Jilid 43
"Jumlahnya sangatlah banyak!" jawabnya, yang terus menyebutkan namanya satu persatu. "Sekarang, catatlah satu persatu nama dan pangkat mereka semasa ia bekerja pada Gouw Sam Kui..." perintah Siau Po.
"Sekarang hamba sudah tak mengenali mereka" katanya lalu memandang Siau Po. "Banyak di antara mereka yang sudah hamba lupa!"
"Kalau kau tak ingat mudah saja kau harus dipukul dahulu baru kau dapat mengingatnya lagi...!" ujar Siau Po dengan tenang.
"Jangan... jangan...! Sekarang. sekarang hamba sudah mulai mengingatnya,"
jawabnya dengan gemetar.
Seorang serdadu lalu mengambilkan pen untuk menulis nama dan pangkat orang yang dimaksud itu.
Siau Po menanti Gi Hong, tapi tak sabaran, lalu berkata.
"Aku meminta catatan orang itu, awas jika aku bertanya kau menjawabnya dengan tidak sungguh-sungguh, kepalamu menjadi taruhannya, kau akan kehilangan kepalamu itu!" katanya.
Setelah selesai Siau Po memerintahkan agar membawa pergi tawanan itu.
Setelah tawanan dibawa pergi Siau Po memanggil empat orang perwiranya dan ia berkata.
"Saudara-saudara sekalian, kita telah mengetahui bahwa akan ada pemberontakan. Untuk itu pasti kita akan mendapatkan hadiah yang sangat besar!" kata Siau Po.
"Kalian jangan takut, semua akan mendapatkan bagian yang sesuai!" kata Siau Po. "Katanya Peng See Ong akan mengadakan pemberontakan apakah bukti-bukti kita
sudah cukup?" tanya Ci Hian.
Kawanan Ong Ok Sam ingin memberontak, itu sudah merupakan bukti untuk apa mereka mengadakan pertemuan jika tak ingin mengadakan suatu masalah yang sangat penting!" kata Siau Po.
"Mereka berkata bahwa mereka ingin menculik anak Gouw Sam Kui. Hal itu dilakukan untuk memaksa Gouw Sam Kui, agar mau bergabung dengan mereka untuk berontak. !" kata Kong Lian.
"Tio Toako, kau mempunyai banyak hubungan dengan istana Peng See Ong dan kau mengetahui banyak tentang mereka itu? Bukankah jika mereka berhasil dalam pemberontakan itu yang menjadi raja adalah Gouw Sam Kui sendiri." tanya Siau Po.
Mendengar perkataan Siau Po, Kong Lian kaget sekali. Tak ada seorang pun yang aku kenal dalam istana itu, Tou Tong Tay Jin. ia seorang pendurhaka dan kita harus secepatnya melaporkan kejadian ini pada raja...!" katanya cepat.
Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Sekarang kalian menemui Su Ya untuk memberikan laporan pada raja..." kata Siau Po.
Kong Lian menurut dan mereka lalu pergi untuk menemui Su Ya. Dan tak lama kemudian mereka sudah kembali dengan membawa Su Ya dari Tiong Kun. Dengan rencana yang sudah dituliskannya, ia lalu membacakan laporannya pada Siau Po.
Mendengar demikian Ci Hian bertiga berkata dengan serempak.
"Oh, dengan dimerdekakannya kedelapan belas orang itu merupakan rencana raja!" serunya.
"Aku masih muda, mana mungkin aku dapat secerdik ini bila tak ada rencana dari baginda, Dan mana mungkin rencana ini dapat terbongkar dengan tuntas!" kata Siau Po.
Akal muslihat Siau Po ini didapat dari Kaisar Kong Hi takkala ia ingin memerdekakan beberapa budak, guna menyelidiki rombongan Bhok yang menyelusup dan menyerbu ke dalam istana, Kong Lian dan kawan-kawannya tidak mengetahui akal bulus Siau Po, makanya ia sangat senang dan gembira karena Siau Po telah berjasa.
Sudah merupakan suatu peraturan jika panglima sedang menjalankan tugasnya ia tak boleh kembali ke kota raja. Maka untuk itu ia mengutus beberapa Sie Wie untuk menyampaikan berita itu pada raja dan tahanan yang tertangkap itu pun dibawa serta.
Besok paginya mereka berangkat secara perlahan-lahan, magrib mereka beristirahat para serdadu yang diperintahkan untuk menyampaikan kabar itu telah sampai dan bergabung kembali.
"Ada surat rahasia dari baginda!" kata salah seorang Sie Wie yang diutus tersebut.
Siau Po gembira sekali, tetapi setelah ia mengetahui kalau isi surat itu sangatlah mengejutkan yang hadir Siau Po dan kawan perwira itu menjadi pucat.
Utusan yang membawa surat perintah itu lalu mendekat pada Siau Po yang lalu berkata secara perlahan-lahan.
"Sri Baginda memerintahkan agar dalam segala hal tuanku harus selalu berhati- hati.,.!" katanya. "Ya, aku mengerti. Terima kasih pada Sri Baginda." kata Siau Po yang lalu mengambil uang seribu tail untuk mereka.
Sambil berpikir Siau Po berkata dalam hati.
"Mungkinkah tawanan itu telah memutar balikkan keterangan itu sehingga baginda raja tak percaya dengan keteranganku...!"
Sesampainya di Kuil Siau Lim Sie mereka disambut dengan gembira, penyambutan itu langsung dipimpin oleh kepala pendeta. Lalu Siau Po diundangnya masuk ke kuil. Di sana dibacakan isi surat raja, Di situ disebutkan bahwa raja sangat memuji pendeta itu dan ia pun menyampaikan hadiah untuk para pendeta yang baik. Dan setelah itu, ia mendapatkan ucapan terima kasih dari para pendeta itu.
Pada akhir suratnya di situ disebutkan
"Wie Siau Po, aku hadiahkan baju Na Wa kuning untuk menjadi pendeta di Siau Lim Sie, agar ia mempelajari kitab-kitab suci untuk dapat menyebarkan agama Buddha, Dan kepadanya telah dihadiahkan untuk keperluan suci dan kepalanya harus dibotakkan...!"
Mendengar kata terakhir dari surat itu Siau Po menjadi pucat memang sebelumnya ia berjanji bersedia menjadi biksu tetapi di Gunung Ngo Tay san. ia menjadi bingung tidak karuan.
"Wie Tay jin mewakili raja untuk bersuci, itu merupakan suatu kehormatan bagi kuil kami," kata Hui Cong.
Tak lama kemudian Siau Po mulai dicukur gundul dan mulailah ia menggunakan baju pemberian raja.
Siau Po banyak mendapatkan kata selamat dari para biksu dan para pendeta. Setelah dicukur dan diberi kata selamat dari para pendeta itu Siau Po lalu menangis.
Selesai para biksu itu mendoakan, Siau Po diberitahu dari keturunan mana Su Ci dan para pendeta Siau Lim Sie ialah delapan hurup Tay Kay Koan Hay teng Ceng Hoa Giam.
Setelah mendapatkan keterangan itu Siau Po lalu diberitahu, bahwa ia sekarang sebagai paman guru jadi dengan kepala pendeta itu adalah sebagai adik seperguruan.
Siau Po ingat Song Ji. ia adalah wanita jadi dia tak dapat berada dalam kuil itu. Segera ia memberikan uang lima ratus tail pada Kong Lian, agar ia mencarikan rumah sewaan untuk Song Jie.
Karena dia sebagai pengganti kaisar maka ia mendapatkan kedudukan yang sangat enak dan juga memiliki empat orang kacung, "Su Te, dalam kuil ini kau bebas, Kau boleh melakukan apa saja asalkan jangan melakukan yang lima larangan ini, yaitu minum arak, membunuh, jinah, dusta dan mencuri..!" pesan Hui Tong,
"Keempat-empatnya mungkin dapat aku laksanakan tetapi untuk tidak berbicara dusta rasanya aku su!it!" katanya dalam hati.
Siau Po lalu bertanya.
"Bagaimana kalau berjudi, apakah itu juga merupakan tantangan? Dalam kuil ini?" tanyanya.
"Apakah itu berjudi.,.?" tanya si pendeta,
"Judi adalah mengadu keuntungan baik dengan dadu atau pun dengan kartu.,.!" Siau Po memberikan keterangan
Hui tong itu lalu tersenyum.
Hm dalam lima tantangan itu tak terdapat judi, untuk itu jika orang lain ingin membatasi diri, Su Te sendiri terserah!" jawabnya,
"Sri Baginda mengutus aku menjadi pendeta hanya karena aku akan ditugaskan menjaga raja yang tua itu. Tetapi mengapa di sini bukan di Ngo Tay san, mengapa!" katanya dalam hati.
Selesai berkata demikian Siau Po lalu berjalan-jalan mengitari kuil itu, ia dapat melihat ada beberapa orang yang sedang berlatih silat ia menjadi sangat tertarik.
Melihat kedatangan Siau Po, mereka langsung menjura memberi hormat Hal itu membuat Siau Po menjadi risih.
"Sering aku mendengar bahwa ilmu silat di kuil ini begitu dahsyat Apakah itu yang dimaksud oleh baginda raja? Agar aku berlatih silat yang nantinya untuk menjaga ayah raja itu.-.?" kata Siau Po dalam hati.
"Ah, aku mengerti sekarang, Ketua di sini mengangkat aku sebagai adik seperguruannya, dengan demikian aku sudah tak mempunyai guru lagi sebab guru itu sudah lama meninggal Sungguh licik dia... tetapi aku menjadi orang kepercayaan raja. Atau mungkin ia sungkan untuk mengajarkan aku ilmu silat. Kalau memang demikian aku toh dapat belajar sendiri dengan melihat mereka berlatih aku dapat menirunya..." kata Siau Po dalam hatinya.
Beberapa bulan telah berlalu semenjak Siau Po berada di tempat ini. Musim dingin telah berlalu dan berganti dengan musim semi, tetapi ilmu silat yang dia miliki belum seberapa, Hanya pada pergaulan Siau Po sangat disenangi oleh para pendeta, hal itu dikarenakan Siau Po dapat bergaul dengan siapa saja. Pada suatu hari Siau Po merasakan tubuhnya sangatlah nyaman, Lalu ia pergi tanpa diketahui para pendeta yang lain. Dia terus saja berjalan, Siau Po ingat akan Song Cie. Dengan siapa dia tinggal dan bagaimana keadaannya.
Selagi Siau Po berjalan ia mendengar keributan dari orang yang sedang mengadu mulut Melihat itu Siau Po tersenyum. Siau Po lalu bergegas ingin cepat sampai dan bertemu dengan Song Cu, wanita yang selalu menyebarnya itu.
Belum jauh Siau Po melangkah terdengar lagi suara ribut-ribut, Setelah mengetahui kedatangan Siau Po para biksu muda itu lalu menghampiri dan bertanya padanya.
Siau Po mengetahuinya kalau biksu muda itu tadi sedang bertengkar mengadu mulut dengan seorang wanita yang memiliki wajah cantik dan manis pula.
Mendengar Siau Po datang dan dipanggil paman guru, si wanita itu lalu tertawa berbarengan sambil mengejeknya.
Melihat nona-nona yang cantik itu hati Siau Po jadi tak menentu, pikirannya melayang-layang dan berhayal jika saja ia dapat menjadikan nona itu sebagai istrinya dia bersedia menukar dengan kedudukannya.
Keempat biksu dan kedua wanita itu heran melihat Siau Po yang terdiam mematung itu.
"Susiok Cou. Susiok Cou.,.!" para biksu itu memanggil-manggil Siau Po.
Siau Po tetap saja diam.
"Susiok Cou. Susiok Cou.,.!" panggilnya lagi.
Dan masih tetap Siau Po diam saja, hal ini yang membuat biksu dan juga wanita itu menjadi bingung.
"Apakah pendeta cilik ini Susiok Cou kalian?" tanya si nona yang mengenakan baju biru.
"Nona harap, nona berbicara dengan sedikit sopan!" tegur salah seorang biksu itu pada si nona yang pakaian baju biru.
"Biksu ini berderajat tinggi, Dia juga salah seorang pemimpin kami. Dialah adik seperguruan dari ketua kami yang sekarang memegang tempuk pimpinan pada wihara kami.,.!" jawab biksu itu.
Lalu si nona yang mengenakan baju hijau tertawa dan berkata pada kawannya. "Kakak dia mencoba mendustai kita. Dia kira kita dapat percaya begitu saja! Coba
pikir biksu semuda ini sudah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi.,.?" "Eh, apakah benar kau berderajat tinggi dari Siau Lim Sie?" tanyanya dengan suara mengejek.
"Pendeta ya tetap pendeta tak usah ditambah dengan kata-kata tinggi. Kau lihat aku, bukankah aku si pendeta kate?" kata Siau Po dengan nada merendah.
Alis si nona terangkat dan berkata.
"Paman guru kami mengatakan bahwa Siau Lim Sie menjadi pusat ilmu silat sejagat ini. Kami kakak beradik datang ke mari, siapa sangka ilmu silatnya sama saja, Bahkan pendeta-pendetanya tak dapat menjaga mulutnya, Lihat dia, Omongannya sama saja dengan para laki-laki hidung belang yang ada di mana-mana! Hingga membuat orang hilang harapan. Adikku mari kita pulang...!" kata si kakak.
"Sie Cue, kau telah datang ke tempat kami dan kau telah melakukan sesuatu yaitu telah memukul orang. Andaikata kau akan pergi sedikitnya kau harus memberitahu nama yang mulya gurumu!"
Siau Po berpikir kalau saja biksu-biksu itu telah tertampar oleh tangan si nona berarti si nona itu memiliki kepandaian yang tidak dapat dianggap enteng."
"Semua pendeta Siau Lim Sie kepandaiannya sangat tinggi, tetapi mereka sekarang kena hajar. itu bertanda kalau kedua nona itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi!" kata Siau Po dalam hati,
Lalu si nona yang berbaju biru itu berkata.
"Dengan ilmu silat yang dimiliki kalian, masihkah kalian menghendaki kami meninggalkan nama besar guru kami? Lalu apakah kalian pantas untuk mengetahui nama besar guru kami?"
"Nona, tugas kami hanya menjemput nona-nona dan tugas itu sudah kami lakukan, Kami diharuskan untuk selalu sopan, sabar, dan ramah. Karenanya mana mungkin kami dapat dengan lancang menyerang nona? jikalau nona-nona ingin menguji ilmu silat kami datanglah atau silahkan nona menanti sebentar Kami akan memanggil beberapa paman guru kami supaya nona dapat bertemu dan berbicara dengan beliau. "
Habis berkata begitu sang biksu lalu membalikkan tubuhnya untuk memanggil beberapa paman gurunya.
Baru saja beberapa langkah, nona itu sudah langsung menyerangnya dan serangan itu berhasil dengan baik.
Ceng Ci gusar dan ia lalu berlompat untuk bangun dan langsung menyerang si nona itu dengan tipu silat.
Nona itu menangkis dengan cepat, lalu ia memutar tangan biksu tersebut. Tiga biksu itu kaget dan gusar Mereka lalu menyerang si nona dengan serempak. Tetapi dengan satu gebrakan si nona dapat melumpuhkan ketiga biksu tersebut.
Siau Po kaget sekali, sehingga ia diam saja tahu-tahu ia dikagetkan dengan orang yang telah memukul punggungnya dan tenaganya langsung hiIang, Rupanya ia sudah ditotok jalan darahnya.
Oleh karena itu di depannya terlihat si nona dengan baju biru tengah berdiri, maka Siau Po tahu bahwa orang yang menotok si nona yang berbaju hijau.
Ia menjadi girang sekali, hingga ia berseru.
"Bagus, bagus.,.!" ia pikir, tak kecewa orang yang mengakalinnya itu. Ditendang pun ia akan merasa puas lalu ia pun berkata.
"Harum. Harum.,.!" Sebab hidungnya mencium bau yang harum!
"Ini kepala gundul cilik ini busuk sekali, Adik tebaslah batang hidungnya.,.!" kata si nona berbaju biru.
"Baik, lebih dahulu aku akan mengorek kedua biji matanya!"
Siau Po kaget Lalu ia merasakan jari tangan yang lembut merayap ke mata kirinya. "Perlahan-Iahan mengoreknya, jangan terlalu cepat-cepat!" kata Siau Po.
"Kenapa begitu?" tanya si nona yang berbaju hijau.
"Sebab lebih baik kau cekik saja, Kau lebih baik cekik saja seperti ini!" kata Siau Po. "Oh, biksu cilik!" berseru si nona.
"Jiwamu bakal melayang, kau masih berani bicara gila padaku.,.!"
Siau Po kaget sekali, Mata kanannya terasa nyeri, Terang si nona mengorek matanya itu, Siau Po tidak menjerit tetapi ia tertunduk, ia takut sekali, hingga ia melupakan tipu silat yang diajarkan Hu Jin, Bagaimana cara membebaskan cekalan Iawan. ia juga membawa tangan Siau Po kebelakang buat mencoba melepaskan diri dari tangan si nona. Tapi ia telah ditotok jalan darahnya hingga tenaganya sudah tidak ada, Tak berdaya ia melepaskan diri.
"Aduh!" Demikian ia malah berteriak merasakan nyeri, itu disebabkan si nona menghajar punggungnya.
"Aduh emak.,!" ia meronta dengan mencoba menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba ia menyentuh sesuatu yang lembut! Kiranya itulah buah dada si nona. "Kurang ajar!" berseru nona itu.
Dia menjadi malu berbarengan gusar sekali.
kembali Siau Po menjerit kesakitan, Kali ini si nona menggerakkan kedua tangannya pada kedua tangan Siau Po, membuatnya patah tulang atau salah urat, itulah tipu silat "Leng Yan Kui Cau," artinya walet pulang sarang dari si nona.
"Aduh!" Siau Po menjerit untuk kesekian kalinya, dan kali ini kakinya terkait sehingga tubuhnya roboh terbanting, ia habis daya bagaimana ia bagaikan benda apa saja waktu tubuhnya itu didupak si nona yang sedang kalap itu.
Karena begitu gusarnya, si nona lalu mengambil golok dan bersiap untuk membunuhnya. Siau Po menjadi tersentak ia lalu berguling beberapa kali membuat golok itu nyaris mengenai lantai.
Dengan satu tendangan susulan membuat Siau Po terguling ke lantai "Adik jangan bunuh dia!" Tiba-tiba nona yang berbaju biru itu berseru.
Si nona yang berbaju hijau seperti tak mendengarkan apa-apa terus menghajar tubuh Siau Po.
Tiba-tiba si nona menghajar dua kali, untunglah Siau Po menggunakan pakaian wasiat itu, Melihat Siau Po tidak mati-mati, si nona menjadi kesal.
Crang.-.!
Si nona yang berbaju biru itu lalu menangkis pedang kawannya yang sedang kalap itu dengan pedangnya sendiri hingga senjata mereka beradu dan mengeluarkan suara yang sangat nyaring.
"Pendeta itu tak mungkin dapat hidup dengan lama, dan mari kita menyingkir...!"
Si nona yang berbaju biru itu beranggapan kalau mereka membunuh anggota Siau Lim Sie adalah cara yang kurang baik.
Nona yang berbaju hijau tidak lagi menyerang lebih jauh, sebaliknya ia menangis kemudian mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam pedang untuk membabat leher sendiri.
Lalu nona yang berbaju biru menangkis tangan kawannya yang hendak membunuh dirinya itu, Tetapi tak ayal, golok itu telah mengiris sedikit lehernya dan darah pun menetes.
Nona yang berbaju hijau itu lalu ambruk tak sadarkan diri ia lalu melepaskan pedangnya dan menolong kawannya yang sedang sekarat. "Amitabha Buddhaf" Tiba-tiba terdengar suara dari balik si nona yang datang dari arah belakangmu Suara itu sangatlah lembut terdengar.
"la, harus cepat ditolong.-!" katanya,
"Dia.... Dia tak tertolong lagi...!" kata si nona.
Segera saja si nona menyingkir dan memberikan peluang pada biksu itu, Lalu ia menotok jalan darah pada leher dan di sekitar luka si nona itu.
Orang itu lalu menyobek bajunya dan membalut luka di leher si nona itu. Dan lalu mengangkat tubuh itu.
Pendeta itu berlari membawa nona itu ke wihara.
Siau Po lalu ke luar dari kolong meja itu dan ternyata kedua tangannya sudah tak dapat digerakkan.
"Ah, si adik itu sangat lihay! ia juga berhati keras? Kenapa dia hendak membunuh dirinya? Bagaimana dia benar-benar mati paling baik aku menghindar dari tempat ini.-.!" kata Siau Po dalam hati.
Maka, dengan dahi yang banyak mengeluarkan keringat ia terus mendaki gunung itu. Tangannya yang patah itu sulit baginya untuk berlari Namun untung saja ada beberapa biksu yang lalu menolongnya.
Tiba di kuil itu ia lalu diobati dan untunglah pada kuil itu terdapat orang yang pandai mengobati luka.
"Meski aku menengok mereka!" pikirnya dalam hati.
Di tengah perjalanan ia berpapasan dengan delapan orang biksu yang semuanya memegang golok Kay Too. Mereka ternyata bertugas di ruang Kat Lut Ih."
"Susiok Cou diundang Bapak Ketua segera!" kata salah seorang biksu yang sebelumnya memberikan hormat pada Siau Po.
"Baik, sekarang aku hendak melihat dahulu kedua nona itu apakah ia dapat ditolong atau tidak?" kata Siau Po.
Tiba di kamar ia lalu menanyakan tentang nona itu dapat ditolong atau tidak pada biksu yang menjaganya.
"Sekarang Siau Ceng yang menanganinya, dan semoga dapat tertolong jiwanya!" kata biksu itu pada Siau Po.
"Semua ini gara-gara biksu cilik itu!" kata si nona yang berbaju biru itu. Siau Po setelah melihat nona itu ia lalu menghadiri undangan dari sang ketua.
Betapa kagetnya Siau Po sesampainya di ruang pertemuan itu. Ternyata semuanya sudah ada di tempat itu, menjadikan tempat itu semacam akan diadakan sidang umum saja.
"Su Te, silahkan menghormat pada Jie Lay kita!" kata Hu Cong. Siau Po lalu menuruti perintah itu.
"Sekarang Su Te, ceritakan duduk perkaranya agar Jie Lay dapat mengetahui duduk persoalannya!" katanya pula.
"Aku mendengar ada suara ribut-ribut lalu aku mendekat dan ingin mengetahui apa yang terjadi, Tetapi peristiwa tengah terjadi, aku tak mengetahui sebab-sebabnya, Nah, Ceng Ci sebaiknya kau saja yang menceritakannya!" kata Siau Po.
"Baiklah, aku mendengar akan kedatangan nona-nona itu lalu aku menjemputnya. Dan aku menerangkan bahwa di kuil kami tak menerima pengawal wanita, Lalu yang lebih tua itu mengatakan bahwa Siau Lim Sie adalah pusat ilmu silat yang di jaman ini tanpa tanding, maka itu mereka datang untuk mencoba ilmu kita."
"Lalu kami menjelaskan bahwa kami tak berani mengatakan hal yang demikian Dan pun kami menjelaskan bahwa ilmu silat di lain partaipun mempunyai keistimewaan masing-masing!" katanya.
"Atas penjelasanku itu Sie Ju tertawa dingin, lalu nona itu berkata, bahwa nama Siau Lim Sie adalah nama kosong dan kepandaian Siau Lim Sie adalah kepandaian kucing kaki tiga yang harus ditertawakan? Lalu kami bertanya mereka berasal dari mana dan siapa nama guru mereka!"
"Kau benar dan ternyata si nona hendak mengacau, dan memandang kita dengan sebelah mata, pasti mereka dari orang yang tak sembarangan. Untuk itu kita memang harus mengetahui nama guru dan dari partai mana mereka berasal!" kata Hui Cong.
"Karena pertanyaanku itu ia lalu menampar muka Le Cu dan Ceng Ceng kami tak menyangka akan adanya serangan itu. Lalu Su Te Ceng Ceng bertanya mengapa nona itu begitu kasar, aku jawab itu karena pertanyaanku tentang pertanyaanku itu."
Selesai sidang Siau Po lalu berkata.
"Menurut apa yang aku tahu ilmu silat Siau Lim Pay hanya begini saja. Terbukti dengan beberapa gebrakan saja orang partai kita sudah pada kocar-kacir!" katanya.
"Buktinya Ceng Ceng yang sudah belajar lebih dari dua puluh tahun dibuat tak berdaya.,." sambungnya. Mendengar kata-kata itu memang sangat tidak enak didengar tetapi memang itulah kenyataannya.
Mereka lalu pergi ke ruang di mana terdapat nona-nona itu yang sedang dirawat. Siau Po lalu bertanya pada kakak seperguruannya.
"Apakah ia akan dapat disembuhkan?" tanyanya. "Kelihatannya dia akan dapat disembuhkan...!" jawab si biksu.
Si nona yang berbaju hijau itu terbaring dengan mata tertutup dan terlihat seperti pucat. Lehernya dibalut dengan kain putih dan tangannya sangat bagus.
Hati Siau Po sangat sedih dan hatinya tak tenang melihat tangan si nona yang tergeletak itu Siau Po lalu memegangi tangan itu dan lalu ia berkata.
"Apakah nadinya masih bekerja?" tanyanya.
Si nona yang satunya, sejak Siau Po masuk ia sudah panas hatinya dan sewaktu Siau Po memegangi tangan itu Siau Po lalu dibentaknya.
"Jangan raba-raba tangan adikku!" kata si nona. Mendengarkan hal itu Siau Po lalu menarik tangannya.
Teng Koan lalu mengurut tangan si nona itu dan membebaskan totokannya sambil berkata.
"Jurusmu itu jurus tangkapan tangan Kim Na Chiu, dari keluarga Hek Shoasay!" katanya.
Melihat itu si nona lalu menarik tangan yang sedang diobati itu dan Teng Koan kembali menyentil tangan nona yang angkuh itu dan kali ini mengarah pada jalan darahnya.
Si nona lalu menyerang dengan tangan kirinya dan kembali tangan itu disentilnya.
Melihat itu si nona lalu mundur beberapa langkah, dan karena penasaran ia lalu menyerang dengan kedua tangannya, Maksudnya agar ia tak dapat menyentilnya.
Melihat itu semua biksu itu tertawa sambil berkata. "Bagus. Bagus.,.!" katanya.
Selesai berkata si biksu lalu meladeni serangan itu, Anehnya tangan-tangan itu masih dapat ditotoknya meskipun dengan kedua tangannya, Kali ini biksu itu langsung mengarah pada jalan darah si nona yang membuat dia gusar. "Oh, biksu apakah kau mau mampus!" dampratnya.
"Aku masih hidup, Kalau aku mati tak mungkin aku dapat menyentil tanganmu!" kata biksu dengan tenang.
"Sekarang kau hidup besok kau akan mati!" jawabnya.
"Hai, Nona! Bagaimana kau akan tahu kalau aku akan mati besok apakah kau pandai ilmu nujum..?" tanyanya.
Nona itu sangat jengkel dan ia tahu kalau orang yang ada dihadapannya itu adalah orang pandai juga.
"Pergi keluar jangan kau ganggu yang sedang sakit itu!" pinta si nona.
Sewaktu Teng Koan mengajak Siau Po pergi ia tak mendengarnya karena ia sedang memandang tubuh yang tergeletak itu. Dan ketika nona yang satu itu mendekati dan langsung menendangnya untuk keluar dari kamar itu Siau Po sangat kaget.
Melihat hal itu Teng Koan lalu mendekati Siau Po yang sedang terjatuh itu dan berkata.
"Siau Susiok, pukulan Nona itu terdiri dari tiga belas jurus dan jika kau tak sudi untuk melayaninya ada enam cara untuk menghindarinya, Kau dapat menyerangnya dengan mengkaitkan tangannya, sambil menyentuh sikunya atau menyentilnya, menotok, dan mencekuk tangannya. Atau kau dapat dengan menendangnya! Semua itu dapat digunakan untuk menghindarinya!"
Karena Siau Po sedang merasakan nyeri maka ia berkata, "Baru sekarang kau mengatakannya, itu percuma!" katanya.
"Susiok benar! Memang Susiok yang salah, coba aku memberitahukannya siang tadi tentulah Susiok tak akan jatuh tersungkur di tanah seperti itu!"
Mendengar kata-kata itu Siau Po lalu berkata.
"Nona-nona yang di dalam itu galak-galak, jika nanti aku bertemu ia di luar pasti nanti aku akan dihajarnya Aku harus dapat menghindar darinya tetapi biksu tua ini tahu ilmu silat nona-nona itu dengan tangannya ternyata dia dapat melumpuhkan nona-nona itu. Agar aku dapat menikah dengan dia aku harus menjadikannya sebagai pengawalku! Tapi ia sudah tua dan kemungkinan dalam beberapa hari lagi ia akan meninggalkan dunia ini. Dan jika biksu ini telah mati apakah aku akan dapat selamat dari ancaman nona-nona ini!" tanyanya dalam hati.
"Hanya dengan sentilan tanganmu saja kau dapat menaklukkan nona itu, apakah nama ilmumu itu!" tanya Siau Po. "ltuIah ilmu Tan Cie San Kang, apakah kau tak mengetahui ilmu itu!" tanya si biksu. "Aku tak mengerti Lebih baik kau ajari aku ilmu itu!"
"Asalkan kau perintahkan tak berani aku menolaknya dan ilmu itu tak sukar untuk dipelajari Cukup dengan kita mengetahui jalan darah serta tepat juga sentilan atau totokan itu!" kata biksu itu.
Mendengar semua itu Siau Po menjadi girang.
"Jika tak sukar untuk dipelajari sebaiknya kau cepat ajari aku tentang ilmu itu!" "Siau Susiok kau mempelajari Ie Tin Keng sudah sampai mana dan sebaiknya
Susiok belajar menyentil terlebih dahulu!"
"Bagaimana aku harus menyentilnya?" tanya Siau Po.
Setelah memberi contoh biksu itu meminta Siau Po untuk memperagakannya, Dari hasil percobaan itu biksu dapat mengetahuinya kalau Siau Po belum pernah mempelajari Ie Tin Keng. Dan ia menyarankan agar Siau Po mempelajari ilmu Ie Tin Keng terlebih dahulu dan barulah ia dapat mempelajari ilmu yang dimintanya.
"Poan Jiak Ciang aku pun tak dapat!" katanya.
"ltu tak apa. Mari, kita coba ilmu Cam Hoa Kim Na Ciu!" ajak biksu itu pada Siau Po. "llmu apa itu, aku belum pernah mendengarnya!" kata Siau Po.
Teng Koan menunjukkan muka yang sangat kecewa karena sulit bagi dia untuk menerangkannya.
"Sekarang, marilah kita mencoba dengan ilmu yang lebih ringan yaitu Kongkong Sin Ciam apakah ilmu itu juga kau tidak tahu?" tanya biksu itu.
Sang paman menggeleng kepala
"Bagaimana kalau kita coba dengan ilmu yang sangat mudah yaitu Polobit Cu?"
Kembali Siau Po menggeleng kepala, Si keponakan murid berbicara terus tetapi tetap saja pamannya menggeleng kepalanya Kewalahan juga ia. Namun dengan demikian biksu tua itu memiliki seratus kesabaran, ia tak berkecil hati dan berkata.
"Kita kaum Siau Lim Pay pelajaran kita menanjak menurut urutannya dari yang rendah menanjak terus sampai pada yang tinggi, Dengan demikian kita akan mendapatkan tenaga yang sangat dahsyat. Baru nanti ilmu Wieto Ciang, ilmu ini harus dipelajari selama lima tahun dan jika ia cerdas dapat sekalian mempelajari San Hoa Ciang sehingga ia dapat menandingi partai lain,.,!" Mendengar keterangan itu Siau Po menarik napas berat Dia menjadi sangsi pada dirinya.
"Tadi kau katakan bahwa Tan Cie Sin Kang tak sukar untuk mempelajarinya. Tetapi mengapa aku harus mempelajarinya dari yang paling dasar Harus memakan waktu berapa tahun aku mempelajari ini semua?" tanya Siau Po.
"Untuk mendapatkan ilmu-ilmu itu kita memerlukan waktu yang cukup lama!" jawabnya.
Mendengar jawaban itu Siau Po lalu tertawa, Teng Kong menganggukkan kepalanya sambil tersenyum dan berkata.
"Waktu empat puluh tahun adalah waktu yang sangat cepat, selama seribu tahun, Su Tit yang berhasil mempelajari ilmu menyentil atau menotok itu. Namun tenaga dalamnya masih tergolong biasa saja!" kata si biksu menjelaskan pada Siau Po.
Memikirkan hal itu Siau Po menjadi bingung sendiri ia lalu mencari akal bagaimana caranya agar ia dapat mempelajari ilmu itu dalam waktu yang singkat.
Dalam hati Siau Po berkata. "Aku harus memancing agar ia panas hatinya." Lalu Siau Po mendapat akal maka ia lalu berkata.
"Kau menjadi ketua poan Cik Tong, jika kau tak mencari jalan untuk mempercepat waktu belajar dan berlatih, apakah kau tak merasa malu pada leluhur Siam Lim Sie, yang telah ribuan tahun Iebih. seandainya kau mati dan bertemu oleh leluhurmu dan kau akan ditanya apa yang telah kau perbuat untuk partai kita? Bagaimana kalau ia mengatakan kalau kau hanya pandai makan dan minum saja. Dan kau tidak memperdulikan apa-apa yang ada di sekitarmu, terutama kau tak memikirkan untuk kemajuan Siau Lim Sie? Apakah kau tak merasa malu?" tanya Siau Po pada biksu itu.
Mendapat pertanyaan demikian muka biksu itu menjadi merah karena menahan rasa malu.
"Susiok benar, baiklah aku akan mencari cara yang paling cepat untuk dapat menguasai ilmu silat tersebut!" katanya.
Siau Po merasa senang mendengar jawaban itu.
"Memang jika kau tak berhasil lebih baik kita jangan muncul ke muka umum dan lebih baik kita meminta pada nona itu untuk menjadi ketua di kuil ini. Aku nanti akan meminta padanya diajari ilmu silat agar kita dapat cepat menjadi pandai." kata Siau Po memanaskan biksu itu.
Ternyata siasat Siau Po berhasil terbukti biksu itu menjadi pucat mukanya dan panas hatinya. Baru saja ia ingin berlalu Siau Po memanggil biksu itu dan mengatakan.
“Tunggu dulu," katanya menahan biksu itu. "Kau harus dapat merahasiakan terlebih dahulu usaha kita ini jangan langsung kita menyebarkannya. Ingat, lain orang tak boleh ada yang mengetahui rencana kita!" pesan Siau Po.
"Mengapa demikian?" tanyanya tak mengerti
"Orang akan tidak menaruh kepercayaan pada kita, sebab kita belum tentu dapat berhasil. Bukankah si nona itu masih berada di kuil kita? Dan hati kita semua belum ada yang tenang!" katanya.
Teng Koan mengangguk.
"Susiok benar, memang urusan ini untuk kepentingan partai tetapi rahasia tak dapat langsung saja dibuka!"
Besok paginya sewaktu Siau Po bangun dari tidurnya ia lalu pergi ke kamar si nona. ia bertemu dengan biksu yang bertugas merawat si nona yang sedang sakit.
"Selamat pagi, Susiok!" Demikian biksu itu memberikan hormat pada Siau Po. "Bagaimana luka si nona apakah ada perkembangan atau mulai membaik?" tanya
Siau Po pada biksu tua itu.
"Kira-kira tengah malam tadi nona itu siuman, dan setelah diketahui kalau ia berada di kuil kita ia lalu meronta dan meminta saudaranya untuk memapahnya ke luar dari kuil ini. Ketika aku membujuknya ia mengatakan tidak ingin mati di kuil ini!" kata si biksu.
Siau Po melihat orang itu yang berbicara tak lancar ia lalu menerka kalau si nona sewaktu sadar tadi mungkin ia telah mencarinya.
"Lalu bagaimana...?" tanya Siau Po.
"Sutit masih membujuknya, dan ia tampaknya masih penasaran ia dibantu kakaknya keluar dari kuil ini, sia-sia Sutit mencegahnya dan akhirnya dibiarkannya pergi dengan luka-luka itu. Dan aku lalu melaporkan hal itu pada ketua!" jawabnya.
Tiba di kamar biksu itu ia mendapatkan si biksu sedang duduk bersila, Di depannya sudah banyak tergeletak buku-buku dan matanya pun cekung, pertanda bahwa semalam ia tak tidur.
Dengan perlahan Siau Po meninggalkan kamar itu sebab ia tak ingin mengganggu konsentrasi biksu itu dan biksu itu pun tidak melihat akan kedatangannya.
Satu bulan sudah berlalu, Pada suatu hari Hui Beng ingin menyegarkan tubuhnya ia lalu melewati kamar Teng Koan, ia sangat heran mengapa akhir-akhir ini Teng Koan sangat kurus dan matanya sangat cekung jika ia berlatih silat hanya sebentar ia melakukannya lalu ia pun terduduk bagaikan orang yang tak bertulang.
Tak ada minat untuk hidup lebih lama juga semangat hidup pun pudar Melihat keadaan itu Hui Beng sangat kasihan.
Demikianlah pada suatu hari ia membawa uang yang cukup banyak, ia ingin sekali bermain judi maka ia lalu pergi turun gunung,
"Sekarang aku akan mencari rumah judi aku akan berjudi dengan sepuas hatiku!" katanya dalam hati.
Karena menerka rumah perjudian itu berada dalam gang maka ia lalu pergi ke gang- gang yang ada di sekitar kuil itu.
Itulah rumah yang ditujunya itu.
Saking girangnya ia lalu berlari mendekati rumah itu, Tengah ia mendorong pintu itu ia dihadang beberapa orang yang ditugaskan sebagai penjaga.
Siau Po bukanlah anak yang tidak memiliki pengalaman dalam hal seperti itu, ia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa uang.
"Aku ingin mengalahkan beberapa uangku untuk berjudi sebab tanganku sudah sangat gatal.!" kata Siau Po.
"Tapi anak kecil, ini bukan tempat judi! ini tempat orang bermain wanita.,.!" kata si penjaga.
"Kau tolong carikan aku pelayan untuk menemaniku minum dan berbicara...!" kata Siau Po yang lalu mengeluarkan uang untuk diberikan pada penjaga itu.
Pria itu sangat senang sekali ia mendapatkan uang yang begitu banyak dan ia berkali-kali mengucapkan kata terima kasih.
"Terima kasih, Tuan.,.!" ucapnya.
"Anak itu pasti anak orang yang sangat kaya, ia lalu mencuri uang ayahnya itu untuk digunakan berpoya-poya, sebaiknya aku meladeni dia agar dapat mengeluarkan uangnya dan aku mendapatkan uang yang banyak!" kata Nyonya pemilik rumah itu.
Menyambut tamu yang masih muda itu si nyonya lalu tertawa dan ia memperlihatkan para wanita yang ada di sana.
"Kalau kau ingin menemui nona kami terlebih dahulu kau harus membayar uang buka mulut pada-ku!" katanya. "Apakah kau menghina aku karena kau melihat aku masih kecil ini jangan kau lihat aku dari keciInya. Di kampung halamanku aku justru memiliki tempat itu!" kata Siau Po dengan penuh semangat
"Sekarang kau kumpulkan nona-mu aku akan memilihnya sebagai teman berbicara!" kata Siau Po.
Orang yang disuruh mengumpulkan itu lalu pergi dengan memberikan kabar itu pada para wanita itu, Dan dalam waktu yang singkat dia sudah berhasil mengumpulkan orang yang dimaksud itu.
Siau Po sangat senang walaupun tidak ada yang menarik hatinya yang sedang dilanda kekangenan wanita itu. Lalu Siau Po menarik salah seorang wanita yang akan dijadikannya sebagai teman bicara dan tanpa malu-malu lagi ia mencium wanita-wanita itu.
Sewaktu orang sedang ramai-ramai berbicara dan bercanda maka kamar tersingkap tanpa ada yang mengetahuinya.
"Kedua adik mari aku cium!" kata Siau Po tanpa menoleh.
Kedua nona itu adalah nona-nona yang diharap oleh Siau Po Siang dan malam. Kedua nya berbaju merah dan hijau.
"Selekas kau meninggalkan desa aku terus mengikuti kau, aku akan mengetahui apa yang akan kau lakukan!" kata si nona yang berbaju biru sambil tertawa.
Punggung Siau Po mengeluarkan keringat, dan tetapi ia berusaha untuk dapat menguasai diri.
"Nona-nona bagaimana dengan luka-luka yang ada di leher kau apakah itu sudah sembuh?" tanya Siau Po.
"Kami berdua kakak beradik setiap hari kami selalu mengikutimu dari kejauhan aku berniat akan menghukum mati kau, Aku akan membalas sakit hati adikku dan ternyata Tuhan telah mencabut nyawamu melalui diriku!"
Siau Po mengeluh dalam hati yang sedang berhadapan dengan gadis-gadis cantik itu.
"Sebenarnya aku tak terlalu bersalah terhadapmu karena saat itu aku tak bermaksud menyentuhnya, Apakah itu aku bersalah.,.?" tanya Siau Po pada gadis-gadis itu.
Mendengar jawaban itu si nona yang menggunakan baju biru timbul murkanya. "Apa kau bilang?" tegurnya dengan bengis.
"Ah, maaf Nona! Tadinya aku menyangka nona-nona dari tempat ini aku mengaku bersalah!" kata-nya.
"Ah, Kakak mengapa kau berbicara terus dengan manusia seperti dia. Dialah si kepala gundul yang jahat, Untuk itu hukumannya ia harus mati.!" kata nona yang berbaju hijau.
Gadis itu lalu menebaskan pedangnya diarahkan pada Siau Po dengan sangat cepat.
Siau Po menjerit sambil menunduk Dan tak ayal lagi topinya habis terbabat dan terlihatlah kepala yang gundul.
Yang hadir di situ kaget dan semuanya pada berlarian "Pembunuhan.... Pembunuhan...!" Demikian teriak mereka.
Siau Po lalu bersembunyi pada orang yang dituju sebagai tukang pukul dan ia berkata.
"Eh, ini rumah hina siapa yang masuk ke tempat ini berarti ia seorang pelacur Hayo, kamu berdua pergi dari sini kalau kau tidak mau apa yang dikatakan orang-orang itu!" katanya.
Nona-nona itu lalu mempermainkan senjatanya karena ia tak berani membacok orang yang ada di sana.
"Kamu masih belum mau juga pergi. Apakah kau ingin membukakan bajuku atau kau ingin membukakan celanaku.,.?" tanya Siau Po.
Kedua nona itu menjadi gusar ia khawatir jika orang itu benar-benar membuka baju dan celananya. Dan kedua nona itu lalu berlarian keluar, hingga hampir saja menubruk orang yang ada di sana.
Hati Siau Po menjadi agak aman tetapi ia masih merasakan kekhawatirannya itu. ia khawatir nona itu menungguinya di luar.
"Kamu semua jangan berisik, kalian jangan ada yang takut aku akan membagikan padamu uang...!" kata Siau Po pada wanita itu.
"Lekas kau pergi membeli seekor kuda dan kau tunggu aku di sana, Nanti aku akan pergi segera!" kata Siau Po setelah itu ia pun menyerahkan uangnya untuk membeli kuda,
"lni uang dua puluh tail untukmu dan kau buka pakaianmu aku akan menggunakan pakaianmu untuk pulang.,.!" pinta Siau Po. "Mereka itu adalah istri dan gundikku dan mereka yang mencukur rambutku hingga aku sampai begini, Dan ia pun melarang aku untuk pergi ke tempat seperti ini.,.!" jawab Siau Po pada mereka,
"Oh, begitu!" jawab mereka,
Ternyata keterangan Siau Po dapat dipercaya, lalu ada juga yang tertawa mendengar istri yang menggunduli kepala suaminya.
Siau Po berdandan dengan cepat hal itu membuat nona-nona yang ada di sana semuanya tertawa, maka mereka membantu Siau Po menggunakan bedak.
"Tuan, kuda sudah tersedia, hanya tuan harus berhati-hati sebab istri dan gundik tuan menjaga di sana!" kata orang yang disuruh membeli kuda itu.
"Celaka, dasar wanita-wanita galak!" kata Siau Po dalam hati.
Sebelum keluar Siau Po mengatur siasatnya. Bahkan mereka lalu diminta mengalihkan perhatian si nona sedangkan yang lainnya menerobos ke luar bersama dengan dia.
Si nona yang berbaju biru melihat kejadian itu lalu ia mengejar tetapi di gang itu penuh sesak dengan nona yang menggunakan kesempatan itu untuk kabur, Lalu ia berteriak akan menyingkirkan nona-nona itu.
"Hay harimau betina, jantanmu sudah menunggang kuda dan kabur! Mana kau dapat mengejarnya.,.!" Ejek yang lainnya.
Nona itu gusar dan hampir saja mengamuk dengan golok yang sudah siap mencari darah.
Ternyata nona-nona itu tak menyerang mereka, hanya mengomel. "Hay perempuan jahat, perempuan galak!" katanya.
Sebelum sampai ke kuil Siau Po terlebih dahulu membersihkan diri lalu ia memasuki kuil itu. Diam-diam Siau Po masuk lewat pintu samping.
"Jika mereka datang dan mengatakan hal itu pada pendeta aku akan menyangkaInya...!" katanya dalam hati.
Sampai malam tiba ia tidak menemui si nona yang tadi mengejarnya dan keesokannya ia kembali memikirkan nona yang menggunakan baju biru.
"Bagaimana aku dapat melihatnya barang satu kali saja!" katanya dalam hati. "Susiok Cau, selama beberapa hari ini jangan ke luar Karena suasana di sana sangat tidak enak.,.!" kata seorang biksu.
"Ada kejadian apa di luar sana!" tanya Siau Po.
"Tadi tukang masak memberitahukan aku sewaktu ia pergi ke pintu belakang, ia melihat nona-nona itu membawa golok dan menanyakan tentang dirimu padanya!" kata si biksu.
"Mereka menanyakan apakah dia mengenalmu, biasanya ia pergi jam berapa dan ke mana perginya? Aku melihat mereka itu mempunyai maksud jahat pada mu. Asalkan kau tak pergi ke luar pasti mereka tak berani masuk ke mari!" katanya.
Siau Po menggaruk-garuk kepalanya, "Benar, benar dia wanita jahat." katanya.
"Memang ketika tukang masak itu berkata, dia tidak mengenalmu, dia lalu menghajarnya hingga tukang masak itu luka-luka, dia pun berkata jika ia menceritakan hal ini pada yang lain ia akan memotong lidahnya, Sungguh gila dia beraninya datang pada Siau Lim Sie. Memangnya mereka memakan nyali harimau?" tanyanya.
"Memang, kita orang-orang Siau Lim Sie tak berani padanya, Terbukti kita semua tak berani keluar dari kuil ini." kata Siau Po.
Biksu itu menjelaskan bahwa dalam hidup kita harus berdamai dan hal itu sudah dilaporkan pada ketua pendeta kuil itu.
Mendengar penjelasan itu, Siau Po menganggukkan kepalanya, ia menunggu agar orang yang ada di hadapannya itu berlalu, sebab ia pikir lebih baik aku menemui Teng Koan untuk membicarakan hal itu kepadanya.
Sesampainya Siau Po ke kamar Teng Koan, ia mendapatkan biksu itu sedang berjalan bolak-balik sambil mulutnya tidak mau diam.
"Melihat hal itu, Siau Po tak ingin mengganggunya. ia menunggu, tetapi sudah lama biksu itu masih seperti itu.
Siau Po pura-pura terbatuk karena kedatangannya tak dihiraukan oleh biksu itu. Hingga habis kesabarannya dan lalu mendekati biksu itu. Namun biksu itu masih tetap diam saja.
Siau Po lalu menepuk punggung biksu itu, tetapi biksu itu malah terpental ke dinding hingga ia terduduk. Siau Po sangat kaget, begitu juga biksu itu.
"Oh Susiok, Sutit bersalah, Sutit akan menerima hukuman dari mu. Aku harus mati..." kata Teng Koan. "Silahkan bangun, jangan pakai adat segala! Aku yang bersalah, bukan kau!" kata Siau Po setelah hatinya mendapatkan ketenangan.
Teng Koan tetap berlutut dan tak henti-hentinya minta maaf.
"Ilmu apa yang kau gunakan hingga kau berakibat seburuk ini?" tanya Siau Po. “Inilah ilmu Hu Tie Sin Kang dari Poan Ciak Ciang yaitu ilmu membela diri." jawab si
biksu.
"Bagaimana apakah kau sudah berhasil mencari jalan untuk dapat belajar lebih cepat?" tanyanya.
"Aku sudah memikirkannya, tetapi tanpa kita mempelajari dari awal, tak mungkin dapat aku menurunkan ilmu yang kau maksud." kata Teng Koan penuh kecewa.
"Kita harus memerlukan waktu yang cukup lama kira-kira tiga puluh tahun atau lebih." lanjutnya,
"Dan itu pun aku masih khawatir, takut itu masih belum cukup." jawabnya. "Baiklah kau tunggu saja, nanti aku akan memikirkan cara yang mudah. Aku akan
mencoba dengan ilmu -.:\vi dari Ci?ii Ciu Kim Na Ciu." kata si biksu untuk memberikan
semangat. Siau Po lalu berpikir, biksu itu tentunya telah bekerja dengan keras.
"Loo Su Tit kedua orang itu berusia sangat muda tetapi mereka telah mendapatkan ilmu silat yang cukup tinggi!" katanya.
"Orang lain dapat melakukan pelajaran dengan tidak mengikuti aturan urutan ilmu silat." kata Siau Po.
"Karena itu mengapa kita harus mati-matian menuruti aturan, Dan mereka pun tak mempunyai aturan juga namun ilmu silat mereka itu menjadi tangguh dan itu terbukti bahwa kita tak berani ke luar menghadapinya."
Teng Koan tersentak kaget mendengar ucapan itu.
"Belajar silat tanpa pokok dasar, itu sama saja dengan ilmu silat yang sesat Peng Bun Co To..." jawab si biksu itu.
"Kedua nona itu bukannya Peng Bun Co To, mereka dari Bu Bun Buto, maka itu menghadapi mereka kita dapat menggunakan ilmu silat yang serupa." kata Siau Po.
"Aku tak mengerti Bu Bun Bu To.,." katanya,
Siau Po tertawa. "Jika kau tak mengerti, baiklah akan kuajarkan pada kau tentang ilmu itu." kata Siau Po. Teng Koan memberi hormat.
"Silahkan Susiok mengajari aku!" katanya, Biar bagaimana biksu itu akan mencoba ilmu paman gurunya yang tidak mengetahui ilmu tenaga dalam.
"Bukankah kau katakan ilmu silat itu dari partai Kun Ley Pay atau Ngo Bay Pay? Bukankah ilmu kepandaian mereka itu dari ilmu campuran? Jadi kalau ilmu itu dipadu dengan ilmu Siau Lim Pay kita, yang mana lebih lihay?" tanya biksu itu.
"Mungkin dari pihak kita yang lebih lihay atau sedikitnya kita ada kelemahan." kata biksu.
"Kalau demikian mudah, berarti tidak membutuhkan tenaga dalam, kita gunakan saja salah satu jurus kita dan kita akan menang."
Teng Koan merapatkan alis matanya.
"Tanpa dasar tenaga dalam semua jurus itu tak ada gunanya. Kalau kita menghadapi lawan yang tangguh mudah saja kita dirobohkan olehnya, hingga tulang bisa patah dan otot bisa putus." kata biksu.
Siau Po tertawa.
"Habis kedua nona itu apakah sempurna tenaga dalam mereka?" "Tidak "
"Habis apa yang membuat kau khawatir?"
"Perbedaan ilmu silat kita dengan yang lain, pada ilmu silat kita terdapat beraneka ragam, dan banyak jurusnya, jumlah semua macam itu ada seribu, Karena itu meskipun tak membutuhkan tenaga, tetapi kita masih membutuhkan waktu yang lama." kata Teng Koan.
-- Hwesio tua ini benar-benar kukuh dan kolot pendiriannya, Kata Siau Po dalam
hati, Kemudian dia tertawa dan berkata, "Untuk apa kita harus mempelajari semua ini? Cukup asal kita tahu apa kepandaian nona itu, lalu dengan jalan yang sama kita menghadapinya, seperti serdadu datang, perwira menghadang, Air datang, tanggul menampung. Kalau nona itu mengerahkan sebuah jurus, kau gunakan sejurus lainnya, Pasti dia akan lari terbirit-birit." Teng Koan menganggukkan kepalanya berkali-kaIi, pikirannya mulai terbuka.
"Bukankah kau mengatakan nona itu menggunakan jurus "Kang Ho Jit Hi" dari Lau San Pai? Tentang hal itu, kau mengatakan ada enam atau tujuh cara untuk memecahkannya, Untuk apa repot-repot? Yang utama, kau harus mengerti satu jurus saja untuk memecahkan ilmunya itu. Yang lainnya tidak perlu kau pusingkan." kata Siau Po kembali. Tampaknya Teng Koan gembira sekali mendengar usul itu.
"Benar!" serunya. Ketika si nona mematahkan tangan-tangan Susiok serta Ceng Ci berempat, dia menggunakan jurus Hun Kin Co Kut Hoat. Jurus itu merupakan jurus campuran dari enam partai persilatan. Memang kita bisa menggunakan salah satu saja untuk memecahkannya. Begitu?
Teng Kong langsung memasang kuda-kuda, kaki dan tangannya digerakkan. Pertama-tama dia menjalankan jurus si nona, kemudian menjalankan jurus pemecahannya, semuanya dilakukan dengan baik agar Siau Po dapat melihat dengan tegas.
Siau Po sendiri merasa kagum terhadap daya ingat si hwesio.
Setelah selesai, Teng Koan mengulanginya sekali lagi, Kemudian dia menyuruh Siau Po mencoba menjalankannya.
Siau Po mencoba, tapi dia mendapat kesulitan untuk mengingat semuanya dengan baik, Dia merasa pelajaran itu terlalu rumit. Karena itu dia minta cara pemecahan yang lebih sederhana.
Teng Koan menurut, dia menunjukkan beberapa jurus ilmu yang dapat memecahkan pukulan si nona, Asal si bocah tanggung itu menggelengkan kepalanya, dia segera menggantikannya dengan yang lain.
Demikianlah sampai berulang kali, akhirnya sang paman guru mengerti juga beberapa jurus tipu untuk memecahkan "Hun Kin Co Kut Hoat" kedua nona tersebut seandainya si nona menyerangnya kembali dengan jurus yang sama, pasti dia dapat menghadapinya bahkan menggagalkan serangan itu.
Teng Koan juga merasa kagum terhadap kecerdasan si paman guru kecil yang dapat belajar dengan cepat itu. Jurus-jurus itu memang tidak sama dengan Tan Ci Sin Kang, tapi lumayanlah untuk digunakan menghadapi nona-nona itu.
Ketika keduanya sedang bergembira, tiba-tiba si hwesio menarik nafas panjang dan berkata.
"Sayang! Sayang!"
Siau Po merasa heran, dia memperhatikan keponakan muridnya lekat-lekat. "Berbahaya! Sungguh berbahaya!" Kembali Teng Koan menggumam seorang diri,
dia juga menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apanya yang sayang?" tanya Siau Po. "Apanya yang berbahaya?" "Begini, Susiok." sahut si hwesio tua, "Seandainya Susiok beserta Ceng Ci berlima menghadapi si nona lagi, bagaimana kalau Susiok ternyata berhasil dikalahkannya bahkan mendapat luka yang lebih parah dan cacad untuk seumur hidup? Bukankah hal itu harus disayangkan? Andaikata kedua nona itu berwatak kejam dan membunuh Susiok sekalian, bukankah hal itu berbahaya sekali?"
"Mengapa kita harus menghadapi mereka dengan berbarengan?" tanya Siau Po. "Untuk menguji kedua nona itu," sahut Teng Koan, "Siapa tahu mereka masih
memiliki ilmu lain yang lebih lihay. Aku yakin kepandaian mereka bukan hanya
beberapa jurus itu saja, Kalau Susiok berlima tidak dapat memecahkan jurus mereka yang lainnya, bukankah berbahaya sekali? Sebaliknya, kalau Susiok hanya menghadapi mereka seorang diri, mana mungkin kita bisa tahu ilmu mereka yang lainnya?"
Mendengar keterangan itu, Siau Po tertawa.
"Kalau itu yang menjadi kekhawatiran sutit, masih ada jalan untuk menghindarinya," katanya, "Kau sendiri saja yang melawannya, dengan demikian, bukankah tidak ada hal yang perlu disayangkan atau membahayakan keselamatanku?"