Kaki Tiga Menjangan Jilid 39

Jilid 39

Malam itu Siau Po dapat tidur nyenyak, sedangkan besok paginya begitu ia mendusin, nona Pui sudah datang kepadanya dan membantunya menyisir rambut.

Menyaksikan kelakuan si "calon istri", Siau Po tersenyum, Diam-diam dia berpikir dalam hati:

-- sekarang dia belum tahu bahwa aku buka thay-kam yang sebenarnya, Dia mengira kelak kami akan menjadi suami istri hanya dalam nama saja. Sampai kapan aku baru bisa membuka rahasia ini kepadanya? -

Setelah itu, selanjutnya sepasang pemuda mudi itu selalu berduaan di dalam kamar, Mereka duduk berdampingan, makan bersama, Dari jendela perahu mereka dapat melihat keindahan mentari pagi, kecantikan alam, Di permukaan laut terlihat pantulan sang surya yang gemilang bagaikan emas permata.

"Ketika belum lama ini aku masuk ke dalam istana bangsa Boan Ciu untuk membunuh kaisarnya," kata Pui Ie sambil menarik nafas panjang "Aku kira aku tidak mungkin hidup lagi, mungkin aku akan kehilangan nyawaku di sana. Tak disangka Tuhan yang Maha Kuasa masih melindungi diriku, Di sana aku bertemu denganmu Dengan demikian sampai sekarang kita masih bisa menikmati keindahan alam ini. Adikku yang baik, sungguh, mengenai dirimu, sedikit pun aku tidak tahu apa-apa. Dapatkah kau menjelaskan kepadaku bagaimana kau bisa masuk ke dalam istana dan segala hal yang menyangkut ilmu silatmu?"

Ditanya demikian, Siau Po tertawa.

"Semua hal itu, justru aku telah berpikir untuk menceritakannya kepada kakak," katanya, "Hanya aku khawatir, kau nanti akan terkejut sehingga berjingkrak atau mungkin jatuh pingsan saking kagetnya ."

Pui Ie menggeser tubuhnya agar rapat dengan pemuda di sisinya. "Kalau aku mendengar ceritamu, aku pasti akan senang sekali," sahutnya, "Sekalipun keteranganmu itu merupakan sesuatu yang tidak aku sukai, asal kau tidak berbohong, aku tidak perduli. "

"Baik, kakak," kata Siau Po. "Baiklah kalau itu yang kakak inginkan, Aku ini kelahiran kota Yang-ciu dan ibuku dari kalangan rumah pelesiran. "

Pui Ie terkejut setengah mati sehingga dia memalingkan wajahnya dan menatap Siau Po lekat-lekat.

"Apa kerja ibumu di dalam rumah pelesiran itu?" tanyanya penasaran. Suaranya rada gemetar.

"Apakah ibumu bekerja mencuci pakaian atau memasak nasi di sana? Atau mungkin tukang sapu atau pelayan yang mengantarkan makanan?"

Hati Siau Po ikut tegang menyaksikan perubahan wajah si gadis. Terang nona itu memandang hina rumah pelesiran.

-- Kalau aku menjelaskan yang sesungguhnya bahwa ibuku adalah seorang pelacur, dia pasti tidak memandang sebelah mata kepadaku, -- pikirnya dalam hati Dia tentu 

tidak akan memperlakukan aku dengan baik lagi , maka itu dia langsung tertawa.

“Selama ibuku berada dalam rumah pelesiran usianya baru enam atau tujuh tahun," sahutnya menerangkan. "Mana mungkin sekecil itu ibu bisa mencuci pakaian atau memasak nasi?"

Mendengar jawaban itu, hati Pui Ie agak lega perasaan tegangnya menjadi lenyap. "Oh, ibumu baru berusia enam atau tujuh tahun ketika itu?"

Dalam hal berdusta, Siau Po memang ahli. Dengan cepat dia dapat memberikan keterangan yang masuk akal.

"Ketika bangsa Boan Ciu berhasil melintas perbatasan San Hay kwan, tidak sedikit penduduk kota Yang-ciu yang menjadi korban. Tahukah peristiwa itu?"

Pui Ie menganggukkan kepalanya. "lya," sahutnya.

"Kakek luarku seorang pembesar dari dinasti Beng." Siau Po menjelaskan lebih jauh, "Ketika bangsa Tatcu itu menyerbu dan menghancurkan kota Yang-ciu, kakek luarku roboh sebagai korban, Karena saat itu ibuku masih kecil sekali sehingga terlunta-lunta, Di dalam rumah pelesiran itu ada seorang tamu yang baik hatinya, dia segera mengajak ibuku pulang dan diambilnya sebagai pelayan. Tatkala tamu itu menanyakan nama serta she keluarga ibuku, ibuku menyebut nama kakek luarku itu, Ternyata tamu itu  sangat menghormati kakek dan karena itu, dia mengangkat ibuku sebagai anaknya. Kemudian ibu menikah dengan ayahku, seorang pemuda terkenal dari kota Yang-ciu. "

"Oh, rupanya begitu.,." kata Pui Ie. "Tadinya aku kaget sekali ketika mendengar kau mengatakan ibumu dari kalangan rumah pelesiran, ternyata ibumu menjadi pelayan di sana dan melayani segala wanita hina yang tidak tahu malu itu,.,."

Tidak puas hati Siau Po mendengar ucapan Pui Ie. Diam-diam dia berpikir dalam hati.

-- Apakah kau kira semua wanita yang berasal dari Bhok onghu pasti istimewa dan luar biasa? Aku malah merasa wanita yang tidak tahu malu ada di mana saja... -

Karena menyaksikan sikap Pui Ie yang demikian, Siau Po batal menceritakan riwayat hidupnya yang sebenarnya, Sebaliknya, kumat lagi tabiatnya, dia membual panjang lebar dengan mengatakan bahwa ia berasal dari keluarga besar Dan dia menceritakan bahwa rumahnya di Yang-ciu besar sekali serta mewah, Tapi dia menuturkannya dengan mencontoh rumah pelesiran yang ditempati ibunya sekarang.

Setelah mendengarkan semuanya, Pui Ie bertanya.

"Apakah keterangan ini yang kau katakan akan membuat aku terkejut setengah mati bahkan bisa berjingkrak atau pingsan?"

"Benar." sahut Siau Po. "Apakah kau tidak senang mendengarnya?"

"Aku senang," kata Pui Ie. Tapi nadanya tawar sekali, pertanda bahwa dia menjawabnya dengan terpaksa.

Mata Siau Po memandang ke luar jendela perahu, Dia memikirkan persoalan lain untuk dijadikan bahan pembicaraan tetapi tiba-tiba dia melihat sebuah daratan di arah timur tenggara, Ketika itu perahu sedang melaju dengan pesat sekali.

"Eh, tempat apakah itu?" tanya Pui Ie dengan nada heran, Dia juga sudah melihat tanah daratan itu.

Tepat pada saat itu, dengan cepat perahu suda melaju mendekati tanah daratan tersebut, sehingga tampak jelaslah pepohonannya dan pesisiran yan penuh dengan pasir putih.

"Mari kita mendarat," ajak si nona, "Sudah berhari-hari kita berdiam di atas perahu, kepalaku sudah terasa pusing sekali, Bukankah ada baiknya kita turun dan melihat-Iihat pulau ini?"

"Aku setuju," sahut Siau Po menganggukkan kepalanya, "Rupanya pulau ini cukup besar. Entah ada apanya yang menarik hati untuk dipandang di dalamnya. " Pui Ie memanggil tukang perahu dan menanyakan nama pulau tersebut,

"Nona, inilah pulau Sim Sian To yang terkenal di lautan timur," sahut orang yang ditanya, "Katanya di atas pulau itu terdapat semacam buah dewa, siapa yang memakan buah itu akan panjang umur, dan hidup sepanjang masa, Tapi, siapa yang berjodoh mendapatkan buah yang langka itu? Entahlah! Tapi, tidak ada halangannya apabila nona dan Wi Kongcu ingin mencoba peruntungannya."

Pui Ie menganggukkan kepalanya, Setelah tukang perahu itu mengundurkan diri, Dia berkata kepada Siau Po.

"Aku tidak berharap untuk makan buah dewa yang dapat membuat orang hidup sepanjang masa, Bagiku, hidup sekarang ini sudah memuaskan Aku menganggapnya lebih menyenangkan dari pada kehidupan para dewa."

Senang hati Siau Po mendengar kata-kata si nona,

"Oh, kakak yang baik!" katanya, "Kakak, marilah kita tinggal di pulau ini untuk seumur hidup, Kalau kita dapat menemukan buah mukjijat itu, syukur, tapi kalau tidak, ya sudah! Bagiku sendiri, yang penting aku bisa bersama-sama kakak untuk selama-lamanya."

"Aku juga begitu," kata Pui Ie. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Siau Po. suaranya merdu dan halus.

Keduanya segera naik ke atas sebuah perahu kecil untuk menuju tepian daratan. Ketika melangkah di pesisir yang berpasir halus itu, mereka sudah mencium bau segarnya pepohonan yang ada di sana. Semua itu terbawa oleh hembusan angin. Mereka juga mencium bau air.

"Entah pulau ini ada penghuninya atau tidak..., kata Pui Ie kemudian.

"Manusia lainnya tidak ada," kata Siau Po sembari tertawa, "Yang pasti ada seorang dewi yang cantik dan manis tiada tandingannya dan datan membawa budak-budaknya ke pulau ini."

Pui Ie tertawa.

"Oh, Adikku yang baik!" katanya dalam hati berbunga, "Bagiku asal kelak di kemudian hari kamu tidak menganggapku sebagai seorang budak, dalam mimpiku juga aku dapat tersenyum."

Dengan bergandengan tangan muda mudi itu berjalan memasuki rimba, hingga hidung mereka sudah diserang harum bunga.

"Bunga ini harum baunya, maka sangatlah mustahil kalau pulau ini pulau dewata," kata Siau Po Pui Ie tersenyum.

Keduanya maju terus, tiba-tiba menyusul berbagai suara di rerumputan yang ada di depan mereka, mendadak dari dalam rumput itu ke luar tujuh atau delapan ekor ular yang warnanya kuning mengkilap yang terus menyambar mereka.

Siau Po berseru kaget, tangannya menarik tangan Pui Ie untuk diajaknya mundur Tetapi di depan mereka telah menghadang tujuh atau delapan ular, yang semuanya menjulurkan lidahnya.

"Lekas menyingkir," kata Nona Pui, yang sedang menghunus belati, "Nanti aku yang mengitari sarangnya."

Siau Po sebaliknya tidak mau lari sendiri, malah menghunus pisau belatinya. "Mari!" ia mengajak menyingkir dari belasan ular yang ada di depan dan di 

belakangnya.

Baru saja beberapa langkah, Siau Po kaget sekali lehernya telah digigit ular, yang turun dari dahan pohon.

"Celaka!" Siau Po berseru.

Pui Ie menyambar tubuh ular itu niatnya untuk ditarik dan di1emparkannya. "Jangan!" Siau Po berseru mencegahnya.

Sudah tentu ular yang ditangan Pui Ie menggigit tangannya, bahkan ular itu tidak segera melepaskan gigitannya.

Siau Po khawatir bercampur gusar, ia lalu menghunus pisaunya dan mengiris tubuh ular itu.

Justru di bawah, ular lainnya sudah melilit kaki mereka berdua.

Muda-mudi itu merasa kaget Siau Po berhasil menebas ular di betisnya, dan ia pun kaget karena betis yang lain digigit ular juga dan seketika itu juga betisnya beku dan tak dapat digerakkan.

Pui Ie bingung hingga ia melepaskan goloknya untuk terus memeluk Siau Po. "Hari ini kita akan mati sebagai pasangan suami istri di sini. " keluhnya menangis.

Siau Po tetap tabah meskipun kakinya beku tetapi tangannya masih dapat bekerja, dia masih dapat menepis setiap ular yang mendekat atau menyambarnya dengan pisau belati yang cukup tajam itu. Namun anehnya ular di dalam rimba itu cukup banyak, mati yang satu datangnya yang lain-Iainnya dan semuanya galak-galak, Ketika Siau Po dan Pui Ie telah sampai pada batas rimba, mereka suda digigit tujuh sampai delapan ular, Selain nyeri kepala mereka sudah mulai terasa pusing bahkan mereka sudah mulai merasa was-was, Sewaktu mereka menatap ke laut, perahu yang mereka tumpangi sudah jauh meninggalkan mereka dan sia-sia saja mereka berteriak memanggil. Buktinya perahu mereka semakin menjauh.

Pui Ie menggulung celana Siau Po, ia membungkuk hendak mengisap darah dan racun yang ada di kaki Siau Po.

"Jangan!" teriak Siau Po. "Jangan!"

Mendadak Siau Po mendengar langkah kaki hingga suaranya berhenti, dan menyusul ia mendengar teguran

"Eh, siapa kalian, buat apa kalian datang ke mari, apakah kalian tidak takut mati?"

Siau Po menoleh seraya mengangkat kepalanya, Dengan demikian dia dapat melihat ketiga orang itu dan ketiganya tidak mereka kenal. Usia mereka sekitar pertengahan.

"Paman tolong!" ia lantas memohon "Kami digigit ular!"

Salah seorang mengeluarkan obat lalu dibubuhkan pada luka bekas gigitan ular di kaki Siau Po.

"Kau... kau tolong dahulu, dan obati dia.,." ujar Siau Po kepada orang itu. Pui Ie menerima obat yang diberikan oleh orang itu.

"Kakak..." Siau Po memanggil tetapi belum sempat dia meneruskan kata-katanya, matanya sudah gelap dan tubuhnya roboh ke tanah.

Ketika Siau Po sadar ia merasa mulutnya kering dan dadanya nyeri hingga ia merintih saking tak kuatnya menahan sakit, ia pun kemudian mendengar orang berkata.

"Bagus dia telah sadar"

Perlahan-lahan Siau Po membuka mata hingga ia melihat orang membawa semangkuk obat untuk diminumnya, ia lalu meminum obat itu walaupun dengan rasa yang kurang enak,

"Terima kasih atas pertolonganmu ini, paman" ujarnya. "Bagaimana dengan kakakku, apakah ia tidak apa-apa...!" "Syukur, ia tertolong!" jawab orang yang ditanya. "Kalau kita terlambat sedikit saja kalian sudah tak dapat tertolong lagi. Kalian bernyali besar kenapa kalian datang ketempat ini?"

Siau Po merasa berlega hati mendengar kabar bahwa Pui le tidak apa-apa. "Terimakasih. terimakasih!" katanya berulang-ulang.

Sekarang Siau Po merasa terharu menemuk dirinya terbaring di pembaringan dengan pakaian yang telah dibuka, dan ia ditutupi selimut, kedua kakinya terasa mati, tak dapat digerakkan.

Siau Po menghela napas panjang ketika melihat wajah orang yang menolongnya. Wajah orang ini amatlah buruk, namun hatinya penuh rasa kasih sayang.

"Tukang perahu mengatakan pulau ini memiliki buah kemuzijatan, jika seseorang memakan buah itu, dia akan tetap muda," ujar Siau Po.

"Hm!" seru si penolong sambil tertawa dingin. "Jika memang benar pulau ini memiliki buah yang kamu bilang itu, mustahil tukang-tukang perahu itu tidak ikut mengambilnya."

"Oh! Jika demikian tukang-tukang perahu itu bermaksud jahat, pantas mereka membawa perahu kami pergi, lalu bagaimana dengan kawan-kawan kami yang berada di perahu besar itu? Jangan-jangan mereka jatuh ke tangan orang-orang itu! Paman bagaimana caranya agar kami dapat menolong kawan-kawan kami?"

Laki-laki yang bermuka jelek itu pun menggelengkan kepala.

"Mereka sudah pergi sejak tiga hari yang lalu, kemana mereka harus kita kejar?" katanya.

Siau Po menjadi lemas.

"Sudah tiga hari?" tanyanya mengulangi ucapan orang-orang itu, ia menjadi bingung sendiri.

"Ya, Kau telah pingsan selama tiga hari tiga malam." orang-orang itu menjelaskan "Jangan heran jika engkau tidak mengetahui itu!"

Siau Po terdiam, lalu ingat Song Ji. ia khawatir benar, sebab meskipun nona itu lihay, namun kurang pengalaman sedangkan ia berada di tengah laut dan bersendiri saja. Mana mungkin ia dapat melawan anak buah kapal yang jumlahnya cukup banyak itu?

Makin jauh berfikir Siau Po semakin bingung.

"Sekarang kau bingung dan rasa khawatir itu pun akan datang." hibur sang penolong, yang dapat menerka keadaan hati Siau Po. "Yang penting sekarang kau istirahat dengan tenang, ular berbisa di pulau ini ganas sekali, paling sedikit kau harus beristirahat selama tujuh hari baru racun itu dapat dikuras habis."

Kemudian tuan rumah itu menanyakan she dan nama Siau Po serta ia pun menyebutkan she dan namanya sendiri yaitu Phoa Hiong,

Lewat tiga hari barulah Siau Po dapat turun dari pembaringan dan dapat berjalan dengan berpegangan pada dinding, Kemudian Bhoa Kiong mengajaknya menengok Pui Ie yang berada di ruangan bersama seorang wanita yang merawatnya.

Setelah bertemu mereka merasa girang sekali kemudian keduanya saling merangkul dan bertangis tangisan karena merasa haru bercampur bahagia.

Sejak itu, Siau Po dan Pui Ie selalu bersama dan mereka berbincang-bincang membicarakan ular yang telah membuat mereka pingsan dan sakit beberapa hari.

Pada hari keenam, Siau Po dan Pui Ie didatangi tuan penolongnya.

"Tabib Liok dari pulau kami telah datang pada kami. Dia sengaja kami undang untuk melihat keadaan saudara she."

“Terimakasih, Kakak Phoa!" ucap Siau Po.

Tak lama kemudian datang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahunan, Laki-laki itu mengenakan pakaian pelajar, raut wajahnya ramah dan gerak-geriknya sangat sopan, Laki-laki setengah baya itu bertanya kepada Siau Po tentang masalah ular itu, kemudian ia tertawa.

"Kalian menderita karena kalian tidak mengetahui kebiasaan penduduk di sini, di sini orang tak pernah digigit ular bahkan ular takut mendekati penduduk. Kebiasaan penduduk di sini selalu membawa bekal belerang," katanya.

"Oh." seru Siau Po yang baru tahu, "Pantas Kakak Phoa dan yang lainnya tak takut ular!"

Tabib Liok memeriksa luka-luka Siau Po dan Pui Ie lalu memberikan obat kepada Siau Po seraya berkata.

"Kau makan tiga butir dan yang tiga untuk kawanmu, satu hari makan satu butir saja."

Siau Po menerima obat itu sambil mengucapkan terimakasih, kemudian ia menyerahkan uang dua ratus tail,

"Aku minta kiranya Tuan sudi menerima uang yang tak seberapa ini!" ujar Siau Po. Tabib Liok heran, tetapi ia tertawa dan ber-kata. "Mana dapat aku memakai uang begini banyak? Buatku sudah cukup kalau Kong Cu memberiku dua tail perak."

"Saya harap agar Tuan tidak menolak!" kata Siau Po mendesak "Tuan telah menolong kami, jumlah ini tidaklah berarti, bukan?"

Karena dipaksa, tabib itu pun menerima uang itu dan ia pun mengucapkan terimakasih.

"Kong Cu, terpaksa aku menerima uangmu ini. Kalau tidak aku dikira kurang hormat sekarang aku minta Kong Cu beserta kawanmu sudi kiranya datang ke rumahku untuk minum barang secawan arak, Bagaimana?"

Siau Po bersyukur dan merasa girang sekali maka ia menerima baik undangan tabib itu. Kembali ia mengucapkan terimakasih.

Benarlah di waktu magrib mereka menyiapkan sebuah tandu untuk menyambut kedatangan tamu-nya. Mereka memikul Siau Po dan Pui le dengan sebuah tandu dan dibawa jalan melewati kali kecil di kaki gunung yang airnya jernih dan berbunyi nyaring sebab alirannya yang deras, Siau Po dan Nona Pui merasa puas melihat pemandangan di sepanjang kali kecil itu. Akan tetapi mereka merasa takut setelah melihat rerimbunan pohon. Keduanya teringat ketika diserang ular berbisa.

Setelah perjalanan tujuh atau delapan lie, mereka sampai didepan sebuah rumah yang tiang dan dindingnya semua terbuat dari bambu, Rumah ini memiliki tiga ruangan yang rapih dan sangat bersih, Buat wilayah Kang Lam dan Hoo Pak, sukar untuk melihat bangunan seperti itu.

Tampak laki-Iaki setengah baya keluar dari rumah itu dengan wajah ramah dan gerak-gerik yang sangat sopan, Laki-Iaki itu Tabib Liok yang telah beberapa saat menunggu kedatangan tamunya. Tabib itu menyambut dan mengajak mereka masuk. 

Rombongan itu disambut juga oleh seorang wanita berusia tiga puluhan, yaitu nyonya tabib, Dengan ramah sekali nyonya itu mengajak Pui le masuk.

Tabib Liok mengajak tamu-tamunya ke kamar tulisnya, Di dalam kamar itu banyak buku, kitab-kitabnya, dan lukisan-lukisan yang membuktikan bahwa tuan rumah gemar karya sastra dan seni.

“Tinggal di pulau ini, kami terasing dengan dunia luar." kata tuan rumah dengan ramah dan rendah hati, "Tidak demikian halnya Kong Cu berdua, yang datang dari dataran luas dan ramai, dan Kong Cu pun dari keluarga besar. Bagaimana pendapat Kong Cu tentang lukisan-lukisan itu."

Siau Po merasa sulit menangkap kata-kata tuan rumah ini, Bocah itu tidak terpelajar dan buta huruf, sebaliknya tuan rumah seorang pintar dan halus gerak-geriknya, Dia  lalu mengamati lukisan-lukisan yang berupa pesona alam pegunungan burung, dan kura-kura.

"Kura-kura itu bagus," pujinya sambil tertawa.

Tabib Liok heran lantas ia menunjuk sebuah gambar

"Wi Kong Cu," tanyanya, "Bagaimana kau lihat hurup-hurup ini."

Siau Po mengamati hurup-hurup itu, dan ia mendapatkan beberapa hurup yang bentuknya melengkung mirip sebuah jimat,

"Bagus," pujinya pula, "Bagus sekali." Tabib Liok menunjuk tulisan yang lainnya, "Bagaimana dengan yang ini?"

"Ah, ini kurang bagus!" sahutnya sambil ia menggelengkan kepalanya. Tuan rumah segera mengambil sikap hormatnya.

"Jikalau dapat, aku minta Kong Cu menunjukkan mana kelemahannya!"

Siau Po tidak mengenal huruf mana yang baik dan mana yang buruk. Dia menjawab seadanya Demikian pula sewaktu ia ditanyakan lukisan yang lainnya.

Sampai di situ, adem hatinya, tuan rumah, Ha tuan rumah itu merasa tenang, "Kiranya Kong Cu tidak kenal satu hurup pun, dan awam tentang lukisan.”

Tabib itu masih penasaran maka ia menunjuk lukisan lainnya, "Dan yang ini bagaimana," tanyanya pula.

Siau Po mengamati hurup-hurup yang mirip cacing itu.

"Oh, aku kenal beberapa hurup ini!" sahutnya Dirinya merasa pernah melihat hurup semacam itu di Gunung Ngo Tay san.

"Hong Kauw Cu dan Sin Liong Kauw selama tahun tidak pernah tahu dan selamanya memperoleh kebahagiaan bagaikan dewa berilmu sakti. Usianya sama dengan usia langit." Suara Siau Po seperti membaca hurup-hurup itu,

Mendengar demikian, tiba-tiba saja tabib Liok menjadi girang sekali. "Berterimakasihlah pada langit dan bumi. Benar-benar kau mengenal dengan hurup 

ini," ujarnya dengan girang sehingga bergetar suaranya. Siau Po heran hingga timbul rasa curiganya.

"Kenapa dia begitu girang lantaran aku kenal hurup itu? Apakah dia orang Sin Liong Kauw? Oh celaka ular berbisa! Apakah ini pulau Sin Liong To?"

Karena berpikir demikian tak terasa ke luar kata-kata itu, "Ay Cun cia dimana kau?" Tabib Liok terkejut sekali sehingga dia menyurut satu langkah ke belakang.

"Oh... kau telah mengetahuinya?" tanyanya heran.

Siau Po menganggukkan kepalanya, walaupun sebenarnya dia tidak tahu apa-apa mengenai si tosu,

"Bagus kalau kau telah mengetahuinya!" kata tabib Liok, Dia segera menghampiri meja tulisnya lalu mengosok bak tinta serta membeberkan kertasnya, kemudian dia berkata kembali, "ToIong kau jelaskan setiap huruf yang ada di sini, Yang mana huruf Hong dan yang mana huruf Kau!"

Mendengar permintaannya, hati Siau Po tercekat. Diam-diam dia mengeluh dalam hati, wajahnya langsung berubah. Tapi dia memaksakan diri untuk berjalan ke meja tulis dan mengambil pit, Luar biasa caranya memegang pit, karena dia melakukannya seperti orang yang memegang sumpit makan.

Diam-diam tuan rumah jadi mengeluh dalam hati menyaksikan sikap tamunya, Hal itu sampai tampak pada perubahan air mukanya, Tapi dia masih berusaha untuk sabar.

"Sekarang terlebih dahulu kau tuliskan dulu she dan namamu!" katanya.

Siau Po langsung berjingkrak bangun untuk berdiri tegak, sedangkan pitnya yang sudah dicelup ke tinta dilemparkannya sehingga tintanya bermuncratan kemana-mana. Kemudian dia berteriak dengan suara lantang.

"Lohu tidak kenal dengan segala huruf anjing. Kentut anjingpun aku tidak tahu bagaimana cara menulisnya! Apa itu Hong kaucu usianya sama dengan usia langit? Lohu hanya mengoceh sembarangan untuk mengelabui si tosu, Kalau kau ingin aku menulis huruf, sebaiknya kau tunggu sam aku menitis kembali! Kalau kau hendak membunuh Lohu, bunuhlah! Tidak akan aku mengernyit kening, kalau sampai terjadi, aku bukanlah seorang laki-laki sejati!"

"Benarkah kau tidak mengenal huruf sama kali?"

"Memang tidak!" sahut Siau Po tegas, " tidak tahu huruf telur busuk!"

Saking terdesak, tegang rasanya syaraf Siau Po sehingga dia jadi marah-marah tidak karuan, Dia tidak kenal lagi kata takut meskipun berada di pulau Ular yang sangat beracun ini. Tabib Liok terdiam lalu mengambil pitnya dan menulis beberapa huruf. "Coba baca, huruf apa ini?" tanyanya,

"Gila!" seru Siau Po. "Aku bilang aku tidak kenal surat, aku serius! Kau kira aku bohong?"

Tabib Liok menganggukkan kepalanya dengan kesal.

"Bagus!" katanya, "Jadi kau berhasil mempermainkan Ay Cun cia! Tapi urusan ini telah disampaikan kepada Hong kaucu! Oh, kau! Dasar bangsat cilik."

Mendadak si tabib melompat ke depan untuk mencekik leher Siau Po, seraya berkata dengan sengit.

"Kau mencelakai kami sehingga kami mendustai kaucu! Sama artinya kau membuat kami mati tanpa tahu di mana kami akan dikuburkan! Karena itu, sebaiknya kita mati bersama-sama saja. Dengan demikian aku tidak perlu mengalami penderitaan dan siksaan!"

Siau Po benar-benar tersiksa, wajahnya pucat kebiru-biruan dan lidahnya menjulur ke luar Kalau dia dicekik lebih keras sedikit lagi, pasti nyawanya akan melayang. Tetapi tepat pada saat yang genting itu, tiba-tiba tabib Liok mengendurkan cekikannya dan mendorong tubuh Siau Po sehingga bocah itu terjerambab jatuh lalu dia meninggalkannya.

Sesaat kemudian, Siau Po baru sanggup menenangkan dirinya, Setelah benar benar sadar, dia mencaci maki dengan sembarangan.

"Kura-kura mau mampus! ibumu bangsat!" Namun sekarang dia harus berpikir keras, "Aku berada di atas pulau, ke mana aku harus menyingkir? Kala aku kabur ke hutan, hal itu malah akan mempercepat kematianku Tapi, aku cukup puas kalau bisa mati bersama-sama Pui Ie.,." katanya seorang diri.

Kemudian Siau Po pergi ke pintu dan berusaha membukanya, Ternyata pintu itu terkunci dari lua Karena itu dia pergi ke jendela untuk melongok ke luar, Dia mendapat kenyataan bahwa jendela itu menghadap ke arah lembah yang curam, Di sana pun tidak ada jalan untuk meloloskan diri."

Siau Po memalingkan wajahnya kembali ke dalam kamar dan memperhatikan beberapa gambar yang tergantung di dinding.

- Apanya yang bagus dari pigura-pigura ini? --pikirnya dalam hati.

Saking panasnya hati Siau Po, dia segera menambil pit tulis kemudian digunakannya untuk mencoreng gambar-gambar yang tergantung di dinding. Lukisan itu diganti dengan gambar kura-kura besar dan sejumlah kura-kura kecil, Tentu saja dia melukis  secara sembarangan sehingga banyak lukisan-lukisan yang berharga itu rusak karenanya.

Setelah merasakan tangannya pegal, Siau Po melemparkan pit itu terus menjatuhkan diri untuk duduk di atas sebuah kursi. Dia menyenderkan tubuhnya dan melenggut- lenggut. Sesaat kemudian dia sudah tertidur pulas.

Dia tertidur sampai cuaca remang-remang. Tidak ada seorang pun yang datang mengganggunya, sehingga kemudian dia merasa perutnya keroncongan karena minta diisi.

- Rupanya kura-kura hijau itu mengharap Lo-hu mati kelaparan di sini! -- pikirnya kemudian, Dia menyebut tuan rumahnya sebagai "kura-kura hijau" dan tetap membahasakan dirinya sebagai Lohu,

Tepat pada saat itulah dia mendengar suara langkah kaki dari luar kamar, disusul dengan masuknya cahaya terang api dari sela-sela pintu. Bahkan daun pintu pun segera terbuka dan muncullah tabib Liok dengan sebatang lilin yang menyala di tangannya, Dia melirik si bocah tanpa mengatakan sesuatu pun. Tidak terlihat apakah dia sedang marah atau senang.

Mau tidak mau, Siau Po menjadi tidak enak hati dan merasa khawatir.

Tabib Liok meletakkan lilin nya di atas meja, kemudian melirik ke arah dinding yang penuh dengan lukisan itu. Tiba-tiba saja dia menjadi gusar sekali.

"Kau! Kau!" teriaknya setengah kalap. Tangannya sudah diangkat tinggi-tinggi dengan maksud ingin menghajar tamunya, Akan tetapi dia tidak meneruskan niatnya itu, sebab dapat menguasai dirinya.

"Kau... kau.-." berhentilah suaranya.

Di lain pihak, Siau Po dapat mengendalikan dirinya, justru melihat si tabib gusar, dia tertawa lebar.

"Nah, lihat!" katanya, "Bagaimana menurut pendapatmu? indah tidak lukisanku itu?"

Tabib Liok menarik nafas panjang, Perlahan lahan dia menurunkan tangannya lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi.

"Bagus." katanya kemudian, "Lukisanmu bagus sekali."

Siau Po menjadi heran. Orang itu bukannya menghajar dia lagi tapi malah memujinya, Dia juga menjadi tidak enak hati menyaksikan tuan rumah itu menjadi kesal dan sedih. "Tuan Liok, maaf... maaf.,." katanya kemudian "Aku telah membuat lukisanmu menjadi kotor. "

Tabib Liok menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangannya.

"Tidak.,, tidak apa. " sahutnya sabar, Dia memegangi kepalanya lalu mendekam di 

atas meja.

Sesaat kemudian....

"Kau tentunya sudah lapar bukan?" tanyany lantaran Siau Po diam saja, "Nah, kau makanlah dulu, nanti kita bicara lagi!"

Di ruang tamu sudah disediakan hidangan yang terdiri dari empat macam lauk, Ada ikan, daging, juga ayam.

Pui Ie muncul dengan ditemani oleh Nyonya Liok, Mereka berempat duduk mengelilingi meja dan mulai bersantap.

Siau Po merasa heran sekali, Diam-diam dia berpikir dalam hati.

-- Mungkinkah lukisanku benar-benar demikian indah sehingga hati tabib Liok menjadi senang dan menjamu aku? Akan tetapi sesaat kemudian dia sudah 

menyangkal pemikirannya itu, Tidak mungkin! Tidak mungkin orang yang lukisannya dirusak malah menjamunya! Bocah itu bermaksud menanyakannya kepada si tabib, tapi akhirnya dia membatalkannya pula, Dia melihat tampang si tabib yang lesu dan tidak bersemangat Dia khawatir tabib itu marah.

Tanpa banyak bicara mereka terus bersantap, Setelah itu, Tabib Liok kembali membawa Siau Po ke kamar tuIisnya, Seorang kacung segera datang untuk mengantarkan teh hangat.

Tabib Liok mengambil pit yang dilemparkan Siau Po, lalu menulis tiga huruf "Wi Siau Po" di atas kertas.

"lni namamu," katanya. "Apakah kau bisa menulisnya?"

"Dia dapat mengenali aku, tapi aku tidak mengenalinya, Mana bisa aku menulis.,.!" "Oh!" seru si tabib yang lalu menengok ke luar jendela, agaknya dia berpikir 

Kemudian dia mengangkat tempat lilin dan huruf huruf yang berupa anak katak lalu dibawanya ke depan dan dibacanya Setelah itu dia kembali lagi ke meja untuk mengambil sehelai kertas dan mulai menuIis, Tuan rumah itu menulis dengan cepat sekali, setelah itu lalu dibacanya.

"Ketiga huruf itu sama dan aku harus cepat membacanya dan menulis," katanya. Setelah selesai tabib Liok mengoreksi tulisannya, kali ini ia merasa gembira sekali. "Sekarang baru sempurna," katanya.

Siau Po merasa heran dan si tabib tetap dia saja tak bergerak, Kemudian tabib itu kembali mengambil kertas dan mulai menulis. Hanya kali ini ia menulis agak pelan terlihat dengan gelengan-gelengan kepalanya seraya membaca tulisan ini dengan perlahan.

Siau Po mendengar dengan samar-samar kata yang diucapkan oleh tabib itu yakni "Sin Liong To yang berarti pulau malaikat atau naga sakti dan ka "Hong Kaucu", serta usianya sama dengan usia langit" dan yang terakhir yaitu kata "Bahagianya pertama di gunung... dan yang ke dua di gunung.. sama sekali tidak menyebutkan nama gunung d nama tempatnya.

"Ah, aku ingat," pikir anak muda itu. Dia berbicara sendiri setelah itu ia berbicara dengan Cun Cia di kuil Pao Ci Si, sewaktu ia ingin loloskan diri, hingga ia berbicara secara sungguh-sungguh, tetapi siapa sangka ia malah mendapatkan pujian, pikirnya pula.

Ketika itu aku diajak Ay Cun cia untuk menghadap Hong Kau Ju di Si Liong To. Aku tidak sudi ikut padanya dan ternyata aku dapat sampai pada pulau ini. Bagaimana jika 

Hong Kaucu gusar? Jangan-jangan aku dan Pui akan dimasukkan ke dalam lobang ular, dan aku akan dikeroyok oleh ular-ular itu hingga tak tersisa daging dan tulangku..!

Mengingat demikian, Siau Po jadi bergidik, ia dapat membayangkan seandainya dirinya dililit beribu-ribu ular.

Lalu tampak tabib Liok berpaling, wajahnya terlihat sangat gembira.

"Wi Kong cu kau kenal huruf-huruf yang bagaikan katak itu, kau sungguh menggembirakan dan sepatutnya diberi selamat! itu pun bertanda yang sangat baik bagi Hong kaucu mirip dengan langit dan Tuhan telah menjelmakan engkau sebagai anak gaib karena engkau dapat membaca tulisan pada batu itu," katanya sambil tersenyum.

Siau Po merasa tak enak hati.

"Jangan kau permainkan aku!" katanya.

"Sebenarnya aku hanya bicara sembarangan untuk menipu Tautoo cebol, Karena kau telah mengetahui kepalsuanku, sebaiknya kau secepatnya membunuh diriku.,.!"

Tabib Liok tertawa.

"Jangan terlalu merendah Siau Po!" katanya pula, Dia lalu memanggil "Kong Ju" suatu sebutan untuk anak muda hartawan dan berpangkat, "lt kata-kata yang Kong Ju  bacakan di luar kepala sedangkan aku mencatatnya, Kong Ju tunjukkan mana yang salah? Nah dengarkan aku membacakannya!"

Benar-benar Tabib Liok membaca tulisan itu.

"Bagaimana ada yang salah atau tidak," tanyanya setelah selesai membaca.

"ltu toh tulisan pada batu pada jaman kerajaan Tong. Bagaimana dapat diketahui yang jelek? Di kemudian hari dapat terjelma seorang Gou Sam Kui yang hidup sebagai raja muda Peng Si Ong?"

"Siang Te Maha cerdas dan maha pandai, tidak ada yang tidak diketahuinya?" jawab si tabib dengan menyebut nama Tuhan Allah yang maha Ku (Siang Te).

"Karena bakal ada seorang Hong Kou Cu, pasti akan ada pulau Gou Sam Kui itu." Siau Po tertawa sendiri sambil mengangguk dan berkata.

"Ya, itu benar juga" di dalam hatinya.

"Entahlah apa yang sedang kau pikirkan sebenarnya. "

Tabib Liok berpikir dan berkata.

"Tulisan di batu itu tak dapat dibaca asal meskipun hanya satu hurup, Kong Ju cerdas meskipun demikian pasti Kong Cu telah dibantu oleh Siang Te, maka Kong Cu dapat membacanya, Aku pikir Kong Cu membacanya, sebab nanti jika Kong Cu dipanggil Hong Kaucu, Kong Cu dapat membacanya diluar kepala dengan lancar dan jelas, tanpa ada salah, jika itu benar pasti Kong Cu akan mendapatkan hadiah yang sangat besar."

Mendengar demikian Siau Po mengerti dan memahaminya bahwa Ay Cun cia dan tabib Liok pasti sudah melaporkan pada Hong Kaucu, Tentang janji itulah sangat berbahaya, Bagaimana kalau rahasianya terbuka? Rupanya mereka jadi khawatir jika nanti terjadi, maka mereka sengaja merencanakan itu.

Lalu tabib Liok berkata.

"Sekarang mari aku bacakan, baris demi baris dan kamu mendengarkan lalu yang salah kamu perbaiki, aku tidak ingin ada satu huruf pun yang salah dari tulisanku ini."

Mau tidak mau Siau Po harus menurut, sebab ia sedang dalam ancaman maut, Dasar ia cerdas ia dapat membaca, hanya ada beberapa yang salah, tetapi ia membaca terus, sedangkan si tabib mendengarkan dan memperbaikinya maka akhirnya, setelah ia membaca lebih dari sepuluh kali akhirnya tidak terdapat kesalahan lagi. Malam itu Siau Po tidur di rumah tabib Liok, Paginya selesai bersantap ia menghapal kembali kata-kata itu.

Tabib Liok gembira mendengar Siau Po dapat membacanya, tapi ia belum merasa puas, Dia menulis lagi dan mengajarkan huruf demi huruf agar ia mengenal mana "wi" dan "Ceng" dan semuanya.

Di dalam hati Siau Po mengeluh, Dia harus dapat menyatukan huruf yang satu dengan huruf yang lainnya, Kecuali itu ia tidak tahu apakah tabib Liok menulis sembarangan saja, maksudnya aga nanti dapat menyenangkan hatinya.

Lama juga Siau Po mengenali kata demi kata. Sampai siang hari ia baru dapat menghapal enam huruf, sore tujuh huruf dan malamnya enak huruf. Selama itu ia mengalami kesulitan hingga ia melempar penanya, dan tabib Liok mengambilkannya. sedangkan Pui Ie diminta duduk di dekatnya untuk menemaninya.

Sambil mengajari, hati tabib Liok selalu khawatir kalau-kalau ia dipanggil Hong kaucu, Kalau Siau Po belum mengenal huruf-huruf itu ia akan mendapatkan bahaya, begitu juga dengan keluarganya.

Dalam belajar Siau Po sangat sulit ia ingin secepatnya dapat memahami kata demi kata, lewat beberapa hari ia baru dapat mengenal seratus huruf dan tiba-tiba dia mendengar suara orang memanggilnya.

"Liok Sin Se, Kau cu memanggil Wi Kongcu datang menghadap." itulah suara Ay Cun cia.

Tabib Liok kaget sekali hingga mukanya mendadak kaget dan tangannya bergetar hingga pena yang ada di tangannya jatuh ke bajunya,

Habis memanggil, Ay Cun cia lalu masuk.

Siau Po menyambutnya sambil tertawa dan berkata.

"Eh, Ay Cun cia, kenapa baru kali ini aku kau jemput? Kau tahu, aku sudah lama menantimu menjemputku!"

Sementara itu Ay Cun cia menatap wajah Tabib Liok. Dia menerka ada suatu kesulitan.

"Memang aku mengetahui kau mengacau balau, Kau main gila, tetapi kau ingin membangun jasa besar. Aku khawatir kau nanti akan mati lebih awal."

Tabib Liok tertawa dingin dan berkata pula pada si tamu tadi.

"Kau pun sama saja. Aku si orang Si Liok, rumah tanggaku terdiri dari delapan jiwa, biarlah semuanya ikut denganku ke lain dunia...!" katanya. Ay Cun cia menarik napas lalu ia pun berkata.

"Kalau nasib kita begini kita memang sukar untuk meloloskan diri. Tetapi kau harus tahu meski tak ada peristiwa ini, tak mungkin kaucu membiarkan kita hidup lebih lama meski beberapa hari...!"

Tabib Liok melirik Siau Po dan berkata.

"Ya kalau nasib apa mau dikata dasar mau mati. "

Mendengar suaranya tabib ini merasa putus asa. Ay Cun cia menghela nafas pula dan berkata.

"Aku tadinya mengira, karena dia masih kecil. Dia membawa sukanya kaucu, namun tak disangka. "

"Dia kecil, bahkan masih terlalu kecil." kata tabib Liok.

Siau Po bingung, dia tidak dapat membaca perkataan itu dan terdengar pula suara Ay Cun cia.

"Saudara Liok, karena hal ini akan terjadi, apa yang harus kita lakukan. Kita berjanji susah dan senang kita tanggung bersama, bagi laki-laki sejati! Mati ya mati. !"

Siau Po menepuk tangan.

"Ay Cun cia benar!" katanya. "Kalau seorang laki-laki sejati, apa yang harus ditakuti? Aku tidak merasa takut. Oleh karena itu kalian tak perlu takut."

Liok Sin Se tertawa dingin.

"Siau Po tak tahu apa-apa," katanya dengan suara keras.

"Kau tidak tahu langit itu jauh dan bumi itu tebal. Nanti, setelah kau mengetahui apa itu tak kau baru berkata itu biasa!" ia lalu menoleh pada Ay Cun cia dan berkata pula.

"Ay Cun cia tunggulah sebentar, aku akan memberikan pesan pada istri dan keluargaku!"

Habis berkata ia pun lalu masuk, Ketika le beberapa detik Liok pun ke luar, tampak ada bel air mata di pipi nya.

Melihat demikian Ay Cun cia jadi tertawa. "Nyata terkaanku sama dengan terkaan malaikat katanya." "Aku telah menduga bahwa suatu waktu akan datang hari yang seperti ini dan untuk itu aku tak ingin menikah dan tidak ingin mempunyai anak, jadi bagiku tidak ada yang diberati."

Tabib Liok gusar hingga ia mengangkat sebelah tangannya dan mengancam. Siau Po kaget sekali dan ia berseru.

Perlahan-lahan tabib Liok menurunkan tangannya yang sudah diangkat. Tampak telapak tangannya sudah berubah warna kecoklatan, itu yang membuat Siau Po menjadi khawatir.

"Apakah pada waktu begini kita masih dapat bergurau?" tanya si tabib. Ay Cun cia malah tersenyum, "Ya. Aku yang salah." ujarnya.

"Saudara Liok, mari bagi aku pil Tok Liong Wan buatanmu barang sebutir...!"

Tabib Liok mengangguk dan ia pun merogoh kantung untuk mengambil pil yang diminta itu.

"Asal obat ini sudah masuk ke dalam mulut dan tertelan, orang akan segera mati, untuk itu jangan kau sembarang dalam menggunakannya!" ujarnya.

Ay Cun cia mengambil sebutir.

"Terimakasih!" katanya sambil tertawa. "Poan Tau To juga memandang jiwanya sendiri berharga sekali."

Siau Po mengamati gerak-gerik orang itu, ia lalu sadar akan gentingnya suasana itu, Selama mengalami perjalanan dari Siau Lim Pai, tampak nyata kegagahannya, akan tetapi saat ini ia meminta pil racun untuk dirinya cuma disebabkan ia takut pada Hong kaucu. Jadi ia pikir orang itu akan membunuh diri bila saatnya telah tiba, baru ia mengerti keadaan dan ia pun takut.

Selagi mereka berjalan ke luar rumah Siau Po mendengar samar-samar suara tangis dari dalam rumah itu.

"Apakah Nona Pui tidak ikut bersama mereka?" pertanyaan itu yang didengar dari dalam rumah, dan ia pun ingat pada Pui Ie.

"Kau masih begini kecil tapi sudah pandai bermain asmara." kata Ay Cun cia tertawa. "Di gunung Ngo Tay san ada Song Ji dan di sini adapula Nona Pui."

Selesai berbicara dia memegang tangan Siau Po dengan tangan kirinya dan lalu berkata dengan suara keras. "Mari berangkat!" Lantas dia berjalan dengan langkah lebar ke arah timur.

Liok Sin Se mengikutinya dengan wajah suram dan terus mendampingi si kakek gagah itu.

Siau Po menjadi kagum sekali, Tak disangka si tabib yang berbadan lemah itu ternyata mempunyai ilmu silat yang cukup sempurna dan itu terbukti dengan larinya yang sangat cepat sekali.

Siau Po lalu berkata sendiri.

"Liok San Se, Ay Cun cia, kalian memiliki ilmu silat yang sangat sempurna, mengapa kalian harus takut pada Hong Kau cu?"

Ay Cun cia mengulurkan tangan kanannya untuk membekap mulut Siau Po. "Di atas pulau Sin Liong to ini kau berani mengeluarkan kata-kata dan kau 

mendurhakai ini," tegurnya bengis, "Apakah kau sudah bosan hidup?"

Siau Po diam saja, dia hanya dapat mengeluarkan kata-katanya dalam hatinya saja dan merasa dongkol.

"Setan alas! Kau berani menyindir aku secara tajam. Apakah dengan demikian kau dapat disebut seorang enghiong? Kau justru lebih hina dari anjing!"

Mereka bertiga menuju sebuah puncak gunung di sebelah timur pulau, puncaknya tinggi dan ramping. Belum begitu lama mereka berjalan, Siau Po menyaksikan sesuatu yang menggidikkan hatinya, Di segala tempat terdapat ular berbisa tetapi anehnya kesemuanya takut pada Ay Cun Cia dan Liok sin she.

Dan setelah berjalan jauh mereka sudah hampir sampai, tampak di depan mereka sebuah bangunan di atas puncak, Bangunan itu terbuat dari bambu dengan atap yang besar. Di sana mereka dibawa dan tetap saja Ay Cun cia dan sang tabib itu berlari seperti semula cepat dan tangkas.

Hanya beberapa waktu saja mereka telah sampai pada puncaknya dan mereka disambut oleh empat orang anak muda yang tangannya saling berpegangan dan semuanya menggendong pedang Usia mereka kurang lebih dua puluh tahun.

"Poan Tau To, mau apa bocah cilik ini?"

Dia masih muda, tapi memanggil Siau Po, A Cun dan tabib itu bocah.

Ay Cun cia menurunkan Siau Po yang sewaktu naik ke puncak digendongnya. "Kaucu memerintahkan untuk memanggil Siau Po, beliau ingin menanyakan sesuatu 

kepadanya." Dan dari arah lain datang tiga orang wanita berbaju merah. Mereka datang dengan wajah berseri dan menanyakan kepadanya.

"Eh, Poan Tau To, apakah anak ini yang kau dapatkan dari istrimu yang di luar pernikahan itu.” Sambil berkata itu ia pun mencubit pipi Siau Po.

"Ah, Nona bergurau saja!" sahut Ay Cun cia.

"Anak ini sengaja dipanggil kaucu karena ada masalah penting yang akan ditanyakan padanya."

Baik anak muda itu maupun wanitanya memanggil "Poan Tau To" pada Ay Cun cia, jelas mereka mengira ia bersenda gurau.

Seorang nona mencubit pipi kanan Siau Po sambil berkata.

"Anak ini mempunyai wajah yang tampan dan pasti ini anak dari Poan Tau dengan wanita itu dan tak usah menyangkalnya."

Kalau tadi Siau Po diam saja, kali ini sudah tak tahan menerima penghinaan itu dan ia pun berkata.

"Akulah anak di luar pernikahan yang dilahirkan olehmu, Kau telah berlaku serong dan main gila dengan Poan Tau To maka itu lahirlah aku."

Semua muda mudi itu diam saja dan mereka berdiri terpaku. Hebat perkataan bocah itu, tetapi hanya sebentar dan mereka semuanya tertawa, lain halnya dengan si nona yang menyapa itu, Wanita itu menjadi marah.

"Cis." Dia meludah dengan suara dongkol.

"Kau mau mampus yah!" Sambil berkata begitu tangannya melayang ke arah Siau Po.

Siau Po mengelit dari serangan itu.

Dan ketika itu pula, Datanglah segerombolan muda mudi yang mendengar berisik. Mereka lalu mendekat dan menggoda si nona yang berwajah merah sedang menahan amarah, Nona itu menyerang dengan tendangan ke arah pinggul Siau Po.

"Oh, ibu! Mengapa kamu menyerang anakmu?" seru Siau Po yang berkelit dan terus menggodanya.

Maka lagi-lagi mereka semua tertawa geli, justru itu mendadak terdengar suara teriakan dan mereka semua berhenti tertawa lalu berlarian menuju rumah bambu.

"Kaucu cia hendak berkotbah." kata Ay Cun cia lalu membimbing Siau Po. "Sebentar lagi kita akan menghadap kaucu cia dan kuminta agar kau jangan sembarang berbicara!"

Siau Po mengangguk, di dalam hatinya merasa kasihan, muda mudi itu tadi sama sekali tak menghormati pada Ay Cun cia.

Lalu dari keempat penjuru lari berdatangan ke gubuk bambu itu.

Tabib Liok dan Ay Cun cia menuntun Siau Po menuju rumah itu dan memasukinya. Mulanya mereka berjalan di sebuah lorong panjang kemudian sampai di sebuah ruangan, Ruangan itu besar sekali dapat memuat seribu orang.

Sudah lama Siau Po tinggal di istana, tapi tak pernah melihat ruangan yang sebesar itu, Maka mau tak mau dia merasa hormat dan kagum.

Di dalam ruangan itu terdapat muda mudi, Mereka semuanya duduk berkelompok menurut warna pakaian mereka yaitu, hitam, kuning, hijau, dan putih. Ada satu lagi yaitu merah, dan itu yang dipakai oleh para wanitanya.

Semua muda-mudi itu memegang golok masing-masing, dan setiap kelompok terdiri dari seratus orang atau lebih.

Di tengah-tengah Toa Tia terdapat dua buah kursi. Kursi itu juga terbuat dari bambu, tetapi dihiasi dengan ukiran yang indah dan bagus serta dilapisi dengan alas sulam. Di kanan dan kirinya berbaris puluhan orang laki-laki dan wanita, Usia mereka yang muda kira-kira tiga puluhan, dan yang tua kira-kira lima puluh sampai enampuluh tahun, Hanya mereka tidak memegang senjata.

Jumlah yang hadir kira-kira enam ratus orang, Ruangan itu sunyi bahkan yang batuk atau berdehem pun jarang.

Siau Po heran dan berkata dalam hatinya.

"Sunggun gila! Sungguh bertingkah! ini berIebih-lebihan seperti seorang raja saja."

Tak lama kemudian terdengar suara gendang dipukul dan bersamaan dengan itu terdengar pula derap suara kaki yang datangnya dari arah ruangan dalam menuju ruangan tengah.

Pikir Siau Po dalam hati. "Pastilah yang datang itu si kaucu, Hantu sedang keluar!"

Kira-kira yang muncul itu sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan mengenakan pakaian dengan lima warna, Kemudian mereka menempati tempat di samping kursi itu.

Lewat beberapa detik kembali terdengar suara gendang, dan kali ini disambut dengan suara kelenongan yang mungkin jubahnya seratus buah. Setelah suara kelenongan itu berhenti semua yang ada di ruangan itu bertekuk lutut sambil berkata.

"Semoga kaucu berbahagia dan panjang usia sama dengan langit!"

Siau Po ikut berlutut hanya tidak ikut dengan puji-pujian itu. Bahkan sebaliknya ia mencuri pandangan hingga ia melihat dari ruang dalam muncul dua orang pria dan wanita yang terus duduk berdampingan pada tempat yang telah disediakan itu.

Kembali suara kelenongan dan para hadirin bangun dari berlututnya secara perlahan-lahan.

Si laki-laki berwajah buruk sekali kumis dan janggutnya putih panjang sampai dada serta pada wajahnya terdapat codet bekas luka, Siau Po pun menerka, mungkin ini yang disebut kaucu atau raja agama.

Wanita yang mendampingi laki-laki berjanggu panjang itu sangat cantik, genit, penuh senyum dan usianya kira-kira dua puluh limaan.

Dalam hati Siau Po berkata. "Wanita itu cantik dan lebih cantik dari kakakku."

Lalu di sebelah kirinya tampak seorang laki-laki membacakan sebuah surat dari kertas hijau.

"Membacakan dengan hikmat ajaran Hong kau cu karena pengaruhnya sudah sampai keempat penjuru dunia bunyinya, kemustajaban pil emas sudah tak dapat ditandingi lagi."

Serentak para hadirin mengikuti pembacaan itu dengan suara keras.

Siau Po heran sekali, dia terkejut dan bagaikan guntur Siau Po mendengar kata-kata itu.

Si baju hijau membaca lebih keras lagi.

"Sunggun beruntung kita menemukan guru yang maha pandai, kita diajarkan bersemedi dengan duduk bersila untuk menyingkirkan kesulitan agar kita dapat hidup lebih lama."

Di dalam hati Siau Po tertawa.

"lni mirip pembacaan doa oleh seorang pendeta, apa sih Kaucu." Kembali bacaan itu diulangi oleh para hadirin dengan suara lantang.

Selesai membaca itu para hadirin menambahkan lagi. "Ajaran kaucu selalu kami ingat dalam hati kami dan kami doakan agar kaucu panjang umur." Diam-diam Siau Po memperhatikan para muda mudi. Mereka sangat bersungguh- sungguh. Lain halnya dengan si kaucu, dia tampak tenang saja dan dingin, Yang lebih aneh lagi para wanitanya, mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh tetapi sambil senyum-senyum, Setelah itu suasana kembali tenang.

Dalam saat sunyi itu si wanita terus saja memandang ke barat dan timur, wajahnya berseri dan berkata.

"Hek Liong Su dari Hek Liong Bun hari ini telah tiba hari perjanjian dan untuk itu silahkan kau persembahkan kitab-kitabmu!"

Suara wanita itu tenang tetapi jelas dan juga merdu, sangat indah didengarnya, Kemudian ia menjulurkan tangan kirinya untuk menerima kitab yang ia sebutkan itu.

Siau Po mengamati tangan yang putih dan mulus itu hingga tak terasa ia pun berkata dalam hatinya.

"Wanita itu telah berusia cukup tua tetapi tidak ada cacatnya, jika saja ia menjadi istriku,,., Coba pergi ke Li Cun Wan untuk jadi pelacur, pastil para hidung belang itu pada lari ke tempat itu dan pastilah tempat itu akan penuh oleh orang itu dan kemungkinan pintunya akan jebol karena terlalu banyak orang yang datang."

Setelah itu si tua maju dua langkah sembari membungkuk pada si nyonya itu dan melaporkan.

"Harap Hu Jin mengetahui Menurut berita dari kerajaan, sekarang ini sudah diketahui di mana sebenarnya keempat jilid kitab itu dan sekara sedang dicari dengan sungguh- sungguh buat menuruti ajaran dari kaucu, Untuk itu kami tak menghiraukan jiwa kami, pasti kitab tersebut akan dicari sampai dapat, guna dihaturkan pada kaucu serta Hu Jin."

Orang itu membahas tentang "Hu Jin" nyona yang dimuliakan. Dia berbicara dengan suara bergetar, itu pertanda bahwa ia sangat takut sekali.

Si Hu Jin sebaliknya tersenyum dan ia berkata.

"Kaucu sudah menambah waktu tiga hari, Liong Su mengapa kau masih panik? Kenapa kau tidak bekerja dengan sungguh-sungguh? Bukankah itu bertanda kau tidak setia pada kaucu?" 

Hek Liong Su menjura dalam dan katanya, "Hamba telah menerima budi sangat besar dari kaucu dan Hu Jin, biarkanlah tubuh ini hancur lebur, sebab budi itu sukar untuk dibalas, Maka itu hamba tak berani untuk tidak bekerja dengan sungguh-sungguh, sebenarnya hal ini sangat sulit, dari enam orang hamba yang diperintah menyelidiki istana, dan dua diantaranya Song Beng Gi dan Liu Yan telah mengorbankan jiwanya dan untuk itu hamba mohon agar Hu Jin dapat memberikan waktu yang cukup lama lagi."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar