Jilid 31
Pada kisah yang terdahulu, diceritakan tentang Lau It Cou, murid Tiat Pwe Cong Liong Liu Tay Hong tiba-tiba merasa kepalanya pusing setelah makan kue kering bersama si Thay-kam cilik, Wi Siau Po.
Bahkan ketika bocah nakal itu menendangnya berkali-kali, Lau It Cau tidak merasakan apa-apa lagi, Siau Po langsung memperlihatkan senyum penuh kebanggaan. Dia membuka ikat pinggang Lau It Cou kemudian digunakannya untuk membelenggu tangan orang itu.
Di dekat sebatang kayu ada sebuah batu besar Siau Po berusaha menggesernya, kebetulan di bawah batu besar itu ada sebuah lubang, karena itu Siau Po menggesernya terus sehingga mulut lubang itu terbuka lebar Setelah itu dia mengeluarkan bebatuan yang terdapat di dalam lubang itu dan menggali tanahnya sehingga lubang itu menjadi bertambah dalam dan lebar
"Hari ini Lohu akan menguburmu hidup-hidup di dalam lubang ini." kata Siau Po sembari tertawa, meskipun dia bicara seorang diri, Kemudian ia mengangkat tubuh Lau It Cou, dimasukkannya ke lubang itu dengan posisi berdiri dan punggung bersandar pada dinding lubang. Setelah itu dia menimbuni lubang itu kembali dengan pasir dan bebatuan sampai batas leher Lau It Cou.
Sekali lagi Siau Po tertawa senang, Tampaknya dia puas sekali dengan hasil kerjanya sendiri, Perlahan-lahan dia berjalan ke tepi sungai, dibukanya jubah luarnya kemudian dicelupkannya ke dalam air. Dia berjalan balik kembali, lalu berhenti di depan anak muda yang sedang tidak sadarkan diri itu.
Siau Po mengangkat jubah basah itu tinggi-tinggi kemudian diperasnya sehingga airnya mengalir turun dan membasahi seluruh kepala dan wajah Lau It Cou.
Dengan demikian, lambat laun Lau It Cou siuman, Dia kebingungan matanya jelalatan ke sekitarnya, Dia ingin menggerakkan kaki dan tangannya tapi tidak ada kesanggupan sama sekali. Hal ini membuat hatinya tercekat Dia mulai menerka-nerka apa yang terjadi pada dirinya. Di hadapannya duduk bersila Siau Po dengan wajah penuh senyuman, bahkan sekali-sekali tampak dia tertawa geli, kedua tangannya berpangku di atas lututnya,
Pasti aku telah di akali olehnya.,., pikir Lau It Cou dalam hati, Dia menyesal dirinya sendiri yang ceroboh, tapi dia berusaha menenangkan dirinya.
"Hai, saudara kecil, jangan main-main!" katanya sambil tertawa, Sia-sia dia berusaha mengerahkan tenaganya untuk memutuskan ikat pinggang yang membelenggunya. "Oh, dasar bangsat gila perempuan!" maki Siau Po. "Tahukah kau betapa pentingnya urusan yang sedang aku hadapi? Kau kira aku ada waktu bergurau dengan engkau, si bangsat bau!"
Bocah ini memang luar biasa, Sembari memaki, kakinya mengayun pula menendang rahang pemuda itu sehingga darah bercucuran. Mulutnya tidak berhenti mencaci.
"Nona Pui itu istriku, Orang seperti kau berpikir untuk menikahinya? Hm! Bangsat bau! Kau sudah menghajar lohu sehingga lohu kesakitan serta menderita, sekarang lohu akan menuntut balas padamu! Pertama-tama aku akan memotong telingamu kemudian menebas hidungmu, Iya, aku akan mengerat satu per satu!"
Selesai berkata Siau Po mencabut pisau belatinya, lalu dia membungkuk dan mengacung-acung-kan pisaunya di depan wajah Lau It Cou dengan tampang mengancam.
Bukan kepalang terkejutnya hati Lau It Cou.
"Oh, saudara,., saudara Wi yang baik," katanya, "Wi hiocu, sudilah kau memandang keluarga Bhok dan berlaku murah hati"
"Bagus sekali kau, ya!" maki Siau Po. "Manusia macam apa engkau ini? Dari dalam tahanan di istana aku menolong dirimu sehingga mendapatkan kebebasan kembali seperti sekarang ini. Mengapa kau membalas air susu dengan air tuba? Kenapa kau ingin membunuhku? Hm, orang yang kepandaiannya seperti kau ini, mana mungkin sanggup membunuh aku seorang tokoh besar? sekarang kau malah meminta aku memandang muka keluarga Bhok, tapi bagaimana ketika kau meringkusku? Mengapa kau sendiri tidak memandang muka Tian Te hwe kami?"
"lya, aku telah berbuat kekeIiruan..." sahut Lau It Cou mengakui
"Aku akan membacok kepalamu sebanyak tiga ratus enam puluh kali." kata Siau Po. "Dengan cara demikian, barulah hilang rasa penasaran dihatiku."
Siau Po menarik kuncir It Cou kemudian di tebasnya dengan pisau belati sehingga putus, setelah itu dia mengayunkan pisaunya bolak-balik dan dalam sekejap mata rambut di kepala Lau It Cou jadi tidak karuan bentuknya, Sebagian besar botak dan di beberapa bagian tersisa rambutnya sedikit-sedikit.
Rupanya hati Siau Po masih panas.
"Bangsat gundul kepingin mampus!" makinya untuk kesekian kali. "Hati lohu paling panas kalau melihat biksu (pendeta), apalagi yang gundulnya kepalang tanggung, Kemarahan di dalam dada ini seakan-akan meluap-luap, karena itu tidak bisa tidak, aku harus membunuhmu!" Meskipun takut setengah mati, Lau It Cou masih berusaha untuk tertawa. Dia berharap anak nakal itu hanya bergurau dengannya.
"Oh, Wi hiocu yang baik, cayce (aku yang rendah) bukan pendeta," sahutnya. Dia berusaha menentramkan hatinya yang terguncang keras.
"Setan alas!" bentak Siau Po. "Bagaimana kau berani mengatakan bahwa dirimu bukan pendeta? Lalu mengapa kepalamu di cukur plontos seperti itu? Apakah kau ber maksud mendustai aku tuan besarmu ini?"
Li it Cou menjadi bingung, Hatinya juga cemas sekali, Kuncirnya sudah hilang dan kepalanya tiga per empat botak, Dalam hatinya dia mengeluh.
"Kan kau yang memotong rambutku, mengapa kau malah memaki-maki aku? Tapi dia masih menyayangi jiwanya sendiri, tidak berani dia menyahut karena takut Siau Po akan semakin marah, Dia berusaha tertawa dan berkata. "Wi hiocu, seribu salah selaksa kekeliruan, semuanya aku yang melakukannya, Wi hiocu, kau adalah seorang yang berbudi luhur, aku mohon sudilah kiranya kau bersikap murah hati..!"
Kali ini It Cou mengucapkan kata-kata yang merendah Dia sudah kewalahan menghadapi bocah yang luar biasa ini, Dia sangat menyayangi jiwanya dan tidak sudi mati konyol dengan cara sedemikian rupa.
"Baiklah!" kata Siau Po kemudian "Sekarang aku ingin bertanya dulu kepadamu, Kau kenal Nona Pui Ie, bukan? Jawablah, istri siapa nona itu?" Bukan main bingungnya hati It Cou.
"Dia... dia..." ucapannya terputus-putus, Dia tidak dapat melanjutkan ucapannya seperti orang yang kehabisan kata-kata saking takut dan cemas. Baginya sulit sekali menduga isi hati Siau Po. Dia sedang bergurau atau benar-benar marah?
"Dia,., dia... apa?" bentak Siau Po. "Lekas jawab!"
Kembali pisau belatinya yang tajam di gerak-gerakkan di depan muka Lau It Cou.
It Cou semakin bingung, Dia berpikir keras, Celaka kalau sampai dia kehilangan telinga atau hidungnya, urusannya bisa gawat Selain sakit, dia juga harus menderita malu.
"Dia... dia tentu istrimu, Wi hiocu!" katanya dengan susah payah, Siau Po tertawa.
"Dia,., siapa?" tanyanya sekali lagi, "Bicara yang jelas! Siapa dia yang kau katakan? Lohu ingin mendapatkan kepastian darimu!" "Aku. Maksudku.,., Pui sumoay." sahut Lau It Cou dengan terpaksa, "Dia adalah
istri Wi hiocu."
Siau Po tertawa lagi.
"Sekarang kita bicara blak-blakan." katanya, "Lekas kau katakan, apakah aku ini sahabatmu?"
Lega juga hati Lau It Cou mendengar nada suara Siau Po yang sudah mulai lunak, Lekas-lekas dia menjawab.
"Sebenarnya siaujin (orang yang hina ini) tidak berani mengangkat diri sendiri terlalu tinggi, siaujin tidak pantas mengagulkan diri, Tapi kalau Wi hiocu sudi menganggap siaujin sebagai sahabat, siaujin ibarat mendapatkan rembulan jatuh. "
"Baik! Aku suka menjadi temanmu." kata Siau Po kemudian "Di dalam dunia kang ouw, orang harus mengingat istri sahabatnya sendiri. Lain kali, bila kau berani main gila lagi, awas! Jaga botak kepalamu baik-baik! sekarang coba kau bersumpah dan buktikan bahwa kau benar-benar sudah tobat, Aku ingin mendapat keyakinan bahwa lain kali kau tidak berani main gila lagi. Bersumpahlah!"
Di dalam hatinya, Lau It Cou mengeluh. Hebat sekali desakan si bocah nakal ini. Dia menyesali dirinya yang begitu bodoh sehingga kena diakali olehnya dan berbalik kena ditawan.
"Tidak apa-apa kalau kau tidak sudi bicara." Kata Siau Po. "Memang aku sudah tahu lagak setanmu. Kau mengandung maksud buruk. Di dalam hatimu kau sudah mengatur rencana untuk mempermainkan istriku."
Tanpa kepalang tanggung lagi, Siau Po langsung saja menyebut Pui Ie sebagai istrinya, It Cou ngeri melihat pisau belati Siau Po masih terus digerak-gerakkan.
"Tidak! Tidak!" katanya, "Terhadap Nyonya Wi hiocu, tentu aku tidak berani main gila. "
"Awas!" ancam Siau Po, "Tapi bagaimana kelak? Bagaimana bila kau menatapnya terus dan mengajaknya bicara, meskipun hanya sepatah kata?" Bocah ini masih mendesak terus..
"Tidak mungkin aku melupakannya," sahut Lau It Cou, "Aku bersumpah, kalau aku sampai melakukannya, biarlah aku dihukum Langit (Thian atau Tuhan) dan di kutuk Bumi."
"Kalau kau berani melakukan hal itu, kaulah si kura-kura, kaulah si manusia hina!" kata Siau Po.
"Ya, ya.,." sahut Lau It Cou dengan wajah meringis, "lya, iya apanya?" tanya si bocah yang selalu iseng itu.
"lya," sahut Lau It Cou, "Kalau kelak aku mendekati Pui sumoay atau mengajaknya bicara, akulah si kura-kura, Akulah manusia hina!"
Siau Po tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, baiklah." katanya, "Aku akan mengampunimu. Tapi kau harus merasakan air kencingku terlebih dahulu!" Sembari berkata, Siau Po pura-pura akan membuka celananya, Tepat pada saat itulah terdengar suara seruan seseorang.
"Me... mengapa kau terlalu menghina orang?"
Terkejut sekali hati Siau Po, terlebih-lebih dia mengenati suara perempuan itu, Sekejap kemudian dia merasa senang sekali, Segera dia menoleh ke arah hutan dari mana suara itu berasal.
Tampak tiga orang muncul dari dalam hutan, yang berjalan paling depan adalah Pui Ie, adik seperguruan Lau It Cou, Yang nomor dua adalah Bhok Kiam Peng, Siau kuncu dari Bhok onghu, sedangkan orang yang berjalan paling belakang bukan lain daripada Ci Tian Coan, Ah... ternyata di belakangnya mengiringi dua orang Iainnya, Mereka adalah Gouw Lip Sin beserta muridnya Go Piu.
Kiranya sudah cukup lama mereka berlima berdiam dalam hutan dan menyaksikan serta mendengar semua yang berlangsung antara Siau Po dan Lau It Cou, Dan ketika Siau Po hendak menyiram wajah pemuda itu dengan air kencingnya, terpaksa Pui Ie mengeluarkan suara memperingatkannya lalu menampilkan diri.
Dengan demikian, Kiam Peng, Tian Coan, Gouw Lip Sin dan Go Piu terpaksa mengikutinya.
"Oh, rupanya kalian sudah ada disini?" kata Siau Po. Dia merasa gembira sekali, "Baiklah! Dengan memandang Gouw loya cu, aku akan membebaskanmu dari guyuran air kencing."
Tian Coan tidak mengatakan apa-apa, Dia segera berjalan ke depan It Cou dan menolongnya ke luar dari lubang itu, It Cou merasa malu sekali, Dia hanya berdiam diri dengan kepala di tundukkan.
"Keponakanku!" kata Lip Sin kepada pemuda she Lau itu, "Mengapa kau membalas kebaikan dengan kejahatan? Bukankah jiwa kita sama-sama telah diselamatkan olehnya? Mengapa kau yang lebih tua justru menghina yang muda? Mengapa kau meringkusnya? Bagaimana kalau gurumu sampai mengetahui urusan ini?"
Gouw Lip Sin menggelengkan kepalanya berkali-kali sambil menarik nafas panjang, Hal ini membuktikan bahwa hatinya kecewa sekali melihat tindak-tanduk Lau It Cou. "Kita yang berkecimpung di dalam dunia kang ouw.". katanya kembali suaranya tawar dan tidak enak didengar oleh Lau It Cou. "Yang harus kita utamakan adalah Gi Ki (menyayangi sesamanya dan mencintai negara, Dengan kata lain berjiwa sportif atau berjiwa patriot), Sebagai tokoh dalam dunia kang ouw, apalagi dari golongan lurus, kita harus berbudi luhur. Mengapa jiwamu justru demikian rendah, suka berprasangka dan sirik? Mengapa kau menurunkan tangan jahat terhadap orang sendiri? Mengapa kau melupakan budi dan menyia-nyiakan kepribadianmu? sikapmu yang demikian, bahkan tidak pantas disamakan dengan babi atau pun anjing."
Gouw Lip Sin membuang ludah saking marahnya.
"Kau telah menelikung tangan Wi hiocu, kau bahkan mengancam tenggorokannya dengan senjata tajam!" kata orang tua itu kembali dengan nada sengit, "Bagaimana kalau kau berbuat sedikit kesalahan dengan menggerakkan tanganmu tadi dan Wi hiocu jadi terluka karenanya? Bagaimana kalau jiwanya sampai melayang karena perbuatanmu yang konyol itu? Coba jawab!"
It Cou merasa malu sekali Tiba-tiba hatinya jadi panas dan dia pun lupa diri.
"Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa!" teriaknya keras, "Aku akan mengganti jiwanya itu!"
Lip Sin semakin marah melihat sikap pemuda itu.
"Hm!" terdengar dia mendengus dingin. "Enak saja kau bicara! Apakah dirimu seorang eng hiong (pahlawan) atau hohan (orang gagah)? Dengan selembar jiwamu, kau kira dapat menggantikan jiwa Wi hiocu dari Tian Te hwe? Lagipula, bicara tentang jiwamu,.. dari mana datangnya jiwa yang masih menyangkut dalam tubuhmu itu? mungkinkah kau masih hidup sampai sekarang ini kalau kau tidak di tolong oleh Wi hiocu? Kau melupakan budi besar orang, kau bukan membalasnya saja sudah merupakan sikap yang tidak terpuji Apalagi kau melakukan perbuatan yang demikian rendah. perbuatanmu itu sungguh terkutuk. "
It Cou menyesal Dia jadi malu berbareng kesal. Dia sadar bahwa apa yang dilakukannya memang salah, Tapi dia menganggap paman gurunya itu terlalu mendikte, Lagipula, rahasianya telah di ketahui oleh Pui Ie.
Mereka pasti telah mendengar pembicaraannya dengan Siau Po. Dia juga ditegur sedemikian rupa oleh Gouw Lip Sin di depan Pui Ie dan yang lainnya, Karena menderita malu besar, di tidak memandang lagi paman gurunya.
"Gou susiok (paman guru Gouw), semuanya telah terjadi, ibarat nasi telah menjadi bubur. katanya nyaring, "Apalagi yang dapat kulakukan sekarang? Bukankah orang she Wi itu dalam keadaan baik-baik saja? Bagiku, memang tidak ada jalan lain lagi, silahkan susiok sendiri saja yang melakukan!" Lip Sin sampai berjingkrak-jingkrak saking marahnya, Tangannya menuding wajah Lau It Co dengan gemetar.
"Lau It Cou!" bentaknya keras, "Begini rupanya kau memperlakukan paman gurumu? Tentunya di matamu tidak ada lagi orang yang lebih tua atau lebih muda dari padamu! Apakah kau ingin bertarung dengan aku?"
"Aku tidak berkata demikian dan aku juga bukan tandinganmu." sahut Lau It Cou. "Lalu,., kalau kau merasa dirimu cukup hebat untuk menandingi aku, maka kau pasti
akan melawan aku, bukan?" kata Gouw Lip Sin denga suara menyindir "Lau It Cou,
perbuatanmu sungguh tidak pantas! Selama di dalam istana saja, kau sudah menunjukkan sikap tamak akan kehidupan, sebaliknya takut menghadapi kematian. Begitu mendengar kepalamu akan dipenggal, cepat-cepat kau memohon pengampunan dan menyebut namamu, Karena memandang Liu suko, aku tidak memberitahukan soal kepengecutanmu itu padanya, Tapi sekarang? Hm! Syukur kau bukan muridku, nasibmu masih cukup bagus."
Dengan kata-katanya, Gouw Lip Sin seakan bermaksud mengatakan, seandainya Lau It Cou adalah muridnya, tentu dia sudah mengambil tindakan dengan menghukum mati pemuda itu.
It Cou menundukkan kepalanya, Dia merasa malu sekali, Dia tidak menyangka paman gurunya akan membuka rahasia tentang kepengecutannya ketika berada dalam istana, wajahnya menjadi pucat pasi dan terbungkam.
Siau Po melihat keadaannya sudah menang di atas angin, dia segera tertawa dan berkata dengan nada manis.
"Sudah! Sudah! Gouw loyacu, Lau toako dengan aku hanya bergurau saja, kami bukan bersungguh-sungguh, Gouw loyacu, aku mohon kepadamu Segala urusan yang sudah lalu, harap jangan kau sampaikan kepada Liu loyacu!"
"Kalau demikian kemauanmu, Wi hiocu, aku tinggal menurut saja." sahut Gouw Lip Sin. Kemudian dia menoleh kepada Lau It Cou dan berkata, "Nah, kau lihat! Betapa luhur kepribadian Wi hiocu. perbuatannya selalu mengagumkan dan hatinya juga luar biasa sabar."
Siau Po tidak ingin urusan ini semakin panjang. Dia sengaja mengalihkan pokok pembicaraan dengan menoleh pada Kiam Peng serta Pui Ie.
"Bagaimana kalian bisa sampai di sini?" tanyanya sambil tersenyum. Bhok Kiam Peng belum sempat menjawab, Pui Ie sudah mendahuluinya. "Kau ke mari!" katanya kepada Siau Po. "Aku ingin berbicara denganmu." Siau Po memperlihatkan senyuman yang manis ketika dia menghampiri gadis itu, Hati Lau It Cou semakin panas menyaksikan keakraban Pui Ie dengan si bocah nakal, Rasa cemburunya meluap tanpa dapat ditahan lagi, Biar bagaimana, nona itu adalah tunangannya, Karena itu tangannya segera meraba gagang golok dengan niat menghunusnya segera....
Tiba-tiba....
Plokkk! Terdengar sebuah suara yang nyaring sekali Siau Po terkejut setengah mati dan pipinya terasa sakit Ternyata Pui Ie sudah menempeIengnya. Dia langsung melompat mundur sambil membekap pipinya.
"Kau. mengapa kau memukul aku?" tegurnya pada Pui Ie. Hatinya langsung saja
menjadi panas.
Pui Ie menatapnya dengan sorotan tajam, wajahnya pun garang sekali. Tapi kulit wajahnya merah padam karena sekaligus dia juga merasa jengah.
"Kau menganggap aku orang macam apa?" tanyanya sinis, "Apa yang kau katakan pada Lau suko? Di belakang orang, mengapa kau suka bicara tidak karuan?"
"Tidak." sahut Siau Po. "Aku tidak membicarakan hal yang buruk tentang dirimu." "Kau masih berani menyangkal?" bentak Piu Ie. "Aku telah mendengar semuanya
dengan jelas, Kamu berdua.,., Iya. kamu berdua memang bukan manusia baik-baik."
Sembari berkata, air mata Pui Ie telah mengucur dengan deras membasahi pipinya.
Ci Tian Coan sejak tadi diam saja, Dia merasa dirinya tidak boleh berpihak pada siapa pun. Dia harus menganggap muda-mudi itu sedang bergurau sebagaimana biasanya orang yang tengah dilanda asmara, sebentar baik, sebentar bertengkar Dan hal ini harus dihentikan apabila tidak ingin menjadi persoalan yang berlarut-larut, Dia juga harus menjaga agar tidak terjadi pertikaian antara Tian Te hwe dan keluarga Bhok hanya karena urusan muda-mudi ini, Karena itu dia segera tertawa dan berkata.
"Wi hiocu, Lau suheng, kalian telah sama-sama merasakan sedikit penderitaan, sebaiknya urusannya diselesaikan sampai di sini saja, Aku si orang she Ci ini sudah tua, perutku tidak kuat menahan lapar, Ayolah kita cari sebuah rumah makan untuk mengisi perut dam minum arak sampai puas!"
Seiring dengan ucapan orang tua itu, tiba-tiba saja angin bertiup kencang dari barat daya dan tetesan air hujan sekonyong-konyong berjatuhan dari langit.
"Aneh!" kata Toan Coan, "Sekarang kan bulan sepuluh, mengapa tidak karu-karuan turun hujan?" Dia segera menoIehkan kepalanya ke arah barat daya. Di kejauhan tampak angin sedang berhembus mengarak gumpalan awan-awan hitam, "Mungkin hujan akan turun deras sekali, Cepat kita cari tempat berlindung!" Semua orang setuju dengan usul Ci Tian Coan, pembicaraan pun dihentikan untuk sementara. Dengan tergesa-gesa mereka segera meninggalkan tempat itu dan menuju barat mengikuti jalan besar.
Pui le dan Kiam Peng dalam keadaan belum sehat menemui kesulitan Mereka tidak dapat berjalan cepat sebaliknya sang hujan turun semakin deras.
Tian Coan mengerti kesulitan yang dihadapi kedua nona itu, karenanya dia tidak berani ber!ari-lari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Siau Po dan yang lainnya juga terpaksa mengimbangi kedua orang nona itu.
Celakanya di tempat itu tidak tampak apa-apa. jangan kata rumah penduduk, sebuah gubuk atau sebuah tempat persinggahan yang biasanya suka tersedia di pinggir jalan pun tidak ada.
Tidak berapa lama kemudian, mereka basah kuyup, Meskipun demikian, semuanya tetap berjalan perlahan-lahan mengimbangi Pui le dan Kiam Peng.
Mungkin hanya Siau Po sendiri yang tidak merasa kesal atau bingung, Dengan berjalan bersama kedua nona manis itu, hatinya malah senang sehingga berulang kali dia tertawa,
"Lebih baik kita jalan perlahan-Iahan, Bagi kita toh sama saja, sudah kepalang tanggung, jalan perlahan-Iahan, basah, jalan cepat, basah juga."
Tian Coan semua berdiam diri, Tidak ada yang memberikan komentar apa-apa. Tapi mereka memang tidak tergesa-gesa lagi.
Tidak berapa lama kemudian, telinga rombongan itu mendengar suara gemericiknya air yang sedang mengaIir. Dalam sekejap mereka sudah tiba di tepi sebuah sungai, Mereka segera berjalan menyusun tepi sungai tersebut.
Berjalan kurang lebih setengah li. Mata Siau Po dan yang lainnya melihat ada sebuah perkampungan di hadapan mereka, Karena itu semuanya menjadi gembira sekali Tanpa terasa, mereka mempercepat langkah kaki, Tapi setelah mendekat, mereka menjadi kecewa.
Rupanya rumah yang mereka lihat dari kejauhan tadi, merupakan rumah berhala yang tersebar di sana sini dan keadaannya sudah tua serta rusak, Apa lagi bagian pintunya, sudah keropos dan bobrok,
Tapi meskipun demikian, tempat itu masih lumayan untuk dipakai sebagai peneduh dari air hujan,
Mereka segera memilih salah satu kuil yang keadaannya agak baik, Begitu mereka sampai di dalam, hidung Pui le langsung mencium bau lembab yang tidak enak, Mendadak gadis itu mengernyitkan sepasang alisnya, Karena memaksakan diri berjalan terlalu cepat, luka di dadanya terasa sakit kembali. Dia berdiam diri sambil menggertakkan giginya.
Tian Coan memang sudah tua, tapi orangnya rajin, Dia segera mencari kayu bakar. Orang tua itu tidak menemukan kesulitan sama sekali, sebab di sana terdapat banyak meja dan kursi bobrok. Dia segera mengambil beberapa buah dan dipatah-pa- tahkannya kaki-kaki meja serta kursi tersebut Ke-mudian dia menumpukkannya di tengah-tengah ruangan lalu dinyalakannya.
Sesaat kemudian, api unggun mulai berkobar Mereka segera duduk berkeliling di sekitarnya agar pakaian mereka cepat kering dan tubuh mereka terasa hangat.
Di luar kuil, udara semakin gelap dan hujan semakin menjadi-jadi, Ci Tian Coan memang pandai bekerja, Dia segera mengeluarkan ransum kering kemudian dibagi- bagikan kepada setiap orang, Dengan demikian, paling tidak perut mendapat sedikit ganjalan serta tidak menjadi sakit karenanya.
Sembari mengunyah kue kering, Kiam Peng menatap Siau Po seraya tertawa. "Apa yang kau lakukan pada kue Lau suka tadi?" tanyanya.
Siau Po mengedipkan matanya pada gadis cilik itu. "Tidak." katanya, "Aku tidak melakukan apa-apa."
"Kau masih menyangkal?" kata si nona, "Lalu, kenapa tiba-tiba Lau suko tidak sadarkan diri seperti orang yang kena Bong Hoan Yok?"
"Oh, dia kena Bong Hoan Yok?" Siau Po balik bertanya dengan sikap pura-pura bodoh, "Kapan dia terkena obat bius itu? Mengapa aku tidak tahu? Ah! Tidak mungkin! Bukankah barusan dia masih baik-baik saja dan duduk menghangatkan tubuhnya?"
"Hm!" Kiam Peng mendengus dingin, "Sudahlah! Kau memang pandai berpura-pura, Aku tidak sudi berbicara denganmu!"
Pui Ie duduk berdiam diri, telinganya mendengar percakapan kedua orang itu. otaknya terus berputar, hatinya bimbang dan menduga-duga.
Pertama-tama ketika Lau It Cou meringkus Siau Po, jarak Pui Ie masih jauh dari kedua orang itu, Dia tidak dapat melihat dengan tegas, Setelah keduanya duduk berdampingan di bawah pohon dan berbincang-bincang, Pui Ie baru mengendap-endap mendekati sehingga dia dapat melihat keadaan kedua orang itu serta dapat mendengar pembicaraan yang berlangsung dengan jelas. Dia melihat dengan tegas kue kering itu dikeluarkan dari buntalan milik Lau It Cou. Kemudian Lau It Cou selalu mengawasi Siau Po agar tidak melarikan diri, Yang aneh justru tiba-tiba saja Lau It Cou terkulai roboh.
Sementara itu, Siau Po tertawa dan berkata. "Mungkinkah Lau suko mengidap semacam penyakit seperti ayan yang dapat membuatnya pingsan sewaktu-waktu?"
Mendengar ucapan Siau Po, Lau It Cou gusar sekali Dia langsung menjingkrak bangun.
"Kau.,, kau.,.!" bentaknya hanya sepatah kata saja, Pui Ie mendelik kepada si bocah nakal.
"Kemari kau!" panggilnya.
"Apakah kau ingin menampar aku lagi?" tanya Siau Po. "Aku tidak sudi dekat denganmu!"
"Bukan!" sahut Pui Ie. "Lain kali kau jangan bicara yang bukan-bukan lagi di hadapan Lau suko. Kau masih kecil, kau harus hati-hati dengan kata-katamu, Dari mulut juga, orang bisa mendapatkan kesan baik di dirimu!"
Siau Po meleletkan lidahnya, Dia membungkam.
It Cou merasa puas melihat Pui Ie telah membelanya sebanyak dua kail Di dalam hatinya dia berkata....
Setan cilik ini benar-benar busuk, justru hati Pui sumoay baik sekali...
Di dalam rombongan itu, usia Ci Tian yang paling tua. Tapi dia terhitung bawahan Siau Po. Karena itu dia tidak berani turut campur Gouw Lip Sin dan Go Piu juga lebih tua dari Siau Po, namun mereka telah berhutang budi sehingga tidak leluasa mengatakan apa pun. Nona Bhok sendiri sudah mengatakan dia tidak sudi berbicara banyak lagi. dengan si bocah, Maka di tempat itu, hanya Pui Ie seorang yang bisa mengendalikannya dan meredakan suasana yang tidak enak pada kedua pihak.
Ketujuh orang itu tetap duduk mengelilingi api unggun, Cuaca tetap gelap dan hujan masih mengucur deras, Karena kuil itu sudah tua sekali, terdapat kebocoran di sana sini yang membuat lantainya menjadi basah, Hampir tidak ada bagian yang kering, Tiba-tiba air hujan menetes membasahi bahu Siau Po sehingga dia terpaksa menggeser sedikit, namun disitu pun bocor.
"Kemari kau!" panggil Pui Ie. "Disini tidak bocor."
Siau Po tidak menyahut Hanya matanya saja yang melirik ke arah si nona. "Kemari!" Panggil Pui Ie sekali lagi. "Jangan takuti Aku tidak akan memukulmu lagi." Siau Po tertawa kecil, Perlahan-lahan dia pindah ke samping gadis itu. Pui Ie segera membisiki Kian Peng dan gadis cilik itu pun menganggukkan kepalanya sambil tertawa. Kemudian dia membisiki Siau Po.
"Barusan Pui suci mengatakan bahwa dia dan engkau adalah orang sendiri itulah sebabnya dia berani memukul dan memarahi dirimu, Dia juga berharap selanjutnya kau jangan mengganggu Lau suko lagi. Dan Pui suci meminta aku menanyakan kepadamu, apakah kau sudah mengerti maksudnya?"
Siau Po mengawasi Siau kuncu dengan pandangan termangu-mangu.
"Apa sih artinya orang sendiri?" tanyanya dengan berbisik-bisik juga di telinga si nona yang kulitnya putih serta lembut "Aku tidak mengerti. " Kiam Peng sendiri tidak
tahu apa artinya, karena itulah dia berbisik lagi kepada Pui le untuk menanyakannya.
Mendengar pertanyaan yang diajukan si bocah nakal, Pui le mendelikkan matanya, tapi dia berbisik juga kepada Kiam Peng.
"Kau katakan kepadanya bahwa aku telah bersumpah dan sumpah itu berlaku untuk seumur hidup. Karena itu dia tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi!"
"Kembali Kiam Peng membisiki Siau Po apa yang dikatakan Pui Ie,
"Baik!" sahut Siau Po. "Jadi Nona Pui dengan aku adalah orang sendiri? Lalu, bagaimana dengan dirimu?"
Wajah Siau kuncu jadi merah padam ditanya sedemikian rupa. "Fuh!" Sebelah tangannya langsung melayang.
Siau Po menghindar dengan gesit, kemudian tertawa dan menoleh kepada Pui Ie. Dia menganggukkan kepalanya kepada gadis itu.
Pui le membalas tatapannya, merasa agak jengah tapi hatinya senang sekali wajahnya semakin cantik dan mempesona sementara itu, Lau It Cou hanya memperhatikan tingkah laku ketiga remaja itu, Dia tidak dapat mendengar pembicaraan mereka, Duduknya memang agak jauh dan mereka berbicara dengan berbisik-bisik pula.
Apa yang sempat tertangkap oleh telinganya hanya kata-kata "Lau suko" dan "orang sendiri"
Rupanya mereka menganggap aku orang luar.,., pikirnya, Hatinya panas sekali. Mendadak saja rasa cemburu memenuhi dadanya, Dalam pandangannya, Pui le itu tetap kekasihnya.
"Coba kau tanyakan kepadanya," bisik Pui le kepada Kiam Peng, "Sebenarnya akal apa yang digunakan olehnya sehingga Lau suko jadi tidak berdaya?" Nona Bhok menurut Dia menanyakannya kepada Siau Po. Bocah nakal itu memperhatikan Pui Ie. Dia mendapat kenyataan gadis itu ingin sekali mengetahui persoalan yang sebenarnya, Karena melihat nona itu tidak marah lagi, Siau Po pun mau menjelaskannya, Dia berbisik di telinga Siau kuncu.
"Ketika aku membuang air kecil, aku membelakanginya, Aku menggunakan tangan kiri untuk menaburkan Bong Hoan Yok pada kue keringnya, sedangkan kue yang kumakan, kugenggam dengan tangan kananku, karenanya tidak terkena obat bius itu, Nah, sekarang kau sudah mengerti, bukan?" sahutnya sambil tersenyum.
"Oh, rupanya demikian." kata Kiam Peng yang langsung menyampaikan penjelasan Siau Po kepada Pui Ie.
"Dari mana kau mendapatkan obat bius itu?" tanya Kiam Peng kemudian.
"Aku mendapatkannya dari salah seorang siwi di istana." kata Siau Po menjelaskan "Justru obat bius itu pula yang digunakan ketika aku menyelamatkan Lau suko meloloskan diri dari istana."
Kiam Peng mengangguk sekarang dia benar-benar sudah mengerti. Pada saat itu hujan masih turun, bahkan semakin deras, Suara di atas genting bising sekali, Karena itu, Siau Po terpaksa mengeraskan suaranya ketika membisiki si gadis.
It cou masih memperhatikan bagaimana kedua nona itu saling berbisik kemudian Siau kuncu berbisikan lagi dengan Siau Po. Dia menjadi gelisah sendiri. Akhirnya dia berjingkrak bangun untuk berdiri, lalu menyenderkan tubuhnya pada sebuah tiang dengan keras karena perasaannya sengit sekali, sekonyong-konyong terdengar suara derakan yang keras dari atas genteng, rupanya beberapa genteng jatuh karena goncangan pada tiang tadi.
"Celaka!" teriak Ci Tian Coan, "Kuil ini akan rubuh, cepat keluar!"
Semua orang merasa terkejut Tidak terkecuali Lau It Cou sendiri ia memang sudah mengelak ketika beberapa genteng terjatuh tadi. semuanya langsung melonjak bangun dan berhamburan lari ke luar dari kuil tua itu.
Belum seberapa jauh mereka berlari, tiba-tiba terdengarlah suara yang bergemuruh dan memekakkan telinga. Ternyata seluruh sisa bangunan kuil itu ambruk sehingga tidak berbentuk lagi.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, dari kejauhan terdengar suara samar-samar derap kaki kuda datang ke arah mereka, Kalau ditilik dari suaranya, kemungkinan jumlahnya mencapai belasan ekor, dan datangnya dari arah timur laut Bahkan dalam sekejap mata, belasan penunggang kuda itu pun sudah tiba di hadapan mereka. Terdengar suara seseorang yang usianya sudah lanjut berkata, "Sayang sekali! Di sini ada sebuah kuil yang cukup besar, tapi sudah roboh."
"Hai, sahabat!" mendadak salah seorang penunggang kuda menegur Ci Tian Coan yang maaih berkumpul menjadi satu dengan rekan-rekannya karena mereka memang belum sempat ke mana-mana, "Sedang apa kalian di sini?"
"Barusan kami meneduh di dalam kuil," sahut Ci Tian Coan. "Apa mau dikata, tiba- tiba kuil itu roboh terlanda hujan deras dan angin kencang, Hampir saja kami semua mati tertimpanya."
"Kurang ajar benar!" Terdengar gerutuan penunggang kuda yang ketiga. "Sudah hujan besar, tempat meneduh pun tidak ada! Lihat saja, kuil yang lainnya pun tidak ada yang utuh!"
"Tio losam, bagaimana sekarang?" Terdengar suara orang ke empat, "Kuil di sini sudah rubuh semuanya, apakah masih ada tempat meneduh yang lainnya ?"
Tempat untuk meneduh sih ada, tapi tidak berbed jauh dengan kuil-kuil rusak itu.,." kata orang tua yang pertama.
"Yang betul, ada atau tidak?" bentak seorang lainnya, Ditilik dari suaranya, tampaknya orang yang satu ini lebih berangasan.
"Ada. Letaknya di sebelah barat daya, Di dalam lembah." sahut orang yang di tegur "Sebenarnya tempat itu merupakan sebuah rumah hantu. Hantu yang menghuni di dalamnya juga jahat sekali, Tidak ada seorang pun yang berani berdiam di tempat itu itulah sebabnya aku mengatakan tidak berbeda dengan kuil-kuil rusak itu. "
Mendengar kata-kata si orang tua, beberapa temannya langsung tertawa terbahak- bahak. Beberapa teman yang lain mencaci dan menggerutu.
"Lohu tidak takut setan!" teriak seseorang.
"Malah lebih bagus kalau ada hantunya," teriak seorang lainnya lagi, "Kita tangkap saja dan kita jadikan hidangan pengisi perut!"
"Lekas tunjukkan jalannya! Kita toh bukan sedang mandi, untuk apa kita berdiam di sini lama-lama? Memangnya enak ditimpa air hujan terus-terusan?"
Orang yang dipanggil Tio losam berkata kembali
"Tuan-tuan, aku yang tua tidak menyayangi selembar jiwa ini tetapi sesungguhnya aku tidak berani Tuan-tuan, aku ingatkan, kita jangan pergi ke tempat itu. Lebih baik kita menuju utara saja, kurang lebih tiga puluh li lagi ada sebuah pasar. " "Hujan begini lebat kita harus menempuh perjalanan sejauh tiga puluh li lagi?" bentak beberapa penunggang kuda serentak "Sudahlah, jangan banyak bacot! jumlah kita toh banyak, mengapa kita harus takut kepada setan?"
"Baiklah kalau begitu!" kata Tio losam. "Mari kita pergi ke barat daya, setelah membelok ditikungan bukit sana, kita memasuki Iembah. Disana hanya ada sebuah jalan, tidak mungkin kita ke-sasar!"
Para penunggang kuda lainnya tidak menunggu kata-katanya selesai, mereka segera melarikan ku-da-kudanya ke arah yang disebutkan tadi. Tio losam justru sebaliknya. Dia menunggang keledai, setelah ragu-ragu sejenak, dia memutar balik keledainya ke arah tenggara, arah mereka datang tadi.
"Gouw jiko, Wi hiocu!" panggil Ci Tian Coan, "Bagaimana kita?"
"Menurut aku,.," sahut Gouw Lip Sin yang langsung menghentikan kata-katanya. Sebab dia merasa seharusnya Siau Po menentukan keputusan yang harus mereka ambil, Karena itu dia melanjutkan "Sebaiknya Wi hiocu saja yang mengambil keputusan. "
Siau Po memang aneh. Dia cerdas dan berani, tetapi terhadap setan atau hantu, justru paling takut, Mungkin karena usianya masih terlalu muda dan pengaruh sejak kecil sering ditakut-takuti cerita setan.
"Biar paman Gouw saja yang memutuskan.,." sahutnya cepat.
"Sebenarnya apa sih yang dinamakan setan?" kata Gouw Lip Sin. "ltu toh hanya ocehan orang kampung yang pikirannya masih bodoh, Kalau pun benar ada setan, kita pun tidak perlu takut, Kita pasti bisa melawan!"
"Bukan begitu. " kata Siau Po. "Ada setan yang tidak berwujud dan tahu-tahu muncul
di depan kita sehingga kita tidak sempat lari lagi. "
Lau It Cou merasa tidak puas mendengar ucapan Siau Po, saingannya, Karena itu dia segera menukas dengan suara keras.
"Kita berkecimpung di dalam kang ouw, mana ada yang takut terhadap hantu atau setan? Mana bisa kita kehujanan terus seperti ini? Bisa-bisa kita semua jatuh sakit.,,."
Tubuh Kiam Peng menggigil Kebetulan Siau Po melihatnya, pikirannya segera terbuka.
"Baiklah! Mari kita pergi kesana! Tapi, aku ingatkan kalian agar berhati-hati apabila bertemu dengan setan!" Kemudian mereka bertujuh pun berjalan menuju barat daya seperti yang dikatakan Tio losam tadi, Cuaca masih gelap, agak sukar bagi mereka menemukan jalanan, Untung saja mereka melihat sesuatu yang berkilauan Rupanya sebuah saluran air.
"Kalau kita tidak berhasil menemukan jalanan.,." kata Siau Po. "lni yang dinamakan "Setan menghajar tembok" artinya, setan telah menyesatkan langkah kita."
"Tapi saluran ini justru menunjukkan jalan," kata Tian Coan, "Kita tinggal mengikutinya saja!"
"Benar!" Sahut Lip Sin yang segera mendahului lainnya.
Mereka bertujuh pun berjalan mengikuti saluran air itu. Meskipun lambat, tapi mereka toh bisa meneruskan perjalanan.
Tidak lama kemudian, dari arah sebelah kiri yang terdapat banyak pepohonan lebat, terdengar suara ringkikan kuda. Mereka yakin itulah suara kuda-kuda rombongan tadi.
“Entah siapa orang-orang itu,.,” tanya Tian Coan dalam hatinya, Hatinya diliputi kecurigaan Tapi ada Gouw Lip Sin bersama kami, meskipun seandainya mereka berniat jahat, asal kepandaiannya tidak terlalu tinggi, maka tidak perlu terlalu dicemaskan, Karena itu dia pun jalan terus tanpa mengutarakan perasaannya.
Mereka tetap berjalan terus mengikuti aliran sungai, Tapi sekarang arahnya menuju dalam hutan, jalanan di sana tidak rata, kadang-kadang tinggi, kadang-kadang rendah.
Begitu melangkah ke dalam lembah, mereka dapat merasakan kegelapan yang terlebih parah, Tiba-tiba telinga mereka mendengar suara gedoran pintu, Hal ini membuktikan bahwa di sana memang terdapat rumah penduduk.
Siau Po terkejut sekaligus senang, Dia terkejut bila mengingat tentang setan yang dikatakan Tio losam tadi. Hatinya senang karena mengetahui adanya rumah untuk berteduh.
Tiba-tiba Siau Po merasa ada sebuah tangan yang menjamahnya. Tangan yang halus dan lembut itu langsung menariknya kemudian telinganya mendengar suara yang merdu.
"Jangan takut!" Siau Po segera mengenalinya sebagai suara Pui Ie.
Suara gedoran pintu masih terdengar Hal ini menandakan bahwa pintu masih belum dibukakan juga, Siau Po dan yang lainnya maju terus. Akhirnya mereka tiba di dekat rombongan itu. Mungkin karena kesal menunggu, sekarang mereka pun berteriak- teriak.
"Lekas bukakan pintu! Cepat! Kami orang-orang yang kehujanan dan ingin numpang berteduh. Teriakan itu tidak mendapat jawaban. Pintu tetap tidak dibukakan, Dari dalam rumah tidak terdengar suara apa pun. Keadaan di tempat itu tetap sunyi senyap.
"Rupanya rumah itu kosong, Tidak ada penghuninya!" teriak seseorang.
Tio losam sudah mengatakan bahwa inilah rumah hantu." kata seseorang. "Mungkin dia benar. Siapa yang berani sembarangan masuk ke dalam rumah ini? Mungkin kita harus melompat lewat tembok apabila ingin masuk ke dalamnya."
Seiring dengan ucapan itu, tampak dua berkas cahaya berkelebat. Rupanya dua orang segera melompat naik ke atas tembok pagar sembari menghunus golok masing- masing. Sesaat kemudian pintu pekarangan sudah terpentang lebar karena di buka oleh kedua orang tadi, Dengan demikian semua orang yang ada di luar bisa masuk kedaIam. Begitu masuk, tampaklah sebuah halaman, Ci Tian Coan mengajak rekan-rekannya masuk ke dalam. Diam-diam dia berpikir.
“Mereka orang-orang dari dunia kang ouw, tapi kalau di tilik dari gerak-geriknya, kepandaian mereka tidak seberapa tinggi.”
Di hadapan mereka terdapat sebuah pendopo yang luas, Rombongan itu segera masuk ke dalam. Salah seorang dari penunggang kuda itu membuka buntalannya dan mengeluarkan batu api kemudian menyulut lilin yang terdapat di atas meja, Dalam sekejap mata ruangan itu jadi terang. perasaan setiap orang pun terasa lebih lega.
Meja dan kursi yang terdapat dalam ruangan itu terbuat dari kayu cendana, Hal ini membuktikan bahwa bekas penghuni rumah itu seseorang yang berperasaan halus, Seleranya untuk perabotan rumah tangga pun cukup tinggi.
Tian Coan memperhatikan keadaan di dalam ruangan itu, dalam hatinya dia berpikir. “Meja dan kursi-kursi di sini bersih tanpa debu sedikit pun. Lantai pun tersapu bersih.
Mengapa rumah ini tidak ada penghuninya?”
Ternyata bukan hanya Tian Coan saja yang berpikiran demikian Salah seorang dari penunggang kuda itu pun mengeluarkan seruan heran.
"Rumah ini bersih sekali, pasti ada penghuninya !"
"Hai! Hai!" teriak seseorang lainnya, "Hai! Apakah ada orang yang menghuni rumah ini? Apakah ada orang di dalam?"
Ruangan pendopo itu besar serta tinggi, Suara teriakan orang tersebut langsung berkumandang ke mana-mana menimbulkan gema, Tapi lambat laun suara itu menghilang dan kesunyian kembali melanda, Hanya suara air hujan yang berderai jatuh di atas genteng menimbulkan kebisingan yang mencekam. Untuk sesaat orang-orang dari rombongan itu berdiam diri dan saling memperhatikan Mimik wajah mereka menyiratkan perasaan heran.
Kemudian salah satunya yang sudah lanjut usia dan rambutnya penuh uban menegur Ci Tian Coan
"Tuan-tuan sekalian, apakah kalian orang-orang dunia Kang ouw?" Ci Tian Coan hanya menggelengkan kepalanya.
"Aku yang rendah she Kho." sahutnya kemudian "Rombongan kami terdiri dari sanak saudara dan keluarga, Kami ingin pergi ke Shoa say untuk menjenguk famili, sayangnya hujan turun dengan deras sehingga kami terpaksa singgah di sini, Bagaimana dengan tuan-tuan sendiri? siapakah she dan nama tuan besar yang mulia?"
Orang itu menganggukkan kepalanya, tapi dia tidak langsung memberikan jawaban Diam-diam dia memperhatikan rombongan Ci Tian Coan, Dia mendapat kenyataan bahwa di antaranya ada beberapa wanita dan ada bocah cilik pula. Dia tidak merasa curiga sedikit pun. Tapi dia tetap tidak memberikan jawaban dan hanya berkata dengan suara menggumam.
"Rumah ini aneh sekali!"
Kembali terdengar seseorang lainnya berteriak lantang,
"Hai! Apakah di dalam rumah ada penghuninya? Atau para penghuninya sudah mampus semua?"
Tak perlu diragukan lagi kalau orang itu sudah kesal sekali sehingga tegurannya jadi sengit. Beberapa menit kembali berlalu, tetap saja tidak ada jawaban dari dalam rumah. Akhirnya orang tua tadi menunjuk enam orangnya seraya memerintahkan.
"Kalian berenam masuk terus sampai ke dalam dan lihat, apakah rumah ini benar- benar kosong?"
Orang tua itu langsung menghampiri sebuah kursi dan duduk di sana, Enam orang yang ditunjuknya segera mengiyakan, Mereka mencabut senjatanya masing-masing lalu terus melangkah ke dalam. Salah satu diantaranya membawa sebatang lilin sebagai penerangan Ketika mereka berjalan ke dalam, langkah mereka perlahan sekali, Agaknya mereka bersikap hati-hati dan teliti.
Hal ini juga menunjukkan bahwa mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan Setelah masuk jauh ke dalam, terdengarlah suara panggilan dan gedoran dari keenam orang itu, Rupanya mereka memeriksa setiap ruangan dan mencoba memanggil-manggil untuk meyakinkan bahwa dalam rumah itu tidak ada penghuninya. Setelah lewat beberapa detik, suara panggilan dan gedoran pun tidak terdengar lagi. Tentunya keenam orang itu sudah pergi jauh ke belakang.
Sambil menantikan, si orang tua menunjuk kepada empat orang lainnya sambil memerintahkan.
"Kalian pergi mencari kayu untuk obor, kemudian susul mereka ke dalam!"
Mereka menuruti perintah itu, Keempat orang itu segera ke luar melaksanakan tugas yang di perintahkan itu.
Siau Po dan yang lainnya tidak mengambil tindakan apa-apa. Dia hanya memperhatikan gerak-gerik rombongan penunggang kuda itu. Mereka duduk berkumpul di bawah jendela besar ruangan pendopo, semuanya memang sengaja memisahkan diri dari rombongan tersebut.
Dengan kepergian sepuluh orang tadi, dalam ruangan itu masih tersisa delapan orang dari rombongan tersebut Mereka semua mengenakan pakaian yang serupa, Kemungkinan seragam dari suatu perkumpulan tertentu. Mungkin juga para piau su (pegawai sebuah ekspedisi) yang sedang menjalankan tugas mengawal semacam barang.
Cukup lama Siau Po berdiam diri, akhirnya dia bertanya juga kepada Pui Ie. "Cici, coba kau katakan, apakah benar rumah ini berhantu?"
"Kemungkinan memang ada." sahut gadis itu. "Mana sih ada rumah yang belum pernah kematian penghuninya?"
Tubuh Siau Po bergidik Dia meringkukkan tubuhnya sedikit padahal dia tidak pernah takut terhadap apa pun, tetapi mendengar setan, nyalinya langsung ciut.
"Para setan di dunia ini paling benci kepada orang yang menghina sesarang yang berhati baik dan suka terhadap orang yang benar-benar jahat.
Apalagi bocah tanggung, Sebab kalau orang dewasa hawanya hangat, setan jadi takut Bahkan segala setan, baik yang mati dibunuh atau pun yang menggantung diri, jarang berani mendekati orang dewasa!" kata Lau It Cou menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya,..
Diam-diam Pui Ie menjulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Siau Po. "Manusia takut kepada setan, tapi setan lebih takut lagi kepada manusia, Asal ada
cahaya api atau terang, setan pasti akan lari ketakutan." katanya menghibur hati Siau
Po. Kemudian terdengar suara langkah kaki yang riuh, Ternyata ke enam orang yang pertama pergi tadi sudah muncul kembali Tampak jelas wajah mereka menyiratkan perasaan yang heran tidak kepalang tanggung, Hampir serentak mereka memberikan laporannya
"Tidak tampak seorang pun di mana-mana, tapi setiap ruangan terawat dengan baik." "Seluruh tempat tidur di alasi sprei dan kelambu, semuanya bersih, Di depan setiap
pembaringan ada sepasang sandal wanita."
"Di dalam lemari yang ada dalam setiap ruangan, penuh dengan pakaian wanita, Tidak tampak sepotong pun pakaian pria."
Tiba-tiba Lau It Cou berteriak dengan nyaring.
"Setan perempuan! Setan perempuan! Tidak salah lagi rumah ini dihuni oleh setan perempuan!"
Suaranya begitu keras sehingga pandangan semua mata tertuju padanya, tapi tidak ada seorang pun yang memberikan komentar.
Setelah hening sejenak, si orang tua baru mengajukan pertanyaan. "Ada barang apa saja yang terdapat di dapur?"
"Piring-piring dan mangkok-mangkok telah tercuci bersih." sahut salah seorang bawahannya, "Tetapi tidak ada sebutir beras pun di dalam pendaringan."
Tepat pada saat itu, dari dalam rumah terdengar suara berisik keempat orang yang menjadi rombongan kedua tadi, Mereka berteriak-teriak aneh sambil berlari serabutan, Ketika masuk ke dalam, mereka semua membawa obor yang masih menyala, sekarang obor mereka telah padam semua.
"Orang mati! Banyak orang mati!" Terdengar suara teriakan mereka yang jelas, Wajah mereka menyiratkan perasaan terkejut sekaligus takut.
"Kalian hanya membuat keributan! Aku kira kalian telah bertemu dengan lawan yang tangguh." tegur si orang tua. "Ternyata kalian hanya melihat orang mati. Kalau hanya mayat, apa yang perlu di takuti?"
"Bukan takut" sahut orang-orang itu, "Kami hanya merasa aneh." "Apanya yang aneh?" tanya orang tua itu kembali "Cepat katakan!" "Di ruang sebelah timur... terdapat banyak leng tong (meja abu orang mati), Di mana- mana ada, entah berapa banyak jumlahnya.-." sahut seseorang.
"Apakah ada jenasah atau peti matinya?" tanya si orang tua kembali. Dua orang yang terakhir langsung saling lirik.
"Tidak... tidak jelas..." sahut mereka. "Rasanya tidak ada. "
"Kalau begitu, cepat kalian persiapkan obor-obor lagi! Kita masuk bersama-sama. Kemungkinan tempat ini merupakan sebuah rumah abu. Bukan-kah tidak mengherankan kalau banyak leng tong-nya?"
Cara bicara si orang tua enak sekali, tapi nadanya mengandung sedikit kebimbangan. Rupanya dia sendiri ikut terpengaruh bahwa tempat itu bukan rumah sembarangan.
Orang-orang dari rombongan itu segera bekerja, Tidak sulit bagi mereka untuk membuat obor, sebab mereka tinggal mematahkan kaki meja dan kursi, Dalam sekejap mata pekerjaan mereka pun selesai Beramai-ramai mereka masuk ke dalam.
"Biar aku ikut pergi melihat!" kata Tian Coan "Gouw toako, harap kalian tunggu dulu di sini!" selesai berkata, Ci Tian Coan segera menyusul orang-orang rombongan itu.
"Suhu," tanya Go Pi kepada gurunya. "Siapakah orang-orang dari rombongan itu?" "Entahlah!" sahut Gouw Lip Sin. "Aku tidak mengenali atau membedakan orang-
orang dari golongan mana mereka itu. Kalau ditilik dari aksen-nya, tampaknya, mereka
orang-orang dari Ki barat. Tampang mereka juga tidak mirip dengan pembesar sipil Mungkinkah mereka rombongan orang-orang yang sering menyelundupkan barang gelap? Tapi mereka semua berkosong tangan Tidak ada yang membawa apa pun."
"Rombongan itu bukan orang-orang yang perlu diperhatikan secara istimewa." terdengar suara Lau It Cou menukas, "Yang perlu dikhawatirkan justru para hantu perempuan di rumah ini. Mereka tentunya lihay-lihay sekali."
Pemuda ini selalu menyebut-nyebut soal setan, seakan sengaja ingin menimbulkan perang dingin dengan Siau Po. Rupanya dia masih merasa panas dan mendendam dalam hati.
Sembari berbicara, Lau It Cou melirik ke arah si bocah sambil menjulurkan lidahnya dan membelalakkan matanya, wajahnya menunjukkan seakan dia pun ketakutan.
Siau Po bergidik, Dia menggenggam tangan Pui Ie erat-erat. Telapak tangannya terasa dingin sekali, karena itu Pui Ie juga menggenggamnya erat-erat agar dia bisa merasakan sedikit kehangatan "Lau... suko!" panggil Kiam Peng, "Kau jangan menakut-nakuti orang!" Tentu saja dia dapat menduga maksud hati pemuda itu. sedangkan dia sendiri pun merasa agak takut.
"Siau kuncu, kau tidak perlu khawatir!" kata Lau It Cou. "Kau putri seorang bangsawan, setan apa pun tidak akan berani mendekatimu. Setiap setan yang melihat kau pasti akan lari terbirit-birit Mereka tidak akan berani mengganggumu, Kau tahu, setan jahat paling sebal melihat thay-kam yang perempuan bukan, laki-laki pun bukan."
Sepasang alis Pui le langsung menjungkit ke atas, Dia mendongkol sekali melihat tingkah kakak seperguruannya yang semakin konyol Hampir saja dia membuka mulutnya memaki Untung saja dia masih bisa mengekang diri.
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara ramai langkah kaki yang mendatangi Ternyata orang-orang yang masuk kedalam tadi sudah ke luar kembali.
Melihat tampang orang-orang itu, hati Siau Po menjadi agak lega, sehingga dia menarik nafas panjang.
"Memang benar." kata Tian Coan kepada rombongannya dengan suara perlahan sekali "Di dalam setiap kamar ada empat puluh meja abu. Dan disetiap meja dirawat enam atau tujuh buah leng wi (Tempat abu jenasah), Rupanya di atas setiap meja disimpan abu jenasah sebuah keluarga. "
"Hm! Hm!" Lau It Cou memperdengarkan suaranya yang tawar, "Dengan demikian, berarti di dalam rumah ini terhuni beberapa ratus setan jahat?"
Tian Coan menggeleng-gelengkan kepalanya, Seumur hidupnya, baru kali ini dia menghadapi pengalaman yang demikian aneh, Sesaat kemudian dia baru berkata kembali dengan nada sabar.
"Yang anehnya, di atas setiap meja terpasang lilin. "
Kiam Peng, Siau Po, dan Pui le merasa heran sehingga serentak mengeluarkan seruan terkejut.
"Ketika kami sampai di ruangan dalam tadi, lilin itu masih belum dinyalakan." salah seorang dari rombongan penunggang kuda yang tadi masuk kedalam memberikan keterangan.
"Apa kau tidak salah ingat?" tanya si orang tua.
Keempat pengikut itu saling memandang sejenak, kemudian sama-sama menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, kita bukan bertemu dengan setan." kata si orang tua setelah lewat sejenak, "Sebaliknya, kita justru bertemu dengan orang-orang yang lihay sekali Bukan hal yang mudah apabila ingin menyalakan lilin dari empat puluh buah leng tong, siapakah kiranya orang yang demikian hebat? Kho loyacu, bagaimana pendapatmu, benar atau tidak apa yang kukatakan ini?"
Pertanyaan itu ditujukan kepada Ci Tian Coan yang mengaku dirinya she Kho. Ci Tian Coan berlagak tolol.
"Kemungkinan kita telah melanggar peraturan tuan rumah tanpa setahu kita." sahutnya. "Tidak ada salahnya kalau kita memberi hormat dihadapan leng tong-leng tong itu. "
"Hm!" Orang tua itu mendengus dingin, Sesaat kemudian dia baru berkata dengan suara lantang. "Tuan-tuan yang terhormat! Kami sedang melakukan perjalanan Ketika lewat di tempat tuan ini, kami terhalang oleh hujan deras, oleh karena itu kami lancang masuk ke rumah Tuan ini untuk berlindung, Tuan yang terhormat apakah Tuan sudi menemui kami?"
Sesaat kembali berlalu, meskipun suara si orang tua lantang sekali, bahkan menggaung di dalam rumah, tetapi tetap saja tidak ada jawaban.
Si orang tua menggeleng-gelengkan kepalanya, Dia menunggu lagi beberapa saat, lalu berkata lagi dengan suara yang lebih keras.
"Kalau tuan rumah tidak bersedia bertemu dengan kami yang hanya terdiri dari orang-orang kasar ini, harap Tuan sudi memaafkan kami yang lancang berlindung di sini. sebentar lagi, apabila hujan sudah reda, kami semua akan berangkat melanjutkan perjalanan."
Sembari berkata, orang tua itu menggerakkan tangannya memberi isyarat kepada rekan-rekannya agar jangan membuka suara, Dengan demikian mereka bisa sama- sama memasang telinga.