Jilid 48
Ibu suri itu mengangguk.
"Benar, tapi sungguh celaka perempuan hina itu? Dia tahu urat nadi itu sangat penting bagi kejayaan bangsanya, sehingga dia memilih tidak mengatakannya, meskipun dirinya terancam bahaya maut dan setiap saat jiwanya bisa melayang, Selama belasan tahun ini, tidak perduli boanpwe menggunakan cara yang halus atau kasar, juga berbagai akal, dia tetap dengan sikap kepala batunya itu, Dia sengaja menutup mulutnya erat-erat."
Pek I Ni mengeluarkan kitab Si Cap Ji Cin Keng.
"Bukankah kau ingin mengetahui di mana letaknya kitab-kitab yang lainnya?" tanyanya.
Ibu suri terkejut setengah mati sehingga tanpa terasa kakinya menyurut mundur dua langkah. "Jadi kau telah mengetahui hal itu?"
"Rahasia besar tentang urat nadi naga bangsa Boan Ciu terletak dalam delapan jilid kitab Si Cap Ji Cin Keng ini," katanya terus terang, "Berapa jilid yang telah kau dapatkan?"
"Suthay benar-benar lihay, Urusan apa pun dapat suthay ketahui," kata si ibu suri palsu mengakui "Baiklah. Boanpwe pun tidak mau menyembunyikan apa-apa lagi. sebenarnya boanpwe sudah berhasil mengumpulkan sebanyak empat jilid, Tapi... tapi pada suatu malam, telah datang orang yang memasuki istana dan mencoba melakukan pembunuhan dia telah berhasil menikam aku satu kali, setelah itu dia merampas keempat jilid kitabku itu. Coba suthay periksa."
Selesai berkata, si ibu suri palsu membuka bajunya, juga kutangnya untuk memperlihatkan tanda bekas tikaman kepada si bhikuni, Lukanya itu cukup besar.
Tiang kongcu tahu tentang To Hong Eng yang menyelundup ke dalam keraton dan berusaha melakukan pembunuhan atau diri si ibu suri.
Karena itu, dia tidak heran melihat luka tersebut Karena itu, dia yakin keempat jilid kitab itu berada di tangan dayangnya dan nanti dayang itu pasti akan berbicara terus terang kepadanya.
Sementara itu, hati Siau Po terguncang ketika mendengar kata-kata si ibu suri palsu.
-- Kalau bhikuni ini menyelidiki lebih jauh, kemungkinan kecurigaannya akan jatuh pada diri-ku pikirnya.
Kemudian terdengar Pek I Ni berkata kembali. "Aku tahu siapa orang yang menyerang dirimu, tapi setahuku, dia tidak mengambil keempat jilid kitabmu itu."
Ibu suri palsu begitu heran sehingga dia memperdengarkan seruan tertahan. "Penyerang itu tidak mengambil kitab tersebut?" tanyanya, "Lalu, siapa yang
mencurinya? Sungguh aneh!"
Pek I Ni tidak memperdulikan kepusingan ibu suri.
"Kau mau bicara terus terang atau tidak, terserah kepadamu sendiri." katanya, "Suthay," kata si ibu suri palsu itu maklum orang kurang percaya kcpadanya, "Suthay
sangat membenci raja Tatcu, juga bangsanya, Dan kepandaian suthay tinggi sekali. Sungguh tepat kalau rahasia itu jatuh ke tangan suthay.
Dengan demikian, suthay dapat memimpin tampuk pimpinan untuk membawa orang- orang membongkar urat naga bangsa Tatcu, Suthay, urusan ini minta pun boanpwe tidak berani, apalagi berbohong? Ke delapan jilid kitab itu harus didapatkan terlebih dahulu, baru urat nadinya bisa ditemukan Sekarang suthay baru mendapatkan satu, seandainya digabungkan dengan empat jilid yang tadinya kumiliki, tetap saja masih belum cukup."
Sikap Tiang kongcu tetap dingin.
"Sebenarnya, apa yang kau pikirkan dalam hatimu, aku tidak tahu. Aku juga enggan menduga-duga, Tapi kau anak gadis Ma Bun Liong dari Pi to (Pulau kulit), sekarang kau katakan terus terang bukankah kau mempunyai hubungan yang erat dengan Sin Liong Kau?"
"Tidak... tidak," sahut ibu suri palsu menyangkal "Bahkan boanpwe belum pernah mendengar tentang partai Naga Sakti itu. "
Pek I Ni menatap tajam wanita di depannya
"Mari aku ajarkan kau semacam kepandaian," katanya kemudian "Setiap hari, pagi, siang dan malam, kau harus melatihnya dengan tekun, inilah semacam latihan menepuk kayu, kau harus menepuknya berturut-turut sembilan kali sembilan, 4 jadi delapan puluh satu hari, Kalau kau melatihnya dengan baik, maka sisa racun Hoan Kut Ciang yang tersisa dalam tubuhmu akan musnah secara keseluruhan."
Senang sekali hati ibu suri mendengar keterangan itu. Dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan puteri kerajaan Beng untuk memberi hormat dan mengucapkan terima kasihnya berulang kali.
Pek I Ni segera mengajarkan caranya melakukan latihan yang istimewa itu. Kadang- kadang dia berbicara untuk menjelaskannya lebih mendetail. Setelah selesai dia menambahkan
"Mulai hari ini, apabila kau menggunakan tenagamu untuk mencelakai orang, maka seluruh tulang belulang dalam tubuhmu akan terlepas dengan sendirinya Kalau hal itu sampai terjadi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menolongmu lagi."
Ibu suri menyahuti dengan suara perlahan sebagai tanda bahwa dia sudah mengerti pesan itu. Di dalam hati, dia sangat menyesal dan sedih.
-- Kalau begini, percuma saja aku belajar ilmu silat, karena aku tidak boleh menggunakannya sama sekali , pikirnya.
Pek I Ni segera mengibaskan lengan bajunya dan menotok jalan darah hun-hiat di tubuh ibu suri, lalu dia berkata dengan perlahan
"Nah, kau ke luarlah sekarang!"
Ibu suri menurut. Dia memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kemudian mengundurkan diri. Setelah itu, Hong Eng dan Siau Po baru muncul dan tempat persembunyiannya. "Suthay, kata-kata perempuan itu hanya tiga bagian yang benar, tujuh bagian lainnya
merupakan kebchongan, jangan suthay percaya penuh kepadanya!" kata Siau Po.
Pek I Ni menganggukkan kepalanya.
"BetuI," sahutnya, "lsi kitab ini bukan hanya mengenai urat nadi naga bangsa Tatcu saja, juga menyangkut harta karun yang besar sekali, Tapi dia sengaja tidak menyebut- nyebutnya."
Sementara itu, Hong Eng sudah membongkar sprei dan tempat tidur Dia menemukan tempat penyimpanan rahasia si ibu suri palsu, Ketika membukanya, dia menemukan banyak barang permata juga uang perak, tapi hanya keempat jilid kitab Si Cap Ji Cin Keng itulah yang tidak berhasil ditemukannya.
"Ambillah semua harta itu!" kata Pek I Ni. "Kelak kalau kita merantau, kita akan membutuhkannya."
Hong Eng menurut, dia membungkus harta itu lalu diserahkan kepada si bhikuni.
Sementara itu, Siau Po berkata dalam hatinya, , -- Kali ini si nenek sihir benar-benar bangkrut habislah semua hartanya! --
"Perempuan tadi menyamar sebagai ibu suri, pasti dia mengandung niat tertentu," kata Pek I Ni. "Karena itu, kau boleh berdiam di sini terus untuk memata-matainya, ilmu silatnya sudah musnah. Tidak perlu kau takut lagi kepadanya."
Hong Eng mengangguk sebagai tanda menerima tugas itu, Tapi hatinya juga sedih sekali karena sadar akan berpisah lagi dengan junjungannya yang disayanginya itu.
Pek I Ni segera mengajak Siau Po kembali ke penginapan Di dalam kamar, dia membuka kitab Si Cap Ji Cin Keng dan memeriksanya halaman demi halaman, Dia kenal baik dengan kitab agama itu, Setiap lembarnya sudah dihafalnya luar kepala.
Setelah membalik halangannya sampai selesai, dia memulainya dari pertama lagi, tapi kali ini dia mendekati lilin yang ada di atas meja dan memeriksa halaman- halamannya dengan teliti.
Tiang kongcu berdiam diri sekian lama, Tampaknya dia sedang memutar otaknya dan menerka-nerka, Kemudian bhikuni itu mengambil air dan membasahi pinggiran kitab itu juga tiap halamannya. Dengan demikian, dia bisa membuka bagian kulit kitab itu. Lalu dia membuka benang jahitannya, Di antara kulit kitab yang terbuat dari kulit kambing itu, dia menemukan belasan potongan kulit kambing lainnya dengan ukuran keciI-kecil.
Senang sekali hati Siau Po melihatnya. "Tidak salah!" serunya, "Ternyata kitab ini memang berisi rahasia besar!"
Pek I Ni membeberkan semua kulit kambing itu di atas meja, Bentuknya berbeda- beda, ada yang persegi, ada yang segi tiga, ada yang berbentuk bujur sangkar dan lain- lainnya. Yang disayangkan setelah dicoba-coba, ternyata potongan itu tidak dapat dicocokkan satu dengan lainnya.
Di atas potongan kulit itu terdapat garis-garis halus dan huruf-huruf Boan Ciu yang ditulis dengan warna hitam Setelah memperhatikan dengan seksama dan berpikir Siau Po berkata.
"Rupanya setiap jilid kitab mempunyai tanda-tanda rahasia seperti ini. Kiranya benar bahwa harus didapatkan dulu ke delapan jilid kitab ini, baru tanda-tanda ini bisa disatukan dan jadilah peta yang sempurna."
"Tampaknya memang demikian," kata Pek I Ni yang merapikan kembali semua kulit kambing itu, lalu di masukkannya ke dalam bungkusan dan di masukkan ke dalam sakunya.
Besok pagi, Tiang kongcu mengajak Siau Po meninggalkan kotaraja, terus menuju barat sampai di kecamatan Ciang Peng, di taman makam Su Leng, gunung Kim Peng San, itulah taman makamnya kaisar Cong Ceng. Karena tidak ada yang mengurus, rumputnya tumbuh tinggi-tinggi dan keadaannya sungguh mengenaskan.
Sepanjang perjalanan Pek I Ni diam saja, Tapi sesampainya di sana tanpa dapat dicegah lagi, dia menangis tersedu-sedu,
Siau Po berlutut dan ikut memberi hormat, Tiba-tiba dia melihat berke!ebatannya warna hijau seperti sehelai gaun di sisinya. Dia terperanjat Warna itulah yang sering terbayang di pelupuk matanya akhir-akhir ini. Kemudian dia mendengar suara yang nyaring serta halus.
"Ah! Akhirnya tidak sia-sia aku menunggu di sini! Aku... aku. " Dia menarik napas
panjang kemudian menambahkan "Aku sudah menunggu di sini tiga hari lamanya, Sudahlah, tidak ada yang perlu disedihkan!" Dia berkata demikian, tapi lagi-lagi dia menarik napas panjang.
Itulah suara si nona berbaju hijau, Suara itu membuat Siau Po senang sekali Sampai- sampai dia merasakan seluruh persendian tubuhnya menjadi lemas, Suara itu demikian merdu dan meresap di hati. Karena itu, dia cepat-cepat menjawab.
"Ya, kau telah menunggu aku selama tiga hari lamanya, tapi tidak perlu kau bersusah hati."
Selesai berkata, Siau Po bangkit dan berpaling kepada si nona yang kecantikannya luar biasa itu. , tetapi si nona tampaknya terkejut setengah mati melihatnya. Kemudian tampak mimik wajahnya menunjukkan perasaan kurang senang. "Aku juga sangat memikirkanmu," kata Siau Po kembali. "Bahkan aku sangat menderita. " Tiba-tiba dia harus menghentikan kata-katanya karena perutnya terasa
nyeri sekali dan tubuhnya terpental roboh ke belakang lalu jatuh di atas tanah.
Rupanya secara tiba-tiba dia ditendang oleh gadis itu.
Rupanya juga tidak hanya cukup dengan menendang, gadis itu juga mengeluarkan pisau Liu Yap tonya dan menikam ke arah Siau Po, Untung anak muda itu cukup gesit. Dia menggeser sedikit dengan menggelinding sehingga pisau gadis itu menikam di atas tanah.
Di saat si nona yang masih penasaran itu ingin membacok lagi, terdengarlah teriakan si bhikuni.
"Tahan!"
"Dia jahat! Dia. paling pandai menghina aku!" Gadis itu melemparkan pisaunya dan
menangis tersedu-sedu, "Suhu, lekas suhu bunuh dia!"
Siau Po gembira sekaligus heran mendengar kata-kata si nona berbaju hijau itu. Namun pikirannya langsung bekerja.
-- Oh, rupanya dia murid suthay, jadi kata-kata nya tadi bukan ditujukan kepadaku --
Dia langsung duduk tegak, sementara itu, otaknya terus berputar. Akhirnya dia mengambil keputusan dalam hati Aku harus berlagak menjadi orang baik-baik, lebih
bagus lagi kalau aku bisa membuat suthay ini menyukaiku, dengan demikian kelak dia akan menjodohkan aku dengan muridnya ini. -
Membawa pikiran demikian, si anak muda yang banyak akalnya ini segera berdiri dan menjura dalam-dalam.
"Nona, seandainya tanpa sengaja aku telah membuat kekeliruan terhadapmu, dengan kemurahan hatimu, sudilah kiranya kau tidak menjadi kecil hati, Kalau nona ingin memukul aku, pukullah, asal kau sudi mengampuni jiwaku.,.,"
Nona itu masih memeluk gurunya, Sebelah kakinya di angkat ke atas untuk menendang dagu Siau Po.
"Aduhl" jerit Siau Po yang kembali terjungkal ke belakang dan tidak bangun lagi, sedangkan dari mulutnya terus keluar suara rintihan.
"Aih A Ko!" kata si bhikuni, "Mengapa kau sembarangan menendang orang tanpa menanyakan dulu sebab musababnya?"
Siau Po senang mendengar suara si bhikuni yang nadanya mengandung teguran kepada si nona, Diam-diam dia berkata dalam hati. - Oh, rupanya kau bernama A Ko! Akhirnya aku berhasil mengetahui namamu juga. --
, sementara itu, dia mulai kenal sifat si bhikuni, karena itu, kembali dia menjura dan berkata. "Suthay, sudah seharusnya nona ini menendang aku dua kali! Memang akulah yang bersalah, walaupun nona ini menendang aku seribu kali atau sampai mati sekalipun, aku memang pantas mendapat hukuman ini!"
Selesai berkata, si anak muda meraba dagunya, air matanya pun berceceran. Kali ini bukan pura-pura lagi, Dagunya memang terasa sakit sekali.
"Suhu, hwesio ini sangat busuk, Dia selalu menghina aku." kata A Ko pada gurunya. Pek I Ni menatap Siau Po lekat-lekat. "Bagaimana dia menghinamu?"
Wajah si nona jadi merah padam.
"Dia... dia sering kali menghina aku.-." katanya, "Pokoknya sering sekali. "
"Suthay." kata Siau Po. "Singkatnya, akulah yang toloI, Lebih-lebih ilmu silatku ini tidak berarti sama sekali, Baru-baru ini, nona ini berjalan-jalan ke Siau Lim Sie. "
"Oh! Kau pergi ke Siau Lim Sie?" tukas si bhikuni.
"Aih! Kau kan seorang anak perempuan, untuk apa kau pergi ke Siau Lim Sie?" Mendengar teguran halus itu, hati Siau Po semakin senang.
"Oh!" seru Siau Po. "Rupanya nona ini pergi ke Siau Lim Sie bukan atas titah suthay? itu lebih bagus lagi, "Dia menghentikan kata-katanya sejenak kemudian baru melanjutkan lagi, "Dia pergi ke Siau Lim Sie bukan seorang diri, tapi bersama seorang kakak perempuannya, Si nona ini ikut pergi karena tidak dapat menentang kehendak dan bujukan nona yang satunya lagi."
"Eh, bagaimana kau bisa mengetahuinya?" tanya Pek I Ni.
"Sebab saat itu aku berada di dalam kuil," sahut Siau Po, "Ketika itu aku sedang menjalankan tugas yang diberikan si raja Tatcu, Aku harus menggantikan dirinya menjadi hwesio di wihara tersebut. Aku melihat kedatangan nona yang satunya, lalu nona ini baru menyusul, wajahnya menunjukkan kurang setuju. "
"Apakah A Ki yang mengajakmu?" tanya si bhikuni kepada muridnya, Si nona menganggukkan kepalanya.
"Para hwesio dari Siau Lim Sie itu galak sekali." sahutnya, "Menurut mereka, kuil mereka itu tidak boleh dimasuki kaum wanita."
"Lalu bagaimana?" tanya sang guru. "ltu memang benar." tukas Siau Po cepat "Peraturan Siau Lim Sie itu memang tidak tepat Mengapa kaum wanita tidak di ijinkan memasuki kuil? Bukankah Kuan Se In Pou Sat juga seorang wanita?"
"Lalu, apa yang terjadi?" tanya si bhikuni kembali Siau Po menunjuk kepada A Ko.
"Nona ini mengatakan," Kalau orang tidak mengijinkan kita masuk, ya sudah. Mari kita pulang saja! Tetapi keempat Ti Kek Ceng dari Siau Lim Sie memang tidak kenal kesopanan, mereka malah mengoceh tidak karuan sehingga kemarahan kedua nona jadi bangkit Celakanya, kawanan para hwesio itu benar-benar tidak punya guna, ilmu mereka terlalu rendah,.,."
"Apakah kalian bertempur?"
"Dalam hal ini, keempat Ti Kek Ceng itulah yang bersalah," sahut Siau Po mendahului si nona, "Aku melihat sendiri peristiwa itu. Mereka menguluran tangannya mendorong si nona. Nona suthay bayangkan saja, kedua nona ini anak gadis yang masih suci bersih, mana boleh disentuh oleh tangan kotor para hwesio itu. Karena itu, kedua nona tersebut langsung menghindarkan diri. Dengan demikian, tangan dan kaki para hwesio itu melanggar tiang sehingga mereka semua merasa kesakitan. "
"Hm." Si bhikuni memperdengarkan suaranya yang tawar, "llmu silat Siau Lim Sie menjagoi dunia persilatan, mana mungkin murid-muridnya demikian tidak punya guna? Eh, A Ko, coba kau katakan, jurus apa yang kau gunakan ketika menghadapi mereka?"
A Ko tidak berani berdusta, Dengan nada perlahan dia menjelaskan kepada sang guru.
"Jadi kau telah merobohkan empat orang hwesio Siau Lim Sie?" "Dengan dia, semuanya berjumlah lima orang." sahut A Ko.
"Nyalimu sungguh tidak kecil!" tegur sang guru, "Kamu sudah berani lancang mendatangi Siau Lim Sie, kau juga melukai para hwesio di sana sampai patah tangan dan kakinya." Pek I Ni menatap muridnya dengan garang.
A Ko takut sekali, wajahnya jadi pucat pasi. Ketika itu, si bhikuni sudah melihat tanda bekas luka di leher muridnya.
"Apakah lukamu kau dapatkan ketika berhadapan dengan hwesio Siau Lim Sie?" tanyanya.
"Bu,., kan.,." sahut A Ko gugup, "Dia,., dia. " Tangannya menunjuk kepada Siau Po.
Matanya menjadi merah, sambil menangis dia melanjutkan kata-katanya. "Dia sangat menghina aku, maka aku menggunakan senjataku untuk membunuh diri, tapi,., aku tidak sampai mati karenanya. "
Mengetahui kedua muridnya lancang mendatangi Siau Lim Sie, Pek I Ni gusar sekali Tapi ketika melihat bekas luka di leher A Ko, hatinya merasa iba juga.
"Bagaimana caranya dia menghinamu?" tanyanya. A Ko tidak menjawab, dia hanya menangis,
"Memang akulah yang bersalah." kata Siau Po cepat "Aku bicara tanpa pikir-pikir lagi, MuIutku lancang sekali, sebaliknya si nona itu hanya menyambar aku dan membuat aku takut karena dia ingin mengorek kedua biji mataku, Aku begitu takutnya sehingga aku menggerakkan tanganku dengan serabutan sehingga tanpa disengaja aku menyentuh tubuhnya.... Maka itu, tidak dapat disalahkan kalau nona itu merasa gusar sekali,. "
Sembari berkata, secara diam-diam si anak muda melirik kepada A Ko. Dia mendapat kenyataan bahwa wajah si nona menjadi merah padam, Rupanya A Ko menjadi jengah sendiri, tapi di samping itu hatinya juga agak lega karena Siau Po selalu membelanya.
Pek I Ni masih menanyakan jalannya pertempuran setelah memperoleh jawaban, dia baru mengerti duduk perkaranya.
"Kesalahan itu terjadi tanpa sengaja, karenanya urusan ini juga tidak perlu ditanggapi secara serius." katanya kemudian,
Dengan perlahan-lahan dia menepuk bahu muridnya sambil berkata kembali. "Dia masih kanak-kanak, lagipula dia juga seorang thay-kam, jadi tidak ada yang
perlu dijadikan masalah, bukan? Dengan pukulan Leng Yan Kui Cau kau telah
mematahkan kedua tangannya, ini sudah merupakan hukuman yang pantas baginya." A Ko menangis sambil berdiam diri. Dalam hati dia berkata:
-- Siapa bilang dia masih kanak-kanak, buktinya dia berani pergi ke rumah hina untuk berbuat busuk... Meskipun demikian, dia tidak bisa mencetuskan pikirannya itu,
karena gurunya pasti akan bertanya panjang lebar mengapa dia sendiri bisa masuk ke tempat seperti itu, Tapi hatinya mendongkol sekali sehingga dia masih menangis terus.
Siau Po berlutut di depan nona itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata.
"Nona, kalau kau masih belum puas, silahkan! silahkan kau tendang lagi aku beberapa kali. Puaskanlah hatimu!"
A Ko menangis. "Aku tidak akan menendang kamu!" katanya.
Tapi Siau Po tidak puas. Dia segera menggaplok kedua pipinya sendiri secara bergantian sehingga terdengarlah suara Plak! Plok! Yang nyaring
"Dasar aku memang pantas mati! Dasar aku memang pantas mati!" katanya. Pek I Ni mengerutkan keningnya.
"Dalam hal itu, bukan kau yang bersalah" katanya, "Eh, A Ko, kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi orang lain, Kita juga tidak boleh menghina orang sedemikian rupa."
A Ko menangis sesenggukan.
"Tapi dia terlalu menghina aku." katanya, "Suhu tahu, dia telah menangkap aku dan menahan aku dalam kuilnya, dia tidak mau membebaskan aku. "
"Apa katamu?" tanya Pek I Ni. "Sampai terjadi hal sedemikian rupa?"
"Benar, memang benar." kata Siau Po mengaku. "Dalam hal ini, akulah yang bersalah. Aku ingin menyenangkan hati nona ini, Aku ingin mengambil hatinya karena itu aku mengundangnya masuk ke dalam kuil. Ketika itu aku berpikir, nona ini ingin sekali melihat-lihat keadaan dalam kuil, tapi dilarang oleh para hwesio, tentu saja si nona menjadi gusar dan mendongkol. Karena itulah aku mengundang nona ini memasuki pendopo Poan Jiak Tong dan meminta seorang hwesio tua menemaninya berbicara. "
"Kacau! Kacau! Kalian berdua benar-benar keterlaluan!" tukas Pek I Ni. "Kau menyebut-nyebut seorang hwesio tua, siapa hwesio itu?"
"Dia Teng Koan taysu, ketua dari Poan Jiak Tong-Hwesio yang pernah mengadu tangan dengan suthay ketika berada di kuil Ceng Liang Si, Ngo Tay san. "
Pek I Ni menganggukkan kepalanya.
"Taysu itu memiliki ilmu yang tinggi sekali," katanya memuji, Terus dia menepuk- nepuk bahu A Ko seraya berkata kembali "Sudahlah! Taysu itu sangat lihay ilmu silatnya, lagipula usianya sudah lanjut sekali, Siau Po meminta dia menemanimu, hal ini tidak membuat dirimu terhina, Sekarang, sudah! Urusan kalian jangan diperpanjang lagi!"
Mendengar ucapan gurunya, A Ko berkata dalam hatinya.
- Bocah ini sungguh jahat! Sayang ada beberapa hal yang tidak dapat ku utarakan, karena aku khawatir suhu akan menyelidikinya lebih jauh, sedangkan aku bersama enci memang telah melakukan beberapa kesalahan. Tapi, meskipun berpikir demikian, dia
tetap berkata, "Suhu, ada yang tidak diketahui oleh suhu, dia.,,."
Pek I Ni tidak memperdulikan muridnya lagi, Sebaliknya, dia hanya memperhatikan gundukan tanah di depannya dengan pandangan kosong.
Siau Po menatap si nona, dia menjulurkan lidahnya, tangannya menjungkit hidung dan wajahnya dibuat-buat seperti badut, Dia sengaja menggoda nona itu.
A Ko mendongkol sekali, Dia mendelik kepada Siau Po yang jahil itu, tetapi dengan demikian si anak muda justru semakin senang, Walaupun sedang kesal dan marah, kecantikan si nona tidak berkurang sedikit pun, Bagi Siau Po tidak ada bagian tubuh gadis itu yang tidak menggiurkan.
A Ko melirik si Siau Po. Tampak Siau Po masih memperhatikannya lekat-lekat, wajah si nona jadi merah padam, dia merasa malu sekaligus mendongkol. Karena itu tanpa memperdulikan keadaan gurunya yang masih berdiam diri, dia menarik ujung pakaiannya sambil berkata.
"Suhu, dia terus memperhatikan aku,.,." Sang guru masih berdiam diri, Dia sedang mengenangkan kehidupannya yang telah berlalu di dalam istana kerajaan. Dia seperti tidak mendengar dan tidak merasakan apa-apa....
Lambat laun, sang surya mulai menggeser diri, dari timur ke barat Pek I Ni masih berdiam diri. Da!am hal ini, Siau Po lah yang paling tidak keberatan. Baginya, semakin lama Pek I Ni berdiam di makam itu, semakin baik.
Dia dapat melihat si nona dengan sepuas hatinya, Sebaliknya, A Ko menjadi tidak leluasa sekali Berulang kali dia melihat si anak muda masih meliriknya dengan "mata maling" nya. Dia jadi malu, bingung dan mendongkol.
Sang waktu masih terus berlalu, Sore sudah mulai menjelang, sementara itu, A Ko masih merasa kesal sehingga dia berkata dalam hati.
- Bocah ini jahat sekali Entah apa yang dikatakannya kepada suhu sehingga suhu demikian mempercayainya, Awas! Kalau suhu sedang tidak ada, aku akan menendangmu sampai mati Ya, setelah kau dibunuh, masa bodoh kalau suhu menyalahkan aku. Aku tidak mau dihina terus-terusan olehnya."
Akhirnya, terdengar Tiang kongcu menarik napas panjang sembari berkata. "Mari kita pergi!"
Malam itu, mereka tidak pulang ke penginapan melainkan bermalam di rumah seorang petani.
Siau Po pandai membawa diri. Dia tahu Pek I Ni sangat resik, sebelum bersantap, dia selalu mencuci mangkok piring serta sumpitnya sampai bersih sekali. Bahkan dia menyeka meja dan kursi dan sebelum tidur, dia juga membersihkan kamar serta merapikan tempat tidur pendeta perempuan itu.
Pek I Ni mengangguk-angguk melihat sikap bocah itu.
- Anak ini sungguh cekatan dan mengerti segala hal, kalau dia diajak bepergian, dia bisa banyak membantu. katanya dalam hati,
Selesai bersantap malam, Pek I Ni menanyakan tentang A Ki, murid perempuannya yang satu lagi.
"Sejak hari itu ketika kami berpisah di depan kuil Siau Lim Sie, aku tidak melihatnya lagi.," kata A Ko. "A... ku... aku khawatir dia telah dibunuh oleh anak muda ini. "
"ltu tidak mungkin terjadi" sahut Siau Po cepat. "Ketika aku bertemu dengan nona A Ki, aku melihatnya bersama-sama pangeran Kaerltan dari Mongolia, Bersama mereka juga ada seorang Ihama dari Tibet serta seorang Cong Peng yang menjadi bawahan Gou Sam Kui. "
Mendengar disebutkan nama Gou Sam Kui, sepasang mata Tiang kongcu langsung membelakak, Hawa amarahnya meluap dengan tiba-tiba.
"Aih! Mengapa dia bersama-sama orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita?"
"Mungkin ketika rombongan si pangeran tiba di luar Siau Lim Sie, kebetulan nona A Ki pun sampai di sana." kata Siau Po. Dia ingin meredakan kemarahan bhikuni itu. Kalau suthay memang ingin pergi mencarinya, sebaiknya aku ikut Aku yakin nona itu mudah ditemukan."
"Mengapa kau begitu yakin?" tanya Pek I Ni.
"Hal ini karena aku mengenal baik pangeran dari Mongolia, si lhama serta perwira tersebut." sahut Siau Po. "Cukup asal kita menemukan salah seorang dari mereka, lagipula mudah bagi kita menanyakan tentang mereka di mana pun sampainya kita."
"Baik!" kata Tiang kongcu, "Kau boleh ikut aku mencari A Ki."
"Terima kasih, suthay!" kata Siau Po yang gembira sekali, "Suthay memang baik sekali!"
Pek I Ni jadi heran melihat sikap Siau Po.
"Kau mau membantu aku, seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih kepadamu," katanya, "Mengapa sekarang malah kau yang menyatakan terima kasih kepadaku?" "Hal ini karena suthay sendiri. Setiap hari, kalau aku dekat dengan suthay, hatiku menjadi lega dan terbuka. Karena itu aku berharap dapat mengikuti suthay untuk selama-lamanya. seandainya tidak bisa, lebih satu hari di dekat suthay kan lebih baik dari pada tidak?"
"Benarkah?" tanya Pek I Ni.
Tiang kongcu sudah mengambil A Ki dan A Ko sebagai murid, sikapnya biasa-biasa saja, sedangkan kedua muridnya itu sangat takut kepadanya sehingga mereka tidak berani mengatakan apa-apa, Lain halnya dengan Siau Po yang baru dikenalnya ini.
Siau Po cerdas dan berani, dia juga dapat memberikan pelayanan yang baik. Meskipun Pek I Ni sendiri orangnya pendiam dan hatinya sudah tawar, tapi dia senang juga dengan sikap Siau Po. Karena itu, akhirnya dia tersenyum.
"Suhu!" kata A Ko yang terkejut karena gurunya ingin mengajak si bocah melakukan perjalanan bersama-sama, "Suhu, dia. "
Si nona tahu benar, meskipun mulut Siau Po berkata demikian, tapi tujuan yang sebenarnya ingin selalu dekat dengannya.
Pek I Ni mendelik kepada muridnya itu.
"Ah! Kau tahu apa? Mana kau tahu isi hati orang? Memang aku selalu berpesan kepada kalian berdua agar jangan sembarangan menghadapi orang-orang dunia Kangouw, tapi bocah ini lain, Dia tidak bisa disamakan dengan yang lainnya, Sudah cukup lama dia mengikuti aku, dan aku tahu dia dapat dipercayai."
A Ko menundukkan kepalanya. "Ya," sahutnya tanpa berani banyak bicara lagi. Keesokan harinya, mereka menuju selatan, Di sepanjang jalan mereka bertanya-
tanya tentang A Ki. Selama itu, Siau Po juga selalu bersikap baik. Dengan hati-hati dia
melayani guru dan murid itu, Terhadap A Ko, meskipun cintanya kebelet sekali, dia tidak berani bersikap ceriwis atau sembarangan. Dia tidak ingin perbuatan buruknya kepergok oleh Pek I Ni dan akibatnya dia pasti tidak disetujui.
Selama dalam perjalanan Siau Po juga tidak pernah berbicara dengan A Ko. Sebaliknya, apabila ada kesempatan baik, yakni disaat gurunya sedang tidak melihat, dia suka menendang Siau Po atau menggaploknya berkali-kali. Tapi Siau Po membiarkan saja. Dia menganggap gadis itu mungkin menjadi senang atas perlakuannya itu.
Pada suatu hari, ketiga orang itu bermalam di sebuah penginapan kecil di dekat kota Cong Chiu, Siau Po segera pergi ke pasar untuk membeli sayuran segar dan memasakkannya untuk si bhikuni, Ketika pulang dari pasar, A Ko sedang berdiri di depan pintu penginapan dengan mata menatap ke arah jalan besar. Dia segera menghampiri dengan wajah tersenyum dan tangannya memegang sebungkus kembang gula Bwe Kui Siong yang dibelinya dari pasar, Sembari mengasongkan bungkusan permen itu, Siau Po berkata.
"Nona A Ko, barusan aku membelikan sebungkus kembang gula untukmu, Tidak kusangka di tempat yang begini terpencil ada orang yang menjual kembang gula sebagus ini."
A Ko tidak menyambut kembang gula itu, Gadis itu malah mendelikkan matanya sambil berkata.
"Kembang gula yang kau beli pasti berbau busuk, Aku tidak sudi memakannya." "Aih, nona!" kata Siau Po dengan maksud membujuk "Kembang gula yang aku beli
ini sama sekali tidak berbau, malah rasanya lezat sekali, Cobalah dulu!"
Diam-diam Siau Po sering memperhatikan makanan apa saja yang menjadi kesukaan nona itu. Biarpun Pek I Ni jarang memberikan uang banyak, tapi kalau membelikannya, si nona selalu memakannya dengan lahap. Karena itulah, sengaja Siau Po membelikan sebungkus kembang gula kesukaan gadis itu.
"Aku tidak suka makan kembang gula," kata si nona yang terpaksa melayani orang bicara, "Suhu sedang bersemedi, mungkin perlu waktu satu dua jam baru selesai Hatiku kesal sekali, Aku ingin mencari suatu tempat yang pemandangannya indah, tapi sepi yang tak ada orang. "
Hampir Siau Po tidak percaya dengan pendengarannya sendiri Darah dalam tubuhnya langsung mengalir lebih deras dan wajahnya berubah menjadi merah.
"Apakah. kau bukan sedang mempermainkan aku?" tanyanya heran,
"Mempermainkanmu? Untuk apa?" kata A Ko. "Kalau kau tidak suka menemani aku, sudahlah! Aku bisa pergi seorang diri."
Selesai berkata, nona itu langsung berjalan menuju arah timur yang ada sebuah gang kecil.
"Pergi! Pergi! Aku pasti mau pergi denganmu!" sahut Siau Po yang senangnya setengah mati, "Demi engkau, jangan kata menemani jalan-jalan, meskipun harus terjun ke dalam lautan api sekalipun, aku pasti akan menyertaimu!" Dia langsung mengikuti di belakang si nona.
Begitu ke luar dari daerah pasar, A Ko menunjuk ke arah timur tenggara. Sejauh beberapa li dari tempat itu tampak sebuah bukit
"Tentu menggembirakan kalau kita berpesiar ke sana!" kata si nona. Bukan main girangnya hati Siau Po. "lya, iya." sahutnya cepat.
Mereka langsung menuju bukit tersebut yang keadaannya sepi sekali dan pemandangannya sama sekali tidak indah, Tapi dalam pandangan mata Siau Po, tidak ada pemandangan yang lebih indah lagi dari pada tempat itu. Hatinya senang sekali sehingga tanpa sadar dia memuji.
"Sungguh sebuah tempat yang luar biasa indahnya !"
"Apanya yang indah?" kata A Ko. "Lihat sendiri. Pepohonannya kacau dan batunya berserakan dimana-mana, Tempat ini justru menjemukan."
"lya, benar juga, pemandangannya memang tidak seberapa bagus." sahut si anak muda yang merasa serba salah.
"Tapi baru saja kau memujinya," kata A Ko kembali "Mengapa?" Siau Po tersenyum.
"Sebenarnya pemandangan alam di sini tidak indah." katanya, "Tapi, wajah nona yang cantik luar biasalah yang menggantikan bunga-bunga yang seharusnya memenuhi tempat ini. Di sini tidak terlihat seekor burung pun, suara nona yang merdulah sebagai pengganti burung-burung itu."
"Hm!" A Ko memperdengarkan suaranya yang dingin, "Kau tahu apa maksudku mengajak kau ke mari? itu bukan karena aku ingin mendengarkan ocehanmu. Aku justru ingin kau pergi, pergi sejauh-jauhnya dan secepat-cepatnya. Jangan pernah muncul lagi di depan mataku. Kalau kau berani menampakkan dirimu lagi, hati-hati akan ku cungkil biji matamu!"
Siau Po terkejut setengah mati, Dia melihat wajah si gadis sangat muram.
"Oh, Nona!" katanya dengan nada sedih. "Nona, untuk selanjutnya aku tidak akan berani main gila lagi di hadapanmu, Mohon sudilah kau mengampuni aku!"
"Sekarang justru aku sudah memberikan pengampunan kepadamu." kata A Ko. "Aku tidak langsung mengambil jiwamu, bukan?" Mendadak dia menghunus goloknya lalu menambahkan "Kau mau ikut aku ke mari karena kau mengandung niat buruk, bukan? Apakah kau kira aku tidak mengetahuinya? Kau sangat menghina aku, karena itulah aku menghukummu, aku tidak perduli kalau nanti suhu akan menghajar aku dengan rotan sebanyak seribu kali pun."
Hati Siau Po semakin tercekat, gadis itu membolak-balikkan golok di tangannya sehingga sinarnya berkilauan. Dia langsung membayangkan watak keras si nona dan saat ini tentunya si nona tidak sedang bergurau dengannya. "Nona," katanya. "Suthay mengajak aku mencari nona A Ki. Baikiah, setelah berhasil menemukannya, aku tidak akan mengikuti kalian lagi." A Ko menggelengkan kepalanya, "Tidak bisa." katanya keras, "Sekalipun tanpa engkau, kami pasti akan menemukannya, Lagi-pula, dia bukan anak kecil berusia tiga tahun, memangnya dia tidak punya kaki untuk pulang sendiri?"
Kembali A Ko menggerakkan goIoknya.
"Kalau kau masih tidak mau pergi, jangan kau sesalkan aku!" katanya pula dengan suara bengis.
Siau Po mencoba tertawa.
"Nona, tampaknya Nona bermaksud tidak baik terhadapku" tanyanya, "Mengapa?" Nona itu tampaknya gusar sekali.
"Sampai saat ini kau masih berusaha mempermainkan aku?" katanya sambil menerjang ke depan dan mengirimkan sebuah bacokan.
Siau Po terkejut, dia merasa takut tapi untung-nya dia juga sempat menghindarkan diri.
"Kau mau pergi atau tidak?" ancam si nona.
"Maaf, Nona!" kata Siau Po. "Aku tidak dapat pergi. walaupun kau cincang seluruh tubuhku sampai hancur lebur, walaupun aku harus menjadi setan gentayangan aku harus mengikutimu terus."
Bukan main marahnya hati A Ko, kembali dia melancarkan tiga bacokan.
Dalam hal menghindarkan diri dari serangan Siau Po sudah cukup lihay, Tidak sia- sia dia mencangkok pelajaran Teng Koan taysu sekarang dia dapat menggunakannya dengan baik. Semua serangan si nona menjadi sia-sia. Hal ini justru menambah kegusaran dalam hati A Ko, dia mengulangi serangannya dengan sadis dan beruntun
Repot juga Siau Po dibuatnya, Akhirnya dia terpaksa menghunuskan pisau belatinya dan digunakan untuk menangkis serangan si nona sehingga golok A Ko jadi kutung.
A Ko terkejut sekaligus marah, Dengan golok buntungnya, dia menyerang kembali Kali ini malah secara serabutan.
Menyaksikan orang sudah menjadi kalap, Siau Po tidak berani melayani terus, Dalam hal ilmu silat, dia masih kalah jauh, Karena itu, terpaksa dia membalikkan tubuhnya dan lari menuruni bukit.
A Ko mengejar. "Larilah yang jauh! Kalau kau lari jauh-jauh, aku tidak akan membunuhmu!" teriaknya.
Siau Po tidak menyahut, dia hanya berlari terus.
Melihat arah larinya si anak muda, A Ko jadi bingung. Karena Siau Po lari pulang ke penginapan.
- Ah, dia lari pulang. --, pikirnya dalam hati. --Dia pasti mengadu kepada suhu! --
Dengan membawa pikiran demikian, dia mempercepat larinya, Tapi sayangnya ilmu meringankan tubuh gadis itu juga masih kepalang tanggung, tidak berbeda jauh dengan Siau Po. itulah sebabnya dia tidak berhasil mengejar si anak muda.
Sesaat kemudian, tampak si anak muda sudah menyelinap ke dalam penginapan.
-- Celaka! -- pikir A Ko. -- Kalau dia sampai mengadu kepada suhu, apa boleh buat, aku akan membeberkan semua perbuatannya kepadaku tempo hari! -
Karena merasa sudah terlanjur, si nona melambatkan langkah kakinya dan berjalan perlahan lahan menuju pintu penginapan
Baru sampai di ambang pintu kamar, tiba-tiba A Ko menjadi terkejut setengah mati, Karena sekonyong-konyong ada angin atau tenaga keras yang menyerangnya, membuatnya terhuyung-huyung tiga langkah sampai dia tidak dapat mempertahankan diri dan jatuh terduduk,
Kembali A Ko terkejut, dia berusaha untuk bangun Karena itu, dia menjulurkan tangannya untuk menumpu di atas tanah, Tidak tahunya dia malah menyentuh wajah seseorang. Terpaksa dia menekan terus untuk melompat bangun, Setelah berdiri, dia baru menolehkan kepalanya dan menoleh kepada orang yang diduduki dan ditekannya barusan. Kembali dia terkejut karena mengenali Siau Po yang sangat dibencinya.
"Hai, apa yang kau lakukan?" tanyanya kaget dan heran Namun baru selesai dia mengajukan pertanyaan itu, kembali kedua lututnya terasa lemas dan dia terjatuh kembali.
"Eh, eh!" serunya pula, Tapi sudah terlambat, dia jatuh justru menimpa tubuh Siau Po sehingga wajah mereka jadi saling berhadapan dan dalam posisi berpelukan.
Bukan main khawatirnya hati A Ko. Dia takut wajahnya dicium oleh si anak muda yang ceriwis itu, Karena itu dia berusaha untuk bangun kembali Tapi entah mengapa, seluruh tubuhnya terasa lemas sehingga niatnya menjadi gagal. Dia terpaksa melengoskan wajahnya.
"Cepat bangunkan aku!" katanya dengan terpaksa. "Aku juga kehabisan tenaga.,." sahut Siau Po. "Bagaimana baiknya sekarang?"
Meskipun mulutnya bertanya demikian, hati Siau Po justru senang sekali, Dia toh ditindih oleh si nona cantik, yang tubuhnya lembut dan kulitnya halus, Dalam keadaan seperti itu, dia masih sempat berkata dalam hatinya.
-- jangan kata sekarang tenagaku benar-benar sudah lemah, meskipun tetap kuat seperti semula, aku tidak akan membangunkan engkau, Bukankah kau sendiri yang jatuh menimpa aku? jangan kau salahkan atau sesalkan aku --
AKo menjadi bingung.
"Suhu sedang dikepung musuh!" katanya, "Kita harus menolongnya!"
Barusan, ketika memasuki kamar, A Ko sempat melihat gurunya sedang mengibaskan sebelah lengan bajunya dan menghantam sebelah tangannya lagi untuk menolak serangan lawan.
Tapi tadi A Ko belum sempat melihat lawan gurunya dengan tegas. ia hanya tahu bahwa musuh itu bukan hanya satu orang, Ketika dia ingin melihat lebih tegas, angin pukulan dari dalam kamar sudah menghantamnya sehingga dia terjatuh dan menimpa tubuh si anak muda.
Siau Po melangkah terlebih dahulu, Ketika sampai di depan pintu kamar, dia pun menyaksikan apa yang dilihat A Ko. Dia juga roboh tidak berdaya. Dia merasa kesakitan tapi hatinya senang sekali. Dia malah berharap si nona menindihnya terus, sampai- sampai dia lupa Pek I Ni sedang bertarung dengan siapa....
A Ko menekan dada orang, Dia terpaksa berusaha bangun. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri kemudian menghembuskan napas lega.
"Mengapa kau berbaring di atas tanah?" tanyanya "Mengapa kau membuat aku jatuh tersandung?"
Nona ini sudah menduga jatuhnya Siau Po pasti karena alasan yang sama dengan dirinya, tapi dia tetap mengajukan pertanyaan itu.
"lya, Nona!" sahut Siau Po yang menyimpang dari pertanyaan gadis itu. "Kalau aku tahu kau akan jatuh di sini, seharusnya aku cepat-cepat menyingkir agar kita bisa jatuh berdampingan."
"Cis!" si nona meludah, Tapi dia mengkhawatirkan keselamatan gurunya sehingga cepat-cepat dia memperhatikan keadaan di dalam kamar.
Pek I Ni masih duduk bersila di atas tanah, Kedua tangannya digerak-gerakkan untuk menahan datangnya serangan lawan, jumlah musuhnya ada lima orang, Semuanya para lhama dengan jubah merah. Setiap lawannya menyerang dengan cepat dan dahsyat, walaupun demikian, mereka tidak sanggup mendekati bhikuni itu,
A Ko berusaha maju terus, Dia ingin mengetahui apakah masih ada musuh lainnya di dalam kamar Tapi, baru saja kakinya menindak dua langkah, tiba-tiba serangkum angin kencang kembali menerpanya sehingga mau tidak mau dia harus menyurut mundur kembali.
Begitu mundur nona itu menendang Siau Po.
"Eh, cepat bangun!" katanya, "Kau masih enak-enakan berbaring di sini. Lihat musuh-musuh itu, orang dari golongan apakah mereka itu?"
Siau Po menumpu pada dinding dan bangun perlahan-Iahan. Lalu memperhatikan ke dalam kamar.
"Semuanya ada enam orang lhama dan mereka semua terdiri dari orang jahat." katanya.
"Ngaco!" bentak si nona. "Sudah tentu mereka orang-orang jahat, untuk apa kau mengatakannya lagi?"
"Tapi mereka menyerang suthay, itulah yang membuktikan bahwa mereka itu orang jahat."
Si nona mendelikkan matanya.
"Aku rasa kau tentunya teman orang-orang itu, Kau yang mengajak mereka ke mari untuk mencelakai suhu." tukasnya.
"Mana mungkin, Nona?" kata Siau Po. "Aku justru sangat menghormati suthay seperti halnya aku menghormati Kuan Im Pousat, mana mungkin aku mencelakainya?"
A Ko segera menoleh ke dalam kamar. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan tertahan Siau Po pun cepat-cepat memperhatikan keadaan di dalam kamar Tampak keenam lhama itu, masing-masing menghunus goloknya dan menyerang Pek I Ni.
Tapi mereka tertahan oleh pukulan si bhikuni sehingga mereka tidak bisa maju lebih dekat. Hanya saja sekarang di atas kepala wanita itu tampak uap putih mengepul, menandakan dia sudah mengeluarkan tenaganya terlalu banyak dan keadaan ini membahayakan dirinya.
Dalam hati Siau Po ada niat ingin membantu bhikuni itu, tapi dia tidak dapat memasuki kamar .Bahkan kalau dia bisa masuk sekalipun, malah bisa membuat Pek I Ni menjadi kikuk. Bukankah dia tidak berdaya apa-apa menghadapi keenam lhama yang tangguh-tangguh itu? Melihat ke sekitarnya, Siau Po mendapatkan ada sebatang sapu tersandar di sudut tembok, Dia merayap perlahan-lahan ke sana lalu diambilnya sapu itu, Kemudian Siau Po menjulurkan sapu itu lewat sela pintu dengan maksud menyodokkannya ke wajah salah seorang lhama sehingga orang itu kurang waspada dan Pek I Ni mempunyai kesempatan menghajarnya.
Tapi, baru saja sapunya masuk ke dalam, dia sudah mendengar suara bentakan keras disusul dengan kelebatan sinar golok. Sapu di tangan Siau Po langsung terkutung menjadi dua bagian, Bahkan dia sendiri ikut terkena sambaran angin sehingga terpental ke belakang,
"Kau benar-benar sembrono," kata A Ko, "Mana boleh kau melakukan hal itu?"
Siau Po tidak menyahut otaknya terus bekerja keras, matanya jelalatan ke sana ke mari, Anak muda itu memperhatikan posisi keenam orang lhama itu lalu mengendap- endap ke belakang mereka, Karena terhalang dinding kamar, lawan tidak dapat melihat nya. Dia berdiri tepat di belakang salah seorang Ihama, yakni orang yang mengutungkan sapunya tadi. Dia menikamkan pisau belatinya pada orang itu.
Pisau itu luar biasa tajamnya, sedangkan tebal dinding tidak lebih dari satu dim. Pisau itu telak mengenai punggung si Ihama, Lhama itu menjerit, lalu tubuhnya terkulai di atas tanah. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana dirinya diserang lawan, sehingga boleh dikatakan menjadi mati konyol.
Diam-diam Siau Po merasa girang, karena mendengar suara teriakan atau jeritan si Ihama, Dia tahu tikamannya sudah membawa hasil. Karena itu, dia segera menggeser ke arah Ihama yang kedua dan kembali menikamkan pisaunya.
"Aduh!" jerit lhama itu dan tubuhnya pun terkulai seperti kawannya barusan.
--Bagus! --, seru Siau Po dalam hatinya, Dia puas dengan usaha itu walaupun yang dilakukannya berupa serangan gelap, Tanpa ragu lagi, dia segera melanjutkan serangannya.
Dalam waktu yang singkat, empat orang lhama telah roboh tidak berkutik Untung pisau belatinya tidak tembus ke dalam sekali sehingga luka setiap lhama tidak mengucurkan darah, Dengan demikian kawan-kawannya tidak tahu apa yang telah terjadi. Saking heran dan khawatir dalam pikiran mereka langsung timbul niat untuk melarikan diri.
Pek I Ni dapat melihat sikap para lhama itu, Dia menghajar seorang lhama yang sedang memutar tubuhnya untuk pergi, Robohlah orang itu, mulutnya mengeluarkan darah dan jiwanya melayang seketika, sedangkan dengan kibasan lengan baju kanannya, dia membuat seorang lhama lainnya tidak dapat melarikan diri karena lima jalan darahnya telah tertotok. Dengan demikian lhama itu juga langsung roboh tidak berkutik. Pek I Ni menendang kembali tubuh keempat lhama yang sudah rebah di atas tanah, Bhikuni itu melihat lubang bekas tikaman juga darah yang merembes ke luar dari sela- selanya, maka dia segera mengerti sebab kematian keempat lhama tersebut. Dia lalu bertanya kepada lhama yang tertotok itu.
"Kau,., siapa?" Tiba-tiba tubuhnya terhuyung-huyung dan jatuh terguling di atas lantai, dari mulutnya muncrat darah segar.
Rupanya Tiang kongcu sudah menguras tenaganya secara berlebihan ketika menghadapi keenam orang lhama yang kepandaiannya tinggi-tinggi itu. Untung dia masih bisa bertahan sampai tahap terakhir dan kemudian baru roboh.
A Ko dan Siau Po terkejut setengah mati, Mereka segera menghambur ke depan dan memapah bhikuni itu.
"Suhu! Suhu!" panggil A Ko berulang kali.
Napas Pek I Ni lemah sekali, Matanya terpejam dan mulutnya tertutup rapat-rapat. Bersama-sama A Ko, Siau Po mengangkat tubuh bhikuni itu ke atas tempat tidur,
Darah masih mengalir dari sudut bibir wanita itu.
A Ko bingung sekali sehingga dia menangis terus. Ketika pertempuran terjadi, para pelayan serta pemilik penginapan semuanya lari kucar-kacir, sekarang mereka kembali lagi dan ketika melihat darah berceceran dimana-mana mereka jadi ketakutan.
Beberapa diantaranya malah berteriak-teriak seperti orang kalap,
"Untuk apa kalian berteriak-teriak?" bentak Siau Po sambil memungut sebilah golok, "Diam! Atau kalian semuanya ku bunuh!"
Orang-orang itu ketakutan, mereka segera menutup mulut Siau Po mengeluarkan sejumlah uang lalu menyerahkannya kepada salah seorang pelayan.
"Sekarang cepat kau carikan dua buah kereta besar! Yang lima tail ini untukmu!" katanya,
Siau Po mengeluarkan uang lagi sebanyak empat puluh tail, lalu dia berkata kepada pemilik penginapan.
"Keenam orang lhama ini mati karena saling menyerang antara kawannya sendiri, kalian semua juga menyaksikan bukan?"
Padahal para pelayan dan pemilik penginapan itu tidak melihat apa-apa, tapi mereka takut terhadap ancaman Siau Po sehingga serentak mereka menganggukkan kepalanya dan mengiyakan. Tidak lama kemudian kedua kereta besar yang dipesan Siau Po sudah datang, Dengan dibantu oleh A Ko, dia menggotong Pek I Ni ke atas sebuah kereta.
"Kau duduk di atas satu kereta dengan gurumu, aku akan membawa lhama yang tertotok ini." katanya kepada A Ko.
"Ke barat daya!" kata Siau Po pula kepada sais kereta setelah mereka semua naik ke atasnya.
Siau Po khawatir lhama itu bisa membebaskan sendiri totokannya, Karena itu dia mengikat kaki dan tangan orang itu erat-erat.
Sementara kereta berjalan terus, Siau Po melihat si Ihama, sudah sadar. Tanpa menunda waktu lagi, dia mulai mengajukan pertanyaan kepadanya.
"Kau lihat sendiri, empat orang rekanmu telah terbunuh di tanganku, Kalau kau tidak menjawab pertanyaanku baik-baik, maka kau akan mengalami nasib yang sama. Malah aku akan menyiksamu terlebih dahulu, Nah, sekarang katakan, siapa yang menyuruh kalian mencari keributan dengan suthay kami?"
Lhama itu takut sekali. Apalagi setelah Siau Po mengeluarkan pisau belatinya yang sinarnya berkilauan dan terus digerak-gerakkan di depan hidungnya.
"Aku bernama Hupain, lhama dari Tibet." kata orang itu. "Kami mendapat tugas untuk menangkap hidup-hidup suthay itu. Orang yang memerintahkan kami adalah kakak seperguruan kami yang tertua, namanya Shang Cie."
"Suthay ini orang baik-baik," kata Siau Po. "Dengan kakak seperguruanmu pasti tidak ada persengketaan apa-apa, Mengapa kakak seperguruanmu memerintahkan kalian menangkapnya?"
"Menurut kakak seperguruanku suthay itu telah mencuri kitab suci... bukan di pinjam- Kitab suci itu seluruhnya ada delapan jilid dan mempunyai sangkutan yang penting dengan Buddha hidup kami. Kami harus meminta pulang kitab tersebut"
"Kitab apakah itu?" tanya Siau Po. "Kitab Chayen kulu-kulu."
"Ngaco!" kata Siau Po. "Mana ada kitab Chayen kulu-kulu?"
"ltulah bahasa Tibet!" sahut si Ihama, "Dalam bahasa Tionghoa, orang menyebutnya Si Cap Ji Cin Keng."
"Bagaimana kakakmu yang busuk itu bisa tahu suthay kami memiliki kitab tersebut ?" tanyanya kembali. "Tentang itu aku tidak tahu apa-apa."
"Sekarang aku ingin tanya lagi kepadamu, bersama kakak seperguruanmu yang busuk itu, orang yang kepandaiannya lebih rendah atau lebih tinggi daripadaku masih ada berapa lagi?"
"Jumlah kami semua tiga belas orang, suthay telah membinasakan lima di antara kami, sekarang masih tersisa delapan orang lagi."
Siau Po mendupak tubuh orang itu.
"Kau sangat busukl Sudah mau mati, masih mengoceh yang tidak-tidak. Jadi kepandaian mereka semuanya lebih tinggi daripada aku? Kau lihat saja nanti, kalau bertemu dengan mereka, aku akan menghabisi mereka satu persatu, Biar kau tahu sampai di mana kelihayanku!"
"lya, iya!" sahut si lhama yang ketakutan.
Siau Po masih belum puas, dia masih mengajukan beberapa pertanyaan, dan tidak memperoleh keterangan yang cukup jelas lagi, dia baru menghentikan kereta dan melaporkan apa yang didapatkan kepada Pek I Ni.
"Suthay, di sana masih ada delapan orang lhama. Kalau mereka datang sekaligus, mungkin sulit bagi suthay untuk melayaninya, Lain halnya kalau keadaan suthay sehat seperti sebelumnya."
Pek I Ni menggelengkan kepalanya.
"Sekalipun dalam keadaan sehat, satu lawan tujuh, tetap saja tidak mungkin menang, Menurut apa yang aku ketahui, Sang Cie itu merupakan lhama yang kepandaiannya nomor satu di wilayah Tibet. ilmunya tinggi sekali, Menghadapi dia satu orang saja masih belum tentu kesudahannya, apalagi kalau dia mengandalkan saudara-saudara seperguruannya yang lain." katanya.
"Kalau begitu, sebaiknya kita menggunakan tipu daya kata Siau Po." Aku mempunyai akal yang cukup baik, tapi entah suthay mau menjalankannya atau tidak. "
Bhikuni itu menarik napas panjang.
"Sekarang aku sudah tidak berbeda dengan manusia biasa, Coba kau katakan apa akal mu itu?"
"Aku berpikir agar kita pergi ke sebuah tempat yang sunyi," kata Siau Po. "Di sana suthay menyamar sebagai wanita setengah baya yang sedang sakit. Aku dan A Ko akan menjadi anak-anakmu yang mengurusmu, Entah bagaimana pendapat suthay? Tentu saja hanya untuk sementara, setidaknya sampai kesehatan suthay pulih kembali." Pek I Ni menggelengkan kepalanya.
"Huh! pikiran apa yang kau cetuskan?" bentak AKo. "Sungguh bodoh! Suhu adalah orang gagah di jaman ini, mengapa suhu harus menyembunyikan diri sedemikian rupa? Bukankah itu berarti takut?"
"Akal ini sebetulnya dapat dilakukan, tapi kalian harus menyamar sebagai keponakanku..." kata Pek I Ni.
Siau Po senang sekali mendengar ucapan si bhikuni. "Baik, baik!" katanya berkali-kali.
A Ko mendelikkan matanya kepada si anak muda, Dia merasa tidak puas mendengar suhunya setuju dengan usul si bocah tengik.
"Lhama itu sebaiknya jangan dibiarkan hidup, nanti dia bisa menimbulkan kesulitan bagi kita, Kita kubur saja dia hidup-hidup di tempat ini." kata Siau Po pula.
"Tadi kita bertempur karena terpaksa, kau membunuh orang juga karena terpaksa, sekarang lhama ini sudah tidak berdaya, apabila kita membunuhnya juga, itu berarti kita terlalu kejam, sebaiknya kita bawa saja dia bersama-sama. "