Kaki Tiga Menjangan Jilid 36

Jilid 36

"Tahukah kau apa artinya Jut-ke?" tanya Giok Lim taysu....

Siau Po memperhatikan hwesio tua itu lekat-lekat Jut-ke artinya ke luar rumah, Tapi dalam arti kiasan, maksudnya menyucikan diri menjadi pendeta.

"Siapa yang sudah menyucikan diri," kata Giok Lim taysu kembali "Rumah sudah bukan rumah lagi, anak dan isteri pun menjadi orang lain."

Mendengar kata-katanya, Siau Po segera berpikir

- Semua ini tentu kau sendiri yang bermain gila dengan berbagai akal muslihat. Kau ingin menghalang-halangi orang yang ingin menemui kaisar Sun Ti, Andaikan kaisar Sun Ti tidak bersedia kembali ke istana, tidak mungkin dia tidak bersedia bertemu dengan putranya sendiri! Dia tidak mengutarakan apa yang tersirat dalam hatinya, 

hanya berkata, "Kalau begitu, aku memanggil pasukan tentara untuk melindungi Sri Baginda raja tua. Mereka bisa melarang siapa pun yang bermaksud melakukan pengacauan di sini."

Giok Lim taysu tersenyum.

"Kalau sicu melakukan hal itu, maka Ceng Liangsi langsung berubah menjadi istana kerajaan." katanya, "Dengan kata lain, Ceng Liang si berubah menjadi istana kantor pembesar negeri. Kalau demikian halnya, bukankah lebih baik Heng Ti kembali saja ke istananya di Pe King? Oh, Wi sicu, dengan demikian berarti juga seorang Gi cian siwi hu congkoan menjadi seorang hamba dalam kuil Ceng Liang si."

"Oh, oh. Rupanya taysu telah mempunyai daya upaya yang lebih sempurna untuk 

melindungi keselamatan Baginda.,., Baginda raja yang tua? Taysu, aku yang muda masih kurang pengalaman sudilah kiranya taysu mengatakan upaya yang baik itu, agar aku dapat menyuci bersih telingaku ini?" Kembali Giok Lim taysu tersenyum. 

"Wi sicu," katanya, "Kau memang masih sangat muda, tapi kau benar-benar lihay, Tak heran kalau dalam usia yang begini muda kau telah menjabat pangkat yang tinggi." Hwesio itu menghentikan kata-katanya sejenak, kemudian baru melanjutkan kembali "Sebenarnya, daya upaya yang sempurna, lolap belum punya, Yang benar, sebagai orang-orang yang sudah menyucikan diri, kami menghindari perselisihan dan pertikaian, kami menyambut kekerasan dengan kelunakan. Terima kasih atas kebaikan hati sicu yang bersedia melindungi kami. Tapi, seandainya Ceng Liang si harus mengalami bencana, ini yang dinamakan takdir Siapa pun tidak dapat menghindarinya."

Sembari berkata, hwesio tua itu kembali merangkapkan sepasang tangannya, kemudian dia memejamkan matanya untuk bersemedi lagi. Melihat keadaan itu, Teng Kong segera berdiri, terus memberi isyarat kepada Siau Po dengan mengedipkan matanya dan menggerakkan tangannya, Setelah itu, dia mengundurkan pintu ke sisi pintu dan menjura kepada Giok Lim taysu.

Siau Po menoIehkan wajahnya untuk menatap Giok Lim taysu sekali lagi, Kemudian dia memencet hidungnya serta mencibirkan bibirnya sebagai tanda mengejek si hwesio yang diartikan bau sekali, Tapi Giok Lim taysu sudah memejamkan kedua matanya sehingga dia tidak melihat apa-apa.

Teng Kong mengajak Siau Po dan pengiringnya ke luar dari kamar itu, sesampainya di luar, dia baru membuka mulutnya.

"Giok Lim taysu adalah seorang hwesio yang berbudi luhur dan usianya juga sudah lanjut sekali." katanya, "Dia telah mencapai kesempurnaan Tentunya dia juga sudah mendapatkan suatu petunjuk. sekarang lolap akan membebaskan Sim Ke, Hon Tio dan yang lainnya, Sicu, di sini saja kita berpisah!"

Selesai berkala, hwesio itu merangkapkan sepasang tangannya untuk memberi hormat. Denga demikian dia mengartikan bahwa Siau Po dilarang masuk lagi ke dalam kuil Ceng Liang si.

Panas sekali hati Siau Po jadinya.

"Bagus!" teriaknya lantang, "Kalian sudah mempunyai upaya yang bagus, dasar aku sendiri yang banyak mulut!"

Dia segera menyuruh Song Ji mengajak Ie Pat dan yang lainnya turun gunung, Mereka kembali ke kuil Leng Keng si dan bermalam di sana. Dia disambut dengan hormat dan dilayani dengan baik. Mungkin karena malam itu kembali dia menderma sebanyak seratus tail.

Tampak Siau Po berdiam di dalam kamarnya, duduk di samping meja sambil bertopang dagu, perasaannya kacau sekali otaknya bekerja keras, Dalam hatinya dia berkata.

-- Sri Baginda raja tua telah berhasil ditemukan, namun dia dalam keadaan yang membahayakan. Lhama dari Tibet hendak membekuknya dan pihak Sin Liong kau ingin menawannya, Di samping itu ada Giok Lim taysu yang banyak macam-macamnya sedangkan kepandaiannya tidak ada. Tinggal Teng Kong seorang, Apa yang dapat dilakukan oleh kepala hwesio ini? Aku khawatir beberapa hari lagi Sri Baginda raja tua akan kena diringkus orang dan dibawa pergi. Kalau hal ini sampai terjadi, bagaimana aku bisa pulang ke Kerajaan dan memberikan pertanggungan jawabku kepada Siau Hian cu? --

Berpikir demikian, Siau Po menoleh kepada Song Ji. Dia mendapatkan gadis itu berdiri diam dengan sepasang alisnya dirapatkan. Tandanya dia sedang berduka sekali atau perasaannya kurang puas. "Eh, Song Ji, mengapa kau kelihatan kurang puas?" tanyanya,

"Tidak apa-apa." sahut si gadis cilik, Siau Po masih memperhatikan lekat-lekat "Kau pasti sedang memikirkan sesuatu," kata-nya. "Lekas kau beritahukan kepadaku!"

"Aku benar-benar tidak memikirkan apa pun." 

"Ah, aku tahu," kata Siau Po. "Kau tentunya merasa tidak puas karena di Kerajaan aku memangku jabatan tinggi, tapi sejauh ini aku tidak mengatakannya kepadamu."

Mata si gadis mejadi merah. Dia seperti hendak menangis.

"Kaisar bangsa Tatcu adalah manusia paling jahat di dunia ini." katanya dengan tersendat-sendat. "Siangkong, mengapa kau menerima jabatan itu dan sudi menjadi hambanya?"

Sembari berbicara, airmata si Song Ji sudah bercucuran di kedua belah pipinya yang halus, Siau Po merasa heran.

"Lalu, mengapa kau malah menangis?" tanyanya. "Aih, benar-benar anak tolol."

Song Ji menangis tersedu-sedu. "Sam nay nay rela menyerahkan aku pada sian kong, dia berpesan agar aku merawatmu. Mendengar kata-katamu, tapi... tapi...

ternyata kau bekerja di Kerajaan dan menduduki jabatan yang tinggi pula, Padahal ayah ibuku, ketiga orang saudaraku, semuanya mati di tangan para pembesar jahat bangsa Tatcu."

Saking sedihnya, Song Ji tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi, Siau Po memang cerdas otaknya, tetapi melihat si gadis menangis demikian sedihnya, mau tidak mau dia jadi bingung. “Ada apa dengan gadis ini?"

"Sudah, sudah!" katanya kemudian, "Sekarang, aku tidak akan menyembunyikan apa-apa darimu lagi, Biar aku katakan terus terang kepadamu. Memang aku menduduki jabatan yang cukup tinggi di Kerajaan, tapi sebenarnya semua itu hanya sandiwara, Kau tahu, aku sebenarnya menjadi hiocu cabang Ceng Bok Tongnya Tian Te hwe. Mengertikah kau makna dari Tian Te hu bo, Hoan Ceng hok Beng" (Langit dan bumi adalah ayah ibu, Ceng digulingkan Beng bangkit kembali)? Guruku adalah Cong tocu dari Tian Te hwe Tentang hal itu aku telah mengatakannya kepada Sam nay nay. Tujuan utama Tian Te hwe kami adalah menentang pemerintahan Ceng, Suhuku menitahkan aku menyelundup ke dalam istana untuk mencari tahu rahasia pemerintah inilah tugas rahasia, kalau sampai bocor, jiwaku akan terancam maut."

Rupanya Song Ji mengerti apa arti kata-kata Tian te hu bo, Hoan Ceng Beng, dia segera mengulurkan tangannya yang halus dan menutup mulut Siau Po.

"Sudahlah, jangan kau berbicara lagi!" katanya. "Aku lah yang bersalah, Sebelum mengerti apa-apa, sudah sembarangan menuduh, Aku seperti memaksa kau bicara  terus terang. " Mendadak dia tertawa dan berkata kembali "Kau orang baik, siangkong, 

Tidak mungkin kau melakukan perbuatan jahat. Dasar aku memang tolol!" Siau Po tertawa.

"Kau justru anak cerdik!" katanya sembari menarik kedua tangan Song Ji dan diajaknya duduk berdampingan. Kemudian dengan suara berbisik, dia menceritakan hubungan dan urusan yang menyangkut kaisar Sun Ti dengan Sri Baginda Kong Hi.

"Kau tentu pernah mendengar bahwa raja yang sekarang baru berusia belasan tahun," kata Siau Po melanjutkan keterangannya, "Dalam usia yang masih begitu belia, dia telah kehilangan ayahandanya yang telah menjadi hwesio. Kaisar Sun Ti tidak memperdulikannya lagi, Coba kau pikir, tidak patutkah dia dikasihani? Hari ini, orang- orang yang menangkap si raja tua adalah orang-orang jahat, Untung saja kau turun tangan menoIongnya!"

Song Ji menarik nafas lega.

"Kalau demikian, aku telah melakukan sesuatu yang baik." katanya.

"Namun, ada pepatah yang mengatakan "Mengantar Sang Buddha, harus sampai di langit barat" kata Siau Po. "Orang-orang itu sudah dilepaskan oleh Teng Kong hwesio, pasti mereka tidak puas Lain kali mereka akan datang kembali untuk melanjutkan niatnya menawan di raja tua. Coba pikir, kalau mereka berhasil meringkus si raja tua, kemudian membawanya pergi dan memotong-motong tubuhnya untuk dimasak dan dimakan, bukankah celaka dua belas jadinya?"

Siau Po tahu hati Song Ji masih polos sekali, Dengan ucapan dia bermaksud membakar hati orang agar si gadis mengerti kesulitan yang dihadapi kaisar Sun Ti dan menaruh kesan baik terhadap raja yang sudah mengundurkan diri itu serta suka memberikan pertolongan lebih jauh.

Tampaknya si gadis bergidik mendengarkan kata-kata majikannya.

"Mereka mau makan dagingnya si raja tua?" tanyanya gugup. "Kenapa begitu dan untuk apa?"

"Pernahkah kau mendengar kisah tentang si hwesio dari kerajaan Tong yang berangkat ke Tanah barat untuk mengambil kitab suci?" Bukannya menjawab, Siau Po malah bertanya,

"lya, aku pernah mendengarnya." sahut Song Ji. "Selain hwesio itu, masih ada Sun Go Kong dan Ti Pat Kay. "

"Kau benar. Di sepanjang perjalanan banyak siluman yang ingin makan dagingnya hwesio itu, Menurut cerita itu, hwesio tersebut adalah salah satu dari manusia paling suci di dunia, siapa yang bisa memakan dagingnya, bisa menjadi dewa atau Buddha. " "Aku mengerti sekarang. Kawanan orang jahat itu ingin menyamakan si raja tua dengan pendeta Tong, kawanan orang jahat itulah para silumannya, sedangkan aku adalah Sun Go Kong dan kau,., kau,.,."

Siau Po mengangkat kedua telapak tangannya dan direntangkan di bawah telinga kemudian digoyang-goyangkannya, Song Ji yang melihat lagaknya tidak menjadi marah, dia malah tertawa.

"Oh, kau maksud aku adalah Ti Pat Kay, si siluman babi?" katanya.

Siau Po tertawa dan berkata dengan cepat

"Wajahmu secantik Kwan In Pou sat, tapi kau sedang menjalankan peranan si siluman babi. "

Song Ji tersenyum sambil menggoyangkan tangannya.

"Jangan sembarangan menyebut nama Kwan Im Pou sat yang maha suci," katanya mencegah, "Justru engkau, siangkong, yang mirip dengan Siancay Tong-cu Ang Hay ji yang selalu mendampingi dewi Kwa Im itu, aku sendiri hanya. "

Berkata sampai di sini, ucapan si Song Ji jadi berhenti dengan sendirinya, wajahnya menjadi merah padam saking jengahnya.

Siau Po tersenyum.

"Tepat, tepat!" katanya, "Aku menjadi Sianca Tongcu Ang Hay ji dan kau adalah Siau Liong ! Kita berdua akan selalu bersama-sama, siapa pun tidak bisa memisahkan kita."

Siancay Tongcu Ang Hay Ji dan Siau Liong adalah sepasang pelayan laki-laki dan perempuan yang mengikuti dewi Kwan Im.

Wajah Song Ji semakin merah.

"Aku pasti akan melayani kau,., untuk selama-lamanya. " katanya dengan suara lirih, 

"Ke.,, cuali kau sudah tidak menginginkan... aku lagi dan mengusirku. "

Siau Po mengangkat tangannya ke arah leher dan dibuat seakan sebilah pisau yang akan menggorokannya,

"Meskipun batang leherku ini dipotong, tidak mungkin aku mengusirmu, Ke. cuali 

kau sendiri yang tidak sudi mengikuti aku lagi dan kabur secara diam-diam."

Si gadis cilik mengikuti gerakan tangan Siau Po. "Meskipun batang leherku ini 

dipotong, aku tidak akan pergi darimu." katanya. Siau Po memperhatikan Song Ji. sedangkan si gadis cilik itu juga menatap ke arahnya, Kemudian keduanya tertawa geli.

Semenjak diserahkan oleh Sam nay nay kepada Siau Po, Song Ji selalu pandai membawa dirinya sebagai seorang budak. Dia tidak berani bercanda secara kelewatan atau bergurau dengan majikannya. 

Sekarang, setelah mengetahui rahasia Siau Po. Dia baru berani bersikap jenaka dan tertawa bersama. Dalam hatinya, dia juga merasa senang, Dia percaya penuh kepada Siau Po.

Dengan demikian, otomatis hubungan mereka semakin erat

"Sudahlah," kata Siau Po kemudian, "Urusan mengenai kita berdua telah diselesaikan Sekarang, bagaimana caranya kita menolong pendeta Tong?" Yang dimaksudkan tentu saja bukan pendeta Tong yang sebenarnya, tapi kaisar Sun Ti.

Song Ji tertawa.

"Menolong pendeta Tong adalah tugas Ci Thian Tayseng." katanya, Ci Thian Tayseng adalah gelar Sun Go Kong yang artinya Nabi besar setara Langit "Karena itu, seharusnya Ci Thian Tayseng yang mengutarakan jalan pikirannya, Ti Pat Kay tinggal menurut saja!"

Siau Po tertawa.

"Kalau Ti Pat Kay secantik dirimu, aku khawatir pendeta Tong itu tidak mau menjadi hwesio lagi. katanya.

"Kenapa?" tanya Song Ji.

"Karena pendeta Tong itu pasti mengambil T Pat Kay untuk menjadi istrinya." Song Ji tertawa geli,

“Ti Pat Kay adalah siluman babi, siapa yang sudi menikah dengannya?" katanya. Mendengar kata-kata Song Ji, Siau Po langsung terdiam. Dia ingat Jin Som Hok 

Leng Ti, babi yang dikirim Cian laopan yang di dalamnya berisi Kia Peng. otaknya 

langsung memutar, di mana kira-kira Kiam Peng dan Piu Ie sekarang berada. Apakah keadaan mereka baik-baik saja?

Song Ji heran melihat sikap Siau Po yang tiba-tiba berubah. Gadis itu memperhatikan secara diam-diam Tidak berani dia mengganggunya, Hanya sekejap saja, terdengar bocah tanggung itu berkata kembali.

"Benar! Kita harus memikirkan upaya yang baik, Tidak bisa kita biarkan si raja tua dibekuk oleh orang-orang jahat Nah, Song Ji, coba, aku ingin mendengar pendapatmu,  umpamanya kita mempunyai suatu barang yang sangat berharga dan banyak penjahat yang mengincarnya, apa yang harus kita lakukan agar penjahat itu tidak berhasil mencurinya?"

"Kalau kita memergoki para penjahat itu sedang bekerja, kita bekuk saja mereka semua!" sahutnya singkat.

Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Akalmu itu kurang sempurna." katanya, "Seharusnya kita sendiri yang menjadi pencurinya!"

Song Ji heran mendengar ucapannya sehingga dia menatap Siau Po dengan tajam. "Kita sendiri yang menjadi pencurinya?" tanyanya menegaskan.

"Benar!" kata Siau Po tegas, "Kita mendahului mereka turun tangan, itu baru akal yang bagus!"

Song Ji masih belum mengerti juga.

"Kalau kita mendahului orang-orang itu mencurinya, bukankah para penjahat itu tidak bisa mendapatkan apa-apa?" kata Siau Po sambil memperhatikan wajah pelayannya yang cantik itu.

Song Ji bertepuk tangan sambit tertawa, sekarang dia baru mengerti maksud Siau Po.

"Aku mengerti sekarang!" serunya, "Kau bermaksud menyuruh aku menculik si raja tua, bukan?"

"Dugaanmu tepat sekali!" kata Siau Po membenarkan "Kita tidak boleh membuang waktu, sebaiknya kita bekerja sekarang juga!"

Song Ji setuju, Dia segera berdiri dan bersama-sama Siau Po, keduanya ke luar kamar dan menuju luar kuil Ceng Liang si.

"Cuaca masih belum gelap." kata Siau Po, Dia memperhatikan langit "Sebaiknya kita tunggu saja sebentar lagi!"

Song Ji menurut saja. Keduanya segera mencari pepohonan yang rimbun untuk tempat menyembunyikan diri.

Waktu perlahan-lahan merayap, Akhirnya sang malam yang gelap datang juga, Siau Po mengajak Song Ji ke luar dari tempat persembunyian. Pada saat itu, keadaan di seluruh pegunungan itu sudah sunyi senyap. "Di dalam kuil hanya Teng Kong Hong tio yang mengerti ilmu silat." kata Siau Po kepada pembantunya, "Tapi sekarang dia dalam keadaan terluka, dan tampaknya luka hwesio itu tidak ringan Kemungkinan dia sedang beristirahat atau mengobati lukanya dalam kamar. Dengan demikian, tugasmulah melayani si hwesio bertubuh raksasa itu. Kau harus menotoknya sehingga tidak berdaya supaya aku bisa menculik si raja tua. Namun kau harus berhati-hati, senjata Heng Tian si raksasa besar sekali dan berat pula, dia dapat menggunakan senjata itu dengan sempurna. "

Song Ji menganggukkan kepalanya.

"Aku mengerti." sahutnya, Tampaknya dia tidak takut sama sekali.

Setelah merasa yakin di sekitarnya tidak ada siapa-siapa, Siau Po mengajak Song Ji menghampiri tembok pekarangan wihara tersebut Dengan mudah mereka melompatinya, lalu masuk ke halaman dalam. Mereka langsung menuju rumah tempat Heng Ti bersemedi.

Tampak pintu rumah itu sudah ditutup kembali, Hanya bagiannya yang rusak akibat penyerbuan di siang harinya masih belum sempat diperbaiki. Jadi pintu itu seperti untuk menghalangi angin saja.

Song Ji berjalan di depan, mendekati pintu rumah kemudian menggesernya ke kiri perlahan-lahan. Baru saja pintu itu bergerak, tiba-tiba berkelebatan bayangan berwarna kuning keemasan. Ternyata toya Kim Hong Cu sudah menyerangnya dengan hebat

Song Ji melihat datangnya bahaya, tapi dia dapat menghindarkan diri dengan mudah, Gadis itu bukannya mencelat mundur, tetapi sepasang kakinya menutul lalu menerjang memasuki rumah. Dengan demikian, dia jadi menghampiri Heng Tian penyerangnya itu yang tenaganya seperti raksasa, Dengan mudah Song Ji berhasil menotok dada Heng Tian sambil berkata dengan perlahan.

"Maaf!" sedangkan tangannya yang satu lagi digunakan untuk merampas toya hwesio itu.

Heng Tian tidak berdaya lagi, Perlahan-tahan tubuhnya terkuIai, bahkan sebelah kakinya menindih toyanya sendiri, sebab sulit bagi Song Ji memeganginya terus- terusan.

Tepat pada saat itulah, Siau Po menghambur ke depan pintu untuk menyingkirkannya dan masuk ke dalam,

Seluruh ruangan itu gelap gulita, meskipun demikian, samar-samar tampak sesosok bayangan yang sedang duduk bersila, Siau Po merasa yakin bahwa orang itulah si raja tua Sun Ti yang telah menjadi hwesio dan mengganti namanya menjadi Heng Ti. Dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan hwesio itu dan menyembah kepadanya sambil berkata. "Lo ongya, budakmu ini bernama Wi Siau Po. Orang yang tadi siang menolong Lo hongya dari ancaman maut, Oleh karena itu, harap Lo hongya tidak terkejut melihatku!"

Siau Po bersikap sopan sekali Dia menyebut hwesio tua itu dengan panggilan Lo hongya atau si raja tua.

Heng Ti diam saja, Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, Siau Po tetap bersabuk. Dia berkata kembali.

"Lo hongya bersemedi di sini, memang bagus sekali ini merupakan tempat suci dan tenang, Tetapi di luar sana banyak orang jahat, mereka ingin menawan Lo hongya, Mereka akan melakukan sesuatu yang merugikan Lo hongya, Karena itu, budakmu ini bermaksud melindungi Lo hongya, agar Lo hongya dapat pindah ke suatu tempat yang aman, Dengan demikian orang-orang jahat itu tidak dapat menemukan Lo hongya atau pun menawan Lo hongya lagi."

Hwesio itu masih berdiam diri saja, "Lo hongya, sudilah kiranya Lo hongya berangkat bersama-sama budakmu ini!" kata Siau Po kembali.

Heng Ti masih berdiam diri. Tidak sepatah kata pun ke luar dari mulutnya, Siau Po memperhatikan hwesio itu lekat-lekat Dia melihat hwesio itu duduk bersila dan gayanya persis dengan Giok Lim taysu, Dia tidak bisa menduga apakah hwesio itu pura-pura tuli atau memang sudah kosong pikirannya .

Setelah menunggu sekian lama dan belum terlihat hasil apa-apa, Siau Po berkata kembali.

"Lo hongya, rahasia Lo hongya telah terbuka, Tidak ada seorangpun dalam kuil Ceng Liang si ini yang dapat melindungi Lo hongya. sedangkan pihak musuh, setelah rombongan yang pertama pergi, pasti datang lagi rombongan yang kedua. Demikianlah seterusnya dan akhirnya, Lo hongya! Karena itu sebaiknya Lo hongya pindah semedi di tempat lain saja!"

Heng Ti masih tetap membungkam.

Tiba-tiba, Heng Tian yang ditotok oleh Song Ji membuka suaranya,

"Kalian berdua masih kanak-kanak, kalian adalah orang baik-baik." katanya, "Tadi siang kalian sudah menolong aku. Tentang suhengku ini, dia sedang melakukan apa yang dinamakan semedi Ko Sian, karenanya dia tidak boleh berbicara dengan siapa pun, Ke mana kalian hendak membawanya pergi?"

"Kemana pun boleh, asal tempat yang disuka oleh suhengmu ini!" sahut Siau Po cepat "Kau akan mengantarkannya. Asal tempat itu aman dan tidak terjangkau oleh orang-orang jahat, Dengan demikian beliau bisa melanjutkan semedinya dengan tenang, kalian pun bisa membaca doa sesuka hati." "Kami berdua bukan membaca doa!" sahut Heng Ti menjelaskan

"Baik, bukan baca doa, ya bukan baca doa!" kata Siau Po yang kemudian berkata kepada Song Ji. "Lekas kau bebaskan totokan taysu ini!"

Song Ji menurut Dia segera menepuk punggung Heng Tian beberapa kali, Dengan demikian totokannya pun terbebas, Dia dapat menggerakkan seluruh tubuhnya Iagi.

Heng Tian tidak lalu bersikap keras atau garang. Dia memberi tempat kepada kaisar Sun Ti.

"Suheng, kedua bocah ini meminta kita berdua meninggalkan tempat itu untuk sementara!"

"Tapi, suhu tidak menyuruh kita meninggalkan Ceng Liang si." sahut Heng Ti menjawab ucapan adik seperguruannya, padahal ketika Siau Po menyapa nya berulang kali, dia malah diam saja,

Baru sekarang Siau Po berhasil mendengar suara Heng Ti yang jelas dan terang. "Bukannya begitu." kata Heng Tian, "Kalau musuh datang kembali dengan jumlah 

yang lebih banyak, kedua bocah ini pasti tidak bisa melindungi kita lagi."

"Suasana itu muncul dari dalam hati." kata Heng Ti. "Bicara tentang bencana, bencana itu bisa timbul dimana pun juga. Asal hati merasa tenang, dimana pun kita berada, kita akan memperoleh ketenangan."

Heng Tian jadi tertegun mendengar kata-katanya. "Apa yang dikatakan suheng benar juga." katanya kemudian, Kemudian dia menoleh kepada Siau Po dan Song Ji. "Suheng tidak mau pergi. Kalian sudah mendengarnya sendiri. "

Sepasang alis Siau Po menjungkit ke atas.

"Bagaimana kalau musuh-musuh jahat itu datang kembali lalu mereka menawan kalian dan menyiksa kalian berdua? Apa yang dapat kalian lakukan saat itu?"

"Manusia di dalam dunia ini, tidak ada yang tidak mati." sahut Heng Tian, "Hidup lebih lama beberapa tahun atau kurang beberapa tahun, tidak ada perbedaannya."

"Kalau begitu, semua juga tidak ada perbedaannya." kata Siau Po yang mulai kesal. "Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati, Orang laki-laki dan orang perempuan juga sama saja, Kalau begitu, apakah tidak ada perbedaan apa-apa antara hwesio, kura-kura atau ayam?"

"Semua makhluk di dunia ini sama, tidak ada yang berbeda dimata Sang Buddha." sahut Heng Tian. Siau Po berdiam diri, Dalam hatinya dia ber-kata.

"Pantas mereka mendapat gelar yang aneh. Yang satu disebut Heng Ti, si dungu dan satunya lagi Heng Tian, si edan, Mereka memang dungu, toloI, gila sekaligus edan, Karena itu, rasanya tidak mungkin memaksakan kehendak pada diri kedua orang ini. Kalau Heng Ti ditotok sehingga tidak berdaya, kemudian dibawa pergi, perbuatan ini sungguh tidak sopan, lagipula mudah dipergoki orang..."

Siau Po menjadi kebingungan dan habis kesabarannya, Dengan sengit dia berkata. "Kalau semua tidak ada perbedaannya, berarti Hou Kong Honghou dan Toan Keng 

Hong hou juga sama saja, buat apa menyucikan diri menjadi pendeta?"

Tiba-tiba Heng Ti melonjak bangun.

"Kau... apa yang kau katakan barusan?" tanyanya dengan suara bergetar.

Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Siau Po menjadi menyesal. Ketika ditanyakan oleh Heng Ti, dia segera menjatuhkan dirinya berlutut dan menjawab.

"Hamba hanya mengoceh sembarangan harap Lo hongya tidak menjadi gusar. "

Memang benar, saking sengitnya Siau Po menyebut nama kedua permaisuri raja tua itu,

"Segala yang telah berlalu, sejak lama aku sudah melupakannya." kata Heng Ti, "LagipuIa, mengapa kau memanggil aku dengan sebutan seperti itu? Lekas kau bangun, ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu!"

"lya," sahut Siau Po yang langsung bangkit, Di dalam hatinya, diam-diam dia merasa senang, Akhirnya kau kena diakali juga dan bersedia bicara, Mungkin aku akan berhasil...

"Dari mana kau mendengar tentang kedua permaisuri itu?" tanya Heng Ti.

"Budak mendengarnya dari pembicaraan antara Hay Tay Hu dan Thay hou." sahut Siau Po.

"Oh, kau kenal dengan Hay Tay Hu?" tanya mantan raja itu, "Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Dia telah dibunuh oleh Hong Thay hou." sahut Siau Po. "Apa? Dia telah mati?" seru Heng Ti saking terkejutnya.

"Dengan pukulan Hoa Kut Bian Ciang, Thay hou telah membinasakannya." sahut Siau Po dengan nada yang jelas. "Bagaimana kau bisa tahu Hong thay hou mengerti ilmu silat?" tanya Heng Ti dengan perasaan heran.

"Hay Tay Hu dan Hong Thay Hou bertarung di dalam taman bunga Cu Leng kiong, ketika itu budakmu menyaksikannya dengan mata kepala sendiri." sahut Siau Po terus terang.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya mantan raja itu kembali.

"Hamba adalah Gi ri suwi Hu Congkoan, Wi Siau Po." sahut si bocah tanpa menutupi lagi, Rupanya dia merasa kata-katanya itu perlu didukung bukti yang cukup kuat, Karena itu dia segera mengeluarkan surat yang ditulis oleh kaisar Kong Hi. "Pangkat itu dianugerahkan oleh Sri Baginda yang sekarang, Di sini pun ada sepucuk surat yang ditulis Sri Baginda sendiri."

Siau Po menyodorkan surat itu, Heng Ti hanya berdiri terpaku, Dia tidak menyambut surat yang disodorkan Siau Po.

"Di sini selamanya tidak ada penerangan." kata Heng Tian mewakili suhengnya menjawab.

Heng Ti menarik nafas panjang, Kemudian dia baru bertanya.

"Bagaimana keadaan si raja kecil, apakah dia baik-baik saja? Senangkah dia menjadi raja?"

Siau Po menjawab dengan cepat.

"Ketika Sri Baginda mengetahui Lo hongya masih hidup, dia menyesali dirinya yang tidak mempunyai sayap agar bisa terbang ke mari secepatnya, Di dalam istana, Sri Baginda menangis menggerung-gerung, tetapi di samping kesedihannya, dia juga merasa gembira, Sri Baginda langsung mengatakan bahwa dia akan datang ke Ngo Tay san ini, namun akhirnya dia membatalkan niatnya karena khawatir urusan pemerintahan jadi berantakan apabila ditinggalkan oleh beliau, itulah sebabnya Sri Baginda mengutus budakmu ini datang terlebih dahulu untuk menjenguk dan menanyakan kesehatan Lo hongya, Nanti, sekembalinya budakmu ke istana, Sri Baginda sendiri yang akan datang ke mari."

"Dia... dia tidak perlu datang!" kata Heng Ti dengan suara bergetar "Dia seorang raja yang bijaksana, yang dapat mendahulukan kepentingan negara. Tidak seperti aku,.,."

Sampai di sini, si raja tua menangis terisak-isak, Air matanya mengalir dengan deras sehingga jubahnya basah kuyup.

Mendengar suara tangisan itu, tanpa sadar Song Ji juga mengalirkan airmata, Rupanya dia teringat akan kedua orang tuanya dan dirinya yang sudah sebatang kara. Siau Po merasa kesempatan yang baik itu tidak boleh disia-siakan Bukankah hati si raja tua ini sedang tergugah? Karena itu, dia segera berkata lagi.

"Hay Tay Hu telah mengadakan penyelidikan yang jelas, Mula-mula Hong thayhou menganiaya pangeran Eng Cin Ong sampai mati, Kemudian dia membunuh Toan Keng Honghu dan dia juga membunuh adiknya yakni selir Ceng Hui. Ketika Hong Thayhou mengetahui rahasia telah bocor, dia membunuh Hay Tay Hu sekalian. Terakhir dia mengirim orang-orangnya dalam jumlah yang banyak ke Ngo Tay san ini untuk mencelakai Lo hongya."

"Aih, bicaramu berlebihan.." kata Heng Ti sembari menarik nafas panjang, "Sudah terang Toan Keng Honghou mati karena sakit, mengapa kau mengatakan Hau Kong Honghou yang membunuhnya?"

Siau Po tidak mau kalah bicara.

"Kalau seseorang mati sakit, seluruh tubuhnya tentu akan lurus tanpa cacad sedikit pun." katanya, "Tidak mungkin tulang belulang di tubuhnya patah dan uratnya putus."

Mendengar kata-kata si bocah, Heng Ti membayangkan kembali saat kematian permaisurinya, Ketika itu jari-jemari tangan Toan Keng Hongho tidak dapat digerakkan Bahkan ketika dia memondongnya, tubuh itu lemas sekali seperti tidak bertulang. 

Tadinya, dia mempunyai dugaan, hal ini terjadi karena penyakit yang diderita permaisurinya terlalu parah. Sekarang, setelah mendengar keterangan Siau Po, hatinya tercekat. Dia teringat saat-saat yang telah berlalu itu.

Tanpa terasa, keringat dingin membasahi keningnya. "Ya, ya... rasanya memang tidak wajar." katanya lirih.

Siau Po menuturkan kembali pembicaraan antara Hay Tay Hu dan Thay hou yang didengarnya malam itu, Dia memang pandai bicara, ceritanya menjadi jelas dan menarik, Kata-katanya meresap dalam hati si raja tua yang sudah menjadi hwesio itu.

Kaisar Sun Ti sangat menyayangi Teng gok hui. Setelah selirnya itu menutup mata, dia tidak sudi lagi menjadi raja, ia meninggalkan kedudukannya yang maha mulia untuk pergi mengasingkan diri dalam ruang yang sunyi senyap serta menjalani hidup dalam kesengsaraan 

Meskipun sedang bersemedi bayangan Teng Gok hui masih sering hadir di dalam pelupuk matanya, Sekarang, setelah mendengar cerita Siau Po, dia sampai lupa bahwa dirinya saat ini sudah menjadi biku, Dia merasa sedih serta penasaran, nafasnya jadi sesak membayang kan Hay Tay Hu dan Thay hou.

Selesai bercerita, Siau Po menambahkan. "Hong Thay hou ternyata tidak mau bekerja kepalang tanggung, setelah mencelakai Lo hongya, dia juga berniat membinasakan Sri Baginda, bahkan dia juga bermaksud membongkar kuburan Toan Keng honghou, Dia ingin membakar sampai musnah buku Toan Keng Honghou yang menurutnya isi di dalamnya hanya segala angin busuk, Dia telah mengeluarkan ancaman, barang siapa yang menyimpan buku itu, selain akan disita, seluruh keluarganya pun akan dijatuhi hukuman mati."

Kata-kata Siau Po yang belakangan hanya karangan belaka tapi justru menikam hati mantan kaisar Sun Ti. Raja yang telah menjadi hwesio itu langsung dilanda kegusaran yang tidak terkatakan. Sambil menepuk pahanya keras-keras, dia berseru.

"Oh, perempuan hina itu! Seharusnya.,, aku... aku pecat dia sejak dulu! Tidak disangka, karena kebimbangan sesaat, akibatnya jadi begini. "

Dulu, Kaisar Sun Ti memang mempunyai pikiran untuk memecat permaisuri dan mengangkat Teng Gok hui selir kesayangannya sebagai penggantinya, Tapi keinginannya selalu ditentang oleh Hong Thay hou. seandainya Teng Gok Hui tidak menutup mata, mungkin sekarang dialah yang menjadi permaisuri

Siau Po melanjutkan kembali kata-katanya.

"Hati Lo hongya telah tawar sehingga memilih kehidupan seperti sekarang ini, mungkin bagi Lo hongya sekarang, mati atau hidup tidaklah ada perbedaannya, Namun, tidak demikian halnya dengan Sri Baginda yang masih muda, Kuburan Toan Keng honghou tidak boleh di rusak dan buku catatannya sama sekali tidak boleh dimusnahkan!"

"Benar! Apa yang kau katakan memang benar," sahut Heng Ti yang sudah terkena pengaruh cerita si bocah.

"Oleh karena itu, Lo Hongya, sudah seharusnya Lo Hongya berlalu dari tempat ini untuk menyelamatkan diri, Lo hongya harus menyingkir dari tangan jahat Thay hou," kata Siau Po kembali "Rencana Hong thay hou yang pertama adalah menyingkirkan Lo hongya, kemudian Sri Baginda yang masih muda, Dan yang terakhir adalah membongkar kuburan Toan Keng honghou, Asal rencananya yang pertama mengalami kegagalan, dia pasti tidak berani mewujudkan rencananya yang lain lagi."

Mendengar sampai di sini, habis sudah kesadaran pikiran mantan Kaisar Sun Ti. "Untung ada engkau," katanya pada si bocah. "Kalau tidak, semua bisa celaka. Adik, 

mari kita pergi!"

"Baik." sahut Heng Tian. Tangan kanannya mencekal senjatanya yang berat, sedangkan tangan kirinya menolak daun pintu,

Begitu daun pintu terbentang, tampak seorang hwesio berdiri menghadang jalan ke luar itu. "Siapa?" tegur Heng Tian sebelum sempat melihat wajah orang itu. Malah senjatanya sudah diangkat dan siap digerakkan

"Mau ke mana kalian?" tanya hwesio itu tanpa memperdulikan teguran Heng Tian, Heng Tian terkejut.

"Oh, suhu!" serunya tertahan Dia segera melemparkan senjatanya dan merangkapkan sepasang tangannya untuk memberi hormat.

"Suhu!" Heng Ti juga segera menyapa hwesio itu yang ternyata Giok Lim taysu. "Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian," katanya dengan nada sabar.

-- oh, celaka --, gerutu Siau Po yang merasa menyesal

"Urusan penasaran dalam dunia ini harus dipecahkan dengan kesabaran, semuanya harus dihilangkan dan dilupakan," kata Giok Lim taysu kembali "Menyingkir bukan jalan ke luar yang sempurna, Ada sebab, pasti ada akibat, Sekali dosa sudah menyertai tubuh kita, maka seluruh yang ada dalam diri kita merupakan dosa."

Heng Ti menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Giok Lim taysu, "Suhu benar, tecu (murid) sudah mengerti sekarang." katanya.

"Mungkin masih belum mengerti sekali," kata Giok Lim taysu, "Kalau bekas istrimu itu datang mencarimu, biarkanlah dia datang. Sang Buddha kita maha Pengasih, Beliau dapat membawa pengikutnya ke tempat yang aman. Katanya dia masih penasaran kepadamu, membencimu, bahkan ingin membunuhmu Kalau kau menyingkir dosa itu tetap ada. Kalau kau mengutus orang membunuhnya, dosamu semakin berat."

"lya, benar!" sahut Heng Ti yang tubuhnya basah oleh keringat dingin.

- Ah! Dasar bangsat gundul tidak tahu diri! --maki Siau Po dalam hatinya, Dia merasa panas sekali karena hwesio tua ini bermaksud menggagalkan usahanya, -- Kalau aku mencacimu, menghajarmu dan membunuhmu, apakah kau akan membiarkan nya ? Apakah kau mengijinkan aku memenggal kepalamu yang gundul itu? --

Terdengar Giok Lim taysu berkata kembali

"Mengenai Ihama dari Tibet yang ingin menawanmu, berarti ia mencari dosa untuk dirinya sendiri Dia ingin mencelakai rakyat jelata, dia ingin merampas dunia, Dalam hal ini, kita memang tidak boleh membiarkan ia berbuat sesuka hatinya, sekarang ini, kalian tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini sebaiknya kalian ikut aku ke kuil kecil di belakang!" Selesai berkata, Giok Lim taysu langsung membalikkan tubuhnya lalu berjalan pergi Heng Ti dan Heng Tian segera mengikuti di belakang gurunya, Siau Po yang hatinya panas, langsung berpikir - Kalau usahaku ini sampai gagal, sekembalinya kerajaan nanti, aku tidak bisa memberikan pertanggungjawaban kepada-sang raja cilik, percuma aku dianugerahi baju Makwa kuning. sebaiknya aku ikut saja dengan mereka! --

Siau Po mengajak Song Ji berjalan di belakang ketiga hwesio itu. setibanya di kuil kecil yang dimaksudkan, Giok Lim taysu tetap tidak memperdulikan Siau Po dan Song Ji. Malah seakan dia tidak melihat mereka berdua sama sekali. Hwesio itu langsung duduk bersemedi dan Heng Ti pun mengikuti tindakannya itu.

Heng Tian melihat ke sekitarnya, dia mencari alas duduk untuk bersemedi tetapi dia tidak berhasil menemukan satu pun. Terpaksa dia duduk bersemedi tanpa alas disamping kakak seperguruan nya.

Kalau Giok Lim taysu bersemedi dengan memejamkan kedua matanya dan tanpa bergeming sedikit pun, Heng Tian justru sempat celingak-celinguk ke sana ke mari, dan menatap ke atas. Akhirnya dia baru memejamkan kedua matanya dan meletakkan kedua tangannya di atas dengkul kakinya, namun sikapnya tetap tidak bisa khusuk karena sesekali tangannya meraba senjata yang dikhawatirkan akan hilang.

Heng Ti sendiri duduk mematung seperti gurunya. Siau Po memberi isyarat kepada Song Ji dengan gaya yang lucu, dia segera duduk bersila di dekat Heng Tian, Song ji menuruti perbuatannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Watak Siau Po memang mirip si Raja kera Sun Go Kong yang tidak pernah biasa diam. Duduk berdiam diri terlalu lama merupakan siksaan yang tak terkatakan baginya, Mungkin lebih menderita dari pada kehilangan jiwanya sekali pun, Dia juga bingung menghadapi perubahan sikap Heng Ti yang dipengaruhi gurunya itu, Setelah duduk berdiam diri sekian lama, akhirnya dia menoleh ke sana ke mari, lalu menarik telapak tangan Song Ji dan digelitikinya.

Song Ji kegelian, tapi gadis itu berusaha untuk menahan dirinya agar jangan sampai tertawa.

Sementara itu, Siau Po berpikir kembali dalam hatinya.

-- Tampaknya Heng Ti sudah berniat mengikuti ucapan gurunya, bagaimana baiknya sekarang? sebaiknya aku tunggu terus, masa hwesio tua itu tidak ingin membuang air kecil atau air besar? Asal dia pergi, aku akan membujuk Heng Ti agar melarikan diri dari tempat ini....

Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po menguarkan hatinya untuk duduk terus bersama yang lainnya.

Ruangan itu sejak semula tetap sunyi senyap, Tidak lama kemudian terdengar suara derap langkah kaki sedang mendatangi. Bahkan semakin lama suara itu semakin jelas,  Kalau ditilik dari suaranya, jumlah orang yang datang itu tidak sedikit dan tujuannya sudah pasti kuil Ceng Liang si.

Rupanya Heng Tian juga sudah mendengar suara itu. Dia segera menyambar senjatanya dan mementangkan matanya lebar-lebar untuk mengawasi keadaan di luar kuil kecil itu.

Tampak Giok Lim taysu, si hwesio tua itu masih duduk bersemedi tanpa bergerak sedikit pun. Ketika Heng Tian melihat sikap gurunya itu, dia segera meletakkan senjatanya kembali dan duduk bersemedi dengan mata terpejam.

Sementara itu, Siau Po juga sudah mendengar suara gemuruh langkah kaki orang- orang berlarian ke sana ke mari, Rupanya orang-orang itu sedang mencari sesuatu, Mungkin karena tidak berhasil menemukan apa yang dicarinya, sampai sekian lama suara itu masih terdengar juga.

-- jelas mereka datang ke kuil Ceng Liang si ini untuk mencari Lo hongya - pikirnya, Kalau mereka tidak berhasil menemukannya dimana-mana, akhirnya mereka pasti mencari ke tempat ini juga, Baiklah, bangsat tua berkepala gunduI! Aku ingin lihat bagaimana caramu menghadapi orang itu nanti! -

Keadaan di kuil itu masih demikian mencekam, Giok Lim taysu masih bersemedi dengan tenang, Beberapa saat kemudian, suara berisik itu tidak terdengar lagi, Hanya terdengar langkah kaki orang-orang yang mendatangi kuil kecil itu, Bahkan dalam sekejap mata, mereka pun sudah sampai.

"Geledah kuil itu!" terdengar seseorang berteriak dengan suara lantang.

Heng Tian langsung melompat bangun, Dia menyambar senjatanya kemudian menghambur ke depan pintu kuil serta berdiri tegak di tengah-tengahnya dengan sikap menghadang.

Siau Po juga langsung berdiri, lalu berlari ke jendela untuk melihat ke luar. Di bawah cahaya rembulan tampak segerombolan orang yang seakan hanya bagian kepalanya yang terlihat jelas, Bocah tanggung itu menoleh kepada Giok Lim taysu, Tampak Hwesio tua itu bersama Heng Ti tetap duduk tanpa bergeming sedikitpun.

"Bagaimana sekarang?" Tanya Song Ji kepada tuan mudanya, Gadis itu juga ikut pergi ke bawah jendela.

"Kita tunggu sampai gerombolan itu menyerbu masuk," kata Siau Po. ucapannya lirih sekali, "Setelah itu kita tolong si Raja tua dan kita bawa lari lewat pintu belakang.”

Song Ji menganggukkan kepalanya, Siau Po melanjutkan kembali kata-katanya. "Kau ingat, apabila sebentar lagi kita terpaksa berpisah, nanti kita harus berkumpul 

lagi di kuil Leng Keng si." Kembali Song Ji mengganggukkan kepalanya,

"Tapi... aku khawatir tidak kuat menggendong si Raja tua terlalu lama," katanya, "Kalau keadaannya terpaksa sekali, kau seret saja.,." kata Siau Po.

Tepat pada saat itulah di luar kuil terdengar suara yang berisik. "Hai, siapa itu yang bergerak sembarangan?"

"Bekuk dia!"

"Jangan biarkan dia lolos!" "Celaka! Cepat tangkap!"

Kemudian Siau Po melihat dua sosok bayangan yang berkelebat melewati Heng Tian dan terus menerobos ke dalam kuil, setibanya di dalam, mereka segera memberi hormat kepada Giok Lim taysu lalu duduk bersemedi di sampingnya.

Ternyata mereka dua orang hwesio berjubah abu-abu. Anehnya, meskipun ada Heng Tian yang tubuhnya begitu tinggi besar, kedua hwesio itu bisa menyusup masuk tanpa menemui kesulitan apa-apa.

Tiba-tiba di luar kuil terdengar lagi suara teriakan "Ada lagi orang yang datang!"

"Halangi!" "Cepat bekuk!"

"Buk! Buk!" Yang terdengar belakangan ini adalah suara tubuh orang yang terbanting di atas tanah.

Setelah itu, kembali tampak dua sosok berjubah abu-abu menerobos memasuki kuil seperti kedua orang yang pertama, mereka juga memberi hormat kepada Giok Lim taysu lalu duduk bersila di sudut ruangan. 

Sejak awal hingga akhir tidak terdengar seorang pun dari mereka yang membuka muIutnya.

Lalu, setiap kali terdengar suara bentakan yang berisik, pasti ada pasangan hwesio yang menerobos memasuki kuil dan meniru tindakan keempat orang hwesio yang pertama. Dengan demikian, ruang yang kecil itu menjadi sempit pasangan hwesio yang menerobos ke dalam sudah mencapai pasangan ke sembilan jadi jumlah semuanya ada delapan belas orang hwesio. Siau Po segera mengenali, salah satu dari para hwesio itu justru Teng Kong, kepala hwesio di Ceng Liang si. Diam-diam dia menjadi heran juga gembira. Hatinya agak lega, dan kagum melihat kepandaian para hwesio tersebut.

Kalau tujuh belas hwesio yang lainnya mempunyai kepandaian yang setaraf dengan Teng Kong saja, biarpun musuh berjumlah lebih banyak lagi, rasanya tidak perlu dikhawatirkan -- pikirnya.

Di luar kuil itu, gerombolan tadi kembali menimbulkan suara yang gaduh, tetapi tidak seorang pun yang berani menerobos ke dalamnya, Mereka hanya berkaok-kaok di luar.

Setelah lewat sekian lama, dari luar terdengar suara seseorang yang dapat dipastikan orangnya sudah berusia lanjut dan berbeda dengan suara-suara yang berkaok-kaok sebelumnya.

"Pihak Siau Lim Sie bersikeras hendak membela kuil Ceng Liang si. Apakah hal ini berarti Siau Lim Pai juga bersedia memikul segala tanggung jawabnya?"

Dari dalam kuil tidak terdengar suara sahutan. Sesaat kemudian, terdengar si orang tua berkata kembali.

"Baiklah, Hari ini kami memandang muka terangnya Cap Pek Lohan dari Siau Lim Sie. Nah! Mari kita pergi!"

Gemuruh suara diluar menyusul ucapan si orang tua, tetapi hanya sebentar saja, kemudian suasana menjadi hening kembali Ternyata mereka benar-benar pergi.

Sementara itu, secara diam-diam Siau Po memperhatikan ke delapan belas hwesio yang disebut Cap Pek Lohan (delapan belas Lo han) dari Siau Lim Sie oleh orang tua tadi, Hwesio yang tertua berusia sekitar tujuh atau delapan puluh tahun, Dan yang termuda berusia kurang lebih dua puluhan tahun, Tinggi pendek tubuh mereka tidak sama, demikian pula gemuk atau kurusnya. Wajah mereka pun ada yang buruk dan ada yang tampan, jubah mereka agak melembung menandakan bahwa mereka membekal senjata masing-masing.

Orang tua tadi menyebut mereka delapan belas lohan, tentunya Teng Kong termasuk salah satu anggota lohan tersebut - pikir Siau Po kembali -- Giok Liam taysu, si keledai gundul merasa yakin akan keselamatan Heng Ti. Dia mengandalkan delapan belas Lohan ini. Rupanya sejak semula dia sudah mengadakan perjanjian dengan pihak Siau Limsi, Entah sampai kapan mereka akan duduk bersemedi seperti itu? Masa aku harus mengikuti cara-cara mereka? --

Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po segera bangkit dan menghampiri Heng Ti. Dia memberi hormat dengan menekuk kedua lututnya. "Lo suhu, di sini ada Cap Pek Lohan yang menjaga keselamatan Lo suhu, Aku yakin Lo suhu akan baik-baik saja, Karenanya, sekarang aku hendak memohon diri. Apakah Lo suhu mempunyai pesan sesuatu?"

Heng Ti membuka kedua matanya, Dia tersenyum.

"Aku sudah merepotkan dirimu," katanya, "Pulanglah kau ke kerajaan dan sampaikan pada majikanmu bahwa dia tidak perlu datang ke Gunung Ngo Tay san ini karena hanya akan mengganggu ketenanganku saja. seandainya dia berkeras hendak datang, aku tetap tidak akan menemuinya. Harap kau sampaikan kepadanya, Untuk mencapai keamanan dan ketenangan dalam suatu negara, ada beberapa patah kata yang harus diingatnya baik-baik. Yakni "Jangan menambah pajak untuk selama-Iamanya. Kalau dia dapat menuruti pesanku ini, berarti dia sudah berbakti kepadaku dan hatiku sudah tidak kepalang gembiranya."

"lya, baik," sahut Siau Po singkat.

Heng Ti mengeluarkan sebuah kitab dari balik jubahnya,

"Di sini ada sejilid kitab," katanya, "Serahkanlah pada majikanmu! Katakan kepadanya bahwa segala urusan di dunia ini sebaiknya biarkan berkembang dengan wajar, jangan sekali-sekali dipaksakan. Paling bagus kalau kita bisa membuat rakyat merasa damai dan sejahtera! Dan, seandainya rakyat di seluruh negeri ini menginginkan kepergian kita, sebaiknya kita pergi dan kembali ke tempat asal kita!" Sembari berkata Heng Ti menepuk bungkusannya perlahan-lahan.

Siau Po segera teringat apa yang pernah dikatakan oleh To Hong Eng.

-- Mungkinkah isinya juga sejilid kitab Si Cap Ji Cin keng? Bibi To mengatakan bahwa ketika bangsa Boan Ciu memasuki kota perbatasan, mereka selalu ingat jumlah rakyatnya yang kecil sekali bila dibandingkan dengan bangsa Han yang jumlahnya besar sekali Jadi, bangsa Bong Ciu belum tentu bisa menduduki Tiong goan untuk selamanya. Apabila bangsa Bong Ciu berhasil diusir kembali ke Kwan gwa, kitab Si Cap Ji Cin keng itu sangat diperlukan, karena di dalamnya tertera tempat penyimpanan harta karun yang besar. Asal bisa mendapatkan kembali harta itu, bangsa Bong Ciu dapat hidup sejahtera di negeri asalnya, - Dengan berpikir demikian, Siau Po segera mengulurkan tangannya menyambut kitab tersebut

"Sekarang kau boleh pergi!" kata Heng Ti setelah Siau Po menerima kitab yang disodorkannya.

"Baik." sahut Siau Po sambit menyembah kembali.

“Tidak berani aku menerima penghormatanmu ini!" kata Heng Ti. "Sicu, silahkan bangun!" Siau Po bangun kemudian membalikkan tubuhnya, Baru berjalan dua langkah, tiba- tiba suatu ingatan melintas dalam benaknya, timbul sifat kekanak-kanakannya, sifat yang nakal dan jahil. Dia segera berpaling kepada Giok Lim taysu.

"Lo hwesio!" sapanya, "Kau sudah duduk bersila begitu lama, Apakah kau tidak ingin membuang air kecil?"

Giok Lim taysu diam saja, Dia seakan tidak mendengar pertanyaan itu, Siau Po merasa hwesio itu jenaka sekali. Dia melanjutkan langkah kakinya menuju pintu.

"Katakan juga kepada majikanmu," tiba-tiba kembali terdengar suara Heng Ti. "Apabila ibunya kembali melakukan kejahatan, seorang ibu untuk selamanya tetap merupakan ibu. jangan sekali-sekali dia melanggar peraturan adat dan jangan sekali- sekali merasa penasaran atau menyesalinya!"

"Baik!" sahut Siau Po. Dalam hatinya dia justru meyakinkan dirinya sendiri -- Pesan seperti ini tidak mungkin aku sampaikan kepada Sri Baginda.

Sekembalinya ke Leng Keng si, Siau Po langsung masuk kamarnya, Mula-mula dia mengunci pintu, kemudian membuka bungkusan yang diserahkan oleh Heng Ti. Ternyata isinya memang kitab Si Cap Ji Cin keng. 

Yang satu ini kain pembungkusnya berwarna kuning, Dia segera teringat keterangan yang diberikan oleh To Hong Eng mengenai mantan kaisar tua itu. Tetapi dia mendengar sendiri Heng Ti mengatakan "Apabila seluruh rakyat menginginkan kepergian kita, maka kita harus pulang ke tempat asal dari mana kita datang!"

Bangsa Boan Ciu berasal dari Kwan gwa, yakni Mancuria. Dari sana mereka menyerbu Tiong goan dan mendudukinya, Apabila mereka pulang tentu tujuannya Kwan gwa. Mantan kaisar itu menepuk-nepuk bungkusannya ketika mengucapkan pesannya. Tentu dia ingin mengatakan bahwa setelah kembali ke Kwan gwa, bangsa Boan ciu bisa mengandalkan kitabnya yang menyebutkan tempat penyimpanan harta karun itu.

Siau Po berpikir pula dalam halinya, -- Lo hongya menyuruh aku menyerahkan kitab ini kepada Siau Hian cu. sekarang tinggal keputusanku sendiri, aku mau menyerahkannya atau tidak? Di tanganku sudah ada enam jilid kitab Si Cap Ji Cin keng ini, ditambah yang satu ini, jumlahnya jadi tujuh. Untuk melengkapkan keseluruhannya yang berjumlah delapan, aku tinggal mencari satu lagi, Kalau kitab ini aku serahkan kepada Siau Hian cu, maka ke enam jilid kitab yang ada padaku menjadi tidak berharga lagi, Bukankah Lo hongya sendiri yang melarang Siau Hian cu datang ke Ngo tay san? Bahkan dia mengatakan apabila Sri Baginda memaksa juga untuk datang, dia juga tidak akan menemuinya, Dengan demikian, berarti sampai mati pun tidak ada saksi, bukan? Bukankah kitab ini seakan diberikan secara suka rela kepadaku ? Maka, kalau aku tidak menelannya sendiri, mungkin sikapku akan dicela oleh leluhur-leluhur keluarga Wi." Meskipun benaknya sudah berpikir panjang lebar, tapi hatinya masih dilanda kebimbangan. Dia ingat perlakuan kaisar Kong Hi kepadanya sangat baik, dia disayang serta dipercaya penuh. Dengan menelan kitab ini, bukankah dia seperti tidak menghargai raja yang merupakan sahabatnya juga? perasaannya benar-benar tidak tenang...

Tapi, otaknya kembali berputar untuk menenangkan hatinya yang bimbang.

- Hari ini, kalau aku tidak menyuruh Song Ji menolong si raja tua, pasti dia sudah ditawan oleh para lhama dari Tibet dan dibawa pergi, Kalau hal itu sampai terjadi, kitab itu pasti dibawa sekalian. Karena itu, perbuatanku mengambil kitab ini sama saja aku boleh merampasnya dari tangan para lhama itu. 

Dengan demikian, apa yang kulakukan tidak bisa dikatakan keterlaluan bukan? Boleh juga dikatakan bahwa Lo hongya merasa berterima kasih kepadaku sehingga dia menghadiahkan kitab ini untukku, Pantas, bukan? Lebih penting mana, jiwa atau sejilid kitab? 

Tentunya jiwa lebih penting seratus kali lipat dari pada sejilid kitab, Dengan memberikan kitab ini saja, Lo hongya baru membalas budiku sebanyak seperseratus bagian, Berarti dia masih berhutang padaku sebanyak sembilan puluh sembilan bagian. Tentu saja kelak dia harus memikirkan cara untuk membalas budiku yang masih tersisa banyak itu --

Setelah berpikir sampai sejauh ini, hati Siau Po baru lega, Karena itu, keesokan hari nya, dia mengajak Song Ji dan Ie Pat turun gunung, Dalam perjalanan, hatinya berbunga-bunga, Bukankah dia telah berhasil menemui kaisar Sun Ti bahkan menyelamatkannya dari ancaman maut? Bukankah dia juga memperoleh kitab yang berharga ini? Di pihak lain, tanpa disangka-sangka dia juga mendapat seorang pembantu selihay dan secantik Song Ji serta menurut?

Mereka baru menempuh perjalanan sejauh sepuluh li. Saat itu mereka masih berada di pegunungan dan tengah berjalan terus, tiba-tiba Siau Po melihat di depannya ada seorang tosu yang bertubuh tinggi sekali sedang berjalan menghampirinya. 

Tinggi tosu ini sangat luar biasa, hampir seimbang dengan Heng Tian, kecuali tubuhnya yang kurus, Si pendeta kepala Teng Kong sudah terhitung kurus, tapi tosu ini masih lebih kurus lagi, wajahnya demikian cekung seakan hanya terbungkus kulit tanpa daging sedikit pun. 

Kedua matanya dalam sekali sehingga mirip mayat hidup, sedangkan jubah yang dikenakannya begitu besar sehingga tampangnya seperti gantungan baju.

Biar bagaimana, tercekat juga hati Siau Po melihat tampang tosu itu, dia sampai tidak berani menatapnya, wajahnya sengaja dipalingkan ke arah yang lain. Dia juga jalan di pinggiran dan membiarkan tosu itu melewatinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar