Kaki Tiga Menjangan Jilid 49

Jilid 49

Siau Po menurut. Mereka segera menjalankan lagi kereta tersebut sampai sekian tama menempuh perjalanan, mereka masih belum menemukan satu pun rumah penduduk desa, Siau Po khawatir mereka akan tersusul oleh rombongan Shang Cie, karena itu, ketika melihat sebuah gang kecil, dia menyuruh sais membelokkan kereta ke arah gang itu.

Justru kereta sedang dijalankan perlahan-Iahan, dari belakang mereka terdengar suara derap kaki belasan ekor kuda. Siau Po menjadi terkejut sekali. Hatinya juga langsung merasa cemas.

Mungkinkah rombongan lawan sudah menyusul tiba?

- Celaka! Rupanya jumlah para lhama itu lebih dari belasan orang! keluhnya dalam 

hati.

Suara derap langkah kaki kuda itu semakin cepat. Diam-diam Siau Po mengintai ke luar jendela, Tampak puluhan penunggang kuda dengan pakaian berwarna hijau mendatangi kereta.  Ternyata mereka bukan rombongan para Ihama, Dalam waktu yang singkat kereta itu sudah tersusul sebentar lagi para penunggang kuda itu akan melewati mereka.

Tiba-tiba terdengar suara A Ko memanggil. "The toako! The toako!"

Salah satu dari penunggang kuda itu, yakni seorang anak muda, langsung menghentikan kuda tunggangannya. Dibiarkannya kereta itu lewat di sisinya sehingga mereka berjalan berdampingan.

"Nona Tan !" sapa si penunggang kuda itu.

"Benar, memang aku!" sahut A Ko yang dari nada suaranya kentara bahwa hatinya senang sekali.

"Tidak tersangka kita akan bertemu kembali?" kata si anak muda, "Apakah kau bersama-sama nona Ong?"

"Bukan," sahut A Ko. "Kakak seperguruanku tidak ada di sini"

"Apakah kau pun hendak menuju Ho Kan?" lagi-lagi anak muda itu bertanya. “Tidak!" sahut A Ko.

"Kota Ho Kan ramai sekali" kata si penunggang kuda, "Sebaiknya kau ke sana saja!"

Pembicaraan itu berlangsung sementara kereta terus berjalan sedangkan Siau Po yang masih duduk satu kereta dengan si nona terus memperhatikannya. 

Tampak kedua pipi si nona bersemu dadu, wajahnya berseri-seri seakan senang sekali dapat bertemu dengan pemuda pujaan hatinya, Siau Po merasa dadanya seperti dihantam oleh martil dengan keras.

-- Apakah penunggang kuda itu kekasih nona A Ko? --, tanyanya dalam hati Lalu dia berkata dengan suara perlahan kepada si nona, "Sekarang kita mau menyembunyikan diri dari kejaran musuh. sebaiknya jangan sembarangan berbicara dengan orang yang tak ada sangkut pautnya dengan kita."

A Ko seperti tidak mendengarkan kata-kata Siau Po.

"Ada keramaian apa di kota Ho Kan?" tanyanya kepada si penunggang kuda. "Apakah kau belum mengetahuinya?" terdengar suara si penunggang kuda yang 

sembari mengulurkan tangannya menyingkap tirai kereta sehingga kepalanya dapat menjulur ke dalam.

Wajah pemuda itu tampan sekali Usianya sekitar dua puluh tigaan tahun, apalagi wajah itu penuh dengan senyuman sehingga tampak semakin manis dan ganteng. "Di kota Ho Kan ada keramaian menyembelih kura-kura. Semua orang gagah di seluruh negeri ini sedang menuju ke sana." katanya.

"Apa sih maksudnya menyembelih kura-kura?" tanya A Ko. "Kalau hanya menyembelih kura-kura, apa yang bagus dilihat?"

"Memang yang dilaksanakan di sana menyembelih kura-kura." kata si penunggang kuda sambil tersenyum "Tapi yang disembelih bukan kura-kura busuk, melainkan seseorang yang akhir namanya menggunakan kata-kata Kui seperti bunyinya kura- kura."

A Ko tertawa.

"Ah! Mana ada orang yang namanya menggunakan huruf "Kui" kura-kura." katanya, "Kau hanya membohongi aku."

Si penunggang kuda ikut tertawa.

"SebetuInya tulisannya memang tidak sama, Hanya bunyinya saja yang sama, Huruf itu huruf Kui dari bunga Kui Hoa. Coba kau tebak siapa orangnya?"

Siau Po terkejut setengah mati, Dalam hati dia berpikir.

- Sejak tadi dia terus-terusan menyebut nama dengan huruf Kui, apakah dia bukan bermaksud mengatakan Siau Kui Cu? Kalau benar, matilah aku! --

Sementara itu, A Ko tertawa sambil bertepuk tangan.

"Aku tahu sekarang." katanya gembira, "Kau maksudkan si pengkhianat besar, Gouw Sam Kui bukan?"

Penunggang kuda itu lagi-lagi tertawa.

"Benar, Kau cerdas sekali. Satu kali terka saja langsung tepat." katanya. "Eh, apakah kalian telah berhasil membekuk Gouw Sam Kui?" tanya A Ko.

"Belum sih," kata si penunggang kuda, "Kami semua justru ingin merundingkan cara menyembelihnya."

Siau Po bernapas 1ega. Jadi bukan dia yang dimaksudkan

-- pantas kalau begitu! - katanya dalam hati, --Aku si Siau Kui Cu hanya seorang bocah cilik, untuk apa mereka membunuh aku? Lagi pula, kalau benar mereka ingin membunuh aku, juga tidak perlu diadakan Cham Ku Tayhwe, pertemuan yang luar biasa itu. Dasar aku yang apes! Mengapa justru kepilih orang yang bernama Siau Kui Cu? -- Pemuda itu tertawa manis sambil menjalankan kuda tunggangannya. Dia memiringkan tubuhnya sedikit agar dia dapat melihat wajah si nona sementara berbicara dengannya. Dari sikapnya ini saja dapat dibuktikan bahwa dia seorang penunggang kuda yang baik.

Sementara itu, A Ko menoleh kepada Pek I Ni.

"Suhu," panggilnya dengan suara perlahan "Apakah kita ikut menyaksikan keramaian?"

Pek I Ni merenung sekian lama sebelum memberikan jawaban sebetulnya dia ingin sekali menghadiri pertemuan besar itu, tapi dia juga mengingat keadaannya sendiri yang sedang menjadi incaran musuh, seharusnya mereka menyembunyikan diri, masa sekarang malah mau tampil di depan umum?

"Bagaimana menurutmu?" tanya Pek I Ni kepada Siau Po akhirnya.

Si anak muda sejak tadi berdiam diri saja, Hatinya masih panas melihat kemesraan A Ko dengan pemuda yang menunggang kuda itu.

Sebenarnya dia merasa muak mendengar pembicaraan mereka dan mendongkol melihat sikap si pemuda terhadap A Ko. Dia tidak ingin A Ko terus-terusan dekat dengan pemuda itu.

"Kalau rombongan Ihama jahat itu tiba, kita pasti kerepotan melayaninya. Lebih baik kita cari tempat untuk singgah terlebih dahulu." sahutnya kemudian.

"Apa itu Ihama jahat?" tanya si pemuda.

"The toako, ini guruku." kata A Ko memperkenalkan. "Di tengah jalan kami bertemu dengan satu rombongan Ihama jahat, mereka hendak mencelakai guruku ini. sekarang guruku sedang terluka parah, sedangkan di belakang ada serombongan Ihama jahat yang mengejar."

"Oh, begitu!" kata si pemuda yang langsung berteriak nyaring kepada rombongan di belakangnya kemudian menghentikan tunggangannya, Bahkan kedua kereta yang ditumpangi Siau Po dan yang lainnya juga ikut berhenti.

Pemuda itu segera melompat turun dari keretanya lalu menyingkap tirai kereta kemudian menjura sambit berkata.

"Boanpwe The Kek Song menghadap cianpwe!" Pek I Ni menganggukkan kepalanya. "Kalau baru beberapa orang Ihama, rasanya tidak perlu dijadikan bahan kecemasan," kata Kek Song kembali. "Cianpwe, boanpwe bersedia mewakili cianpwe membereskan mereka."

Mendengar kata-kata pemuda itu, A Ko langsung merasa senang sekali, Tapi di samping itu, hatinya juga dilanda kekhawatiran....

"The toako, ilmu para Ihama itu tinggi sekali." katanya,

"Semua kawanku itu juga memiliki ilmu silat yang tidak lemah, Aku percaya mereka bisa membereskan para Ihama itu," kata Kek Song. "Kalau enggan main keroyok, satu lawan satu pun tidak menjadi masalah."

A Ko menoleh kepada gurunya seakan hendak meminta pendapat wanita itu. "Tidak bisa!" sahut Siau Po cepat sebelum si bhikuni sempat menjawab "Suthay 

begini lihay saja masih terluka di tangan mereka, Kalian hanya dua puluh orang lebih 

jumlahnya, apa yang bisa kalian lakukan?"

"Aku tidak tanya pendapatmu!" bentak A Ko, "Untuk apa kau banyak mulut?" "Aku hanya mengkhawatirkan keselamatan suthay." sahut Siau Po.

"Kau sendiri yang takut mati tapi kau menggunakan guruku sebagai alasan." kata A Ko yang tetap gusar "Kau si kecil busuk! Hatimu selalu mengandung niat yang tidak baik!"

"Apakah orang she The ini kepandaiannya tinggi sekali?" tanya Siau Po yang tidak memperdulikan caci maki gadis, "Apakah dia lebih lihay dari suthay sendiri?"

"Tapi dia membawa dua puluh orang lebih," kata A Ko berkeras, "Semua orang itu lihay-lihay, Mustahil kalau dua puluh orang yang tidak bisa melawan tujuh Ihama?"

"Bagaimana kau bisa tahu kalau kedua puluh orang itu ilmunya lihay-Iihay?" tanya Siau Po. “Dalam pengamatanku, ilmu mereka justru rendah sekali."

"Tentu aku tahu." kata A Ko. "Aku pernah menyaksikan mereka turun tangan, Setiap orang dari mereka pasti bisa menghadapi seratus orang sebangsamu."

Sementara kedua bocah itu bersitegang, Pek I Ni tetap berdiam, ia memikirkan kesehatannya sendiri meskipun dia juga ingin sekali menghadiri pertemuan Cham Ku Tayhwe itu. Dia ingin tahu apa rencana mereka dalam menumpas Gou Sam Kui. 

Tapi para Ihama jahat itu membuatnya pusing, Dia juga tidak sudi menerangkan bahwa sekarang mereka bermaksud menyembunyikan diri untuk sementara, hal ini hanya akan membuat dirinya malu saja. "Silahkan, kongcu! silahkan kau lanjutkan perjalanannya." katanya kemudian "Para Ihama itu hanya mencari aku, biarlah aku yang melayani mereka. Terima kasih banyak untuk kebaikanmu, kongcu!"

"Harap suthay jangan sungkan!" kata Kek Song. "Sudah sepantasnya kalau dalam perjalanan aku memberikan bantuan sekedarnya kepada orang yang membutuhkan Apalagi suthay adalah guru nona A Ko, aku lebih-lebih harus membantu."

A Ko menundukkan kepalanya, wajahnya merah padam Dia merasa jengah karena namanya disebut-sebut.

"Baiklah kalau begitu." kata Pek I Ni akhirnya, "Mari kita berangkat bersama ke Hon Kan untuk menyaksikan keramaian di sana! Tapi aku harap kau jangan menyebut- nyebut apa pun tentang aku, sebab aku tidak ingin menemui siapa pun!"

Kek Song gembira sekali. "Baik!" Dia memberikan janjinya.

"The kongcu, kau dari golongan mana? Dan siapa nama gurumu yang mulia?" tanya Pek I Ni.

"Boanpwe telah menerima budi tiga orang guru," sahut Kek Song. "Guru yang pertama ialah Sie suhu, ahli silat dari Bu I Pai. Yang kedua Lau suhu, murid tidak resmi Siau Lim Pay cabang Pou Tian, Ho Kian. "

"Apakah nama mulia Lau suhu itu?" tanya Pek INi. "Lau suhu bernama Lau Kok Hian." sahut si pemuda.

Pek I Ni merasa heran, Ketika menyebutkan nama gurunya, Kek Song tidak menunjukkan sikap yang menghormat sebagaimana biasanya seorang murid, Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam benaknya.

"Bukankah nama guru kongcu itu sama dengan nama Lau Toa Ciang Kun dari Taiwan?"

"Benar." sahut Kek Song. "Dia memang Lau toa ciang kun yang memangku jabatan Te-kok di bawah perintah Yan Peng Kun Ong, raja muda dari Taiwan."

Te-kok berarti pangkat yang setara dengan Komandan utama dalam sebuah propinsi. "Apakah The kongcu termasuk anggota keluarga Yan Peng Kun Ong yang agung 

itu?"

"Aku puteranya yang kedua." Pek I Ni menganggukkan kepalanya.

"Kiranya turunan panglima perang yang setia kepada negara."

Raja muda Yan Peng Kun Ong adalah The Seng Kong yang telah berjasa merampas pulang kepulauan Taiwan dari tangan bangsa Belanda, Dia dianugerahkan pangkatnya di tahun Eng Lek kedua belas. 

Pangkat militernya Ciau Ciang Kun, panglima perang. Pada tahun Eng Lek ke enam belas, atau permulaan tahun kaisar Kong Hie bulan kelima, Teh Seng Kong menutup mata. 

Tatkala itu, putera sulungnya, The Keng sedang memangku jabatan di Kim mui dan He mui. Karena itu, The Sip, adiknya yang mewarisi jabatan sang ayah. 

Sementara itu, The Keng mengajak Tay Ciang Kun Ciu Coan Pin, Tan Kin Lam dan yang lainnya untuk berangkat ke Taiwan dan merampas kembali kedudukan ayahnya itu, Ternyata dia berhasil The Keng mempunyai dua orang putera, Yang pertama bernama The Kek Cong, dan yang kedua The Kek Song ini. .

The Keng tidak sudi menakluk pada bangsa Boan, sikapnya itu membuat dirinya disanjung dan dikagumi oleh para pecinta negara. juga dihormati oleh segala kalangan.

Ketika menyebut nama ayahnya, Kek Song yakin si bhikuni akan menaruh sikap hormat kepadanya. Ternyata sikap bhikuni itu biasa-biasa saja, Dia hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. 

Tentu saja dia tidak tahu kalau Pek I Ni justru putrinya kaisar Cong Ceng dan Lau Kok Hian adalah bekas panglima ayahnya yang telah menakluk pada pemerintahan Boan Ciu.

Sementara itu, Siau Po berkata dalam hatinya.

- Memangnya apa yang hebat dari Yan Peng Kun Ong? --, dia tahu siapa raja muda itu, bahkan gurunya sendiri, Tan Kin Lam adalah sebawahannya si raja muda. 

Di lain pihak, dia merasa tidak enak hati melihat Kek Song kepada A Ko. Bukankah pemuda itu putera seorang raja muda dan tampangnya juga jauh lebih ganteng daripada dirinya sendiri? 

Dia juga kalah dalam ilmu silat sedangkan dalam hal kepandaian dan usia, dia juga tidak ungkuIan, Ada satu hal yang dikhawatirkannya, Kalau gurunya, Tan Kin Lam tahu dia sedang memperebutkan seorang gadis dengan pemuda itu, bisa-bisa dia mati digantung. -- Pek I Ni mengatakan, pemuda itu keturunan seorang panglima perang yang setia kepada negara, Aku sendiri apa? - Demikian pikirnya lebih jauh, Dia kalah derajat, malah dia anak seorang perempuan hina yang menjajakan diri di rumah pelesiran.

Pada saat itu, terdengar Pek I Ni berkata kembali.

"Jadi gurumu yang pertama adalah Sie Liang yang telah takluk pada bangsa Boan Ciu?"

"Benar," sahut Kek Song, "Dia memang orang yang tidak tahu malu, Sudah lama boanpwe tidak mengakuinya sebagai guru, Bahkan lain kali, apabila kami sempat bertemu muka, di medan perang boanpwe akan membasminya dengan tangan sendiri.

Ketika berbicara, nadanya bersemangat sekali, malah sepasang tangannya dikepalkannya erat-erat.

"Selama hampir sepuluh tahun ini," kata Kek Song pula, "Boanpwe selalu mengikuti Phang suhu untuk belajar silat, Phang suhu adalah seorang tokoh utama Kun Lun pai yang mempunyai julukan It Kiam Bu Hiat (Sekali tusukan pedang tanpa darah), Mungkin suthay pernah mendengar nama beliau. "

"Apakah nama lengkapnya Phang Sek Hoan?" tanya Pek I Ni. "Tetapi mengenai asal usulnya aku kurang jelas."

"llmu pedang Phang suhu lihay sekali," kata Kek Song. "Demikian pula tenaga dalamnya yang sudah mencapai puncaknya, Dengan ujung lengan bajunya saja Phang suhu dapat menotok jalan kematian seseorang. Apabila dia menotok, kulit tubuh orang itu tidak terlihat luka dan tidak mengucurkan darah sama sekali."

"0h. !" seru Pek I Ni kagum, "llmu tenaga dalam yang demikian sempurna, pada 

jaman ini mungkin hanya beberapa orang yang menguasainya, Berapa usia Phang suhu itu?"

Kek Song tampak puas sekali dengan pujian Pek I Ni.

"Pada musim dingin ini, boanpwe akan memberikan selamat kepadanya untuk ulang tahun yang kelima puluh."

Pek I Ni menganggukkan kepalanya.

"Usianya belum lima puluh tahun, tapi tenaga dalamnya sudah semahir itu, Sukar ditemukan orang sehebat dirinya."

Si bhikuni berdiam diri sesaat Kemudian dia baru bertanya lagi, "Bagaimana dengan para pengikutmu, kongcu? Apakah ilmu mereka dapat 

diandalkan?" "Mengcnai hal itu, harap suthay legakan hati." sahut Kek Song, "Mereka semua merupakan pengikut-pengikut lihay yang telah dilatih dalam istana Yan Peng Kun Ong."

"Eh, suthay!" Tiba-tiba Siau Po nyeletuk, "Mengapa orang-orang lihay di kolong langit ini demikian banyak? Lihat saja guru kongcu ini! Yang pertama ialah jago dari Bu I Pai, yang kedua dari Siau Lim Pai, Dan yang ketiga dari Kun Lun Pai, Sudah begitu, para pengiringnya semua lihay luar biasa."

Panas hati Kek Song mendengar ucapan Siau Po. Dia merasa dirinya sedang disindir Tapi dia menahan kekesalan hatinya, Dia belum kenal siapa anak tanggung itu. Karena dia melakukan perjalanan bersama nona Tan dan gurunya, mungkin dia mempunyai hubungan dengan mereka.

Sementara itu, terdengar A Ko berkata.

"Bukankah ada pepatah yang mengatakan apabila gurunya lihay, muridnya pasti lihay juga. The kongcu telah dididik oleh tiga tokoh yang terkenal, tentu saja ilmunya tinggi sekali."

"Nona benar!" sahut Siau Po. "Aku bertanya demikian karena belum tahu sampai di mana kelihayan The kongcu. Kalau dibandingkan dengan nona, entah ilmu siapa yang lebih tinggi?"

A Ko menoleh kepada Kek Song.

"Sudah tentu ilmu The kongcu yang lebih tinggi." sahutnya, The Kek Song tertawa.

"Ah. Nona terlalu merendahkan diri sendiri." katanya.

Siau Po tertawa juga, bahkan dia mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Oh, begitu!" katanya, "Tadi Nona mengatakan apabila gurunya lihay, muridnya pasti lihay juga, Dengan demikian guru nona sendiri pasti kurang lihay sehingga dia kalah dengan guru-guru The kongcu."

Wajah A Ko berubah merah padam, Dia tergelincir oleh kata-katanya sendiri. "Kapan aku mengatakan ilmu guruku rendah? Kau. kau sendiri yang mengoceh 

tidak karuan."

Pek I Ni memperhatikan sikap ketiga muda-mudi itu.

"A Ko," katanya, "Kalau mengadu lidah dengannya, mana mungkin kau menang?" A Ko terdiam. Dia merasa malu sekali Kereta terus maju ke arah barat Kek Song selalu mengiringi di sampingnya. Siau Po mengeluarkan tiga butir pil yang diberikan ibu suri kepadanya. Dia menyodorkannya kepada Pek I Ni dan meminta wanita itu menelannya.

"Suthay, ini obat Soat Som, kabarnya bisa untuk memulihkan tenaga." katanya.

Pek I Ni menyambut pil itu seraya mengucapkan terima kasih, Dia langsung menelannya sekaligus. Setelah itu, dengan perlahan-lahan dia bertanya kepada muridnya.

"Bagaimana kau bisa berkenalan dengan The kongcu itu?" Wajah A Ko kembali menjadi merah padam.

"Pertama kali aku melihatnya di kota Kay Hong." sahutnya, "Ketika itu aku bersama kakak dan kebetulan kami sedang menyamar sebagai pria, Karena itu dia menyangka kami Iaki-Iaki sejati dan kami pun sedang berada di dalam rumah makan. The kongcu mengundang kami duduk dan bersantap bersama."

"Nyali kalian benar-benar tidak kecil." kata Pek I Ni. "Dua orang nona berani bersantap di rumah makan."

A Ko menundukkan kepalanya.

"Kami tidak benar-benar minum arak," sahutnya, "Kami hanya berpura-pura saja, Kami menganggapnya sebagai permainan yang menarik."

"Nona A Ko," tukas Siau Po, "Wajahmu begitu cantik, meskipun menyamar sebagai laki-laki, setiap orang pasti tahu dan dapat mengenali bahwa kau sebenarnya seorang gadis, Dan The kongcu itu, aku rasa dia mengandung niat yang kurang baik terhadapmu."

"KauIah yang mengandung maksud kurang baik!" bentak si nona kesal.

Siau Po terdiam Dia hanya tersenyum simpul. Pek I Ni ikut-ikutan tersenyum Rupanya dia menganggap tingkah kedua remaja ini sungguh jenaka.

Pada siang hari itu mereka tiba di Hong Ji Cung, dan segera singgah di sebuah rumah makan besar Ketika melompat turun dari kudanya, Siau Po melihat sikap dan tampang pemuda itu gagah sekali, Di pinggangnya terselip sebatang pedang yang pada gagangnya bertaburkan batu permata, sinarnya berkilauan

A Ko menuntun Pek I Ni turun dari kereta, Mereka memasuki rumah makan itu lalu mengambil tempat duduk, Siau Po hendak duduk di depan Pek I Ni, tapi dia dipelototi oleh A Ko. "Di sana banyak tempat kosong, mengapa kau harus duduk di sini? Melihat tampangmu, aku jadi tidak ada selera untuk makan." katanya.

Siau Po marah sekali, wajahnya berubah merah padam, Dia membungkam tapi dalam hatinya dia memaki, -- lya, kalau The kongcu yang menemani kau makan, kau langsung saja ada selera, --

"A Ko, mengapa kau tidak bisa bersikap manis terhadap Siau Po?" tanya Pek I Ni. "Karena dia orang busuk yang sanggup melakukan kejahatan apa saja," sahut si 

nona.

Siau Po mendongkol sekali, Dia terpaksa berjalan menuju sebuah meja yang ada di sudut rumah makan itu, Dalam hati dia berkata.

-- Terang kau ingin menikah dengan The kongcu yang bau itu, Tapi apa kau kira aku, Wi Siau Po akan mudah diperlakukan seperti ini? Hm! Lihat saja, nanti aku akan mencari jalan membunuh pujaan hatimu sehingga sebelum menikah kau sudah menjadi janda. pada saat itu, mau tidak mau kau pasti menjadi isteriku --

Setelah pesanan datang, para pengikut The kongcu segera makan dengan lahap. Siau Po sendiri segera mengambil delapan butir bakpao dan dibawanya untuk Hupian, Dia merasa di antara semua orang itu, hanya si Ihama ini yang bisa diajak bicara. Setelah itu dia kembali lagi ke mejanya sendiri.

Dengan wajah berseri-seri, A Ko berbicara dengan The kongcu sambil menikmati hidangan di atas meja, Si kongcu juga tampak gembira sekali, Agaknya pergaulan kedua orang itu semakin akrab dan pemandangan itu membuat Siau Po sukar menelan hidangannya sendiri.

-- Tidak mudah bagiku untuk membinasakan pemuda ini, Lagipula kalau A Ko sampai tahu aku membunuhnya, bukan saja dia tidak sudi menjadi isteriku, bahkan ada kemungkinan dia akan mencariku untuk membalas dendam. -, pikir Siau Po dalam hati.

Tiba-tiba, telinga Siau Po mendengar suara riuh derap kaki kuda, Kemudian tampak serombongan orang tiba di depan rumah makan dan turun dari kuda masing-masing.

Melihat orang-orang yang baru datang itu, hati Siau Po tercekat Merekalah tujuh orang berpakaian Ihama, Tapi sesaat kemudian hatinya merasa senang juga, Sebab dia berpikir - Tadi The kongcu membual dengan mengatakan akan membereskan para Ihama ini. Sekarang aku ingin melihat apa yang dapat dilakukannya, Aku akan menonton, pasti menarik sekali --

Begitu memasuki rumah makan dan melihat Pek I Ni wajah ketujuh Ihama itu langsung berubah, Entah apa yang ada dalam hati mereka, Salah seorang yang bertubuh tinggi kurus segera berkata dalam bahasa mereka, lalu mereka mengambil tempat duduk di dekat pintu ke luar.  Mereka juga langsung memesan makanan. Selama itu mereka terus menatap ke arah Pek I Ni. Wajah mereka muram sebagai tanda bahwa hati mereka sedang tidak senang.

Sementara itu, Pek I Ni juga sudah melihat kehadiran tujuh orang Ihama tersebut, tapi dia tetap bersikap tenang seakan tidak ada kejadian apa-apa.

Tidak lama kemudian, salah seorang Ihama dari rombongan itu berdiri dan berjalan ke hadapan Pek I Ni. Wajah orang itu tampak garang sekali.

"Hei, Bhikuni!" teriaknya, "Apakah kau yang mencelakai kawan-kawanku?" Belum lagi Pek I Ni sempat menjawab, Kek Song sudah mencelat bangun.

"Hai, apa yang kau lakukan?" tegurnya. "Mengapa sikapmu demikian kasar dan tidak tahu aturan?"

"Makhluk apa kau ini?" tanya si lhama, "Aku sedang berbicara dengan bhikuni ini, Apa urusannya denganmu?"

Melihat kongcunya diperlakukan dengan kasar, beberapa orang pengawal dari Yang Peng Kun Ongi segera menghambur ke depan. Tangan mereka dijulurkan untuk mendorong Ihama tersebut.

Sang Ihama segera menangkap tangan dua orang pengawal yang sampai terlebih dahulu, sedangkan sebelah kakinya menendang seorang lainnya sehingga orang itu terpental ke luar rumah makan dan terbanting di atas tanah. 

Lalu tangannya menonjok hidung, orang yang tertangkap tangannya sehingga hidung orang itu mengucurkan darah talu terguling pingsan.

Para pengawal yang lain menjadi terkejut dan bangun serentak.

"Maju!" teriak mereka sambil menghunuskan senjata masing-masing. Mereka langsung melakukan penyerangan.

Lima orang Ihama segera bangun dan memberikan perlawanan Tinggal si Ihama bertubuh tinggi kurus yang tetap duduk di tempatnya dan memperhatikan jalannya pertarungan.

Pertempuran berlangsung dengan seru. Suara bising beradunya senjata tajam terdengar di sana-sini. otomatis meja dan kursi dalam rumah makan itu menjadi kacau balau, Para pelayan dan tamu-tamu lainnya kucar-kacir karena takut kena sasaran.

The Kek Song dan A Ko menghunuskan pedangnya masing-masing dan berdiri di samping kiri kanan Pek I Ni untuk melindunginya. Mata mereka terpentang lebar-Iebar untuk menjaga segala kemungkinan. Begitu kedua belah pihak bergebrak, segera terdengar suara jerita teraduh-aduh atau suara napas yang tertahan secara mendadak. Semua itu diiringi suara bentakan dan seruan para Ihama.

Meskipun suasana di dalam rumah makan itu kalang kabut, hati Siau Po masih agak lega sebab kawanan Ihama itu tidak langsung menyerang si bhikuni, Dan sikap wanita itu masih tenang seperti sebelumnya. Lain halnya dengan wajah A Ko yang sudah berubah pucat pasi.

Kek Song sendiri juga menyiratkan kecemasan melihat kelihayan para Ihama itu. Tidak lama kemudian, si tinggi kurus berdiri dan menghampiri The Kek Song. Pemuda itu terkejut dan langsung bersiap siaga.

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya.

"Kedatangan kami untuk mencari si bhikuni ini. Sama sekali tidak ada urusan denganmu! Apakah kau muridnya?" tanya Ihama itu.

"Bukan!" sahut The Kek Song.

"Lalu, apa hubunganmu dengannya?" "Tidak ada!"

"Bagus!" kata si Ihama, "Kalau begitu, kau harus tahu diri, cepatlah kau pergi dari sini!"

"Sia... pakah Tuan?" tanya Kek Song gugup, "Sudilah kiranya Tuan memberitahukan agar kelak di kemudian hari. "

Tiba-tiba lhama itu mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

"Namaku Sang Cie!" kata si Ihama, "Akulah Hu kau atau pelindung agama dari Dalai Lhama, Buddha Hidup kami di Tibet, Kau mau apa, anak baik? Apakah kelak kau ingin mencariku untuk membalas dendam?"

Kek Song mengeraskan hatinya, "Benar!"

Sang Cie tertawa lebar Dia mengibaskan ujung baju kirinya ke wajah pemuda itu. Kek Song menangkis dengan pedangnya, Tapi si lhama lihay sekali, dengan jari tengahnya dia menyentil dan pedang Kek Song pun terpental dan menancap di tiang penglari.

Lhama itu tidak berhenti sampai di situ saja, tangan kirinya terus bergerak Punggung Kek Song kena dicengkeram lalu diangkat dan didudukan di atas sebuah kursi. "Duduklah baik-baik!" Kek Song tidak dapat berkutik, jalan darahnya telah tertotok. Terpaksa dia menyaksikan saja si lhama kembali ke mejanya.

Siau Po yang menyaksikan kejadian itu langsung berkata dalam hatinya.

-- Apalagi yang ditunggunya? Mengapa dia tidak segera turun tangan kepada Pek I Ni? Apakah dia sedang menunggu datangnya bala bantuan?"

Tiba-tiba Siau Po ingat kepada Hupian yang masih ada di dalam kereta.

-- Celaka! Kalau keadaannya begini terus, tentu mereka sempat menolong Hupian, Dan mereka pun akan tahu bahwa aku serombongan dengan bhikuni itu. Mereka juga pasti tahu bahwa akulah yang mencelakai rekan-rekan mereka, Bisa-bisa aku Wi Siau Po dikirim pulang ke alam bakal --, pikirnya kemudian.

Dia menoleh kembali kepada si lhama tinggi kurus yang masih duduk tenang-tenang.

-- Mungkin dia belum tahu kalau suthay terluka parah sehingga hatinya merasa jeri. -, pikirnya.

Tatkala itu, pelayan muncul dengan membawa barang hidangan. Tangannya gemetar menyaksikan jalannya pertarungan Setelah meletakkan barang hidangan di atas meja Sang Cie, pelayan itu cepat-cepat kembali ke dalam.

Siau Po segera mengintil di belakangnya, Dia melihat pelayan itu sedang mengisi guci arak.

"Apakah arak itu untuk tuan-tuan galak yang ada di depan?" tanyanya.

Pelayan itu terkejut, Dia menolehkan kepalanya dan melihat yang menegurnya hanya seorang anak tanggung, hatinya jadi Iega.

"Benar!" sahutnya.

"Tanganmu gemetaran, nanti arak itu tumpah ke mana-mana, Biar aku membantumu. Coba kau lihat sana, apakah para pendeta itu masih berkelahi atau tidak?"

Pelayan itu memandang Siau Po dengan tatapan berterima kasih, Dia segera menuju ambang pintu ruangan dan melongok ke luar, Menggunakan kesempatan itu, Siau Po mengeluarkan dua bungkus Bong Hoan Yok dan dimasukkannya ke dalam arak lalu diguncang-guncangkannya agar larut.

Sementara itu, si pelayan sudah kembali lagi. "Mereka masih berkelahi." katanya. "Kau berhati-hatilah, Cepat antarkan arak ini. jangan sampai tuan yang galak itu marah-marah lagi!"

Cepat-cepat si pelayan membawa arak itu. setibanya di luar, para lhama itu sedang tertawa-tawa karena pihak merekalah yang menang di atas angin, Secara bergantian mereka meneguk arak dari guci besar itu.

Siau Po senang sekali melihatnya, Untung saja para lhama itu masih kurang pengalaman walaupun sebenarnya ilmu mereka tinggi.

Salah satu lhama menghampiri A Ko dan menowel pipi si gadis dengan sikap ceriwis. "Nona, apakah kau sudah menikah?"

A Ko gusar sekali, Tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Demikian pula Pek I Ni, wajahnya berubah merah padam karena menahan perasaan amarahnya.

Siau Po melihat gelagat yang kurang baik, Diam-diam dia mengeluarkan pisau belatinya. Digenggamnya pisau belati itu sehingga tertutup oleh lengan jubahnya yang lebar.

"Eh, bapak Ihama, apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan tertawa-tawa sembari menggeserkan langkahnya merapat ke tubuh orang itu. Dengan segap dan gesit dia menancapkan pisaunya di punggung Ihama itu berkali-kali.

Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun si lhama terjengkang ke belakang dan mati seketika, Kawan-kawannya heran menyaksikan keadaan itu. A Ko sendiri belum tahu kalau jiwa si lhama sudah melayang. Dia menatap dengan mata membelalak. 

Siau Po segera berkata dengan suara perlahan "A Ko, cepat ikut aku menyingkir dari sini!"

Tanpa menunggu jawaban si nona, Siau Po segera menarik tangan Pek I Ni dan diajaknya berjalan menuju depan pintu, Tapi beberapa lhama lainnya segera menghadang langkah mereka.

"Tahan!" teriak Siau Po ketika melihat mereka mendekat "Guruku ini mempunyai ilmu yang istimewa, Lihat saja lhama itu, Dia kurang ajar sekali sehingga dia sudah dihukum mati, Kalau kalian ingin mendapatkan nasib yang sama, silahkan maju!"

Para Ihama itu menjadi ragu-ragu. Lalu terdengarlah suara buk! Buk. Dan dua orang Ihama pun jatuh terkulai di atas tanah, Rupanya obat bius Siau Po sudah memperlihatkan reaksinya, tapi tentu saja para Ihama itu tidak tahu. Tidak lama kemudian, dua orang Ihama lagi menyusul roboh. Sang Cie memperlihatkan tampang bingung. Dia langsung berdiri tegak, Hanya keadaannya yang lebih baik, mungkin karena tenaga dalamnya lebih tinggi.

Siau Po menggunakan kesempatan itu untuk menarik tangan si bhikuni dan di ajaknya berlari ke luar. A Ko mengajak Kek Song yang sebelumnya dilepaskan dulu dari totokannya, Sang Cie berusaha menghalangi langkah mereka, tapi baru berjalan dua tiga langkah, dia sendiri terhuyung-huyung lalu roboh terkulai seperti rekan-rekannya yang sudah mendahuluinya.

Kedua sais kereta tidak kelihatan entah ke mana mereka, Dia segera memapah Pek I Ni menaiki kereta, kemudian dia memegangi tali kendali dan menjalankannya.

Hupain masih ada dalam kereta, A Ko dan Kek Song naik di atas kereta yang satunya lagi. Setelah berlari belasan li, keledai-keledai mereka sudah letih, terpaksa kereta berjalan perlahan-lahan.

Tidak lama kemudian, dari belakang terdengar suara derap kaki kuda, Tampaknya musuh sudah berhasil mengejar mereka.

"Sayang kita tidak mempunyai kuda, kalau tidak, binatang itu larinya lebih kencang dan para Ihama itu pasti tidak bisa mengejar kita." kata Kek Song.

"Mana bisa?" sahut Siau Po. "Mana mungkin suthay menunggang kuda? Lagipula, aku juga tidak mengajakmu naik kereta!"

Sembari berbicara, Siau Po menghentakkan tali kendali agar keledainya lari lebih cepat Kek Song merasa kesal dengan kata-kata si anak muda, tapi dia tidak berani membantah

Ketika itu, derap kaki kuda di belakang sudah semakin mendekat

"Suthay, sebaiknya kita turun dari kereta dan cari tempat untuk menyembunyikan diri." Dia melongokkan kepalanya ke luar jendela, tapi hatinya gundah karena dia tidak melihat satu pun rumah penduduk. Di kiri kanan hanya tampak sawah dan ladang, Di sana terdapat banyak pohon gandum dan rerumputan.

"Sebaiknya kita bersembunyi di ladang gandum saja!" kata Siau Po yang langsung menghentikan keretanya.

"Bagaimana kita dapat menyembunyikan diri di tempat seperti ini?" kata Kek Song, "Apakah tidak malu apabila ada orang yang mengetahuinya? Bukankah itu bisa menjatuhkan nama besar Yan Peng Kun ong?"

"Kau benar, kongcu!" kata Siau Po. "Kami bertiga ingin menyembunyikan diri di sini silahkan kongcu menjalankan kereta itu untuk kabur dari sini sehingga perhatian musuh jadi terbagi!" Tanpa menunda waktu lagi, Siau Po menuntun Pek I Ni turun dari kereta. Bhikuni itu tidak menentang, dia menurut saja. A Ko sempat ragu-ragu sebentar. Kemudian dia menggapai kepada Kek Song.

"Mari, kau juga ikut bersembunyi!" Kek Song tertegun melihat ketiga orang itu memasuki ladang gandum. Tapi hanya sesaat dia merasa ragu, lalu dia ikut juga bersembunyi di tempat itu.

Tiba-tiba Siau Po ingat sesuatu, Dia segera ke luar dari tempat persembunyiannya. Dia menghampiri Hupian dan menikamnya berulang kali, sehingga jiwanya meIayang. 

Setelah itu dia mengutungkan sebelah lengan orang itu, setelah itu dia menusuk paha keledai sehingga binatang itu kesakitan dan lari sekencang-kencangnya.

Ketika para penunggang kuda itu mulai mendekat Siau Po sudah menyelinap kembali ke ladang gandum, Dia membawa tangan Hupian yang telah dikutungkan, Maksudnya hendak menakut-nakuti Kek Song.

Dengan tangan kanan dia memegangi lengan Hupian, tangan kirinya meraba-raba sampai dia berhasil menyentuh kuncir Kek Song, Dia langsung menarik-nariknya.

Dia menghentikan gerakan tangannya dan mulai meraba lagi, Akhirnya dia memegang sebuah pinggang yang kecil. Hatinya senang sekali. Dia tahu itulah pinggang A Ko. Tiba-tiba dia mencubit seraya berseru.

"Eh, The kongcu, mau apa kau meraba-raba selangkanganku?" "Tidak." sahut Kek Song menyangkal.

"Ah, kau pasti menyangka aku nona A Ko, bukan?" kata Siau Po yang sedang bersandiwara, Kau sembarangan menggunakan tanganmu Kau benar-benar tidak tahu adat"

"Ngaco!" bentak Kek Song yang hatinya mendongkol sekali

Dengan tangan kirinya Siau Po kembali meraba dada A Ko, lalu cepat-cepat dia menarik kembali tangannya seraya berteriak.

"Hai, The kongcu! Mengapa kau terus-terusan menggerayangi aku?"

Kali ini, selesai berkata, Siau Po menggunakan tangan Hupian untuk mengusap-usap wajah dan leher si gadis, Selama itu, A Ko merasa ada tangan yang menggerayanginya, Tapi dia diam saja karena merasa malu dan bingung, Dan dia jadi terkejut sekali ketika ada tangan yang dingin menyentuh wajahnya. -Pasti ini bukan tangan Siau Po, - katanya dalam hati -- Tangan si bocah tidak mungkin sebesar ini Pasti ini tangannya The kongcu! -- Karena itu, dia diam saja, Dia takut sang guru mengetahuinya, Lekas-lekas dia memalingkan wajahnya.

Siau Po membalikkan tangannya dan menyentil kuping orang,

"Bagus, Nona A Ko!" katanya, "Bagus sekali kau menghajarnya. Memang The kongcu ini tidak tahu adat! Eh, eh, The kongcu! Kembali kau meraba-raba aku! Rupanya kau ingin memfitnah aku, ya?"

Mendengar kata-katanya, A Ko berpikir lagi.

-- Rupanya benda ini bukannya tangan si bocah busuk! -

Tetapi pada saat itulah terdengar suara derap kaki kuda yang sedang mendatangi, Rupanya itulah gerombolan para lhama yang sudah menyusul tiba.

Lhama itu benar-benar tangguh. Obat bius yang diberikan Siau Po tidak membuat mereka pingsan sampai lama, Ketika terhuyung-huyung, Sang Cie segera teringat bahwa ada kemungkinan mereka telah dibius. 

Dengan sisa kesadarannya dia menyuruh pelayan rumah makan mengambil seember air dingin yang digunakan untuk mengguyur bagian kepala. Sesaat kemudian dia merasa keadaannya sudah membaik, Dia segera memerintahkan mengambil air dingin harus mengguyur kepala teman-temannya,

Setelah semuanya sadar, mereka segera berangkat untuk mengejar si bhikuni. Sementara itu, A Ko mendongkol sekali dengan perlakuan Siau Po.

"Jangan!" katanya ketika merasa kembali ada tangan dingin yang menyentuh wajahnya.

Dalam waktu yang bersamaan, Siau Po menggerakkan tangannya menampar pipi si pemuda.

"Bukan aku… Bukan aku!" teriak Kek Song yang merasa penasaran.

Justru pada saat itulah rombongan Sang Cie sampai sehingga mereka sempat mendengar suara teriakan si pemuda.

"Di sini!" teriak salah seorang lhama.

Seorang lhama segera melompat turun dari kudanya dan menghampiri pepohonan yang lebat itu, Sebelah kaki Kek Song agak menjulur ke depan sehingga terlihat oleh musuh. Lhama itu segera menariknya dan melemparkannya sekuat tenaga sehingga tubuh anak muda itu terpental. Setelah itu, tangannya kembali menyusup ke dalam gerombolan tempat Kek Song bersembunyi dan mulai mencari-cari lagi, Siau Po bingung sekali.

Tiba-tiba dia ingat tangannya Hupian, cepat-cepat dia menyodorkan tangan itu, Lhama itu merasa berhasil meraba tangan seseorang. Dia mengira pasti bisa menarik tangan itu seperti halnya menangkap kaki Kek Song tadi, tapi ternyata dia keliru, Begitu tangan itu ditariknya, dia malah terjengkang ke belakang.

"Ah!" serunya setelah melihat tegas apa yang tergenggam di tangannya.

Siau Po senang sekali menyaksikan orang itu jatuh, Dia segera menjumput setumpukan rumput lalu digunakannya untuk menekap wajah Ihama itu. Lhama itu terkejut dan cepat-cepat menyibakkan rumput itu dari wajahnya, tapi tiba-tiba dia merasa dadanya nyeri, lalu dia tidak bergerak Iagi. Orang itu hanya sempat mengeluarkan suara tertahan.

Rupanya itulah hasil kerja Siau Po yang menekap wajah orang dengan rumput, sekaligus, menikamkan belatinya ke dada orang, Ketika menarik kembali pisau belatinya, Siau Po mendengar lagi suara berisiknya beberapa orang lhama. 

Diam-diam dia mengeluh Karena merasa kali ini mungkin tidak dapat meloloskan diri lagi, Tapi dia belum mau menyerah begitu saja.

Perlahan-lahan Siau Po berdiri Dia menyimpan pisau belatinya di dalam lengan baju, Dia mengangkat kepalanya dan berpaling. Tampak Sang Cie bersama sisa empat lhama lainnya berada di tengah ladang gandum, jarak antara mereka dengan dirinya kurang lebih tiga tombak.

Sang Cie masih belum tahu sebab musabab kematian temannya, Dia hanya melihat rekannya roboh dan tidak bangun kembali Dia mengira si bhikuni telah membunuh temannya itu entah dengan ilmu apa. Dengan demikian dia jadi tidak berani sembarangan turun tangan.

Tiba-tiba terdengar suara si lhama tinggi kurus itu.

"Hai, bhikuni muda! Beruntun kau telah membunuh delapan orang rekanku, maka permusuhan di antara kita sudah mendalam sekali, Mengapa kau bersembunyi di dalam gerombolan pepohonan itu? Apakah perbuatanmu itu pantas disebut perbuatan orang gagah?"

Lhama ini menyebut bhikuni muda, padahal usia Pek I Ni lebih tua daripadanya, Hal ini karena pandangan matanya yang keliru, Pek I Ni memang awet muda karena tenaga dalamnya yang sudah mahir.

Telinga Siau Po serasa mendengung mendengar suara lhama itu. Hatinya juga tercekat. -- Aneh! Mengapa dia bisa tahu kalau aku sudah membunuh delapan orang rekannya? - katanya dalam hati,

Dengan membawa pikiran itu, Siau Po segera menghitung, Ternyata memang benar jumlah lhama yang telah dibunuhnya ada delapan orang. Tapi yang sebenarnya, satu diantaranya mati di tangan Pek I Ni.

Karena ketakutan, Siau Po menyurut mundur dua langkah, Tetapi dia segera menjawab.

"llmu silat guruku lihay sekali, Di kolong langit ini, tidak ada orang kedua yang dapat menandinginya. Namun guruku itu pemurah hati dan berjiwa mulia. Dia tidak mau sembarangan membunuh orang, sekarang kalian berlima, lekas angkat kaki, guruku suka memberikan pengampunannya kepada kalian!"

"Tidak demikian mudah, sobat!" kata Sang Cie. "Hai, bhikuni muda, dengarlah! Cepat kau kembalikan kitab Si Cap Ji CinKeng. Kalau kau tahu diri, Hudya tidak akan menarik panjang urusan ini, Tapi sebaliknya, kalau kau mempunyai niat untuk kabur, sampai ke ujung langit pun akan kukejar!"

Mendengar kata-kata itu, Siau Po segera menjawab.

"Apa? Kitab Si Cap Ji Cin Keng? Bukankah kitab itu terdapat di wihara mana pun, siapakah yang kerakusan mengingatkannya ?"

"Tapi kami menghendaki kitab yang ada di tangan suthay itu!" kata Sang Cie. "Kitab itu telah diserahkan kepada bocah itu oleh guruku," kata Siau Po sambil 

menunjuk kepada Kek Song, "Kau tanya saja kepadanya!"

Pada saat itu, Kek Song baru saja merayap bangun. Tiba-tiba dia dihampiri seorang lhama dan dicekal kedua lengannya, Kemudian seorang lhama lainnya langsung merobek pakaiannya sehingga terbelah menjadi dua bagian dan uang serta emas mutiaranya berjatuhan di atas tanah. Tapi kitab yang disebutkan justru tidak ada.

"The kongcu," kata Siau Po. "Di mana kau sembunyikan kitab itu? Beritahukanlah kepada mereka, Bukankah kitab seperti itu tidak ada harganya?"

Panas sekali hati Kek Song dibuatnya. "Aku tidak memiliki kitab itu!" "Plok! Tiba-tiba pipinya ditampar oleh salah seorang lhama.

"Ayo, kau mau bilang atau tidak?" tanya seorang lhama lainnya dengan bengis, tangannya pun ikut melayang ke pipi pemuda itu.

Siau Po melihat kedua pipi Kek Song merah dan pengap, hatinya merasa puas sekali. "The kongcu, antarkanlah beberapa orang Hudyaya ini mengambil kitab itu, Aku melihat kau menggali tanah di rumah makan, bukankah kitab itu kau sembunyikan di sana?"

"Ya, itu benar!" kata Sang Cie yang senang sekali, "Kalau anak kecil yang bicara, dia pasti tidak bohong. Ayo, seret dia kembali ke rumah makan!"

Seorang lhama menyahut "lya," kembali tangannya menggaplok pipi Kek Song.

A Ko dapat melihat semua kejadian itu, Hatinya menjadi tidak tega, Dia juga kurang senang dengan Siau Po, maka dia memberanikan diri muncul dari tempat persembunyiannya dan berkata kepada si lhama yang tinggi kurus.

"Bocah ini tukang bohong, jangan percaya dengan kata-katanya! sebenarnya The kongcu tidak memiliki kitab itu, bahkan melihatnya saja pun tidak pernah."

Mendengar ucapannya, Siau Po segera berbisik kepadanya.

"Aku ingin menolong suthay dan kau, biarkan saja The kongcu yang mengalihkan perhatian mereka!"

"Aku tidak sudi ditolong olehmu! Kau sengaja memfitnah The kongcu, kau ingin membunuhnya!" 

"Jiwa suthay dan jiwamu lebih berharga daripada jiwanya." kata Siau Po yang merasa kurang puas melihat sikap si nona,

"Jangan bunuh dia!" kata Sang Cie kepada kawan-kawannya, Kemudian dia menoleh kembali ke arah gerombolan pohon dan berkata kepada Pek I Ni. "Bhikuni muda, ke luarlah, kita bersama-sama ke rumah makan untuk mengambil kitab itu!"

A Ko tetap marah. Dia tidak menghiraukan kata-kata Sang Cie. ia hanya berkata dengan suara garang kepada Siau Po.

"Kau sendiri yang takut mampus! Sengaja mencari alasan untuk menolong suhu! Kalau kau memang berani, hadapi para Ihama itu dan hajar mereka!"

Hati Siau Po jadi panas, Dia berkata dalam hati, -- Sampai sedemikian jauh, kau masih tidak memandang sebelah mata terhadapku Taruh kata aku menghajar mati para Ihama ini, apa artinya? --Terus dia berteriak "Berkelahi ya berkelahi! Aku tidak takut mati! Mati pun aku tetap akan berdaya menolong suhu dan kau. Sebaliknya, bagaimana kalau aku menang?"

"Hm!" seru si nona dengan suara menghina, "Biar kau menjelma sekali lagi, tidak mungkin kau menang! Kalau kau berhasil mengalahkan seorang Ihama saja, untuk selama-lamanya aku akan tunduk kepadamu." "Baik!" kata Siau Po. "Kalau aku dapat mengalahkan seorang Ihama saja, kau harus menikah denganku dan menjadi istriku!"

"Ngaco!" bentak si nona, Hatinya panas sekali, "Kau seorang hwesio, bagaimana,., bagaimana. "

"ltu bukan persoalan." kata Siau Po. "Aku bisa kembali ke asalku sebagai orang biasa, pokoknya kau harus menikah denganku!"

"Suhu, dengarlah. " katanya bingung. "Sampai saat ini dia masih mengoceh yang 

tidak-tidak."

Pek I Ni menarik napas panjang sekian lama dia diam saja, otaknya bekerja keras. pikirannya ruwet

"Sebaiknya aku membunuh diri dengan memutuskan nadiku sendiri. Biar bagaimana, aku tidak dapat membiarkan diriku terhina oleh para Ihama ini!"

Dengan membawa pikiran itu, dia segera berkata kepada Siau Po. "Siau Po, masukkan tanganmu ke dalam sini!"

Siau Po mengiakan. Tangannya diulurkan ke dalam gerombolan pohon, dia merasa tangannya menyentuh segulung kertas kecil, Lalu telinganya mendengar suara Pek I Ni berkata.

"Inilah peta yang disimpan dalam kitab, jangan perdulikan aku lagi! Menyingkirlah kau seorang diri! Kalau kau berhasil mendapatkan ketujuh jilid kitab yang lainnya, maka berarti ada harapan bagi bangsa Han dan kerajaan Beng kita untuk bangkit kembali, itu lebih berharga dari satu dua jiwa."

Semangat Siau Po terbangun mendengar kata-kata si bhikuni. Dia lebih dihargai ketimbang muridnya sendiri. Tiba-tiba saja satu pikiran melintas dalam benaknya, Dia segera menghadapi para Ihama dan berkata.

"Kalian semua dengar, guruku orang paling lihay dijaman ini. Beliau tidak sudi bertempur dengan kalian, Kalau kalian memang berani, hadapi dulu aku! Kalau kalian menang, baru guruku akan turun tangan. Kita duel satu lawan satu. Aku rasa kalian pasti takut, bukan? Kalau benar, cepat kalian goyangkan ekor dan merat dari tempat ini!" 

Selagi berkata, diam-diam dia memasukkan gulungan kertas yang diberikan Pek I Ni ke dalam saku pakaiannya.

Kelima Ihama itu tertawa terbahak-bahak. Mereka memang agak takut terhadap si bhikuni, tapi tidak terhadap bocah ini. Salah satu dari mereka segera berkata. "Dengan satu tonjokan saja kau akan roboh sungsang sumbel, Apa yang hendak diadu? Angin busuk?"

Siau Po maju satu langkah.

"Mari!" tantangnya, "Mari kita bertempur "Terus dia menoleh kepada A Ko seraya berkata, "Asal aku menang, kau adalah istriku. Awas, jangan kau menyangkal nantinya!"

"Kau tidak mungkin menang." sahut si nona, "Biar bagaimana juga, kau tidak mungkin menang." 

"Kau harus tahu," kata si anak muda, "kalau seorang sudah bertekad, biar selaksa orang pun tidak dapat menghalanginya, Demi dirimu, demi kau menjadi istriku, baiklah, aku akan mengadu jiwa denganmu."

Sementara itu, si Ihama juga sudah maju beberapa langkah, dia tertawa. "Benarkah kau ingin bertanding denganku?" 

"Mana mungkin aku berbohong?" sahut si anak muda, "Mari kita bertempur satu lawan satu! Guru-ku pasti tidak akan membantu aku. Tapi bagaimana dengan keempat saudara seperguruanmu itu, Apakah mereka tidak membantumu?"

Sang Cie tertawa mendengar ucapan si bocah, "Pasti kami juga tidak akan memberikan bantuan apa-apa."

"Bagaimana bila dengan satu tinju aku bisa membuat saudaramu mampus?" ujar Siau Po meminta penegasan. "Bukankah kalian akan meluruk maju semua untuk mengeroyok aku? Kalau kalian main keroyok, tentu aku tidak sanggup melawan, Apabila hal ini sampai terjadi, guruku pasti akan turun tangan."

Mendengar kata-kata Siau Po, Sang Cie menjadi berpikir. Laki-laki itu memang jeri terhadap Pek I Ni, sebab dia masih belum tahu mengapa demikian banyak kawannya bisa mati di tangan bikhuni itu. 

Karena itu, dia berpikir, ada baiknya apabila salah seorang saudara seperguruannya bertarung dengan si bocah. Siapa tahu dari gerakan si anak muda itu, dia bisa menjajaki sampai di mana kelihayan gurunya atau berasal dari persilatan yang mana.

"Baik, Kalian berdua boleh bertanding." kata Sang Cie akhirnya, "Siapa yang hidup atau siapa yang mati, dia harus menerima nasibnya, Orang dari kedua belah pihak sama-sama tidak boleh membantu."

"Kalau ada yang membantu, dialah si anak kura-kura." tukas Siau Po. "Ya, kau benar." kata Sang Cie yang tidak sadar dirinya dipermainkan oleh si bocah cerdik.

"Bagus!" seru Siau Po tertawa, "Oh, Ihama besar, kau sungguh cerdas dan mengerti keadaan, Aku benar-benar kagum kepadamu."

Sang Cie tersenyum.

"Nah, majulah kau beberapa tindak lagi.,." katanya. ini disebabkan jarak antara si bocah dengan persembunyian si bhikuni terlalu dekat Dia khawatir guru si bocah akan memberikan bantuan tenaga daIam. Apabila hal ini sampai terjadi, sudah pasti adik seperguruannya akan kalah.

"Kau jangan takut!" kata Siau Po. "Kami bangsa Han adalah bangsa yang terhormat Kalau kami mencapai kemenangan, kami ingin menang dengan cemerlang, Kalau harus kalah pun, kami akan kalah sebagai laki-laki sejati, Kami tidak akan main curang."

Pada saat itu, Pek I Ni berkata pada Siau Po dengan suara berbisik.

"Siau Po, kau tidak mungkin menang, sebaiknya setelah kau berkelahi dengannya lalu pura-pura mundur terus kabur."

"Ya," sahut Siau Po seenaknya, karena ia telah mempunyai rencana tersendiri. Dia segera maju tiga langkah sehingga jaraknya dengan Pek I Ni menjadi kurang lebih tiga tombak. Dengan demikian, si bhikuni tidak bisa memberikan bantuan tenaga dalam kepadanya.

Lhama yang mau bertanding dengannya juga maju lagi beberapa tindak, sekarang dia menjadi berhadapan dengan si bocah, Sambil tertawa dia bertanya.

"Nah, dengan cara bagaimana kita mengadu kepandaian?" "Cara lunak boleh, cara keras pun boleh!" sahut Siau Po.

"Bagaimana caranya?" tanya si lhama. "Apa yang dimaksud dengan cara lunak dan apa yang disebut cara keras?"

"Cara lunak misalnya begini, aku menghajar kau satu kali, lalu kau juga menghajarku satu kali," kata Siau Po menjelaskan. "Setelah itu kau menghajar lagi padaku, demikian pula sebaliknya sampai tujuh atau delapan puluh kali, Batas berhentinya sampai salah satu orang roboh tidak berdaya. 

Diwaktu kau menghajar aku, aku tidak boleh menghindarkan diri atau menggeser tubuhku sedikit pun, aku harus berdiam diri sambil mengerahkan tenaga dalamku untuk menahan pukulanmu. Demikian pula dengan engkau, ketika aku menghajarmu  Kalau cara keras, maksudnya kita berkelahi dengan cara biasa, bebas, boleh menggunakan senjata tajam, boleh juga hanya mengandalkan kaki dan tangan, Dengan demikian otomatis kita boleh menangkis atau mengelakkan diri dari serangan."

Mendengar kata-katanya, Sang Cie berpikir dalam hati.

-- Bocah nakal ini bertubuh lincah, kalau dia berkelahi sambil berloncatan, mungkin adik seperguruanku tidak dapat merobohkannya dalam sekali pukulan saja, Bisa-bisa dia menang di atas anginl 

LagipuIa, ada kemungkinan dia menggunakan tipu muslihat! Bagaimana kalau dia melompat ke gerombolan pepohonan untuk memancing adikku agar di sana secara diam-diam gurunya bisa turun tangan, Kalau hal ini sampai terjadi, bukankah celaka namanya?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar