Kaki Tiga Menjangan Jilid 38

Jilid 38

Tepat pada saat itu, Siau Po segera melompat satu tindak untuk mundur ke belakang,

Tosu itu terkejut setengah mati, Dia mengulurkan tangannya untuk menjambret bocah itu, Tapi empat orang hwesio dari Siau Lim Sie yang ada di kiri dan kanan segera maju mengibaskan tangannya yang sedang meluncur itu.

Dengan demikian, dia terpaksa membela dirinya terlebih dahulu,

Siau Po berhasil lolos, dia segera bersembunyi di belakang para hwesio lainnya, sedangkan empat hwesio lagi segera berhambur ke depan untuk memberikan bantuan kepada para rekannya. sekarang Ay Cun cia dikepung oleh delapan orang hwesio yang langsung melancarkan serangan kepadanya. 

Kena atau tidak, dia tetap diserang, Dengan demikian ke delapan hwesio itu seperti bukan menghadapi lawan, mereka seakan sedang mengajak si tosu berlatih silat.

Ay Cun cia mengadakan perlawanan sepasang tangannya digunakan untuk melindungi diri dari serangan delapan orang lawan, Kadang kala dia membalas menyerang, Tampaknya dia sanggup mempertahankan diri, Tidak tampak tanda-tanda dia keteter atau kewalahan Satu kali dia menoleh ke arah batu besar berukiran itu, tangannya langsung terhajar oleh seorang hwesio, tapi dengan lincah dia bisa membalasnya. 

Hwesio yang satu ini segera mengundurkan diri untuk digantikan oleh seorang kawan nya.

Lewat beberapa jurus, paha Ay Cun cia kena tendangan. Dia segera membalas dengan menghantamkan kedua tangannya ke depan berulang-ulang. Dengan demikian ke delapan hwesio itu menyurut mundur.

"Tahan!" teriaknya kemudian

Delapan hwesio itu menyurut mundur lagi dua langkah, kemudian mereka memperhatikan si tosu lekat-lekat. "Hari ini aku yang hanya seorang diri tidak dapat melawan kalian yang jumlahnya jauh lebih banyak," kata Ay Cun cia terus terang, "kitab ini aku serahkan kepada kalian." Dia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan kitab yang dimaksudkan.

Teng Sim mengerahkan tenaga dalam untuk mempersiapkan diri apabila terjadi hal- hal yang tidak diinginkan Kemudian dia baru mengulurkan tangan kanannya untuk menyambut kitab yang disodorkan. 

Di luar dugaan, ternyata Ay Cun ia benar-benar menyerahkan kitab itu tanpa melakukan tindakan apa-apa, malah tosu itu tersenyum

"Teng Kong taysu!" katanya, "Kalian delapan belas Lo han dari Siau Lim Sie mempunyai nama yang telah menggetarkan kolong langit Kalau kalian delapan belas orang menghadapi aku seorang diri, apakah kalian tidak merasa merendahkan diri sendiri?"

Teng Kong yang ditegur segera merangkapkan sepasang tangannya.

"Maaf!" katanya sambil membungkuk dalam-dalam "Kalau kami menghadapimu satu per satu, terus terang kami bukan tandinganmu," kemudian dia mengulapkan tangan kirinya, Rekan-rekannya yang lain langsung mengundurkan diri melihat isyarat itu.

Mereka khawatir si tosu akan mencekal Siau Po lagi, Karenanya, enam orang hwesio segera mengelilinginya dengan maksud melindungi.

Ay Cun cia membalikkan tubuhnya ke arah Siau Po.

"Wi sicu," katanya dengan nada sabar. "Ada sebuah permintaan yang ingin aku ajukan Aku harap kau bersedia mengabulkannya." 

"Urusan apa?" tanya Siau Po,

"Aku ingin mengundang kau ke pulau Sin Liong to selama beberapa hari sebagai tamuku." Tosu itu menjelaskan permintaannya,

Siau Po terkejut setengah mati. Para hwesio dari Siau Lim Sie pun heran mendengarnya,

"Apa?" tanya Siau Po. "Kau ingin mengundang aku ke pulau Sin Liong to? Untuk apa? Tempat itu. "

"Harap kau jangan salah paham, Wi sicu," kata Ay Cun cia, "Aku sudah menyerahkan kitabmu kepada Teng Kong taysu, dengan demikian urusan di antara kita telah selesai Kalau kau bersedia datang ke Sin Liong to, kami para anggota Sin Liong kau, baik yang tua maupun yang muda akan menerimamu dengan penuh kehormatan. Setelah kau bertemu dengan Hong kaucu, kami akan meng antarkan kau pulang dengan selamat tanpa kurang sesuatu apa pun." Sembari berkata, tosu itu menatap Siau Po lekat-lekat.  Dia sadar bocah itu masih merasa ragu-ragu atau kurang percaya. Cepat-cepat dia melanjutkan kata-katanya.

"Aku harap Teng Kong taysu bersedia menjadi saksi! Kata-kata yang telah diucapkan Ay Cun ci bukan sekedar bualan belaka."

Teng Kong tahu tosu itu memang termasuk golongan sesat, tapi dia tidak pernah melakukan kejahatan besar. Dia bersama sahabatnya yang bertubuh pendek gemuk memang selalu memegang teguh kata-katanya.

"Apa yang Cun cia katakan, memang dapat di percaya. Hal ini diketahui baik oleh semua orang, Tapi, Wi sicu ini sedang mempunyai urusan yang penting, Mungkin untuk sementara belum sempat dia datang ke pulau Sin Liong To.,,."

"BetuI! Aku memang mempunyai urusan yang penting sekali." tukas Siau Po cepat. "Lain kali apabila aku mempunyai waktu luang, aku pasti akan datang ke pulau Sin Liong to untuk menjenguk Ay Cun cia serta Hong kaucu."

"Kau harus mengatakan Hong kaucu dan Poa tauto sebawahannya," cela Ay Cun cia. "Di kolong langit ini, tidak ada seorang pun yang boleh ada di atas Hong kaucu, jangan sekali-kali menyebut nama orang lain di depan nama beliau, perbuatan itu benar-benar tidak menghormat dan merupakan hal penting yang harus diingat!"

Siau Po tertawa.

"Bagaimana dengan Sri Baginda raja?"

"Tetap Hong kaucu terlebih dahulu baru kaisar." sahut Ay Cun cia, Nadanya jelas dan tegas, seakan sebuah pernyataan yang tidak dapat diganggu gugat. "Hal kedua yang harus diperhatikan adalah, di hadapan Hong kaucu, tidak boleh memanggil seseorang dengan sebutan Cun Cia atau cin jin. Di dunia ini hanya ada seorang Hong kaucu yang kedudukannya paling tinggi dan agung.

Siau Po sampai meleletkan lidahnya saking heran dan kagum

"Kalau Hong kaucu benar-benar begitu hebat, aku semakin tidak berani menemuinya," katanya. 

"Tapi Hong kaucu orangnya penuh welas asih dan penyayang." kata Ay Cun cia menjelaskan "Beliau telah melepas budi ke seantero dunia ini, Orang seperti engkau ini, Wi sicu, berotak cerdas, gesit dan masih muda, Hong kaucu pasti senang melihatmu Kalau kau mengadakan perjalanan ke Sin Liong To, aku yakin sepulangnya kau akan mendapatkan banyak keuntungan Hong kaucu pasti akan memberikan hadiah yang istimewa buatmu. Hal itu tidak perlu dikatakan lagi. Bahkan, ada kemungkinan, bila hati Hong kaucu sedang gembira, dia akan mengajarkan kau satu dua jurus ilmu yang sakti, Dengan demikian, kelak kau akan menjadi orang yang paling gagah dan jago di kolong langit ini, seumur hidupmu kau akan merasakan kesenangan yang tidak terkirakan " Ay Cun cia bicara dengan tampang serius, perubahan sikapnya ini sungguh mengejutkan Padahal tadinya dia tidak memandang sebelah mata pada Siau Po, bahkan ingin menginjak kepalanya sehingga hancur lebur seperti bubur.

Sekarang dia memuji Siau Po gagah dan cerdas. Dia juga selalu memanggil Siau Po dengan sebutan sicu, malah dia takut suaranya kurang jelas sehingga ketika berbicara dia membungkukkan tubuhnya sedikit agar dekat dengan telinga si bocah.

Sementara itu, Siau Po teringat akan pesan To Hong Eng. Terutama ketika berada di rumah keluarga Cung, dia telah melihat gerak gerik Ciong losam dan rekan-rekannya, Dia juga teringat akan ibu suri, Liu Yan serta laki-Iaki yang menyamar sebagai dayang, Karena itu, kesannya terhadap Sin Liong kau memang sudah kurang baik. 

Tapi dia harus mengakui bahwa di antara para anggota Sin Liong kau yang pernah dia temui, Ay Cun cia inilah terhitung yang paling jujur dan poIos. Dia juga sportif, hanya sayang dia juga agak sembrono dan wataknya keras kepala.

- Sekarang dia mengundang aku ke Sin Liong To, tampaknya dia mengandung maksud kurang baik....- pikirnya dalam hati, - Kata-katanya sekarang memang manis dan sungkan, mungkin saja karena dia jeri menghadapi ke delapan belas Lo han dari Siau Lim Sie ini, Tapi kalau para hwesio ini sudah pergi, kemungkinan dia akan memperlakukan aku dengan sewenang-wenang! Kalau hal itu sampai terjadi, siapa yang dapat mengendalikannya lagi? Siapa yang dapat menolong aku? --Karena berpikir demikian, dia segera menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak mau pergi," katanya menolak undangan si tosu.

Wajah Ay Cun cia langsung berubah kelam dan mengandung penyesalan. Perlahan- lahan tosu itu menegakkan tubuhnya dan matanya menatap ke arah delapan hwesio dari Siau Lim Sie dan berkata dengan suara lirih.

"Sicu kecil," katanya, "Bagaimana menurut pandanganmu bila ilmu silatku dibandingkan dengan ke delapan belas orang taysu ini?"

"Masing-masing ada kelebihannya." sahut Siau Po.

"Masing-masing ada kelebihannya?" tanyanya mengulangi dengan nada gusar dan mata mendelik, “Bagaimana kalau mereka disuruh bertarung denganku satu per satu?"

"Kalau satu lawan satu, mungkin kau yang menang," sahut Siau Po. “Tapi kalau satu lawan delapan belas, sudah pasti kau yang kalah, itulah sebabnya mengapa aku mengatakan kalian mempunyai kelebihan masing-masing. Kalau satu lawan satu masih kau yang kalah juga, apalagi yang harus dibandingkan?"

Meskipun ucapan Siau Po selalu berputar balik ke sana ke mari, tapi Ay Cun cia tidak menjadi marah, dia malah tertawa. "Pernahkah kau melihat orang yang ilmunya setinggi ilmuku?" tanyanya pada Siau Po.

"Tentu saja pernah," sahut Siau Po cepat dan lancar "llmu kepandaianmu juga biasa- biasa saja: Orang yang kepandaiannya lebih hebat sepuluh kali lipat darimu saja, aku sudah cukup banyak melihatnya."

Siau Po masih saja memutar lidahnya yang tajam. Bocah itu memang pandai melihat gelagat sembari berbicara, dia memperhatikan orang tosi itu lekat-lekat, Tidak tampak perasaan takut sedikit pun pada dirinya,

Tiba-tiba Ay Cun cian menjadi marah kembali sekonyong-konyong dia menjulurkan tangannya ke depan untuk membekuk Siau Po.

Begitu tosu itu melompat ke depan, empat orang hwesio segera mengeluarkan suara pujian kemudian maju menghadang sehingga gagallah serangan si tosu.

"Ayo, katakan!" teriak Ay Cun cia. "Siapa yang lebih lihay sepuluh kali lipat dari aku?"

Sebenarnya Siau Po hanya sembarangan mengoceh saja, Ditanya sedemikian rupa, dia jadi terdiam. Memang dia belum dapat membayangkan siapa orangnya yang lebih jago dari tosu ini. Kemungkinan gurunya sendiri, Tan Kin Lam, belum tentu sanggup mengalahkan Ay Cun cia.

Melihat bocah itu terdiam, puaslah hati si tosu, "Lihat!" katanya, "Kau tidak sanggup menyebutkan siapa orangnya, bukan? Kau memang sembarangan mengoceh, bukan?"

Siau Po cerdas sekali, Dalam keadaan terdesak, memang dia sempat bingung, Tapi otaknya langsung berputar. Sesaat kemudian, dia segera berkata.

"Siapa bilang aku tidak bisa menyebutkannya? Tadinya aku hanya berpikir tidak ingin memberitahukannya kepadamu Aku khawatir kau akan terkejut setengah mati. Baiklah, sekarang aku akan memberitahukannya kepadamu, Orang yang jauh lebih gagah dan hebat dari padamu yakni Tan Kin Lam, Cong tocu dari Tian Te hwe. Aku pernah menyaksikan dia bertarung melawan empat orang tosu di kota Pe King, Dengan kedua tangannya dia menyambar ke empat tosu itu. Bayangkan saja, setiap tosu beratnya mungkin paling tidak dua atau tiga ratus kati. Tapi begitu menghentakkan kakinya, dia sanggup melompati tembok kota dengan menenteng empat orang tosu itu. Dibandingkan dengan Cong tocu itu kau pasti masih kalah jauh."

"Huh!" Ay Cun cia mendengus dingin, Dia memang pernah mendengar nama besar Tan Kin Lam, tapi dia ragu kalau orang itu demikian lihay sehingga sanggup menenteng empat orang tosu sekaligus sedangkan tangannya hanya sepasang.

Apalagi sambil melompati tembok kota. Karena itu dia tertawa mengejek. "Kau hanya membual!" Orang kedua yang ilmu silatnya tinggi sekali ialah seorang nyonya muda yang disebut Sio Kian (si kaki kecil) dari Kang-lam. Sembari berbicara Siao Po melirik ke arah Song Ji. Gadis itu menggoyang-goyangkan tangannya agar dia jangan melanjutkan kata-katanya.

Tapi Siau Po tidak memperdulikannya. "Nyonya muda itu pernah bertarung melawan tiga puluh enam orang tosu dari Bu tong pay. Dia dikurung oleh tiga puluh enam orang tosu itu. Entah apa nama barisan mereka itu..."

"Para tosu itu bertangan kosong atau mengunakan senjata?" tanya Ay Cun cia. "Pedang." sahut Siau Po.

"Barisan itu dinamakan Cin Bu Kiam Tin, ilmu barisan rahasia dengan pedang Cin Bu." kata Ay Cun-cia menjelaskan.

"Oh, Poan tauto, ternyata pengetahuanmu luas sekali dan kaupun sudah banyak pengalaman, sehingga kau tahu tentang barisan Cin Bu Kiam. Ketiga puluh enam tosu itu mengurung si nyonya muda dengan masing-masing mencekal sebatang pedang. Sedangkan di pihak si nyonya, selain bertangan kosong, dia juga menggendong seorang anak..."

Ay Cun ia tertegun mendengar keterangan Si Po.

"Apa ?" tanyanya seakan kurang percaya dengan pendengarannya sendiri. “Nyonya muda itu menggendong seorang anak. Dan dia melakukannya sembari bertarung dengan para tosu dari Bu tong pay?" 

"Benar." sahut Siao Po. "Memang apanya yang aneh? Nyonya muda itu malah menggendong sepasang anak kembar. Kedua-duanya lucu dan montok-montok." Sengaja Siao Po membual dengan mengangkat tinggi si Nyonya muda. Bahkan anak yang tadinya seorang sekarang malah menjadi sepasang anak kembar.

Kemudian dia menambahkan lagi. "Sembari berkelahi, nyonya muda itu juga harus membujuk kedua anak kembarnya agar jangan menangis. Dia berkata: "Anak-anak manis, jangan menangis. Kalian lihat ibumu bermain sulap!" selesai berkata, nyonya muda itu langsung menerjang ke arah para tosu itu. Gerakannya lincah sekali, tangannya menjulur ke sana kemari dengan cepat. Dalam sekejap mata dia berhasil merampas pedang para tosu itu lalu satu persatu dia menotok mereka sehingga tidak berdaya. Si Nyonya muda membiarkan anaknya membetot-betot janggut dan kumis para tosu itu sehingga mereka menjadi gusar. Sedangkan kedua anaknya justru tertawa kegirangan." 

Bu Tong Pai sama terkenalnya dengan Siau Lim Pai, mungkin hanya kalah usia saja, ilmu silatnya lihay, karena itu, sengaja Siau Po memilih partai itu sebagai bahan ceritanya sebab dia mendapat kenyataan bahwa Ay Cun cia tidak mungkin sanggup memecahkan- barisan Lo han tin. Ay Cun cia berdiam diri, tampaknya dia sedang berpikir keras, Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam.

"Aih! Di kolong langit ini ternyata ada ilmu silat yang demikian lihay!" katanya kagum dan takluk "Kepandaian nyonya muda itu pasti lebih tinggi daripada Tan Kim Lam yang hanya sanggup menenteng empat orang lawan sambil melompati tembok kota!"

Siau Po merasa puas melihat si tosu percaya dengan ocehannya.

"Biar aku katakan terus terang kepadamu, nyonya muda itu adalah ibu angkatku," katanya kemudian.

Sementara itu, hati Song Ji menjadi lega mendengar cerita Siau Po. Tadinya dia mengira Siau Po akan mengatakan tentang nyonya ketiga dari keluarga Cung yang pernah menjadi majikannya. 

Tapi setelah mendengar kelanjutan cerita Siau Po tentang si nyonya yang mempunyai anak kembar bahkan mengakui si nyonya sebagai ibu angkatnya, dia langsung sadar bahwa Siau Po hanya membual untuk mempermainkan tosu tersebut. Mana mungkin ada nyonya selihay itu di dunia ini?

Ay Cun cia justru percaya penuh dengan ocehan Siau Po. Hatinya menjadi kagum juga tercekat.

"Apa? Nyonya muda itu ibu angkatmu?" tanyanya, "Apakah nyonya muda itu dari keluarga she? Di kolong langit ini ternyata ada seorang nyonya muda yang demikian lihay tapi aku kok belum pernah mendengarnya?"

Siau Po tertawa.

"Di dalam dunia persilatan orang yang kepandaiannya tinggi, jumlahnya banyak sekali," katanya, "Umpama saja istriku ini. " Siau Po menunjuk ke arah Song Ji. "Kau 

lihat tubuhnya kecil langsing, tampaknya lemah tetapi tidak disangka dia begitu lihay, bukan?"

Wajah Song Ji jadi merah padam.

"Bukan." katanya jengah. "Wi siauya, jangan kau bicara yang bukan-bukan?"

Ay Cun cia menyadari bahwa ilmu silat gadis itu memang hebat sekali Apabila dia sendiri kurang lihay, mungkin sudah sejak semula dia roboh di tangan Song Ji. Karena kata-kata Siau Po memang ada benarnya, ia pun menganggukkan kepalanya.

"Kau benar," katanya, "Karena Sicu tidak bersedia memenuhi undangan ke pulau Sin Liong To, ya sudahlah Tidak apa-apa. Tuan-tuan sekalian, di sini Poan tauto mengucapkan selamat jalan." "Taysu, silahkan taysulah yang berangkat terlebih dahulu!" kata Siau Po cepat.

Sikap Siau Po sungkan dan penuh hormat padahal dia memang ingin tosu itu berangkat terlebih dahulu atau lekas-lekas mengangkat kaki dari tempat itu. Dengan demikian, kalau si tosu menuju ke timur, dia akan mengambil arah sebelah barat Dan kalau dia menuju ke utara, Siau Po akan mengambil arah selatan Dengan kata lain, dia tidak ingin bertemu dengan tosu itu lagi

Tapi Ay Cun cia menggelengkan kepalanya.

"Sicu, silahkan sicu berangkat terlebih dahulu!" katanya, "Aku ingin mencatat dulu bunyi huruf-huruf yang terukir di atas batu ini."

Siau Po yakin ucapannya bukan hanya sekedar dusta, Dia tadinya tidak menyangka si tosu akan percaya sepenuh hati terhadap apa yang diocehkannya, Tanpa menunda waktu lagi, dia segera mengajak Song Ji serta kedelapan hwesio meninggalkan puncak Kim Siu Hong tersebut.

Teng Sim mengeluarkan kitab Si Cap Ji Cin keng dan mengembalikannya kepada Siau Po.

"Sicu, apakah sicu benar-benar langsung pulang ke kota Pe King?" tanyanya. "Benar." sahut si bocah, "Ada apa, taysu?"

"Kami menerima perintah dari Giok Lim taysu untuk mengantarkan sicu sampai di kerajaan," sahut hwesio itu.

Mendengar kata-katanya, Siau Po senang sekali.

"Bagus, Bagus sekali," katanya, "Aku justru sedang bingung kalau tosu tadi tidak mau menyudahi urusan ini dan mengganggu aku lagi dalam perjalanan Tapi, kalau taysu sekalian melindungi aku dalam perjalanan, siapa yang menjaga keselamatan Heng Ti taysu?"

"Sicu tidak perlu mengkhawatirkan masalah itu," kata Teng Sim. "Giok Lim taysu telah mempunyai rencana tersendiri."

Siau Po menganggukkan kepalanya, sekarang dia percaya penuh terhadap Giok Lim taysu, meskipun hwesio itu bersemedi dengan memejamkan mata, tapi dia memang telah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna. Kalau ditilik dari keadaan luarnya, dia bersemedi dengan khusyuk sekali Mungkin langit runtuh pun dia tidak akan perduli Tapi sebetulnya dia tenang dan hebat. Satu hal yang pasti, dengan diantar oleh para hwesio ini, dia tidak mengkhawatirkan apa pun lagi. Mereka segera melakukan perjalanan menuju kerajaan. Pada suatu hari, tibalah mereka di luar tembok kerajaan. Di sana kedelapan belas Lohan dari Siau Lim Sie berpamitan dengan Siau Po.

"Sicu, kita sudah sampai di tujuan, sekarang kami akan kembali ke kuil kami," kata Teng Sim.

"Terima kasih, Taysu sekalian!" kata Siau Po. "Kalian sudah bercapek lelah mengantarkan aku. Kalian baik sekali Nah, terimalah hormatku!" Dia langsung menjatuhkan dirinya berlutut dan menyembah.

Teng Sim mengulurkan tangannya membangunkan Siau Po. Dia mencegah anak itu memberi hormat secara berlebihan

"Perjalanan yang kita lakukan tidak bedanya dengan berpesiar, Sicu, Sedikit pun kami tidak merasa lelah, Sungguh menarik hati melihat pemandangan alam yang indah dari Shoa Say ke kota Pe King ini. Sicu tidak perlu sungkan atau pun banyak peradatan!"

Siau Po mempunyai uang dalam jumlah yang banyak sekali. Sejak berangkat dari Ngo Tay san dia sudah menyewa sembilan belas buah kereta, Dia dan Song Ji duduk di atas sebuah kereta, sedangkan para hwesio dari Siau Lim Sie masing-masing menduduki sebuah kereta, Ie Pat diperintahkan berangkat sehari sebelumnya untuk mempersiapkan makanan, minuman, atau penginapan Para hwesio itu dilayani dengan baik sepanjang perjalanan, meskipun mereka semua Cia Cai atau berpantang daging dan makanan sayur mayur saja, tapi mereka merasa puas. Apalagi sepanjang perjalanan Siau Po memberikan tip dengan royal kepada para pelayan rumah makan maupun penginapan.

Kedua belah pihak sama-sama berat untuk berpisah, Para hwesio itu sangat menyukai Siau Po yang sikapnya hormat serta pandai membawa diri. Bahkan bicaranya pun selalu menyenangkan. Bocah itu sendiri merasa berat berpisah dengan para hwesio itu, dia sampai mengeluarkan air mata.

"Siancay! Siancay!" Teng Sim mengeluarkan kata pujian "Sicu kecil, janganlah kau bersedih hati Kalau ada jodoh, sudilah kiranya kau berkunjung ke Siau Lim Sie agar kita dapat berjumpa lagi!"

"Aku pasti akan datang" kata Siau Po sambil menangis terisak-isak.

"Sicu," kata Teng Sim kemudian "Kita akan berpisah, ijinkanlah aku berbicara terus terang, Menurut penglihatanku, tampaknya sicu terkena semacam racun. Secara diam- diam aku pernah berusaha mengusir racun itu, tapi tidak berhasil. Karenanya aku jadi heran, apa jenis racun itu sebenarnya?"

Siau Po menganggukkan kepalanya, Memang benar, sejak diracuni oleh Hay Tay Hu, sering dia merasakan nyeri di dadanya, atau lambungnya, Dan rasa nyeri itu  semakin terasa serta menjadi sering, Kalau datangnya cepat, perginya cepat pula, Karena itu penderitaannya agak berkurang, Namun, sejak dihajar oleh ibu suri, luka itu semakin parah, Tapi dia tidak menghiraukannya. Pertama karena dia masih muda, selain itu pikirannya juga terbuka dan tidak begitu mengkhawatirkannya, Sekarang, setelah mendengar ucapan Teng Sim, dia baru teringat kembali sehingga tanpa sadar dia mengucurkan air mata kembali.

"Aku dicelakai oleh dua orang jahat," katanya menjelaskan "Yang pertama menaburkan racun dalam makananku, yang kedua menghajar aku sehingga terluka parah."

Teng Sim berdiam diri sejenak, kemudian dia baru berkata lagi.

"Kalau begitu, sicu, sebaiknya kau harus banyak melakukan amal, Dengan demikian diharapkan segala yang buruk dapat diubah menjadi kebaikan Mengenai racun yang mengendap dalam tubuh seandainya kau tidak sanggup menyembuhkann silakan kau datang ke Siau Liam si, di sana aku hwesio tua akan berusaha menyembuhkannya!"

Senang sekali hati Siau Po mendengar janji ini. Dia berlutut dan menganggukkan kepalanya berkali-kali serta mengucapkan terima kasih.

"Bangunlah, sicu!" kata Teng Sim sembari membangunkannya sekali lagi. Sampai di situ, kedua belah pihak pun berpisah.

Sementara itu, Song Ji bingung mendengar pembicaraan kedua orang itu tentang luka serta racun yang mengendap dalam tubuh Siau Po.

"Siauya," katanya dengan merubah panggil nya yang sebelumnya Kongcu itu. "Ternyata kau keracunan dan terluka puIa, Bagaimana keadaan sekarang? Apakah kau masih merasakan sakitnya?"

Selesai bertanya, tanpa sempat menunggu jawaban Siau Po, gadis kecil itu sudah menangis tersedu-sedu, Hal ini membuktikan bahwa dia cemas sekali terhadap keselamatan Siau Po.

Si bocah tanggung tertawa.

"Eh, kenapa kau menangis?" tanyanya, "aku tidak merasa sakit sedikit pun." Dia mengangkat lengan bajunya kemudian digunakan untuk menghapus air mata Song Ji.

Wajah gadis kecil itu berubah merah padam, ia merasa jengah sekali.

"Siauya," katanya, "Aku rasa sebaiknya beberapa hari lagi kita pergi ke Siau Lim Sie dan minta taysu tadi mengobatimu." "Baik." kata Siau Po memberikan janjinya, "Kebetulan Teng Tong si hwesio muda baik sekali kepadaku, aku ingin bermain-main dengannya."

Di antara kedelapan belas hwesio dari Siau Lim sie yang tergabung dalam Cap Pek Lo Han, usia Teng Tong yang termuda, Dia baru berumur dua puluh empat tahun, Tetapi dia cerdas, giat, rajin, serta tekun, Belakangan ilmu silatnya mengalami banyak kemajuan sehingga terpilih menjadi salah satu anggota Lo Han Tin. Selama dalam perjalanan, ia memang cocok sekali dengan Siau Po.

Begitu tiba di kota kerajaan, Song Ji mendecak kagum, Kota itu begitu ramai dan indah, Dia sampai terpana menyaksikan segalanya.

Semasuknya ke Se Mui, pintu kota sebelah barat, Siau Po langsung mengajak Song Ji menuju hotel Ji Kwi. Dia minta disediakan kamar kelas satu dan telah merencanakan untuk membiarkan Song Ji menetap di sana saja, Dengan demikian keesokan harinya, bila dia menemui junjungannya, dia tidak kan mengalami kerepotan Dia harus memberikan laporan tentang hasil perjalanannya.

Malam itu, setelah menyuruh Songj Ji kembali ke kamarnya, gadis itu mendapatkan kamar yang terpisah Siau Po sendiri mulai bekerja, Sejak siang harinya dia memang sudah merencanakan apa yan harus ia lakukan dan semuanya pun telah dipersiapkan,

Setelah mengunci pintu, Siau Po mengeluarkan pisau belatinya yang tajam. Setelah menggeser meja, ia membuat lobang di kolong meja itu untuk menyimpan kitabnya, Kitab Si Cap Ji Ci keng telah dibungkus rapih dengan kain minjak dan dimasukkan dalam kotak baju itu segera disimpannya dalam lubang itu. Setelah dimasukkan kitab itu ke dalamnya temboknya pun dipelester kembali dengan semen yang telah disiapkan sebelumnya.

Habis menyimpan kitabnya Siau Po dapat mengeluarkan napas lega, Dia berpikir dari suatu perangkat terdiri dari delapan jilid, Dia sudah menyelesaikan tujuh jilid, Maka dia tinggal menyelesaikan satu jilid lagi kemudian dia dapat pergi ke tempat simpanan harta bangsa Boan Ciu guna mencari. Menggali dan mendapatkannya,

"Tetapi aku harus mengelabui kaisar Kong Hi” pikirnya kemudian, "Tegakah aku mendustainya?"

Siau Po merasa tidak enak sendiri menipu Kaisar, yang menyayangi dan menyukainya, hingga ia pun menyukainya sebagai sahabat layaknya.

"Dengan susah payah aku mendapatkan kitab ini dari tangan Ay Cun cia. jika tidak diselesaikan tentu kitab ini akan jatuh entah pada tangan siapa. Tak apa toh sekarang kitab ini sudah jatuh ke tanganku."

Berpikir demikian, Siau Po dapat menenangkan hatinya, lantas membuka pintu kamarnya, Tiba-tiba dia merasakan nyeri pada lambungnya. "Oh celaka si kura-kura dan si moler bangkotan itu." Dia mendamprat dalam hati sebab tiba-tiba saja luka dalam tubuhnya kumat, nyerinya bukan main, Maka dia harus menungkuli diri guna melawan penyakit tersebut.

Besok paginya, Siau Po memerintahkan Ie Pat pergi dan mencari kereta, Dia ingin mengajak Song Ji makan di rumah makan besar agar gadis itu terbuka matanya, Buat Siau Po sendiri ia ingin membeli pakaian thay-kam lengkap dengan topinya agar ia dapat menghadap raja dengan pakaian baru. 

Jika pakaian thay-kam sukar didapatkan dia akan berdandan saja selaku siwi, pengawal raja, Kalau ia memasuki istana dengan pakaian sebagai siwi, pasti semua siwi lainnya akan memperhatikannya. Tapi itu tidak mengapa, ia toh siwi sejati, Dan raja sendiri yang mengangkatnya menjadi Gie Cian Siwi Hu Cokoang.

Berpikir demikian, lega rasanya dan Song Ji pun girang.

"Ya begini saja," katanya dalam hati, "Buat apa berdandan sebagai Thay-kam, seorang kebiri? Betapa agungnya seorang pengawal pribadi raja, Lohu akan memasuki istana dan keraton dengna memakai baju Makwa kuning."

Demikian bersama Song Ji, thay-kam ini menaiki kereta yang dipesannya, Sewaktu berbicara dia juga meniru lagu orang Pakha, Orang kota, bahkan orang kaya raya.

"Lebih dahulu kita pergi ke rumah makan Kweeseng," kata Siau Po pada kusir kereta. "Masakan di sana semua lezat."

Sang kusir menyahut "ya" lantas naik dan duduk di sisinya, Dia memuji keledai penarik kereta yang disewa ini. Keledai semacam ini didapat dari propinsi Soa Sai.

Siau Po gembira sekali, ia tidak memperhatikan jalannya kereta, Dan ia baru terkejut setelah kereta itu tiba di luar kota.

"Eh, eh, aku ingin pergi ke See Tan kenapa sekarang keluar kota?"

"Ya, ini sebab si keledai bandel itu," kata sais kereta, "Setelah sampai di jalan menuju luar kota tak mau ia memutar dan berbalik arah."

Siau Po tertawa begitu juga Song Ji. Mereka menganggap binatang itu lucu. "Ah, sekalipun keledai di kota itu banyak lagaknya," kata Ie Pat.

Dari gerbong kota, kereta menuju utara, sudah kira-kira satu lie jauhnya, sang keledai tak mau kembali, Demikian melihat Siau Po menjadi curiga.

"Eh, Kusir!" sapanya, "Jangan main gila! Ayo kembali!" Kusir itu menyahut, lalu membentak keledainya. "Kembali Tak Jie. Kembali! Ayo kembali!"

Tak Jie nama sang keledai, Setelah itu ber-getarlah cambuk itu berulang-ulang kali, tetapi binatang itu tetap lari ke utara.

"Hai! Keledai busuk!" teriak kusir mengumpat binatang piaraannya itu. "Aku suruh kau kembali, kenapa kau lari terus? Tak Jie berhenti! Berhenti! Berhenti. Oh, binatang celaka!"

Keledai itu kabur terus.

Tiba-tiba muncul dua penunggang kuda di tengah-tengah jalan, Dari sisi jalan mereka ingin memotong jalan kereta, tubuh mereka besar dan keren-keren.

Siau Po melihat dua penunggang kuda itu.

"Turun tangan!" ia berkata pada Song Ji. ia sendiri pun sedang bersiap karena adanya gelagat buruk, Memang lagak si kusir sudah mengundang kecurigaannya.

Si nona kecil mengerti dan segera bertindak ia menotok pinggang si kusir dan kusir itu pun jatuh terhuyung-huyung dari atas kereta, Sedang mulutnya mengeluarkan jeritan. Hampir dia menimpa si penunggang kuda, Si penunggang kuda melompat dari kudanya untuk naik ke atas kereta.

Tanpa banyak bicara Song Ji menyambut orang itu dengan satu totokan, Orang itu rupanya lihay, Dia dapat berkelit sambil ingin menangkap tangan si nona.

Si nona berlaku cerdik, dia memutar telapak tangannya dan tangan yang satunya dipakai menepuk muka orang itu. Si penunggang kuda itu menangkis dengan tangan kirinya, dan tangan kanan nya menjulur ke bahu si nona.

Sama-sama mereka bertarung di atas kereta Sulit mereka itu bertarung dan tak dapat lebih leluasa.

Kereta pun kabur terus.

"Bagaimana, eh?" tanya penunggang kuda yang lain, "Apa yang terjadi?"

Pertanyaan itu tidak ada jawabannya. Sebaliknya terdengar suara menggelebuk disusul denga jatuhnya si teman dari atas kereta, Sebab Song Ji telah menghajar orang itu dengan satu tonjokan keras.

Orang itu kaget dan gusar, segera ia menyambuk rambut si nona. Song Ji yang melihat datangnya cambuk itu segera memapak menyambut dengan cekalannya, dan menyusul dengan lemparannya yang membuat sang penunggang kuda itu tersungkur dari punggung kudanya. Saking kaget dan khawatirnya penunggang kuda itu melepaskan cambuknya dan berteriak-teriak.

Song Ji tidak menghiraukan ia menyambar tali kendali keledai lalu diserahkannya kepada Ie pat seraya berkata, "Kau kendalikan kereta ini!"

"Aku,., aku... tak bisa." sahut orang itu.

Song Ji ke depan untuk mewakili menjadi kusir sebenarnya ia tak dapat memegang kendali, namun ia terus mencoba, ia menarik tali kendali seraya berseru, "Tak Ji, Tak Jie!" Seperti si kusir tadi, sedangkan tangan kirinya dikendorkan dan tangan kanannya dikeraskan.

Keledai itu pun memutar haluan, sama sekali ia tidak bandel.

Di saat itu tampak penunggang kuda itu menghambur mendatangi suara derap langkah kaki kuda terdengar nyata.

Siau Po kaget sekali, ia menarik keretanya untuk dilarikan ke samping, Para penunggang kuda itu pun memutar kudanya lalu mengejar terus.

Tidak lama kemudian kereta keledai itu pun telah dapat dikurung oleh para penunggang kuda yang jumlahnya lebih sepuluh orang.

Siau Po melihat belasan penunggang kuda itu masing-masing memegang senjata. "Sekarang ini hari terang benderang, Di sini pula termasuk tempat kakinya sri 

baginda raja, Apakah benar kalian berani melakukan perampokan?"

Salah seorang penunggang kuda tertawa.

"Kami utusan-utusan yang ditugaskan mengundang tamu-tamu." katanya, "Kami bukannya kawanan perampok atau berandal, Wie Kong Cu! Tuan kami mengundang kalian untuk minum arak!"

Siau Po tetap curiga dan menatap semua penunggang kuda itu. "Siapa majikan kalian itu?" tanyanya.

"Jikalau Kong cu sudah bertemu, Kong cu pasti mengenalnya." sahut orang itu. "Jikalau majikan kami bukan sahabat Kong cu, mana dapat Kong cu mengundang minum arak?"

Siau Po tetap saja mencurigainya.

"Jikalau kalian tidak menjawab siapa majikan kalian, undangan ini bukan undangan yang setulus nya." katanya. "Nah! Kalian bukalah jalan untuk kami."

Seorang lainnya tertawa dan berkata. "Mudah untuk membuka jalan!"

Terus ia menggerakkan tangannya untuk menyerang keledai hingga binatang itu roboh dan mati seketika.

Siau Po turun dari kereta, disusul oleh Song Ji. Bahkan Song Ji bergerak cepat lalu menyerang penunggang kuda itu. Nona itu kecil dan kate sedangkan si penunggang kuda itu jangkung maka susah diserangnya. Oleh karena itu ia hanya menotok mata kudanya, Dan serangannya itu dilakukan terus menerus bergantian ke arah kuda yang lainnya.

Hingga dalam beberapa waktu saja ramailah suara kuda tak hentinya disusul dengan teriakan si penunggangnya.

Sementara jalan besar itu bukanlah jalan sepi, maka banyak pejalan kaki menonton pertarungan yang luar biasa itu.

Para penunggang kuda itu berlompatan turun dari kudanya, semuanya menggunakan senjatanya masing-masing menyerang nona Song. Akan tetapi Si nona sangat gesit dan lincah, dia menyerang sambil berlompatan ke segala arah. 

Menyerang dan berkelebat akhirnya dalam tempo yang pendek delapan lawan sudah roboh, sedangkan empat penunggang kuda yang lainnya tidak lagi berani bergerak hanya saling memandang dengan temannya karena terheran-heran.

Tengah keadaan diam itu, kembali terdengar suara roda-roda kereta, ternyata yang datang sebuah kereta kecil, Kereta itu dilarikan dengan cepat, hingga dalam waktu singkat kereta itu pun sudah sampai, dan dari dalam kereta itu segera terdengar teriakan seorang wanita.

"Jangan turun tangan terhadap kawan sendiri!" Siau Po mengenali suara itu, hatinya senang sekali. "Oh, istriku datang!" serunya gembira.

Song Ji beserta ke empat penunggang kuda lainnya segera menoIeh. Nona itu merasa heran karena sekali tidak menyangka kalau Siau Po sudah beristri. Meskipun di jaman itu biasa terjadi pernikahan usia dini. 

Banyak pemuda-pemudi berusia empat belas atau lima belas tahun yang sudah menikah. Tapi Song Ji merasa heran karena selama ini dia belum pernah mendengar Siau Po membicarakannya. Sementara kereta kecil yang berjalan kencang itu sudah sampai. dari dalamnya muncul seoran gadis, siapa lagi kalau bukan Pui Ie.

Dengan wajah berseri-seri, Siau Po menghampiri gadis itu. Dia langsung menyambar tangan gadis dan menggenggamnya erat-erat.

"Oh, kakak yang baik!" serunya, "Kakak, aku sudah rindu sekali terhadapmu sehingga rasanya ingin mati, Ke mana kakak selama ini?"

Pui Ie tersenyum.

"Nanti perlahan-lahan saja kita bicara.,." katanya dengan nada sabar "Oh ya, mengapa kalian berkelahi?" Dia heran sekali melihat beberapa orang telah roboh di atas tanah dengan darah berceceran

Salah seorang di antaranya menjura dan menjawab.

"Nona Pui Ie, kedatangan kami ke mari sebetulnya untuk mengundang Wi kongcu minum arak. Tapi rupanya sikap kami kurang sopan sehingga menimbulkan kegusarannya. Untung Nona datang sendiri. "

Pui Ie masih bingung. Dia menoleh kepada Siau Po.

"Kaukah yang telah merobohkan mereka semua? Oh, tidak disangka ilmu silatmu telah mengalami kemajuan yang pesat sekali!"

"Seandainya ada kemajuan juga tidak mungkin sepesat ini," kata Siau Po terus terang, "Semua ini dilakukan oleh Nona Song Ji yang telah melindungi diriku, Karena itu pula, dia terpaksa memamerkan kepandaiannya."

Siau Po berkata sambit menunjuk kepada kawannya.

Pui Ie menolehkan wajahnya untuk melihat Song Ji. Dia merasa heran sekali, Nona cilik itu kemungkinan baru berusia tiga atau empat belas tahun tapi aneh kalau dia sudah sedemikian lihay.

"Adik, kau she apa?" tanyanya.

Song Ji tidak kenal dengan gadis yang menyapa-nya itu. Meskipun ketika berada di rumah keluarga Cung, mereka pernah ada dalam satu atap tapi mereka tidak sempat bertemu, Mendengar pertanyaan itu, ia segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pui Ie.

"Nyonya muda, terimalah hormat Song Ji!" katanya.

Siau Po tertawa terbahak-bahak mendengar panggilan Song Ji kepada Pui Ie. sedangkan wajah Pui le langsung berubah merah padam saking jengahnya, Dia lekas- lekas menyingkir agar tidak perlu menerima sujud Song Ji sembari mengajukan pertanyaan kembali.

"Eh, kau memanggil apa kepadaku? Aku... aku bukan. "

Song Ji berdiri.

"Siauya mengatakan bahwa kau adalah nyonya," sahut si gadis cilik, "Karena aku melayani Siauya, maka sudah sewajarnya aku memanggil kau nyonya muda."

Mendengar jawabannya, Pui le langsung membelalakkan matanya kepada Siau Po. "Orang ini hanya bisa mengoceh yang bukan-bukan!" katanya, "Jangan kau percaya 

kata-katanya, Sudah berapa lama kau melayaninya? Masa kau belum kenal sifatnya? 

Oh ya, aku bernama Pui Ie."

Song Ji tersenyum, Dia menganggukkan kepalanya.

"Baiklah," sahutnya, "Untuk sementara aku tidak akan memanggil kau nyonya muda, tapi nanti. "

Wajah Pui le menjadi merah kembali.

"Lain kali. " katanya, tapi kemudian dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya 

kembali.

Sebaliknya, Song Ji memperhatikan Siau Po Dia melihat pemuda itu senang sekali, Wajahnya berseri-seri dan bibirnya terus menyunggingkan senyuman, Tiba-tiba wajahnya juga berubah merah, Dia ingat apa yang pernah dialaminya ketika berada di Gunung Ngo Tay san. 

Di sana Siau Po juga pernah menyatakan kepada Ay Cun cia bahwa dia adalah istrinya. Rupanya Siau Po hanya bergurau, Pemuda tanggung itu suka sekali menyebut nona yang masih muda sebagai istrinya.

"Eh, mana istriku yang satu lagi?" tanya Siau Po kemudian Dia tertawa lebar Rupanya dia menanyakan si nona cilik, Bhok Kiam Peng.

Song Ji yang mendengarnya tidak merasa heran lagi, Tapi Pui le justru membelalak lagi kepada Siau Po.

"Sudah lama kita tidak bertemu, kau bukan bicara soal yang serius, malah berkata yang bukan-bukan. Sudah, mari kita berangkat!" katanya.

Siau Po tertawa lagi. "Kalau sejak semula aku tahu kau yang mengundang, Tentu aku menyesal tidak mempunyai sayap agar dapat cepat-cepat terbang menemuimu!"

Kembali Pui le membelalakkan matanya.

"Dasar kau yang telah melupakan aku!" katanya, Tentu kau tidak mengira bahwa aku akan mengundangmu!"

Senang sekali hati Siau Po mendengar nada suara si nona, Rasanya manis sekali di dalam hati.

"Mana mungkin aku melupakanmu?" katanya, "Kalau kau yang mengundang aku, jangankan untuk minum arak, biar untuk minum air kencing kuda sekalipun aku tidak akan menolaknya. Bahkan aku rela meminum racun, Bagiku, kapan saja kau mengundang, aku pasti akan datang."

Dengan matanya yang indah, Pui Ie memperhatikan Siau Po.

"Jangan bicara manis-manis!" katanya, "Bagai mana kalau aku menyuruh kau pergi ke ujung langit atau tepi laut dan minum racun di sana?"

Siau Po membalas tatapan gadis itu. Dia melihat Pui Ie bicara setengah serius dan setengah bercanda, hatinya merasa puas, Nona itu tampak semakin cantik dan semakin manis, perasaannya sampai tegang menatapnya.

"Jangankan baru ujung langit atau tepi pantai”, sahutnya, "Biar meski mendaki gunung golok atau terjun ke panci panas aku pasti akan pergi juga."

"Bagus," kata nona Pui Ie. "Seorang laki-laki sejati, sekali mengeluarkan kata- katanya, kuda apa pun tak dapat mengejarnya."

Sengaja nona Pui Ie menggojoki kata-kata yang pernah diucapkan oleh Siau Po. Siau Po menepuk dada.

"Ya." katanya, "Satu kali seorang laki-laki telah mengeluarkan kata-katanya, kudapun tak dapat menangkapnya."

Pui Ie tertawa maka tertawa pula si bocah.

Lantas si nona memerintahkan seseorang untuk mengambil seekor kuda buat Siau Po dan seekor lagi buat Song Ji- Song Ji dipersilahkan naik ke atas kereta, sedangkan ia sendiri menunggang kuda untuk bergandeng bersama Siau Po. Mereka mengambil arah menentang matahari, dan semua orang yang tadi datang menjemputnya mengikuti dari belakang. "Kau lihay," kata Pui Ie sembari berjalan "Kepandaian apakah yang kau miliki hingga kau berhasil mendapatkan seorang budak yang demikian lihaynya itu?"

Orang yang datang itu berlagak pilon.

"Kepandaian apa?" katanya balik bertanya, "Tidak sama sekali, Soalnya dia sendiri yang ingin merawat dan mengikutiku."

Pui Ie tertawa pula, ia mengerti Siau Po muda usianya tetapi dia sangat cerdas dan banyak uangnya pula, hingga ia dapat menggunakan fasilitas itu dengan leluasa, Maka ia pun menerka Song Ji tentu telah dibelinya. Yang lebih aneh lagi Song Ji sangat lincah.

Kemudian Siau Po balik bertanya tentang Cie Than coan serta Bhok Kiam Peng. "Sewaktu kalian ditawan orang-orang Sin Liong kauw di dalam rumah hantu itu, 

bagaimanakah kalian dapat meloloskan diri? Apakah Sam Nay Nay dari keluarga 

Chung yang menolong kalian?"

Pui Ie heran mendengar nama Chung Sam Nay Nay disebutkan Dia pun menggelengkan kepalanya.

"Siapakah Sam Nay Nay dari keluarga Chung itu?" tanyanya, "Dialah yang memiliki desa keluarga Chung itu" sahut Siau Po.

"Memiliki desa keluarga Chung?" si nona mengulangi, "Sejak semula hingga akhir, belum pernalh aku mendengar dan melihatnya. sebenarnya orang yang dicari Sin Liong Kauw itu ialah kau sendiri. Terhadapmu mereka tak bermaksud jahat. Dulu Chiang Loo Sam tidak berhasil mencarimu, dia lalu memerdekakan kami semua, Kuncu kecil dan Ci Loo Yat Ju semua berada di sana dan tak lama lagi kita akan bertemu dengan mereka."

Berkata begitu si nona menoleh dengan matanya yang jeli lalu menatap Siau Po. "Yang kau senantiasa ingat dalam hatimu ialah menuju kaucu kecil."

"Baru kita bertemu beberapa saat, kau sudah menanyakan tujuh atau delapan kali." Siau Po tertawa.

"Kapan aku menanya tujuh atau delapan kali tanyanya, "Sungguh aku penasaran, coba aku bertemu dengannya dan tak melihat engkau, Pasti aku akan menanyakan engkau, Mungkin sampai tujuh atau delapan puluh kali."

Pui Ie tersenyum, sekarang sudah tak ada rasa muak atau yang menjemukannya terhadap bocah yang nakal dan beraneka macam ini. "Meski kau bermulut sepuluh tak mungkin kau menanyakan sampai tujuh atau delapan puluh kali." katanya, "Namun sekarang, meskipun kau bermulut satu nampaknya kau lebih lihay dari pada bermulut sepuluh!"

Siau Po pun tersenyum.

BegituIah sembari berjalan mereka mengobrol satu dengan yang lainnya hingga tak terasa mereka sudah melalui sepuluh lie lebih.

"Apakah kita akan lekas sampai?" tanya Siau Po, walau bagaimana pun dia sudah tak sabar lagi.

Mendengar pertanyaan itu, Pui Ie kurang puas.

"Masih jauh sekali," katanya, Taruhlah kau rindu pada kuncu kecil tak usah kau menjadi tak sabaran, Kalau aku tahu begini, kubiarkan kuncu kecil memapakmu, supaya kau tak keras memikirkannya sampai begini."

Siau Po mengeluarkan lidahnya, dia dapat mengerti kenapa nona ini merasa kurang puas.

"Baiklah," katanya, "Sepatah kata pun aku tak akan menanyakannya."

"Di mulut kau tak menanyakannya namun di hati lain," kata nona Pui, "Hatimu tentu tak sabaran, itu membuatmu menjadi dongkol."

Siau Po mendengar suara nona yang terang dan jelas itu, Maka ia tertawa dan berkata, "Jikalau aku tidak sabaran, aku bukan suamimu, Aku putramu yang nakal."

Mau tak mau si nona tertawa.

"Oh anak,.," katanya dalam hati, dan mendadak kata-katanya berhenti untuk menyebut kata itu.

"Oh anak yang manis. " ia mengerti meski kata kata itu hanya bersifat bergurau 

namun kata-kata itu kurang tepat untuk diucapkan.

Perjalanan ditunda sesudah tengah hari, mereka singgah di sebuah tempat yang ramai. Kali in Siau Po tidak berani menanyakan apa-apa. ia tidak menanyakan kapan sampai dan bagaimana Kiam Peng, yang terpenting ia sudah jauh dari kerajaan hingga hari itu ia tak dapat bertemu dengan raja.

"Tak apalah aku tak dapat langsung bertemu dengan raja." Demikian pikirnya. "Aku pun tak memberikan batas waktu pada Siauw Hian cu. Katakanlah aku jalan-jalan di Ngo Tai San atau aku tertahan oleh Ay Cun cia, buatku sama saja." Selanjutnya muda-mudi itu membicarakan hal-hal yang tak penting selama dalam keraton, meski mereka berdua di dalam kamar, sebab mereka bersama Bhok Kiam Peng, Pui Ie mengekang diri. Dia harus dapat menjaga harga dirinya, sekarang ini mereka hanya berdua.

"Mereka berjalan berdampingan dan kuda mereka berjalan berendeng, Demikianlah mereka dapat bergurau dengan bebas, Rombongan pun sengaja berjalan jauh di depan mereka.

Siau Po masih muda tetapi pergaulannya membuat mereka mulai mengerti arti asmara. Sering menyebut Pui Ie sebagai istrinya, itu dilakukan sambil bergurau, sekarang ia mendapat anggapan lain, ia tertarik lagak nona itu yang tertawa sebentar cemberut.

Sesudah menjalani perjalanan yang cukup jauh, Pui Ie tampak letih, dua belah pipinya yang halus menjadi merah dan keringat pun mulai bercucuran itu yang membuatnya lebih menarik. Ternyata Siau Po terlena memandangi wajah itu.

Nona Pui berpaling pada orang yang mengawasinya dengan mendadak dan ia pun tertawa.

"Eh, eh, kau kenapa?" tanyanya, "Kenapa kau diam saja?" Siau Po terperanjat dan kaget.

"Oh, kakak, kakak yang baik," katanya sambil tersenyum. "Kakak, sungguh kau manis sekali di-pandangnya. Aku pikir Aku pikir..."

"Kau pikir apa?" tanya si nona.

"Akan aku jawab tetapi kamu jangan marah, ya.,." sahut Siau Po.

"Asal kau bicara dari hal yang benar pasti aku tak marah," sahut Pui Ie. "Tetapi jikalau kamu bicara tak karuan tentu aku tidak senang dan marah. sekarang katakanlah apa yang sedang kau pikirkan.,.?"

Siau Po menatap dan ia pun menjawab.

"Aku memikirkan," katanya, "Jika benar kakak menjadi istriku betapa bahagianya hatiku ini."

Tiba-tiba saja mata Pui Ie melotot dan wajahnya berubah menjadi bengis. Akan tetapi ia tak berkata apa pun dan ia menoleh ke lain arah.

Siau Po menjadi kebingungan.

"Oh kakak..." katanya, "Oh kakak yang baik " apakah kakak ragu padaku?" "Pasti aku gusar!" sahut si nona, "Ya. Aku gusar sekali!"

"Tapi aku. aku bersungguh-sungguh, kakak!" kata Siau Po. "Tidak ada kata-kata 

yang terlebih sungguh-sungguh dari pada itu."

"Tapi kau harus ingat!" kata si nona. "Selama di dalam keraton aku telah bersumpah bahwa seumur hidupku, aku akan turut padamu, melayanimu, apakah itu palsu belaka? sekarang kau menginap begini, apakah itu berarti bahwa kata-katamu telah berubah?"

Mendengar jawaban itu Siau Po girang bukan main, Kalau mereka tidak sedang menunggang kuda, mungkin mereka sudah berpelukan sambil berciuman. Maka itu mereka hanya mengulurkan tangan kanannya dan menarik tangan kirinya untuk berpegang-pegangan dengan erat.

"Mana dapat hatiku berubah?" katanya sambi menatap si nona. "Seribu tahun, selaksa tahun tak mungkin hatiku dapat berubah."

"Dengan katamu ini, terang kau sudah berubah," kata si Nona. "Coba saja kamu pikir, mana ada manusia berumur seribu atau selaksa tahun? Kecuali kura. "

Mengucap kura itu Pui Ie tidak meneruska menjadi "kura-kura" ia sudah tertawa dan menoleh ke lain arah, tetapi tangan yang dipegang Siau Po dibiarkannya tetap tidak ditarik.

Siau Po merasa puas memegang tangannya yang halus dan licin, "Kau baik sekali padaku kakak," katanya sambil tertawa.

"Karena itu untuk selamanya, aku tak akan menjadi kura-kura yang sangat menjijikkan."

Kura-kura itu mempunyai arti lain, bukan binatang kura-kura. sebenarnya seorang suami yang istrinya berlaku serong dengan laki-lain dialah kura-kura, Arti kura-kura sudah sangat umum buat wilayah Kang lam dan Pui Ie mengerti sekali, lantas ia memperhatikan wajah keren.

"Rupanya bagimu sudah tidak ada kata-kata lainnya lagi! Kenapa kata-kata demikian keluar dari mulut anjingmu?"

Tetapi Siau Po tertawa.

"Kau ingat kata-kata ayam turut ayam dan anjing menikah dengan anjing." katanya, "Apakah kau mengharap melihat dari mulut suamimu akan muncul cacing gajah?"

Mau tak mau si nona tertawa, dan tangan kirinya balas memegang tangan kanan Siau Po. Demikianlah mereka bergurau di sepanjang jalan, sampai waktu magrib mereka telah sampai pada suatu tempat yang ramai dan megah dan mereka bermalam di tempat itu.

Keesokan harinya Siau Po menyuruh Ie Pat mencari kereta kuda untuk mereka dan Pui Ie duduk di dalamnya, hingga mereka dapat bergaul dengan leluasa sekali. Saat itu Siau Po telah berani merangkul dan menyiumi Pui le dengan tak ada bosan-bosannya.

Pui le tidak menentangnya, ia membiarkan saja, Tetapi lebih dari itu, ia tidak memberikan balasan, hingga di antara mereka tidak terjadi pertentangan dengan pri kesopanan Siau Po pun puas sampai d situ sebab dalam soal asmara ia belum tahu banyak ia hanya menuruti suara hatinya yang polos.

Apa yang diketahui Siau Po agar kereta berjalan terus, jangan berhenti, agar ia dapat berduaan terus dengan si nona manis mungkin sampai langit atau ke ujung laut.

Pengalaman itu membuat Siau Po lupa untuk menghadap pada raja guna memberikan laporannya, ia sampai lupa juga pada Si Cap Jie Cing Ken kitab yang penting itu, juga kaisar tua yang berada di Ngo Tay San. Bahkan ia lupa hari, karena sudah beberapa hari dan malam ia sudah lewati di sepanjang jalan itu.

Pada suatu sore, akhirnya kereta sampai pada suatu tempat di tepi laut Di sana Pui le mengajak Siau Po turun dari kereta dan menyewa sebuah perahu sambil berpegangan tangan.

"Adikku mari kita ke perahu dan berpesiar empat penjuru laut, guna melewatkan hari- hari ibaratnya kitalah dewa dewinya, bagaimana menurutmu, bukankah bagus begitu?"

Menutup kata-katanya, nona menarik tangan Siau Po hingga tubuh mereka rapat, dan ia meletakkan kepalanya di dada Siau Po hingga mereka tampak mesra sekali.

Siau Po merangkul pinggul si nona agar tak jatuh, sedangkan rambut si nona terus bermain di mukanya, Dia lupa bahwa perjalanan di laut banyak bahayanya, hingga tak dapat ia mengeluarkan kata-kata menolak.

Di tepi laut itu tengah berlabuh sebuah perahu besar, dan setelah mereka mengetahui kedatangan perahu Pui le segera mereka mengibarkan sapu tangan hijau, pertanda ia akan mengirim perahu kecil untuk menyambut kedatangan Pui le dan Siau Po yang naik perahu kecil itu untuk segera naik ke perahu yang besar.

Setelah Siau Po menyaksikan ruang dalam kapal tersebut, ia kaget sebab kapal itu dan semua peralatan terbuat dari benda-benda yang berharga, bahkan lantainya dilengkapi dengan permadani perlengkapan kapal ini lebih mirip sebuah pendopo atau tempat raja sedikitnya menteri muda.

"Kakak menyambutku secara begini, tidak mungkin ia menyimpan maksud yang tidak baik atas diriku," pikir Siau Po. Dua orang bujang datang menyerahkan sapu tangan hangat untuk mengusap keringat Dan menyusut dua mangkuk mie guna mengisi perutnya yang dilihatnya begitu nikmat Di samping itu perahu sudah mulai berlayar.

Berada dalam perahu Siau Po merasa puas, Pui Ie menemani makan dan minum arak, sambil bermain tebak-tebakan tangan atau berbicara sambil tertawa ria, sedangkan jika malam telah tiba, Siau Po diantarkan ke tempat tidur, setelah itu Pui Ie baru kembali ke kamarnya sendiri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar