Jilid 41
"Hu Jin, kalau hambamu nanti berumur delapan puluh tahun, waktu itu Kau cu dan Hu Jin bisa mengajarkan aku tiga jurus ilmu lagi!"
Mendengar kata-katanya, Hong Hu Jin tertegun, namun sesaat kemudian, dia mengerti maksud si bocah, Dia sadar Siau Po sedang menyatakan pujian dan ucapan selamat panjang umur kepada mereka.
Kalau bocah itu berusia delapan puluh tahun, berarti dia masih akan hidup enam puluh tahun lebih! bukankah hal itu berarti Siau Po sedang mendoakannya? Karena itu, dia menjadi berbahagia sekali, Dia tertawa dan berkata.
"Baiklah! Kalau usiamu delapan puluh tahun nanti, Kau cu dan aku akan mengajarkan tiga jurus ilmu lagi kepadamu, Dan nanti, kalau kau masuk usia seratus tahun, kami akan mengajarkan lagi tiga jurus ilmu yang dinamakan Lau Siu Chi Sam Ciau, Bintang panjang umur dan Lau Popo Sam Ciau, si nyonya tua!"
"Oh, tidak tua, sama sekali tidak tua!" sahut Siau Po, "Mungkin waktu itu Hu Jin masih akan tetap muda dan secantik sekarang, Bahkan Kau cu pun akan tetap muda atau bisa jadi lebih muda dari sekarang, sedangkan ilmu yang akan diwariskan kepadaku, namanya Kim Tong sam Ciau dan Giok Li Sam Ciau!"
Kim Tong dan Giok Li merupakan sebutan bagi sepasang bocah laki-laki dan perempuan yang biasa mengikuti dewa.
Hong An Thong dan Sou Coan merasa girang sekali mendengar perkataannya. Tatkata Siau Po sampai di luar ruangan, dia sudah ditunggu Liok Kho Hian dan Ay
Cun Cia. Mereka itu mengkhawatirkan si anak muda, sehingga mereka gembira sekali
melihat ia muncul dalam keadaan baik-baik saja. Tapi mereka tak berani menanyakan mengapa pemuda itu tertahan begitu lama di dalam. "Kau cu dan Hu Jin telah mengajarkan aku banyak ilmu silat baru!" kata Siau Po menjelaskan tanpa diminta.
"Selamat, Pek Liong Su!" seru kedua orang itu. "Di dalam partai kita, kecuali Hu Jin, tidak ada seorang pun yang mendapat ajaran langsung dari kaucu!"
"lya, Hu Jin juga berkata demikian!" sahut si bocah tanggung yang merasa senang sekali.
"Pek Liong Su dapat membuat Kaucu gembira, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya!" kata tabib Liok, "Apakah Kau cu pun mengajari kau rahasia membuat pil Tok Liong I Kin Wan?"
“Tidak! Apakah Liok Sin Se mengerti caranya?"
"Aku bisa membuatnya, tapi kalah jauh mujarabnya dengan buatan Kau cu sendiri!" sahut Liok Sin si.
Sementara itu, mereka kembali ke rumah si tabib, Liok Kho Hian memang baik hati, Dia langsung mewariskan kepandaiannya membuat pil Tok Liong I Kin Wan kepada Siau Po. Dia menyatakan bahwa setiap hari pemuda itu harus duduk beristirahat setengah jam agar obat itu bisa meresap ke dalam seluruh tubuhnya, Dia juga diajari ilmu bersemedi dan meluruskan pernafasan.
Sementara itu pula, Siau Po bingung menyaksikan raut wajah Ay Cun cia dan Liok Kho Hian, Mereka juga pernah menelan pil Tok Liong I Kin Wan, tapi wajah mereka tidak segar dan gembira, malah lebih sering kelihatan murung dan gundah, dia menganggap nama obat itu juga kurang bagus, karena mirip dengan nama racun, Karena itu dia langsung mengutarakan jalan pikirannya itu kepada kedua rekannya.
Ay Cun cia menarik nafas panjang, “Tok Liong I Kin Wan itu racun atau obat yang mujarab, kita lihat saja nanti! Yang jelas, jiwa kami berdua berada dalam genggamanmu, Pek Liong Su!" katanya.
Siau Po heran dan tersentak kaget. "Kenapa begitu?" tanyanya.
Ay Cun cia menoleh kepada Liok Kho Hian dan tabib itu menganggukkan kepalanya.
"Pek Liong Su," katanya, "Orang yang merasa segan kepadaku menyebut aku Ay Cun cia. Sebaliknya, orang yang tidak memandang sebelah mata kepadaku, memanggil aku Poan Tauto, seperti kau tahu, Ay Cun cia artinya si Buddha kate dan Poan Tauto artinya si tosu gemuk. Namun kenyataannya tidak demikian Aku bertubuh kurus dan tinggi, tapi orang toh menyebut aku si gemuk pendek, karena itu coba kau bilang, aneh tidak?" "Benar, aku memang merasa heran!" sahut Siau Po. "Aku mengira orang hanya bergurau denganmu, tapi aku dengar Kaucu sendiri menyebutmu demikian. Beliau tidak mungkin bergurau, bukan?"
Ay Cun cia menarik nafas panjang.
"lni merupakan kedua kalinya aku makan pil Tok Liong I Kin Wan," katanya, "Aku seperti orang yang sudah mati lalu hidup kembali. Kalau mengingat hal itu, aku seperti orang yang bermimpi Kau tahu, asalnya aku memang pendek gemuk? itulah sebabnya orang menyebutku Ay Cun cia atau Poan Tauto, Sebutan itu bukan hanya gurauan atau kosong belaka!"
Siau Po bertambah heran.
"Ah!" serunya, "Jadi setelah makan obat itu, kau menjadi tinggi dan kurus seperti sekarang ini? Kalau begitu, bagus sekali! sekarang kau tampak gagah, Aku yakin ketika masih pendek gemuk, tampangmu tidak seperti sekarang ini!"
Ay Cun cia tertawa sumbang.
"Kau benar juga!" katanya, "Tapi, coba kau pikir, tubuh yang pendek dan gemuk berubah menjadi tinggi kurus hanya dalam waktu tiga bulan saja. Lagi pula kulit tubuhku berubah menjadi merah seperti darah, Coba bayangkan bagaimana rasanya!"
Siau Po merasa hatinya kaget bercampur bingung.
Sekali lagi Ay Cun cia menarik nafas panjang, "Untung saja aku telah lama mengikuti Kaucu. Aku diberikan obat penentangnya, kalau tidak mungkin sekarang aku sudah bertambah jangkung tiga kaki lagi!" katanya kemudian.
Hati Siau Po sampai berdegup-degup mendengarnya.
"Lalu bagaimana dengan kita sekarang?" tanyanya. "Bagiku, tentu tidak menjadi persoalan kalau aku bertambah tinggi tiga kaki, Tapi lain halnya dengan engkau, kalau kau bertambah tiga kaki lagi, aku sungguh tak berani membayangkannya!"
"Tapi, Tok Liong I Kin Wan memang sangat mujarab," kata Ay Cun cia. "Siapa yang makan pil itu, dalam waktu satu tahun tubuhnya akan bertambah sehat dan kuat, Tapi kalau dalam satu tahun, orang tidak makan obat penentangnya, racun itu pasti bekerja, dan belum tentu dia menjadi jangkung, Hal itulah yang terjadi pada kakak seperguruan Kho Cun cia, tiba-tiba saja dia menjadi pendek!"
Siau Po tertawa geli.
"Kalian berdua sungguh aneh," katanya, "Ay Cun cia berubah menjadi Kho Cun cia, sebaliknya Kho cun cia berubah menjadi Ay Cun cia. Tidakkah itu lucu dan bagus? Dengan demikian, mudah saja bagi kalian untuk bertukar nama!" "Tidak bisa!" sahut Ay Cun cia dengan suara keras, Dia juga menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Oh, Ay Cun cia," kata Siau Po. "Aku telah salah bicara, janganlah kau marah!"
"Kau memegang Ngo Liong Leng," kata Ay Cun cia kemudian, "Dengan demikian aku menjadi orang sebawahanmu, Kalau kau mencaci atau menghajar aku sekali pun, aku tak akan melakukan perlawanan Lagipula, kau juga tak bermaksud mengejek atau . menghina kami ketika mengucapkan kata-katamu itu. Tetapi, antara aku dengan kakak seperguruanku itu, semuanya tidak sama, Baik ilmu silat kami mau pun sifatnya, jadi bentuk tubuh kita itu tidak dapat dijadikan bahan untuk bertukar nama!"
Siau Po menganggukkan kepalanya. "Oh, begitu."
"Lima tahun yang lalu," kata Ay Cun cia, "Bersama kakakku itu, aku telah dititahkan untuk melaksanakan sebuah tugas yang sebetulnya sulit sekali, Ketika kami berhasil menyelesaikan tugas kami, tak mau batas waktunya sudah lewat Cepat cepat kami pulang ke pulau dengan menumpan perahu, Ketika kami tiba, racunnya sudah bekerja. Bukan main hebatnya derita yang kami rasakan benar-benar sulit diuraikan dengan kata-kata! Si kho langsung menjadi kalap. Dia menghajar dan menendang tiang perahu sehingga patah, dengan demikian perahu kami jadi terombang ambing tengah lautan, sementara itu, tubuhku semakin hari semakin tinggi dan kurus, sedangkan tubuh saudaraku semakin hari semakin pendek dan gemuk. Pada saat itu, timbul perasaan bahwa kami tidak dapat hidup lebih lama lagi, Apalagi perbekalan makanan juga sudah habis, Untungnya kami bertemu sebuah perahu yang akhirnya membantu kami dengan memberikan makanan sehingga kami dapat pulang ke pulau Sin Liong To ini. Kau cu menganggap kami telah bekerja dengan baik sehingga kami diberikan obat penawarnya untuk sementara."
Mendengar penuturan tosu itu, hati Siau Po menjadi dingin, pengalaman itu sungguh hebat sekali Penuh bahaya dan maut. Kemudian dia menoleh kepada tabib Liok dan melihat wajah orang itu menyiratkan ketegangan yang luar biasa. Hal ini membuktikan bahwa apa yang dikatakan Ay Cun cia bukan dusta!
"Kalau begitu," ujar Siau Po kemudian "Dalam waktu satu tahun, kita harus bisa mendapatkan Kitab Si Cap Ji Cin Keng itu! Setelah itu, kita baru pulang ke pulau ini..."
"Bicara memang mudah, tapi cara kerjanya?" tukas Ay Cun cia, "Bagus kalau kita berhasil mendapatkan satu atau dua jilid kitab itu, sehingga kita bisa pulang dulu dan meminta obat penawarnya kepada Kau cu. "
Siau Po berpikir dalam hati. - Di tanganku sekarang ada tujuh jilid kitab Si Cap Ji Cin Keng, kalau tahun depan aku memberikan satu jilid saja, apa masalahnya? -- Karena berpikiran seperti itu, hati Siau Po merasa sedikit tenang, Kemudian dia tertawa dan berkata.
"Kalau Kau cu tidak memberikan obatnya kepada kita, mungkin yang muda akan menjadi tua dan sebaliknya yang tua akan menjadi muda. Ya. Aku akan menjadi
kakek berusia delapan puluh tahun dan kalian akan berubah menjadi bocah cilik, bukankah hal itu menarik sekali?"
"Memang hal itu ada saja kemungkinannya. " jawab tabib Liok, Hatinya tidak tenang,
tentu saja dia merasa takut sekali.
"Tuan-tuan jangan khawatir," kata Siau Po. "Serahkan saja tanggung jawabnya kepadaku, Aku jamin Kau cu akan memberikan obat penawarnya kepada kita, sekarang kalian duduk dulu, aku ingin berbicara dengan nona Pui Ie!"
Bocah itu sudah bertemu dengan Bhok Kiam Peng. Namun dia hendak memberitahukan hal itu kepada Pui Ie. Tapi Kho Hian segera mencegahnya.
"Hong Hu jin sudah memanggil nona Pui," katanya, "Nyonya berpesan supaya Pek Liong Su tak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Asal kau bekerja dengan sungguh- sungguh, di pulau ini nona Pui pasti akan mendapat banyak keuntungan!"
Mendengar kata-kata itu Siau Po terkejut setengah mati. "Apa nona Pui tidak pergi bersama-sama kita?" tanyanya.
"Tidak," sahut tabib Liok. "Hong Hu Jin telah memanggil nona itu, demikian pula dengan nona Bhok Kiam Peng!"
Di dalam hati Siau Po mengeluh, dia sudah mengatakan akan mengajak beberapa orang Iainnya. Yang dimaksudkan ialah Kiam Peng dan Pui Ie, siapa sangka Hong Hu Jin telah mencurigainya. Karena itu dia bertanya.
"Apakah Hong Hu Jin tak percaya kepadaku?"
"lni merupakan peraturan partai," Kho Hian menjelaskan "Siapa saja yang keluar melaksanakan tugas, tidak boleh membawa keluarganya!"
Siau Po tertawa menyeringai. "Tetapi nona-nona itu bukanlah anggota keluargaku," katanya.
"Walaupun demikian kan sama-sama saja," kata Hong Kian.
Bukan main malunya Siau Po, karena esok hari ia ingin mengajak Kiam Peng dan Phui Ie berangkat bersamanya maka ia berkata. "Benar, kaucu dan Hu Jin sangat lihay sekali! Bukan hanya tak mempan dengan Tok Liong Ie Kim Wan saja, mereka juga menahan kedua nona itu agar aku dapat dikekangnya!"
Besok paginya sewaktu bangun dari tidurnya ia mendengar suara terompet dan teriakan dari luar kamar.
"Murid dari Pek Liong Bun bersiap mengantarkan Ciang bungsu berangkat guna mewakilkan dan bekerja pada kaucu, "Kata-kata itu disusul dengan bunyi-bunyian yang ramai.
Cepat Siau Po keluar dari kamarnya, Anggota Pek Liong Bun yang semua menggunakan baju putih tampak menghadap sang ketua dan mereka berseru.
"Semoga Cang Bung Su memperoleh kemenangan dan keberhasilan!"
Biar bagaimana pun, Siau Po segera terbangun Lalu ia mengajak Liok dan Ay Cun cia untuk naik perahu guna mencari keselamatan.
Ketika sampai di tepi sungai ia mendengar suara derap kaki kuda, Setelah ia mengetahui bahwa yang menunggangnya adalah Bhok Kiam Peng dan Phui Ie hatinya sangat girang.
"Tak mungkin pikiran Hu Jin berubah untuk mengijinkan mereka ikut denganku bertugas," gumam Siau Po dalam hati.
Keduanya tampak turun dari kuda. Kemudian mereka berkata.
"Aku ditugaskan untuk memberimu ucapan selamat jalan dari kaucu dan Hu Jin." Dalam hati Siau Po berkata.
"Hm... ternyata hanya ingin mengucapkan selamat jalan saja." Tetapi Phui Ie menambahkan kata-katanya lagi.
"Atas perintah Hu Jin, kami dari Cek Liong Bun dipindahkan ke Pek Liong Bun, serta diharuskan bekerja di bawah perintah Pek Liong Su. "
Segera Siau Po melangkah Hatinya merasa kecewa.
"Oh, Phui Ie. Rupanya kau telah bermain sandiwara, Kau sedang menjalankan tugas dari kaucu, Karena Ay Cun cia tak berhasil memperdaya aku dengan kekerasan, lalu ia mengutus kau untuk memperdaya aku dan kau berhasil," gumam Siau Po dalam hati. Di depan umum rupanya Siau Po tak dapat berbicara lebih leluasa, maka ia hanya diam, Kemudian tangannya dikatupkan dan memberi hormat pada nona itu. ia lalu ingat akan sesuatu, ia pun berbicara.
"Liok Sin Se, cepat kau pergi, dan katakan supaya ia melepaskan budak Song Ji, yang biasa memberiku jajan. Aku hendak mengajaknya pergi bersama denganku!"
"Tapi..." sahut si tabib ragu-ragu.
"Tapi apa..?" bentak Siau Po dengan wajah gusar. "Cepat, kau pergi dan lepaskan dia!"
"Baik, baik." Liok Sin Se segera beranjak untuk berbicara dengan anak buah di perahu itu. Orang itu lalu secepatnya pergi sambil berlari.
Belum lama utusan itu pergi, datanglah seorang dengan menunggang kuda dengan cepatnya, Siau Po melihat si penunggang kuda yang juga melihatnya. secepatnya si penunggang kuda itu melompat ke atas perahu dengan lincahnya.
Si penunggang kuda memanggil namanya "Siau Po!" sambil melompat turun dari kepala perahu dan mendekatinya. ia sangat lincah dan gesit sekali.
Bi Kin sangat kagum, Bukan terhadap lompatannya, melainkan orang yang melompat itu. seorang anak kecil dan perempuan lagi, ia pun berseru memujinya.
Siau Po tadinya sangat khawatir kalau-kalau ia jatuh ke tangan orang-orang jahat itu. Nona itu sangat pandai dalam ilmu silatnya tetapi ia kurang pengalaman ia lantas memegang tangan Siong Cu dan menatap matanya.
Siau Po sangat sedih bahkan tampak matanya seperti menangis. "Apakah ada orang yang menghinamu?" tanyanya.
"Ti... tidak-." sahut si nona dengan perlahan
Siau Po menatapnya dengan perasaan cemas terhadap wanita muda belia itu. "Aku... Aku cuma memikirkanmu. Mereka... mereka telah... mereka telah mengurung
aku."
"Nah, sudahlah, sekarang kita akan pulang," kata Siau Po. "Di sini banyak sekali ular berbisa," katanya sambil menangis. "Jangan takut! Tidak apa-apa," kata Siau Po meyakinkan gadis itu. Dia sangat benci pada Non Phui Ie. Karenanya ia sampai tergigit ular dan segera ia memerintahkan para awak kapal itu untuk berangkat.
Mendengar perintah itu awak kapal segera menarik jangkar dan di barat terdengar bunyi petasan, Orang-orang berseru mengucapkan kata-kata.
"Semoga Pek Liong Su menang dan dapat membangun jasa besar dari kaucu!" Angin laut membuat kapal perang itu cepat meninggalkan pulau.
Dalam perjalanan Siau Po berpikir dan berkata dalam hatinya.
"Jika saja aku tidak mengetahui Phui Ie menjadi anggota Sin Liong Kau, tentu saat ini aku masih memikirkan dirinya, sekarang aku tak perlu lagi mengingat-ingat akan dirinya, Tetapi ia sangat baik dan juga cantik."
Lewat beberapa hari kapal teliti sampai di Cin Hong To, maka Siau Po memerintahkan agar kapal merapat. Tibalah rombongan Sin Liong Kau di kota Pakhia.
"Aku hendak mencoba masuk ke istana raja," kata Siau Po pada kawan-kawannya. "Oleh karena itu, aku membutuhkan waktu yang cukup lama, agar dapat berhasil.
Kalian harus mencari tempat menyimpan kapal yang aman!" perintahnya kepada para
awak buah kapal.
Kho Hian menurut dan ia lalu mencari tempat untuk menyembunyikan kapal, ia berhasil menyewa sebuah rumah yang besar beserta koki dan pelayannya, jumlah mereka belasan orang.
Setelah mengatur anak buahnya, Siau Po pergi seorang diri.
MuIanya ia pergi ke tempat kediaman orang-orang Cian Ti Wi. Di sana terdapat saudagar teh. Sewaktu Siau Po mengajak bicara, saudagar itu nampak ketakutan sekali, Maka teranglah kalau di itu orang luar.
Karena itu ia lalu pergi ke Cian Kio ia pikir kalau tidak ada Ci Cian Coan tentu yang lainnya, seperti Hoan Kong, Kho Gan Tiau, atau Cian Lau Pun. Dan ia pun tidak didapatkannya maka Siau Po harus mondar mandir dengan tangan hampa. Akhirnya Siau Po mencari hotel yang pernah ia singgahi, Lantas ia menaruh uang di atas meja kasir.
Melihat uang yang begitu banyak Siau Po pun diberi kamar kelas satu dan mendapat pelayanan yang sangat baik. Siau Po meminta kamar nomor 8 yang pernah dipakainya, Setelah pelayan berlalu dari kamarnya Siau Po merebahkan tubuhnya. Dia menghirup secangkir teh dan ia beristirahat dengan tenang sambil otaknya terus berpikir.
Beberapa lama kemudian setelah keadaan tenang ia mengambil pisau belatinya untuk mengorek tembok tempat ia pernah menyimpan kitab penting. Kitab itu masih ada dan tak kurang suatu apa pun, ia mengambil dan memasukkannya ke dalam saku. ia lalu pergi keluar hotel untuk menuju ke istana raja.
Tiba di istana, seorang Sie Wie yang bertugas jaga menegurnya,
"Eh, kau sedang apa di sini?" tanya seorang penjaga melihat seorang anak muda dengan pakaian yang sederhana menuju ke pintu istana.
Siau Po lalu tertawa dan berkata.
"Ah... Apakah kau tak mengenali aku lagi? Aku kan Kui Kong Kong dari istana.,.?"
Pengawal itu menatap dan dengan cepat mengenali orang yang menjadi pelayan raja, keningnya agak berkerut sambil menatap Siau Po.
"Oh, Kui Kong Kong mana aku mengenalimu, Orang berbadan aneh seperti ini.,.!" "ltuIah sebabnya aku tak sempat menyalin pakaian lagi, Sri Baginda memerintahkan
aku melakukan sesuatu, Aku mesti buru-buru pulang dan melaporkannya," ujar Siau Po kemudian
"Jika demikian, pastilah Kong Kong telah berhasil menjalankan tugas dengan baik dan kau pasti akan mendapatkan hadiah yang cukup besar!" sahut Sie Wie itu.
Siau Po tertawa, ia lalu pergi masuk ke istana kerajaan. Di ruang Gi Sin Pong ia dikerumuni Thay-kam yang girang dengan kembalinya dia.
"Kong Kong pergi lama sekali kami jadi kangen! Kami selalu berdoa agar Kong Kong selamat dan dapat berhasil Tanpa Kong Kong segalanya jadi tak teratur!"
Siau Po tertawa dan berkata.
"Aku pun selalu ingat dengan kalian! Di Gie San Pong ini ada gadisku yang aku belum terima. Nah ambillah ini semua untuk kalian bagi rata!"
Semua Thay-kam menjadi girang sekali Mereka berulang-ulang mengucapkan kata terima kasih pada Siau Po.
Siau Po masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Kitab pun dibungkus dengan rapih. Kemudian ia pergi ke Lam Si Pong, kamar baca sebelah selatan. Sebelumnya ia minta pada pengawal untuk memberitahukan pada raja akan kedatangannya.
Kaisar Kong Hi gembira bukan main mendengar orang kepercayaannya telah tiba di istana.
"Lekas, suruh dia masuk...! Lekas... suruh dia masuk!" perintahnya pada pengawal berulang-ulang.
Siau Po cepat berangkat setelah mendapatkan laporan dari pengawal. Dia berjalan dengan cepat dan setelah sampai di depan pintu, raja sudah menyambut kedatangannya.
"Oh, Siau Kui Cu cepat masuki Kenapa kau pergi begitu lama.,.?" Siau Po menjatuhkan diri sambil menghormat.
"Selamat Sri baginda... Selamat!"
Raja merasa hatinya tegang, jelas maksud sebenarnya ayahnya masih hidup, Karenanya ia m rasa sangat tegang sekaIi.
"Mari, masuk! Kau bicaranya pelan-pelan saja.."
Raja merasa terharu, hampir ia meneteskan matanya karena terharu.
Siau Po masuk ke kamar kerjanya dan segera menguncinya. Siau Po terlebih dahulu memeriksa kamar tulis itu. Hatinya khawatir ada orang yang ikut mendengarkan pembicaraannya itu, Kemudian ia mendekati raja dan berkata dengan pelan sekali.
"Sri Baginda, di atas Gunung Ngo Tai San hamba bertemu dengan Lo Hong Ya. "
Lo Hong Ya, tak lain orang tua dari raja. Raja lalu menyambar tangan Siau Po.
"Jadi, benar Hu Hong berada di Ngo Tay San.,.?" tanyanya dengan suara bergetar. "Apa. Apa kata Hu Hong.,.?"
"Hu Hong" adalah nama panggilan pada ayah raja"
Siau Po mengangguk lalu segera menceritakan perjalanannya ke Ngo Tay San sampai ia bertemu dengan bekas kaisar di kuil itu, ia pun menceritakan tentang pendeta dari tibet yang ingin mencelakai bekas raja itu. Namun raja masih dapat diselamatkan dan itu berkata bantuan kedelapan belas arhat dari Siau Lim Sie. Siau Po memang pandai berbicara, penuturannya cerita itu menjadi sangat rapih dan menarik hati, Dengan demikian ia dapat menunjukkan jasanya terhadap kerajaan.
"Sungguh berbahaya...!" gumam raja yang tangannya penuh dengan keringat "Biar nanti saya perintahkan satu pasukan untuk menjaga keselamatan raja," 1anjutnya.
"Jangan, raja tak menghendaki itu!" kilah Siau Po.
Setelah itu Siau Po menerangkan tentang bekas raja itu yang mengatakan bahwa sang putra tidak ingin menjenguknya.
Mendengar perkataan Siau Po, raja itu berkata.
"Sungguh Hu Hong maha bijaksana! Dia lebih menjunjung tinggi kepentingan pemerintahan dibanding dengan kepentingan dirinya, Tidak seperti aku." Mendadak ia berhenti berbicara untuk menangis, Namun kemudian melanjutkan kata-kata-nya dengan suara pelan.
"Aku mesti menjenguk Hu Hong... Aku harus ke sana," katanya.
"Sabar Sri Baginda.,.!" Siau Po membujuk raja yang sedang sedih, lalu ia memberikan Kitab pada raja itu.
"Segala urusan pemerintahan supaya berjalan dengan wajar dan jangan menggunakan kekerasan. Lebih baik memberikan kebahagiaan pada rakyat. Apabila rakyat menghendaki kita untuk pergi, kita harus pergi ke tempat asal kita, Dan pesan yang lainnya, jika Sri Baginda menghendaki negara ini aman, agar jangan menaikkan pajak. Jika pesan-pesan itu dilaksanakan dan diturut, maka hanya itu yang membuat hati beliau merasa bangga dan bahagia."
Kaisar itu menjadi sedih mendengarkan kata-kata dari ayahandanya, Air matanya terus menetes membasahi kitab yang ada di tangannya, ia lalu membuka bungkusan itu, Lembar demi lembar kitab itu ia buka, pada lembaran pertama ia mendapatkan pesan dari ayahandanya yang berbunyi.
"Buat selamanya, jangan menaikkan pajak!" Tulisan itu sangat bagus, Tulisan tangan ayahandanya.
"Hu Hong, pesanmu tak akan kulupakan," katanya sambil menangis.
Setelah dapat menenangkan hatinya, ia lalu bertanya pada Siau Po tentang keadaan ayahandanya, sehatkah ia, sengsarakah ia. Semua pertanyaannya dijawab oleh Siau Po, Raja mendengarkannya sambil menangis tersedu-sedu.
Mendengar kesedihan raja, Siau Po menjadi berpikir dan berkata dalam hati. "Aku juga harus turut menangis, pasti aku akan mendapatkan hadiah besar Mengeluarkan air mata pun aku tak membelinya!"
Dan Siau Po pun turut menangis dengan raja.
Kong Hi menangis sambil mengusap air matanya ia berkata.
"Aku teringat akan ayahku, sehingga aku menangis, tetapi mengapa engkau ikut menangis, kenapa?"
Memang raja itu menangis dengan pilu sekali, tetapi ia masih dapat menahan tangisnya, walaupun di depan Siau Po, kacungnya, Raja merasa heran melihat Siau Po turut menangis dengan sangat pilu.
Ia tidak tahu kalau Siau Po pandai bermain sandiwara, Anak muda itu berpura-pura menangis agar mendapatkan hadiah dari raja.
Ditanya demikian Siau Po menjawab dengan tenang.
"Hamba melihat Tuanku sangat bersedih, hamba jadi turut bersedih, sebab, hamba teringat pada ayah Baginda yang mengatakan bahwa hamba sangat cerdik, Beliau pun sangat suka pada saya.." jawab Siau Po.
"Jikalau hamba tidak harus melaporkan pada raja, tentunya hamba akan lebih suka tinggal bersama dengan ayahanda raja, untuk melayani dan melindungi ayah raja dari gangguan orang jahat."
"Siau Kui Cu, kau baik sekali Aku akan memberimu hadiah besar." Bukan main girangnya Siau Po, tetapi ia masih saja menangis.
"Sri Baginda baik sekali, Hamba sangat senang-walaupun tidak diberi hadiah hamba masih senang asalkan ayah Raja dan Raja sehat Sebab, hanya itu yang dapat membuat hati hamba senang," ujarnya sambil menangis.
Siau Po sangat pandai berbicara, ia hanya belajar sewaktu di Sin Liong To menyanjung-nyanjung atasan.
"Aku juga khawatir kalau ayahku tidak ada yang melayaninya," kata raja. "Bukankah kau telah mengatakan Heng Tia pendeta dari tibet itu sangat kejam dan
sembrono? itulah yang menyebabkan hatiku tidak tenang, untung ayah sangat menyukai engkau," kata raja pada Siau Po.
Siau Po sangat kaget mendengar kata-kata raja itu. "Oh.-.!" serunya dalam hati,
"Celaka... celaka kalau kau menugaskan aku pergi ke sana untuk merawat raja tua bangka itu, bukankah aku akan seperti dalam penjara seumur hidup?" gumam Siau Po dalam hati.
"Nah, begini saja, kau pergi ke Ngo Tai San, di sana kau masuk menjadi biksu. Kau dapat berdiam diri di sana dan dapat mengurus ayahku."
Bukan main kagetnya hati Siau Po mendengar perkataan dari raja itu dan belum berhenti raja itu berbicara ia sudah menyelanya.
"Merawat ayahanda Raja itu baik, tetapi untuk menjadi biksu hamba harus mensucikan diri hamba terlebih dahulu."
Raja itu pun tertawa.
"Tetapi jadi biksu juga bukan untuk selama-lamanya," kata sang raja, "Jadi biksu bukan untuk selama-lamanya, ayah sedang mensucikan diri. Nanti jika kau ingin menjadi orang yang tidak suci, kau sudah mendapatkan kemerdekaan, di samping itu pula kau dapat merawat ayahku di sana."
Maksud raja itu ialah jika ayahnya sudah wafat ia dapat kembali menjadi orang biasa lagi.
Walaupun Siau Po sangat cerdik ia tetap merasa putus asa, karena jika menolak keinginan raja tentunya raja akan murka, bahkan mungkin raja akan memerintahkan pengawal untuk memenggal leher-nya. Namun ia masih dapat berkata dengan nada mengelak.
"Tetapi.... Tetapi Sri Baginda... hamba tak tega meninggalkan Sri Baginda sendiri saja..." ujarnya terbata-bata.
Kali ini Siau Po menangis dengan sungguh-sungguh, ia tak lagi menangis dengan air mata buaya.
Hati raja menjadi terharu.
"Begini saja, kau tetap menjadi biksu untuk beberapa tahun, Nanti aku akan memerintahkan seseorang untuk memintamu kembali dan menggantikanmu, Ayahku melarang aku menjenguknya, tetapi aku akan mengutus seseorang untuk mengurusnya, Aku tak jadi berangkat kesana, Suatu saat nanti aku ke sana kita akan bertemu lagi? Siau Po, ingat pesanku, kau berlaku baiklah pada ayahku Kelak jika kau kembali aku akan memberimu pangkat yang sangat berharga padamu."
Masih saja Siau Po menangis dan raja melanjutkan perkataannya. "Selama berada di dalam kuil kau harus dapat menggunakan waktu luangmu untuk belajar membaca dan juga menulis, agar nanti jika aku berikan pangkat kepadamu kau sudah dapat membaca dan menulis, Kau akan lebih mudah untuk naik pangkat.
Kelak di belakang hari aku berpangkat besar atau tidak, itu urusan belakang, Pikirnya.Tetapi sekarang toh aku mesti menjadi biksu, Siau Po berpikir keras. Jika ia sampai di sana akan mengelabui kaisar yang tua itu. "Aku akan mengatakan padanya bahwa tanpa layananku raja tak akan dapat makan dan tidak enak minum. sehingga setelah aku meninggalkannya ia menjadi kurus, Aku tahu bahwa raja itu sangat menyayangi putranya itu dan ia pasti akan menyuruhku pulang."
Setelah berpikir demikian, ia dapat mengurangi kesedihannya. Lalu Siau Po berkata pada raja itu.
"Segala titah Baginda akan hamba laksanakan Hamba tidak akan menolak segala perintah Baginda, meskipun hamba harus binasa, jangankan untuk menjadi biksu, menjadi telur busuk sekali pun hamba tak akan menolak, Sri Baginda boleh melegakan hati karena hamba akan berangkat ke Ngo Tai San, untuk merawat ayah Raja dengan sebaik-baiknya. Agar ayah Raja dapat hidup berbahagia dan panjang umur!"
Kaisar Kong Hi merasa gembira lalu tertawa dan berkata.
"Baru dua bulan kau meninggalkan kota raja kau sudah bertambah pengalaman," katanya memuji.
"Kau juga dapat menggunakan pepatah, Eh, mengapa kau berdiam begitu lama di Ngo Tay San, apakah kau mengalami kesusahan dalam mencari Hu Hong?"
Siau Po menganggap lebih baik diam dan tak mau menceritakan pengalamannya pada raja itu. Maka ia menjawab apa adanya.
"Ya, benar, Biksu Ceng Liang Si, juga si tua Giok Lim Lo Hoat Su, menyangkal adanya Lo hongya di dalam kuil itu. sedangkan hamba tidak dapat dengan segera membuka rahasia, Dan hamba menggunakan akal yaitu setiap hari hamba berziarah ke tempat-tempat suci, Berbagai tempat suci di Ngo Tay San hampir seluruhnya hamba ziarahi, Hampir seribu pendeta yang hamba kenal, dan jika tidak ada pendeta lhama pasti saat ini hamba masih berada di Ngo Tay San untuk terus bersujud di berbagai kuil itu," kata Siau Po.
Siau Po menceritakan keadaan di Gunung Ngo Tai san yang menurutnya sangat indah itu, sehingga hati raja menjadi sangat tertarik untuk berkunjungke tempat itu sekaligus ingin menjenguk ayahandanya.
"Siau Kun Cu, sekarang kau pergilah terlebih dahulu, nanti aku akan menyusulmu dan menjenguk ayahanda, Kita harus dapat mengajak ayahku agar mau ke sini, Misalkan ia tak ingin kembali ke sini nanti akan aku buatkan sebuah kamar khusus untuknya, bukankah dengan demikian sama saja?" ujar Raja itu kepada Siau Po. "Mungkin itu sangatlah sulit," jawab Siau Po.
Kata-katanya terhenti oleh suara nyaring tetapi halus yang terdengar dari luar ruang baca itu.
"Hong Te Koko, apakah kau tidak ingin berlatih bertempur denganku?" Dan tantangan itu disusul dengan gedoran daun pintu secara beruntun.
Mendengar suara itu raja tersenyum, karena ia mengetahui bahwa yang memanggil itu adiknya. Hong Te Koko tadi berarti "Kakak Raja."
"Buka pintu!" perintahnya.
Siau Po menurut ia melangkah ke pintu tetapi dalam hatinya ia bertanya. "Siapakah wanita ini? Apakah ia Kian Leng Kong Cu?"
Ia lalu membuka pintu kamar baca itu, Tetapi dari luar pintu itu telah dibuka, sehingga daun pintu mengenai dahi Siau Po.
"Aduh!" teriak Siau Po kesakitan, sambil menahan rasa nyerinya.
Setelah pintu terbuka maka masuklah seorang nona yang memakai mantel bersulam merah sebagian penutup wajahnya.
"Sudah lama aku menanti Hong Te Koko, mengapa engkau tak datang-datang juga. Apakah mungkin kau takut kepadaku?" tanya nona itu pada sang raja.
Sambil memegangi dahinya yang terbentur daun pintu, Siau Po menatap si nona yang menurutnya berusia kurang lebih empat atau lima belas tahun. Menurutnya lebih muda darinya, si nona mukanya mirip biji kuaci dan cantik serta memiliki bibir tipis, hingga sangat menggairahkan.
"Siapa yang takut kepadamu? Kau tahu, menurut penglihatanku sekalipun muridku kau tak mungkin sanggup untuk mengalahkannya, apalagi aku, mana mungkin?" kata Kaisar Kong Hi sambi tertawa.
"Eh, apakah Koko telah menerima murid, lalu siapakah itu?" tanyanya sambil melirik pada Sia Po.
"lnilah muridku! Namanya Siau Kui Cu. Ilmu silat yang dimilikinya adalah hasil pengajaranku. Nah, nak lekas kau menghadap Kian Leng Kong Cu yang menjadi Sukoh-mu!"
Kata-kata yang belakang itu ditujukan pada Siau Po. Kata "Sukoh" itu berarti bibi guru. "Ah, benar-benar tuan putri Kian Leng," kata Siau Po dalam hati. Memang Kian Leng Kong berarti anak tuan Kian Ling.
Siau Po mengetahui kaisar Sun Te mempunyai enam orang putri, Di mana yang lima telah menutup mata, Hingga sekarang hanya tinggal Kian Leng Kong Cu. Putri ini jarang datang ke kamar baca, Siau Po tak berani melintasi keraton Cu Leng Kiong, yang merupakan keratonnya Hong Thai Hau.
Yang tinggal di sana ibu suri dan Tuan Putri sendiri, sekarang ia sudah mengerti, bahwa kakak beradik itu tengah bergurau, maka Siau Po mendekatinya dan menghormat serta berkata merendah.
"Sutit memberi hormat kepada Sukoh Tay jin, Hamba mengharap semoga Sukoh selalu dalam keadaan sehat dan berbahagia!"
Putri Kian Leng tertawa karena ada orang yang memanggilnya Sukoh, Mendadak ia menendang dagu orang yang memanggil itu. Siau Po kaget sebab itu hadiah yang tak terduga hingga giginya terkatup dan terasa nyeri bukan main, Siau Po menjerit dan darah mengucur melalui mulutnya.
"Ah. Kau..!" Raja terperanjat
Si tuan putri sebaliknya tertawa terbahak-bahak.
"Ah Koko, muridmu sangat tak ada gunanya! Aku menendang untuk mencobanya, Ternyata dia tak dapat berkelit Karena itu, aku hanya mencoba dan pastilah ilmu silat Koko pun sama, tak berarti!"
Siau Po sangat mendongkol hingga dalam hati ia mengupatnya, berulang kali ia tak dapat berbuat apa-apa. Sekali pun tuan putri hendak menghukumnya ia tak berdaya.
"Bagaimana, apakah kau merasa nyeri pada lidahmu?" tanya si nona pada Siau Po.
Itulah pertanyaan yang mengejek sekali, tetapi Siau Po hanya menyeringai dan menjawab.
"Tidak apa. tidak apa!" suaranya tidak tegas karena sambil meringis kesakitan.
"Tidak apa. tidak apa!" Kian Leng Kong Cu meniru suara Siau Po.
"Cuma jiwanya baru hilang separuh lebih," ia tertawa lalu menarik tangan sang raja. "Mari-mari, kita mengadu kepandaian!"
Tuan putri ini belajar silat sewaktu Hong Thayhou mengajarkan silat pada raja, ia berada di sana dan tertarik ingin belajar ilmu silat, Hanya tidak berbarengan ia diajar tidak sungguh-sungguh ia ingin mengalahkan kakak, Selain pada ibunya pun belajar dengan beberapa guru yang terdiri dari Sie Wie, pengawal istana kerajaan ia belajar sudah tiga tahun, tetapi baru menerima belasan jurus ilmu silat Kim Na Chiu, ia pernah menguji kepandaiannya itu dengan beberapa Sie Wie, sengaja berpura-pura kalah. Karenanya ia menjadi tidak puas, maka ia pergi pada raja, untuk menguji raja itu.
Raja sudah lama tidak berlatih dengan adiknya. Tangannya merasa gatal, maka segera menyambut tantangan itu. Tak lama kemudian mereka sudah berada di luar kamar baca, Adiknya itu lantas mengadu kepandaian
Pertarungan dilakukan dalam lima babak, Raja bertempur dengan main-main, tidak urung ia menang empat kali, Kian Leng Kong Cu menjadi tidak puas ia lari pada ibunya, ia meminta si ibu mencobanya, Kebetulan sang ibu sedang kurang sehat.
Namun tetap melayani juga, ia merobohkan putrinya, lalu pergi pada gurunya untuk meminta pelajaran lebih jauh. ia memperoleh pelajaran baru, maka kembali menantang raja. Namun raja yang repot dengan urusannya telah melupakan janjinya.
Tak ada gairah raja melayani sang adik, Berita tentang ayahnya membuat dirinya banyak berpikir.
"Sekarang aku sedang banyak urusan penting, tak dapat aku bertanding denganmu. Kau lebih baik belajar dahulu dan baru aku akan melayanimu," kata sang raja.
Sepasang alis lentik tuan putri berdiri Dia merasa tidak puas terhadap sang raja, kakaknya.
"Kita kaum kangouw, Jika kita mengadu kepandaian, sebelum ada yang mati tak akan ada yang pergi! Kalau kau tidak menepati janji datang tepat pada waktunya, apa kau tidak akan ditertawakan semua orang gagah di kolong langit ini? jikalau kau tidak datang sebaiknya kau mengaku kalah saja!"
Kata-kata putri itu menjadi kata-kata umum dalam dunia kang ouw. Dia pasti mendapatkan dari Sie Wie, Di kalangan istana tak ada kata-kata demikian.
"Baik, baiklah aku mengaku kalah!" sahut sang raja
"Kian Keng Kong Cu, orang nomor satu dalam ilmu silat di kolong langit ini. Yang akan dapat menghajar harimau galak dari gunung selatan dan kakinya dapat menendang naga dari laut utara!" ujar sang raja memuji.
Kian Leng tertawa.
"Yang kakinya dapat menendang kutu dari kutub utara!" katanya dan kembali kakinya menendang Siau Po. Kali ini Siau Po dapat membaca gerakan si nona, ia memang selalu waspada, maka dengan satu geseran tubuh ia dapat berkelit, sehingga tendangan itu mengena tempat kosong.
Tuan putri tercengang karena tendangannya itu gagal. Apabila raja jadi tidak melayaninya Di menjadi panas hati terhadap Siau Po.
"Bagus, gurumu tak mau melayaniku, maka itu kau saja yang maju! Nah, mari kau ikut denganku!" kata sang Putri.
Sebenarnya raja sangat menyukai anak itu, gesit dan lincah tak ingin ia membuat kecewa. Karenanya ia lalu berkata pada Siau Po.
"Siau Po, kau pergi temani tuan putri main-main barang beberapa jurus, Besok saja kau datang menghadap."
Baru raja menutup mutut, adiknya sudah berseru dengan mendadak, "Awas!" Dan mendadak pula ia menyerang kepada raja menggunakan kedua tangannya, ilmu silat yang ia gunakan ialah "Ciong Kau Ci Beng," Gong dan tambur berbunyi berbarengan Dan sasarannya kedua pipi raja.
"Bagus!" Raja menyambut serangan itu dengan mengangkat sepasang tangannya untuk menangkis serangan Tubuhnya digeser ke samping dan tangannya menyerang ke punggung adiknya yang ia tolak dengan tipu silat, "Twi Cong Bong Goat," menolak jendela memandang si putri malam.
Kian Leng Kong Cu tidak berdaya karena raja bergerak cepat luar biasa, maka penolakannya itu membuat tubuhnya terhuyung beberapa langkah dan terus roboh tanpa sanggup mempertahankan diri lagi.
Menyaksikan itu mau tak mau Siau Po tertawa. Bukan main gusarnya si tuan putri.
"Thay-kam, mau mampus!" bentaknya. "Kau tertawakan apa?" Dia maju seraya menjulurkan sebelah tangannya ketelinga Siau Po untuk memegang terus menarik, hingga Siau Po terbentur ke luar kamar.
Siau Po dapat menangkis atau berkelit melepaskan diri asal ia mau. Namun hal itu tidak dilakukan karena ia tahu si putri majikannya, ia khawatir menyebabkan tuan putri itu kalap.
Kian Leng Kong Cu terus saja menarik telinga Siau Po sampai keluar pada sebuah lorong. Di luar terdapat beberapa Sie Wie dan Thay-kam. Menyaksikan kejadian itu mereka tertawa, Hanya karena mereka takut pada Siau Po maka tertawa sambil mendekap mulut agar tak terdengar.
"Sudah, lepaskan telinga hamba! Ke mana aka dibawa hamba turut dengan Tuan Putri," ujar Sia Po sambil terus mengikuti.
"Kaulah si penjahat yang tak menghiraukan undang-undang negara, maka hari ini kau telah aku tangkap, Apa kau sangka aku akan begitu muda untuk membebaskanmu? Terlebih dahulu aku akan menotok jalan darahmu, setelah itu baru kita berbicara!" jawab tuan putri.
Benar saja sehabis berkata, Kian Leng menotok Siau Po pada leher dan perut nya. Karena tak mengetahui ilmu totok ia menotok sebisa-bisanya dengan menggunakan tenaga yang cukup berat Dan tentu saja Siau Po merasa kesakitan.
"Aduh, aku terkena jalan darahku...!" teri Siau Po lantas saja tubuhnya jatuh, Mata serta mulutnya terbuka dengan tubuh tak bergerak lagi.
Kian Leng kaget bercampur girang, lalu menendang dengan perlahan, Siau Po tak bergerak.
Tiba-tiba Kian Leng tertawa. "Bangun!" bentaknya.
Tetapi Siau Po diam saja. Kian Leng lalu menerka, mungkin ia tel benar-benar menotok secara kebetulan mengena jalan darahnya,
"Mari, aku akan membebaskan totokan itu" katanya, Setelah itu menendang Siau Po.
Siau Po yang berpura-pura itu lantas berpikir
"Jikalau nona ini ingin membebaskan totokannya dan tak berhasil maka ia akan menendangku lagi." Karenanya ia lalu berteriak, "Aduh!" dan terus bangun.
"Kong Cu sungguh lihay menggunakan ilmu totok pada jalan darah, Mungkin Sri Baginda juga tak sanggup melakukan hal ini!"
"Mh!" Tuan putri itu mengeluarkan suaranya yang dingin.
“Thay-kam cilik, kau sangat licik, dulu aku memang belajar ilmu totok, Sekarang, kau ikut dengan ku!" katanya dingin.
Siau Po mengikutinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya. Si nona yang anggun itu mengajaknya ke suatu tempat yang biasa digunakan untuk berlatih silat dengan raja. "Tutup pintu, agar tak ada yang melihat kita!" kata putri itu. Siau Po tertawa dalam hati dan pikirnya.
"Kepandaian semacam ini siapa yang sudi melihat dan mempelajarinya." Namun ia tetap menjalankan perintah putri itu.
Selagi Siau Po menutup pintu, Kian Leng mengangkat kayu lalu menyerang Siau Po. Dan mendadak kepala Siau Po terasa nyeri bukan kepalang-nya. Sebab, ia telah dihajar secara tiba-tiba, Tubuh Siau Po roboh tak sadarkan diri, Ketika sesaat kemudian ia sadarkan diri matanya melihat Kian Leng tengah berdiri mengawasinya sambil tertawa.
"ToIol! siapa belajar silat maka matanya harus dapat melihat ke enam penjuru. Telinganya pun harus mendengar kedelapan jurusan, Aku menghajar kau dengan palangan pintu, mengapa kau tak dapat menjaga dirimu? Kalau begitu untuk apa kau belajar silat?"
"Aku. Aku," kata Siau Po yang tak dapat bicara terus, sebab mendadak ia merasa
nyeri pula, Hal itu karena mata kiri dan hidungnya terluka terkena pukulan palang pintu, Tampak darah mengalir ke matanya.
Kian Leng mengangkat palang pintu lalu membentak Siau Po agar bangun. "Kalau kau laki-laki sejati, mari kita bertempur pula!" bentaknya.
Namun itu bukan tantangan belaka, Si putri melancarkan serangan mendadak ditujukan pada bahu Siau Po.
"Aduh!" Siau Po menjerit lalu berkelip karena si tuan putri sudah meneruskan serangannya menyerang kakinya, Melihat itu Siau Po berlompat untuk menghindari serangan itu. Kemudian dengan cepat dirampasnya palang pintu itu dari tangan si tuan putri.
"Bagus!" kata Kian Leng seraya menarik palang pintu itu, dan diteruskan menusuk dada Siau Po.
Siau Po berkeiit ke kiri, Namun di luar dugaannya palang pintu telah melayang ke wajah Siau Po. Seketika tubuhnya terhuyung-huyung dengan mata berkunang-kunang.
"Hay, kaulah penjahat besar dari rimba hijau!" teriak Kian Leng, "Kau harus dibunuh habis!" Kem-bali ia menggerakkan palang pintu ditangannya.
Siau Po segera menyadari maka langsung mengelak Namun si tuan putri yang terus melakukan serangan hanya mengenai tempat kosong, Dengan cepat Siau Po menjatuhkan tubuh seperti tidur, untuk menghindari diri dari serangan itu, Tuan putri itu terus saja menyerangnya, Tubuh Siau Po menggelinding, Terdengar suara teriakan si nona karena telah menghajar lantai dengan palang pintu itu. "Aduh!" si Tuan putri terpekik karena tenaga yang digunakan untuk menyerang Siau Po ternyata memukul lantai dan berbalik Tangan si Tuan putri terasa nyeri dan hampir patah. Kakinya kembali menendang telak pinggang Siau Po.
"Aduh!" teriak Siau Po ketika tendangan itu mendarat telak di pinggangnya. "Menyerah.,.! Menyerah, hamba tak mau bertempur lebih jauh.,.!"
Namun Tuan putri itu terus menyerang berulang-ulang sedangkan mulutnya berteriak.
“Thay-kam, apakah kau mau mati? Aku hendak menghajarmu dan kau berani berteriak.,.!"
Memang Siau Po berkelit terus-terusan, sebab jika tidak, palang pintu itu sudah menghajarnya habis-habisan.
Kali ini Tuan putri menyerang lagi. Siau Po terkena serangan itu pada leher dan bahunya, Mulutnya meringis merasakan kesakitan
Tuan putri sudah tampak kehabisan tenaga, tetapi hawa amarahnya belum juga reda. ia hendak mengulangi serangannya, Melihat kemarahan lawannya Siau Po cepat melompat bangun. Ketika palang pintu itu hampir mengenai mukanya dia cepat menangkis dengan tangan kirinya.
"Aduh!" Siau Po menjerit kesakitan karena tangannya terbentur palang pintu itu. Kali ini hatinya mulai sadar, ternyata si Tuan putri tidak mau berhenti menghajarnya.
"Tentu ada maksud dari si Tuan putri ini. pasti ia tidak sedang main-main. Kenapa ia akan menghajar mati diriku? Tidak salah lagi, dia tentu telah menerima perintah dari Tay Hou yang menghendaki nyawaku..!" gumam Siau Po dalam hati.
Karena memikirkan hal yang demikian, Siau Po tidak ingin mengalah terus, Dia melihat palang pintu itu telah menyerangnya kembali Kali ini sambil berkelit ia menyerang lawannya dengan langkah sambil menjerit Dengan cepat Siau Po menendangkan kakinya membuat putri itu roboh.
"Hay, Thay-kam mau mampus kau? Berani benar kau melawanku!" teriak Tuan putri kian marah.
Siau Po tidak menjawab ia terus merampas palang pintu itu untuk digunakan menghajar kepala Tuan putri.
Kian Leng Kong Cu kaget dengan mata terbelalak lebar Tampak dari sinar matanya menampakkan ketakutan
Melihat wajah Tuan putri, Siau Po terkejut ia lalu berpikir. "Di sini aku tak dapat menghajarnya, Kecuali aku menghajarnya sampai mati dan tidak terdapat bukti, tidak seperti ini. Hh... sangat berbahaya bagi diriku.”
Mendapatkan pikiran begitu Siau Po berhenti menyerang. Setelah hilang kagetnya Tuan putri itu mengawasi dengan tajam.
"Thay-kam, apakah kau ingin mampus? Lekas bantu aku bangun!"
Siau Po berpikir cepat lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Tuan Putri itu bangun.
"Kalaupun ia akan mematikan aku, itu bukanlah hal yang mudah," pikir Siau Po. "Dalam ilmu silat kau tak dapat melawan aku, Barusan aku terpeleset jatuh, Dan tadi
kau telah mengaku kalah, kau sampai menjerit menyerah, Mengapa sekarang kau
melawan? Kau kan laki-laki, mengapa tidak memakai aturan golongan kang ouw.,.?"
Siau Po mengawasi putri itu yang tampak manja, ia pun mengusap darah yang mengalir di dahinya.
Si Putri berbalik mengawasi, lalu ia tertawa,
"Kau sudah kalah, mahluk tak berguna. Mari aku susuti darahmu!" Tuan Putri
mengeluarkan saputangan putih dari sakunya, Lalu mendekati Siau Po dan mengusap darah yang mengalir di muka Siau Po.
Siau Po mundur satu langkah.
"Jangan, hamba tak berani menerima itu!" katanya.
"Kita sama-sama orang kangouw sejati Sudah seharusnya kita sama merasakan Rejeki kita sama-sama rasakan, sengsara kita sama menderita!" kata sang putri pada Siau Po.
Keduanya sangat dekat sekali, dengan demikian hidung Siau Po dapat mencium wangi harum dari tubuh putri itu, Siau Po pun dapat melihat wajah tuan putri yang sangat cantik dan halus itu.
"Sebenarnya Tuan putri itu sangat cantik," pikirnya.
"Kau berbalik, aku akan melihat belakang kepalamu!" kata si Nona.
Siau Po menurut dan segera memutar tubuhnya, sedang dalam hati ia berkata. "Tadi aku salah sangka, Aku menyangka jelek terhadapnya, Sekarang, ternyata benar-benar ia sedang bergurau! Dia hanya tidak mengenal batas, Dia menggunakan tenaga berlebihan. "
"Aduh. " Kemudian ia menjerit, ia merasakan tangan Tuan Putri telah mengenai
lukanya.
Kian Leng Kong Cu tertawa.
"Apakah lukamu itu telah mendatangkan rasa sakit.?" tanyanya
“Tidak seberapa," jawab Siau Po lalu mendadak ia menjerit, Tubuhnya tiba-tiba roboh. kakinya terikat.
Kiranya di luar dugaan Kian Leng mengambil pisau belati Siau Po selanjutnya digunakan untuk menikam punggung dan paha.
"Sakitkah.,.? Bukankah kau mengatakan lukamu itu tidak seberapa dan aku telah menambahkan untuk beberapa kali lagi.?"
Siau Po kaget sekali, "Mati aku. !"
Walaupun tak terlalu parah luka pada tubuh Siau Po ia merasakan sakit yang bukan main. sedangkan untuk melawan ia tak berani, Kali ini pun ia merasa sakit bukan kepalang, Setelah itu ia merasa lemas sekali karena sudah banyak darah yang keluar.
"Apakah sekarang kau merasakan sakit.,.?" tanya Si Tuan Putri.
"Sangat nyeri! Kung Cu lihay sekali, Hamba bukan lawan Kong Cu.,.! Kalau jadi orang gagah, menghadapi orang tak berdaya harus mengampuni-nya.,.!"
"Asal kau bergerak aku akan membuhuhmu. !" bentak Tuan Putri.
"Hamba tak akan bergerak," jawab Siau Po sambil merintih, sebab ia diduduki oleh Tuan Putri tepat pada lukanya.
Selagi Siau Po diam saja putri itu mengambil ikat pinggang lalu mengikat kaki Siau Po dengan pinggangnya, hingga terbelenggu kedua kakinya.
"Kaulah orang tawananku, Sekarang, mari kita mencoba melatih semacam ilmu silat baru, Nama-nya Cukat Liang Cit Kim Beng Hek.,.," kata si Putri sambil tertawa.
Siau Po mengetahuinya bahwa itu hanya sebuah lakon sandiwara yang biasa dipertunjukkan
"Ya. ya, cukat liang menawan Beng Hek dengan tujuh kali menahan dan tujuh kali
melepaskannya. Namun tidak demikian dengan Kong Cu. Kong Cu hanya menawan saya sekali dan melepaskannya hanya sekali, Dan jika Kong Cu membebaskan hamba maka hamba tak mungkin dapat melawan Kong Cu. Sebab, Kong Cu lebih pandai dan lebih lihay dari hamba. "
"Tidak, Tidak dapat!" kata sang putri sambil tertawa.
"Cukat Liang juga menggunakan api untuk membakar pasukan musuh yang menggunakan pakaian seragam dengan tilitan rotan!"
Siau Po kaget sekali.
"Tapi.,., tapi hamba tidak menggunakan pakaian lilitan rotan," tukasnya. "Kalau begitu sama saja jika aku membakar bajumu," sahutnya. "Tidak. Tidak dapat, Kong Cu!"
"Tidak dapat apa, jika Cukat Liang mau membakar, dia lalu membakar pasukan rotan itu tidak banyak bicara," bentak Tuan Putri.
"Cukat Liang tidak membakar mati Beng Hek. Jika Kong Cu membakar hamba berarti Kong Cu bukan Cukat Liang, tetapi Cu Coh!" kata Siau Po.
Kong Cu tidak menghiraukan ucapan Siau Po. Dia lalu mengambil baju yang dipakainya. Tetapi setelah membakarnya tiba-tiba ia melihat kuncir pada rambut Siau Po, ia lalu membakar kuncir itu.
Siau Po kaget, karena ujung kuncirnya sudah terbakar Siau Po berteriak minta tolong.
"ToIong.... Tolong. , Cu Coh membakar Cukat Liang!"
Tetapi Tuan Putri sebaliknya malah tertawa.
"Api telah menyala... inilah obor! Bagus... bagus....
Api menyala dengan cepatnya dan hampir mengenai tangan Tuan Putri. Karena itu ia lalu melepaskan pegangannya, Siau Po kelabakan lalu melompat dengan sekuat tenaganya dan menubruk dada Tuan Putri.
Repot juga Kian Leng Kong Cu memadamkan api yang menyala pada dadanya karena ketika ditubruk ia tidak sempat mengelak Saking kesalnya ia menendang Siau Po hingga pingsan.
Ketika siuman Siau Po telah berada di atas pembaringan dalam keadaan tak mengenakan baju. Dia mendapati Tuan Putri tengah memegang bubuk garam.
"Hai, kau tengah membuat apa?" tanyanya, "Para Sie Wie mengatakan padaku, jika mendapatkan seorang musuh yang tidak mau mengaku maka para Sie Wie memberikan garam pada luka-nya. Maka nanti musuh akan mengaku, Karena bubuk garam bila ditaburkan pada luka rasanya sangatlah perih."
Siau Po memang merasakan lukanya sangatlah pedih. "Tolong,.,! Tolong.,., aku mengaku!" jerit Siau Po.
Tuan Putri tertawa secara terbahak-bahak.
"Hai kantong nasi!" bentak si Putri "Kau begit cepat mengaku."