Kaki Tiga Menjangan Jilid 34

Jilid 34

Tapi aneh, Ihama itu bukan mendarat dengan kaki terlebih dahulu, tapi justru kepalanya yang ada di bagian bawah. Bukankah itu berarti dia akan jatuh nyungsep? Tidak ampun lagi, kepala itu amblas ke dalam tanah yang lembek dan masuk sampai sebatas dada, Yang tampak hanya bagian pinggang dan kedua kakinya yang meronta- ronta.

Dari kagum, Siau Po menjadi kaget dan heran, Dia tidak mengerti tipuan apa yang dipamerkan Ihama itu.,.,

Kedua Ihama lainnya juga terkejut setengah mati, Mereka segera menerjang ke depan untuk menolong kawannya yang melesak ke dalam tanah, Ketika di angkat ke atas, tampak bagian atas tubuhnya, terutama di bagian wajah dan kepala penuh dengan lumpur hitam, Untung saja hujan deras tadi malam telah membuat tanah di daerah itu menjadi lunak, kalau tidak, kepala Ihama itu pasti sudah pecah terhantam tanah yang keras.

Biar bagaimana, Siau Po jadi tertawa menyaksikan hal itu. Tapi ia ingat diri mereka yang masih dalam keadaan berbahaya, Karena itu, dia segera berkata kepada si kusir kereta.

"Kau masih belum melarikan kereta juga?" sementara itu, tangan Song Ji masih menggenggam kalung mutiaranya.

"Siangkong!" katanya kepada Siau Po. "Apakah kalung ini tetap diberikan kepada mereka?" Belum sempat Siau Po memberikan jawaban. Kedua lhama yang membantu rekannya ke luar dari tanah berlumpur, sudah langsung saja menghunus goloknya dan menghambur ke arah kereta.

Song Ji segera merebut cambuk yang dipegan kusir kereta dan dalam sekejap mata, tahu-tahu golok pendeta itu sudah terlilit dan tertarik Son Ji mengulurkan tangan kirinya dan dengan mudah dia berhasil merampas golok tersebut Sedangkan cambuk di tangan kanannya digerakkan kembali Kali ini golok pendeta yang satunya lagi ikut terlepas dari genggaman dan berhasil dirampas olehnya.

Lhama yang ketiga berdiri terpaku, Pandangan matanya menyorotkan sinar kekaguman Sesaat kemudian dia baru berteriak

"Ayo!" Tubuhnya langsung menerjang ke dep dan tahu-tahu ngusruk ke depan kereta karena cambuk Song Ji sudah melilit lehernya, sedang golok ditangannya juga ikut terampas,

Hebat sekali penderitaan lhama yang satu ini. Matanya terbelalak yang kelihatan hanya bagian putihnya saja, Lidahnya menjulur ke luar karena Iilitan di lehernya ketat sekali.

Kedua lhama lainnya segera bergerak, mereka menyerang dari kiri dan kanan, Tampaknya mereka hendak memberikan pertolongan kepada kawannya yang terlilit cambuk di tangan Song Ji itu,

Meskipun diserang dari dua arah, Song Ji segera menyingkir dengan mencelat ke atas, Sebelah kakinya bertumpu pada atap kereta, sedangkan kakinya yang sebelah lagi menginjak kepala salah seorang lhama itu, Song Ji tidak berdiam diri Kakinya langsung terangkat naik dan mendupak kedua lhama lainnya, Mereka langsung terjungkal roboh. sementara itu, Song Ji berjumpalitan di udara, Cambuk di tangan kanannya menghajar lhama yang barusan kepalanya diinjak olehnya. Dalam sekejap mata ketiga lhama itu sudah terkulai tidak sadarkan diri di atas tanah.

Siau Po dapat menyaksikan peristiwa itu dengan jelas, hatinya menjadi senang sekali sehingga dia berjingkrakan, Sebab sekarang dia baru mengerti apa yang telah terjadi.

"Oh, Song Ji!" teriaknya. Ternyata kau begitu lihay!" katanya.

Nona cilik itu tersenyum, "Kepandaianku belum berarti," sahutnya, "Dasar ketiga pendeta itu saja yang tidak berguna!"

"Kalau tahu begini," kata Siau Po kembali “Tidak perlu aku merasa khawatir atau kebingungan. Barusan aku mencemaskan keselamatanmu."

Selesai berkata, Siau Po melompat turun dari keretanya dan menghampiri salah seorang lhama itu kemudian mendupaknya keras-keras. "Hei, kalian bertiga, apa pekerjaanmu?" Lhama itu dalam keadaan tidak sadarkan diri, Tentu saja dia tidak bisa menjawab pertanyaan Siau Po.

Song Ji juga menghampiri lhama itu kemudian menendang punggungnya, Dengan demikian si lhama itu tersadar dari pingsannya,

"Kau dengar atau tidak?" tanya nona itu. "Siang-kong bertanya kepadamu, apakah pekerjaan kalian sebenarnya?"

Pendeta itu menatap Song Ji lekat-lekat "Nona..." katanya, "Apakah nona mengerti ilmu dewa?"

Song Ji tersenyum.

"Cepat katakan!" bentaknya dengan suara garang. "Apa sebenarnya pekerjaan kalian?"

"Aku,., aku." sahut si lhama dengan suara g gup. "Kami... adalah para lhama dari kuil Bun Cu I di puncak Ngo Tay san. "

"Apanya lama-lama?" bentak Song Ji. "tidak menanyakan engkau lama atau sebentar? Mengapa kau mengoceh yang bukan-bukan?"

"Lhama artinya pendeta Agama Buddha di Tibet." kata Siau Po menjelaskan.

"Oh, jadi kalian ini kaum pendeta?" tanya Song Ji kembali, "Kalau memang seorang pendeta, mengapa kau tidak mencukur gundul kepalamu?"

"Kami para Ihama, bukan pendeta." sahut orang yang ditanya.

"Apa? Kau masih membandel juga?" kata Song Ji yang kembali menendang pantat lhama itu. Kali ini dia menendang urat darah orang itu yang membuat dirinya seperti digigit oleh ribuan ekor semut. Tanpa dapat dipertahankan lagi, lhama itu menjerit dan mengerang karena seluruh tubuhnya terasa gatal sekali, suaranya semakin lama semakin lirih....

Kedua lhama lainnya tersadar sendiri mendengar suara erangan kawannya itu. Mereka merasa heran dan terkejut kemudian terdengar mereka berbicara dalam bahasa Tibet Setelah itu, lhama yang menderita kegatalan itu berkata kepada Song Ji.

"Nona. nona yang baik," katanya, "Kami adalah kaum pendeta, Apa pun yang nona 

katakan, kami akan menurutinya. Tapi, cepat. nona bebaskan jalan darahku ini.,.!"

Song Ji tertawa.

"Apa yang nonamu katakan, tidak ada hitungannya. Apa yang benar adalah perkataannya siang-kongku ini. Nah, siangkong. Apa yang ingin kau katakan?" Siau Po merasa geli sekali, tapi dia menahan tertawanya.

"Kalian adalah orang-orang yang menyucikan diri, mengapa kalian ingin merampas milik orang lain?"

"Iya... kami memang patut mati!" kata salah seorang lhama tersebut. "Lain kali kami tidak berani lagi..."

"Apa kalian pikir masih ada lain kali?" tanya Siau Po.

"Sekali kami katakan tidak berani, biar pun seratus tahun kemudian, artinya kami tidak berani lagi melakukan hal ini." sahut salah seorang lhama.

"Kalian bukan berdiam di dalam kuil membaca doa di sana, malah keluyuran ke mana-mana, apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Siau Po.

"Kami... kami dititah guru kami turun gunung. "

"Apakah guru kalian menitahkan kalian turu gunung untuk merampas harta benda milik orang lain?"

"Bukan.... Kami akan pergi ke Kotaraja. " Kata-kata si lhama yang gemuk jadi 

berhenti karena seorang rekannya memberi isyarat dengan memperdengarkan suara terbatuk-batuk..

Siau Po sangat cerdik, mendengar suara batuk batuk itu, dia segera melirik. Dia sempat melihat salah seorang lhama mengedipi kawannya dan mencegahnya bicara lebih lanjut.

Tadinya Siau Po menduga pendeta itu ingin merampas kalung mutiara Song Ji sehingga dia ketakutan sebetulnya para lhama pergi ke Kerajaan bukanlah suatu hal yang aneh.

Dia tahu para lhama dari Tibet sangat dihormati bangsa Boan Ciu. Kalau didalam istana ada upacara keagamaan, pasti para lhama diundang untuk membaca doa. Karena istana raja sendiri berbuat demikian tentu para pangeran dan menteri lainnya juga menirunya, Hal ini membuat para lhama di Kerajaan raja besar kepala dan sering melakukan hal-hal yang menentang hukum.

Siau Po sudah berpikir untuk menyiksa para lhama itu dan memberi mereka pelajaran Setelah itu dia baru membebaskan mereka, Tidak tahunya, ia melihat tingkah laku para lhama itu yang mencurigakan. Dia menduga bahwa mengandung maksud tertentu dan bukan pergi ke Kerajaan hanya untuk membaca doa saja.

"Oh, rupanya kalian bertiga sedang bermain gila!" katanya dengan suara garang. "Song Ji, tendang lagi mereka masing-masing satu kali, biar mereka menjerit-jerit kesakitan Setelah itu kita baru melanjutkan perjalanan!" "Baik!" sahut Song Ji. Dia juga mencurigai gerak gerik si lhama gemuk dan segera dia menendang keras-keras. Yang diincarnya jalan darah yang tadi juga.

Lhama itu kontan menjerit keras, Song Ji menghampiri lagi lhama yang menjadi korbannya tadi dan siap menendang pula, Lhama itu ketakutan setengah mati. Dia sudah merasakan penderitaannya yang hebat, karena itu, sebelum ditendang, si lhama langsung berkata.

"Jangan tendang aku, jangan tendang aku!. Nanti aku akan bicara! Se... benarnya guru kami mengirim kami ke Kerajaan untuk membawa dan menyampaikan sepucuk surat. "

"Surat?" "Iya. "

"Mana surat itu?"

"Surat itu bukan untukmu, jadi aku tidak dapat menyerahkannya kepada kalian berdua, Kalau guru kami mengetahuinya, kami pasti akan celaka, Kemungkinan kami malah akan dibunuhnya. "

"Keluarkan surat itu!" bentak Siau Po. Dia tidak menghiraukan keberatan lhama itu. "Kalau tidak, akan kusuruh nona ini menendang lagi jalan darahmu."

Siau Po berkata sambil menghampiri lhama itu, Orang itu ketakutan setengah mati. Dia tahu anak muda itu bukan hanya sekedar menggertak. Dia takut jalan darahnya ditendang lagi, Karena itu dia menjadi bingung sekali.

"Jangan tendang aku!" teriaknya panik, "Surat itu tidak ada padaku." "Jangan banyak bicarat Pokoknya, keluarkan surat itu!"

Lhama itu ketakutan. Dia segera menghampiri kedua kawannya dan mengajak mereka berbicara dengan bahasa Tibet. Si lhama gemuk juga menjawab dengan bahasa yang sama, Tidak jelas apa yang mereka katakan, tapi Siau Po dapat menduga bahwa si gemuk itu melarang rekannya memberikan surat itu kepada mereka, Siau Po menjadi sengit sekali, Dihampirinya lhama bertubuh gemuk itu kemudian didupaknya bagian belakang kepalanya dengan keras sehingga orang itu terkulai tidak sadarkan diri.

Pendeta yang ketiga dapat melihat dengan jelas semua yang terjadi di depan matanya, Dia segera merogoh kantongnya dan mengeluarkan surat yang dimaksud Surat itu terbungkus rapi dengan kertas minyak, Dengan kedua tangannya dia menyerahkan surat itu kepada Siau Po. Siau Po segera menerima surat itu dan Song Ji merogoh kantongnya sendiri mengambil sebuah gunting kecil dan digunakannya untuk membantu Siau Po membuka pembungkus surat itu.

Memang benar, bungkusan itu berisi surat yang bagian luarnya terdapat dua baris huruf dalam bahasa Tibet.

"Kepada siapa surat ini ditujukan?" tanya Siau Po. "Untuk paman guru kami." sahut lhama gemuk itu.

Siau Po segera merobek amplop surat tersebut. Melihat tindakannya, kedua lhama yang masih sadar langsung mengeluarkan seruan tertahan saking bingungnya.

Surat itu ditulis dengan sehelai kertas kuning. Tulisannya menggunakan bahasa Tibet, Di bawahnya ada tulisan panjang yang menggunakan tinta merah seperti hu atau (kertas penangkal setan), Entah apa bunyinya, jangankan surat itu ditulis dalam bahasa Tibet, meskipun ditulis dalam bahasa Cina sekalipun, Siau Po juga tidak bisa membaca- nya. Dia segera menyerahkan surat itu kepada Song Ji.

Song Ji mengulurkan tangannya menyambut surat itu, Gadis itu melihatnya dengan seksama, tapi dia juga tidak mengerti arti tulisan itu. Namun dia memang cerdas, dia segera menoleh pada si lhama yang pendek dan berkata.

"Siangkong menanyakan arti tulisan dalam surat ini. Apa bunyinya? Kalau kau berbohong, aku akan menendangmu sekali lagi, Dan kali ini, aku tidak akan membebaskan dirimu, kau akan kubiarkan dalam keadaan tertotok untuk selama- lamanya."

Sembari berkata, Song Ji menyodorkan surat itu, Si lhama menerimanya, dan melihatnya berulang kali, tapi tidak membacanya, "Ini... ini..." katanya dengan gugup, "Apanya yang ini... ini terus? Cepat bicara!" bentak Siau Po.

"Iya.,, iya," kata si lhama ketakutan "Surat in berbunyi: Apa.,, yang kakak tanyakan tentang orang itu. "

Baru berkata beberapa patah kata, kawannya yang satu lagi, bukan si gemuk, segera berbicara dengan menggunakan bahasa mereka, Tapi dia juga hanya sempat berbicara beberapa patah kata saja.

Tiba-tiba Song Ji menggerakkan kakinya menendang lhama itu. Meskipun gadis itu tidak mengerti apa yang dikatakan orang itu barusan, tapi dia yakin tujuannya pasti ingin mencegah rekannya berbicara lebih lanjut.

Orang yang kena tendangan itu langsung menjerit keras dan berkaok-kaok. Dia ditendang jalan darahnya yang sama, jadi dia juga merasakan penderitaan seperti rekannya tadi. Si lhama yang membaca isi surat itu jadi ketakutan setengah mati, wajahnya pucat pasi.

"Da... lam... surat itu dikatakan bahwa... orang yang kita cari tidak berhasil ditemukan, karena itu tentu tidak ada di gunung Ngo Tay san. "

Siau Po menatap orang itu dengan pandangan tajam, Dia melihat orang itu membaca dengan tersendat-sendat dan matanya terus berputaran ke sana ke mari.

"-- Aku tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan, tapi dapat dipastikan bahwa dia sedang berdusta." pikirnya dalam hati, -- Oh, pendeta tolol, berdusta saja tidak bisa! , 

karena itu dia segera berkata, "Manusia ini sedang membohongi aku."

"Hai manusia busuk!" teriak Song Ji. "Dia benar-benar tidak boleh diampuni." Sebelah kakin langsung diangkat dan menendang jalan darah Thia hoat si Ihama itu sehingga orang itu langsung menjerit sekeras-kerasnya.

"Kau. kau bunuhlah aku. Kakak seperguruan ku tadi sudah mengatakan apabila isi 

surat itu dibertahukan, maka kami bertiga akan kehilangan nyawa, Maka itu, kau bunuh saja aku!"

"Jangan perdulikan dia! Mari kita pergi!" ka Siau Po, Selesai berkata, Siau Po melompat naik ke atas keretanya, Song Ji mengikutinya.

Sementara itu, si kusir benar-benar kagum. Dia telah menyaksikan semuanya, Dia tidak menyangka nona tanggung itu sanggup melawan tiga orang lhama tersebut.

Di atas kereta, Siau Po membisiki Song Ji "Di depan sana, bila kita sampai di sebuah pasar atau pun kota, kau harus mengganti pakaian untuk menyamar sebaiknya kalung mutiara itu kau simpan saja."

"Baik." sahut Song Ji. "Bagaimana aku harus merubah dandananku?" Siau Po tertawa. "Kau menyamar menjadi seorang bocah laki-laki!" katanya.

Song Ji ikut tertawa.

Kereta berjalan kurang lebih tiga puluh li dan sampailah mereka di sebuah pasar. Siau Po turun dari kereta, tidak memperpanjang sewaannya.

Setelah mendapatkan penginapan dia memberi uang pada Song Ji dan menyuruhnya membeli pakaian.

Nona cilik itu menurut. Tidak lama dia pergi, ternyata dia sudah kembali dengan barang belanjaannya, setibanya di dalam kamar, dia langsung berdandan Sesaat kemudian dia sudah berubah menjadi seorang Sitong atau kacung pelayan seorang sastrawan Dengan demikian, perjalanan selanjutnya membuat Song Ji tidak lagi menarik perhatian. Namun ada satu hal yang patut disayangkan, meskipun kepandaiannya cukup tinggi, tapi pengalamannya kurang sekali Begitu pula pengetahuan umumnya. Di dalam segala hal, dia selalu menurut apa yang dikatakan Siau Po. Sebaliknya, Siau Po cerdas dan sudah cukup banyak pengalaman tapi dia lemah dalam ilmu membaca dan menulis.

Pada suatu hari, tibalah mereka di tapal batas propinsi Shoa Say. Dari tempat ini, dari kecamatan Hu Peng yang masih termasuk wilayah Tit-le, mereka menuju ke barat Setelah melewati tembok besar Ban Li tiang ceng, mereka sampai di kota Liong Ki kwan. inilah jalan untuk menuju ke bagian timur dari gunung Ngo Tay san. jalannya penuh dengan bebatuan. Di sana juga terdapat banyak tebing dan puncak yang tinggi, Kemudian mereka juga mampir di kuil Yong Coan si, untuk mencari keterangan tentang kuil Ceng Liang si.

Ngo Tay san luas dan lebar, Kuil Ceng liang si terdapat di antara kedua puncak Lam tay dan Tion tay. Terpisah dari kuil Yong Coan si, letak kuil Cen Liang si sendiri masih cukup jauh.

Siau Po bermalam di dusun Lou Ki Cung yan terletak di sisi kuil Yong Coan si, Malam itu, selesai bersantap, dia merenungkan kembali gerak-gerik pendeta Yong Coan si yang melayaninya berbicara.

Dia merasa pendeta itu kurang begitu memperhatikannya, Mungkin karena dia hanya seorang kacung yang tidak dihargai Ketika dia meminta keterangan dari si pendeta tentang jalanan menuju kuil Ceng Liang si, hwesio itu mengatakan.

"Jalanan ke sana jauh dan sulit ditempuh, Untuk apa kau pergi ke kuil Ceng Liang si,.?"

- Rupanya perjalanan menuju kuil Ceng Lian si agak sulit ditempuh - Demikian pikirnya dalam hati -- Aku harus menemukan jalan keluarnya. Kalau sulit mencapai tempat itu, berarti sukar pula bagiku untuk bertemu dengan kaisar Sun Ti. --

Sembari menikmati teh hangatnya, otak Siau Po terus bekerja.

-- Dengan uang, setan pun dapat diperintah. --pikirnya kemudian - Mustahil para pendeta di kuil Yong Coan si tidak menyukai uang? Aku ingat kisah yang dituturkan tukang cerita yang ambil bagian peranan Lou Ti Cim yang naik ke puncak gunung Ngo Tay san untuk menjadi pendeta dalam kisah Sui Hu Coan. Dalam cerita itu, dikatakan dermawan Tio telah banyak menyumbangkan uang untuk kuil itu. Lou Ti Cim suka mengacau, Dengan seenaknya dia makan daging dan minum arak, tapi si pendeta tua yang menjadi gurunya tidak marah. Mungkin ada baiknya bila aku datang kembali untuk pura-pura melakukan amal Aku akan menyebarkan uang-ku di sana, kemudian aku akan menetap di kuil itu, Mustahil si pendeta tua akan memaksakan diri mengusirku? -- Siau Po sudah memikirkan rencahanya, tapi untuk melaksanakannya masih memerlukan sedikit waktu, Di tempat itu dan sekitarnya, uang goan pio seharga lima ratus tail saja sulit di tukar. Karena itu, terpaksa mereka kembali ke Hu Peng untuk menukar uang kecil. Mereka juga membeli beberapa perangkat pakaian baru untuk menyalin dandanannya.

- Aku tidak mengerti urusan sembahyang, mungkin aku akan membuka kedokku sendiri --pikirnya lebih jauh, - sebaiknya aku belajar dulu di kuil lain.... --

Dengan membawa pikiran seperti itu, Siau Po segera menuju sebuah kuil yang terdapat di kecamatan Hu Peng. setibanya di sana dia berlutut dan menyembah di depan Pou Sat, setelah itu datang seorang pendeta yang menyodorkan buku derma kepadanya.

-- Aku ingin menderma, tapi apa yang harus kutuliskan? --, tanya Siau Po dalam hatinya, Akhir-nya dia mengeluarkan sehelai goan pio senilai lima puluh tail perak sehingga si pendeta menjadi terkejut setengah mati melihat jumlah yang demikian besar.

-- Tuan ini sungguh murah hati, jarang ada orang yang seperti ia di jaman ini -- pikir pendeta itu.

Karena itu, pendeta tersebut segera mengundang Siau Po bersantap dalam kuilnya, Dia mengucapkan terima kasih dan melayani Siau Po dengan baik sekali, Dia duduk menemani dan tidak lupa memuji sang tamu yang dikatakan pasti akan mendapat berkah karena kemurahan hatinya itu. 

Dia mengatakan tamunya akan mendapat perlindungan dari Pou Sat dan Bodhisatwa, bila sudah dewasa kelak akan berhasil lulus dalam menempuh ujian di istana dan akan hidup bahagia bersama banyak anak cucunya.

Di dalam hatinya, Siau Po tertawa geli.

-- Ya, kau boleh saja menepuk-nepuk pinggulku, -- pikirnya. - Aku toh buta huruf, man mungkin aku lulus dalam ujian, apalagi ujian di Istana! Sama saja kau menyindir aku secara terang-terangan. -- Tapi di luarnya, dia tidak menunjukkan perasaan apa- apa, hanya bertanya.

"Lo suhu, aku berniat mengadakan upacara sembahyang besar di gunung Ngo Tay san, tapi aku tidak mengerti apa-apa tentang hal itu, Karena itu, sudilah kiranya Lo suhu memberikan petunjuknya!" 

"Bagus sekali, sicu." kata si pendeta, "Tapi kuil yang memuja sang Buddha ada di mana-mana dan semuanya sama saja, Kalau hanya ingin mengadakan upacara sembahyang, sebaiknya sicu bikin di sini saja. Kuil kami dapat menyiapkan semuanya dengan sempurna. Untuk apa harus melelahkan diri ke gunung Ngo Tay san yang begitu jauh letaknya?" Siau Po segera menggelengkan kepalanya.  "Tidak bisa!" katanya. "Aku harus bersembahyang di gunung Ngo Tay san, karena itulah janji yang sudah kuucapkan, sekarang begini saja, Lo suhu tolong carikan satu orang untuk menjadi pembantuku Dan tentu saja aku akan memberikan uang sebagai upahnya, Ini!"

Tidak kepalang tanggung, Siau Po menyodorkan uang sebanyak lima puluh tail perak, Tentu saja pendeta itu menjadi senang sekali.

"Gampang! Gampang!" katanya, Dia ingat saudara misannya yang membantu di kuil Meskipun bukan seorang pendeta, tapi urusan mengadakan upacara sembahyang saja tidak menjadi masalah baginya. pasti dia dapat membantu tamunya ini.

Karena itu, dia langsung memanggil saudara misannya untuk dipertemukan dengan tamunya itu.

Saudara misannya itu bernama le Pat. Dia pandai berbicara, Siau Po senang mendapat pembantu seperti itu, Dia langsung mengajaknya pulang ke penginapan kemudian dia mengeluarkan uang menyuruh le Pat membelikan segala macam keperluan yang dibutuhkan.

le Pat pandai berbelanja. Bahkan dia membeli seperangkat pakaian untuk dirinya sendiri Dia juga membelikan pakaian yang mentereng untuk Siau Po. Katanya, sebagai pengikut seorang hartawan dia harus menyesuaikan dirinya, Harga pakaiannya sendiri hanya lima tail.

Alasan itu memang masuk akal Siau Po dapa menerimanya, Dia juga menyuruh le Pat membelikan lagi beberapa perangkat pakaian untuk Song Ji. Setelah itu bersama- sama mereka berangkat ke Liong Coan Kwan Sesudah melintasiny mereka langsung menuju selatan, menuju Gunung Ngo Tay san.

Barang-barang keperluan bersembahyang digotong oleh delapan orang kuli. perjalanan ini melalui banyak kuil, Malamnya mereka singgah di kuil Le Keng si, keesokan harinya rombongan itu menuju ke utara, Setelah sampai di kuil Kim Kok si, beberapa li di sebelah barat terletak kuil Ceng Lia si yang letaknya di puncak bukit Ceng Liang san.

Siau Po kecewa ketika melihat kuil itu, melihat keadaannya tidak berbeda dengan kuil-kuil lainnya dan jauh sekali dari bayangan Siau Po sebelumnya.

-- Kalau raja tua ingin menyucikan diri, seharusnya beliau memilih kuil yang besar dan namanya tersohor. Masa dia memilih kuil seperti itu? Pasti Hay kong kong mengoceh sembarangan Kemungkinan kaisar Sun Ti tidak berada di sini. -- pikirnya dalam hati.

le Pat yang pertama-tama masuk ke dalam pintu gerbang kuil, Dia langsung menemui Ti Kek Ceng (Pendeta yang bertugas menyambut tamu), memberitahukan  tentang kedatangan seorang hartawan besar dari Kerajaan yang ingin bersembahyang di kuil itu,

Pendeta itu senang sekali, dia segera mengabarkan berita itu kepada gurunya, yakni pendeta Teng Kong yang usianya sudah lanjut, Siau Po langsung dipertemukan dengan pendeta itu, pendeta itu menanyakan maksud Siau Po mengadakan upacara sembahyang.

Kembali Siau Po merasa kecewa melihat tampang si pendeta. orangnya bertubuh jangkung dan kurus kering, kedua matanya agak tertutup, seperti orang yang tidak mempunyai semangat sedikit pun. Tapi Siau Po tetap menjawab pertanyaannya.

"Aku ingin bersembahyang selama tujuh hari tujuh malam untuk arwahku dan teman- temannya yang telah meninggal dunia."

Tampaknya Teng Kong merasa heran mendengar jawaban itu.

"Di Kotaraja terdapat banyak kuil yang besar, mengapa sicu justru datang ke kuil sejauh ini?" tanyanya.

"Tentu saja ada sebabnya, suhu." sahut Siau Po. "Pada tanggal lima belas bulan yang lalu, ibuku bermimpi bertemu dengan arwah ayahku, Beliau mengatakan agar aku mengadakan upacara sembahyang di kuil Ceng Liang si, Ngo Tay san. Menurut ibuku, ayah mengatakan hal ini demi menebus dosa ayah agar mereka tidak tersiksa lebih lama dalam neraka,"

Siau Po hanya mengoceh sembarangan Sebab dia sendiri tidak tahu siapa ayahnya dan dia juga tidak tahu apakah ayahnya itu masih hidup atau sudah mati. Ketika memberikan jawaban, dalam hatinya dia tertawa sendiri.

"Oh, begitu rupanya." kata Teng Kong. Tapi ada satu hal yang perlu sicu ketahui, mimpi adalah sesuatu yang sulit dijelaskan. Kebanyakan orang percaya, bila di siang hari kita mengingat sesuatu terlalu dalam, maka malam hari kita akan memimpikannya, Kita tidak dapat mempercayai sebuah mimpi begitu saja..."

"Tapi, suhu.,." kata Siau Po. "Masih ada persoalan lainnya, Pepatah mengatakan, lebih baik percaya dari pada tidak, Karena itu, katakanlah impian ibuku itu tidak benar, toh lebih baik aku menyembahyanginya. Bagaimana kalau ternyata impian itu benar dan aku tidak menurut? Bagaimana kalau arwah ayahku di dalam neraka disiksa oleh Gu tau be bin (Mahluk-mahluk berkepala kerbau dan berwajah kuda)? Bagaimana hatiku bisa tenang? Lagipula, aku sedang melaksanakan titah ibuku yang mengatakan bahwa beliau berjodoh dengan kepala pendeta kuil Ceng Liang si. Biar bagaimana, sembahyang besar ini harus dilakukan di sini."

Berkata demikian, si anak aneh ini pun berpikir dalam hatinya. - Kalau kau memang berjodoh dengan ibuku, pergilah ke Li Cun wan di Yang-ciu dan bersenang-senang di sana...

Teng Kong segera memperdengarkan suara yang kurang puas.

"Sicu, ada sesuatu hal yang sicu tidak mengerti." katanya, "Sebetulnya kuil kami ini termasuk golongan Sian Cong (Khusus menerima orang-orang yang ingin menyucikan diri), kami tidak biasa melakukan upacara sembahyangan, sembahyang seperti itu biasanya diadakan dalam kuil golongan Ceng Tou Cong. Kuil sejenis itu banyak terdapat di daerah Ngo Tay san ini. Umpamanya kuil Kim Kok si, kuil Pau Ci si, kuil Tay Hud si, dan kuil Yan Keng si. sebaiknya sicu pergi saja kesalah satu kuil tersebut.

Siau Po merasa heran pendeta di Hu Peng saja memandang tinggi kuil Ceng Lang si. Di balik semua ini pasti ada sebab-musababnya, Dia mencoba meminta lagi, tapi Teng Kong tetap menolaknya. Bahkan pendeta itu bangkit dan berkata kepada pendeta yang bertugas menyambut tamu.

"Tunjukkanlah jalan pada sicu ini bagaimana mencapai kuil Kin Kok si, Maafkan lolap (panggilan seorang pendeta untuk dirinya sendiri), aku tidak dapat menemani sicu lebih lama lagi." Siau Po jadi kebingungan "Lo suhu, kalau begitu, sudilah kiranya kau menerima barang-barang yang diperlukan para pendeta di sini!" katanya, "Di dalamnya ada jubah, kopiah, serta uang yang hendak kami amalkan..."

"Terima kasih, sicul" kata Teng Kong yang tampaknya tidak tertarik meskipun barang bawaan Siau Po banyak sekali

Siau Po benar-benar penasaran. Dia berkata kembali

"lbuku berpesan, aku harus menyerahkan barang-barang ini langsung ke tangan setiap suhu yang ada di sini. Tidak terkecuali tukang masak, tukang kebun dan yang lainnya. Semua sudah disediakan bagiannya masing-masing. Barang yang aku sedia kan cukup untuk delapan ratus orang. Kalau masih kurang, aku harus membelinya lagi. "

"lni pun sudah cukup, sicu, Malah kebanyakan. sahut si pendeta, "Jumlah pendeta di dalam kuil kami hanya empat ratus lima puluh orang, Kalau sicu tetap mendesak, baiklah, Sicu tinggalkan saja bagian untuk empat ratus lima puluh orang."

Siau Po menganggukkan kepalanya, tapi dia masih berkata.

"Dapatkah Lo suhu memanggilkan semua anggota kuil agar berkumpul di sini? Dengan demikian, aku bisa menyerahkannya dengan kedua tanganku sendiri inilah pesan yang dititipkan ibuku, aku tidak berani melanggarnya."

Tiba-tiba Teng Kong mengangkat kepalanya, sekilas tampak matanya menyorotkan sinar berkilau bagai kiiat, tapi hanya sekejap kemudian dia menundukkan kepalanya kembali setelah itu dia merangkapkan sepasang tangannya dan memuji Sang Buddha. "Baiklah! Aku akan mengiringi kehendak sicu," katanya kemudian, Dia langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah ke dalam

Siau Po merasa heran, Dia memperhatikan tubuh si pendeta yang tinggi dan kurus. Dia jadi mendongkol sendiri melihat sikap si pendeta itu, Dia mengangkat cawan tehnya kemudian meneguknya sampai kering.

Ie Pat yang berdiri di belakang si bocah tanggung berkata dengan suara perlahan "Seumur hidup aku baru melihat pendeta seaneh itu. pantas saja, meskipun kuilnya 

besar, tapi tubuh suci Sang Bodhisatwa rusak tidak terurus!" Tidak lama kemudian, 

terdengar bunyi lonceng, Kemudian si Ti Kek Ceng berkata. "Sicu, silahkan sicu masuk ke dalam!"

Siau Po menganggukkan kepalanya dan langsung melangkah ke da1am. Si pendeta menjadi petunjuk jalan, setibanya di pendopo besar, para pendeta sudah berkumpul di sana, semuanya berbaris dengan rapi, Tanpa menunda waktu lagi, Siau Po membagi- bagikan hadiahnya.

Sembari bekerja, Siau Po memperhatikan wajah para pendeta itu satu persatu. Di dalam hatinya dia berkata: Aku tidak pernah melihat wajah raja Sun Ti, tapi dia toh ayah si raja cilik, kemungkinan tampangnya tidak sama dengan para pendeta lainnya. Atau mungkin saja ada sedikit kemiripan dengan kaisar Kong Hi...

Ternyata harapan Siau Po sia-sia belaka, sampai ia selesai membagi-bagikan amalnya, tetap tidak ditemuinya orang yang dicari Bahkan yang mirip pun tidak ada. Saking kecewa, dia berkata dalam hati.

"Tapi, beliau adalah orang agung, mana mungkin dia sudi menerima hadiah seperti ini? Benar-benar sebuah rencana yang bodoh! “

Siau Po masih tetap penasaran, dia bertanya sekali lagi apakah tidak ada hwesio yang ketinggalan menerima hadiah berupa jubah dan kopiah itu.

"Semuanya sudah mendapat bagian, sicu. Dan semuanya berterima kasih sekali terhadap sicu." sahut si pendeta penyambut tamu.

"Benarkah semuanya sudah menerima hadiah?" tanya Siau Po menegaskan "Siapa tahu ada salah seorang di antaranya yang tidak sudi menerima hadiah ini?"

"Sicu bergurau!" kata pendeta itu. "Mana mungkin ada kejadian seperti itu?"

"Orang yang sudah menyucikan diri tidak boleh berdusta." kata Siau Po. "Kalau kau membohongi aku, setelah kau mati, di dalam neraka nanti, kau akan disiksa, Lidahmu akan dibetot ke luar. " Mendengar kata-kata Siau Po, wajah pendeta itu menjadi pucat pasi, Siau Po melihat dan dapat menerka sebabnya. Karena itu dia segera berkata, "Kalau masih ada yang belum mendapatkan hadiah, lekas undang dia keluar!"

"Hanya guru kepala kami yang belum mendapatkan bagiannya." sahut si pendeta, "Tapi aku rasa sebaiknya beliau tidak usah diundang ke luar."

Belum sempat Siau Po mengatakan apa-apa, tampaklah seorang pendeta menghambur ke dalam dan memberikan laporannya dengan sikap gugup.

"Suheng, di luar ada belasan lhama yang memohon bertemu dengan ketua kita.   

Mereka membawa senjata, dan berulang kali mengayunkan tinjunya di depan kami. Tampaknya mereka mempunyai niat yang kurang baik."

Kata-katanya yang terakhir diucapkan dengan perlahan sekali, Ti Kek Ceng itu mengernyitkan sepasang alisnya.

"Di Gunung Ngo Tay san ini, antara kuil hijau dan kuil kuning, biasanya belum pernah berhubungan." katanya, "Lalu ada apa mereka datang kemari? pergilah kau lapor kepada Hong Tio (ketua), aku akan menemui mereka."

"Maafl" katanya kepada Siau Po kemudian membalikkan tubuhnya untuk bertindak ke luar.

Siau Po tertawa, sembari memandangi punggung pendeta itu dia menggumam seorang diri.

"Pasti para lhama itu sudah datangi Meskipun demikian, Siau Po sama sekali tidak takut. Dia yakin kalau baru belasan lhama, Song Ji pasti sanggup menghadapinya.

Dari arah pintu gerbang segera terdengar suara yang bising, disusul dengan masuknya serombongan orang ke dalam pendopo besar tersebut.

"Mari kita lihat keramaian!" ajak Siau Po.

Setibanya di ruang pendopo besar, mereka melihat belasan lhama sedang mengerumuni di Ti Kek ceng dan berbicara dengan suara yang berisik.

“Tidak bisa tidak! pokoknya kuil ini harus digeledah!" kata salah seorang pendeta yang berasal dari Tibet itu, "Ada orang yang melihat dia masuk ke dalam kuil Ceng Liang si ini."

"Dalam urusan ini, kalianlah yang tidak benar, Tegur lhama lainnya, "Apakah kalian menyembunyikan orang itu?"

"Sebaiknya kalian serahkan saja orang itu!" kata lhama yang ketiga, "Kalau tidak, awas!" Siau Po berjalan ke samping pendopo otaknya bekerja,

-- Lohu berada di sini, majulah kalian ke mari! --, katanya dalam hati,

Tapi tidak ada seorang pendeta pun yang memperdulikannya, Mereka hanya menuding Ti Kek Ceng dengan tuduhan-tuduhan.

Tidak lama kemudian, ke luarlah Teng Kong, si kepala pendeta, ia melangkah dengan perlahan.

"Ada apa?" tanyanya dengan nada sabar

"Harap Hong Tio ketahui. " Kata-katanya segera terhenti sebab belasan lhama itu 

sudah menghampiri Teng Kong dengan posisi mengurung.

"Apakah kau yang menjadi kepala pendeta di sini?" tanya mereka, "Bagus!"

"Lekas serahkan orang itu kepada kami!" bentak lhama yang kedua. "Kalau kau tidak bersedia, akan kami bakar kuil ini sampai rata menjadi tanah!"

"Gila! Benar-benar perbuatan gila!" teriak lhama yang ketiga.

"Apakah setelah menjadi pendeta, orang boleh berbohong?" bentak lhama yang keempat.

"Para suheng sekalian," kata Teng Kong yang masih bisa menenangkan hatinya, "Lolap mohon tanya, sebenarnya suheng sekalian berasal dari kuil mana dan apa maksudnya datang ke tempat kami ini?" Dia benar-benar pantas menjadi kepala para hwesio di Ceng Liang si, sikapnya penyabar, Dia tidak memperdulikan sikap orang yang kasar dan tidak sopan, bahkan dia memanggil mereka suheng (Kakak seperguruan, dalam hal ini mengenai agama) Seorang lhama yang mengenakan pakaian ku ning serta jubah merah segera ke depan dan menjawab.

"Kami datang dari Tibet, Kami sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Buddha Hidup untuk menyelesaikan suatu urusan penting di wilayah Tionggoan, kami datang ke mari untuk mencari seorang hwesio bajingan, sebab dia telah menculik seorang lhama cilik kami dan disembunyikannya dalam kuil kalian ini. Karena itu, Hong tio cepat kau keluarkan lhama cilik kami itu, Kata tidak, kami tidak akan menyudahi urusannya begitu mudah!"

"Urusan ini aneh sekali!" seru Teng Kong. "Kami dari pihak rumah suci Sian Cong yang putih bersih, selamanya tidak ada hubungan apa pun dengan pihak Bit Cong kalian dari Tibet, Karena itu kalau kalian kehilangan seorang Ihama, mengapa tidak mencarinya di kuil kalian sendiri?" 

Mendadak si lhama menjadi gusar. "Ada orang yang melihat bahwa lhama cilik kami itu berada di kuil Ceng Liang si ini." katanya "ltulah sebabnya mengapa kami datang ke  mari dan menanyakannya! Kalau tidak, kalian kira kami kekurangan pekerjaan sehingga sengaja mencari keributan di sini? Kalau kau tahu diri, cepat kau serahkan anggota cilik kami itu, Dengan demikian taruh kata kami tidak menaruh hormat pada para pendeta di sini, kami tetap akan memandang wajah suci Sang Bodhisatwa dan tidak akan menarik panjang urusan ini."

Teng Kong menggelengkan kepalanya, sikapnya tetap sabar.

"Kalau lhama cilik kalian memang ada dalam kuil ini, meskipun suheng sekalian tidak menanya-kannya ke mari," sahutnya, "Lolap juga tidak akan membiarkan dia berdiam di sini. "

"Sudahlah. " teriak beberapa lhama lainnya, "Kalau memang betul apa yang kau 

katakan, kau pasti membiarkan kami menggeledah kuilmu ini!" Kembali Teng Kong menggelengkan kepalanya.

"Tempat ini merupakan kuil suci Sang Buddha, mana boleh sembarangan di geledah?"

"Kalau kau bukan seperti pencuri yang belum apa-apa sudah ciut hatinya, mengapa kau tidak membiarkan kami menggeledah kuil ini? Penolakanmu ini seakan membenarkan bahwa kau memang menyembunyikan lhama cilik kami itu di kuil ini!" Kembali Teng Kong menggelengkan kepalanya. 

Dua orang lhama jadi kehabisan sabar. Mereka menyambar leher jubah kepala pendeta itu dan membentak dengan suara keras.

"Kau mengijinkan kami menggeledah atau tidak?"

"Eh, Pendeta tua," tegur lhama lainnya, "Mungkinkah kuilmu ini menyembunyikan perempuan baik-baik sehingga kau khawatir rahasiamu itu akan diketahui orang? Kalau tidak, tentu tidak ada halangan bagi kami untuk menggeledah kuil ini, bukan?"

Pada saat itu, belasan murid Teng Kong juga sudah muncul di ruangan tersebut. Tapi mereka langsung dihadang para lhama yang tidak membiarkan mereka mendekati gurunya.

Song Ji memperhatikan sejak tadi. Hatinya panas sekali. Dia menganggap para lhama itu sudah keterlaluan sedangkan Teng Kong kelewat sabar. Karena itu dia segera berbisik kepada tuan mudanya.

"Siangkong, perlukah orang-orang kasar itu diusir pergi?"

"Tunggu dulu!" sahut Siau Po. "Sabar sebentar!" Meskipun mencegah Song Ji, tapi dalam hatinya si bocah tanggung ini berpikir perbuatan para lhama ini sungguh tidak 

pantas. Tanpa hujan tanpa angin membuat keonaran di sini. Mana mungkin kuil ini  menyembunyikan seorang lhama cilik seperti yang mereka tuduhkan? Atau... mungkinkah maksud kedatangan mereka sebetulnya sama dengan tujuanku sendiri, yakni mencari kaisar Sun Ti.

Ketika pikirannya masih bekerja, mata Siau Po melihat berkelebatan dua titik cahaya, Ternyata ada dua orang lhama yang sudah menghunuskan senjatanya masing-masing dan mengancam dada Te Kong.

"Kalau kau tidak mengijinkan kami menggeledah, maka kami akan membunuhmu terlebih dahulu!"

Teng Kong tetap sabar, bahkan di wajahnya tidak tersirat rasa takut sedikit pun, Dia merangkapkan sepasang tangannya dan memuji nama Sang Buddha.

"Bukankah kita sama-sama murid Sang Buddha yang maha suci? Mengapa kita harus menggunakan kekerasan di antara orang-orang kita sendiri?" tanyanya.

Tampaknya kedua lhama itu tidak dapat menahan luapan emosi dalam dadanya lagi. "Eh, pendeta tua, terpaksa kami membuat kesalahan terhadapmu!" bentak mereka 

sambil menikamkan goloknya ke dada Teng Kong.

Teng Kong menghindarkan diri, Kedua bilah golok itu langsung bersatu dengan lainnya sehingga menimbulkan suara yang nyaring, sedangkan getarannya membuat tubuh kedua lhama itu terhuyung ke belakang, Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya tenaga kedua lhama itu sangat kuat.

Saking terkejut dan penasarannya, beberapa lhama lainnya segera berkaok-kaok seperti orang kalap.

"Pendeta kepala kuil Ceng Liang si berbuat kejahatan! Dia menyerang orang! Dia membunuh orang!"

Hebat sekali akibat teriakan para lhama itu, dari luar pendopo segera menerobos masuk tiga puluhan sampai empat puluhan orang. Diantaranya ada Ihama, hwesio, dan beberapa orang lainnya yang mengenakan jubah panjang tapi bukan dari golongan pendeta mana pun.

Salah seorang lhama yang kumis serta janggutnya panjang dan sudah memutih langsung mengajukan pertanyaan.

"Apakah benar Hong Tio dari Ceng Liang yang melakukan kejahatan dan membunuh orang?"

Teng Kong segera merangkapkan sepasang telapak tangannya dan menjura kepada tamu yang baru datang itu. "Orang yang beragama, berpokok pada welas asih, sama sekali tidak boleh sembarangan melanggar pantangan membunuh, biar terhadap seekor binatang sekali pun!" katanya dengan suara halus, "Para suheng dan sicu sekalian, dari manakah asal kalian?" Selesai bertanya dia menoleh ke arah seorang pendeta atau hwesio yang usianya kurang lebih lima puluh tahun 

"Rupanya Hong Tio Sim Ke dari Hud Kong si juga ikut datang berkunjung. Harap maafkan lolap yang tidak menyambut dari jauh!"

Hud Kong si atau Kuil Cahaya Buddha merupakan salah satu kuil terbesar dan tertua di Gunung Ngo Tay san. Karena itu banyak penduduk sekitarnya yang mengatakan: "Terlebih dahulu ada kuil Hud Kong si, baru ada Gunung Ngo Tay san

Nama asli gunung Ngo Tay san tadinya ialah Ceng Liang san, tapi karena di puncaknya ada lima bukit tinggi, orang-orang lalu merubahnya menjadi Ngo Tay (lima panggung) dan nama Ngo Tay san digunakan sampai sekarang, Ketika itu Hud Kong si sudah dibangun. Nama kecamatan Ngo Tay juga telah diubah sejak jaman Kerajaan Sui. Karena bentuknya yang besar dan usianya yang sudah tua, kedudukan kuil Hud Kong si jadi lebih tinggi dari usianya yang lebih tua, kedudukan kuil Hud Kong si jadi lebih tinggi dari pada kuil Ceng Liang si. otomatis ketuanya, Sim Ke juga menjadi pendeta yang sangat terkenal di daerah Ngo Tay san dan sekitarnya.

Sim Ke yang bentuk kepalanya besar, bertubuh gemuk dan wajahnya berminyak ini langsung mengembangkan seulas senyuman dan berkata.

"Teng Kong suheng, mari aku kenalkan kau dengan dua orang sahabat!" Dia menunjuk kepada seorang lhama dan berkata kembali inilah Lhama besar Bayan yang datang dari Lhasa, Tibet. Dialah lhama besar yang menjadi kesayangan Buddha hidup dan pengaruhnya besar sekali."

Teng Kong menjura pada lhama itu.

"Sungguh aku yang tua berjodoh dengan Tuan Lhama yang agung!" katanya.

Sim Ke kemudian menunjuk kepada orang yang berdandan sastrawan. Dia mengenakan jubah panjang berwarna hijau dan usianya sekitar tiga puluhan tahun.

"Dan ini Honghu Kok sianseng, sastrawan terkenal dari Kwan Tung." katanya memperkenalkan.

Sastrawan itu segera memberi hormat kepada Teng Kong dan berkata dengan merendah.

"Sudah lama aku mendengar nama besar Teng Kong taysu dari kuil Ceng Liang si di gunung Ngo Tay san ini, Terutama kedua ilmunya yakni Poan jiak Ciang dan Ki Yap Jiu yang menjagoi dunia persilatan. Karena itu, aku merasa gembira sekali dapat bertemu hari ini, ini merupakan keberuntunganku selama tiga kali penitisan." Teng Kong dan Sim Ke sama-sama menjadi heran.

-- Mengapa dia dapat mengetahui ilmu silatku dengan demikian jelas? -- pikir Teng Kong,

-- Kabarnya Poan Jiak Ciang dan Ki Yap Jiu merupakan dua dari jurus terlihay si Siau Lim Sie yang jumlah keseluruhannya tujuh puluh dua macam. Benarkah hwesio yang tampaknya tidak punya semangat hidup ini menguasai ilmu sehebat itu? Apakah tidak mungkin kalau Honghu siansen hanya menyindir.,." pikir Sim Ke.

Kembali Teng Kong merangkapkan sepasang tangannya untuk memberi hormat. "Usia lolap sudah tua sekali. walaupun ketika muda, aku yang rendah pernah belajar 

ilmu silat beberapa tahun, tapi sekarang semuanya sudah terlupakan. Sebaliknya, 

Honghu kisu memiliki kepandaian rangkap yang hebat, baik ilmu silat maupun ilmu sastra, Hal inilah yang membuat lolap merasa kagum sekali." katanya merendah.

Mendengar pembicaraan kedua belah pihak yang saling merendahkan diri, Siau Po menduga tentu tidak akan terjadi pertempuran. Kemudian terdengar Bayan lhama berkata kembali.

"Lo taysu, aku datang dari Tibet bersama seorang muridku yang masih kecil, namanya Yin Cu. Menurut kabar yang kami peroleh, dia ditawan oleh orang-orang dari pihakmu, Karena itu, dengan memandang wajah emas dari Buddha hidup, harap kau sudi melepaskannya. Kami semua akan bersyukur terhadap budi kebaikanmu ini!" 

Teng Kong tersenyum.

"Beberapa suheng ini telah membuat kegaduhan di kuilku, tapi aku tidak mau berpandangan seperti mereka itu." katanya. "Aku justru merasa heran, taysu adalah seorang yang penuh pengertian mengapa taysu percaya saja dengan perkataan orang yang belum terbukti kebenarannya? semenjak dibangunnya kuil Ceng Liang si, baru hari ini kami mendapat kunjungan kehormatan dari para lhama yang maha suci, Dari mana datangnya cerita bahwa pihak kami menyimpan muridmu itu?"

Lhama Bayan langsung mendelikkan matanya. "Kau kira kami sembarangan menuduh?" tanyanya bengis, "Jangan kau tidak minum arak kehormatan justru minum arak dendaan"

Bahasa Cina para Ihama memang kurang lancar. Maksudnya, dia ingin mengatakan, "Jangah k tolak arak kehormatan, namun mengharap arak hukuman"

Sim Ke tertawa dan langsung ikut memberikan komentar.

"Tuan-tuan berdua, janganlah kerukunan kalian jadi terusik karena hal ini! Menurut aku, hwesio tua, urusan si Ihama cilik ada atau tidak dalam kuil ini, tidak dapat diselesaikan dengan kata-kata saja. Kata-kata tidak mengandung bukti yang penting  menyaksikan dengan mata kepala sendiri! Karena itu, Honghu sianseng dan aku hwesio tua akan menjadi saksi. Marilah kita masuk ke dalam kuil untuk meninjau setiap bagiannya ya indah. Bertemu Sang Buddha, kita menyembah bertemu pendeta kita menjura. Kalau kita sudah melihat setiap ruangan dan bertemu dengan setiap hwesionya, namun si Ihama cilik tetap tidak diketemukan, bukankah urusannya akan beres dengan sendirinya?"

Biarpun hwesio itu berbicara dengan halus sopan, namun makna yang tersirat dibaliknya, tentu saja mereka akan menggeledah Ceng Liang si. Oleh karenanya, kesabaran Teng Kong habis juga, namun dia masih berusaha mengendalikan diri untuk berkata dengan sopan.

"Beberapa Tuan Ihama ini datang dari Tibet, karenanya mereka tidak memaklumi peraturan ini, maka kami juga tidak bisa menyalahkannya. Tapi tidak demikian halnya dengan Sim Ke taysu, Kau adalah seorang tokoh agama yang sudah banyak pengetahuannya dan berbudi luhur, Mengapa taysu mewakili kisu ini berbicara? Sekarang, mengenai Ihama cilik dari Tibet itu, kalau benar dia lenyap di daerah gunung Ngo Tay san, lolap rasa pemeriksaan harus dimulai dari kuil Hud Kong si!"

Sim Ke tertawa manis.

"Kalau seluruh Ceng Liang si sudah dilihat dan Ihama kecil itu tetap tidak berhasil ditemukan, dan seandainya para Ihama suci ini ingin melongok Hud Kong si juga, tentu aku akan menyambutnya dengan hati gembira." katanya.

Terdengar Ihama Bayan berkata pula.

"Ada orang yang melihat dengan mata kepala sendiri bahwa muridku Yincu disembunyikan dalam kuil Ceng Liang si ini. itulah sebabnya kami datang ke mari menanyakannya, Kalau tidak ada keterangan tersebut, pasti kami tidak berani lancang datang ke sini dan kami tidak akan berlaku demikian sembrono."

"Siapa orangnya yang katanya melihat dengan mata kepala sendiri itu?" tanya Teng Kong.

Bayan menunjuk kepada Honghu sianseng.

"Tuan Honghu inilah orangnya." sahut Ihama tua itu, "Dia merupakan seorang tokoh yang sudah mempunyai nama besar, tidak mungkin dia berbohong."

Mendengar keterangan itu, Siau Po langsung berkata dalam hati

-- Kalian merupakan orang-orang satu rombongan mana boleh salah satu dari kalian menjadi saksi? -- Karena berpikir demikian dia segera bertanya tanpa dapat mengekang diri lagi.

"Berapa usianya lhama cilik yang hilang itu?" Sampai sebegitu jauh, Bayan dan rombongannya tidak ada yang memperhatikan Siau Po maupun Song Ji. Tapi begitu Siau Po mengajukan pertanyaan serempak mereka menolehkan kepalanya, Mereka melihat seorang bocah tanggung yang mengenakan pakaian indah, kopiahnya berhias batu kumala dan kancing bajunya terbuat dari mutiara. 

Sudah barang tentu bahwa dia putra seorang hartawan sedangkan pelayan yang berdiri di sampingnya saja mengenakan pakaian sutera juga.

"Usia lhama kecil itu hampir sebaya denganmu, Tuan kecil!" sahut Sim Ke sembari tertawa.

Siau Po menoleh kemudian berkata.

"Benarlah kalau demikian, sudah jelas tadi aku melihat lhama kecil itu! Dia masuk ke dalam sebuah kuil yang di atasnya tertera tiga huruf, yakni Hud Kong si!"

Mendengar ucapan si bocah, Bayan dan lainnya menjadi heran sekali. Untuk sesaat mereka memandanginya dengan wajah tertegun

Teng Kong menyaksikan hal itu, Hatinya senang sekali. Dia tidak menyangka tamunya akan ikut bicara dan memberi penjelasan seperti itu.

"Kau mengoceh sembarangan!" Bentak Bayan "Ngaco belo!" Siau Po tidak marah, dia malah tertawa.

"Betul! Bicara sembarangan! Mengoceh tidak karuan! Ngaco belo!" katanya beruIang-ulang.

Bayan menjadi gusar, tiba-tiba dia menjulurkan sebelah tangannya untuk menyambar ke arah dada si bocah tanggung.

Justru ketika tangannya bergerak, tangan Teng Kong juga terjulur ke depan. Ujung bajunya berkibaran menimbulkan suara berkesiurnya angin Tangannya meluncur ke arah sikut si lhama itu,

Bayan sempat melihat gerakan si hwesio, Dia berniat menolong dirinya sendiri Ketika tangan kanannya ditarik kembali, tangan kirinya bergantian meluncur, kelima jari tangannya tajam bagai kuku garuda dan disambarnya ujung baju Teng Kong.

Teng Kong menarik tangannya kembali kemudian mengelakkan diri. Dengan demikian, luputlah serangan si lhama itu.

"Hai!" teriak Bayan, "Kau sudah menyembunyikan lhama cilik yang menjadi pesuruh Buddha hidup, kau berani turun tangan pula! Apakah kau benar-benar ingin melanggar pantangan membunuh? Celaka! Celaka!" "Jangan menggunakan kekerasan. Kalau ada apa-apa, kita bicarakah baik-baik saja!" kata Honghu sianseng,

Baru selesai orang itu berbicara, tiba-tiba dari luar kuil terdengar suara teriakan yang riuh.

"Honghu sianseng mengatakan agar jangan menggunakan kekerasan Ada apa-apa, sebaiknya dibicarakan secara baik-baik!"

Kalau ditilik dari nadanya, kemungkinan suara itu diteriakkan oleh beberapa ratus orang, Kemungkinan, sejak tadi mereka memang sudah mengepung kuil itu, hanya saja mereka tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Rupanya mereka juga suda terlatih baik, sehingga ucapannya juga dicetuskan dengan kompak sekali.

Teng Kong mempunyai watak yang sabar dan tenang, tapi mendengar suara itu, tak urung di menjadi terkejut juga.

Honghu sianseng tertawa perlahan.

Teng Kong Hongtio," terdengar dia berkata "Kau adalah seorang cianpwe (angkatan tua) yang sudah mempunyai nama besar, orang yang selalu dihormati. Karena itu, apabila Bayan lhama ingin melihat-lihat kuil, sebaiknya kau ijinkan saja, Hongtio biasa berkelakuan baik dan tindakannya juga benar, Lagipula, dalam kuil Ceng Liang si tidak ada sesuatu yang tidak boleh dilihat orang, bukan karenanya, untuk apa kita mempertaruhkan kerukunan kaum dunia persilatan?"

Kata-kata itu sopan dan halus namun mengandung desakan, Di balik ucapannya, Honghu sianseng bermaksud mengatakan, apabila Teng Kong tidak mengijinkan Bayan lhama menggeledah kuilnya, maka suatu pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi.

Teng Kong menjadi bingung sekali. Dia memang mengerti ilmu silat, tapi di dalam kuil Ceng Liang si, dia hanya seorang hwesio atau guru agama, Dia tidak pernah mengajarkan ilmu silat kepada para muridnya. 

Diantara empat ratus lebih hwesio di dalam kuil Ceng Liang si, hanya ada beberapa orang saja yang mengerti ilmu silat, Karena itu, mau tidak mau dia menjadi gentar juga, Barusan dia telah berhadapan dengan Bayan, Dia merasa lhama yang satu ini lihay sekali, sekarang dia mendengar ucapan Honghu sianseng, dia mendapat kenyataan bahwa tenaga dalam orang ini pasti sudah dilatih sampai mahir sekali, Karena itu dia menganggap, jangan kata ratusan orang yang ada di luar, sedangkan kedua orang yang ada di hadapannya ini saja sudah sulit dilayani.

Honghu sianseng memperhatikan hwesio yang sedang berpikir itu. Sejenak kemudian, dia tersenyum lalu berkata kembali. "Seumpamanya di dalam kuil Ceng Liang si benar-benar tersembunyi wanita-wanita cantik, itu toh bukan sesuatu yang buruk. Anggaplah pemandangan yang indah bagi kami semua!"

Kali ini berbeda dengan sebelumnya, terang-terangan Honghu sianseng mengeluarkan kata-kata yang ceriwis, Terang dia tidak memandang muka Teng Kong lagi.

Sementara itu Teng Kong masih berpikir keras, Dia yakin ilmu silat Bayan merupakan ilmu partai Bit Cong di Tibet, tetapi entahlah dengan Honghu sianseng ini, dia tidak pernah mendengar atau mengenalnya. 

Tampaknya orang itu juga tidak gentar terhadap Siau lim pai. Meskipun dia sudah tahu Teng Kong menguasai ilmu partai tersebut, dia tetap tidak memandang sebelah mata, Mengapa Honghu sianseng begitu berani?

Saking kerasnya si hwesio memutar otaknya, sampai tidak mendengar suara tawa Sim Ke hwesio dan Bayan lhama. Mereka tertawa setelah mendengar ucapan Honghu sianseng yang mereka anggap jenaka.

"Hong tio suheng," kata Sim Ke kepada kepala pendeta di kuil Ceng Liang si itu. "Karena keadaan sudah begini rupa, sebaiknya kau ijinkan saja Baya lhama melihat- lihat ke dalam kuil!"

Sembari berkata, hwesio ini memonyongkan mulutnya kepada Bayan, dan si lhama yang melihat isyarat itu langsung melangkah ke dalam kuil.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar