nanti setelah mendapatkan keterangan jelas barulah mereka akan dibasmi semuanya."

"Sungguh raja sangat cerdas dan pintar!" Siau Po memuji.

"To toako, jika nanti kau kembali ke kota raja kau sampaikan pada baginda bahwa Siau Po budak-nya, tengah mengadakan penyelidikan juga dan nanti setelah mendapatkan keterangan yang pasti barulah aku pulang dan memberikan laporanku pada raja!"

"Baik. Baiklah Toutong jikalau kau berhasil tentu Toutong akan mendapatkan 

hadiah dari raja yang sangat besar."

"Hadiah tinggal hadiah yang penting sekarang mendapatkan muka terang dari semua Sie Wie." kata Siau Po yang pandai berbicara itu.

"Sekarang To toako ada suatu urusan, untuk itu aku hendak meminta bantuan padamu. "

"Apakah itu To toako?" tanya para Sie Wie. "Untuk toako kami bersedia melakukannya. "

Itu suatu urusan yang membuat orang sangat mendongkol kata Siau Po yang menunjukkan muka penasaran

"Masalahnya begini aku mempunyai seorang nona yang menjadi sahabatku, tetapi sekarang ini ia sedang bermain api dengan orang yang bermata keranjang. "

Baru Siau Po berkata sampai di situ para Sie Wie lalu mendaprat mereka berkesan sangat baik terhadap anak muda itu dan sebaliknya sangat membenci orang yang telah merusak hubungan antara Siau Po dengan nona itu.

"Bangsat itu bernyali besar hingga ia berani mengganggu pacar Toutong, Baiklah kami akan melabrak dan membinasakannya."

"Membinasakan dia, itulah tak usah!" kata Siau Po yang terus bersikap sabar. "Cukup dengan kalian melabraknya dan yang laki agar dia tahu rasa, sebenarnya anak itu sahabatku, maka jangan kalian menghajarnya dengan kekerasan dan jangan kau menyentuh si nona. "

Para Sie Wie tertawa.

"Kami mengerti." kata seorang, "Terhadap sahabat wanita Toutong, siapakah yang berani berlaku kurang ajar?"

"Mereka tadi menuju ke barat." kata Siau Po. "Sebentar, setelah kalian mengeroyok si anak muda, aku akan datang pura-pura menolongnya, Kalian harus segera melarikan diri, supaya dengan demikian aku akan mendapat muka. "

Kembali para Sie Wie tertawa.

“Toutong, sungguh menarik hati perintahmu ini!" kata mereka. To Liong juga tertawa.

"Nah, kalian pergilah!" katanya, "lngat, kalian harus berlaku hati-hati jangan sampai rahasia terbuka, Biar Toutong Tay Jin akan menganggap kalian bukanlah sahabat- sahabat baiknya!"

Lagi-lagi para Sie Wie itu tertawa.

"Buat Toutong, apa pun akan kami lakukan, Baik, kami akan berlaku hati-hati sekali." kata mereka.

"Ah, sungguh gila!" kata seorang Sie Wie. "Kenapa anak itu demikian kurang ajar? Dia berani mempermainkan pacar Toutong, itu sama saja dengan dia mempermainkan ibuku, Bagaimana aku tak akan mengadu jiwa dengannya?" 

Mendengar itu semua orang tertawa. "Perlahan sedikit!" Siau Po memperingatkan. "Jaga jangan sampai ada orang yang mendengar pembicaraan kita ini!"

Walaupun demikian para Sie Wie itu pada tersenyum. Kemudian mereka mengundurkan diri, semuanya nampak sangat gembira.

Siau Po cepat-cepat membawa sayurannya ke dapur, dan djserahkannya kepada koki. ia lalu memberikan persen seraya berpesan agar memasaknya yang baik. Selesai itu ia pergi ke kota barat, Mulanya cepat sedikit seterusnya ia berjalan perlahan-lahan. Kira-kira berjalan satu lie, ia mulai mendengar suara berisik orang saling menggentak. Kemudian tampak beberapa orang sedang berkelahi dengan seru.

"Hebat bocah itu!" pikir Siau Po. "Bagaimana seorang diri dia dapat melayani demikian banyak orang?" Siau Po tertegun melihat perkelahian itu, sebab ia mendapatkan kenyataan bahwa para Sie Wie bukan mengeroyok The Kek Song,  melainkan tengah mengepung tujuh atau delapan orang yang membela dirinya sambil mepet pada dinding kota. Mereka itu rombongan Bok Kiam Seng dan Gauw Lip Sin, Di antaranya terdapat seorang nona yang bersenjatakan sepasang golok, Rambut nona itu kusut awut-awutan, Dengan lincah nona itu berkelahi di sisi Bok Kiam Seng,

Di atas kota tampak dua orang, bahkan merekalah The Kek Song dan A Ko. Keduanya sedang asyik menonton sambil bergandengan tangan.

Menyaksikan demikian pemuda itu nampak lucu.

"Celaka mereka salah raba!" katanya dalam hati, "Terang mereka melihat The kongcu bersama nona itu dan mereka salah sangka!"

To Liong dengan golok ditangan membuat pengawasan

Tidak ayal lagi Siau Po menghampiri Congkoan itu untuk mengatakannya.

"Kalian keliru yang aku maksud itu yang berada di atas tembok itu..!" Habis berkata demikian ia lalu pergi.

Mendengar demikian, congkoan terperanjat maka ia lalu berteriak

"Keliru. Keliru, hay sahabat yang berutang bukannya kalian cepat kasih mereka 

pergi!"

Para Sie Wie yang mendengar suara pimpinannya itu serempak mundur.

Lip Sin semua berhati lega, ia sendiri melihat Siau Po maka ia berkata dalam hati. "Oh, kembali Wie Inkong yang menolong kita! Tak apa andaikata kami sendiri yang 

terbinasa, asal jangan Siau Ong terjatuh ke dalam tangan musuh."

Yang dimaksud Siau Ong, pangeran ialah Bhok Kiam Seng, si putera raja muda.

Karena tak leluasa buat menemukan Siau Po di saat seperti itu, Lip Sin mengajak kawan-kawannya menyingkir ke arah utara.

Siau Po sementara itu menghampiri A Ko.

"Su ci, kenapa mereka itu bertempur?" tanyanya pada si nona yang ia gilai, "siapakah mereka itu?"

"Tidak tahu! Kata tentara itu, mereka menagih hutang." sahut si nona. "Mari kita pulang! Suhu pasti kesepian." ajak Siau Po.

"Silahkan pulang dulu, aku akan menyusul kemudian." jawab A Ko. Baru saja A Ko berkata demikian, tampak para Sie Wie tengah memanjat tembok. Mereka semua berlarian, lalu seorang Sie Wie menunjuk Kek Song seraya berkata, "ltu dia yang berhutang padaku!"

"The kongcu Sute, mari kita pergi dari sini! Lihat serdadu Tatcu itu tengah berbuat sewenang-wenang, celaka kalau mereka mengganggu kita!" kata Siau Po secara perlahan.

A Ko merasa khawatir. "Baik mari kita pulang!" katanya,

Sie Wie tadi justru telah menghampiri lalu ia berhadapan dengan Kek Song dan berkata dengan nyaring.

"Kemarin di Hokan waktu kau pelesiran di rumah hina, kau berhutang padaku selaksa tail perak, hayo sekarang kau bayar!"

"Ngaco belo!" bentak Kek Song gusar, "Siapa yang pelesiran di tempat hina dina? Kenapa aku berhutang padamu?"

"Kau masih menyangkal" kata Sie Wie itu, "Malam itu di pangkuanmu duduk seorang nona manis siapakah mereka itu?"

Belum lagi Kek Song menyangkal seorang Sie Wie yang lainnya sudah mendahului berkata.

"Yang lebih tua namanya A Cui yang muda Hong Po. Ketika itu di kiri ia menciumi pipi si nona lalu kau meneguk arak dan di kanan kau mengelus-elus pipi si nona yang kanan dan kau meneguk arak lagi, sungguh sedap hidupmu itu!"

"Kau!" menimbrung Sie Wie yang ketiga, "Sambil memeluk si nona di kiri dan kananmu kau sudah berjudi denganku, Ketika itu kau kalah dua ribu tail perak dan kau meminjam uangku tiga ribu tail, Kau katakan hendak bermain terus untuk menebus kekalahannya kau juga meminjam dua ribu tail dari kenalanku, Kemudian kau meminjam lagi seribu tail dan terhadap saudara ini kau pinjam seribu lima ratus tail..."

"Dan kepadaku," kata Sie Wie yang keempat, "Juga seribu lima ratus tail!" Menyusul kata-kata itu, mereka masing-masing mengulurkan tangan,

"Mari bayar uangku!" kata mereka bergantian "Jikalau membunuh manusia harus dibayar dengan nyawa, kau berhutang pada kami uang maka kau harus membayar dengan uang juga, Lekas bayar!"

A Ko berpikir mendengar suara para Sie Wie itu. ia ingin mempercayai separuhnya, tapi dia ingat Siau Po di rumah hina itu dan selama dalam gerombolan pohon itu sudah meraba-raba tubuhnya, Memang malam sebelum itu Sat Ku Tai Wi, Kek Song pernah tidak pulang dan pulangnya di waktu pagi dengan wajahnya menunjukkan bekas  menenggak banyak arak namun katanya ia telah diundang kenalannya yang gagah, siapa mau percaya itu?

Mengingat demikian air mata A Ko menetes sebab ia merasakan sangat sedih, Siau Po menarik baju A Ko. "Mari Sute, urusan mereka bukan urusan kita! Mereka pula orang-orang busuk, maka kita jangan mencari keonaran pada mereka itu!" kata Siau Po. A Ko mengangguk, ia mundur beberapa langkah.

Sekarang Sie Wie itu menghadang Kek Song yang terus mereka kurung, Seorang Sie Wie yang berada di belakang si anak muda bangsawan, lalu menjulurkan tangannya untuk menarik baju dan kuncir anak itu.

Kek Song gusar sekali ia lalu melangkah mundur, sekaligus menjulurkan tangannya untuk meninju dada seorang Sie Wie, sehingga Sie Wie itu berteriak kesakitan.

Melihat demikian para Sie Wie segera menyerang.

Mereka bertarung satu lawan satu saja, para Sie Wie itu bukanlah lawannya. Akan tetapi sekarang para Sie Wie itu mengeroyok rapat sekali, maka tak lama Kek Song sudah dapat dirobohkan.

"Jangan lancang menyerang orang!" seru A Ko yang lalu maju untuk membantu Kek Song, "Kalau ingin bicara, bicaralah dengan baik-baik!" katanya.

"Nona jangan mencampuri urusan orang! ini urusan pribadi kami dengan dia!" kata Tio Liong.

"Minggir!" kata si nona yang mendongkol dan merasa cemas, hingga dia menjadi bingung, Dia pun mendorong si congkoan yang berdiri menghalang di depan.

To Liong orang lihay, hanya dengan mengibas perlahan dengan tangan kirinya, ia sudah membuat nona itu terpental ke belakang hingga beberapa langkah.

Sementara itu Kek Song sudah diberi bogem mentah oleh para Sie Wie yang mengeroyoknya itu. ia juga didupak beruIang-ulang, Karena telah dirobohkan, maka ia tak berdaya menghalau serangan itu.

A Ko penasaran, dia melawan To Liong tetapi bukannya ia maju melainkan malah terdesak mundur makin jauh, sebab congkoan itu sengaja mendesak makin jauh.

"Oh nona, pemuda itu gemar berjudi dan main perempuan maka lengkaplah segalanya, Malah tadi pagi ia masih meminjam uang lima ribu tail dari aku. Katanya uang itu akan digunakan untuk menikah dengan dua orang nona manis yang biasa dipangku dan diciuminya. Mengapa nona masih membelanya?" kata To Liong sambil tertawa,

A Ko benar-benat bingung melawan orang itu, Dia sudah habis dayanya. "Jangan aniaya dia, kalau kalian ingin bicara, bicaralah dengan baik-baik!" teriak si nona pada para Sie Wie.

Seorang Sie Wie tertawa.

"Kau suruh dia bayar uangku!" katanya, "Kalau ia mau membayar utangnya sudah tentu aku tak akan menghajarnya!" walaupun demikian, sambil bicara ia terus menghajarnya.

Kali ini Kek Song terhajar hidungnya, mengeluarkan darah.

Seorang Sie Wie lainnya menghunus goloknya, "Tebas dulu kedua telinganya baru kita mau bicara!" katanya dengan nada keras sambil mengangkat goloknya.

A Ko terperanjat melihat kejadian itu, Nona itu lari mendekati Siau Po lalu menarik tubuhnya, Diapun sangat bingung sehingga hampir menangis.

"Bagaimana. Bagaimana?" tanyanya.

Siau Po yang sejak tadi diam sekarang mulai ikut bicara.

"Kalau cuma selaksa tail perak, aku sediakan uangnya, Hanya aku merasa tak puas jika uangku harus diserahkan pada mereka untuk membayar utang judi dan main moler!"

"Tetapi ia mengancam akan memotong telinganya!" kata si nona. "Mari kupinjam uangmu itu!" tambahnya.

"Jikalau Sute yang pinjam jangankan baru selaksa tail, sepuluh laksa tail pun akan kuberikan. Hanya hendak aku jelaskan padamu karena kau akan menjadi istriku maka kau tak perlu meminjamnya. Uangku ya uangmu demikian juga sebaliknyal Maka itu sebaiknya kau suruh The kongcu yang meminjam padaku.,.!" kata Siau Po.

A Ko membanting-banting kaki.

"Ah kau terlalu!" katanya, ia masih bingung tetapi ia lalu menoleh para Sie Wie dan berkata, "Eh, jangan kau pukul pula! Nanti aku bayar uang kalian semuanya..!"

Para Sie Wie berhenti menghajarnya, namun mereka masih menindih Kek Song hingga ia tak dapat bergerak

“The kongcu" A Ko lalu berkata kepada Kek Song, "lni adik seperguruanku punya uang, kau pinjamlah uangnya agar kau dapat membayar utang-mu semua. "

Kek Song bingung sekali apalagi ia melihat golok sudah mengancamnya, hingga sewaktu-waktu telinganya dapat pisah, ia berpaling pada Siau Po yang air matanya menunjukkan permohonan A Ko menarik baju Siau Po yang padanya ia merasa sangat muak. "Kau pinjamkanlah uang padanya.,.!" kata gadis itu.

Seorang Sie Wie yang mendengar kata-kata si nona tertawa dingin.

"Uang selaksa tail bukanlah sedikit." katanya, "Tanpa jaminan siapa yang sudi meminjamkan uangnya." lanjutnya.

"Kecuali jika nona sudah menjaminnya." kata seorang Sie Wie yang lainnya. "Jadi, andaikata bocah ini menyangkal dia tak mau membayar uang yang dipinjamnya nonalah yang harus menanggungnya dan membayarnya hingga beres."

Akan tetapi Sie Wie yang memegang goIok, tetap mengancam ingin memotong telinga Kek Song.

"Si nona dengan si bau ini bukannya sanak bukannya kadang mana si nona mau menjaminnya? LagipuIa kalau uang tak dapat dibayar kembali yang menjadi jaminan adalah diri nona, Artinya nona harus menikah dengan si tuan, nah apa daya?"

Mendengar demikian semua Sie Wie tertawa terbahak-bahak. "Benar.... Benar...!" kata mereka yang tertawa puIa, "Memang begitu."

"Ah, setuju!" kata Siau Po perlahan. "Kau dengar para Sie Wie itu! Bukankah bicara mereka itu tidak benar? Bukankah dengan demikian kau terlalu dipaksa?"

Belum lagi A Ko menjawab ia mendengar suara menggelepok dengan keras.

Rupanya seorang Sie Wie telah menampar Kek Song yang tak berdaya menangkis atau mengelakkan diri, Sebab selain kedua tangannya, kedua kakinya pun mereka pegangi, sehingga tak berdaya sama sekali

"Hajar!" teriak seorang Sie Wie. "Hajar dia biar mati. Hitung-hitung uang selaksa tail itu hanyut di kali, agar mata kita tak melihatnya dan hati tak usah memikirkannya."

"Plok! Plok! Plok!"

Demikian terdengar suara berulang kali, ternyata para Sie Wie sudah menghajarnya lagi.

"Sudah! Sudah!" akhirnya Kek Song yang sekian lama berdiam diri sekarang mulai memperdengarkan suaranya, ia benar-benar tersiksa, tapi rasa nyerinya tak terlalu berat dibanding dengan sakit hatinya karena diperlakukan demikian tanpa daya, ia toh putera seorang raja muda yang seharusnya tak dapat dihina secara demikian. "Eh, saudara Wie, katanya kau mempunyai uang, Mari aku meminjam sebesar selaksa tail perak.,., Aku berjanji akan membayar penuh uang itu. "

Siau Po melirik A Ko. ia tak mau menjawab kata-kata Kek Song tapi malah bertanya kepada si nona.

"Sute, kasih pinjam atau tidak?" tanya Siau Po. Air mata si nona berlinang.

"Pin. Pinjamkanlah!" katanya sambil menangis sesegukan.

"Jikalau si nona yang menjamin!" kata seorang Sie Wie yang suaranya nyaring, "Maka kelak si nona akan menikah dengan si tuan uang. Dengan demikian anak ini menjadi perantara! Comblangnya!"

Siau Po lalu merogoh kantungnya dan mengeluarkan uang sejumlah selaksa tail, ia menyerahkan uang bukan kepada Kek Song melainkan kepada A Ko.

Si nona menjulurkan tangan untuk uang itu.

"Nah uangnya sudah tersedia!" kata nona itu pada para Sie Wie, "Bebaskanlah dia!"

Para Sie Wie itu ragu-ragu, bukankah ia akan menolong anak muda itu? sekarang si nona dapatkan? Siau Po setujukah? Maka mereka masih belum mau membebaskan Kek Song.

Siau Po mengerti keragu-raguan mereka.

"Kalian ambil uang itu!" katanya pada mereka, "Pergi kalian dan bagi rata uang itu! Hitung-hitung kalian beramal. Nah, lepaskan orang itu!"

Para Sie Wie jadi gembira bukan main. Kata-kata si Toutong berarti uang itu dihadiahkan pada-nya, maka segera mereka melepaskan Kek Song.

A Ko menuntun Kek Song bangun, terus memberikan uang itu padanya.

Hati si anak muda menjadi sangat panas, ia mendongkol sekali tetapi terpaksa menyambut uang itu. Hanya tanpa menghitung dan melihatnya dan segera ia sampaikan pada para Sie Wie itu.

"Hay kau segala prajurit Tatcu, kamu terlalu!"

Sambil mengedipkan matanya Siau Po berkata pada para Sie Wie.

"Kenapa kau menghajar sahabatku sampai begini rupa? Awas aku tidak akan berhenti sampai di sini. !" "Sudahlah!" kata A Ko. ia khawatir para Sie Wie itu menjadi gusar." sudahlah mari kita pulang!"

"Tetapi kelakuan mereka sudah membuat orang dongkol!" kata Siau Po. "Hay bocah kau baru bebas sudah timbul niatmu yang kurang baik. Kau si setan paras elok! Masihkah kau ingin mempermainkan gadis orang?"

Mendadak To Liong menyambar punggung Kek Song lalu diangkatnya hingga terangkat pula tubuh orang itu dan terus diputarnya.

"Hendak aku lontarkan kau ke kaki tembok kota ini!" teriak To Liong, "Akan aku lihat kau masih dapat hidup atau mati!"

Kek Song kaget dan takut bukan main. "Jangan!" teriaknya

"Jangan!" A Ko pun berseru, Sebab si nona tak kurang cemasnya. Dengan sengitnya, To Liong membanting pemuda itu ke loteng.

"Jikalau demikian buat selanjutnya kau harus menyingkir jauh-jauh dari nona itu!" ancamnya, "Nona itu baik-baik tetapi kau sendiri penjudi dan tukang main perempuan! Namamu boleh tercemar tapi nama nona ini tidak! Aku bilang kepadamu andaikata lain kali aku melihat kau mengganggu nona ini, tak dapat tidak, aku akan patahkan batang lehermu!"

Nampak si congkoan masih sangat mendongkol. Dengan tangan kirinya, ia menyambar kucir Kek Song dan memegang bongkoknya erat-erat, lalu dengan tangan kanannya ia memegang ujungnya untuk dililit di tangannya, setelah itu sambil berteriak ia menarik keras-keras sehingga kuncir itu putus, terkutung ujungnya.

Para Sie Wie bersorak menyaksikan pemimpinnya menunjukkan tenaganya yang besar itu, sebab bukanlah mudah guna menarik kuncir orang.

To Liong melempar ujung kuncir itu lalu mencekik batang leher Kek Song.

Muka Kek Song tampak berubah merah, disusul dengan ke luarnya lidah akibat cekikan itu, hingga nampaknya sebentar lagi anak muda itu akan mati.

Para Sie Wie pun tidak tinggal diam, mereka segera menghunus senjata masing- masing, lalu mereka mengurung pemimpinnya beserta anak muda itu. Maksud mereka mencegah andaikata A Ko hendak menolong pemuda itu.

"Hai bagaimana?" bentak Siau Po tiba-tiba.

"Bukankah uang kalian sudah dibayar? Apakah kau hendak membunuh orang?" Pertanyaan itu ditutup dengan sebuah bogem yang mendarat di perut salah seorang Sie Wie. Yang dihajar perutnya itu terpekik dan mundur beberapa langkah.

Siau Po tidak berhenti hanya sampai disitu, ia menyerang dengan menggunakan tipu silat Siau Liong Cio Cu, sepasang naga berebut mutiara.

To Liong yang tengah mencekik Kek Song, tidak bisa menangkis serangan Siau Po bahkan berkelit pun sukar. Akan tetapi karena ia bertubuh besar, maka pukulan Siau Po mengarah pada iga-nya. ia pura-pura gusar dan berkata.

"Hay, setan cilik aku pun akan mencekik mu sampai mampusl"

To Liong melepaskan cekikan Kek Song lalu membalas menyerang.

Para Sie Wie talu berteriak: "Hajar sampai mampus setan cilik itu! Hajar sampai tubuhnya gepeng dan hancur lebur!"

Menyaksikan pertarungan itu A Ko mengkhawatirkan Siau Po terkena pukulan mereka.

"Sute, sudah!" ia berteriak memanggil Siau Po. "Mari kita pulang!"

Mendengar suara A Ko, Siau Po merasa girang dan berkata dalam hatinya "Kiranya ia memperhatikan aku juga!" katanya dalam hati "Rupanya dia masih mempunyai hatinya yang baik."

Siau Po yang melihat serangan lawan, segera berkelit sehingga serangan lawan itu meleset dari sasaran dan membentur batu yang besar hingga batu itu goyah.

Seandainya kaki Siau Po terkena pukulan itu tentu sangat bahaya sekali.

Bagaimana pertarungan mereka, itu berkat latihan dilakukan oleh Siau Po, pada saat Siau Po menyerang dengan sangat cepat sekali lawan tak dapat melihat serangan itu, sehingga pukulan Siau Po tepat mengenai perut To Liong.

Tetapi To Liong tak berhenti sampai di situ, ia terus menyerang Siau Po dan kacung itu berkelit. Tembok itu pun jebol.

Oleh karena serangannya yang dahysat itu meleset, maka To Liong terjatuh dan kepalanya membentur tembok.

Siau Po khawatir bukan main, takut To Liong tak bernyawa lagi. Cepat-cepat ia melompat ke tembok dan menolong lawannya itu, Hatinya sangat lega karena yang dilihatnya bukanlah To Liong yang telah mati, melainkan wajah yang memberikan senyuman To Liong mengusap tangannya yang menandakan agar Siau Po jangan bersedih Setelah itu ia jatuh tak berkutik lagi.

Para Sie Wie kaget bukan main ia lalu berlarian mendekati pemimpin mereka. Siau Po menarik tangan nona itu dan mengajaknya pergi dari tempat itu. "Mari kita pergi!" katanya "Mari cepat!"

A Ko menurut lalu berlarian bersama Siau Po. Mereka lari bertiga dan langsung menuju penginapan.

Kiu Lan melihat napas murid wanitanya tersengal-sengal dan air matanya yang berlinang, segera mengetahui bahwa muridnya habis menghadapi suatu kejadian.

"Apa yang telah terjadi?" tanyanya.

"Ada belasan serdadu Tatcu yang mengganggu The kongcu!" sahut si murid memberikan keterangannya, "Syukur ada Sute yang menghajar roboh pemimpinnya..."

"Sekarang kau diam saja di penginapan, jangan sembarangan pergi ke luar!" kata sang guru.

"Ya." sahut A Ko sambil menundukkan kepalanya. Akan tetapi karena ingat kepada Kek Song yang terluka, ia pun pergi juga ke kamar pemuda itu untuk melihatnya.

Kek Song sedang tidur dan luka-lukanya sudah diobati oleh para pengiringnya.

Siau Po yang melihat A Ko ke luar dari kamarnya kembali hatinya panas karena nona itu dari kamar Kek Song.

"A Ko selalu memperhatikan pemuda itu!" katanya dalam hati, "Baik pemuda itu akan kutebas telinganya dan ku korek matanya. Dan aku akan dapat melihat ia masih menganggap si jantung hati atau bukan pada pemuda itu."

Walaupun ia sangat cerdas tetapi masih bingung juga dalam menghadapi asmara, Mungkin karena ia masih terlalu muda.

Malam itu sudah larut jauh, Siau Po terbangun dari tidurnya karena mendengar suara dari luar jendela.

"Wie Inkong inilah aku!" terdengar suara orang dari luar jendela kamarnya.

Siau Po mengenali suara itu. ia segera turun dari pembaringan untuk membuka jendela itu.

"Gauw Jie Siok?" tanyanya. "Benar! Aku” sahut suara di luar itu.

Dengan berhati-hati Siau Po membuka jendela itu, dan Lip Sin melompat ke dalam dengan sangat bernafsu ia merangkul erat-erat tubuh Siau Po.

"lnkong senantiasa aku ingat saja, Tak ku sangka kau sekarang berada di sini, Selama rapat besar di Hokan, aku telah bertanya kepada kawan-kawan tentang kau. Aku menyesal karena mereka tak berani menerangkan apa-apa."

Siau Po tertawa.

"Mereka bukannya tak percaya kau, melainkan ada sebabnya kenapa mereka tak sudi bicara." katanya.

"Sebenarnya aku turut menghadiri rapat Sat Kui Tay Wie itu dengan menyamar dan semua saudara kita tak tahu itu."

"Oh, begitu!" katanya. "Tadi aku telah bertemu kawan serdadu Tatcu, kembali kau telah menolongku jikalau kau tak menolongku aku tak khawatir Siau Ongya kami akan mendapat celaka, Maka dari itu Siau Ongya mengutus aku ke mari guna mengucapkan terima kasih pada Inkong yang sudah melepas budi sangat besar."

"Tetapi kita sahabat." kata si kacung, "Karena-nya janganlah kita berlaku sungkan satu dengan yang lainnya, Ji Siok, kau selalu menyebut Inkong sangat asing, untuk itu jangan pakai kata itu lagi!"

Gauw Lip Sin menatap anak muda di sisinya.

"Baiklah kalau demikian!" katanya, "Tak lagi aku memanggil Inkong padamu, Kita selanjutnya menjadi saudara satu dengan yang lainnya, Karena aku berusia lebih tua. Lebih baik aku memanggil adik kepadamu."

"Bagus." kata Siau Po sambil tertawa, "Dengan demikian bukankah si keponakan murid jadi akan memanggil paman padaku?"

Mendengar disebutnya Lau It, Gauw Lip Sin nampak agak riskan,

"Dialah anak tak berguna, Jadi kita lebih baik jangan menyebut-nyebut dia!" katanya, "Eh, adikku, sebenarnya kau sedang dalam perjalanan ke mana?" 

"Sebenarnya panjang untukku mengatakan-nya." sahut Siau Po yang seterusnya memanggil "Jiko" kakak yang kedua sebagai gantinya Ji Siok paman nomor dua.

"Sekarang ini adikmu tengah menghadapi urusan jodohnya."

Girang Gauw Lip Sin mendengarkan kata-kata adik angkatnya itu. Tak disangka ada orang yang mau memberitahukan urusannya. "Selamat adikku.,., Selamat!" ia lalu memberikan kata selamat

"Boleh aku tahu nona itu dari keluarga mana?" Di dalam hati ia bertanya-tanya, "Bukankah nona itu Pui Ie?"

"Calon istriku itu She Tan," kata Siau Po. "Namun ada yang membuat aku menjadi malu."

"Bagaimana itu adikku?" tanyanya.

"la mempunyai sahabat kekal seorang She Tan. Bocah itu buruk, ia ingin mengambil calon istriku, tetapi ia justru memberikan bisikan pada tentara Tatcu, hal itu yang membuat aku sangat berbahaya."

Lip Sin menjadi gusar.

"Bocah itu sudah bosan hidup!" katanya keras, "Kenapa ia berbuat demikian?" Lip Sin menepuk pahanya.

"Justru kami, keluarga Bhok turut membangun kerajaan Beng yang sangat besar Keluarga Bhok lamalah yang turun-temurun memegang kekuasaan di propinsi In Lam, Tetapi keluarga The berasal dari sebuah pulau di Taiwan, mana bisa ia disamakan dengan keluarga Bhok?"

"Memang." kata Siau Po.

"Namun dia membanggakan diri. Katanya untuk membinasakan Gauw Sam Kui, pihaknya dapat bekerja dengan mudah. Dia juga mengajakku berunding katanya untuk membinasakan keluarga Bhok. Mendengar demikian aku lalu menegurnya, aku pun memberitahukan padanya, Thian Te Wie dan Bhok Onghu sudah berjanji dan berlomba untuk membinasakan Gauw Sam Kui, Dalam pertaruhan itu kedua pihak harus bekerja sama. Akan tetapi tentara itu mengenalinya dan aku mendustainya bahwa kalian bukan orang yang dicarinya maka loloslah ia."

Lip Sin mempercayai cerita itu.

"Oh, begitu." katanya, "Jikalau demikian bocah itu bukanlah manusia."

"Celaka bocah itu memang harus diajar adat," kata Siau Po pula. "Namun dia putera Yan Peng Unong, dia tak dapat dibinasakan maka dia cukup dihajar Sewaktu kau menghajarnya aku akan muncul untuk memisahkannya lalu kita berpura-pura bertarung dan waktu itu kau pura-pura kalah dan kau pergi, maukah kau?"

"Adikku kau bekerja untuk kepentingan kami, kenapakah aku tak sudi?" kata Lip Sin. "Caramu ku memang paling baik. Dengan demikian kita tak usah bentrok dengan pihak Taiwan," "Kakak, berpura-pura tak mengenal dia." kata Siau Po. "Dengan begitu kakak dapat bermain gila padanya. Dialah orang yang memiliki luka di muka dan pada kepalanya dan dia pula ada bersama aku."

"Baik, adik!" kata Lip Sin. "Nah adik jaga dirilah baik-baik dan aku akan pergi." katanya, Tetapi ia merasa berat meninggalkan Siau Po Laki-laki itu lalu memegang tangan Siau Po dan berkata dengan perlahan.

"Di kolong langit ini banyak nona yang cantik prilakunya, oleh karena itu calon istrimu itu berlaku kurang sopan terhadapmu, kau jangan terlalu banyak berpikir, dapat kau tinggal dan mencari gantinya!"

Siau Po mengangguk nampak ia sangat menyesal dan ia berdiam saja.

Gauw Lip Sin lalu pergi lewat jendela itu dan tidak lama lagi tubuhnya sudah menghilang dari pandangan mata,

Besoknya Siau Po ikut gurunya dan A Ko pergi ke utara, The Kek Song dan para pengikutnya berjalan bersama-sama.

"The kongcu kau hendak ke mana?" tanya Kui Lan.

"Aku hendak pulang ke Taiwan," sahut si pemuda. "Sekarang aku hendak mengantarkan perhiasan pada suthay, setelah itu kita berpisah."

Lewat kira-kira dua puluh li, jauh di belakang mereka nampak rombongan penunggang kuda yang menuju arahnya, dengan cepat mereka telah sampai, ternyata rombongan para tani yang di tangannya memegang pacul dan garukan. Salah seorang dari rombongan itu menunjuk ke arah Kek Song.

"lni dia bocahnya!" katanya dengan nyaring.

Siau Po mengawasi orang tersebut dan ia tahu bahwa orang-orang itu orangnya Gauw Lip Sin.

"Kiranya mereka hendak menyamar," katanya. "Hendak aku lihat bagaimana mereka itu.,.!"

Rombongan para tani itu melintas di hadapan kereta itu. Lip Sin lalu menunjuk ke arah Kek Song lalu ia berkata dengan bengis.

"Eh, bocah, tadi malam bagus benar perbuatanmu pada keluarga Thio di desa Thio kecung, bagaimana kucing habis mencuri makanan, sekarang kau akan meloloskan diri."

Kek Song gusar, ia merasa tak karuan di fitnah, entah Lie Ke Cung. "Apakah itu perbuatan di Teo Ke Cung?" tanyanya keras, "Apakah kau tak punya mata? Kenapa kau mengaco?"

"Oh, bagus," kata Lip Sin. "Jadi peristiwa di Lie ke Cung juga perbuatanmu! jadi nona di desa itu telah kau perdayakan! Bagus kalau kau mengaku sendiri! Oh bocah sungguh kau bernyali besar! Di dalam satu malam kau sudah mendustakan dua orang nonal"

Para pengiring Kek Song menjadi tidak senang, beberapa di antaranya berseru bersama.

"Inilah Kongcu kami! jangan kamu menyangka orang! jangan kamu ngomong sembarangan!"

Lip Sin tidak langsung menjawab pertanyaan itu. ia menarik ke luar tangan nona yang berada di dalam dan menanyakannya,

Melihat hal yang demikian itu Siau Po jadi ingin tertawa karena ia tahu nona itu pastilah orang belian Lip Sin. Orang itu sangat jelek, Nona itu mengaku bahwa Kek Song lah yang semalam datang ke rumahnya. 

Melihat pengakuan si nona itu seorang petani lalu berkata. "Kau menghina adikku! Enak benar datang-datang kau menjadikan aku toakomu! Sungguh kau sangat kurang ajari Aku ingin mengadu nyawa denganmu!"

Siau Po memandangi orang itu satu persatu, ia mengenali bahwa yang tadi berbicara itu salah satu murid dari Lip Sin dan kata "Toako" yang berarti kakak ipar.

Menyaksikan hal itu A Ko menjadi heran dan tidak percaya dengan apa yang dilihat Cuma anehnya mengapa tanpa sebab ada orang yang datang mengusulnya dan menuduh?

A Ko menjadi bingung sebab ia harus berbuat apa. ia lalu bertanya pada gurunya dan sang guru memberikan jawaban yang kurang enak didengar.

Baik Siau Po maupun Kui Lan diam saja mereka hanya menonton kejadian itu dan tidak ada reaksi memberikan bantuan pada Kek Song.

Hanya beberapa gebrakan saja Kek Song sudah dapat ditundukkan Setelah itu Kek Song pun dibawa kabur ke desa orang-orang itu dan orang Kek Song lalu mengejarnya namun mereka tak berhasil.

"Eh, Sute, coba kau pikirkan bagaimana caranya aku dapat menolong Kek Song itu?" tanya Siau Po pada A Ko.

"Apa katamu? Kau ingin menolong dia? Dia toh tak terancam bahaya dan juga tak membunuh orang. jadi ia tak akan mengganti nyawa!" kata A Ko dengan sengitnya. Siau Po tertawa.

"Menikah itu baik dan bagus." kata Siau Po. "Aku memikirkan akan menikah denganmu kau malah tak mau."

A Ko mendelikkan matanya pada kacung itu dan ia berkata dengan sengit "Orang sedang bingung hingga mau mati kau malah berbicara yang tidak-tidak, Kau lihat saja nanti, aku mau memperhatikanmu atau tidak."

Siau Po dapat menerka maksud nona itu karena ia selalu berbuat yang tidak-tidak, Dan benar saja pada malam harinya nona itu bermaksud ingin pergi menolong Kek Song hal itu diketahui Siau Po, hingga ia sengaja menegakkan si nona yang sedang mengeluarkan kudanya untuk pergi ke desa itu.

"Siau Po!" tegurnya "Kaulah itu?" Siau Po tertawa.

"Benar aku!" sahutnya sambil tertawa. "Bikin apa kau di sini?" tanya si nona.

"Aku si orang gunung pandai meramal," sahut Siau Po sambil tersenyum, "Telah aku meramalkan bahwa malam ini akan ada seorang yang akan mencuri kuda, Oleh karena itu malam ini aku tidur di sini untuk menjaganya.

"Cis," Tetapi hanya sebentar kemudian nona itu berkata kepada Siau Po. "Siau Po aku ingin meminta bantuanmu. Mari kau menemani aku menolong dia."

Puas hati Siau Po mendengar perkataan nona yang lunak itu.

"Kalau dia berhasil aku tolong, lalu apakah upahnya?" tanya Siau Po tanpa malu- malu.

"Apa yang kau pinta semua pun boIeh!" kata si nona dengan suara ragu-ragu karena tahu kalau Siau Po akan menikahinya dan itu tak dapat diterimanya maka ia berkata, "Kau selalu menghinaku, belum pernah kau bersungguh-sungguh mau menolongku."

Hati nona merasa sedih, dan setelah berkata demikian ia lalu menangis, karena teringat akan kelakuan Kek Song.

Sebaliknya Siau Po yang melihat dan mendengar nona itu menangis hatinya menjadi resah dan gelisah.

"Baik. Baiklah!" katanya, "Aku akan menemanimu."

A Ko girang hingga ia berhenti menangis. "Terima kasih. Terima kasih!" katanya. "Tak usah kau katakan terima kasih!" kata Siau Po. "Namun aku tak mengetahui letak desa itu."

Siau Po lalu mengambil kudanya dan mereka berjalan berendeng kembali ke tempat semula.

"Sebenarnya ada apakah hingga kau begitu sangat menyukainya?" tanya Siau Po. "Siapa bilang aku menyukainya?" sangkal si nona, "Aku hanya saling mengenal 

Karena ia sedang dalam kecelakaan, maka sudah sepantasnya aku menolongnya."

"Bagaimana jika ada orang yang menawanku dan akan menikahkan aku, sebagai mana yang terjadi pada diri Kek Song?" tanya Siau Po pada nona itu. "Apa kah kau juga akan menolongku?"

A Ko tertawa.

"Memangnya kau tampan!" katanya, "Siapa yang sudi menawanmu dan memaksamu untuk menikah?"

Siau Po menarik napas panjang.

"Kau tidak memandang padaku," katanya, "Siapa tahu ada seorang nona yang melihatku lain."

A Ko tertawa lagi.

"Jikalau demikian aku akan bersukur pada langit dan bumi." katanya, "Karena dengan demikian arwahmu tak lagi mengejar-ngejar aku dan aku bebas."

"Baiklah jika demikian halnya, jika nanti ada orang yang menawanmu dan memaksamu untuk menikah dengannya aku tak akan menolongmu."

Mendengar perkataan itu A Ko terperanjat karena jika benar terjadi hal yang dimaksud Siau Po itu, tak ada orang lain yang mau menolongnya selain dari anak muda itu.

"Pasti nanti kau akan menolongku." katanya perlahan-lahan. "Mengapa begitu?" tanya Siau Po.

"Jikalau ada orang yang menghinaku tak mungkin kau diam saja karena aku adik seperguruanmu." jawab si nona.

Manis rasanya hati Siau Po mendengar kata-kata si nona. Sementara itu, tanpa sengaja mereka telah sampai pada tempat mereka bertempur tadi siang, tetapi di situ sudah banyak orang yang sedang duduk, Rupanya orang-orang itu yang tadi siang telah menyerang mereka.

A Ko menahan kudanya. "Mana The kongcu?" tanyanya.

Rombongan itu berjingkrak bangun lalu siap menyerang A Ko.

"Rombongan orang desa itu telah mengundang The kongcu, untuk menikahkannya, Kongcu menolak tetapi mereka langsung menyerang dengan tendangan dan juga tonjokan.-.!"

Si nona menjadi gusar.

"Kamu. Kamu. Bukankah kamu semua pandai silat?" teriaknya, "Mengapa dengan 

orang desa saja kalian tak dapat mengalahkannya?"

Rombongan itu semuanya tertunduk "Orang-orang itu semuanya pandai bermain silat." jawabnya.

"Kamu masih mengaco, masa ada orang desa pandai bermain silat apalagi seluruhnya?" ia lalu berpaling pada Siau Po. "Sute ayo kita menolong mereka! Dan kalian jalan duluan untuk menemukan jalan!"

Salah seorang yang lebih tua berkata, "Kami tak berani datang ke sana karena mereka mengancam akan memenggal kepala kami jika kami datang ke sana!"

"Andaikata kepala kalian yang dipenggal apa yang kalian takuti?" tanyanya, "Kalian takut mati? Bukankah kalian ditugaskan melindungi kongcu? mengapa sekarang kamu takut mati?"

"Ya. Ya!" kata si orang tua. "Tetapi nona jangan menunggang kuda agar 

kedatangan kita tidak mereka ketahui!"

Para pengiring itu lalu mengantarkan si nona dengan meninggalkan lampu, jauh juga mereka berjalan, maka sampailah mereka ke tempat tujuan, yaitu sebuah rumah besar yang di dalamnya terdengar bunyi tetabuhan.

Mendengar bunyi tetabuhan yang sangat nyaring itu A Ko menjadi kebingungan. "Lebih dahulu kita mengintai dari luar!" pesan si nona.

A Ko dan Siau Po mengitari rumah besar itu. Tampak salah sebuah pintu rumah itu yang tidak tertutup rapat, Melalui pintu itu mereka masuk dan sampailah pada sebuah ruangan besar. Di situlah A Ko menjadi bingung sekali, berbeda dengan Siau Po. A Ko melihat Kek Song sedang duduk bersanding dengan seorang wanita, Hal itu yang membuat hatinya menjadi resah dan orang-orang itu terus saja menabuh gendang.

"Beri hormat lagi," kata Gauw Lip Sin.

"Apa yang harus dihormati?" kata Kek Song. "Bukankah aku telah menghormati langit dan bumi?"

Mendengar ucapan itu A Ko hampir saja pingsan, karena itu merupakan kedua mempelai sudah melakukan pernikahan.

Gauw Lip Sin tertawa.

"ltu sudah aturan kami." katanya, "Mempelai lelaki harus memberi homat kepada mempelai wanita sebanyak seratus kali, sedangkan kau baru melakukan tiga puluh kali, jadi kurang tujuh puluh kali."

Go Pui sebaliknya, ia lalu menendang pantat Kek Song sehingga pemuda itu langsung berlutut.

A Ko telah habis kesabarannya, nona itu menendang jendela lalu menyerang orang yang ada di dalam sambil berteriak.

"Lepaskan dia!" ia membentak dengan suaranya yang sangat bengis, "Lepaskan dia atau aku yang akan membunuh kalian semua?"

"Ah, nona! Apakah nona akan minum arak? Dan memberikan kata selamat kepada kedua mempelai ini? Eh, mengapa nona membawa golok segala?" sahutnya dengan riang gembira.

Ia tidak menjawab melainkan menyerang dengan goloknya, dan yang diserang hanya berteriak, "Aduh!" Tetapi serangan itu tak menemui sasarannya.

Menyaksikan pertempuran itu Gauw Lip Sin tertawa.

Kek Song yang melihat adanya bala bantuan, lalu berdiri ingin membantu nona itu, Akan tetapi terdengar ada suara "Duk" dan ia lalu tersungkur ke lantai.

A Ko lalu berbalik menyerang Lip Sin. Akan tetapi nona itu tetap kewalahan meskipun lawannya tidak menggunakan senjata.

"Sute, cepat!" ia panggil Siau Po. "Sute cepat bantu aku!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar