Kaki Tiga Menjangan Jilid 46

Jilid 46

Mendengar ucapan itu Kiong Lian tertawa.

"Ya, itulah yang dinamakan merampok, selagi ada kebakaran kita mengambil kitab itu." katanya.

Siau Po terkejut lalu berkata dalam hati.

"Ya, mereka menyangka aku dikirim ke mari ada maksud tertentu yaitu untuk mendapatkan kitab ilmu silat itu dan bukankah raja sangat menyukai ilmu silat?" katanya dalam hati.

"Jangan khawatir dalam hal itu aku sudah berhasil katanya sambil tertawa. "Dasar rejeki besar Baginda raja, kau memang sangat cerdik dan kau sudah 

membangun jasa." jawabnya.

"Apakah kau hendak menyerahkan pada raja, dan jika kau dicurigai kau dapat mengijinkan mereka menggeledah kau." jawabnya.

Siau Po tertawa lagi.

"Sejauh itu tak usah, kau cukup memberikan laporan pada raja jika suratnya telah sampai ketanganku, dan aku berjanji akan bekerja dengan sebaik-baiknya." jawab Siau Po.

"Kiranya kau telah membaca kitab itu, itu sangat baik karena dengan demikian kau dapat mengingat-ingat isi kitab silat Siau Lim Sie yang sangat terkenal itu." kata seorang Sie To. "Memang itu yang terbaik, ada buku atau tidak itu tidak mengapa yang penting kau sudah dapat menghafal isi kitab itu, dan memahami isinya." kata Kiong Lian.

Dalam hati Siau Po berkata.

"Mereka telah menyangka bahwa aku telah berhasil mendapatkan kitab itu." katanya. Setelah berbicara kedua orang itu pun berpamitan.

Tiba-tiba Siau Po ingat rombongan pangeran itu lalu bertanya pada utusan itu.

“Tuan-tuan apakah Tuan mengetahui rombongan siapakah yang tadi ke mari?" tanyanya.

Kiong Lian berdua menggelengkan kepala. “Tidak!" sahutnya.

"Jika demikian kau harus mencari tahu, sebab ia datang ke mari sangat mencurigakan. Atau mereka akan mencuri kitab ilmu silat Siau Lim Sie terutama si Cong Peng, dia bekerja untuk siapa dan siapa pemimpinnya. Mengapa ia mau merusak usaha Baginda? perbuatan mereka itu adalah perbuatan durhaka dan pengkhianat. Jika kalian dapat mengetahuinya kalian akan berjasa besar pada raja!" kata Siau Po.

"lni sangatlah mudah, mereka pergi belum lama dengan demikian kami dapat mengejarnya dan Cong Peng itu telah aku ketahui nama mereka dan itu pekerjaan yang sangat mudah!" jawab mereka.

Siau Po tahu Cong Peng itu bawahan Gou Sam Kui tetapi ia tak mau mengatakannya karena dengan demikian itu namanya memfitnah, dengan demikian Siau Po telah membangun jasa pada raja.

"Dalam rombongan itu ada seorang nona yang menyamar sebagai seorang laki-laki." kata Siau Po menerangkan pada mereka yang secara langsung itu perintah panglima.

"Dia bersama rombongannya sedang mencari salah seorang nona yang cantik yang umurnya kurang lebih enam belas tahun Mereka berdua sangat erat sekali dengan rombongan Dan kalian juga harus mengetahui nama nona itu dan asal-usulnya dan kau segera menulis surat padaku!" perintah Siau Po pada mereka.

Mereka berdua lalu berjanji untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan untuk tugas penyelidikan itu tugas mudah bagi mereka.

Setelah mereka pergi Siau Po lalu memberitahukan pada ketua pendeta bahwa ia akan pergi besok ke Ceng Liang Sie.

Hui Cong Sian Su mengatakan setuju bahkan itu lebih baik. "Kau cerdas Sute, kau pasti akan dapat memajukan kuil itu sangat disayangkan kita bersama hanya sampai di sini, Berapa orang yang akan kau ajak pergi ke sana?" tanya Hui Cong.

"Yang paling penting ialah Teng Koan. Juga delapan belas dari anggota Lohan Tong dan yang lainnya hanya pelengkap jumlah seluruhnya adalah tiga puluh empat orang!" kata Siau Po menjelaskan

Hui Cong tak berkata apa-apa ia lalu memerintahkan pada pengawalnya untuk mengumpulkan orang-orang yang dimaksud dan menerangkannya akan tugas ke Ngo Tay san di kuil Ceng Liang Sie.

Demikianlah keesokan paginya mereka sudah siap dengan peralatan mereka dan tak lupa sebelum berangkat Siau Po menemui Song Ji.

Sudah kira-kira setengah tahun Siau Po dan Song Ji tidak bertemu dan pertemuan itu membuat Song Ji sangat terharu, ia lalu menangis, ia tahu kalau Siau Po menjadi biksu dari Kong Lian ia sangat sedih dan kali ini Siau Po datang dengan kepala botak.

"Song Ji, janganlah kau menangisi Apakah yang kau tangisi? Apakah kau menangisi karena aku tak pernah menengokmu!" tanyanya.

"Bu. Bukan itu Siangkong. Namun kau telah mensucikan diri!" katanya.

"Oh, anak tolol Siangkongmu ini menjadi pendeta hanya pendeta palsu!" kata Siau Po sambil memegang tangan si nona dan lalu dicium.

Song Ji percaya, dan itu yang membuatnya menjadi girang tetapi ia menjadi maIu.

Siau Po menatap wajah nona itu yang sekarang menjadi kurus dan lemah hal itu menjadikan ia terlihat jangkung.

"Kenapa kau jadi kurus apakah setiap hari kau hanya memikirkan aku saja?" tanyanya.

Nona itu menjadi merah mukanya dan ia tertunduk.

"Sudah, sekarang kau ganti pakaian, dan menyamar menjadi pria. Kau turut denganku!" kata Siau Po.

Kembali Song Ji menjadi girang, Tanpa berkata apa pun ia lalu masuk ke kamarnya dan berganti pakaian, Tak berapa lama kemudian ia ke luar dengan pakaian pesuruh pelajar.

Selesai berganti pakaian ia lalu mendekati Siau Po dan mengajaknya untuk pergi. Perjalanan ke Ngo Tay san tidak mendapatkan halangan Setelah mereka tiba di kaki gunung itu, baru saja mereka ingin mendaki tiba-tiba dari atas gunung sudah berlari beberapa biksu lalu menanyakan apakah mereka dari Siau Lim Sie.

Siau Po mengangguk dan membenarkan pertanyaan itu. "Jikalau demikian siansu tentu Hui Beng Siansu?" tanyanya. Siau Po lalu menganggukkan kepala.

Lantas mereka berlutut dan memberi hormat seraya berkata.

"Siansu datang untuk mengepalai kuil ini dan sebenarnya kami telah menanti sejak beberapa hari yang lalu." katanya.

Biksu itu benar, raja terlebih dahulu telah mengirim surat ke kuil itu akan kedatangannya seorang kepala pendeta, tentang diangkatnya Hui Beng baru untuk kuil itu. Hoat Seng dipesan akan menyerahkan kedudukannya itu jika pendeta ketua yang baru telah tiba, maka untuk itu ia memerintahkan anak buahnya untuk menanti ketua yang dijanjikan raja untuk kuil itu.

Sesampainya di atas gunung Siau Po disambut oleh Hoat Seng dan ia lalu menyerahkan kedudukannya itu pada Siau Po, Semua pendeta dan juga undangan hadir pada acara penyerahan jabatan itu, hanya ada tiga pendeta yang tak dapat hadir tetapi mereka itu sudah mengirim surat yang isinya mengatakan bahwa mereka tidak hadir karena mereka sedang menyendiri.

Para biksu Ceng Liam Sie sudah mengenal Siau Po dan Song Ji mereka mengenal Siau Po dan juga Song Ji sewaktu mereka sedang mendapat serangan dari musuh dan Siau Po juga Song Jie yang membantu mengusir orang-orang itu. 

Mereka menjadi heran karena mereka telah mengetahui budi biksu cilik itu dan juga Song Jie yang sekarang menjadi kepala biksu mereka.

Song Ji seorang wanita, walaupun mereka masih kecil ia tak baik berada di dalam kuil itu.

Siau Po mendapat akal untuk menghindari kecanggungan dari para biksu itu, ia mencukur botak kepala Song Ji dan si wanita itu menurut saja, tugasnya sebagai pembantu bagian dalam.

Setelah ia menjadi ketua dan mulai menjalankan segala tugasnya, ia lalu ingat akan perintah raja yang memintanya untuk merawat sang ayah, Lalu menanyakan pada pengawalnya tentang ayah raja yang sekarang telah menjadi biksu, ia mendapat jawaban bahwa sang ayah itu tidak berada di kuil melainkan di sebuah gunung, beliau tinggal sendiri. Lalu Siau Po juga mengatakan memerintah para biksu untuk membangun bangunan gubuk-gubuk di sekitar tempat ayah raja itu dan masing-masing gubuk dihuni oleh enam orang biksu.

Jika malam telah tiba Siau Po ingat pada nona yang memakai baju hijau, ia lalu meminta pada Teng Koan untuk mengajari ilmu silat dan Siau Po selalu memuji kepandaiannya.

Siau Po lalu menyerap semua ilmunya, Karena dirinya cerdas maka dengan waktu singkat ia dapat menguasai ilmu itu.

Siau Po sekarang sedang menunggu kabar dari utusannya yang ditugaskan untuk mengetahui nama dan asal usul nona-nona itu, ia sangat khawatir sekali.

"Aku telah makan obat Tok Liong Ie Kin Wan dari kaucu, maka bila aku tak memberikan kitab itu padanya dalam waktu satu tahun racun itu akan bekerja dan itu sangat berbahaya, kalau tidak salah waktunya tinggal dua bulan lagi." katanya dalam hati.

Siau Po lalu berjalan-jalan di sekitar Gunung Ngo Tay san sepulangnya dari berjalan- jalan ia dikagetkan oleh hadirnya beberapa biksu dengan menggunakan pakaian resmi dan memegang senjata.

"Berapa jumlah mereka?" tanya Siau Po. "Empat ribu delapan puluh dua Ihama!" jawab Teng Koan.

"Apa yang hendak mereka lakukan?" tanyanya lagi. "Hamba tidak mengetahuinya," jawabnya pula. "Mungkinkah mereka akan menyerang kita?" tanyanya.

"Mungkin juga, tetapi nampaknya mereka tak mungkin menyerang kita sekarang ini. Sebab mereka penganut Sang Buddha. Tak mungkin mereka menyerang kita pada saat siang hari. Sebab Sang buddha sangat mencintai kedamaian.-." jawab Teng Koan.

"Jikalau demikian, kita harus memberitahukan pada para biksu yang berada di gubuk-gubuk itu. Cepat!" perintah Siau Po.

"Sebaiknya aku meminta bantuan pada raja!" pikirnya.

"Namun aku khawatir yang dari jauh akan bertindak sia-sia!" jawab Teng Koan. "Jikalau demikian, mari kita melindungi Heng Tie Taysu menyerbu keluar!" kata Siau 

Po. "Ya, nampaknya hanya ada satu jalan, kami tiga puluh tujuh murid Siau Lim Sie mana mungkin dapat menyerang orang sebanyak itu. sebaiknya untuk menerobos lolos itu sangatlah mudah..." katanya.

"Sebaiknya kita harus dapat menyelamatkan Heng Tie Taysu serta Giok Lin Taysu walau dengan jalan apapun!" kata Siau Po.

Setelah berkata demikian Siau Po pergi ke kamarnya untuk mencari jalan yang terbaik guna menyelamatkan kuil ini dan juga guru besar mereka, Sambil berpikir Siau Po akhirnya tertidur.

Belum seberapa lama kemudian Siau Po dibangunkan oleh anak buahnya yang melaporkan keadaan di luar kuil itu.

Siau Po lalu berpikir keras, dan ia memutuskan untuk menemui guru besar tersebut satu persatu guna menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya agar mereka mau ikut meloloskan diri.

Sesampainya mereka di tempat Giok Lim, Siau Po mengalami kekecewaan Biksu tersebut beranggapan dingin atas usul Siau Po untuk meloloskan diri.

Siau Po menjadi bingung, cara apa yang harus ditempuh guna mencari jalan yang terbaik.

Sedang berpikir demikian tiba-tiba terdengar suara langkah yang sedang terburu- buru, lalu muncullah Teng Koan dari Siau Lim Sie yang terus memberikan laporannya.

"Harap Susiok ketahui, tadi para Ihama mulai mencari lagi kira-kira seratus tombak!" katanya,

"Mengapa mereka datang secara bertahap? Apakah mereka itu telah terpengaruh Buddha kita, Merasa menyesal dan sadar bahwa berpaling ke belakang berarti melihat gili-gili tempat mendarat!" kata Siau Po.

"Bukan.,.! Bukan demikian. Mereka sedang menanti datangnya sang malam hingga mereka akan menyerang kita!" kata Heng Tian.

Heng Tian adalah salah seorang perwira dan ia juga salah seorang pengawal raja yang sudah sering kali menghadapi peperangan. Oleh karenanya ia sekarang berpangkat perwira, ia juga seorang ahli dalam peperangan.

"Baiklah, kita menunggu saja mereka sampai memasuki pendopo dan menyaksikan Sang Buddha yang bersifat pengasih itu. Mudah-mudahan mereka menjadi sadar,.," 

kata Siau Po.

"Oh, Heng Tian yang muda, bagaimana kau bicara begini rupa? itu tak mungkin bukan?" kata Heng Tian. Giok Lim diam saja sewaktu mereka melihat Siau Po dan Heng Tian berbicara dengan emosi masing-masing.

"Heng Tian, mengapa kau berpikir seperti itu? Dia benar dan ia telah mendapatkan keyakinan Buat apa kau berpikir terlalu keras!" kata Giok Lim.

Heng Tian terdiam.

"Oh, kiranya kau telah mendapatkan jalannya!" katanya.

"Sama sekali aku tak mempunyai daya yang sempurna, aku cuma berpikir jika kita melarikan diri, inilah saatnya...!" kata Siau Po.

Heng Tian dan Teng Sim mengangguk tanda setuju.

"Jika demikian, cepatlah kalian berkemas dan kita berangkat sebelum mereka datang ke mari! Kita harus menyerbu turun guna meloloskan diri, kita menyingkir ke kota Hu Peng, Aku percaya walaupun Ihama itu berani tapi tak mungkin mereka berani menyerang kota Hu Peng!" berkata pula Siau Po.

Mereka lalu secara bersama menjawab setuju.

Baru saja mereka akan meninggalkan tempat itu Heng Tian berkata.

"Aku orang yang berjubah apes! Dahulu sudah banyak korban gara-gara aku dan kali ini aku dibilang celaka, Biarlah nanti aku akan menunggu tibanya orang-orang itu dan aku akan membakar diriku dihadapan mereka agar mereka merasa puas, bukankah yang mereka cari adalah aku agar mereka dapat melakukan sesuatu dengan kepuasan!" kata Heng Tie yang sudah pasrah itu.

"Tidak. Tidak suheng, lebih baik aku yang menggantikan suheng untuk membakar 

diri!" teriak Heng Tian.

Heng Tie tersenyum ternyata dia benar-benar berani

"Kau hendak menggantikan aku untuk membakar diri, sedangkan yang mereka cari adalah aku. itu sangat percuma!" kata Heng Tie.

Kembali semua terdiam.

"Heng Tie taysu sudah sadar, benar kata Sang Buddha kalau bukan kita yang masuk neraka lalu siapa. ?" kata Giok Lim.

"Ah biksu busuk! Kau mengatakan itulah kesadaran tetapi aku sebaliknya! itu bukan arti yang tulen, itu palsu!" Siau Po mencaci dalam hati. "Kalian tunggu saja nanti bila Ihama itu datang, aku dan dia akan bersama-sama membakar diri dan kalian janganlah mencegahnya.,.!" kata Giok Lim.

Siau Po dan lainnya saling memandang. Heng Tie pun berkata.

"Dahulu karena aku, rakyat jadi menderita, Banyak mereka yang tewas. Jika sekarang aku mati dengan seribu kali takkan mungkin aku dapat menebus dosa-dosaku yang telah lalu aku sudah terlalu banyak dosa dan untuk itu jika aku nanti membakar diriku itu hanya salah satu cara untuk menebus dosaku. 

Untuk itu aku minta kalian supaya mendukung aku, Jika saat ini aku mempunyai kesalahan, maafkan aku, Aku tak ingin saat ini timbul lagi korban, Aku berharap kalian dapat memahaminya..!" katanya.

Selesai berkata ia lalu memberikan hormat pada Siau Po dan yang lainnya karena mereka telah berani membelanya.

Melihat kenyataan itu Siau Po dan kawannya masing-masing kembali ke kamarnya.

Sesampainya di kamar Siau Po memanggil beberapa anak buahnya untuk memberitahukan tentang keputusan Heng Tie.

"Mereka bertiga hendak membakar diri, jika mungkin marilah kita mencegahnya dengan kekerasan dan melindunginya!" kata Siau Po.

"Bukankah kalian akan menyelamatkan mereka bertiga? Jawab, ya atau tidak.,.?" tanya Siau Po.

"Benar!" jawab mereka secara serempak.

"Jikalau demikian itulah yang sangat sulit!" kata Siau Po.

"Sekarang kalian dengar perkataanku Kalian pergi menerobos dari sebelah timur, dengan lagak ingin meloloskan diri turun dari gunung. Lalu bersamaan dengan itu kalian turun dan balik lagi, tetapi kalian harus membawa beberapa orang Ihama ke mari!" kata Siau Po sambil mengatur siasat.

Mendengar itu Teng Sim berkata.

"Apakah maksud tuan untuk membuat sandera agar mereka itu tak dapat langsung menyerang? Kalau memang demikian kita harus mencari sandera orang yang berpangkat!" katanya. "Mungkin sukar untuk membekuk Ihama tingkat tinggi, dan itu dapat menimbulkan banyak jatuh korban, Aku pikir lebih baik kita menangkap Ihama dari golongan rendah saja..!" ujar Siau Po.

Para biksu itu tak mengerti maksud Siau Po, tetapi karena itu perintah maka mereka lalu pergi melakukan tugasnya.

Tak lama terdengar suara ribut-ribut, Siau Po naik ke atap di sana ia menyaksikan muridnya yang sedang menjalankan perintah Terlihat kelebatan sinar pedang.

Biksu-biksu yang diperintahkan Siau Po adalah orang-orang pilihan, tapi Ihama itu bukanlah lawan mereka dan setelah mereka mendapatkan bantuan dari atas Siau Po berteriak.

"Musuh terlalu tangguh, sebaiknya kalian mundur.-.!" katanya.

Teriakan Siau Po menggunakan tenaga dalam yang cukup sempurna maka suara itu berkumandang ke segala arah.

"Bagaimana sekarang!" tanya Teng Koan.

"Kita cepat kembali dan kita bekuk beberapa orang itu.,.!" kata Teng Sim yang lalu menarik musuh.

Kata-kata itu dilakukan dengan menyambar para Ihama yang tak berdaya, Ada yang dipanggul dan ada pula yang digendong. Teng Sim dan Teng Koan berlari di belakang, hingga mereka dapat mencegah orang yang akan mengejarnya.

Dengan tertawa girang Siau Po menyambut kedatangannya di depan pintu yang selanjutnya mereka dibawa ke dalam wihara untuk selanjutnya akan ditanya, jumlah mereka yang berhasil ditawan ada empat puluh tujuh orang.

Telanjangi mereka lalu totok jalan darahnya dan masukkan mereka ke dalam gudang kayu belakang.,.!" perintah Siau Po.

Para biksu heran tetapi mereka melakukan juga perintah itu. para Ihama yang terkurung itu sudah telanjang bulat dan tak dapat bergerak.

"Selesai melakukan tugasnya masing-masing, biksu berkumpul untuk mendengarkan kata-kata dari ketua mereka itu lalu Siau Po berkata.

"Para keponakan muridku, di dunia ini tak ada yang sempurna, Kalian para biksu sama dengan para lhama, Untuk itu sekarang buka jubah kalian dan pakailah pakaian para Ihama itu!"

Para Ihama itu menjadi terbengong. "Song Ji ke mari, lekas kau bantu aku untuk memakai pakaian sebagai mana Ihama cilik!" katanya.

"Kau juga harus menyamar sebagai Ihama cilik!" kata Siau Po pada Song Ji. Si nona cilik yang mendengarkan perintah itu menurut.

"Susiok apakah arti kita menggunakan pakaian lhama ini!" tanya Siau Po.

"Mungkin kita akan mengatakan takluk pada pihak musuh atau apakah kita akan mengganti agama kuning!" tanya Teng Koan.

"Bukan, kita sekarang menyamar sebagai seorang lhama dan nanti kita menyerbu ke kuil di gunung itu. Kita bekuk dan kita totok sedapat mungkin Giok Lim, Heng Tje, dan Heng Tian lalu kita bawa mereka dan kita ganti pakaian mereka dengan pakaian lhama ini.

Mendengar keterangan itu mereka semua tertawa, mereka telah mengetahui maksud dari taktik Siau Po.

"Bagus!" kata Siau Po. "Jika kalian telah mengetahuinya, kita bergerak saat orang- orang itu menyerang ke mari. Dengan demikian mereka tak mengetahui mana yang asli dan mana yang tidak.,.!" katanya.

"Dengan begitu kita tak usah melakukan pembunuhan!" kata Teng Sim penuh semangat.

Hampir tengah malam Siau Po dan kawan-kawannya pergi ke tempat ketiga guru besarnya itu. Sengaja ia memancing keributan hingga ketiga biksu itu tak sempat berkata lalu para lhama palsu itu sudah menyerbu masuk ke dalam, Langsung ketiga biksu itu ditotok dan diganti pakaiannya dengan pakaian lhama itu.

Setelah itu Siau Po memerintahkan pada Song Ji untuk membakar tempat itu yang secara kebetulan telah disiapkan kayu dan jerami untuk membunuh ketiga biksu itu.

Belum beberapa jauh mereka berjalan, terlihat sudah api yang melalap kuil itu sudah nyala berkobar.

Mereka berlari tanpa ada halangan, hal itu karena mereka menggunakan pakaian lhama itu.

"Kuil itu sudah terbakar habis dengan demikian mereka tak mungkin dapat menemukan ketiga orang ini. Lalu dengan begitu mereka tak mungkin dapat mencari kita!" kata Song Ji.

"Kau benar, Sute!" kata Teng Koan. Sesampainya di situ Siau Po meminta totokan tersebut agar dibebaskan, mereka lalu meminta maaf karena telah berbuat kurang ajar.

Semenjak ditotok mereka melihat dan mendengar Mereka mengetahuinya kalau ini perbuatan para biksu, yang berusaha menolongnya, Dan setelah membebaskan totokan Heng Tian berkata dengan suara nyaring tetapi berwibawa.

"Bagus... bagus, akal kalian sungguh sangat bagus, sekarang kita semua sudah terancam mara bahaya! Hong Tio taysu kau telah menolong kami, Untuk mengucapkan terima kasih saja kami tak terburu, mana dapat kami menggusarimu!" kata Heng Tian.

Heng Tie yang tadi ingin membakar diri pun bergembira.

"ltu sangatlah bagus, kita bebas tanpa kerugian sedikit pun!" katanya pada Siau Po. Tiba-tiba saja terdengar suara berisik dari atas gunung.

"Susiok, mereka menyusul kita!" seru Teng Koan sambil melihat ke arah atas para pendeta yang sedang mengejar mereka.

"Mari, kita menemuinya. Kita bicara dengan mereka sampai mereka tak tertawa dan tersenyum baru kita menunjuk ke arah gunung itu. Walau bagaimana kita tak boleh menyerang mereka itu!" kata Siau Po.

Teng Koan semua maju dan mereka semua ikut bersama.

"Loo Hong ya, dengar titahku dan juga guru Loo Hong ya!" kata Siau Po dengan senang, lalu mereka bertiga dikurung di tengah dan mereka bersama lari ke arah jalan besar

Belum jauh mereka berlari terlihat ada serombongan sedang menuju ke arahnya dan pada masing-masing orang itu menggunakan kalung yang isinya sebuah kalimat yaitu "Mau berziarah dengan sujud."

Dari rombongan peziarah lalu muncul seorang yang tinggi besar dan menegur mereka, "Kalian sedang buat apa?" tanyanya, Melihat orang itu Siau Po girang sekali dia adalah salah seorang pengawal raja yaitu congkoan To Liong, Maka ia lalu melangkah ke depan dan menyapanya.

"Hay, To Toako! Kau lihat siapa diriku ini?" tanya Siau Po.

Orang itu lalu meneliti muka yang lucu itu dengan kepala botak licin.

Siau Po memasang mukanya dan terus tertawa, "Kau,., kau saudara Wie.,.? Mengapa kau berada di sini dan mengapa kau memakai pakaian lhama?" tanyanya, Siau Po tertawa. "Dan kau sendiri, kenapa berada di sini?" Siau Po balik bertanya.

Tak berapa lama kemudian datanglah serombongan Sie Wie yang sebagian mereka kenal.

"Apakah Sri Baginda yang menyuruh kalian datang ke mari?" tanya Siau Po. "Sri Baginda dan Thay Hou datang ke Ngo Tay san untuk bersembahyang dan 

sekarang ini rombongan Sri Baginda berada di wihara Leng Keng Sie!" jawabnya.

Siau Po girang bercampur keheranan "Sri Baginda datang ke Ngo Tay san dan si molek tua ikut juga, ia mau apa?" tanya Siau Po dalam hati, "Tio Toako, tolong kau menghadap Kong Cin Ong! Katakan padanya aku akan menggunakan pasukan tentara, guna melakukan suatu gerakan, Namun karena urusan ini sangat penting aku tak sempat menemui langsung padanya untuk minta ijinnya..." kata Siau Po.

Cee Hian menurut ia lalu beranjak pergi, Dan tak lama datang pasukan dari bendera kuning lalu Siau Po langsung berkata pada pimpinannya.

"Toa Tong Tayjim, di sini ada beberapa ribu pendeta lhama dan rupanya mereka sudah mengetahui bahwa raja ingin berziarah sekarang mereka sudah mengurung wihara itu dan nampaknya mereka akan mengadakan pemberontakan maka itu silahkan kalian pergi, inilah jasa besar bagi kalian!" perintah Siau Po.

Kedua pembesar itu girang sekali dan ia lalu berlari dan mengucapkan terima kasih. Keduanya percaya dengan keterangan itu.

Setelah memberikan pesan pada beberapa orang pembesar militer Siau Po lalu mengajak rombongannya untuk beristirahat dan berganti pakaian di salah satu kuil, Siau Po menyewa kuil itu pada salah seorang pendeta.

Melihat uang sewa yang diberikan Siau Po, pendeta itu merasa gembira.

Siau Po lalu ke luar. Kali ini ingin memberikan kabar yang rahasia, ia juga memerintahkan pada seratus lebih Sie Wie untuk berjaga-jaga di sekitar kuil itu.

Setelah mengatur siasat Siau Po lalu mengutus beberapa orang Sie Wie untuk memberitahukan pada raja.

"Budak Wie Siau Po tengah melakukan tugas yang berat. Tak berani budak meninggalkan tugas itu, maka itu budak hanya bisa menanti di kuil Kim Kok Sie!" itulah isi surat Siau Po.

Siau Po lalu pergi ke kuil yang dimaksudkan itu, Tak lama kemudian ia mendengar keributan dari atas gunung, itulah suara pertempuran pasukan Sie Wie dengan para lhama itu. Setelah keributan itu berhenti tak lama kemudian datang rombongan pasukan raja ke kuil itu.

"Pastilah raja kecil itu telah tiba." katanya.

Sambil berkata demikian Siau Po lalu mengambil pisau belatinya guna menjaga kemungkinan jika yang datang itu bukan rombongan raja.

Suara itu terdengar semakin dekat dan tak lama kemudian muncul rombongan raja didahului dengan datangnya para Sie Wie dan langsung berbaris.

"Cepat kau simpan senjata tajam itu.,.!" kata salah seorang Sie Wie dengan suara perlahan.

"Selamat Baginda! Ayah Baginda berada di dalam!" kata Siau Po. Kong Hie mengangguk.

"Kau tolong aku dengan memberi kabar!" katanya dan ia lalu memerintahkan para Sie Wie itu untuk meninggalkan tempat itu.

"Kalian boleh pergi ke luar!" kata raja pada para Sie Wie.

Semua Sie Wie lalu pergi ke luar Siau Po mulai mengetuk pintu kamar ayah raja itu dengan suara perlahan-Iahan.

"Hui Beng mohon menghadapi- kata Siau Po.

Tetapi dari dalam kamar itu tak terdengar suara apa-apa. Hingga raja menjadi tak sabaran dan langsung memanggilnya dengan panggilan yang biasa digunakan di Kerajaan.

Karena dari dalam tak terdengar jawaban akhirnya raja menjadi bersedih, melihat rajanya menangis Siau Po teringat pada ayah dan ibunya.

Tak lama terdengar pintu itu terbuka, Melihat hal itu raja sangat senang maka ia lalu segera masuk dan langsung menubruk kaki ayahnya.

Heng Tie perlahan-Iahan mengusap kepala putranya itu. "Nak. Nak!" kata ayah raja dan ia pun menangis.

Siau Po sudah berhenti menangis, ia telah memasang telinganya untuk mendengarkan pembicaraan antara raja dengan ayahnya. Heng Tie mengatakan sesuatu, suaranya sangat perlahan hingga tak terdengar oleh Siau Po dari luar, ingin ia mendengarkan pembicaraan antara raja dengan ayahnya, tetapi ia tak berani mengintai dan juga mendengarkan pembicaraan itu dari selah-selah.

Tak lama terdengar suara raja dengan menyebut nama permaisuri Toan Keng Hong Hau dan disusul dengan suara ayah raja.

"Untuk selama-lamanya jangan menaikkan pajak!"

"Jangan menaikkan pajak? Adakah pesan lain yang akan disampaikan raja pada ayahnya?" tanya Siau Po dalam hati

Tak lama kemudian terdengar lagi pembicaraan mereka.

"Hari ini kita bertemu satu dengan yang lainnya, itu juga sudah tak selayaknya, bukan sedikit kau menggagalkan pertapaanku, Mulai saat ini kau jangan datang-datang lagi ke mari!" pesan ayah raja.

Raja tak mengucapkan kata-katanya yang terdengar suara ayahnya.

"Kau telah mengutus orang untuk melayaniku, meskipun itu datang dari hatimu yang paling dalam, kau masih keliru beranggapan demikian. Seorang pertapa ia harus dapat merasakannya sendiri Hal itu sudah seharusnya mereka terima, maka itu jika kau merawatku dengan sempurna sekali itu pun tak baik!" katanya.

Terdengar suara raja tetapi, tiba-tiba terdengar suara dari ayah raja dengan nada yang keras.

"Sekarang sebaiknya kau menjaga dirimu sendiri Dengan kau mencintai rakyat, berarti kau sudah berbakti kepadaku.,.!" kata ayah raja.

Agaknya raja merasa sangat berat untuk meninggalkan ayahnya.

Lalu terdengar langkah kaki mendekati pintu kamar Siau Po dengan cepat berpura- pura melihat halaman dan menjauhi dari tempatnya mengintai.

Segera terdengar suara pintu terbuka, ayah raja itu sambil memegangi tangan anaknya melangkah ke luar dari kamarnya.

Ayah dan anak itu saling mengawasi Anak itu terus memegang erat tangan ayahnya.

Dengan perlahan-lahan raja melepaskan tangan yang memegang tangan ayahnya itu, lalu ayah raja segera kembali ke kamarnya dan mengunci pintu dari dalam.

Kong Hie menubruk ke pintu dan kembali menangis. Siau Po berdiri diam menemani raja dan menangis. Tak lama raja berhenti menangis, ia merasa yakin bahwa ayahnya tak akan membukakan pintu, walaupun demikian ia tak mau segera berlalu dari kamar itu, Maka ia mendekati Siau Po dan menarik tangan Siau Po untuk duduk, Dengan sapu tangan ia menghapus air matanya.

"Menurut Hu Hong kau baik sekali Kau pandai bekerja tetapi Hu Hong tak menghendakinya lebih jauh, Katanya kalau para menteri melayaninya dengan sempurna bukan lagi ia seorang pertapa.,.!" Menyebut kata "Pertapa" air mata raja itu mengalir pula.

Senang Siau Po mendengar raja tua itu tak mau dirawatnya lebih lama, akan tetapi pada wajahnya tak menggetarkan, sebaliknya ia berkata.

"Ada banyak sekali orang yang hendak mencelakai raja yang tua, oleh karena itu raja harus melindunginya terutama menjaganya secara diam-diam!" kata Siau Po.

"Itu pasti!" kata raja.

"Kawanan Ihama itu sangat jahat! Entah apa maksudnya dan apa pula daya upayanya.,.?" katanya.

Hampir raja ini mengutuk dengan kata-kata cara rumah hina seperti biasa diucapkan Siau Po, yang suka meniru, Sebaliknya, ia merubah itu menjadi Nyonya itu.

Siau Po tertawa dan berkata.

"Oh, Sri Baginda, Tuan telah mendapatkan kata-kata baru!" Raja tersenyum.

"Aku dapatkan ini dari mulut adikku, yang mendapatkannya pula dari para Sie Wie nya! Adik-ku itu bersama telah mendaki gunung!" kata raja.

Sebelum Siau Po mengatakan sesuatu, raja menambahkan

"Hu Hong juga tak sudi menemukan ibu suri serta adiku itu...!" kata sang raja. Siau Po mengangguk.

"Para lhama itu terang ingin menahan Hu Hong supaya dapat dijadikan jaminan. Dengan begitu dapat memaksa dan memeras aku," kata raja kemudian.

"Mana mereka dapat mencapai hati mereka? Siau Po kau baik sekali, kau telah menolong Hu Hong, jasamu tidak kecil!"

"Tetapi itu berkat kecerdasan raja juga!" kata Siau Po. "Sri Baginda pandai memikir jauh, mulanya Sri Baginda sudah menerkanya. Maka Baginda telah mengirim hamba ini ke mari menjadi biksu sebenarnya aku tak punya jasa apa-apa, Sebab, siapa pun yang Baginda utus ke mari, dia tentu dapat melakukan tugasnya!" kata Siau Po.

"Bukan soal itu.,." kata raja.

"Kata Hu Hong kau pandai mengetahui hatinya kau dapat menyelamatkan tanpa ada yang korban, Dan di antara kita tak ada yang celaka!" kata raja.

"Hamba mendengar Lo Hongya hendak membakar diri hal itu membuat aku khawatir!" kata Siau Po. "Lo Hong hendak menebus dosa...!" 

"Apa, membakar diri?" tanya raja terkejut "Menebus dosa...!" Raja itu kaget sehingga tubuhnya menggigil.

"Begitulah!" kata Siau Po, yang mengatakan duduknya peristiwa di saat mereka bingung sekali, karena pihak lhama akan datang menyerbu.

"Oleh karena tidak ada jalan lain, terpaksa hamba melakukan itu. Hamba merasa kurang hormat telah menyiraminya!"

"Tapi kau berbuat demikian guna menolong ayahanda, itu bagus!" raja justru memuji. Terus raja berdiam untuk menoleh ke pintu ayahnya.

"Hu Hong memesanku untuk menyayangi rakyat. Supaya aku tidak menambah pajak!" kata raja.

"Kata-kata itu akan kuingat dan kau pun pernah menyampaikannya terhadapku tetapi kali ini pesan pribadi dari Hu Hong nanti aku tak dapat melupakannya."

"Pajak ialah uang yang dibayarkan kepada negara!" sahutnya, menjelaskan.

"Di jaman Ahala Beng, kalau raja mengerjakan angkatan bersenjata untuk berperang uangnya di-dapat dari memeras rakyat Raja-raja itu sangat royal, uangnya kurang. Maka rakyatlah yang diganggu dipaksa memenuhi kehendaknya! para pembesar Beng juga busuk sekali, mereka jahat Jika raja membutuhkan seratus juta mereka menambah menjadi dua ratus juta, Hingga mereka turut me-ngeduk harta! Demikianlah rakyat yang miskin bertambah melarat Raja menambah pajak, lain tahun menambah kenaikan, lalu rakyat dari mana mendapatkan uang?" kata raja.

Siau Po mengangguk.

"Oh, kiranya begitu" kata Siau Po. "Ayahnya memerintahkan pada raja jangan menaikkan pajak, itu maksudnya agar tak terjadi huru-hara?" tanya Siau Po. "Kau menyebut dia Giau Sun!" kata raja.

"Hu Hong berkata padaku sebabnya mengapa ia menyucikan diri, bahkan selama beberapa tahun ia sudah menutup diri, Karena ia malu sendiri atas perbuatannya selama menjadi raja, Dahulu sebenarnya raja Cong Ceng mati dipaksa oleh si berandal yang membuat huru-hara dan memberontak karena Gouw Sam Kui datang ke negeri kita meminta bantuan dan meminjam angkatan perang kita dan si berandal dapat diruntuhkan." kata raja.

"Dengan demikian kami membalas sakit hati raja Beng! Akan tetapi lain pandangan rakyat Han, mereka bukan saja berterima kasih pada kami bahkan kami dipandang sebagai musuh besar. Nah, coba kau katakan apa sebab dari itu!" tanya raja. 

"Mungkin mereka itu tolol!" sahut Siau Po, "Memang di dunia ini ada banyak sekali manusia toIoI, sebaliknya orang pintar sangat sedikit! Atau mungkin mereka itu orang yang tak berbudi yang melupakan kebaikan orang!" kata Siau Po.

"Mungkin mereka beranggapan demikian itu bukannya!" kata raja, Kaisar Kong Hi menghela napas.

"Pembunuhan sepuluh hari Yang-ciu dan tiga hari di Ke Teng di mana orang yang dibinasakan tak terhitung jumlahnya, itulah perbuatan yang sangat jahat dari Kerajaan kita.,.!" katanya menyesal.

"Maka nanti sepulangnya aku dari kota raja, aku bakal memaklumkan pembebasan pajak selama tiga tahun pada para penduduk itu!"

Mendengar kata-kata raja itu, Siau Po berpikir.

"Kalau penduduk kota Yang Cu dan Keng teng bebas pajak tiga tahun, saku mereka tentu akan banyak uangnya, Dan Yang Cu pastilah Lecu Wan akan maju dan subur. Maka itu bagaimana aku dapat berpikir agar raja cilik ini menugaskan aku melakukan sesuatu di Yang Cu..?"

Sedang berpikir demikian Siau Po ditanya rajanya.

"Hai, bagaimana pikiran itu bagus atau tidak?" tanyanya.

Siau Po terkejut Kemudian raja menceritakan pada Siau Po bahwa ia pernah memerintahkan pada Sie Wie untuk menyelidiki rombongan yang datang itu, ia pun menceritakan perihal ibu surinya.

"Sekarang ini kau sudah selesai mewakili aku menjadi Biksu dan sudah saatnya kau pulang bersama aku ke kotaraja, Untuk itu selain kau menjadi biksu kau juga telah menjadi lhama besar. Kau boleh pilih untuk kau dua ribu Sie Wie untuk menjadi  anggotamu, Kau dapat membuatkan mereka tempat di sekitar gunung. Di sana kau akan menjadi lhama dan akan mendapat hadiah yang besar...!"

00oo00

Bhiksuni itu tidak suka banyak bicara, Dia diam saja, Tapi ketika si anak muda mengoceh terus, dia pun berkata,

"llmu silat Siau Lim Pay mempunyai keistimewaan tersendiri katanya, "Kau si bocah cilik mirip dengan katak dalam tempurung, jangan sembarangan kau berbicara! Memang benar aku tidak mempunyai ilmu kebal seperti kau yang tidak mempan senjata tajam. "

Siau Po jadi tertarik dengan kepribadian si bhikuni itu.

"SebetuInya ilmu kebalku ini ilmu palsu," katanya sembari membuka jubah luarnya untuk memperlihatkan baju mustikanya yang tidak mempan senjata tajam. "Baju inilah yang membuat tubuhku kebal senjata tajam."

Bhikuni itu segera meluncurkan tangannya menotok baju mustika Siau Po. Tapi sampai berkali-kali dia tidak berhasil menotok putus sehelai benangnya sekalipun Dia pun tersenyum.

"Rupanya begitu! Tadinya aku heran Siau Lim Pay memiliki ilmu kebal yang demikian luar biasa dan engkau yang masih muda sudah berhasil menguasainya!"

Senang sekali hati si bhikuni, bibirnya mengembangkan senyuman kemudian menambahkan.

"Anak, kau benar-benar jujur dan polos!"

Di dalam hati Siau Po tertawa. Dalam hidupnya ada juga orang yang mengatakan dia jujur dan polos. Baginya, pujian itu sungguh langka.

"Suthay," katanya, "Terhadap lain orang, mungkin aku tidak akan terus terang, tetapi terhadapmu aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu mengapa aku tidak berani berdusta kepadamu, mungkin karena aku menganggap kau sebagai. ibuku,.,."

"Sudah! Sudah!" tukas si bhikuni, "Lain kali, jangan kau bicara seperti itu lagi, kurang enak aku mendengarnya!"

"Baik, baik, suthay!" sahut Siau Po. "Kau telah menyerang aku sampai sekarang rasa sakitnya masih ada. Tapi tidak apa-apa, aku merasa puas dengan sikapmu ini, lagipula aku telah menyebutmu sebagai ibu. "

Ibu Siau Po adalah seorang pelacur, dengan memanggil suthay itu sebagai ibu, dia menganggapnya sebagai seorang pelacur juga, Dasar bocah ini nakal sekali. Diam-diam Siau Po melirik bhikuni itu. Dia mendapat kenyataan bahwa wajah wanita itu cantik dan berwibawa, Tanpa terasa timbul perasaan kagum dan hormatnya.

Bocah ini memang luar biasa, Terhadap Sang Buddha saja, tidak ada perasaan hormatnya sama sekali, Terhadap Tan Kin Lam, gurunya, dia hanya merasa takut. Terhadap Hong kaucu dan Hong hujin, dia hanya hormat dibibir saja, di dalam hatinya dia memandang hina. 

Tapi aneh, terhadap bhikuni ini, dia tidak berani kurang ajar. Hatinya langsung merasa menyesal telah mengumpamakan orang seperti pelacur.

Bhikuni berjubah putih itu mengajak Siau Po turun gunung dari sebelah utara, Dari sana mereka memutar ke timur, akhirnya mereka tibalah di sebuah pasar, Siau Po membeli seperangkat pakaian baru, Setelah berdandan, dia tampak seperti anak tanggung seorang hartawan.

Selama menjadi bhiku palsu dan melindungi kaisar Sun Ti, Siau Po memang membekal uangnya yang jumlahnya beberapa puluh ribu tail perak. Karena itu, sekarang sepanjang perjalanan mudah saja dia melayani bhikuni itu.

Setiap kali makan, dia selalu meminta barang hidangan yang istimewa, bahkan kalau perlu dia membantu koki rumah makan tersebut bagaimana harus membuat hidangan yang lebih lezat. Selama di istana dia sudah sering melayani kaisar dan ibu suri, karena itu dia tahu makanan apa saja yang terkenal kelezatannya.

Si bhikuni berjubah putih, atau lebih baik kita panggil saja Pek I Ni rupanya pendiam sekali, dia jarang berbicara, Siau Po segera tahu kebiasaan wanita itu. 

Karena itu apabila tidak ada keperluan penting, dia tidak mengajak orang bicara, Dia hanya melayani dengan telaten dan bersikap manis.

Dengan demikian, pada suatu hari tibalah mereka di tempat tujuan, yakni kotaraja.

Siau Po memilih sebuah hotel yang besar, begitu berbicara dengan si pengurus hotel, dia langsung memberi hadiah sebanyak dua puluh tail, karena itu dia segera mendapatkan pelayanan yang memuaskan. 

Ketika melihat tamunya seorang pendeta perempuan, pemilik hotel itu merasa heran. Tetapi dia mengambil sikap tidak perduli..

Hari itu, setelah selesai bersantap, tiba-tiba Pek I Ni berkata kepada Siau Po. "Aku akan pergi ke bukit Keng San untuk melihat-Iihat."

"Bukit Keng San?" tanya Siau Po heran, "ltukan bukit tempat bersemayamnya arwah para mendiang kaisar Cong Ceng dari dinasti Beng! Ya, kita memang perlu ke sana untuk memberikan hormat kita." Segera keduanya berangkat, hanya sesaat saja mereka sudah tiba di tempat tujuan, Mereka sudah berada di sebuah taman yang ada di sisi makam.

Sesampainya di atas bukit, Siau Po menunjuk pada sebatang pohon besar. "Kaisar Cong Ceng wafat dengan menggantung diri di atas pohon itu." katanya 

menjelaskan.

Pek I Ni mengelus-elus pohon itu. Tangannya bergetar dan air matanya langsung jatuh berderai membasahi pipinya. Bahkan sekejap kemudian, terdengar dia menangis tersedu-sedu sampai menjatuhkan dirinya berlutut di bawah pohon itu.

Siau Po heran menyaksikan sikap wanita itu, Sebagai orang yang cerdas, pikirannya langsung bekerja.

- Mungkinkah dia mengenal kaisar Cong Ceng? -- tanyanya dalam hati, Dia langsung teringat kepada bibi To nya. Karena itu dia berpikir lagi. --Mungkinkah dia juga bekas seorang dayang dalam istana seperti halnya bibi To? Atau... dia salah seorang selir raja? Ah, tidak mungkin! Usianya tidak tepat! Dia malah lebih muda dari pada si perempuan hina ibu suri. -

Pek I Ni masih menangis terus. Mau tidak mau, Siau Po jadi terharu sekali, Tanpa terasa dia ikut menjatuhkan diri berlutut di bawah pohon itu bahkan menyembah beberapa kali untuk menghormati arwah kaisar Cong Ceng yang mati menggantung diri di sana.

Tidak lama kemudian, Pek I Ni berdiri Dia merangkul pohon itu dan tiba-tiba tubuhnya jatuh terkulai Rupanya dia tidak sadarkan diri lagi.

Siau Po terkejut setengah mati, Dia berdiri, kemudian berusaha membangunkan wanita itu.

"Suthay! Suthay!" panggilnya berkali-kali, "Suthay, sadarlah!"

Sejenak kemudian, Pek I Ni siuman juga dari pingsannya, Wanita itu masih berdiam diri sekian lama, akhirnya dia baru berkata dengan suara lirih.

"Mari kita pergi ke istana untuk melihat-lihat."

"Baik," sahut Siau Po. "Kita pulang dulu ke rumah penginapan Di sana aku akan mencari pakaian thay-kam. Nanti suthay menyamar sebagai seorang thay-kam baru kita masuk ke dalam istana."

Pek I Ni tampaknya tidak senang dengan usul itu.

"Mana boleh aku mengenakan pakaian bangsa Tatcu?" katanya dengan nada keras. Siau Po bingung. Tetapi sesaat kemudian dia sudah mendapat akal.

"Begini saja," katanya, "Sebaiknya suthay menyamar sebagai seorang Ihama, Sudah biasa di istana kedatangan pengikut agama asal Tibet itu."

Pek I Ni menggelengkan kepalanya.

“Tidak!" katanya, "Aku tak sudi menyamar sebagai Ihama. Aku akan pergi dengan pakaianku ini. Siapa yang berani menentang aku?"

"Memang benar, para pengawal dalam istana pasti tidak mungkin bisa merintangi suthay, tapi kalau sampai terjadi penghadangan, berarti terjadilah pertempuran Dengan demikian suthay tidak akan mendapat kesempatan untuk melihat-lihat lagi." Siau Po tidak ingin kedatangan mereka sampai menimbulkan keonaran.

Pek I Ni mengangguk perlahan.

"Kau benar juga," katanya, "Sebenarnya kalau hari sudah gelap aku akan masuk ke dalam istana, Kau tunggu aku di rumah penginapan ini saja, jadi kalau terjadi sesuatu, dirimu pasti tidak akan terlibat"

"Oh, tidak, tidak!" sahut Siau Po cepat "Aku ingin ikut bersama suthay. Aku kenal baik keadaan dalam istana, tidak ubahnya seperti rumahku sendiri Aku pun mengenal dengan baik seluruh penghuni istana itu. Pokoknya, apa pun yang ingin suthay lihat, aku ingin menunjukkannya."

Bhikuni itu tidak berkata apa-apa, dia hanya diam saja, Siau Po juga membungkam.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul dua tengah malam , Pek I Ni ke luar dari kamarnya, dia meloncati genting dan Siau Po mengikuti di belakangnya. Sesaat kemudian mereka sudah sampai di luar tembok istana.

"Mari kita putar ke arah timur laut!" ajak Siau Po. Dua dinding sebelah sana lebih pendek dari yang lainnya, Di bagian itu, hanya pegawai serabutan yang tinggal disana, Tidak pernah para pengawal meronda sampai ke bagian itu.

Pek I Ni menurut Dia menuju timur laut seperti yang ditunjuk anak muda itu, sesampainya di bawah tembok, dia segera mencekal ikat pinggang Siau Po dan ditentengnya melompati tembok tersebut dan seterusnya turun ke dalam halaman istana.

"Selewatnya dari sini, kita akan sampai di ruang Lok Siu Tong dan pendopo Yang Seng Tian," kata Siau Po memberikan keterangannya, "Bagian mana yang suthay ingin lihat?"

"Semua bagian pun aku ingin melihatnya," sahut Pek I Ni yang langsung berjalan menuju barat Mereka melintasi Lok Siu Tong dan Yang Seng Tian, kemudian memutar  ke sebuah koridor dan sampai di pendopo Han Kiong Potian. Lalu mereka menyusun keraton Keng Yang Kiong, Ciong Ciu Kiong dan akhirnya sampai di taman bunga.

Walaupun cuaca gelap gulita, nyatanya Pek I Ni dapat berjalan dengan cepat dan ketika membelok, dia tidak ragu-ragu sedikit pun. Dan di setiap tempat yang ada penjaganya, dia selalu sudah bersiap siaga dengan menyembunyikan diri dulu di tempat yang gelap atau di gerombolan pepohonan. Setelah penjaga itu lewat, dia baru melanjutkan langkah kakinya.

Menyaksikan gerak-gerik bhikuni itu, Siau Po merasa heran.

- Aneh! -- katanya dalam hati, - Mengapa suthay ini kenal baik sekali keadaan dalam istana ini? Bahkan tampaknya lebih kenal daripada aku sendiri Aku menyatakan akan menjadi petunjuk jalan baginya, malah sekarang boleh dibilang dia yang mengantar aku.... --

Sembari membungkam dan dalam hati menduga-duga, Siau Po membiarkan dirinya diajak ke arah barat. Mereka ke luar dari pintu Kun Leng Mui dan sampai di keraton Kun Leng Kiong. setibanya di sana, si bhikuni tampak agak ragu-ragu.

"Bukankah permaisuri tinggal di dalam keraton ini?" tanyanya.

"Sri Baginda toh belum menikah, jadi mana mungkin memiliki permaisuri?" sahut Siau Po. Tadinya ibu suri yang berdiam di sini, sekarang dia pindah ke Cu Leng Kiong. Tempat ini tidak ada yang menghuni lagi."

"Mari kita masuk untuk melihat-Iihat!" kata Pek I Ni yang langsung menghampiri jendela, Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh daun jendela itu, Sekali tarik saja jendela itu sudah terpentang.

Dengan satu kali loncatan, Pek I Ni masuk ke dalam, Tindakannya diikuti oleh Siau Po.

Siau Po sendiri belum pernah masuk ke dalam kamar ini. Dapat dipastikan bahwa kamar ini sudah lama dibiarkan kosong. Begitu masuk ke dalam, hawa pengap langsung menusuk hidung. Untung ada sinar rembulan yang menyorot lewat jendela, sehingga keadaan di dalamnya tidak terlalu gelap.

Siau Po melihat Pek I Ni langsung duduk di atas tempat tidur tanpa bergerak sama sekali. Sesaat kemudian, Siau Po tambah heran, dia melihat wanita itu meneteskan air mata.

-- Tidak salah lagit Dia pasti sama dengan bibi To yang pernah menjadi dayang dan melayani permaisuri dari dinasti yang terdahulu -

Kemudian tampak Pek I Ni berdiri Dia mendongakkan kepalanya dan memperhatikan tiang penglari. "Dulu, permaisuri Cin Hong hou mati gantung diri di sana.-." katanya perlahan. "Benar," sahut Siau Po yang kecurigaannya bertambah-tambah, Karena itu, dia 

segera bertanya dengan suara perlahan. "Suthay, maukah kau menemui bibiku?"

"Bibimu?" tanyanya bingung, "Siapakah bibimu itu?" "Bibiku itu she To, namanya Hong Eng."

"Hong Eng?" sahut Pek I Ni menegaskan.

"Tidak salah!" sahut Siau Po. "Mungkin suthay mengenalnya, Dulu dia menjadi dayang putri Tiang Kongcu dari kaisar Cong Ceng. "

"Bagus!" seru Pek I Ni yang tampaknya tertarik sekali, "Dimana dia sekarang? Suruh dia menemui aku!"

Siau Po tahu biasanya wanita ini tenang sekali sebagaimana ketika dia berusaha membunuh kaisar Kong Hie. Gerakannya gesit dan sikapnya tidak gugup sedikit pun. Tetapi kali ini suaranya agak bergetar Hal ini menandakan hatinya tegang sekali.

"Malam ini bibiku itu tidak dapat dipanggil" kata Siau Po. "Kenapa?" tanya si bhikuni dengan suara mendesak.

"Bibiku itu setia sekali terhadap kerajaan Beng yang agung," sahut Siau Po. "Dia pernah berusaha membunuh ibu suri bangsa Tatcu, Sayang dia gagal, ibu suri tidak sampai mati, Oleh karena itu, bibi terpaksa harus menyembunyikan diri dalam istana, Bibi To harus melihat dulu tanda rahasia dariku, besok malam baru kita dapat bertemu dengannya."

"Baiklah," kata Pek I Ni, "Hong Eng, budak itu benar-benar pemberani dan bersemangat, Apakah tanda rahasia yang harus kau buat untuk memanggilnya ?"

"Dengan bibi aku telah berjanji," kata Siau Po. "Kalau kami hendak bertemu, aku harus menancapkan sebatang kayu di tempat pembakaran, melihat kayu itu, bibi To segera akan tahu maksudku."

"Kalau begitu, mari kita buat tanda itu!" kata Pek I Ni yang segera melompati jendela. Setelah itu dia menarik tangan Siau Po untuk ke luar dari pintu Liong Hok Mui, lalu melintasi keraton Eng Siu Kiong, melewati pendopo-pendopo Te Goan Tian dan Po Hoa Tian, kemudian menuju utara di mana terletak tempat pembakaran. 

Di sana, Siau Po bermaksud langsung menancapkan sebatang kayu sebagai tanda, tapi tiba-tiba si bhikuni memberikan isyarat kepadanya.

"Awas! Ada orang!" Tempat itu tempat pembakaran sampah atau barang-barang rongsokan yang tidak dipakai lagi, jarang sekali tengah malam ada orang yang datang ke sana. Siau Po segera menarik tangan Pek I Ni dan diajaknya bersembunyi di belakang sebuah jambangan besar.

Segera terdengar suara langkah kaki yang cepat dan ringan, Orang itu berjalan di atas kerikil, jadi timbul sedikit suara, sebentar saja dia sudah sampai di tempat pembakaran sampah, Dia melihat kayu yang ditancapkan Siau Po. Sekejap kemudian, dia menghampiri kayu itu dan mencabutnya.

Ketika orang itu memutar tubuhnya, Siau Po segera melihatnya dengan jelas dan mengenalinya sebagai To Hong Eng.

"Bibi, aku di sini!" panggilnya perlahan Dia pun segera muncul dari tempat persembunyiannya. Hong Eng segera menghambur ke depan dan memeluk Siau Po.

"Oh, anak yang baik!" serunya girang, "Akhirnya kau kembali juga. Kau tahu, setiap malam aku datang kemari untuk metihat-lihat. Aku selalu berharap dapat menemukan tanda yang kita janjikan dulu."

"Bibi," kata Siau Po kemudian, "Ada seorang yang ingin bertemu dengan bibi. "

Tampaknya Hong Eng merasa heran, Dia melepaskan pelukannya dan menatap Siau Po lekat-lekat.

"Siapa orang itu?" tanyanya.

Pada saat itu, Pek I Ni sudah ke luar pula dari tempat persembunyiannya. "Hong Eng," sapanya, "Hong Eng, apakah kau masih mengenali aku?"

To Hong Eng terkejut setengah mati, Dia tidak menyangka ada orang lain yang bersembunyi di belakang jambangan besar itu. Tanpa terasa kakinya sampai menyurut mundur tiga langkah, tangan kanannya segera meraba ke bagian pinggang untuk menghunus pedang pendeknya.

"Siapa kau?" tanyanya. Pek I Ni menghela napas.

"Rupanya kau sudah tidak mengenali aku lagi." katanya perlahan,

Hong Eng memperhatikan dengan seksama, "Kau. kau.,." katanya sambil maju dua 

langkah, "Aku tidak dapat melihat wajahmu dengan jelas. kau.,.,"

Pek I Ni memiringkan tubuhnya sedikit agar wajahnya tersoren cahaya rembulan. Sembari melakukan hal itu, dia berkata dengan Iirih. "Wajahmu juga sudah banyak berubah. "

Hong Eng terkejut setengah mati.

"Kau... kau. " Tiba-tiba dia melemparkan pedang pendeknya kemudian menghambur 

ke depan Pek I Ni dan menjatuhkan dirinya berlutut serta memeluk pahanya.

"Oh, Tiang kiongcu!" seru nya. suaranya bergetar, "Kiranya Kiongcu! Aku. aku.,,." 

Dia langsung menangis tersedu-sedu, Tampaknya ia sedih sekali Setelah lewat sesaat, dia baru memaksakan dirinya berkata lagi, "Kongcu, sekarang aku bertemu lagi dengan kongcu, walaupun aku harus mati, rasanya aku sudah cukup puas, Hatiku senang sekali!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar