Kaki Tiga Menjangan Jilid 44

Jilid 44

Teng Koan tertegun, Tampaknya dia merasa serba salah.

"Aku seorang yang sudah menyucikan diri sehingga tidak boleh mengeluh maupun gusar." sahutnya, "Mana mungkin tanpa sebab musabab aku bertarung dengan kedua nona itu? perbuatan demikian sungguh tidak pantas!"

"Ada jalannya untuk itu, jangan khawatir" kata Siau Po. "Begini, kita pergi ke luar kuil. Syukur kalau kedua Li sicu itu sudah pergi, jadi kita bisa berpegang pada semboyan, "Orang tidak mengganggu kita, kita pun tidak boleh mengganggu orang lain." Dengan demikian, perduli amat berapa banyak pun jurus yang mereka kuasai, kita toh tidak perlu menghadapi mereka."

"Benar! Benar!" kata si hwesio, "Tapi, biasanya... sutit tidak pernah ke luar kuil, sekarang sulit harus ke luar dengan niat menimbulkan keonaran pula, ini sungguh tidak layak, Sama artinya kita mengandung niat buruk."

"Kita juga tidak perlu ke luar sampai jauh-jauh," kata Siau Po. Dia berusaha membujuk keponakan muridnya itu. "Kita berjalan-jalan di sekitar kuil saja, Lebih bagus lagi kalau kita tidak bertemu dengan mereka."

Teng Koan segera memuji sang Buddha. "ltu memang yang paling baik dan paling bagus." sahutnya, "Kalau Susiok berniat melakukan sesuatu hal yang mengandung kebaikan, suka sekali sutit menirunya."

Di dalam hatinya Siau Po tertawa, Kena hwesio tua ini diakalinya,

"Mari!" ajaknya kemudian Dia mencekal tangan hwesio itu dan menariknya, Mereka meninggalkan Poan Jian Tong kemudian ke luar dari pintu samping sehingga sekejap saja mereka sudah berada di luar kuil.

Teng Koan belum pernah ke luar dari kuil itu, karena itu dia menjadi kagum sekali, Dia melihat banyak sekali pohon cemara yang daunnya hijau segar pemandangannya juga indah sekali.

"Aneh sekali pohon-pohon cemara itu bisa tumbuh menjadi satu." katanya, "Di dalam halaman Poan JianTong hanya ada dua batang."

Baru selesai ucapan si hwesio, dari arah belakangnya sudah terdengar suara yang halus dan nyaring.

"Di sini rupanya si bangsat gundul!" Menyusul itu, terlihat sesosok bayangan berkelebatan, disertai dengan membiasnya cahaya putih dari sebatang golok yang meluncur ke arah Siau Po.

"Inilah jurus Beng Hou Hi San dari ilmu Ngo Hou Toan Bun To!" seru si hwesio yang merasa terkejut juga heran. Tetapi dia tetap cukup gesit untuk melihat gerakan tangan orang yang menyerang itu sehingga dia tahu itulah jurus yang dinamakan "Macan turun gunung", 

Dia langsung mengangkat tangannya untuk menyambut serangan tersebut dengan jurus Cian Kim Na Jiu. Tetapi mendadak dia menarik tangannya kembali dan berkata.

"Aih, tidak boleh!" Dia merasa perlawanannya itu kurang sopan.

Ternyata penyerang itu si nona berbaju biru, Dia melihat Teng Koan menarik kembali serangannya, segera memutar goloknya untuk ditebaskan ke pinggang Teng Koan.

Bertepatan dengan itu, si nona berbaju hijau melompat ke luar dari sela-sela pepohonan dan terus menyerang Siau Po dengan satu bacokan.

Siau Po sempat menghindarkan diri, dan langsung berlari ke belakang Teng Koan untuk menyembunyikan diri.

Si nona menjadi penasaran Dia maju dan menebas lagi, Karena Siau Po terhalang, goloknya jadi mengincar bahu kiri si hwesio tua. Teng Koan sempat melihat datangnya serangan itu. "inilah jurus Thay Kek To!" serunya, "Serangan ini dapat dielakkan dengan jurus yang sederhana saja!" Dia langsung mengelakkan tubuhnya sehingga terbebas dari ancaman bacokan.

Kedua nona itu maju kembali Kali ini Teng Koan berkaok-kaok semakin keras.

"Susiok, hebat, hebat sekali!" katanya, "Gerakan kedua Li sicu ini terlalu cepat sehingga aku tidak sempat memikirkan jurus pemecahannya, Karena itu, cepat kau minta kedua nona ini jangan bersikap terlalu keras!"

Panas hatinya si nona berbaju biru, Beberapa kali serangannya mengalami kegagalan, sekarang dia mendengar ucapan si hwesio itu yang dianggapnya sebagai ejekan, Hatinya semakin panas, dia menyerang lebih hebat lagi.

Siau Po berada di tempat yang aman, dia tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan suara lantang.

"Eh, nona-nona sekalian! Keponakan muridku ini menyuruh kalian jangan menyerang terlalu keras. sebaiknya kalian tidak perlu terburu-buru. Perlahan-lahan saja!"

"lya, iya!" sambung Teng Koan. "lya, jangan terlalu keras, otakku ini kurang cerdas, dalam waktu yang sesingkat ini aku tidak dapat menemukan jurus untuk memecahkan serangan kalian!"

Si nona berbaju hijau gusar sekali terhadap Siau Po. Karena itu, setelah beberapa kali gagal menyerang si hwesio tua, dia mulai menyerang si hwesio muda.

Melihat keadaan itu, Teng Koan segera menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis.

"Jangan, Li sicu!" teriaknya, "Paman guruku ini belum pernah belajar ilmu silat, Kau jangan membacoknya."

Si nona semakin kesal Dia memperhebat serangannya.

"Jangan, Li sicu!" teriak Teng Koan kembali. "sebaiknya kau tunggu sampai dia sudah mempelajarinya dan sanggup melayanimu, baru kau boleh membacoknya! Aih, Susiok! Semua jurusku tidak ada hasilnya, Tidak ada satu pun yang dapat kugunakan dengan baik, Karena itu, nanti saja kita mempelajarinya perlahan-lahan!"

Walaupun mulutnya berkoar-koar, tangan si hwesio tua tetap bergerak untuk menyingkirkan bahaya yang mengancam Siau Po. Dan perbuatannya itu selalu membuahkan hasil sehingga kedua nona itu bagai terkurung oleh tangkisannya dan tidak sanggup mendekati Siau Po.

Kalau tadinya Siau Po merasa khawatir, sekarang dia dapat tertawa-tawa, Dia melihat dirinya sudah tidak terancam bahaya lagi. Kedua nona itu tidak berdaya  menghadapi keponakan muridnya yang demikian polos serta jujur sehingga mirip dengan orang tolol.

"Ha ha ha ha!" Dia terus tertawa sambil memperhatikan si nona berbaju hijau yang menarik perhatiannya itu, Dia dapat menontoni kecantikan si nona dengan leluasa sebab sekarang dia sudah berhasil menyembunyikan diri di balik sebatang pohon yang besar.

Si baju hijau mengira hwesio muda itu sudah melarikan diri. Tetapi suatu kali, ketika dia menolehkan kepalanya, dia sempat melihat sinar mata pemuda itu sehingga hatinya semakin kesal. Dia segera meninggalkan Teng Koan dan menerjang ke arah orang yang dibencinya itu.

Sedangkan pada saat itu, Teng Koan sedang meluncurkan tangannya, Dia tidak menyangka nona itu akan meninggalkan dengan cara mendadak seperti itu, Tanpa ampun lagi, jari tangannya langsung menyentuh sasarannya yakni iga si gadis berbaju hijau.

"Aduh!" jerit si nona yang langsung rubuh di atas tanah.

"Oh!" seru si hwesio tua terkejut "Maaf, maaf! sebenarnya totokanku ini, Ciau Ci Thian Lam tidak terlalu hebat dan membahayakan Asal nona menangkisnya dengan jurus Ok Hou Lan Lou dari Ngo Hou Toan Bun to, kau sudah bisa menghadapinya, Si nona berbaju biru tadi sudah melakukannya, aku kira kau juga bisa, tidak tahunya... maaf! Maaf!"

Sementara itu, hati si baju biru semakin gusar.

Kembaii dia menyerang hwesio tua itu, Tetapi dia tidak berdaya, serangan- serangannya selalu mengalami kegagalan.

Ketika kedua orang itu bertarung, tidak lebih tepat dikatakan seorang menyerang, lainnya menangkis, Siau Po pun ke luar dari tempat persembunyiannya, Dia menghampiri si nona berbaju hijau.

"Nona cantik seperti kau ini, di dalam dunia ini pasti hanya ada satu." katanya, "Kau benar-benar membuat semangatku terbang sampai ke luar angkasa." Si pemuda tanggung yang nakal ini pun mengulurkan tangannya untuk mengelus-elus pipi si nona yang putih dan halus.

Nona itu dalam keadaan sadar, namun tidak berdaya, Karena itu, dia menjadi gusar sekaligus mendongkol Setelah menatap Siau Po dengan mata mendelik, tiba-tiba dia jatuh tidak sadarkan diri.

"Aih!" seru Siau Po. Dia terkejut setengah mati, tapi sesaat kemudian dia tahu nona itu hanya pingsan, sehingga dia tidak merasa khawatir lagi. Lalu dia menoleh kepada Teng Koan dan berkata dengan nyaring.

"Sutit Teng Koan, cepat kau kemari! Nona ini telah tertotok olehmu, sebaiknya kau tanyakan saja kepadanya agar dia dapat menjelaskan kepadamu jurus-jurus yang dikuasainya, Kita harus hidup rukun, tidak boleh bermusuhan dengan sesama kita"

Teng Koan merasa ragu-ragu, dia tidak langsung menjawab permintaan Susioknya. Sementara itu, hati si nona berbaju biru semakin gusar, Tapi dia tidak berdaya, 

Tampaknya dia juga khawatir akan dirobohkan seperti rekannya, Apabila itu sampai 

terjadi, pasti mereka kehilangan akal. 

Karenanya, dia hendak menyingkir dulu, Dia pikir kawannya itu tidak mungkin dicelakai itulah sebabnya dia langsung berkata dengan suara lantang.

"Jangan kau celakai adikku! Awas kalau kalian ganggu selembar rambutnya pun, Kalau tidak, aku akan membakar seluruh Siau Lim Sie ini sampai ludes rata dengan tanah!"

Berkata demikian, si nona mencelat untuk menyingkir dari Teng Koan.

Teng Koan dapat mendengar setiap patah kata si nona dengan jelas, dia sampai tertegun karena ancaman nona itu hebat sekali.

"Sebetulnya, mana berani aku mengganggu nona ini?" katanya, "Tapi bagaimana kalau rambutnya rontok sendiri satu lembar saja? Apakah kau tetap akan membakar kuilku?"

Nona itu melompat lebih jauh lagi, kemudian dia mendamprat

"Bangsat gundul tua, lidahmu tajam juga! Dan kau, bangsat gundul cilik. "

Hampir saja si nona menggunakan kata-kata yang kotor, tapi untung saja dia insaf, karena itu dia membatalkan nya dan lari memasuki hutan.

Siau Po hanya melihat saja nona itu pergi, kemudian dia menoleh kembali kepada si gadis berbaju hijau yang masih terkulai di atas tanah, Dia memperhatikan wajahnya yang cantik dan tangannya yang indah, dia seakan melihat Dewi Kuan Im sehingga untuk sesaat dia terpana.

Pada saat itu, Teng Koan sudah mengham-pirinya,

"Li sicu, kakakmu sudah pergi," katanya kepada si nona berbaju hijau, "Sebaiknya kau juga pergi saja, jaga rambutmu agar jangan sampai rontok selembar juga, Kakakmu tadi sudah mengancam akan membakar ludes kuil kami." Sementara itu, Siau Po berkata dalam hati.

- Ini merupakan kesempatan yang baik, aku tidak boleh menghilangkannya, Si cantik sudah terjatuh ke dalam tanganku, dia tidak boleh dibiarkan lolos, Biar bagaimana, aku tidak boleh membebaskannya, --

Membawa pikiran demikian, paman guru ini menoleh kepada Teng Koan, Dia merangkapkan sepasang tangannya dan memuji

"Amitabha! Kita telah dilindungi oleh Nya! ilmu Siau Lim Sie akan maju pesat, Namanya yang sudah harum akan terus berlangsung sampai ribuan tahun, Sutit, kau benar-benar seorang menteri setia dari partai kita!"

Teng Koan menatap si paman guru, Dia merasa heran. "Eh, Susiok," katanya, "Mengapa kau berkata demikian?" Siau Po segera menjalankan siasatnya.

"Sebenarnya pikiran kita sekarang sedang kusut memikirkan ilmu silat kedua nona ini," katanya, "Di lain pihak, kita masih belum tahu apakah mereka masih memiliki ilmu- ilmu lainnya? Karena itu, syukurlah Sang Buddha kita sangat welas asih sehingga kedua nona ini seperti sengaja dikirim ke mari agar mereka dapat memperlihatkan kepandaiannya, Sekarang, sutit, sebaiknya kita cepat-cepat pulang." 

Sembari berkata, dia tidak menunggu jawaban Teng Koan, Siau Po langsung membungkukkan tubuhnya untuk memondong tubuh si nona.

Teng Koan menjadi bingung, Dia merasa perbuatannya kurang tepat, tapi semuanya telah terjadi Apa lagi yang dapat dilakukannya? Tetapi dia tetap berkata.

"Tidak pantas rasanya kita minta Li sicu ini masuk ke dalam kuil kita."

"Untuk apa membicarakan soal pantas atau tidak?" kata Siau Po. "Bukankah dia sudah pernah masuk sebelumnya? Ketika dia datang, apakah Hong Tio tidak mengetahuinya? Bukankah kepala bagian Kay Lut Ih juga mengetahuinya? Bukankah Hong Tio dan kepala Kay Lut Ih juga tidak mengatakan apa-apa? Karena itu, perbuatan kita ini tidak bisa dikatakan kurang pantas, bukan?"

Teng Koan menganggukkan kepalanya, Dia kalah bicara sehingga dia diam saja dan berjalan mengikuti paman gurunya itu dari belakang.

Siau Po cerdik sekali Dia segera membuka bajunya untuk membungkus si nona. Setelah itu dia menggendongnya ke dalam, jalan yang diambil tetap pintu samping jalan mereka ke luar tadi. Siau Po berjalan sambil menundukkan kepalanya. Tampaknya otak si pemuda tanggung itu sedang berputar keras.

Sebetulnya hati Siau Po sedang berdebar-debar. Dia takut perbuatan mereka akan kepergok oleh yang lainnya, Memang si nona sudah dibungkus rapat-rapat dengan jubahnya, tapi apabila bertemu dengan hwesio lainnya, mereka pasti curiga. 

Dia tidak mengharapkan hal itu sampai terjadi Dia berjalan dengan cepat. Hatinya cemas sekaligus senang, sekarang dia dapat menggendong si nona cantik.

Setibanya di dalam Poan Jian Tong, ada hwesio Cip Su ceng yang menyambutnya. Dia melihat ketuanya itu dan memberi hormat tapi tidak menanyakan apa-apa.

Sampai di dalam kamar Teng Koan, si nona masih belum sadar juga, sementara itu, tangan Siau Po basah oleh keringat dingin karena kekhawatirannya.

"Bagus!" serunya sambil menarik nafas lega.

"Apakah nona ini akan ditempatkan dalam kamarku?" tanya Teng Koan ragu-ragu. "Benar!" sahut Siau Po. "lni kan bukan untuk pertama kalinya dia ada dalam kuil kita, 

Ketika yang pertama kali, lehernya terluka dan ia ditempatkan di kamar sebelah timur, bukan?"

Sang keponakan murid itu menganggukkan kepalanya.

"Tapi waktu itu dia sedang terluka, kita harus mengobatinya untuk menyelamatkan jiwanya. Karena itu... kita harus memberikan kelonggaran kepada nya."

"Urusan ini mudah." kata Siau Po kembali Dia langsung mengeluarkan pisau belatinya yang tajam. "Cukup asal kita tikam dia satu kali supaya jiwanya terancam bahaya lagi Dengan demikian, dia akan mendapatkan kelonggaran untuk berdiam di sini."

Selesai berkata, Siau Po langsung menghampiri si nona, Dia mengangkat tangannya yang menggenggam pisau belati itu seakan siap ditikamkan.

"Ja... ngan!" cegah Teng Koan, "Ti., dak perlu kita melakukan hal itu."

"Tapi," kata Siau Po. "Seperti yang kau katakan tadi, tanpa terluka, tidak leluasa dia ditempatkan di sini Bagaimana kalau hal ini diketahui oleh Hong Tio dan Teng Cit suheng? Bukankah kita akan disalahkan nanti? Aku rasa, sebaiknya kita tikam atau bacok dia beberapa kali agar ia terluka. Yang penting jiwanya tidak terancam bahaya kematian Kau toh tahu kalau pisauku ini tajam sekaIi. "

Mendadak Siau Po menebas ujung meja sehingga gompal. "Ja... ngan... jangan kau lukai dia!" seru Teng Koan yang hatinya lemah.

"Lalu bagaimana?" tanya Siau Po. "Melukainya tidak boleh, membiarkannya di sini pun tidak boleh!"

"Akan kuatur!" kata Teng Koan.

"Kalau begitu, baik." sahut Siau Po. "Kuserahkan saja kepadamu. Bagiku, yang penting, tidak ada orang yang tahu tentang kehadiran nona ini. Kita juga akan membebaskannya setelah dia menjelaskan semua jurus silatnya kepada kita, agar kau dapat memecahkannya, Kita akan keluarkan dia secara diam-diam Kalau tidak sebaiknya dia dilukai saja. "

"Jangan khawatir," kata Teng Koan, "Nanti aku akan menyimpan rahasia."

Teng Koan sudah tua, tetapi terpaksa dia harus menunduk kepada paman gurunya yang jauh lebih muda, Dia kalah cerdik, Dia juga berpikir urusan ini tidak akan bocor kalau dia menuruti apa yang dikatakan oleh paman gurunya.

Siau Po segera berkata kembali

"Li sicu ini wataknya keras kepala, Kau dengar sendiri, dia hendak merebut kedudukan Poan Jiak tong. Oleh karena itu, aku harus dapat membujuknya baik-baik."

Si hwesio tua ini memang aneh, mendengar ucapan paman gurunya, dia malah berkata.

"Kalau memang dia mau menjadi ketua di sini, biarkan saja. "

Siau Po tertegun Tidak disangka hwesio ini demikian polos dan baik hati.

"Dia kan bukan hwesio di sini?" katanya kemudian "Kalau dia berhasil merebut kedudukan ketua Poan Jik Tong, kemana muka kita kaum Siau Lim Sie harus ditaruh? Tidak bisa! Lagipula, kalau kau mengijinkannya, malah kau telah berbuat dosa besar terhadap Siau Lim Sie."

Berkata demikian, Siau Po menunjukkan wajah bersungguh-sungguh. sikapnya menjadi penuh wibawa, Keponakan muridnya sampai terkejut melihatnya.

"Iya. iya.,." katanya ketakutan.

Siau Po segera berkata kembali.

"Sebentar kalau si nona sudah siuman, aku akan menasehatinya, Ketika itu mungkin dia akan gusar dan menyerang aku. Sebagai pendeta, bukankah kita harus bermurah hati terhadap sesamanya? Kalau dia bersikap kasar, mana boleh aku membunuhnya atau melukainya bukan?" Teng Koan menganggukkan kepalanya.

"Benar, benar." katanya, "Kita harus mengasihi sesamanya, itu memang tujuan suci Sang Buddha kita."

Siau Po pun ikut mengangguk.

"Sekarang begini," katanya, "Kau ajari dulu aku beberapa jurus ilmu Kim Na Jiu. Dengan demikian, kalau dia menyerang aku, aku bisa menolong diriku sendiri atau menotok jalan darahnya agar tidak bisa melukai aku, Dengan demikian, di dalam ruangan Poan Jiak tong ini tidak akan terjadi pertumpahan darah. Kalau hal ini sampai terjadi, celakalah Siau Lim Sie. Apa kata orang apabila seorang gadis muda berhasil menghajar seorang hwesio angkatan Hui dari Siau Lim Sie? Bukankah itu merupakan hal yang buruk sekali? Sebaliknya, juga merupakan hal yang buruk kalau seorang hwesio Siau Lim Sie sembarangan menghajar seorang nona, bukan?"

"Benar." sahut Teng Koan yang kembali menganggukkan kepalanya.

Tapi dia masih sempat ragu-ragu sejenak, kemudian baru mengajarkan tiga jurus ilmunya itu. Siau Po belajar dengan bersungguh-sungguh.

Sementara itu, tampak tubuh si nona berbaju hijau mulai bergerak-gerak sedikit Siau Po sempat melihatnya dan dia tahu nona itu mulai mendusin, Karena itu, dia segera menutupi wajah si gadis dengan jubahnya, Setelah itu dia kembali berlatih, Dia tidak mau si nona melihatnya dalam keadaan berlatih.

Dalam mempelajari ketiga jurus tersebut, Siau Po mengalami sedikit kesulitan, sebab dia mempunyai kelemahan yakni belum pernah mempelajari ilmu tenaga dalam. Untunglah, tenaga dalam si nona juga belum terlalu berarti. Karena itu, dia dapat mengimbangi si nona, itulah sebabnya dia harus menghapal ketiga jurus itu baik-baik. 

Ada baiknya selama dalam istana, Hay Kong Kong pernah mengajarinya ilmu Kim Na Jiu tersebut dan dia pun sering berlatih dengan raja cilik. Karena itu, sekarang ini dia belum terlalu membutuhkan tenaga dalam.

"Mari kita coba!" ajak Siau Po setelah merasa sudah hafal, Dia mengajak Teng Koan berlatih dengannya.

"llmu itu tidak bisa kau coba atas diriku, Susiok," kata Teng Koan. "Kau tidak mengerti tenaga dalam, Kalau kau coba atas diriku, mungkin kau sendiri yang akan terpental mundur atau roboh, dan kemungkinan lenganmu bisa.,, bisa.,.,"

Siau Po tertawa.

"Lenganku bisa patah?" tanyanya. Teng Koan menganggukkan kepalanya, "Kira-kira begituIah," sahutnya. Tentu saja sutit tidak berani berbuat demikian."

Siau Po tersenyum.

"Baiklah." katanya, "Sekarang silahkan kau ke luar dulu, Si. nona sudah siuman, Aku ingin menasehatinya. "

"lya," sahut Teng Koan yang langsung memberi hormat kepada paman gurunya kemudian pergi ke luar lalu merapatkan pintunya kembali.

Siau Po langsung menyingkapkan jubah yang digunakannya untuk menutupi wajah si nona, Gadis itu bermaksud membuka mulutnya memaki, tapi hal itu dibatalkannya karena dia melihat pisau belati yang tajam mengancam di depan hidungnya, muIutnya yang mungil hanya sanggup melongo saja.

Siau Po tertawa.

"Nona kecil," katanya, "Kalau kau menurut kepadaku, tidak mungkin aku mengganggumu walaupun hanya seujung rambut saja, Sebaliknya, kalau terpaksa, aku akan menebas hidungmu setelah itu aku baru membebaskanmu dan mengusirmu dari kuil ini. Siapa yang sudah kehilangan hidungnya, dia hanya dapat mencium bau yang busuk. Tentunya kau tidak ingin hal ini sampai terjadi, bukan?"

Nona itu gusar sekali, Dia juga merasa mendongkol Namun dia tetap membungkam. wajahnya tampak pucat pasi seakan tidak mengandung darah setitik pun.

"Nah, apakah kau mau mendengar perkataanku ?" tanya Siau Po. "Lekas kau bunuh saja aku!" teriak si nona dalam murkanya.

Siau Po menarik nafas daIam-daIam.

"Kau begini cantik sehingga mirip dengan bunga dan rembulan, Mana mungkin aku tega membunuhmu?" katanya, "Tapi kalau aku melepaskanmu, tentu siang dan malam aku akan memikirkanmu, Mungkin aku akan mati tercekam perasaan rinduku padamu, Bukankah hal itu buruk sekali dan bertentangan dengan kehendak Thian Yang Maha Kuasa?"

Dari pucat, wajah si nona berubah menjadi merah. Namun sekejap kemudian berubah lagi, Tapi dia tetap membungkam.

Siau Po menatap wajah si gadis lekat-lekat.

"Ada satu jalan," katanya kemudian, "Kalau aku menebas putus hidungmu, tentu wajahmu tidak akan cantik lagi dan aku pun tidak akan merindukanmu pula."  Nona itu memejamkan matanya rapat-rapat. tapi dari sela bulu matanya tampak air mata mengucur dengan deras, melihat keadaan itu, hati Siau Po jadi lemas.

"Jangan menangis!" katanya, "Asal kau mau mendengarkan kata-kataku, aku lebih suka memotong hidungku sendiri ketimbang melukaimu Bolehkah aku mengetahui namamu?" 

Nona itu menggelengkan kepalanya. Air matanya masih terus mengalir.

"Oh, rupanya kau bernama Yau Tau Miau (Kucing yang menggelengkan kepalanya)." kata Siau Po. "Tapi nama itu kurang enak didengar.,,."

Nona itu membuka matanya dan menatap Siau Po dengan pandangan tajam. "Siapa yang mengatakan aku bernama Yau Tau Miau?" katanya sengit, Dia masih 

menangis sesenggukan. "Kaulah si Yau Tau Miau."

Mendengar kata-kata si nona, hati Siau Po justru girang sekali, Selain dapat mendengar suaranya yang merdu, berarti dia juga sudah berhasil memancing si nona membuka mulutnya, Dia langsung tertawa lebar.

"Baik, baik!" katanya, "Akulah si Yau Tau Miau. Lalu, bagaimana aku harus memanggilmu?"

Kembali si nona menggelengkan kepalanya dengan air mata masih bercucuran. "Aku tidak akan memberitahukannya kepadamu " bentaknya.

"Kalau kau tidak mau memberitahukannya, terpaksa aku harus mencari nama untukmu." kata Siau Po. "Mungkin sebaiknya aku memanggilmu Apa Miau (Si kucing gagu)."

"Ngaco!" bentak si nona kembali, "Aku toh tidak gagu."

Siau Po memperhatikan si gadis dengan seksama, Dia mendapat kenyataan Meskipun sedang gusar atau menangis, wajahnya tetap cantik dan menarik.

"Oh, nona yang baik!" katanya. "Siapakah she dan namamu yang mulia?"

"Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak sudi memberitahukannya kepadamu." teriak si nona, "Aku tidak mau bicara."

"Jangan begitu, nona manis." kata Siau Po yang tidak memperdulikan kemarahan si nona, "Sebenarnya ada yang hendak ku bicarakan denganmu, Kalau kau tidak mempunyai she atau pun nama, bukankah pembicaraan kita menjadi canggung? Kalau kau tetap tidak mau mengatakannya, baiklah, Aku terpaksa mencarikan nama untukmu, Oh, nama apa ya kira-kira yang indah dan enak didengar?" "Tidak! Tidak!" teriak si nona, "Aku tidak mau!"

"Oh, ada." kata Siau Po. Dia memang jahil dan tidak memperdulikan protes orang, "Sebaiknya aku panggil kau Wi-bun Yau Si."

Nona itu tertegun.

"Aneh!" sahutnya, "Aku toh bukan dari keluarga Wi."

Wi-bun Yau Si artinya si tukang menggeleng kepala dari keluarga Wi. Kembali Siau Po menatap si nona, Kali ini dia berkata dengan serius.

"Raja langit di atas, Ratu bumi di bawah, dengan ini aku berjanji apa pun yang akan terjadi, baik di atas gunung golok, atau pun dalam kuali minyak, atau dihukum mati seluruh keluarga, biar bagaimana pun aku harus mengambil kau sebagai istriku, Iya, tidak boleh tidak!"

Nona itu terkejut setengah mati, Dia sampai terpaku, Sumpah itu hebat sekali, Dan kata-kata Siau Po yang terakhir membuatnya mendongkol.

"Cis!" Dia meludah dan wajahnya menjadi merah padam

Siau Po juga mendelikkan matanya seraya berkata dengan nada ngotot,

"Aku she Wi." katanya, "Karena kau telah ditakdirkan menjadi jodohku, maka kau pun terhitung kelurga Wi. Aku tidak tahu siapa she dan namamu karena kau hanya menggelengkan kepala kalau ditanya, itulah sebabnya aku memanggilmu Wi-bun Yau Si."

Nona itu memejamkan matanya.

"Kau gila." katanya sengit, "Di dalam dunia ini, aku belum pernah mendengar seorang hwesio berbicara dengan kata-kata seperti itu. Kau mengoceh yang tidak-tidak, Kau toh orang yang sudah menyucikan diri, mengapa kau selalu bicara tentang pernikahan? Apakah kau tidak takut mendapat hukuman dari Pou Sat yang Agung? Kalau kau mati, pasti kau akan dimasukkan ke dalam neraka yang ada delapan belas lapisannya."

Siau Po merangkapkan sepasang tangannya dan menjatuhkan diri berlutut.

Si nona mendengar suara seakan ada orang yang menggabruk terjatuh, Dia merasa heran, karenanya dia membuka mata, Dia melihat Siau Po sedang berlutut menghadap ke jendela dan kemudian dia mendengar si bocah berkata.

"Buddha kami, Ji Lay Hud, Koan Si Im Pou Sat, Giok Hong Tayte, Bun Cu Pou Sat, Pou Hian Pou Sat, keempat Kim Kong Agung, Hakim Giam Ong, para hantu kecil Bu  Siang, mohon dengarkan! Aku Wi Siau Po harus menikahi nona ini, tidak boleh tidak, Meskipun aku harus dimasukkan ke dalam neraka delapan belas lapis, dipotong hidungku, digorok leherku, dicabut lidahku, atau tidak dapat menitis lagi untuk laksaan kali, aku tidak perduli semua itu. Di masa hidup, tidak ada hal apa pun yang aku takuti, kalau sudah mati juga sama saja, pokoknya, aku harus mengambil nona ini menjadi istriku."

Tiba-tiba saja timbul perasaan takut dalam hati si nona, karena dia melihat Siau Po demikian bersungguh-sungguh, bukan bergurau atau bermain -main lagi seperti sebelumnya.

"Sudah, sudah!" katanya beruIang-uIang, Kemudian dia menambahkan dengan nada penasaran. "Kau boleh bunuh aku, Kau boleh hajar aku setiap hari, Pendek kata, walaupun aku harus mati penasaran aku tetap tidak sudi menikah denganmu."

Siau Po berdiri.

"Baiklah." kata Siau Po. "Tidak apa-apa kalau kau menolak sekarang, Bagiku, sekarang atau pun delapan puluh tahun kemudian, sama saja, Aku tetap akan menikahimu Kalau sampai akhirnya aku tetap tidak berhasil mengambil kau menjadi istri, aku akan mati penasaran, mataku tidak bisa terpejamkan."

"Aih! Kau benar-benar celaka!" seru si nona, "Mengapa kau menghina aku sedemikian rupa? Lihat saja! Pasti ada kesempatan bagiku untuk membunuhmu Iya, aku akan membunuhmu terlebih dahulu, kemudian aku baru membunuh diri."

"BoIeh saja kau membunuh aku." sahut Siau Po seenaknya, "ltu yang dinamakan istri membunuh suami, Kau tahu, kalau aku tidak menjadi suamimu aku tidak akan mati dengan cara demikian." Ketika mengucapkan kata-katanya yang terakhir, suara Siau Po agak bergetar dan urat-urat di dahinya menonjol. 

Si nona menjadi ketakutan, cepat-cepat dia memejamkan matanya dan tidak berani melihat lagi.

Siau Po maju menghampirinya beberapa tindak, Tiba-tiba dia merasa tubuhnya menjadi lemas, kaki dan tangannya gemetar MuIutnya dibuka seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang sanggup diucapkannya, suaranya lebih mirip dengan rintihan binatang. 

Dia mengulurkan kedua tangannya seprti hendak menyentuh si nona, matanya menatap tajam.

Nona itu semakin takut melihat tampang Siau Po. Tanpa sadar dia menjerit perlahan.

Siau Po sendiri kelihatannya juga terkejut Dia menyurut mundur dua tindak, kemudian terkulai di atas tanah, tapi pikirannya masih sadar. -- Ketika berada dalam istana, aku sering menyebut Pui Ie dan Kiam Peng sebagai istriku. Ketika itu hatiku bangga sekali dan aku selalu tertawa senang, Rasanya aku bebas dan leluasa sekali, Aku bisa memeluk mereka bahkan mencium mereka kalau aku mau. Tapi wanita ini, aneh sekali.,., Bukankah dia dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya? Mengapa aku merasa jeri terhadapnya? Mengapa aku merasa sungkan? Sampai-sampai tangannya pun tidak berani kusentuh. Sungguh gila! --, demikian pikirnya dalam hati, Tanpa sadar dia menjerit "Edan!"

Nona itu heran mendengar suara Siau Po sehingga dia membuka matanya dan menatap dengan tajam.

Wajah Siau Po menjadi merah padam saking jengahnya.

"Aku memaki diriku sendiri yang seperti hantu cilik tanpa nyali, Aku bukan mencaci engkau.,,."

"Nyalimu kecil, aku justru merasa nyalimu terlalu besar sehingga kau selalu lancang melakukan hal apa pun tanpa dipikirkan lagi. Kalau orang seperti engkau dikatakan bernyali kecil, maka langit bisa ambruk dan terjadi gempa bumi yang dahsyat"

Mendengar kata-katanya, tiba-tiba Siau Po berjingkrak bangun.

"Baik." teriaknya, "Aku memang bernyali besar Aku akan membuktikannya dengan membuka pakaianmu sehingga kau menjadi telanjang bulat."

Nona itu terkejut setengah mati, Hampir saja dia semaput mendengar ucapan Siau Po.

Kembali Siau Po menghampirinya, Dia menatap gadis itu lekat-lekat dan melihat sinar matanya yang mengandung kekhawatiran serta ketakutan.

"Sudahlah! Sudahlah!" katanya kemudian, "Biar jadi apa pun, aku suka mengalah terhadapmu" Dia batal mewujudkan ancamannya, Malah dia berkata dengan nada sabar. "Seumur hidup, aku paling takut istri, karena itu, sebaiknya aku bebaskan saja kau. "

Nona itu memperhatikan dengan tajam, Hilang sudah rasa takutnya, yang tertinggal hanya rasa marah.

"Kau,., kau. " Ketika di kota, apa saja yang kau bicarakan dengan para wanita busuk 

itu? Bukankah kau mengatakan bahwa kau dan kakakku orang-orang entah apamu? Bukankah kau hendak menawan aku dan membawaku pulang ke rumahmu? Kau benar-benar manusia busuk!"

Siau Po tertawa terbahak-bahak. "Segala wanita busuk itu, apakah yang mereka ketahui?" katanya, "Kelak kalau aku sudah menikah denganmu, biarpun laksaan pelacur itu berbaris di hadapanku, tidak akan aku Wi Siau Po meliriknya walau sekilas pun. pokoknya sepanjang hari, selama dua puluh empat jam, aku hanya memperhatikan kau seorang yang aku sayangi."

Nona itu tampak cemas kembali.

"Lagi-Iagi... kau memanggiI... aku sebagai istri." teriaknya marah. "Untuk selama- lamanya aku tidak sudi berbicara lagi denganmu."

Siau Po malah senang mendengar kata-katanya.

"Baik, baik!" katanya cepat, "Aku tidak akan menyebutnya lagi, Aku hanya akan mengingatnya saja dalam hati."

“Di dalam hati sekali pun aku larang kau menyebutnya." kata si nona. Si bocah iseng jadi tertawa.

"Kalau aku menyebutkan dalam hati, mana kau bisa tahu?"

"Mengapa aku tidak tahu? Dari mimik wajahmu yang luar biasa anehnya itu saja, aku pasti bisa mengetahuinya."

"Tentang wajahku ini, asalnya memang sudah begini. Mungkin ketika baru dilahirkan saja, aku sudah tahu kelak akan menikah denganmu." sahut Siau Po sambil tersenyum cengengesan.

Nona itu memejamkan matanya kembali Tidak sudi dia melayani Siau Po berbicara lebih jauh.

"Eh, aku toh tidak memanggilmu istriku lagi?" kata Siau Po. "Mengapa kau malah membungkam?"

"Huh kau masih berani menyangkal" teriak si nona, "Baru saja kau mengatakan kau sudah mengetahui kelak akan,., ah! Pokoknya kau tahu sendiri apa yang telah aku katakan."

"Baik, baik!" kata si bocah iseng, "Aku tidak akan menyebutnya lagi, Aku hanya ingin mengatakan bahwa kelak aku akan menjadi suamimu."

Nona itu gusar seka!i. Tetapi dia tidak memberikan komentar apa-apa. Bahkan selanjutnya, apa pun yang dikatakan Siau Po untuk menggodanya, ia tetap membungkam.

Kewalahan juga si pemuda iseng itu, pernah terlintas dalam benaknya untuk berkata "Kalau kau tetap membungkam, aku akan mencium pipimu yang halus." Tetapi  kemudian dia mengurungkan pikiran itu. Dia menarik nafas panjang dan berkata dengan nada perlahan.

"Aku hanya ingin mengetahui nama dan she mu. Setelah itu aku akan membebaskanmu."

"Kau bohong." kata si nona. "Kau hanya ingin memperdayai aku."

"Di kolong langit ini, Semua orang dapat aku tipu, tapi engkau tidak." sahut Siau Po. "Kata-kataku ini ibarat pepatah "Sekali diucapkan, seekor kuda pun sukar mengejarnya." Malah kalau istriku yang manis tidak sudi bicara, jangan kata kuda mati, kuda hidup pun sulit menyusulnya."

Kata-kata yang diucapkan Siau Po memang selalu aneh-aneh, pepatah apa pun yang pernah didengarnya selalu diubahnya seenaknya sendiri Dan si nona pun menjadi tertegun karenanya.

"Apa artinya kuda mati sukar mengejarnya dan kuda hidup pun sulit menyusulnya?" "Itulah ujaran yang diajarkan pihak Siau Lim Pay kami," sahut Siau Po. "Pokoknya 

aku tidak mendustaimu, Coba kau bayangkan saja, satu-satunya pikiran yang ada 

dalam hatiku ini hanya mengharap cucumu kelak akan memanggil kakek kepadaku Kalau hari ini aku membohongimu, mungkin anakmu saja tidak mau memanggil aku sebagai ayah, apalagi cucumu."

MuIa-mula si nona bingung mendengar ucapan Siau Po yang aneh itu. Namun akhirnya dia sadar, pulang pergi, Siau Po tetap menyebutnya sebagai istri. Hanya dia menyatakannya dengan cara yang tidak langsung saja.

"Aku juga tidak berharap kau membebaskan aku, kau sudah mempermalukan aku sedemikian rupa, aku tidak ingin hidup lebih lama lagi, Kalau kau memang bersedia berbuat kebaikan, bunuh saja aku."

Siau Po memperhatikan batang leher. di sana ada tanda merah bekas luka senjata tajam, Dia jadi tidak enak hati, Karena itu, dia langsung menjauhkan dirinya berlutut dan menyembah sebanyak empat kali di hadapan si nona, Setiap kali dahinya sampai membentur lantai.

"Maaf, nona!" katanya, "Aku telah memperlakukan engkau dengan buruk."

Tidak cukup hanya dengan berlutut serta menganggukkan kepalanya, Siau Po malah menampar pipi kiri dan kanannya sendiri berulang kali sehingga terdengar suara yang keras dan kedua belah pipinya menjadi merah serta bengap.

"Jangan bersusah hati, nona!" katanya kemudian. "Aku memang anak yang kurang ajar, aku patut dihajar" Selesai berkata, Siau Po berdiri, Kemudian dia pergi ke ambang pintu dan berkata dengan lantang.

"Eh, keponakan muridku, aku ingin membebaskan totokan nona ini, ToIong kau katakan jalan darah mana yang harus ku totok!"

Sejak tadi Teng Koan memang terus berdiri menunggu di depan pintu, Dia memiliki tenaga dalam yang hebat Meskipun Siau Po dan si nona selalu bicara dengan perlahan, tapi dia dapat mendengar semuanya dengan jelas, karena itu dia percaya paman gurunya itu memang pandai membujuk si nona. 

Bahkan kemungkinan paman guru yang kecil itu masih mempunyai kepandaian lain yang kelak akan berharga baginya, Ketika mendengar pertanyaan Siau Po, dia segera menjawab.

"Nona itu tertotok pada jalan darah Thian Ki di kakinya," sahutnya cepat "Karena itu kau harus menotok dua jalan darah di pahanya, yakni jalan darah Ki bun dan Hiat Hay. Asal kedua jalan darah itu diurut, nona itu akan segera terbebas dari totokannya."

"Di mana letaknya kedua jalan darah Ki Bun dan Hiat Hay?" tanyanya, "Di sini," sahut Teng Koan sambil menunjukkan jalan darah yang dimaksud sekaligus mengajarkan cara mengurutnya, "Susiok tidak mengerti ilmu totokan, usaha Susiok itu akan berjalan lambat, tapi asal kau mengurutnya perlahan, nanti jalan darah nona itu pasti akan bebas juga."

Siau Po mengangguk, kemudian dia kembali ke dalam kamar.

"Tidak perlu kau membebaskan jalan darahku," kata si nona yang dapat mendengar jelas penjelasan Teng Koan tadi. "Aku larang kau menyentuh tubuhku." Terang si nona tidak sudi dirinya disentuh oleh Siau Po, meskipun hanya bagian kakinya saja.

Siau Po pikir memang kurang pantas kalau dia menyentuh bagian kaki si nona apalagi mengurutnya, Dia yakin, meskipun tujuannya baik, nona itu tetap akan mencurigainya dan menganggapnya ceriwis .

-- Akan tetapi, dia perlu dibebaskan, --, pikirnya kemudian -- Aku juga tidak boleh kehilangan kesempatan yang baik ini, tapi si nona ini berhati keras, Aku ingin membebaskannya, tapi bagaimana kalau setelah bebas, dia membenarkan kepalanya ke dinding? Aku tentu tidak dapat mencegahnya. Dengan demikian, hilang pula keturunan anak serta cucuku! --

"Kecuali dengan urutan, apakah ada cara lain?" tanyanya kemudian kepada Teng Koan.

"Banyak jalannya," sahut hwesio yang ditanya. "Umpamanya dengan kibasan lengan baju untuk menotok dari jarak jauh, Tapi Susiok tidak mengerti ilmu Tan Ci Sin Kang, tentu sulit melakukannya, Coba tunggu sebentar, Sutit akan memikirkan cara yang lainnya lagi. "

Sebenarnya, asal dia sendiri yang mengibaskan lengan bajunya dan menotoknya dari jauh, tentu totokan nona itu akan terbebaskan Tapi hwesio yang satu ini memang aneh, sedangkan paman gurunya terus mendesaknya, Dia merasa merupakan kewajiban baginya untuk menjawab pertanyaan paman gurunya itu.

Sedangkan kalau paman gurunya itu harus belajar ilmu menotok dulu, Mungkin akan memerlukan waktu satu tahun baru cukup mahir menggunakan nya.

Siau Po memperhatikan keponakan muridnya, dia heran sekali, Teng Koan berdiam diri cukup lama untuk berpikir Karena itu, dia menggunakan kesempatan itu untuk menatap si nona. Dia merasa aneh mengapa dia harus merasa segan terhadap gadis yang satu ini.

Kening nona itu tampak berkerut, tampaknya dia sedang merasa sedih, wajahnya mendatangkan perasaan haru serta kasihan

Dengan membawa kayu Bok Gi (Biasa digunakan untuk membaca doa sambil diketuk-ketukkan), Siau Po menghampiri nona itu dan berkata.

"Rupanya pada penitisan yang terdahulu, aku Wi Siau Po pernah berhutang budi kepadamu, mungkin itulah sebabnya aku menjadi penakut di depanmu, sekarang aku ingin menyatakan bahwa aku takluk kepadamu, Aku ingin membebaskan totokanmu, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak berniat mengambil keuntungan darimu dalam hal ini."

Sembari berkata, dia membuka jubahnya untuk digunakan sebagai penutup kaki si nona lalu, mengetuknya perlahan-lahan sebanyak beberapa kali.

Nona itu menatap Siau Po dengan tajam, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.

"Bagaimana?" tanya Siau Po setelah mengetuk-ngetuk, "Apakah sudah ada rasa nya 

?"

Si nona tidak menjawab pertanyaan Siau Po. Dia malah memakinya.

"Kau.,, kau... hanya pandai menggunakan kata-kata busuk seperti buaya darat." dampratnya, "Hal lainnya kau tidak sanggup sama sekali."

Mendongkol juga hati Siau Po mendengar makian si nona, Dia tidak mengerti tenaga dalam Meskipun totokannya sudah tepat, tapi hasilnya tidak berupa kenyataan itulah sebabnya si nona mengejeknya, dia mengira Siau Po hanya pandai membual Dalam keadaan sengit, Siau Po menotok lagi beberapa kali dengan keras. "Aduh!" jerit si nona. "Aduh!"

"Kenapa?" tanya Siau Po kaget, "Sakit?"

"Aku... aku.,." kata nona itu terus berdiam diri lagi.

Siau Po menotoknya kembali Kali ini perlahan-lahan. Tampak tubuh si nona bergerak sedikit, seperti orang yang menggigil kedinginan.

Melihat hal itu, senang sekali hati Siau Po.

"Bagus!" serunya, "Berhasil! Siau Lim Pay memiliki tujuh puluh dua macam ilmu yang istimewa, tapi dengan ditambahnya ilmu totokanku ini, jumlahnya menjadi tujuh puluh tiga macam, ilmu ini merupakan ciptaan Hui Beng Sian Su dan dinamakan Bok Gi Tui Kay Hiat Sui Kang (Totokan dengan kayu Bok gi sehingga bebas merdeka)

"Hmm!" Puas sekali hati si anak muda sehingga dia mengeluarkan kata-katanya barusan, Tepat pada saat itulah dia merasa pinggangnya sakit lalu tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi sehingga dia hanya berdiri terpaku.

Sebaliknya si nona sudah berjingkrak bangun, Setelah itu dia merampas pisau belati dari tangan Siau Po lalu digerakkannya ke arah dada si anak muda.

Bukan main terkejutnya hati Siau Po melihat keadaan itu.

"Aduh!" jeritnya, "Kau membunuh suamimu!" Dan dia roboh terkulai di atas tanah. Nona itu menjejakkan kakinya dan melompat ke ambang pintu.

"Li sicu!" teriak Teng Koan yang sempat melihat dan mendengar semuanya dengan jelas, "Kau membunuh paman guruku?"

Nona itu tidak memberi kesempatan kepada hwesio itu untuk menghadang atau menghalangi jalannya, Baru saja Teng Koan bermaksud menghadangnya, dia sudah menyerangnya dengan gencar Golok Liu Yap To yang ada di tangan kirinya sudah dipindahkan ke tangan kanan.

Teng Koan menghindarkan diri, dia menangkis dengan kibasan lengan bajunya, Nona itu langsung merasa kakinya menjadi lemas kemudian roboh di atas lantai.

Teng Koan sendiri langsung menghambur ke dalam kamar untuk melihat keadaan paman gurunya. Ternyata pisau belati Siau Po sendiri sudah menancap di dada kanan si anak muda, Tanpa menunda waktu lagi, dia segera melancarkan beberapa totokan untuk menghentikan pendarahannya. "Terima kasih kepada Sang Buddha!" puji hwesio itu sambil mencabut pisau belati tersebut. Darah pun bermuncratan seketika dari luka Siau Po. untung tidak terlalu banyak karena jalan darahnya sudah ditutup oleh Teng Koan.

Hwesio itu langsung membuka pakaian si anak muda, Diperiksanya luka Siau Po yang tidak seberapa Iebar, sedangkan dalamnya hanya satu dim. Kembali dia mengucapkan puji syukurnya,

Siau Po mengenakan baju mustika, seandainya pisau belatinya itu tidak tajam sekali, tentu dia tidak akan terluka, itulah sebabnya mengapa dia tidak tertuka parah hanya darahnya mengalir dan sakit saja, Tapi dia menyangka jiwanya masih terancam bahaya sehingga kembali dia berkoar-koar.

"Mencoba membunuh suami sendiri! Mencoba membunuh suami sendiri! Aduh!"

Si nona rebah tidak berdaya, air matanya sudah mengalir dengan deras membasahi pipinya.

"Hwesio tua, aku telah membunuhnya." kata-nya. "Cepatlah kau bunuh aku untuk membalaskan sakit hatinya agar aku dapat menggantikan selembar jiwanya."

"Aih. Li sicu!" kata Teng Koan, Dia merasa menyesal sekali atas kejadian itu sehingga dia menarik nafas panjang, "Paman guruku ini baik sekali hatinya, Dia ingin menolongmu, tapi kau tidak menyadarinya, kau telah tersesat, mengapa kau membunuh orang? Oh, kau sungguh keterlaluan!"

"Aku... aku akan mati. " Terdengar suara keluhan Siau Po. "Ah! Dia tega sekali 

membunuh suaminya sendiri."

Teng Koan terkejut setengah mati, Tapi dia segera tersadar Cepat-cepat dia lari ke luar untuk mengambil obat dan sekejap kemudian dia sudah mengobati luka pamannya itu.

"Jangan khawatir, Susiok!" kata nya. "Kau bermurah hati, Dari bahaya kau akan memperoleh keselamatan Buddha kami bermata tajam, tidak mungkin kau dibiarkan mati muda."

Siau Po menarik nafas panjang.

"Kau. kau lepaskan dia!" katanya seperti mengucapkan pesan terakhir "Dia sangat 

membenci aku, benci sampai mati."

"Bebaskan dia?" tanya Teng Koan heran, "Tapi, bagaimana kalau luka Susiok sukar disembuhkan atau sampai menutup mata?"

Siau Po sangat cerdas, mendadak dia mendapat pikiran baru. "Kesinikan telingamu!" katanya perlahan sembari memberi isyarat, lalu dia menjerit. "Aduh! Mati aku! Mati aku!"

Teng Koan menghampiri paman gurunya sampai dekat sekali untuk memasang telinganya.

"Kau bebaskan dia!" kata Siau Po dengan berbisik "Tapi jangan biarkan dia ke luar dari kamar ini. Kau harus berhadapan dengannya sampai ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, baru... baru.,.,"

"Baru bagaimana?" tanya Teng Koan,

"Baru,., baru,.." sahut si paman guru yang merasa tenaganya menjadi lemah sekali dan nafasnya kembang kempis, "Kau turuti saja pesanku, Cepat!"

Melihat keadaan sang paman guru yang demikian mendesak, meskipun Teng Koan masih belum mengerti sepenuhnya maksud si bocah, tapi dia toh menuruti pesan nya. Dia segera menoleh kepada si nona dan dengan sekali kibasan lengan baju dia membebaskan totokan nona itu.

Sementara itu, si nona berpikir keras, Dia melihat Siau Po berkasak-kusuk dengan si hwesio tua.

Dia menerka, di saat menjelang kematian, anak muda itu pasti akan menggunakan akal busuk untuk menghadapinya, Kalau tidak mengapa dia dibebaskan Dia ingin melompat bangun tapi ternyata tidak ada kemampuan nya. Dia hanya bergerak satu kali kemudian roboh kembali Hal ini karena darahnya belum dapat berjalan dengan lancar.

Teng Koan menatap si gadis dengan mulut berkomat-kamit membaca doa. Nona itu takut sekali jadinya.

"Lekas kau pukul aku saja sampai mati!" katanya takut tapi nekat "Menyiksa orang dengan cara demikian bukanlah perbuatan orang gagah."

Kembali Teng Koan mengucapkan pujiannya.

"Paman guruku mengatakan bahwa sekarang bukan saatnya untuk melepaskan kau pergi." katanya. "Dengan demikian, aku pun tidak boleh mem-bunuhmu."

Nona itu kebingungan wajahnya pun jadi merah padam. Hatinya juga dilanda ketakutan Dia ingat apa yang dikatakan Siau Po.

- Hwesio cilik ini jahat sekali, Dia pernah mengatakan, biar bagaimana pun dia akan mengambil aku sebagai istrinya, Kalau tidak, dia akan mati penasaran Mungkinkah,., sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia ingin menikah denganku? Dengan demikian, bukankah aku telah menjadi istrinya? -- Diam-diam si nona memperhatikan keadaan disekitarnya, kemudian dengan perlahan-lahan dan hati-hati dia mengambil goloknya lalu langsung ditebaskan ke lehernya sendiri.

Gerakan si nona sangat cepat, tapi Teng Koan memang lihay, Dia sempat melihat kenekatan si nona, dia langsung mengibaskan lengan baju kanannya serta mengebutkan lengan bajunya yang satu lagi ke arah wajah si nona dalam waktu yang bersamaan Si nona terkejut sehingga tanpa sadar mencelat ke belakang, sedangkan goloknya terlepas dari genggaman dan terpental sehingga menancap di tiang penglari, Teng Koan mendongakkan kepalanya melihat ke arah golok tersebut.

Si nona segera menggunakan kesempatan baik di saat orang mendongakkan kepalanya, Dia segera mencelat untuk menghambur ke luar ruangan itu.

Teng Koan segera mengulurkan tangannya untuk mencegah, tapi si nona sudah langsung menyerangnya dengan kelima jari tangannya yang membentuk seperti cakar Tapi masih sempat si hwesio menangkap tangan nona itu sambil berkata.

"ln Yan Kwe Gan (Gumpalan asap lewat di depan mata)! inilah ilmu keluarga Cio dari Kang Lam."

Nona itu tidak menghiraukan kata-kata orang, dia hanya mengangkat kakinya untuk menendang perut orang di hadapannya itu.

Teng koan mengempiskan perutnya, tubuhnya membungkuk sedikit Dengan demikian dia berhasil menyelamatkan dirinya, Bahkan sembari meIakukannya, dia berkata.

"Khong Kok Ciok Im (Lembah kosong menggaungkan suara)! ilmu ini berasal dari Cin Yang di Shoa Say, Entah Si To Jin masih mempunyai sebutan lainnya tidak, lolap yang sudah tua kurang banyak pendengarannya, Nona, tolong kau jelaskan, Tahu-kah kau nama ilmu itu yang sebenarnya?"

Nona itu tidak sudi melayani orang bicara, Kembali dia menyerang. Tangan dan kakinya digerakkan, dia ingin membuat hwesio itu kerepotan.

Kewalahan juga Teng Koan dibuatnya, Dia sampai tidak sempat menyebutkan setiap jurusnya, dia hanya sempat mengelakkan diri atau menangkis. Tapi disamping itu, dia mengingat setiap jurusnya baik-baik.

Semua serangannya mengalami kegagalan Dia jadi mendongkol pikirannya menjadi kacau, Akhir-nya, bukan menyerang, namun malah terkulai lemas dan tidak sadarkan diri lagi.

"Aih! Nona ini benar-benar tamak akan ilmu silat." kata Teng Koan, "Dia telah mempelajari tipu-tipu silat dari banyak partai, Tapi dia tidak mengerti ilmu tenaga dalam, Dengan demikian, dia tidak akan bertahan lama apabila menghadapi Iawan. Nona, kau  harus belajar dari awal lagi, Kau telah kehabisan tenaga, sekarang apabila aku menyadarkan dirimu dan kau mengajak aku berkelahi lagi, kau bisa terluka dalam, Hal ini berbahayasekali, Karena itu, sebaiknya kau beristirahat saja, Bagaimana pikiranmu, Li sicu? Harap kau jangan salah paham, jangan anggap aku si hwesio tua sengaja membiarkanmu dalam keadaan pingsan, Ha ha ha ha! Nona, dasar aku, si hwesio tua ini sudah pikun, Bukankah kau sedang tidak sadarkan diri? Bagaimana kau bisa mendengarkan kata-kataku? Dasar tolol, dari tadi aku bicara terus!"

Setelah itu, Teng Koan meninggalkan si nona untuk menghampiri Siau Po. Di sisi tempat tidur bocah itu, dia menghentikan langkah kakinya, Diperhatikannya si paman guru dengan seksama, wajah Siau Po pucat pasi, nafasnya tersengal-sengal. 

Cepat-cepat dia meraba nadi Siau Po. Lega juga hatinya karena denyutan masih berjalan biasa, Tidak ada tanda-tandanya bahaya mengancam.

"Selamat, Susiok!" katanya dengan nada gembira, "Lukamu ini tidak mengancam jiwa."

Si hwesio segera meraba punggung bocah itu, yakni di jalan darah Leng Tay, Di situ dia menekan untuk menyalurkan tenaga dalamnya dan membantu si anak muda agar lukanya lebih cepat sembuh.

Sekejap kemudian Siau Po sudah sadar dan lebih bersemangat dari sebelumnya. "Bagaimana, Lo sutit?" tanyanya, "Apakah Sutit sudah mengingat semua jurusnya 

baik-baik?"

"Aku sudah ingat, Susiok," sahut Teng Koan, "Yang sulit justru mempelajari cara memecahkan semua jurus itu."

"Cukup asal kau dapat mengingat semua jurus serangannya." kata Siau Po. Tentang cara pemecahannya, bisa kita pelajari perlahan-lahan."

Teng Koan menganggukkan kepalanya. "Susiok benar." sahutnya.

Sembari berbicara, si hwesio menghentikan bantuan tenaga dalamnya.

"Kalau jurus-jurus tangan kosongnya sudah terkuras habis, kita harus memancingnya menyerang dengan senjata tajam." kata Siau Po pula. "Kalau dia menggunakan goloknya nanti, Sutit harus mengingat setiap gerakannya baik-baik!"

Kembali si hwesio menganggukkan kepalanya.

"Tapi sayang sekali goloknya telah menancap di tiang penglari." katanya. "Apakah Sutit tidak bisa mencelat ke atas mengambilnya?" tanya Siau Po.

"lya, benar." sahut si hwesio kikuk karena dia tidak berpikir sejauh itu." Sutit memang tolol sekali

Tawa si hwesio nyaring dan lantang sehingga si nona terjaga dari pingsannya, Tiba- tiba dia menumpu tangannya pada lantai dan mencelat bangun. Rupanya hal pertama yang diingatnya hanya melarikan diri dari tempat tersebut. 

Mata Teng Koan sangat awas dan gerakan tangannya juga cepat sekali. Melihat tindakan si nona, dia segera mengibaskan lengan bajunya.

Nona itu terhuyung-huyung, tubuhnya membentur dinding. Dia tidak bisa meloloskan diri dari ambang pintu.

Si hwesio terus bergerak tanpa menunggu sedetik pun. Kali ini dia menggerakkan tangan kirinya untuk menghadang seandainya si nona akan menerjang ke bagian pintu kembali sedangkan tangannya yang lain membantu si nona berdiri. 

Dengan demikian si nona jadi berdiri tegak. pikirannya ruwet sekali Dia langsung sadar bahwa sia-sia saja dirinya berusaha melakukan perlawanan Dia sudah melihat bahwa hwesio itu lihay sekali. Akhirnya dia menyurut mundur dua langkah dan duduk di atas sebuah kursi.

Teng Koan menatapnya dengan heran.

"Eh, apakah kau tidak akan menyerang lagi?"

Nona itu menjawab dengan nada penasaran. "Aku toh tidak dapat menandingimu, untuk apa aku menyerang terus?"

Dengan tampang ketolol-tololan, Teng Koan berkata.

"Kalau kau tidak menyerang lagi, mana aku bisa tahu jurus apa saja yang kau kuasai? Dengan demikian mana mungkin aku memikirkan cara untuk memecahkannya? Ayo, cepat maju lagi, seranglah aku!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar