Kaki Tiga Menjangan Jilid 47

Jilid 47

Mendengar To Hong Eng menyebut Tiang kongcu atau puteri Tiang, bukan main terkejutnya hati Siau Po. Langsung teringat olehnya penuturan bibi To beberapa waktu yang lalu, To Hong Eng adalah dayang kongcu ini. 

Menurut To Hong Eng, kaum pesuruhnya Li Cong menyerbu kotaraja, Kaisar Cong Ceng bermaksud membunuh puteri kesayangannya ini dengan tangan sendiri, dia tidak ingin puterinya itu terjatuh ketangan si pemberontak Setelah menebas sebelah lengan puterinya itu, Cong Ceng berniat mengulangi bacokannya. 

Tapi untuk Hong Eng keburu datang dan dia membiarkan punggungnya yang terkena bacokan itu, Karena itu pula, Hong Eng jatuh tidak sadarkan diri, Tatkala siuman kembali Cong Ceng dan Tiang kongcu telah lenyap. 

Entah ke mana perginya mereka, sekarang ternyata Tiang kongcu masih hidup dan dia dapat bertemu kembali dengan dayangnya yang sangat setia itu.

Siau Po melirik kepada Pek I Ni dan berkata dalam hati.

-- Dia telah kehilangan sebelah lengannya. Dia juga kenal baik keadaan dalam istana ini dan tadi di dalam keraton Kun Leng Kiong dia juga menangis sedih sekali, seharusnya sejak semula aku sudah dapat menduga siapa dirinya. Tapi sampai sekarang aku baru mengetahuinya, aku benar-benar tolol sekali....--

"Apakah selama ini kau terus berdiam dalam istana ini?" Terdengar pertanyaan Tiang kongcu pada bekas dayangnya itu.

"lya," sahut To Hong Eng yang masih menangis sesenggukan

"Kata bocah ini, kau pernah mencoba membunuh ibu suri bangsa Tatcu." kata pula si tuan puteri, "ltu bagus, Tapi,., hal itu bisa menyulitkan kedudukanmu sendiri."  Sembari berbicara, tanpa dapat menahan keharuan hatinya, puteri itu meneteskan air mata.

"Kongcu, dirimu lebih berharga dari laksaan tail emas," kata Hong Eng. "Kongcu tidak boleh berdiam di sini terlalu Iama. Bahaya sekali, sebaiknya aku antar kongcu keluar dari istana sekarang juga."

Tiang kongcu menghela napas panjang. "Sedari lama aku bukan kongcu lagi." katanya,

“Tidak, tidak." kata To Hong Eng, "Di mata hamba, sampai kapan pun, kongcu tetap seorang tuan puteri Untuk selama-lamanya tetapi Tiang kongcu hamba."

Pek I Ni tersenyum pilu, Diantara sinar sang rembulan, tampak air mata membasahi pipinya yang cantik, Tapi senyumannya itu tampak dipaksakan sekali.

"Apakah keraton Leng Siu Kiong ada yang menempati?" tanyanya pula, ingin sekali aku melihatnya."

"Leng Siu Kiong?" suara To Hong Eng agak ragu-ragu. "Sekarang ini Leng Siu Kiong ditempati oleh Kian Leng kongcu, puteri si raja Tatcu. Namun sudah beberapa hari ini entah raja, ibu suri dan puterinya pergi ke mana. Mereka tidak berada di kotaraja, jadi di sana hanya ada beberapa dayang dan thay-kam. sebaiknya aku pergi ke sana membinasakan mereka semua agar kongcu dapat pergi ke sana."

"Tidak perlu kau sampai membunuh orang!" kata si puteri, "Aku hanya ingin melihat- lihat saja."

Hong Eng menganggukkan kepalanya. "Baik." sahutnya.

Dayang ini tidak tahu tuan puterinya telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Dia hanya merasa terharu dan senang dapat bertemu kembali dengannya. Tentu dia juga senang sekali dapat mengantarkan tuan puteri nya, sekalipun ke tempat yang penuh dengan mara bahaya.

"Mari, kongcu!" katanya kemudian. Dia langsung berjalan mendahului

Mereka bertiga menuju keraton Leng Siu Kiong. Setelah melalui beberapa pendopo dan gudang daun teh serta tempat penyimpanan kain sutera, mereka pun sampai di tempat tujuan.

"Harap kongcu tunggu sebentar!" kata Hong Eng setengah berbisik "Nanti hamba pergi mengusir dulu para thay-kam dan dayang-dayang di sana."  "Tidak usah," kata Tiang kongcu yang langsung menghampiri pintu dan dengan mendadak menubruknya, pintu itu langsung jebol olehnya, sehingga timbul suara berisik, Dan Tiang kongcu langsung masuk ke dalamnya.

Rupanya, meskipun telah direbut oleh kerajaan Ceng, keadaan di dalam istana itu masih belum berubah banyak.

Tiang kongcu kenal baik semua kamar-kamar dalam istana itu. Karena itu dia langsung memasuki kamar para thay-kam dan dayang, Mereka terkejut setengah mati, Tetapi sebelum mereka sempat mengambil tindakan apa-apa. Mereka sudah ditotok satu per satu oleh Tiang kongcu.

Dengan demikian, Tiang kongcu tidak menemukan halangan apa pun untuk memasuki kamar itu.

To Hong Eng merasa heran dan kagum akan kelihayan tuan puteri itu. "Oh, kongcu!" serunya, "Kiranya kongcu sudah demikian lihay sekarang!"

Pek I Ni tidak mengatakan apa-apa. Dia langsung duduk di atas tempat tidurnya dan terpaku karena teringat masa lalunya, Kejadian itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. 

Di sinilah lengan kanannya dikutungkan oleh ayahnya, sekarang negaranya telah berhasil dirampas oleh musuh dan kamarnya pun menjadi kamar tuan puteri bangsa Tatcu itu.

Hong Eng dan Siau Po berdiri di kedua sisi tuan puteri itu. Mereka sama-sama membisu.

"Coba nyatakan lilin!" Perintah Tiang kongcu setelah lewat sejenak.

Hong Eng mengiyakan. Dia segera melaksanakan perintah itu. Sekejap kemudian kamar itu sudah terang benderang, Tampak di dinding, di atas meja terdapat berbagai senjata tajam seperti golok dan pedang. Ada juga cambuknya. 

Hal ini membuktikan bahwa penghuni kamar ini mengerti ilmu silau Tidak mirip dengan kamar seorang puteri.

Perlahan sekali Tiang kongcu menarik napas panjang. "Rupanya puteri Tatcu itu gemar ilmu silat." katanya.

"Puteri Tatcu itu mempunyai watak yang sangat aneh," kata Siau Po. "Dia bukan hanya senang menghajar orang, dirinya sendiri pun senang bila mendapat hajaran dari orang, Tentang ilmu silatnya, sebetulnya belum berarti apa-apa, bahkan masih lebih rendah dari pada aku." Diam-diam Siau Po melirik ke dalam tempat tidur Dia teringat akan peristiwa hari itu ketika dia terpaksa bersembunyi di dalam selimutnya puteri Tatcu itu sampai akhirnya dia dipergoki oleh ibu suri dan dibekuknya. Kalau saat itu dia belum mempunyai Ngo Liong Leng, mungkin saat ini dia sudah tidak hidup di dunia ini lagi

"Semua lukisan dan kitabku mungkin telah dibuang oleh puteri Tatcu itu," kata Tiang kongcu yang kembali menarik napas panjang.

"Dia kan puteri Tatcu, aku rasa dia hanya mengenal beberapa huruf saja," kata To Hong Eng. "Karena itu, mana mungkin dia mengenal ilmu silat dan seni lukis?"

Tiang kongcu tidak mengatakan apa-apa Iagi, Dia hanya mengibaskan tangan kirinya sehingga padamlah lilin di depannya.

"Mari ikut aku!" katanya kemudian.

"Baik, kongcu!" sahut Hong Eng. "Kongcu begini lihay, alangkah baiknya andaikata kongcu dapat membekuk ibu suri bangsa Tatcu dan memaksa dia menyerahkan beberapa jilid kitabnya supaya kita dapat merusak otot nadi naganya. "

"Kitab apakah itu?" tanya Pek I Ni. "Dan apa yang kau maksud dengan urat nadi naganya?"

"Kitab Si Cap Ji Cin Keng," Hong Eng memberikan keterangannya. "Kitab itu memuat rahasia urat naga bangsa Tatcu."

Dayang ini langsung menjelaskan dengan singkat tentang kitab pusaka tersebut yang semuanya terdiri dari delapan jilid.

Pek I Ni mendengarkan dengan seksama dan otaknya bekerja, Setelah To Hong Eng selesai dengan ceritanya, dia baru berkata.

"Kalau benar isi kitab itu seperti yang kau katakan, bagus sekali sebaiknya kita tunggu sampai kembalinya ibu suri bangsa Tatcu itu, baru kita kembali lagi ke sini!"

Ketiga orang itu segera ke luar dari Leng Siu Kiong lalu meninggalkan istana itu lewat pintu utara kembali sebagaimana masuknya tadi. Mereka langsung pulang ke penginapan.

Malam itu Hong Eng gembira sekali. Dia telah bertemu kembali dengan tuan puterinya bahkan dapat tidur satu kamar dengannya, Saking senangnya. Hong Eng sampai tidak bisa tidur.

Sementara itu, otak Siau Po terus berputar

- Dari delapan jilid kitab Si Cap Ji Cin Keng itu, enam di antaranya ada padaku, Yang satu lagi berada di tangan Sri Baginda, entah di mana jilid yang ke delapan itu,  sekarang si tuan puteri beserta dayangnya ingin memaksa si nenek sihir menyerahkan kitab itu. Mana mungkin? Tapi ada baiknya kalau mereka berhasil membunuh ibu suri, dengan demikian aku dan raja tidak pusing-pusing lagi.... -

Selama beberapa hari, Tiang kongcu dan To Hong Eng tidak pernah ke luar dari kamarnya, sebaliknya Siau Po setiap hari ke luar penginapan untuk menyelidiki apakah raja telah kembali ke kotaraja.

Pada hari ketujuh, tampaklah Kong Cin Ong, So Ngo Ta dan To Liong memimpin barisan Gi Cian Sie Wie melindungi beberapa buah kereta kerajaan dan memasuki halaman istana. 

Hal ini menandakan raja sudah pulang, Hal itu lantas diperkuat oleh munculnya berbagai pwe lek atau pangeran, Mereka pasti ingin menjenguk raja dan menyatakan selamat atas kembali Sri Baginda dalam keadaan baik-baik saja.

Siau Po bergegas kembali ke penginapan untuk menyampaikan hal itu kepada Tiang kongcu.

"Bagus!" kata si tuan puteri setelah mendengar laporan Siau Po. "Nanti malam aku akan memasuki istana, Karena raja baru pulang, penjagaan di dalam istana pasti ketat sekali, sebaiknya kalian berdua diam di dalam rumah penginapan ini saja!"

Tuan puteri bermaksud mengatakan bahwa kepandaian Siau Po dan To Hong Eng masih belum cukup tinggi untuk digunakan sebagai andalan dalam menempuh bahaya yang demikian besar.

"Suthay, aku ingin ikut." kata Siau Po.

"Begitu pula hambamu ini, kongcu." tukas Hong Eng, "Hamba dan anak ini kenal baik sekali keadaan dalam istana, tidak perlu khawatir akan ada bahaya apa pun."

Terang dayang ini tidak ingin berpisah dengan tuan puteri yang baru ditemuinya ini. "Kalau kalian tetap memaksa, baiklah." kata Tiong kongcu,

Ketika saatnya sudah tiba, ketiga orang itu segera berangkat menuju istana, Mereka langsung menuju luar Cu Leng Kiong, tempat tinggal ibu suri, Siau Po membekal Ngo Liong Leng, Dia telah memikirnya matang-matang. seandainya mereka kepergok, dia akan menunjukkan lencana itu agar ibu suri tunduk kepadanya. 

Lencana itu disimpan dalam saku, tapi tangan kirinya terus menyusup ke dalam dan menggenggamnya erat-erat.

Bagian luar dari keraton Cu Leng Kiong tampak sepi sekali, Tidak tampak seorang pun di sana. Tiang kongcu mengajak kedua rekannya memutar ke belakang dan  melompati tembok dari sana. Siau Po ditenteng olehnya dan dibawa melompati tembok bersama-sama. 

Dan ketika Hong Eng melompat turun ke halaman dalam, tuan puteri itu menahan dengan tangan kirinya agar tidak menimbulkan suara sedikit pun.

Dengan menunjuk ke arah jendela samping dari kamar ibu suri, Siau Po bermaksud memberikan isyarat kepada si tuan puteri bahwa si "nenek sihir" tinggal di sana. 

Kemudian dengan gerakan tangannya, dia mengajak Tiang kongcu dan To Hong Eng pergi ke halaman belakang yang menjadi tempat tinggal para dayang keraton Cu Leng Kiong itu.

Dalam keadaan yang gelap gulita, hanya tiga buah kamar yang menampakkan sinar remang-remang, Tiang kongcu segera menghampiri salah satu kamar tersebut Dia mengintai ke dalamnya, Tampak belasan dayang sedang duduk seperti sedang bersemedi.

Dengan perlahan-lahan, Tiang kongcu menyingkap tirai kemudian memasuki kamar ibu suri, Hong Eng dan Siau Po mengikuti di belakangnya.

Di dalam kamar itu ada empat batang lilin yang dinyalakan, tapi tidak kelihatan penghuninya.

Sambil menunjuk ke arah tempat tidur, Hong Eng berkata dengan suara lirih. "Biasanya kitab itu disimpan di tempat rahasia yang ada di bawah tempat tidur. " Dia 

langsung maju mendekat untuk menyingkapkan kasur dan mencari tempat rahasia itu, 

Tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara langkah kaki. Siau Po segera menarik ujung baju si dayang dan diajaknya menyembunyikan diri di belakang tempat tidur.

Hong Eng mengerti. Bersama-sama Tiang kongcu, keduanya mengikuti Siau Po bersembunyi di belakang tempat tidur.

Dari luar kamar segera terdengar suara seorang wanita.

"Mama, aku telah melakukan tugasku, Hadiah apa yang akan kau berikan kepadaku sebagai imbalannya?" itulah suara Kian Leng kongcu, tuan puteri bangsa Boan Ciu.

Kemudian terdengar pula jawaban si ibu suri.

"Mamamu hanya menyuruh kau melakukan urusan kecil, untuk itu pun kau mengharapkan hadiah, Benar-benar gila!"

Sembari berbicara, keduanya sudah memasuki kamar ibu suri. "Aha! Urusan kecil kata mama?" Terdengar si tuan puteri berkata, "Bagaimana kalau kakak raja mengetahui akulah yang mengambilnya? Tentu dia akan marah sekali."

Ibu suri duduk, terdengar kembali suaranya.

"Hanya sebuah kitab agama, apa artinya? Kita pergi ke Ngo Tay san untuk bersembahyang, maksud kita ingin mendapat perlindungan dari Pou Sat. Karena itu, sepulang dari sana kita harus bersembahyang lagi, Dengan demikian hati Pou Sat pasti senang sekali."

"Kalau hal itu memang urusan kecil seperti kata mama, sebaiknya nanti aku menemui kakak raja dan mengatakan bahwa mamalah yang menyuruh aku mengambil kitab Si Cap Ji Cin Keng itu untuk membaca doa guna memohon perlindungan Pou Sat agar kakak raja dalam keadaan sehat-sehat selalu."

Mendengar kata-kata si tuan puteri, hati Siau Po senang sekali.

-- Bagus! Rupanya si nenek sihir telah menyuruh puterinya mencuri kitab Si Cap Ji Cin Keng itu!"

Berpikir demikian, tiba-tiba hati Siau Po merasa kurang puas, ia ingat keadaan dirinya yang kurang menguntungkan. Mengapa dia justru mendengar berita baik ini disaat Tiang kongcu berada di sampingnya ? Coba kalau dia mendengarnya sendiri, bukankah kitab itu akan terjatuh ketangannya. sedangkan sekarang keadaannya jadi menyulitkan.   

"BoIeh kau beritahukan kepada kakak rajamu itu," terdengar ibu suri berkata kembali "Tapi kalau raja datang menemuiku, aku akan menjawab bahwa aku tidak tahu menahu tentang kitab itu. Kata-kata seorang bocah mana boleh dipercaya begitu saja?"

"Oh, Mama! Apakah Mama ingin menyangkalnya?" seru si tuan puteri "Bukankah kitab itu memang ada di tangan Mama?"

Ibu suri tertawa.

"Bukankah masalah itu mudah sekali?" sahutnya. "Aku bisa melempar kitab itu ke dalam tungku api sehingga tidak meninggalkan bukti apa-apa."

"Sudahlah, sudahlah!" kata si tuan puteri yang kewalahan juga akhirnya. "Aku kalah bicara, Dasar Mama sudah tidak mau memberikan hadiah malah ingin mempermainkan aku!"

"Sebenarnya, kau toh telah memiliki segalanya, Apa lagi yang kau inginkan?" tanya ibu suri.

"Memang aku sudah memiliki apa saja, tapi masih ada satu yang kurang." kata si tuan puteri. "Apa?"

"Aku kekurangan seorang thay-kam yang dapat ku ajak bermain-main." Ibu suri tertawa,

"Seorang thay-kam?" katanya, "Bukankah di dalam istana ini ada beberapa ratus orang thay-kam? Bukankah kau bisa memilih salah satu di antaranya untuk kau jadikan kawan bermain-main? Mengapa kau harus mempersoalkan masalah yang sepele itu?"

"Tidak! Aku tidak membutuhkan segala thay-kam yang Mama katakan, Mereka semua tolol. Persis seperti mayat hidup. Tidak menggembirakan bermain-main bersama mereka, Aku menginginkan Siau Kui Cu, thay-kam yang selalu mendampingi di sisi kakak raja."

Mendengar kata-kata si tuan puteri, hati Siau Po langsung tercekat.

-- Aih! Rupanya si tuan puteri ini masih belum lupa kepadaku, Tapi mengajaknya bermain bukan hal yang mudah, bisa-bisa jiwaku melayang karenanya! --

"Aku sudah menanyakannya kepada kakak raja," terdengar si tuan puteri berkata kembali "Kata kakak, thay-kam itu sedang bertugas ke luar kotaraja dan sampai sekian lama belum kembali juga, Karena itu, Mama, sebaiknya kau saja yang mengatakan kepada kakak bahwa aku minta thay-kam itu diberikan kepadaku."

- Ah, budak yang satu ini --, Siau Po mengeluh dalam hatinya. -- Aneh-aneh saja dia bisa punya pikiran seperti itu, Kalau aku sampai terjatuh ke tangannya, pasti setiap hari tubuhku akan babak belur dihajarnya.

"Raja menyuruh Siau Kui Cu melakukan suatu tugas?" tanya ibu suri, "Tahukah kau ke mana perginya anak itu? Dan tugas apa yang harus dilaksanakannya?"

"Menurut apa yang aku dengar dari para Sie Wie," sahut Kian Leng kongcu," Kakak raja menitahkan Siau Kui Cu pergi ke Gunung Ngo Tay san." 

"Oh!" seru ibu suri perlahan. "Dia pergi ke Ngo Tay san? Mengapa kita tidak bertemu dengannya?" 

"Aku juga baru tahu setelah kita kembali ke istana ini. Mereka tidak tahu tugas apa yang diberikan kakak raja kepadanya, Kata para Sie Wie, kakak raja sangat menyayangi thay-kam itu. Bahkan pangkatnya telah dinaikkan."

"Oh!" terdengar ibu suri kembali mengeluarkan seruan tertahan, Setelah itu keadaan sunyi senyap, Beberapa saat kemudian, terdengar ibu suri baru berkata kembali.

"Baiklah, Kita tunggu sampai dia pulang, Nanti aku akan membicarakannya dengan raja." Suara ibu suri terdengar tawar sekali.

"Sekarang sudah cukup larut, kembalilah ke kamarmu untuk beristirahat” terdengar ibu suri melanjutkan kata-katanya.

"Aku tidak ingin kembali ke kamarku." kata si tuan puteri, "Aku ingin menemani Mama tidur di sini."

"Kau toh bukan anak kecil lagi, mengapa tidak mau tidur di kamarmu sendiri?" "Aku takut, katanya di sana ada hantu." sahut Kian Leng kongcu.

"Ngaco!" bentak ibu suri. "Mana mungkin!"

"Tapi, memang benar, Mama! Para dayangku dan thay-kam yang mengatakannya, Mereka mengatakan bahwa beberapa malam yang lalu, mereka telah diganggu setan, Tiba-tiba saja mereka semua tidak sadarkan diri, sampai keesokkan harinya mereka baru mendusin Mereka juga mengatakan bahwa mereka seperti bermimpi saja "

"Mana mungkin! jangan kamu dengar ocehan para budak itu!" bantah ibu suri. Pasti selama kita pergi, para dayang dan thay-kam itu jadi ketakutan sendiri dan menduga yang tidak-tidak. Nah, kembalilah ke kamarmul"

Kian Leng kongcu tidak berani membantah lagi, Segera dia mengucapkan selamat malam kepada ibunya lalu mengundurkan diri.

Ibu suri duduk sambil bertopang dagu, Matanya terpaku menatap sinar lilin, Lewat sekian lama, dia baru menolehkan kepalanya, Tiba-tiba dia melihat dua sosok bayangan yang bergerak-gerak menuruti gerakan cahaya lilin. 

Dia terkejut setengah mati dan juga merasa heran sehingga matanya terasa berkunang-kunang, Namun dia menabahkan hatinya dan memperhatikan dengan seksama.

Tidak salah lagi, Memang itulah dua sosok bayangan dari tubuh manusia. Tapi hatinya tetap tercekat.

-- Benarkah di dunia ini ada hantu? , demikian pikirnya dalam hati, sekarang dia 

merasa, dari kedua bayangan itu, yang satu adalah bayangannya sendiri dan yang satunya lagi bayangan orang lain. 

Kemudian dia teringat banyaknya korban yang mati ditangannya, umumnya mereka mati karena terkena fitnahnya, Tanpa terasa, bulu romanya jadi berdiri, tubuhnya menggigil bergidik itulah sebabnya, meskipun nyalinya besar dan kepandaiannya tinggi, dia tidak berani bergerak sedikit pun. Sampai sekian lama, ibu suri tetap berdiam diri, namun sementara itu, otaknya terus bekerja.

-- Ah, tidak, tidak! Hantu tidak mempunyai bayangan Yang punya bayangan pasti bukan hantu, -, demikian pikirnya.

Tapi, setelah memasang telinga sesaat, ibu suri tidak mendengar suara dengus napas manusia, karena itu dia berpikir kembali.

-- Kalau bukan manusia, mungkinkah sesosok mayat? -- otomatis seluruh persendian tubuhnya menjadi lemas, Dia duduk tidak berkutik Matanya terus memperhatikan kedua bayangan di hadapannya, Hampir saja dia jatuh pingsan saking pusing memikirkannya.

Setelah lewat sejenak, tiba-tiba ibu suri mendengar suara tarikan napas di belakangnya, Wanita itu merasa pasti sehingga hatinya menjadi senang sekali Dia segera menolehkan kepalanya.

Di sana, terhalang sebuah meja, dia melihat seorang pendeta perempuan sedang duduk berdiam diri dengan sepasang mata menatap kepadanya, Bhikuni itu berwajah putih bersih, mimik wajahnya tampak tenang sekali. Sulit memastikan apakah dia seorang manusia hidup atau sesosok mayat....

"Siapa kau?" tegur ibu suri "Mengapa kau berada di sini?" suaranya agak bergetar.

Bhikuni berwajah putih bersih itu tidak menjawab pertanyaannya, ibu suri juga menatap terus, Kemudian dia mengulangi pertanyaannya,

Sesaat kemudian, terdengar bhikuni itu berkata. "Siapa kau? Mengapa kau berada di sini?"

Pertanyaan itu persis sama dengan pertanyaan yang diajukannya, Namun, sekarang hati ibu suri jadi lega, Dia dapat mendengar suara orang yang terang dan jelas. Dapat dipastikan bahwa itulah suara seorang manusia, Karena itu hilanglah seluruh perasaan takutnya.

"Di sini keraton, istana raja!" katanya kemudian, "Besar sekali nyalimu. "

Pek I Ni bersikap dingin, Sahutannya juga tawar sekali.

"Tidak salah, ini memang istana kaisar, keraton permaisuri atau ibu suri. Tapi kau, makhluk apakah kau ini? Mengapa nyalimu demikian besar sehingga kau berani datang ke mari?"

Keberanian ibu suri sudah terbangun Dia dapat mendengar dengan jelas bahwa itulah suara manusia, Bukan suara hantu, "Aku Hong thayhou." sahutnya keras, "Tentu aku berhak berdiam dalam keraton ini. Sedangkan, kau... siluman dari manakah kau ini?"

Pek I Ni mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas kitab Si Cap Ji Cin Keng yang ada di atas meja, kemudian perlahan-lahan dia mengangkatnya.

"Lepaskan!" bentak ibu suri, Tangannya bergerak menghajar tangan Pek I Ni.

Pek I Ni membalikkan tangannya untuk menyambut serangan ibu suri, Dengan demikian, beradulah tangan kedua orang itu dan akhirnya tubuh ibu suri terhuyung- huyung sehingga dia langsung melompat turun dari tempat tidurnya.

"Bagus!" serunya, "Rupanya kau juga pandai silat!"

Sambil berseru, ibu suri menyerang, Berhadapan dengan manusia biasa, dia tidak takut sama sekali, Bahkan berturut-turut dia telah menyerang sebanyak empat kali.

Sementara itu, Pek I Ni masih duduk di atas kursi. Bahkan dengan tangan kirinya, dia menyelipkan kitab Si Cap Ji Cin Keng itu ke dalam sakunya, sedangkan tangannya yang iain dapat membela diri dengan baik sekali, Dalam sekejap mata, pecahlah keempat serangan lawannya itu.

Ibu suri tambah gusar. Di depan matanya sendiri, dengan mudah orang dapat merampas kitabnya, Dia merasa penasaran sekali, Dengan lincah ia meraba paha kanannya untuk mengeluarkan senjatanya, sehingga dilain detik tangannya sudah menggenggam sebuah senjata pendek yang berkilauan.

Siau Po memasang mata dengan tajam. Dia melihat senjata ibu suri bukan golok pendek atau pisau belati, melainkan sebuah Pek Kim Tian Kong Ngo Bi Ci atau mirip dengan trisula pendek dengan bahan dari emas putih bercampur baja.

Senjata itu pula yang digunakan ibu suri untuk membunuh Hay Kong Kong tempo hari. Dengan senjatanya itu, ibu suri menyerang kembali. 

Dalam gusarnya, dia bersikap garang sekali, Senjata dalam genggamannya berkelebat ke sana ke mari sehingga menimbulkan cahaya yang berkilauan.

"Aku harus ke luar untuk mencegahnya menyerang terus," katanya kepada To Hong Eng dengan suara berbisik Dia tidak ingin melihat Tiang kongcu terancam bahaya, "Aku tidak ingin Tiang kongcu terluka. "

To Hong Eng segera menarik tangan Siau Po. "Tidak usah!" bisiknya. Pek I Ni masih duduk tegak di atas kursi, ia menggerakkan tangannya untuk menotok sana dan menekan sini, Dengan cara demikian, semua serangan ibu suri dapat dipunahkannya, Meskipun setiap serangan itu sangat membahayakan.

Gerakan ibu suri gesit sekali. Begitu dia maju, dia langsung melompat mundur kembali atau bergeser ke kiri dan kanan dan mendadak dia melakukan penyerangan lagi, Angin yang terpancar dari gerak-gerik mereka membuat lilin dalam kamar itu terus bergoyangan.

Ketika pertempuran masih berlangsung, tiba-tiba saja dua dari keempat batang lilin yang ada dalam kamar itu padam Dengan demikian keadaan di dalam kamar tidak seterang sebelumnya lagi. 

Tidak lama kemudian, dua batang yang lainnya juga ikut padam sehingga kamar itu menjadi gelap gulita, pertempuran masih berlangsung terus, sebagaimana dapat diketahui dari suara yang terbit dari pukulan-pukulan keduanya. 

Juga terdengar dengus napas ibu suri yang berat, Rupanya dia benar-benar gusar serta penasaran

Tiba-tiba terdengar Pek I Ni bertanya, "Kau seorang ibu suri, tapi dari mana kau mempelajari ilmu silatmu?"

Ibu suri tidak menjawab, dia masih menyerang terus, Segera terdengar suara tepakan nyaring sebanyak empat kali, itulah suara muka ibu suri yang terkena gaplokan berkali-kali. 

Lalu disusul dengan suara jeritan kemarahan dan penasaran kemudian menghilang Dengan perlahan-lahan suara-suara itu menghilang seiring dengan berhentinya pertempuran yang aneh dan dahsyat itu. Selama itu Pek I Ni masih tetap duduk di atas kursinya,

Sejenak kemudian, kamar itu menjadi terang kembali Rupanya Pek I Ni segera menyatakan sebatang lilin yang ada di dekatnya, Tampaklah ibu suri sedang bertekuk lutut di hadapan lawannya tanpa dapat berkutik sedikit pun.

Menyaksikan keadaan itu, hati Siau Po senang sekali

-- Biar bagaimana, aku harus membunuh setan perempuan itu hari ini --, pikirnya,

Sementara itu, Pek I Ni mengulurkan tangannya untuk menyulut tiga batang lilin lainnya, Dengan demikian suasana kamar itu kembali terang seperti semula.

Rupanya Tiang kongcu menyalakan lilin dengan Hwe Cip (pemantik api) yang selalu dibekalnya, Siau Po kagum sekali melihat kelihayan dan kecerdasan puteri itu.

Wajah ibu suri pucat pasi, rupanya dia merasa malu dan tidak berdaya. "Bunuhlah aku!" katanya, "Menyiksa dengan cara seperti ini bukanlah perbuatan orang gagah."

"Kau ini benar-benar aneh." kata Tiang kongcu yang tidak menggubris permintaan orang, "Bukankah kepandaianmu ini berasal dari Coa To? Mengapa kau yang merupakan seorang nyonya agung, ibu suri sebuah kerajaan, bisa berhubungan dengan kawanan Sin Liong kau?"

Diam-diam Siau Po tercekat hatinya.

-- Segala apa pun diketahui oleh suthay ini, aku harus berhati-hati -- pikirnya, - Aku tidak boleh sembarangan berbicara atau membohonginya.... --

"Apa itu Sin Liong Kau? Aku tidak tahu." sahut ibu suri, "Kepandaianku ini aku dapatkan dari seorang thay-kam."

"Apa? Seorang thay-kam?" tanya Pek I Ni heran. "Jadi ada seorang thay-kam di sini yang mempunyai hubungan dengan Sin Liong Kau? Siapa thay-kam itu? Siapa namanya?"

"Dia bernama Hay Tay Hu, dia sudah lama menutup mata." Mendengar jawaban itu, Siau Po tertawa dalam hatinya.

-- Nenek sihir ini mengoceh tidak karuan! Coba kalau dia tahu aku ada di sini, tentu dia tidak berani bicara seperti itu. -- Meskipun berpikir demikian, Siau Po tetap tidak ke luar dari tempat persembunyiannya.

Pek I Ni berdiam diri sekian lama, kemudian baru dia berbicara lagi.

"Hay Tay Hu?" tanyanya. Agaknya dia sedang berpikir "Aku belum pernah mendengar nama itu, Barusan kau menepuk aku tujuh kali dengan tenaga yang luar biasa beratnya. Apa nama pukulan itu?"

"Menurut keterangan guruku, itulah pukulan dari Bu Tong pai," sahut ibu suri, "Namanya Jiu In Ciang (Tangan awan lunak)."

Pek I Ni menggelengkan kepalanya.

"Bukan," katanya, "ltu bukan Jiu In Ciang, tapi Hoa Kut Bian Ciang (Tangan kapas menghancurkan tulang belulang), Bu Tong Pai adalah sebuah partai lurus, tidak mungkin memiliki ilmu yang begitu sadis."

"Mungkin suthay benar," sahut ibu suri, "Aku menyebutkannya karena menuruti keterangan guruku saja, Benar atau salah, aku tidak tahu. " Ibu suri melihat bhikuni itu gagah dan cerdas, Dia menjadi kagum sekaligus takluk serta takut.

Pek I Ni bertanya lagi.

"Dengan ilmumu ini, sudah berapa banyak orang yang kau celakai?"

"Aku. Boanpwe.,." sahut ibu suri yang bingung bagaimana harus menjawab 

pertanyaan itu dan tidak tahu bagaimana harus menyebut dirinya sendiri "Boanpwe hidup dalam istana, boanpwe belajar silat hanya untuk membela diri saja, juga untuk menyehatkan tubuh, boanpwe sama sekali belum pernah mencelakai siapa pun. "

-- Muka badak! , maki Siau Po dalam hati.

"Harap suthay ketahui," kata ibu suri menambahkan "Boanpwe selalu mendapat pengawalan ke mana saja, Karena itu, Boan pwe belum pernah bertempur dengan siapa-siapa, Malam ini merupakan pertama kali boanpwe bentrok dengan suthay, Ternyata ilmu silatku belum berarti apa-apa. "

Pek I Ni tersenyum.

"Sebenarnya ilmu silatmu baik sekali." katanya.

"Boanpwe seperti katak dalam tempurung," kata ibu suri merendah. "Coba kalau hari ini boanpwe tidak menyaksikan ilmu silat suthay yang demikian tinggi, mana mungkin boanpwe tahu bahwa langit sebenarnya luas sekali. "

"Hm!" terdengar Pek I Ni mendengus dingin, "Kapan matinya thay-kam bernama Hay Tay Hu itu? Siapa yang membunuhnya?"

"Sudah beberapa tahun dia mati... karena usianya yang lanjut. "

"Mungkin engkau sendiri belum pernah melakukan kejahatan," kata Pek I Ni kembali "Akan tetapi, kalian bangsa Tatcu sudah merampas dan menduduki kerajaan Beng ku. Kalian sudah memaksa kaisar kami membunuh diri. Kaulah istrinya raja Tatcu yang pertama, atau ibunya raja Tatcu yang kedua, karena itu kau tidak boleh hidup lebih lama lagi."

Ibu suri terkejut setengah mati sehingga tubuhnya menggigil.

"Suthay. " katanya, "Kaisar yang sekarang bukanlah anak kandungku, ibunya adalah 

permaisuri Hau Kong yang sudah lama mati. "

Pek I Ni mengangguk. "Oh, begitu !" katanya, "Tapi kau tetap istri kaisar Sun Ti. Sun Ti sudah menganiaya dan membunuh ribuan laksa jiwa bangsaku, bangsa Han. Mengapa kau tidak memberi nasehat kepadanya atau mencegahnya melakukan pembantaian itu?"

"Harap suthay ketahui," kata ibu suri yang pandai bicara, "Dalam hal ini, boanpwe tidak dapat berbuat apa-apa. Mendiang raja Sun Ti sangat menyayangi selirnya, Tang Gok Hui, karena itu pula, dahulu sulit bagi boanpwe untuk bertemu dengan kaisar sendiri itulah sebabnya boanpwe tidak menemukan jalan untuk menasehatinya atau mencegahnya. "

Pek I Ni terdiam sekian lama.

"Bicaramu memang beralasan," katanya, "Baiklah. Malam ini aku tidak akan membunuhmu."

"Terima kasih, suthay!" tukas ibu suri langsung, "Boanpwe berjanji, mulai hari ini dan selanjutnya boanpwe akan berdoa memuji Sang Buddha, Oleh karena itu, harap suthay kembalikan lagi kitab suciku itu. "

"lnikah kitab Si Cap Ji Cin Keng" kata Pek I Ni. "Untuk apa kau memiliki kitab ini?" "Boanpwe ingin bersujud terhadap Sang Buddha," sahut ibu suri, "Karena itu, sejak 

hari ini, siang dan malam boanpwe ingin membaca doa."

"Kitab Si Cap Ji Cin Keng adalah kitab umum, dalam setiap wihara atau kuil, pasti ada. Mengapa kau justru menginginkan yang satu ini?" tanya Pek I Ni.

"Mungkin suthay belum tahu," kata ibu suri yang berkeras ingin mendapatkan kitabnya kembali "Kitab Si Cap Ji Cin Keng yang satu ini, dahulu selalu dibaca siang dan malam oleh almarhum Sri Baginda, Karena itulah boanpwe tidak dapat melupakannya, boanpwe selalu menganggap kitab itu seperti almarhum sendiri. "

"Kalau begitu sikapmu, terang kau keliru sekali." kata Pek I Ni. "Siapa yang membaca kitab ini, pikirannya harus kosong dan bersih, Tidak boleh ada kenangan apa pun yang melekat dalam hatinya, Kau membaca kitab suci dan berdo'a tapi di samping itu kau masih ingat terus pada suamimu, apa gunanya kau berdoa?"

"Terima kasih, suthay! petunjuk suthay ini berharga sekali." kata ibu suri, "Tapi boanpwe bodoh sekali, tidak mudah boanpwe menerima penjelasanku. "

Sekonyong-konyong saja sepasang mata Tiang kongcu menyorotkan sinar yang berapi-api.

"Cepat katakan!" bentaknya dengan suara keras. "Apanya yang istimewa dari kitab ini? Cepat katakan!" Hati ibu suri diam-diam jadi tercekat "Sebenarnya.,." katanya gugup, "Hal ini hanya karena kekolotan pikiranku dalam beragama. walaupun Sri Baginda almarhum telah memperlakukan aku dengan tidak selayaknya, tapi aku tetap tidak dapat melupakannya. Setiap kali memegang kitab ini, hati boanpwe tidak begitu tersiksa oleh kerinduan. "

Pek I Ni menarik napas panjang, "Kalau kau tetap kukuh dengan pendirianmu dan tidak mau sadar." katanya, "Apabila kau tetap tidak mau berterus terang, terserah kepadamu!"

Sembari berkata, Pek I Ni mengibaskan ujung lengan bajunya sehingga totokan pada tubuh ibu suri terbebaskan seketika.

"Terima kasih atas kebaikan suthay!" kata ibu suri sambil berlutut dan menyembah beberapa kali Setelah itu dia baru bangun.

"Jangan bicara tentang kebaikan hatiku!" kata Pek I Ni. "Aku tidak melakukan kebaikan apa pun terhadapmu sekarang aku ingin bertanya, Yaitu mengenai kepandaian Hoa Kut Bian Ciang yang kau miliki, bagaimana apabila kelak kau menggunakan ilmu itu untuk mencelakai orang?"

"Tentang hal itu, guruku tidak pernah memberikan keterangan yang selengkapnya" sahut ibu suri yang licik itu. "Dia hanya mengatakan ilmu itu hebat sekali dan di dalam dunia ini hanya ada beberapa orang yang dapat menahannya."

"Oh, kau tadi menyerang aku sebanyak tujuh kali," kata Pek I Ni. "Aku toh tidak melawannya, aku hanya melontarkan kembali seranganmu singkat kata, aku telah mengembalikan ilmumu sendiri sehingga kau roboh tadi. Siapa yang berbuat jahat, dia akan menerima akibatnya, Karena itu, jangan kau sesalkan apa pun juga!"

Mendengar keterangan itu, semangat ibu suri serasa terbang melayang. Dia insyaf dengan kehebatan Hoa Kut Bian Ciang, Tidak aneh kalau tadi dia roboh sendiri Tenaganya seakan tiba-tiba terkuras habis. 

Sampai-sampai dia merasa sulit walau ingin menggerakkan satu jari tangannya saja, Tidak di-sangka-sangka dia termakan serangannya sendiri ini yang dinamakan senjata makan tuan. 

Dahulu dia menggunakan pukulan itu untuk membunuh pangeran Eng, putera selir Tang Gok Hui serta dua saudara perempuan selir itu, sehingga tiga jiwa melayang ditangannya. 

Ketika itu, dia telah menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan ketiga orang itu ketika jiwanya sekarat Dia tidak menyangka bhikuni ini demikian lihay, pukulan mautnya dapat dialihkan kepada penyerangnya sendiri.

Saking takutnya, ibu suri menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pe I Ni. "Suthay, tolonglah!"

Tang Gok Hui bertiga saja tidak dapat bertahan dari satu pukuIannya, sekarang dirinya sendiri terkena tujuh pukulan sekaligus, mana mungkin dia dapat menahan penderitaannya?

Pek I Ni menarik napas panjang.

"Siapa yang berbuat jahat, dia akan menerima akibatnya." katanya, "Dalam hal ini, kau sendiri yang harus menyelamatkan dirimu, orang lain tidak berdaya apa-apa."

Ibu suri mengangguk-anggukkan kepalanya, Dia benar-benar takut sekali. "Boanpwe benar-benar mengharapkan kebaikan suthay," katanya, "Boanpwe minta 

sudilah kiranya suthay menunjukkan suatu jalan hidup untukku!"

"Kau menyembunyikan segalanya, kau tidak mau berbicara terus terang, itu akibat kesesatan dirimu sendiri." kata Tiang kongcu, "Bukankah jalan terang terbentang di hadapanmu? Mengapa kau tidak memilihnya, malah sekarang menyesali orang lain? seandainya aku memang mempunyai kemurahan hati, tentu akan kupersembahkan kepada bangsaku sendiri, orang Han. Kau adalah budak Boan Ciu, di antara kau dan aku terhalang dendam yang dalam, bagaimana aku dapat menolongmu? Sudah bagus hari ini aku tidak langsung turun tangan sendiri merampas selembar nyawamu. Dengan demikian, berarti aku telah berbuat kebaikan kepadamu."

Sembari berkata, Tiang kongcu bangun berdiri ibu suri terkejut sekali Dia mengerti keadaan yang di hadapinya, Kalau kesempatan baik ini lenyap, pasti celakalah dia. Dia bakal menderita seperti Tang Gok Hui dan yang lainnya, Dia menggigil sendiri setiap mengingat penderitaan mereka.

"Su... thay!" Akhirnya dia memanggil "A... ku bukan bangsa Tatcu.... Aku... aku. "

"Kau apa?"

"A... ku orang Han. "

Pek I Ni tertawa tawar.

"Hm. Sampai detik ini kau masih mengoceh tidak karuan, Seorang permaisuri 

bangsa Tatcu, mana mungkin bisa orang Han?"

"Boanpwe tidak sembarangan berbicara. Kaisar yang sekarang adalah putera Tong Ke si. Dan Tong Ke si itu anak perempuan dari Tong Tou, dia orang bangsa Han."

"Kalau begitu, Tong Ke si mendapat kemuliaan karena mengandalkan puteranya," kata Pek I Ni. "Dengan demikian, dia hanya seorang selir bukan permaisuri bahkan  belum pernah diangkat jadi permaisuri justru karena puteranya sudah menjadi kaisar, dia baru dianugerahkan menjadi ibu suri."

"lya, memang begitulah.,." kata ibu suri menganggukkan kepalanya.

Pek I Ni berdiam diri, kemudian dia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat itu.

"Suthay!" panggil ibu suri yang bukan main bingungnya, "Dengan sebenar-benarnya aku bukan orang Tatcu, bahkan aku benci sekali kepada mereka, sebagaimana suthay membencinya." 

"Apa sebab kebencianmu itu?" 

"Sebenarnya ini merupakan sebuah rahasia besar," kata ibu suri. "Sebenarnya juga aku tidak boleh membuka rahasia ini, tapi. "

"Kalau rahasia ini memang tidak boleh dibuka, sebaiknya kau simpan saja sendiri. "

Ibu suri tambah bingung. Karena itu, dia tidak memperdulikan apa-apa lagi. "Suthay!" panggilnya kembali "Dengan sebenar-benarnya aku bukan bangsa Tatcu, 

Bahkan aku juga bukan ibu suri yang sejati, aku hanya seorang ibu suri palsu, Ya, aku bukan ibu suri kerajaan Ceng."

Biar bagaimana, hati Pek I Ni tercengang juga mendengar pernyataan itu, Dia merasa heran sekali.

Bahkan Siau Po yang bersembunyi di belakang tempat tidur tidak kalah herannya. Dengan tindakan yang lamban sekali Pek I Ni kembali ke kursinya.

"Kau seorang ibu suri palsu? Mana mungkin? Bagaimana caranya?"

"Duduk persoalannya begini," kata ibu suri memberikan keterangannya. "Ayah dan ibuku telah dianiaya sampai mati oleh bangsa Tatcu, Karena itu aku sangat membencinya, setelah orang tuaku dibunuh, aku pun ditawan dan dipaksa menjadi dayang melayani permaisuri. Kemudian... aku. aku langsung menyaru sebagai 

permaisuri itu. "

Mendengar kata-katanya, Siau Po semakin heran.

-- Nenek sihir ini benar-benar berani berbohong, - pikirnya dalam hati, Bagaimana 

dia bisa mengucapkan kata-kata seperti itu? -

Wanita yang mengaku dirinya sebagai ibu suri palsu segera melanjutkan keterangannya. "lbu suri yang asli memang orang Boan Ciu." katanya, "Shenya Po erl Chiteh dan dia puteri pangeran Koerltsin, Ayahku sendiri she Mo dan bernama Bun Liong, Dia seorang panglima besar dari kerajaan Beng. "

Pek I Ni tercengang mendengar kata-katanya.

"Kau puteri Mo Bun Liong?" tanyanya menegaskan "Kau maksudkan Mo Bun Liong yang dulu memangku jabatan tinggi dan berkuasa di pulau Pi to?"

"Benar." sahut ibu suri sambil menganggukkan kepalanya. "Sepanjang tahun ayahku menempur bangsa Tatcu, kemudian akhirnya dia malah dihukum mati. Padahal ayahku itu menjadi korban musuh yang menggunakan tipu daya mengadu domba perwira- perwira kerajaan Beng."

"Oh, ini merupakan sebuah berita baru dan aneh." kata si bhikuni heran. "Yang aneh justru kau. Bagaimana kau bisa menyamar sebagai permaisuri? Mengapa dalam sekian tahun rahasia itu tidak pernah terbongkar?"

"Cukup lama aku melayani permaisuri "sahut ibu suri palsu" selama itu aku selalu mendengarkan suara dan memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama, Aku juga mempelajari semua kebiasaannya. Bahkan wajahku ini adalah wajah palsu."

Sembari berkata, ibu suri palsu itu menghampiri meja rias. Dia merendam sapu tangannya dengan air kemudian diusapkannya ke muka, Dalam sekejap mata, terkelupaslah dua potong kulit wajahnya, Dengan demikian, terlihatlah selembar wajah yang lain. 

Wajah yang tadinya montok dan gemuk berubah menjadi kurus panjang dengan potongan kuaci, malah matanya agak mendelong.

"Oh!" seru Tiang kongcu saking heran dan terkejutnya, "Benar-benar wajahmu jadi berubah dan berlainan sekali "Dia berdiam sejenak kemudian baru melanjutkan kembali "Tidak mudah bagimu melakukan penyamaran ini. Apakah dayang atau pelayanmu tidak ada yang curiga dengan kepalsuanmu ini? Mungkinkah suamimu sendiri tidak mengetahuinya?"

"Suamiku?" kata ibu suri palsu itu. "Hmm! Raja almarhum itu hanya menyayangi Tang Gok Hui, selirnya yang genit itu. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah bermalam di kamar ini. permaisuri yang asli saja dia tidak pernah melirik barang sedikit pun, Apalagi yang palsu." 

Nada suara ibu suri palsu itu menyiratkan kegetiran hidup dan kepahitan serta penderitaan yang dalam. Kemudian terdengar dia menambahkan lagi.

"Jangan kata aku telah menyamar dengan demikian sempurna, meskipun hanya sedikit kemiripan saja, mana mungkin dia mengetahuinya?" Pek I Ni berdiam diri, Tampaknya dia percaya dengan keterangan ibu suri palsu itu. "Lalu, apakah tidak ada seorang dayang atau pelayan pun yang mengetahui 

kepalsuanmu ini?" tanyanya kembali.

"Begitu aku berhasil mengekang ibu suri, aku segera mengganti semua pelayan dan dayang yang melayani permaisuri asIi, Aku juga jarang keluar di siang hari, Kalau toh aku terpaksa ke luar juga, dalam istana ini ada sebuah peraturan yang menguntungkan aku, yakni para dayang, pelayan atau thay-kam dilarang melihat wajah junjungannya, Ada kemungkinan mereka memperhatikan dari jauh, tapi mana mungkin mereka mengetahui penyamaranku ini?"

Pek I Ni terdiam kembali, tetapi tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam benaknya. "Pengakuanmu itu tidak tepat." katanya nyaring, "Kau mengatakan bahwa raja tua 

tidak memperdulikan dirimu, tapi bukankah kau mempunyai seorang puteri 

dengannya?"

"Puteri itu bukan puteri asli si raja tua." sahut pula si ibu suri palsu, "Di dalam istana ada seorang laki-laki bangsa Han yang biasa menyamar sebagai dayang dan senantiasa mendampingi aku, puteri Kian Leng kongcu adalah anak gadisnya, Sayang sekali belum lama ini tidak beruntung laki-laki itu telah menutup mata. "

To Hong Eng mencekal tangan Siau Po keras-keras ketika mendengar keterangan ibu suri. Demikian pula si anak muda, mereka sama-sama berpikir keras, memang ada seorang laki-laki yang menyamar sebagai dayang tapi dia bukan mati sakit

Siau Po pun berpikir lebih jauh.

-- pantas tuan puteri demikian centil dan berandalan. Rupanya dia anak campuran si ibu suri palsu dengan dayang palsu, Raja tua demikian welas asih dan sabar, bagaimana mungkin menurunkan seorang puteri semacam dia? -

Sementara itu, Tiang kongcu pun berpikir

-- Kau hamil dan melahirkan seorang puteri sedangkan si raja tua tidak biasa bermalam di kamarmu, mana mungkin kecurigaannya tidak timbul? -

Meskipun berpikir demikian, dia tidak berani menanyakannya, Dia sendiri seorang gadis suci yang belum pernah menikah, Tapi dia juga berpikir lebih jauh, Karena dia 

permaisuri palsu, begitu mengetahui dirinya hamil, tentu dia mencari jalan agar rahasianya ini jangan sampai terbuka. Dalam hal ini, lebih baik aku selidiki secara keseluruhannya -

Karena itu, dia menggelengkan kepalanya sambil berkata pula. "Kata-katamu itu tidak benar semuanya." "Tapi, cianpwe!" ibu suri menjadi bingung dan khawatir "Bukankah boanpwe telah membuka semua rahasia yang memalukan ini? Mana mungkin boanpwe masih menyimpan rahasia lainnya?"

"Kalau ceritamu benar," kata Pek I Ni. "Berarti permaisuri yang asli telah kau bunuh, Oh, sungguh tanganmu itu penuh dengan noda darah!"

"Boanpwe penganut agama Buddha, setiap hari boanpwe membaca doa dan bersembahyang. Meski-pun boanpwe benci sekali terhadap bangsa Tatcu, tapi boanpwe tidak berani sembarangan melakukan pembunuhan permaisuri yang asli sampai sekarang masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja."

Keterangannya itu membuat hati Tiang kongcu dan dua orang lainnya yang bersembunyi di belakang tempat tidur menjadi terkejut setengah mati, Hal ini benar- benar di luar dugaan mereka.

"Jadi permaisuri itu masih hidup?" tanya Pek I Ni menegaskan. "Di mana dia sekarang? Kalau dia masih hidup, apakah kau tidak khawatir ia akan membongkar rahasiamu ini?"

Ibu suri menggelengkan kepalanya, Dia langsung merogoh sebuah anak kunci yang terbuat dari emas dari dalam sakunya, Kemudian dia berjalan ke samping tempat tidur, Di situ terdapat sebuah Iemari besi. 

Dengan anak kunci itu, dia membuka lemari tersebut Begitu kedua pintunya terpentang lebar, Tiang kongcu langsung mengeluarkan seruan tertahan.

Tampak di dalam lemari terdapat seorang wanita yang sedang rebah tidak berkutik dan tubuhnya ditutupi dengan sehelai selimut yang indah.

"Diakah permaisuri yang asli?" tanyanya sambil menunjuk kepada wanita itu. "Silahkan cianpwe lihat sendiri!" kata ibu suri sambil mengambil sebuah tempat lilin 

yang dalam keadaan menyala dan dibawanya ke dekat wanita itu untuk menerangi 

bagian wajahnya.

Pek I Ni memperhatikan dengan seksama, Dia melihat wajah wanita itu pucat pasi seakan tidak mengandung darah setetes pun. Tapi tampangnya memang persis dengan ibu suri palsu ketika penyamarannya belum dibuka.

Mendengar suara pintu lemari dibuka, wanita itu membuka matanya perlahan-lahan dan dia langsung memejamkannya kembali

"Aku tidak sudi bicara, Lekaslah kau bunuh aku!" ujarnya lirih.

"Aku tidak pernah membunuh orang." kata ibu suri. "Mana mungkin aku membunuhmu?" Dengan perlahan, ibu suri palsu itu menutup kembali pintu lemarinya.

"Bukankah kau telah mengurungnya selama belasan tahun?" tanya Tiang kongcu. "Benar."

"Tadi dia mengatakan bahwa dia tidak sudi berbicara, dalam hal apakah kau memaksanya? Apakah karena dia tidak mau berbicara maka kau mengurungnya demikian lama? Andaikata dia tetap tidak mau berbicara, bukankah akhirnya kau akan membunuhnya juga? Kau akan membunuhnya, bukan?"

Ibu suri menggelengkan kepalanya.

"Tidak... tidak," sahutnya, "Boanpwe mengetahui dengan baik sekali bahwa pantangan utama dalam agama Buddha adalah membunuh Boanpwe juga pantang makanan berjiwa, boanpwe tentu tidak akan membunuhnya."

"Hm!" Pek I Ni memperdengarkan suaranya yang dingin. "Apakah kau menganggap aku seperti bocah berusia tiga tahun? Apakah kau pikir aku tidak dapat membaca jalan pikiranmu? Kau mengurung dia, itu berarti karena setiap saat ada ancaman bahaya bagimu bukan? Dan pada saat itu kau bisa menggunakannya sebagai barang jaminan, bukan? Kau belum membunuhnya, hal ini pasti karena kau masih mempunyai rencana yang lain. Apa itu? Bukankah berbahaya sekali apabila dia berkaok-kaok dalam lemari?"

"Dia tidak berani berteriak Aku telah memberitahukan kepadanya, kalau dia bersuara sedikit saja, pertama-tama aku akan membunuh si raja tua, kemudian aku juga akan membunuh raja yang masih kecil itu. Wanita ini sangat menghormati si raja tua dan sayang kepada si raja muda. Tidak mungkin dia membiarkan boanpwe mencelakai mereka."

"Sebenarnya, urusan apa yang kau tanyakan kepadanya?" tanya Tiang kongcu kembali, "Urusan apa yang kau minta dia mengatakannya? Karena dia tidak membuka mulut sampai sekarang, mengapa kau tidak membuktikan kata-katamu dengan membunuh raja?"

"Hal ini karena dia mengatakan, apabila aku membunuh kedua raja itu, maka dia akan membunuh diri." sahut ibu suri. "Dia mengancam tidak mau makan, Karena itu, di antara kami berdua, saling takut satu dengan yang lainnya, Dia telah berjanji tidak akan membunuh diri, apabila aku juga tidak membunuh raja."

Apa yang dikatakan ibu suri palsu itu memang benar Dia belum membinasakan ibu suri yang asli itu, karena masih ada rahasia yang ingin ia korek dari mulutnya. 

Kalau tidak, permaisuri itu pasti sudah dibunuhnya sejak dulu, Tentu mudah saja baginya melenyapkan bukti, setelah membunuh dia dapat membakarnya sampai musnah. "Aku telah bertanya kepadamu, tapi kau masih tidak mau mengatakannya juga," kata Tiang kongcu pula. "Sebenarnya urusan apa yang hendak kau korek?"

"Baik,baik." sahut ibu suri, itulah rahasia yang menyangkut keruntuhannya kerajaan Boan Ciu. pada mulanya, bangsa Boan Ciu berdiri di daerah Liau Tong. Kalau akhirnya dia berhasil menyerang dan menduduki kerajaan Beng kita yang Maha Agung, hal ini karena mereka mengandalkan urat naganya yang berada di daerah makmur itu."

Tiang kongcu hanya berdiam diri dan mendengarkan dengan seksama. Ibu suri palsu itu melanjutkan kembali keterangannya.

"Sebegitu jauh yang boanpwe ketahui, di Liau Tong, yakni Gunung Tiang Pek San terdapat uratnya dari keluarga Aishin Goro, yaitu keluarga asli dari keturunan raja-raja Boan Ciu, Katanya, asal urat naga itu diputuskan atau dipisahkan dari kepala dengan ekornya, maka bukan saja bangsa Han kita dapat membangun kembali kerajaan Beng, sebaliknya bangsa Boan Ciu sendiri akan runtuh habis-habisan sampai dipusatkan di Kwan Tong."

Pek I Ni mengangguk Keterangan itu sama dengan keterangan yang diberikan oleh To Hong Eng.

"Di mana letaknya urat naga itu?" tanyanya kemudian.

Yang dinamakan urat naga sebetulnya ialah garis-garis atau batas-batas letaknya kedudukan tanah yang makmur dalam suatu wilayah atau daerah.

"Nah, itulah yang dinamakan rahasia besar." sahut ibu suri, "Si kaisar tua mengetahui hal itu. Ketika kaisar tua hendak menutup mata, kaisar cilik masih belum mengerti apa- apa. Karena itu, rahasia tersebut hanya diberitahukan kepada permaisurinya. 

Menurutnya, permaisuri harus menunggu sampai si raja cilik agak dewasa, rahasia itu baru boleh disampaikan kepadanya, Ketika kaisar tua berbicara dengan permaisurinya, boanpwe masih menjadi dayang, Dengan demikian boanpwe berhasil mendengar pembicaraan mereka. 

Tapi sayangnya apa yang boanpwe dengar tidak lengkap, Karena itu, tidak ada jalan lain bagi boanpwe untuk melakukan penyelidikan lebih jauh. Boanpwe terpaksa menempuh jalan seperti sekarang ini, supaya kelak dikemudian hari boanpwe bisa mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan untuk pergi ke gunung Tiang Pek San dan memutuskan urat naga bangsa Boan Ciu, Dengan demikian pula, kerajaan Beng kita baru bisa dibangun kembali."

Pek I Ni berdiam untuk berpikir

"Soal urat naga, sebetulnya merupakan masalah yang menyangkut Hong Sui suatu tempat." katanya, "ltu juga merupakan urusan yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya,  Apa yang aku tahu, runtuhnya kerajaan Beng disebabkan oleh pemerintahannya yang kurang tepat. 

Terutama rakyatnya yang terlalu ditekan sehingga timbul keinginan untuk memberontak Aku mengetahui hal ini setelah bertahun-tahun aku merantau dan banyak bergaul dengan rakyat jelata."

"Meskipun demikian, ada baiknya suthay menaruh sedikit perhatian," sahut ibu suri. "Menurut boanpwe, urusan membangun kembali kerajaan Beng kita, soal Hong Sui itu sebaiknya dipercaya daripada tidak. seandainya kita membongkar urat naga itu dan tidak membuahkan hasil, berarti kita hanya kehilangan waktu dan tenaga, Kita tidak menderita kerugian apa-apa. sebaliknya kalau kita berhasil, kita bisa menumpas kerajaan musuh sekaligus membangun kembali kerajaan kita, Singkatnya, kita bisa menolong rakyat kita dari penderitaan yang berkepanjangan ini."

Pek I Ni menganggukkan kepalanya, Dia tertarik juga mendengar alasan ibu suri palsu itu.

"Kau benar juga," katanya, "Masalahnya sekarang hanya kepercayaan. Memang, andaikata kita gagal, kita tidak menderita kerugian apa-apa. Tapi, kalau kita tidak berhasil dan kegagalan kita tersiar luas, pasti kepercayaan rakyat kita akan goyah, demikian pula kepercayaan bangsa Boan Ciu. 

Bukankah mereka percaya sekali dengan urusan urat nadi naga ini? Hal ini justru menguntungkan pihak kita, Apakah kau memaksa ibu suri yang asli mengatakan di mana letaknya urat nadi tersebut?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar