Jilid 45
Diam-diam si nona jadi berpikir
-Bagus, ya! Rupanya kau sengaja memancing aku turun tangan, dengan demikian kau bisa mengetahui asal-usul silatku, Tidak! Aku justru tidak sudi memperlihatkannya kepadamu! - Dengan membawa pikiran demikian, si nona bangkit kembali Lalu dia mulai melakukan penyerangan Baik dengan satu kepalan atau keduanya sekaligus, Dia menyerang kalang kabut, sama sekali tanpa menggunakan jurus silat mana pun. Teng Koan menjadi heran.
"Aneh! Luar biasa! Sungguh istimewa! Mengherankan!"
Semua pukulan dan tendangan yang dilancarkan si nona, dia belum pernah melihatnya. Saking bingungnya pikirannya pun menjadi kacau, Apakah itu ilmu silat? Mengapa gerakannya demikian kacau? Dia tidak pernah mengira bahwa nona itu memang sengaja menyerang dengan kalang kabut, Dia juga tidak menyangka si nona berani berbuat demikian karena tidak takut lagi dirinya akan dibunuh atau dilukai, paling-paling dia ditotok.
Kalau orang lain pasti akan melihat tingkah si nona yang lucu, tapi Teng Koan terlalu naif, dia malah merasa aneh dan heran Otaknya berpikir keras, Setelah lewat belasan jurus, dia masih terbenam dalam keragu-raguan.
"Aneh! Aneh!" gumamnya seorang diri. Matanya dipertajam Biar bagaimana dia harus membela diri, Dia menduga gadis itu menggunakan ilmu Bu Tong Pai atau Kong Tong Pai, tapi dia belum bisa memastikannya.
Karena sangsi, hwesio tua itu tidak berani sembarangan menangkap tangan atau kaki lawan, dia takut tipuan jurus yang digunakan si gadis masih asing baginya, Yang membingungkan, nona itu juga menjambak bagian kepalanya, padahal dia tahu benar seorang hwesio pasti berkepala gundul.
Semakin lama, serangan si nona semakin kacau, akhirnya Teng Koan jadi risih sendiri.
Siau Po yang berbaring di atas tempat tidur menyaksikan jalannya pertempuran dengan memiringkan tubuhnya sedikit Dia menyaksikan gadis itu menyerang dengan serabutan dan Teng Koan repot membela diri.
Dia merasa pertarungan itu aneh sekali sehingga tanpa sadar dia tertawa. justru karena tertawa, lukanya terasa nyeri kembali sehingga dia menjerit perlahan. Dia menahan rasa sakitnya dan terus menonton pertarungan yang lucu. Baginya, pertarungan itu merupakan suatu pemandangan yang menarik.
Wajah Teng Koan memerah mendengar suara tawa paman gurunya.
- Tentu susiok menertawakan aku karena dia menyangka aku tidak mengenali jurus- jurus yang digunakan nona ini. -- Demikian pikirnya dalam hati, -- Aku khawatir nanti dia akan menyuruh si nona menjadi ketua Poan Jian Tong untuk menggantikan aku....-- Dia melirik kepada paman gurunya yang menunjukkan wajah sedih, padahal Siau Po bukan bersusah hati, tapi sedang merasa sakit dan berusaha menahannya, Tapi Teng Koan berpikir kembali
- Hati Susiok sangat baik, Rupanya tidak tega mengatakannya kepadaku, sebaiknya aku sendiri yang menyerahkan kedudukanku ini kepada si nona. "
Meskipun otaknya sedang berpikir, si hwesio tetap sibuk melayani nona berbaju hijau itu. Dia repot menangkis ke sana ke mari untuk melindungi dirinya, tapi dia tidak membalas menyerang karena khawatir akan melukai si nona. Karena itu, dia benar- benar repot jadinya.
Pertarungan yang tidak karuan itu terus berlangsung. Lama-lama si nona menjadi letih sendiri, dia selalu memukul dan menendang dengan serampangan, gerakannya pun cepat sekali.
Dia khawatir nanti akan dikalahkan lagi oleh si hwesio, pikirannya menjadi tidak tenang, Apalagi sampai sekian lama dia tetap tidak berhasil mengalahkan Teng Koan, akhirnya setelah bertarung sekian lama, tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya sebelum terhuyung-huyung sejenak.
Teng Koan merasa terkejut dan heran.
- Apakah ini juga sebuah jurus tipuan? -- pikirnya, Sungguh luar biasa akal muslihat
yang digunakannya! Bagaimana kalau aku tidak dan dalam keadaan terduduk di atas
tanah tiba-tiba dia melakukan penyerangan kepadaku? --
Pusing kepala Teng Koan memikirkannya, karena itu tanpa terasa ia ikut terjatuh duduk di atas lantai.
Nona itu girang sekali melihat orang terjatuh dengan sendirinya. Tapi dia tidak berani maju atau mendekat karena khawatir Teng Koan hanya menggunakan akal Tanpa menunda waktu lagi, dia segera melompat bangun dan lari ke luar menurutnya, lari adalah jalan yang terbaik.
Di luar kamar ada beberapa orang hwesio yang sedang berkumpul Mereka melihat nona itu ke luar dari ruangan Pan Jiak Tong, tapi mereka tidak berani menghadang atau mencegahnya, Hal ini disebabkan mereka tidak mendapat perintah apa-apa dari sang ketua, Mereka hanya merasa heran...
Sementara itu, Siau Po masih berbaring di atas tempat tidur Dia melihat nona itu melarikan diri, tapi dia tidak berdaya melakukan apa-apa, dia hanya bisa menatap dengan pikiran kalut. Tidak lama kemudian Teng Koan baru tersentak sadar wajahnya menjadi merah padam. Hal ini membuktikan bahwa ia merasa malu sekali.
"Susiok, aku malu.,." katanya kemudian Dia merasa tidak sanggup mengalahkan si nona.
Siau Po tertawa sumbang.
"Sutit, sebenarnya apa yang menjadi pikiranmu?" tanyanya.
"llmu silat nona itu aneh sekali," kata Teng Koan, "Aku tidak dapat mengenali jurus- jurus yang digunakannya, Maksudku, ketika dia menyerang aku belakangan." Dia masih merasa jengah, Dia masih tidak sadar si nona menyerang tanpa menggunakan jurus ilmu mana pun.
Siau Po tertawa.
"Apakah kau bermaksud mengatakan ilmu silat si nona itu lihay sekali?" tanyanya, "Sungguh menggelikan Bukankah serangannya itu hanya ngawur saja?"
Sang keponakan murid menatap Siau Po dengan tajam.
"Apa Susiok maksudkan bahwa serangannya itu hanya sembarangan? Apakah gerakannya tadi bukan karena ilmu silatnya yang aneh?" tanyanya kembali
Siau Po ingin tertawa, tapi dia mengurungkannya, Sebab lukanya sakit sekali, dia hanya menyeringai lalu terbatuk-batuk, Keringat dingin juga membasahi keningnya.
"llmu yang digunakannya pasti di kuasai setiap bocah cilik!" katanya.
Teng Koan tertegun, Tampak dia masih merasa ragu-ragu, Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam untuk melegakan hatinya.
"Benarkah serangannya hanya ngawur saja?" tanyanya lagi setelah lewat sesaat. "Di dalam biara Siau Lim Sie, pasti tidak ada ilmu silat seperti itu." katanya sambil
tertawa, Untuk sesaat, dia sampai lupa tentang sakit dan kesedihan hatinya.
Teng Koan berdiam diri Tampaknya dia sedang berpikir keras,
"Aih!" tiba-tiba dia berseru sambil menepuk pahanya, Ah! Aku memang tolol sekali! Iya! Serangan-serangan itu memang tanpa ada juntrungan, Dengan ilmu silat Tiang Kun yang paling rendah sekalipun pasti dapat aku merobohkannya, Namun. " Dia terdiam
lagi sejenak, lalu melanjutkan kembali.
"Nona itu sungguh aneh! Mengapa dia menggunakan gerakan seperti itu? Bukankah dengan demikian dia hanya mempermalukan keluarga atau partai nya sendiri?" "Aku justru merasa tidak ada yang aneh pada nona itu," sahut Siau Po. "Dia memang sengaja tidak menggunakan ilmu silat apa pun tapi menyerang secara membabi buta."
Paman guru itu kembali tertawa, sedangkan Teng Koan tetap berdiam diri, dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Belasan hari telah lewat, Siau Po pun sudah sembuh dari lukanya, Obat luka Siau Lim Pay memang terkenal mujarab, Di dalam biara itu, kedudukannya tetap tinggi sekali karena dia merupakan wakil raja, Asal dia mau, apa pun dapat dilakukannya dan tidak ada seorang pun yang berani menegur apalagi melarangnya, kecuali dia mengatakannya sendiri, tidak ada seorangpun yang berani menanyakan apa yang dilakukannya.
Kali ini Siau Po berbeda dari sebelumnya, Dia tertarik pada apa saja, tapi dia tidak tekun belajar atau berlatih, Dia memang bengal dan nakal Dia selalu mengikuti kemaunnya sendiri. Tan Kim Lam memberikan sejilid kitab ilmu silat kepadanya, dia hanya mempelajarinya satu dua kali, kemudian dia menjadi malas melihatnya lagi. pelajaran peninggalan Hay Tay Hu lebih mudah dipahaminya, tapi dia hanya mempelajarinya satu hari, sedangkan sepuluh hari lainnya dia lebih banyak bermain- main. Enam jurus yang lihay dari Hong kaucu dan Hong hujin juga dipelajari seenaknya, begitu meninggalkan pulau Sin Liong To, dia tidak mengingat-ingatnya lagi.
Sekarang, dia diajarkan oleh Teng Koan, sebaliknya dari biasa, dia justru belajar dengan sungguh-sungguh, Karena ilmu-ilmu itu dapat digunakan untuk menaklukkan si gadis berbaju hijau.
Teng Koan mengingat baik-baik setiap jurus yang digunakan si nona berbaju hijau lalu berusaha memecahkannya satu persatu, Dia mengajari paman gurunya jurus-jurus pemecahannya, meskipun dia merasa heran dengan sikap Siau Po. Suatu saat dia bahkan pernah berkata.
"Susiok, untuk apa Susiok mempelajari semua ini? Menurut Sutit, sebaiknya Susiok belajar dari awal, yakni dari ilmu Tiang Kun. Dengan demikian, kelak kepandaian Susiok bisa mencapai taraf yang tinggi."
"Mengapa kau menganggap pelajaran ini tidak ada faedah nya ?" tanya Siau Po. "Karena pelajaran ini tidak mempunyai landasan tenaga dalam." sahut Teng Koan,
"llmu silat seperti ini, asal Susiok bertemu dengan lawan yang kepandaiannya tinggi,
pasti Susiok tidak dapat menghadapinya. Kecuali kalau hanya digunakan untuk menghadapi kedua nona itu. "
Siau Po tertawa, hatinya senang sekali.
"Bagus!" serunya, "Aku memang ingin menghadapi kedua nona itu." Teng Koan menoleh kepada si paman guru dan menatapnya lekat-lekat Dia benar- benar tidak mengerti jalan pikiran Siau Po.
"Susiok, kalau dikemudian hari Susiok tidak bertemu lagi dengan kedua nona itu, bukankah pelajaran Susiok ini sia-sia belaka? Bukankah percuma saja Susiok mempelajarinya dengan susah payah? Hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja. Sedangkan, waktu yang dihabiskan ini dapat digunakan untuk mempelajari ilmu silat yang sesungguhnya."
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Kalau aku tidak bertemu lagi dengan kedua nona itu, tentu aku bisa mati." katanya, "Karena itu, untuk apa aku mempelajari ilmu silat yang sesungguhnya?"
Teng Koan semakin heran.
"Susiok," katanya, "Apakah Susiok telah terkena racun jahat nona itu sehingga biar bagaimana pun Susiok harus menemukan mereka? Apakah tanpa obat penawar mereka, Susiok akan menemui ajalnya?"
"Benar." sahut Siau Po tersenyum Dalam hati dia menertawakan keluguan si hwesio yang tidak kenal asmara. "Aku memang telah terkena racun jahatnya, bahkan sudah merasuk ke dalam tulang sumsum, Apabila aku tidak berhasil menemukan mereka, aku pasti akan mati."
"Oh, begitu rupanya!" kata Teng Koan. "Sute Teng Ciau merupakan ahli pengobatan dalam kuil kami. sebaiknya aku undang dia untuk memeriksa keracunan dalam tubuhmu. "
"Tidak, tidak usah!" cegah Siau Po cepat "Racun ini bersifat Iamban. Hanya dia sendiri yang dapat menyembuhkannya, Orang lain tidak mungkin bisa, lebih-Iebih Teng Ciau."
"Oh, jadi hanya dia sendiri yang memiliki obat pemunahnya. " kata Teng Koan ragu-
ragu.
"Ya. aku khawatir hanya dia yang memiliki obat penawarnya," sahut si paman guru.
Selanjutnya, Siau Po kembali belajar dengan serius. Dalam tempo dua bulan, dia sudah mempelajari semua jurus yang dapat memecahkan ilmu si nona. Dia selalu mengajak Teng Koan berlatih, Keponakan muridnya itu harus menyerangnya dengan ilmu-ilmu yang dimiliki kedua nona itu.
Siau Po memang nakal Dia sering menjahili keponakan muridnya itu dan pura-pura menganggapnya sebagai si nona berbaju hijau yang menawan hatinya itu. Teng Koan yang polos tidak menghiraukan sikap paman gurunya, Dia malah mengira Siau Po yang cerdik dapat mengubah jurus-jurus yang diajarkannya.
Pada suatu hari, ketika paman dan keponakan muridnya ini sedang berlatih dan merundingkan ilmu golok si nona berbaju hijau, muncullah seorang hwesio dari Poan Jiak Tong yang memberitahukan bahwa ada undangan dari Hong Tio atau ketua mereka. Diharapkan Susiok cou dan supeknya itu hadir dalam pendopo besar secepatnya,
Siau Po dan Teng Koan langsung pergi ke Tay Hiong Po Tian, pendopo besar yang dimaksudkan Di situ sudah berkumpul beberapa puluh orang tamu, Hui Cong Siansu, ketua Siau Lim Sie sedang menemani mereka duduk, Sebagai tuan rumah, si hwesio tua duduk si sebelah bawah.
Tampaknya ada tiga orang tamu yang dianggap terhormat Yang pertama seorang pangeran Mongolia berusia kurang lebih dua puluh tahunan, Yang kedua seorang lhama berusia sekitar lima puluhan tahun dan tubuhnya pendek serta kurus kering dan kulitnya hitam sekali Yang ketiga seorang perwira berusia empat puluhan tahun. Dari pakaian seragamnya, dapat diduga bahwa kedudukannya seorang Cong Peng atau Brigadir jendral.
Di belakang mereka berdiri puluhan tamu lainnya. Para perwira sebawahan atau lhama biasa, Bahkan ada beberapa di antaranya yang berdandan seperti rakyat jelata, Tapi dari bentuk tubuh mereka, dapat dipastikan bahwa mereka semua mengerti ilmu silat.
Begitu Hui Beng siansu atau Siau Po muncul, Hui Cong langsung bangkit menyambut seraya memperkenalkan.
"Sute, para tamu agung telah bersedia mengunjungi kuil kami inilah pangeran Kaerltan dari suku Cunkaerl di Mongolia. Dan ini lhama besar Tay Hoat su Zang Chi dari Tibet, ini yang mulia Ma tayjin, Cong Peng sebawahan Raja muda Peng Si ong dari In Lam. Dan saudara-saudara sekalian, ini Hui Beng siansu, adik seperguruan lolap." Kemudian dia memperkenalkan adik seperguruannya itu kepada para tamunya.
Ketiga tamu itu memperhatikan orang yang diperkenalkan tersebut. Selain masih muda usianya, Siau Po juga baru sembuh dari lukanya sehingga dia tampak kurus dan lesu.
"Ah! Khoceng ini sungguh menarik hati!" Demikian terdengar si pangeran berkata sambil tertawa-tawa. "Aneh! Aneh!"
Siau Po merangkapkan sepasang tangannya untuk memuji Sang Buddha, lalu dia berkata.
"Pangeran ini juga sangat lucu, Hi hi hi hi! Aneh sekali!" Tiba-tiba wajah pangeran itu menunjukkan mimik kurang senang, "Apanya yang lucu?" tanyanya, "Apanya yang aneh pada diriku?"
"Apa yang aneh pada diri Siau Ceng, itulah keanehan Yang Mulia," sahut Siau Po yang membahasakan dirinya "Siau Ceng" atau hwesio cilik. "lbarat pinang di belah dua! Silahkan! Silahkan!" katanya kemudian duduk di samping kakak seperguruannya atau ketua biara Siau Lim Sie itu.
Teng Koan tidak diperkenalkan Dia duduk di belakang paman gurunya.
Pangeran beserta para tamu lainnya mendengar jawaban si hwesio cilik, mereka merasa heran. Mereka menyangka hwesio cilik itu pasti luas sekali ilmu pengetahuannya.
Sementara itu, Hui Cong segera menanyakan maksud kedatangan para tamunya. Zang Chi lhama yang memberikan jawaban.
"Sebenarnya kami bertiga hanya kebetulan bertemu dalam perjalanan. Kami telah mendengar prihai ilmu silat yang ibarat gunung Thay san di wilayah Tiong goan. Kami menjadi kagum sekali Kami bertiga tinggal di tanah perbatasan karenanya pendengaran kami sangat terbatas. itulah sebabnya kami berseri untuk melakukan kunjunganmu merantau. Untung sekali kami dapat bertemu dengan Kho ceng!"
Seperti yang diketahui, Kho Ceng artinya hwesio yang berilmu-tinggi.
Walaupun Jiang chi seorang lhama dari Tibet, tapi dia berbicara bahasa Tionghoa dengan aksen Pe King. Kata-katanya jelas dan lancar. Gerak-geriknya pun sabar dan halus, Coba dia tidak mengenakan baju jubah kuning, orang pasti mengira dia penduduk Pe King dari kalangan atas.
"Pujian itu terlalu tinggi, tidak pantas kami menerimanya." kata Hui Cong merendah "Sebaliknya kami mengagumi Mongolia, Tibet dan In Lam. Di ketiga tempat itu, umat Buddha hidup rukun, maju dan subur. Mengingat pangeran bertiga telah menerima sinar terang dari Sang Buddha, kami justru ingin memohon petunjuknya."
Hwesio ini pandai membawa diri. Ketika si lhama membicarakan ilmu silat, dia mengalihkan kepada agama Buddha, Dia memang berpegang pada pokok tujuan Siau Lim Sie yang mengutamakan agama, sedangkan ilmu silat hanya merupakan sarana untuk menyehatkan tubuh dan membela diri.
Kemudian terdengar pangeran Kaerltan berkata.
"Siau Lim Sie mempunyai tujuh puluh dua macam ilmu silat yang telah menggetarkan dunia persilatan. Boleh dikatakan sudah tidak ada tandingannya, Karena itu, dapatkah kiranya Hong Tio meminta beberapa Kho Ceng menunjukkan kepandaiannya agar kami dapat membuka mata?"
"Yang Mulia," kata Hui Cong tetap dengan nada merendah "Harap Hong tio ketahui, tentang ilmu silat partai kami, apa yang tersiar di luaran hanya berlebihan, tidak perlu dijadikan perhatian Yang benar, kami para pendeta hanya mmepelajari dan mendalami agama, untuk mencari kebenaran dan mencapai kesempurnaan hidup, Memang ada beberapa diantara kami yang belajar ilmu silat, tapi tujuannya hanya untuk membela diri dan menjaga kesehatan pelajarannya sendiri tidak layak mendapat penghargaan. "
"Aih! Hong Tio, ternyata kau kurang berterus terang!" kata sang pangeran "Tunjukkan saja ke-tujuh puluh dua macam ilmu silat partai kalian itu, kami pun tak lebih tak kurang hanya ingin melihatnya saja, Bukankah kami tidak mungkin mencuri mempelajarinya? Mengapa pandangan Hong tio demikian picik?"
Kejadian seperti ini sudah sering dialami oleh pihak Siau Lim Sie. Bahkan sudah sejak seribu tahun yang lalu, Masalahnya nama kuil yang satu ini terlalu terkenal Ada yang datang dengan kesungguhan hati untuk belajar, tapi tidak jarang juga yang sengaja mencari gara-gara. Biasanya permintaan itu ditampik dengan cara halus serta ramah tamah.
Sekalipun orang yang kasar, mereka juga menghadapinya dengan sabar. Kalau sampai ada yang melakukan kekerasan, pihak Siau Lim Sie baru mengambil tindakan
Begitu pula nada bicara sang pangeran, Hui Cong sudah biasa mendengarnya, karena itu dia hanya tersenyum dan berkata.
"Pangeran Yang Mulia, kalau kedatangan kalian ini untuk membicarakan urusan agama, maka lolap akan menghimpun seluruh murid untuk merundingkannya bersama- sama." katanya.
"Tapi tidak demikian halnya kalau yang ingin dibicarakan itu soal ilmu silat, Ada peraturan yang harus ditaati dalam kuil kami, yakni tidak boleh menunjukkan ilmu silat di hadapan para tamu yang terhormat."
"Kalau begitu, nama besar Siau Lim Sie ternyata hanya kosong belaka." kata si pangeran dengan suara keras. "Dengan demikian juga, ilmu silat Siau Lim Sie tidak lebih dari angin busuk."
Hui Cong tertawa.
"Manusia hidup di dunia, sebetulnya memang hanya menyandang nama kosong." katanya, "Jadi ucapan Yang Mulia memang tepat sekali. Nama besar tidak bedanya dengan angin busuk, tidak berharga sepeser pun. Nama hanya merupakan benda di luar tubuh sesuatu, jadi ucapan pangeran memang benar sekali." Kaerltan terdiam. Dia tidak menyangka hwesio tua ini demikian sabar, Dia berdiri, untuk sesaat dia masih berdiam diri. Kemudian dia menunjuk kepada Siau Po sambil bertanya dengan suara lantang.
"Eh, hwesio cilik, apakah kau juga mirip dengan angin busuk anjing dan tidak berharga sepeser pun?"
Di luar dugaannya, Siau Po justru tertawa geli, dengan gembira dia memberikan jawabannya.
"Yang Mulia, dapat dipastikan kalau Yang Mulia masih menang jauh dibandingkan aku, si hwesio cilik ini. Siau Ceng tidak mirip dengan angin busuk anjing dan tidak berharga sepeser pun. sedangkan yang Mulia justru mirip dengan angin busuk anjing dan berharga satu tail. Pokoknya, Yang Mulia masih menang satu tingkat."
Mendengar jawabannya, beberapa hadirin langsung tertawa terbahak-bahak.
Bukan main panasnya hati pangeran Kaerltan, Hampir saja dia maju dan menyerang si hwesio cilik, untung saja dia masih sadar dengan kedudukannya.
- Hwesio ini masih kecil tapi kedudukannya tinggi, mungkin ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Siapa tahu? -, pikirnya dalam hati. Karena itu dia menahan
kemarahannya.
"Yang Mulia, harap Yang Mulia jangan gusar," kata Siau Po yang dapat melihat gerak gerik orang. "Perlu diketahui bahwa di dunia ini yang busuk bukan hanya kentut anjing saja tetapi kata-kata manusianya juga. Ada sebagian orang, kalau dia berbicara, angin busuknya terpancar sampai ke atas langit sehingga baunya mirip... mirip. Ah!
sebaiknya tidak usah kukatakan Lagi pula, kalau tidak berharga sepeser pun, itu toh bukan nilai yang paling rendah, Manusia yang rendah justru orang yang hutangnya mencapai laksaan tail tapi tidak sudi membayar satu tail pun, Mengenai Yang MuIia sendiri, apakah Yang Mutia pernah berhutang kepada orang lain atau tidak, tentu hanya Yang Mulia sendiri yang mengetahuinya."
Kaerltan terbungkam, dia tertegun sehingga untuk sesaat dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Siau Po.
"Kata-kata Sute benar sekaIi. Artinya pun sangat dalam." Sambung Hui Cong, "Lolap benar-benar merasa kagum, Manusia yang hidup di dunia semua sudah ada karmanya, perbuatan manusia terdiri dari sebab dan akibat. Siapa yang berbuat jahat, kejahatan pulalah yang akan diterimanya, itulah yang dikatakan tidak berharga sepeser pun, Yang lebih baik, kalau seseorang itu tidak berbuat kejahatan, tidak bersikap terlalu mulia dan juga tidak berhutang."
"Ya, Susiok Hui Beng memang sangat cerdas," kata Teng Koan yang ikut memuji Siau Po. Wajah Kaerltan menjadi merah padam. Dia mengira rombongan hwesio itu sudah sepakat untuk mempermainkan dan menyindirnya. Tiba-tiba dia melompat maju ke arah Siau Po dan menerjangnya, jarak diantara mereka berdua kira-kira satu tombak. Si pangeran mengulurkan kedua tangannya, Yang satu untuk menyambar wajahnya dan yang satunya lagi untuk mencengkeram dadanya.
Terlambat sudah rasa terkejut Siau Po. Tidak sempat dia membela diri atau menghindarkan serangan tersebut.
Hui Cong dapat menyaksikan kejadian yang berlangsung di depan matanya. Dengan gesit dia mengibaskan lengan bajunya sehingga serangan si pangeran sempat terhalang bahkan orangnya sendiri merasa nafasnya sesak serta darah dalam tubuhnya bergolak.
Mula-mula dia terhuyung-huyung kemudian menyurut mundur tiga langkah, dia memaksakan dirinya untuk berdiri tegak, tapi ternyata dia terhuyung-huyung kembali lalu mundur lagi tiga tindak, dan akhirnya jatuh terduduk.
- Celaka! -- serunya dalam hati, - Aku bisa mendapat malu besar! -- Tetapi ternyata dia jatuh terduduk di kursinya sendiri.
"Bagus!" seru orang banyak.
Lega juga hati pangeran itu. Dia tidak perlu mendapat malu besar. Dia juga merasa senang ketika menyalurkan pernafasan dan mendapat kenyataan dirinya tidak terluka sedikit pun.
Siau Po sendiri masih bingung menghadapi kenyataan itu. Hui Cong menoleh dan berkata kepadanya.
"Sute, semangatmu bagus sekali, hatimu kukuh tidak tergoyahkan! Kau bisa bersikap tenang meskipun ada bahaya yang mengancam. Kau juga cerdas sekali."
Kaerltan panas sekali mendengar tuan rumah memuji adik seperguruannya, Dia menoleh ke belakang dan mengeluarkan seruan yang berupa perintah, beberapa pengawal di belakangnya langsung menggerakkan tangan masing-masing sehingga terlihatlah sinar kuning berkelebatan bagaikan kilat datang menyambar.
Ternyata itulah senjata rahasia Kim Ci piau atau senjata rahasia uang emas yang meluncur ke arah Hui Cong, Teng Koan dan Siau Po. sasarannya dada ketiga hwesio tersebut.
Karena jarak mereka sangat dekat, maka serangan itu dahsyat sekali, Apalagi Kaerltan bicara dengan bahasanya sendiri sehingga mereka tidak tahu apa artinya. Yang jelas senjata-senjata rahasia itu meluncur tepat kepada sasarannya.
"Aduh!" Terdengar Hui Cong, Teng Koan berseru, tapi sang ketua sempat mengibaskan tangannya seperti tadi. Dia menggunakan ilmu Poa Lap Kong (llmu Jubah Rombeng). Dengan demikian, tiga buah Kim Ci piau yang meluncur ke arahnya dapat dihalangi sehingga dadanya tidak terluka.
Teng Koan menggunakan cara yang lain. Dia menyambut ketiga buah senjata rahasia itu dengan jurus Keng Le Sam Po (Membalas penghormatan tiga mustika). Caranya ialah dengan menggerakkan tangannya menangkap senjata rahasia tersebut
Yang hebat justru ketiga buah Kim Ci piau yang meluncur ke arah Siau Po. Selain tidak bersiaga, kepandaiannya juga masih cetek, sehingga tanpa ampun lagi ketiga buah senjata rahasia itu tepat mengenai dadanya, Dia pun menjerit seketika.
Meskipun demikian, hwesio cilik ini tidak roboh atau terluka, Yang jatuh justru ketiga buah senjata rahasia tersebut. Hal ini karena dia mengenakan baju mustikanya.
Para tamu menjadi tertegun saking herannya. Di luar dugaan, seorang hwesio cilik saja sudah menunjukkan ketangguhannya, Mereka mengira Siau Po menguasai salah satu ilmu istimewa dari Siau Lim Pai yakni ilmu kebal yang dinamakan Kim Kong Hu Te Sin Kang.
Zang Chi lama tertawa dan berkata.
"Kho Ceng kecil ini sungguh lihay! Tidak mudah melatih ilmu Kim Kong Hu Te Sin Kang sampai taraf ini. Namun ilmu yang satu" ini juga ada kelemahannya, yakni tidak sanggup mengelakkan diri dari serangan senjata rahasia, hal ini terbukti dari jubahnya yang bolong di sana sini."
-- Tidak heran hwesio yang masih kecil sudah menyandang huruf Hui, -- pikir beberapa orang tamu. - pantas kedudukannya bisa seimbang dengan sang ketua, Ternyata dia memang lihay! --
Sebenarnya, walaupun tidak terluka, Siau Po merasa kesakitan juga, serangan itu cukup hebat Tapi karena dia memang keras kepala dan dapat menahan diri, dia tidak meringis atau menjerit, justru dia mengembangkan senyuman yang manis. Karena itulah, dia lebih menjadi perhatian ketimbang Hui Cong atau pun Teng Koan.
Sebetulnya Kaerltan gusar sekali, tapi melihat hwesio cilik itu benar-benar lihay, kemarahannya langsung buyar. Diam-diam dia berkata dalam hatinya.
- Ternyata ilmu Siau Lim Pai memang hebat! -"Sekarang kami telah melihat ilmu Siau Lim Pai yang ternyata hebat dan tidak dapat disamakan dengan angin busuk seekor anjing, Tapi, kabarnya di dalam kuil kalian tersimpan seorang wanita, hal ini tidak pantas dan melanggar peraturan..." kata Zang Chi pula.
Mendengar kata-kata itu, wajah Hui Cong langsung berubah dingin. "Kata-katamu keliru sekali, bapak lhama besar! Wihara kami bahkan tidak menerima tamu wanita yang ingin bersembahyang sekalipun Darimana datangnya sumber berita yang tidak dapat dipercaya itu?" katanya dengan nada penuh wibawa.
Zang Chi tertawa dan berkata pula.
"Berita itu sudah tersebar luas di dalam dunia Kangouw dan semua orang mengetahuinya."
Hui Cong tersenyum.
"Berita yang tersiar dalam dunia Kangouw tidak usah dihiraukan!" katanya, "Paling bagus seperti Sute Hui Beng, hatinya tidak tergerak oleh apa pun yang datang dari luar, Dia sudah memperoleh keinsyafan."
Agaknya Zang Chi masih penasaran, dia berkata lagi.
"Kabarnya Kho Ceng kecil ini menyimpan wanita yang sangat cantik di dalam kamarnya. Menurut berita yang kami dapatkan, dia sengaja menculik wanita itu, Kalau benar demikian, mungkinkah hati Kho ceng kecil ini tidak tergiur melihat kecantikannya?"
Siau Po terkejut setengah mati mendengar kata-kata orang itu.
-- Bagaimana mereka bisa tahu aku menyimpan seorang wanita? Tanyanya dalam hati, Dia jadi berpikir lagi. - Ah! Aku tahu sekarang! Berita ini tersiar pasti karena kaburnya si nona berbaju biru, Dia tentu pergi menemui gurunya dan membeberkan kejadian ini. Malah ada kemungkinan orang-orang ini datang ke mari karena diminta bantuannya oleh si nona berbaju biru tua. Benarkah kedatangan mereka kemari untuk menolong calon istriku itu? Tapi sekarang istriku sudah kabur, Rupanya dia tidak bertemu dengan orang-orang dari rombongan ini. -
Karena si nona berbaju hijau itu sudah melarikan diri, meskipun terkejut, tapi Siau Po tidak takut. Setelah mendengar kata-kata si lhama dari Tibet, dia pun tersenyum dan berkata.
"Apakah di kamarku ada wanita cantik atau tidak, tentu kalian dapat mengetahuinya setelah melihat sendiri Para tamu yang terhormat kalau kalian mempunyai kegembiraan untuk melongoknya, silahkan!"
"Baik!" seru Kaerltan, "Mari kita periksa ke sana untuk mendapatkan kepastian!" Selesai berkata, pangeran ini langsung berdiri dan mengulapkan tangannya. "Geledah kuil ini!" Perintah itu langsung saja dilaksanakan oleh anak buah pangeran itu, mereka segera bergerak menuju ruang belakang wihara tersebut
"Yang MuIia, sabar dulu!" kata Hui Cong. "Yang MuIia hendak menggeledah kuil kami, entah atas perintah siapakah?"
"Sudah tentu perintahku sendiri." sahut si pangeran "Mengapa harus menunggu perintah orang lain?"
"Kalau begitu, pangeran telah berbuat kekeliruan." kata Hui Cong sabar "Yang MuIia seorang pangeran dari Mongolia, Kalau Yang MuIia sekarang berada di MongoIia, tentu Yang MuIia boleh berbuat sesuka hati, Tapi di sini bukan wilayah Mongolia, karena itu bukan hak Yang Mulia untuk mengurus persoalan Siau Lim Sie. Yang Mulia tidak mempunyai wewenang itu."
Kaerltan segera menunjuk kepada Ma Cong Peng.
"Kalau begitu, biar dia saja yang melakukan penggeledahan." katanya, "Dia orang dari pemerintahanmu, karenanya dia berhak melakukan penggeledahan."
Pangeran ini tidak berani sembrono, jumlah orangnya kecil, dia khawatir, kalau harus menggunakan kekerasan, mungkin pihaknya akan kalah, Para hwesio Siau Lim Sie rata-rata berkepandaian tinggi dan jumlahnya juga banyak sekali. Karena itu dia segera menambahkan "Kalau kalian membangkang terhadap perintah seorang pembesar negeri, maka berarti kalian semua dapat disebut sebagai pemberontak."
"Menentang perintah pemerintah kami tidak berani." kata Hui Cong pula, Tapi Bapak pembesar ini merupakan bawahan Peng Si Ong yang berkuasa di In Lam. Meskipun sebagai seorang Raja muda, kuasanya besar sekali, namun tidak mencakup wilayah Hu Lam ini."
Zang Chi tertawa.
"Bukankah pendeta kecil ini sudah mengijinkan adanya penggeledahan? Mengapa Hong Tio sendiri menolaknya? Apakah nona cantik itu bukan disembunyikan dalam kamar si hwesio cilik ini tapi ada di dalam kamar Hong Tio sendiri?"
Hui Cong segera memuji Sang Buddha berulang-ulang.
"Dosa! Dosa!" katanya, "Taysu, mengapa kau sampai mengeluarkan kata-kata seperti itu?"
Baru saja selesai Hui Cong berkata, dari belakang Kaerltan terdengar suara seorang wanita yang berseru dengan lantang. "Yang MuIia, memang benar adik perempuanku telah ditawan oleh si hwesio cilik itu. Lekas suruh mereka serahkan adikku itu! Kalau tidak, aku tidak mau mengerti, aku akan membakar ludes kuil ini."
Suara yang datangnya tiba-tiba itu membuat semua orang menjadi terkejut, lebih- lebih pihak Siau Lim Sie, Yang lebih aneh, suara yang terdengar itu suara seorang wanita, sedangkan orangnya laki-laki berwajah kuning dan berewokan.
Hanya Siau Po seorang yang segera mengenali bahwa laki-Iaki itu samaran si nona berbaju biru, Nona itu memulas wajahnya dengan lilin kuning dan memakai kumis serta cambang palsu.
Rupanya dia datang secara diam-diam sehingga tidak ada orang yang memperhatikannya, sebaliknya dari khawatir, Siau Po justru senang sekali, Dia berkata dalam hati.
Selama beberapa hari ini aku terus bersedih, sampai she dan nama istriku sendiri saja, aku tidak mengetahuinya, sedangkan aku pun bingung ke mana harus mencarinya, Siapa tahu dia ada di dalam rombongan orang-orang MongoIia ini. Tidak bisa tidak, pokoknya hari ini aku tidak akan membiarkannya lolos lagi.
Hui Cong juga segera mengenali si nona yang menyamar ini. Maka dia langsung berkata.
"Oh, nona! Kiranya kaulah yang kemarin ini datang melakukan penyerangan ke kuil kami sehingga ada beberapa muridku yang terluka, memang ada seorang kawanmu yang berdiam di kuil kami untuk diobati lukanya, tapi dia sudah pergi lagi, bukankah dia pergi bersama-samamu?"
"Kebenaran itu hanya sebagian." bantah si nona. suaranya keras karena dia memang marah sekali, "Akan tetapi kemudian adikku telah ditawan oleh si hwesio cilik itu. Dalam hal ini dia dibantu pula oleh si hwesio tua."
Nona itu langsung menuding kepada Teng Koan, Siau Po jadi terkejut setengah mati.
- Celaka! --, pikirnya dalam hati, - Teng Koan tidak pandai berdusta, ini berbahaya sekali! Bagaimana kalau rahasiaku sampai terbongkar? --, karenanya Siau Po jadi kebingungan otaknya langsung berputar keras.
Si nona yang sedang menuding kepada Teng Koan berkata lagi dengan suara keras. "Eh, hwesio tua! Bicaralah! Ayo bicara! Benar atau tidak apa yang kukatakan
barusan?"
Teng Koan merangkapkan sepasang tangannya, dia tidak menjawab, tapi malah balik bertanya. "Nona, ke manakah perginya adik nona itu? Aku harap sudilah kiranya kau memberitahukan kepada kami! Paman guruku ini telah terluka olehnya, bahkan masih ada sisa racun jahatnya yang mengendap dalam tubuh paman guruku ini. Oh, Li sicu,., sukalah kau bermurah hati, cepat kau cari adikmu dan minta obat darinya! Dalam hal ini, paman guruku pasti tidak akan menyalahkannya."
Kata-kata ketua Poan Jiak Tong ini bagus sekali, Secara tidak langsung dia mengakui bahwa nona itu pernah ada dalam kuilnya tapi sekarang sudah pergi lagi, bahkan dia telah melukai paman gurunya dan meninggalkan racun dalam tubuhnya yang bisa mengancam keselamatan jiwanya.
Semua mata diarahkan kepada Teng Koan, Melihat wajahnya yang lugu serta polos, orang-orang yang hadir dalam ruangan itu langsung mempercayai kata-katanya. Bahkan pihak si pangeran pun jadi berpikir.
- Kuil ini demikian besar dan luas, kamarnya saja ada ratusan. Pasti sukar untuk menggeledahnya satu per satu, Mungkin kita memerlukan waktu yang lama untuk melakukannya, Lagipula, hwesio tua itu telah menerangkan dengan jelas, seandainya kami tetap menggeledah mana mungkin wanita itu bisa ditemukan? Bukankah dia telah pergi? Seandainya kami memaksakan diri lalu tidak berhasil menemukan apa-apa, bukankah kami akan menderita malu yang besar sekali?
Si nona yang sedang menyamar tetap tidak mau mengerti.
"Sudah terang adikku ditawan dan dibawa masuk ke dalam kuil ini, Kalau dia sampai hilang, kemungkinan besar kalian telah mencelakainya, Kalian para hwesio yang mendurhaka terhadap Thian yang maha Kuasa, Kalau kalian melenyapkan adikku itu, memang tidak ada buktinya lagi,..."
Ketika mengucapkan kata-katanya yang terakhir suara si gadis bergetar, pertanda hatinya gundah sekali.
"lya, memang benar" tukas Kaerltan sembari menganggukkan kepalanya, Sejak tadi dia memang diam saja. " Hwesio cilik itu... pasti bukan orang baik-baik."
Si nona berhenti menangis, Dia menuding kepada Siau Po.
"Kau... kau memang manusia busuk!" makinya, "Tempo hari, ketika berada di rumah pelesiran, kau bergaul dengan segala pelacur, setelah melihat kecantikan adikku, kau langsung berubah pikiran, kau berusaha bermain gila dengan adikku itu, Tentu adikku itu tidak sudi melayanimu sehingga kau membunuhnya. Ke rumah hina saja kau pergi, perbuatan apalagi yang tidak berani kau lakukan?"
Hui Cong mendengar dengan jelas setiap patah kata yang dikatakan gadis itu. Dalam hati dia tertawa.
-- Mana mungkin! -- katanya dalam hati. Teng Koan lebih-lebih tidak percaya kata-kata si nona, Dia melihat sendiri si paman guru bersungguh-sungguh menjadi hwesio, Apaiagi paman guru itu mewakili kaisar. Bukankah dia masuk menjadi hwesio secara sah dan resmi? Sejauh ini, dia pun tidak pernah melihat tindakan yang menyeIeweng dari paman gurunya itu.
Sementara itu, Siau Po masih kebingungan.
Hebat sekali caci maki si nona, Di saat yang genting itu, tiba-tiba seseorang muncul dari belakang, Ma Cong Peng dan merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada si nona sembari berkata
"Ji kounio, hamba tahu sekali bahwa bapak guru kecil ini sangat taat beragama, patuh kepada peraturan dan pantangan Kalau dikatakan beliau pernah main gila di rumah hina, hamba... hamba khawatir telah terjadi kekeliruan."
Semua orang segera menoleh dan mengawasi orang yang berbicara itu, Saat itu Siau Po sudah mengenalinya, Orang itu ialah Yo Ek Jie yang pernah ditemuinya di Kota raja.
Ketika itu Yo Ek Jie mengawal Go Eng Him dan Siau Po sempat berkawan dengannya, Rupanya, setelah Eng Him kembali ke In Lam, Ek Jie kembali lagi mengiringi Ma Cong Peng.
Sejak tadi dia selalu berada di belakang pembesar negeri itu sehingga tidak dapat melihat dengan jelas siapa hwesio cilik yang sedang diajak berbicara itu.
Si nona gusar sekali kepada orang yang ikut campur dalam urusannya itu. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya dengan keras, "Tidak mungkin kau kenal
dengannya."
Yo Ek Jie bersikap hormat sekali ketika menjawab pertanyaannya.
"Hamba kenal dengan sian su muda ini, Bahkan Sicu hamba juga kenal dengannya, Terhadap istana kami, sian su ini sudah menanamkan budi yang besar, Sebelum menyucikan diri Siau Su ini adalah seorang Kong Kong dalam istana Sri Baginda. Karena itulah hamba berani mengatakan bahwa tuduhan ke rumah hina itu atau memaksa Sam kounio (nona ketiga) pasti bukan kenyataan Ji kounio, hamba harap sudilah kiranya Ji kounio mengerti."
Hampir semua hadirin mengeluarkan seruan tertahan Mereka pun jadi tertegun Diam-diam mereka berpikir.
-- Kalau dia benar seorang thay-kam, tentu tidak mungkin dia pergi ke rumah hina, lebih-Iebih tidak mungkin menyembunyikan seorang wanita di dalam kamarnya untuk diperkosa -- Nona itu melihat wajah para hadirin, dia menjadi mendongkol jelas orang-orang itu tidak mempercayai keterangannya lagi, Dia toh tidak sembarangan menuduh? Karena itu, dengan sengit dia membentak.
"Bagaimana kau tahu dia seorang thay-kam? Kalau dia benar seorang kebiri, mengapa dia mengatakan kepadaku bahwa dia ingin menikahi adikku? Dan bukan hanya si hwesio cilik itu saja yang ceriwis, si hwesio tua pun pandai menggoyangkan lidahnya, Dan mau menang sendiri."
Sembari berkata, si nona menuding lagi kepada Teng Koan.
Mata para hadirin pun beralih lagi kepada Teng Koan Hwesio itu sudah berusia delapan puluhan tahun, wajahnya welas asih, gerak-geriknya halus, bahkan tampangnya ketolol-tololan. Sedangkan, barusan mereka semua mendengar kata- katanya juga kurang lancar, bicaranya agak gugup.
Karena itu, mana ada orang yang percaya kalau dia pandai memutar lidah? sebagian besar dari mereka langsung merasa menyesal telah mengikuti permintaan si nona dengan mendatangi kuil ini.
Sementara itu, terdengar Yo Ek Jie berkata kembali
"Ji kounio, kounio tentu belum tahu siapa sian su kecil ini sebenarnya. Sebelum menjadi hwesio, dia mempunyai nama yang besar sekali. Dialah Kui Kong Kong yang telah berhasil membunuh Go Pay si menteri durhaka. Ongya kami telah termakan fitnah orang, untung ada sian su kecil ini yang sudi berbicara dan menjelaskan semuanya di hadapan Sri Baginda, kalau tidak, mungkin seluruh keluarga Ongya kami bisa mati penasaran Budi yang besar ini masih belum terbalaskan oleh kami sampai saat ini."
Para hadirin semuanya sudah pernah mendengar prihal kematian menteri Go Pay di tangan seorang thay-kam cilik, Semua orang juga tahu, Kui Kong Kong atau thay-kam cilik itu sangat disayangi raja. Karena itu, ketika mendengar penjelasan Yo Ek Jie kembali mereka mengeluarkan seruan tertahan Mereka menjadi kagum sekali.
Sementara itu, bukan main leganya hati Siau Po. Dia segera menghampiri Yo Ek Jie. Sembari tertawa dia berkata.
"Saudara Yo, sudah lama sekali kita tidak bertemu Bagaimana kabarnya Sicu kalian di In Lam? Apakah beliau baik-baik saja? Aih! Saudara, untuk apa kau ungkit lagi peristiwa yang telah lalu?"
Meskipun Yo Ek Jie mengikuti Ma Cong Peng mendaki bukit Siau Sit san tersebut, tapi selain orang-orangnya Peng Si Onghu sendiri, baik pengikut si pangeran maupun para lhama tidak ada yang mengetahui namanya.
Karena itu, begitu mendengar Siau Po memanggilnya dengan sebutan "Saudara Yo," mereka langsung percaya bahwa kedua orang itu memang saling mengenal. Mendengar sapaan Siau Po itu, Yo Ek Jie langsung tersenyum.
"Sian su baik sekali" kata nya. "Sian su menyebut hal itu sebagai peritiwa kecil tapi Sicu kami justru sangat berterima kasih, Memang Sri Baginda sangat bijaksana dan pandai membedakan hitam serta putih, tapi kalau waktu itu sian su tidak menjelaskannya, pasti ongya kami akan mendapat banyak kesulitan sebelum semuanya menjadi terang."
"Ah, kau cuma memuji, saudara Yo!" kata Siau Po. "Yang benar, ongya kalianlah yang terlalu sungkan."
Meskipun di mulutnya Siau Po berkata demikian, tapi di dalam hatinya dia justru mendumel.
- Aku menyesal tidak berhasil merobohkan ongya kamu itu. sebenarnya Sri Baginda memang cerdas sekali dan telah tahu semuanya dengan jelas. sedangkan aku hanya mengikuti arusnya saja, Namun, siapa sangka perbuatanku itu justru mendatangkan kebaikan sehingga hari ini aku dapa lolos dari mala petaka.... --
Sementara itu, Kaerltan menatap si anak muda dengan seksama, Sesaat kemudian dia baru berkata.
"Oh, rupanya kaulah si thay-kam cilik yang sudah membinasakan Go Pay. Ketika di MongoIia, aku telah mendengar namamu yang menjadi buah bibir di mana-mana. Karena Go Pay jago nomor satu dari Boan Ciu, maka ilmu silatmu pasti berasal dari partai Siau Lim Sie ini."
Siau Po tertawa dan menyahut dengan merendahkan diri.
"llmu silatku cetek sekali, tidak ada harganya disebut-sebut, Hanya akan menjadi bahan tertawaan saja, Sebenarnya, orang yang mengajarkan ilmu silat padaku cukup banyak, salah satunya ialah saudara Yo ini, dia mengajarkan aku dua jurus Heng Siau Ciang kun dan Ko San Liu Sui."
Selesai berkata, Siau Po langsung menjalankan kedua jurus itu, Dia memang tidak menguasai tenaga dalam, tapi orang tidak akan mengetahuinya Yang penting kedua jurus yang disebutkan dijalaninya dengan benar.
Setelah Siau Po selesai bersilat, Yo Ek Jie berkata kembali
"Kedua jurus inilah yang menjadi andalan kita ketika itu, Karena siansu menunjukkan kedua ilmu ini di hadapan Sri Baginda, untuk membuktikan kata-katanya, jadi jelaslah ongya kami hanya termakan fitnah musuhnya."
Mendengar pembicaraan itu, hati si nona berbaju biru tidak begitu gusar lagi, Dia lantas memperhatikan Ek Jie dan bertanya. "Yo si siok (Paman keempat), benarkan Peng Si Ong berhutang budi sebesar itu kepada nya ?"
"Benar, Ji kounio," sahut Ek Jie. "Kalau kounio bertemu dengan Sicu, kounio bisa menanyakan sendiri duduk persoalannya sehingga jelas."
Si nona berdiam diri sejenak.
"Lalu," dia menoleh kepada Siau Po kembali "Kau telah melakukan hal yang sedemikian terhadap kami kakak adik berdua, apakah kau hanya bergurau atau memang mengandung maksud tertentu?" suaranya tidak sekeras sebelumnya lagi.
"Bergurau? Sama sekali aku tidak berani, kalau mempunyai maksud tertentu, itu memang benar," sahut Siau Po. sementara itu, dalam hatinya dia berkata, -- Maksudnya ingin menikahi adikmu.,., -Tapi dia tidak mengutarakannya, dia hanya berkata, "Tapi di sini banyak orang, tidak leluasa aku mengatakannya."
"Apa maksudmu itu?" tanya si nona.
Siau Po tersenyum, Dia tidak memberikan jawaban apa-apa.
Mendengar pembicaraan kedua orang itu dan menilik sikap si hwesio cilik, orang- orang jadi berpikir
-- Kalau dia mempunyai maksud tertentu, pasti tidak dapat mengatakannya di depan orang banyak..,.
Sampai di situ, Zang Chi segera bangkit dan merangkapkan kedua tangannya untuk memberi hormat.
"Hong tio, Hui Beng Siansu, kedatangan kami ini sungguh sembrono, kami mohon maaf! Perkenankanlah kami mengundurkan diri sekarang!" katanya.
Hui Cong segera membalas hormatnya.
"Para tamu yang terhormat sekalian telah datang dari tempat yang jauh, sebaiknya kita bersantap bersama dulu sebelum kalian mohon diri." katanya, Kemudian dia menoleh kepada si nona berbaju biru yang sedang menyamar itu. "Kau seorang wanita, Kau memang sedang menyamar sebagai pria dan lancang memasuki kuil kami. Urusan yang sudah lewat tidak perlu kita ungkit kembali, tapi... untuk mengundang kau makan bersama-sama, rasanya kurang... tepat."
Zang Chi tertawa lagi dan berkata.
"Terima kasih! Terima kasih!" katanya, "Harap Hong Tio tidak perlu repot-repot Tidak perlulah kami bersantap bersama." Dan dia langsung mengajak rombongannya mengundurkan diri dari kuil tersebut. Para hadirin itu langsung memberi hormat Hui Cong, Siau Po dan Teng Koan mengantarkan sampai di pintu halaman.
Tepat pada saat itulah terdengar suara bisingnya derap kaki belasan ekor kuda ke arahnya. Dalam sekejap mata rombongan yang terdiri dari enam belas orang Gi Cian Sie Wie atau pengawal istana raja telah sampai.
Tiba di depan kuil, keenam belas orang Sie Wie itu langsung melompat turun dari kuda masing-masing kemudian membentuk tiga barisan yang rapi menghampiri Siau Po.
Dua orang Sie Wie yang jalan paling depan ialah Tio Kong Lian dan Cio Ci Hian. Begitu melihat Siau Po, mereka segera menyapa dengan suara nyaring.
"Tou... tayjin, apakah tayjin baik-baik saja?"
Sebenarnya mereka hendak memanggil Tou tong tayjin, tapi ketika melihat jubah pendeta yang dikenakan si anak muda, mereka menjadi ragu. Selesai berkata, keduanya segera memberi hormat kepada Siau Po.
Senang sekali hati Siau Po melihat kedatangan rombongan itu.
"Tuan-tuan sekalian, silahkan bangun!" katanya ramah. "Kalian tidak perlu melakukan banyak peradatan. justru setiap hari aku sedang menunggu-nunggu kedatangan kalian."
Kaerltan merasa heran dan kagum melihat para pengawal istana bersikap demikian menghormat kepada si hwesio cilik, sekarang dia tidak berani tidak memandang mata lagi kepada Siau Po.
- Ternyata hwesio cilik ini memang mempunyai kedudukan yang tinggi! --, pikirnya,
Kong Lian dan yang lainnya merupakan pengawal-pengawal pribadi raja, Terhadap para pembesar dari propinsi luar, mereka tidak memandang sebelah mata. Karenanya, ketika melihat Ma Cong Peng, mereka hanya mengangguk sedikit dan tidak menghiraukannya lagi, Mereka langsung berbicara dengan Siau Po.
Kelihatan tidak puas melihat sikap para Sie Wie itu. Hatinya menjadi panas. "Hm!" Dia mengeluarkan dengusan dingin, "Ayo berangkat, tidak tahan aku
menyaksikan wajah-wajah yang tidak tahu malu ini!" Kemudian dia memberi hormat
kepada Hui Cong dan yang lainnya lalu berjalan dengan langkah cepat dan diikuti oleh orang-orangnya.
Setibanya di pendopo besar, Tio Kong Lian segera mengeluarkan firman raja yang langsung dia bacakan. Kaisar menghadiahkan uang sebanyak dua laksa tail kepada pihak Siau Lim Sie. Untuk digunakan sebagai biaya memperbaiki kuil serta patung- patung yang rusak, sedangkan kepada Siau Po, dianugerahkan sebutan kehormatan, yakni "Hu Kok Hong Seng Siansu" (Pendeta terhormat yang membantu negara menghormati sang nabi).
Hui Cong dan Hui Beng segera berlutut dan menyatakan terima kasihnya.
Selesai menjalankan upacara singkat itu, Kong Lian dijamu air teh. Setelah itu, Siau Po mengajak pengawal pribadi raja itu ke dalam kamarnya bersama Cio Ci Hian, Di dalam kamar itu setelah berbicara sebentar, Tio Kong Lian segera berkata.
"Sri Baginda menitahkan agar Tayjin segera menetapkan hari untuk berangkat ke gunung Ngo Tay san."
"Baik!" sahut Siau Po. Dia memang telah menduga akan datang titah itu.
Kong Lian merogoh sakunya, Dia mengeluarkan apa yang disebut firman rahasia, dengan kedua tangannya dia menyerahkan firman itu kepada Siau Po.
"Sri Baginda juga mengirimkan firman rahasia ini. "
Siau Po menjatuhkan dirinya berlutut ketika menerima firman tersebut Katanya dalam hati, Entah ada perintah apa lagi? Aku buta huruf Bagaimana aku mengenali kata-kata
dalam firman ini? Katanya ini firman rahasia, jadi aku tidak dapat memperlihatkannya kepada Kong Lian atau Coi Ci Hian, Lebih baik aku minta bantuan Hong To suheng, tentu dia tidak akan membocorkan rahasia.
Dengan membawa firman itu, Siau Po segera menemui Hui Cong taysu.
"Hong Tio suheng, ada firman rahasia untukku, sudilah kiranya suheng memberi petunjuk kepadaku!" katanya sambil membuka firman tersebut
Rupanya isi firman itu terdiri dari empat helai peta. Gambar yang pertama merupakan sebuah gunung dengan kelima puncaknya, Siau Po segera mengenalinya sebagai gunung Ngo Tay san. Di bagian utara dari puncak selatan terdapat sebuah wihara dengan nama "Ceng Liang si." Karena sempat berdiam cukup lama dalam kuil itu, Siau Po jadi mengenali huruf-huruf itu.
Gambar yang kedua melukiskan seorang hwesio cilik tengah memasuki sebuah kuil dan papan di atasnya juga bertuliskan huruf "Ceng Liang si."
Di belakang hwesio itu mengiringi serombongan pendeta dan di atas kepalanya terdapat tulisan "hwesio-hwesio Siau Lim Sie." Huruf-huruf itu juga dikenal oleh Siau Po.
Gambar yang ketiga adalah gambar sebuah pendopo, yakni Tay Hiong Po Tian. Di sana ada seorang hwesio cilik yang duduk di kursi pertama dan letaknya di tengah- tengah ruangan. Hwesio cilik itu bukan lain daripada Siau Po sendiri, Dia mengenakan jubah merah, jubah seorang Hong Tio atau kepala pendeta. Dia didampingi oleh sejumlah hwesio Iainnya. Melihat gambar yang telah dia kenal dengan baik itu, Siau Po menjadi tertawa sendiri.
Sekarang dia membeberkan gambar yang keempat Kali ini tampak seorang hwesio kecil sedang berlutut di hadapan seorang hwesio lainnya. Usia hwesio itu sekitar empat puluhan tahun, wajahnya putih bersih, mengandung wibawa besar dan enak dipandang, Tentu saja hwesio itu dilukiskan sebagai Heng Ti taysu atau kaisar Sun Ti yang telah menyucikan diri.
Melihat keempat gambar tersebut Siau Po mula-mula tidak mengerti artinya, Dia memperhatikan dengan seksama, Begitu pula Hui Cong taysu, Mereka sama-sama menguras otak.
Siau Po membalikkan gambar yang pertama, Dia tahu lukisan itu mengartikan bahwa dia harus menuju gunung Ngo Tay san. Tapi hal itu memang sudah diketahuinya, untuk apa Sri Baginda melukiskannya lagi, Siau Po menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal
Setelah menerima dan membaca isi surat dari raja yang isinya meminta pada Siau Po pergi ke Ngo Tay san guna merawat ayah raja di kuil Ceng Liang Sie.
Mulanya Siau Po sangat gembira menerima surat dari raja, Tetapi, setelah diketahui isinya ia lalu berpikir, sampai kapankah ia harus merawat ayah raja? Apakah ia harus menjadi biksu sampai tua?
"Sute selamat kau telah diperintahkan raja untuk pergi ke Ngo Tay san, di sana kau akan menjadi seorang ketua, kau tahu? Usia kuil itu lebih tua dari kuil ini, Sute, harapanku semoga kau berhasil dalam memajukannya!" kata Hui Cong.
Siau Po hanya menggelengkan kepala, "Sebenarnya aku tak sanggup menjadi ketua di sana, aku akan ditertawakan orang." keluh Siau Po. "Kau jangan merendah, kau kan dapat membawa pendeta di sini untuk membantumu dan kau pun di suruh membawa pendeta itu katanya dalam surat itu dan mereka juga bawahanmu pasti mereka akan menurut dan membantumu." jawab Hui Cong memberikan keyakinan.
Siau Po terdiam dan katanya dalam hati, "Raja memang pandai, sebelum aku disuruh merawat ayahnya yang berada di kuil itu aku disuruh menjadi biksu di kuil ini agar nanti aku dapat dipindah ke Ngo Tay san dengan membawa biksu pilihanku. Karena ayah raja sekarang telah menjadi biksu, maka tak mungkin ia mau selalu dikawal oleh para Sie Wie, hal itu untuk menghilangkan kecurigaan di samping itu juga salah satu pendeta di sini ada yang berada di sana dan itu sangat memudahkan Orang tak kan tahu kalau ayah raja masih tetap dikawal, Tetapi kali ini bukan oleh para Sie Wie melainkan oleh para biksu," katanya. Setelah berpikir demikian Siau Po lalu kembali ke kamarnya untuk mengambil uang dan dihadiahkan pada para pengawal yang telah membawakan surat itu.
Satah satu dari mereka lalu berkata, "Sejak dahulu hingga sekarang ini, baru kali ini seorang biksu memberikan hadiah pada pengawal raja!" katanya gembira. Siau Po tertawa.
"Biksu tua tidak, tetapi biksu cilik ya!" katanya, "Sute, tentang perintah raja kami tak banyak tanya, tetapi jika sute memerintahkan pada kami, kami akan mematuhi sama halnya dengan kami menerima perintah dari raja kami akan setia padamu." katanya.
"Jika Sute akan melakukan sesuatu kami bersedia mewakilinya, Umpamanya saja, kamu akan mengambil kitab ilmu silat Siau Lim Sie atau membakar perpustakaan itu kami akan melakukannya." jawabnya pula.