Kaki Tiga Menjangan Jilid 28

Jilid 28

Kiam Peng dan Pui Ie merasa heran. Hal itu benar-benar aneh bagi mereka, Untuk apa pembesar itu diarak ke setiap tabib kalau bukan untuk diobati?

"Apa arti perbuatan orang-orang yang menggotongnya itu?" tanya kedua nona itu kepada Siau Po. Orang yang ditanya tertawa,

"Yo It-hong, pembesar anjing itu telah bersalah kepada Ci toako," sahutnya, "Perbuatannya sungguh keterlaluan sekarang dia harus diberi pelajaran agar tahu rasa dan menderita!"

"Lalu, mengapa dia digotong kesana kemari oleh anjing Peng Si ong? Apakah sengaja dilakukan agar dilihat oleh orang banyak?"

Siau Po tertawa.

"Go Eng-him, si bocah busuk itu melakukan hal tersebut supaya aku mendengarnya," sahutnya, "Aku yang menyuruh dia menghajar kaki pembesar anjing itu dan ternyata dia telah melakukannya dengan baik."

Kiam Peng semakin heran.

"Lalu, mengapa Go Eng-him harus mendengar kata-katamu?" tanyanya kembali. Kembali Siau Po tertawa.

"Aku hanya mengoceh sembarangan di hadapannya untuk mengelabuinya," sahutnya, "Rupanya dia percaya dengan ocehanku."

"Tadinya aku ingin membunuh pembesar anjing itu, tapi setelah dipikir-pikir, aku membatalkannya. Dia toh sudah diarak kesana kemari dalam keadaan terluka, Kakinya yang patah itu tidak boleh diobati dulu. Kalau dia langsung dibunuh begitu saja, tentu terlalu enak baginya. Karena itulah aku membiarkannya, Kemarin sore aku melihatnya sendiri. Menurut pandanganku meskipun masih hidup, tapi nyawanya tinggal satu dua bagian saja, Kedua kaki celananya digulung ke atas sampai ke paha, Kakinya yang terluka pun sudah membengkak dan biru matang. Aku yakin paling-paling dia bisa bertahan beberapa hari lagi Nah, nona-nona berdua, coba kalian pikir, apakah aku tidak merasa puas melihat kenyataan itu?"

Kedua nona itu tersenyum, Demikian pula dengan Siau Po.

Tidak lama kemudian muncul Kho Gan-tiau yang melaporkan bahwa dia sudah mencarikan dua buah kereta besar dan sekarang sudah menunggu di depan pintu, Dia termasuk seorang anggota penting dalam perkumpulan Tian-te hwe, tetapi menurut peraturan partai itu, dia tidak boleh sembarangan diperkenalkan dengan orang, itulah sebabnya dia tidak diajak kenal dengan kedua nona itu, Tian-te hwe bertujuan menentang pemerintahan Boan, karena itu anggota-anggotanya dianggap tidak perlu terlalu menonjolkan diri.

Menerima laporan itu, Siau Po berpikir dalam hati. "Dalam buntalanku sudah terkumpul enam jilid kitab Si Cap ji cin-keng. Apa faedahnya kitab-kitab itu? Aku sama sekali tidak tahu, Mengapa orang lain selalu menginginkannya, sampai-sampai menempuh jalan mencuri bahkan mengorbankan jiwa orang lain? Di balik semua ini, pasti ada sebabnya, Karena itu, aku harus menjaga baik-baik agar kitab ini jangan sampai hilang."

Hanya sejenak Siau Po berpikir Kemudian dia mendapat akal, Dia menggapaikan tangannya kepada Kho Gan-tiau.

"Kho toako," bisiknya, "Selama di istana aku mempunyai seorang sahabat yang telah dibunuh oleh para siwi. Karena dia merupakan sahabat karibku, maka aku menyimpan tulang belulangnya, Ada niatku untuk menguburnya baik-baik. Karena itu, tolong kau beli sebuah peti mati yang bagus untuk menempatkan abunya."

Orang she Kho itu menerima perintah itu dengan mengangguk Ketika mengundurkan diri, dia berpikir.

"Sahabat hiocu itu pasti seorang gisu yang menentang kerajaan Boan, karena itu aku harus mencari peti mati dengan kayu pilihan dari Liu Ciu."

Gan Tiau cerdas juga pandai bekerja, Dia diberikan uang sebesar lima ratus tail perak, tapi masih bersisa tiga puluh tail lebih. Kecuali peti mati, dia juga membeli pakaian, guci, semen, kertas, lengpay dan lain-lainnya. Menuruti pesan sang hiocu dia juga membeli pakaian serta sepatu untuk Pui Ie dan Kiam Peng, Tidak lupa pula ia membeli ransum kering untuk perbekalan dalam perjalanan.

Sampai sekembalinya Kho Gan-tiau, Siau Po, Kiam Peng dan Pui Ie mendapat kesempatan tidur selama kurang lebih dua jam. Siau Po yang pertama-tama mengganti pakaian, dia tidak berdandan sebagai seorang thay-kam lagi. Dia sendiri yang mengurus penyimpanan kitab-kitabnya, Mula-mula dia membungkus keenam kitab itu dengan kertas yang berlapis-lapis, kemudian dimasukkannya ke dalam guci lalu dipenuhi dengan abu gosok.

Paling bagus kalau peti mati ini aku isi denga kerangka manusia," pikirnya dalam hati "Seandai nya ada orang yang curiga, dan membuka tutup pe mati ini, mereka tidak akan ragu 1agi. Tapi, dalaim waktu yang singkat, kemana aku harus mencar kerangka manusia atau mayat yang utuh? Di mana aku harus mencari orang jahat yang patut dibunuh?

Ketika akan keluar dari kamarnya dengan membawa guci, Siau Po membasahi matanya dengan air. Dia muncul dengan tampang sedih, Peti mati diletakkan di ruangan belakang dan memang tempat itulah tujuannya, Dia memasukkan guci berisi "abu jenasah. Setelah selesai, dia menjatuhkan dirinya berlutut untuk memberikan penghormatan yang terakhir kepada "sahabat'nya itu. Dia melakukannya sambil menangis pilu. Di ruang itu telah berkumpul Ci Tian-coan, Kho Gan-tiau juga kedua nona dari keluarga Bhok, Tidak ada seorang pun dari mereka yang menaruh kecurigaan Bahkan semuanya ikut memberikan penghormatan terakhir.

Siau Po pernah melihat upacara sembahyang di rumah keluarga Pek, maka dia pun menirunya, Dia berlutut di depan keempat orang itu dan menghaturkan terima kasih.

"Hiocu, siapakah nama sahabatmu itu?" tanya Kho Gan-Tiau. "Nama dan she dia harus ditulis dengan jelas."

"Dia... dia.,." kata Siau Po pura-pura menangis, padahal dia bingung karena belum memikirkan nama sahabatnya itu. Dia... she Hay bernama Kui Tong."

Siau Po memang cerdas sekali, Dalam waktu yang singkat dia bisa memikirkan sebuah nama yang diambilnya dari nama Hay thayhu, Siau Kui cu, dan Sui Tong, Dia berpikir dalam hati.

"Aku telah membunuh kalian bertiga dan sekarang aku bersembahyang untuk arwah kalian. Uang ini boleh kalian gunakan di dalam alam baka, Tapi arwah kalian tidak boleh mengganggu aku, ya!" Kiam Peng melihat Siau Po menangis dengan sedih. Dia segera menghibur.

"Bangsa Tatcu telah membunuh para gisu dan sahabat kita, Suatu hari pasti akan tiba saatnya kita membalaskan sakit hati mereka, Dan sakit hati gisu ini pun akan terbalaskan!"

Abu jenasah palsu itu disebut "gisu" panggilan yang luar biasa hormatnya, Karena "gisu" berarti "Patriot pecinta negara"

"Memang bangsa Tatcu harus dibasmi!" kata Siau Po dengan nada sengit "Kalau tidak, arwah para gisu tidak akan tenang dan sakit hatinya tidak terlampiaskan!"

Selesai upacara sembahyang, semua orang berdiam untuk beristirahat. Kemudian mereka mengucapkan selamat berpisah kepada Kho Gan-tiau untuk melanjutkan perjalanan.

"Biar aku antar kalian barang selintasan," kata Siau Po kepada kedua nona dari keluarga Bhok itu." Tentu saja Kiam Peng dan Pui Ie menjadi gembira mendengarnya.

Kedua nona itu duduk dalam satu kereta, sedangkan Ci Tian-coan dan Siau Po duduk dalam keretanya masing-masing, Kereta itu keluar dari pintu timur dan menuju arah timur juga, Setelah lewat beberapa li, baru mereka mengambil arah selatan. Kurang lebih menempuh perjalanan sejauh delapan li, Tian Coan menyuruh kereta- kereta itu dihentikan Kemudian dia berkata kepada Siau Po:

"Ada pepatah yang mengatakan mengantar sahabat sejauh seribu li". Tapi meskipun demikian, akhirnya toh harus berpisah juga, Begitu pula dengan kita. sekarang hari  sudah siang, Mari kita singgah untuk minum teh, setelah itu kita melanjutkan perjalanan masing-masing."

Siau Po setuju, mereka mampir di sebuah kedai teh yang letaknya di pinggir jalan Ketiga sais kereta juga diajak serta, mereka duduk bertiga di meja lain.

Ci Tian-coan tahu diri. Dia menerka kedua nona itu tentu ada apa-apanya dengan hiocu perkumpulan mereka. Mungkin ada sesuatu yang ingin mereka bicarakan. Dengan mencari alasan, dia mengundurkan diri, Dia berdiri memangku tangan dan menyaksikan pemandangan alam di luar kedai.

"Kui.. Kui.,." kata Kiam Peng membuka mulut, tapi dia segera mengganti kata- katanya, "Oh, bukan, bukan. sebenarnya kau she Wi bukan? Dan kau juga seorang... entah hiocu apa?"

Siau Po tertawa.

"Aku she Wi dan namaku Siau Po," katanya terus terang, "Di tempat ini aku adalah seorang hiocu dari Ceng-bok tong yang merupakan bagian dari Tian-te hwe. sekarang aku tidak dapat berbohong lebih lama lagi."

"Oh!" seru nona Bhok heran. Kemudian dia menarik nafas panjang. "Mengapa kau menarik nafas?" tanya Siau Po.

"Kau adalah seorang hiocu bagian Ceng-bok tong dari Tian-te hwe," kata si nona, "Tetapi... mengapa kau menjadi thay-kam dalam istana Boan? Bukankah hal itu. "

Pui Ie menduga Kiam Peng akan mengatakan bukankah hal itu sayang sekali?" Untuk mence-gahnya, dia segera menukas, Dia tidak ingin Siau Po menjadi tidak enak hati.

"Kalau seorang yang berjiwa gagah dan bersemangat patriot sudi bekerja untuk negaranya," katanya, "Dia tidak akan memperdulikan jalan apa pun. walaupun hal itu menentang sanubarinya sendiri, dia tetap akan menjalankannya. Kita justru harus menghormati orang seperti itu!"

Nona Pui menduga Siau Po mendapat tugas dari perkumpulannya untuk menyelinap ke dalam istana kerajaan Ceng untuk menjadi mata-mata. Demi keberhasilannya, dia rela menjadi thay-kam, pengorbanan semacam itu baginya besar sekali!

Siau Po dapat menerka isi hati kedua nona itu. Dia tersenyum. Dalam hatinya dia bertanya pada dirinya sendiri

"Apakah sebaiknya aku menjelaskan bahwa aku bukan seorang thay-kam asli?" Tepat pada saat hiocu ini sedang berpikir keras, tiba-tiba dia dikejutkan suara bentakan Ci Tian-coan.

"Hm! Sahabat yang baik! Apakah sampai detik ini kau masih tidak mau memperlihatkan dirimu?" Teguran itu ditujukan pada salah seorang sais kereta yang duduk di sampingnya. Tangannya segera meluncur untuk menepuk bahu orang itu.

Tapi tepukannya itu gagal, karena si sais berhasil memiringkan bahunya dengan gesit sekali. Tangan kiri Tian Coan segera meluncur lagi untuk menghajar pinggang kiri orang itu.

Ternyata sais atau kusir itu memang lihay sekali Dia menangkis sambil menggeser tubuhnya sehingga terbebas dari serangan itu.

Tian Coan merasa penasaran, sikut kanannya menyusul ke arah belakang leher si kusir.

Tukang kereta itu memang hebat Dia mengelakkan bagian belakang lehernya sambil membalas dengan meluncurkan tangan kanannya ke wajah penyerangnya.

Menyaksikan hal itu, Tian Coan mencelat mundur Dia merasa heran sekaligus kagum. Kelihayan orang itu benar-benar di luar dugaannya, Apalagi selama mengelakkan diri maupun menyerang. Kusir itu tetap duduk di atas kereta, Bukankah kepandaiannya sendiri cukup tinggi dan serangannya selalu membahayakan?

Dari tiga jurus yang sudah berlangsung, kentara jelas Ci Tian-coan yang keteter, dia menjadi tercekat hatinya sekaligus gusar, Bukankah dia mendapat tugas untuk mengantar kedua nona dari keluarga Bhok dan keselamatan mereka harus terjamin? Tapi sekarang, baru menempuh perjalanan sebentar saja, dia telah menemui rintangan hebat!. Untung saja dia keburu mencurigai kusir itu. jangan kata tiba di dusun Cioki cung, mereka sekarang baru terpisah dari kotaraja sejauh belasan li.

“Tentunya dia jago dari istana!" pikir Ci Tian-coan dalam hati. Tentunya dia mendapat tugas melakukan penangkapan. "

Mengingat demikian, lekas-lekas Ci Tian-coan memberi isyarat kepada Siau Po bertiga yang perhatiannya sudah tertarik, Dia ingin mereka bertiga menyingkir terlebih dahulu agar dia bisa leluasa menghadapi kusir itu.

Siau Po bertiga terdiri dari orang-orang gagah. Meskipun Pui Ie sedang terluka dan tidak dapat berkelahi, namun ketiganya sudah menghunus senjata masing-masing serta menerjang ke depan untuk mengepung kusir itu.

Sang kusir meloncat turun dari kereta dan duduk di atas tanah. sekarang dia menoleh ke arah Ci Tian-coan dan sembari tertawa manis dia berkata:

"Sungguh tajam mata Pat-pi Wan Kau!" suaranya kecil, tapi agak melengking. Siau Po berempat memperhatikan kusir itu, Mereka melihat wajahnya agak tembem seperti bengkak, kulitnya kuning, pipi dan dahinya kotor, pakaiannya juga dekil Sulit menaksir berapa kira-kira usianya.

Tian Coan heran mendengar orang itu bisa menyebut julukannya, Dia segera merangkapkan sepasang tangannya menjura,

"Tuan, siapa Anda?" tanyanya, "Mengapa tuan menyamar menjadi kusir kereta dan mempermainkan aku si orang tua?"

Sampai waktu itu, barulah si kusir berdiri kembali Dia bangun perlahan-lahan dan sambil tertawa dia berkata.

"Mempermainkan? Aku yang rendah benar-benar tidak berani! Aku yang rendah adalah sahabatnya Wi hiocu! Aku mendengar kabar Wi hiocu sudah meninggalkan kotaraja, karena itu aku datang untuk mengantarkan."

Siau Po mengawasi orang itu, Kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Maafkan..." katanya, "Kenyataannya... aku tidak kenal dengan tuan." Kusir itu kembali tertawa.

"Kita berdua telah menghadapi musuh tangguh tadi malam," katanya, "Hiocu yang baik, masa kau begitu pelupa?"

Siau Po terkejut.

"Oh!" serunya, "Rupanya kau To. " Siau Po segera menyimpan pisau belatinya, Dia 

menghambur ke depan untuk meraih tangan kusir itu.

Rupanya kusir itu merupakan samaran dari To kionggo, Dia memoles wajahnya sedemikian rupa sehingga tidak mudah dikenali

"Aku khawatir hiocu mendapat rintangan di tengah jalan dari bangsa Tatcu, dan aku menyamar dengan niat mengantarkan kau barang selintasan!" kata orang she To itu menjelaskan.

Kemudian tampak dia menarik nafas panjang, "Di luar dugaanku, mata Ci loyacu begitu tajam sehingga tidak dapat aku mengelabuinya!"

Ci Tian-coan memperhatikan kedua orang itu. Hatinya menjadi lega dan sekaligus malu, Rupanya kusir itu adalah penyamaran sahabatnya sang hiocu, Dia juga menjadi jengah mengetahui kepandaian orang begitu tinggi, bahkan sepuluh kali lipat dari dirinya sendiri. "Aih! Kalau dia benar-benar seorang musuh, pasti kami berempat sulit meloloskan diri dari maut," pikirnya dengan hati jeri.

Membawa pikiran demikian, Ci Tian-coan segera memberi hormat Sambil tertawa dia berkata.

"Tuan, sungguh aku merasa kagum dengan kelihayanmu! Dan kau, Wi hiocu, rejeki dan jodohmu sungguh bagus, di mana-mana kau mendapatkan kawan yang hebat!"

To kionggo tertawa.

"Ci toako hanya memuji," katanya, "Tidak sanggup aku menerimanya, tapi aku mohon tanya, kelemahan apakah yang Ci toako lihat sehingga samaranku ini bisa ketahuan?"

"Dalam hal dandanan, aku tidak menemukan kelemahan apa pun," sahut Ci Tian- coan. "Tetapi kecurigaanku timbul sejak keberangkatan tadi. Aku heran menyaksikan gerakan tanganmu ketika mengendalikan kuda dan menggunakan cambuk, Gerakan tanganmu tidak mirip dengan kusir lainnya, Aku lihat cambukmu meluncur lurus, tapi lenganmu tidak bergetar sebagaimana biasanya orang sedang mengayunkan cambuk. Ketika cambuk itu ditarik kembali, tanganmu juga tidak menekuk sebagaimana umumnya, Kalau aku tidak keliru, gerakan lengan itu dinamakan Kim-liong Ciong ho (Naga emas menerobos sungai) suatu ilmu tenaga dalam yang istimewa, Setahuku, di antara para kusir di kotaraja, tidak banyak yang menguasai ilmu tenaga dalam semacam itu."

Mendengar kata-katanya, Siau Po dan kedua nona dari keluarga Bhok tertawa, Demikian pula To kionggo dan Ci Tian-coan sendiri Mereka merasa orang she Ci ini benar-benar teliti juga cerdas, Sampai gerakan tangan orang mengayunkan cambuk pun dia perhatikan, sehingga dapat terlihat perbedaannya dari kusir-kusir lain.

Setelah tertawa, Tian Coan berkata.

"Aku yang rendah benar-benar tidak mempunyai mata, seharusnya aku tidak boleh sembarangan turun tangan sehingga perbuatanku menjadi kurang hormat, sayangnya aku si tua bangka ini sungguh tidak tahu diri dan sudah berlaku lancang."

"Jangan berkata demikian, Ci toako," kata To kionggo, "Tidak berani aku menerimanya, Sebaliknya, aku sangat mengagumimu karena kau berani bertanggung jawab melindungi Wi hiocu sekalian."

"Terima kasih, tuan. Pujian mu terlalu tinggi, Tuan, bolehkah aku tahu she dan namamu yang muIia?"

"Sahabatku ini she To," Siau Po mendahului memberi jawaban "Dengan aku sudah seperti saudara sehidup semati!" “Tidak salah," kata To kionggo membenarkan "Kamilah sahabat sehidup semati! Wi hiocu telah menolong selembar nyawaku!"

"Oh, cianpwe! janganlah cianpwe berkata demikian," ujar Siau Po cepat, "Yang benar, kita berdua telah bekerja sama dengan baik bertarung dan membunuh seorang telur busuk yang maha besar."

To kionggo tersenyum.

"Saudara Wi, Ci toako, nona Pui dan nona Bhok, sampai di sini saja kita berpisah!" Habis berkata, dia memberi hormat dan lompat naik ke keretanya,

"To... To toako!" panggil Siau Po gugup, To toako kau hendak kemana.

To toako tersenyum

"Dari mana aku datang, kesanalah aku akan pergi!" sahutnya. Siau Po mengangguk "Baik!" katanya, "Sampai jumpa!"

To kionggo hanya tersenyum. Dia langsung melarikan keretanya. Siau Po dan rekan- rekannya hanya mengawasi kepergian orang itu. Hati mereka merasa kagum sekali.

"Ci loyacu, benarkah kepandaian orang itu tinggi sekali?" tanya Kiam Peng yang masih penasaran.

"Kepandaiannya lebih hebat sepuluh kali lipat daripadaku," sahut Tian Coan, Terang- terangan dia mengakui kehebatan lawannya tadi. "Apalagi sebagai seorang wanita, lebih-lebih luar biasa!"

"Apa?" tanya Kiam Peng yang saking herannya sampai tertegun untuk sesaat, "Dia wanita?"

"lya," sahut Ci Tian-coan. "Ketika dia melompat naik ke atas kereta, gerakan tubuhnya begitu gesit dan lincah serta menarik untuk dilihat!"

"Sebenarnya, aku juga mendengar suaranya tajam, tidak mirip dengan suara laki- laki," kata Kiam Peng pula, "Wi toako, dia... apakah wajahnya yang asli... cantik?"

"Empat puluh tahun yang lalu, kemungkinan dia cantik dan lucu," sahut Siau Po. Tapi kalau di bandingkan dengan engkau, empat puluh tahun kemudian kau akan tetap cantik seperti sekarang.

Bukannya cemburu atau malu, Kiam Peng malah tertawa geli.

"Ah!" serunya, "Mengapa kau membanding bandingkan aku dengannya? Rupanya dia sudah tua!" "Memang betul, mestinya usia wanita ini tidak muda lagi," kata Tian Coan ikut memberikan komentar, "llmu Kim-liong ciong ho yang dimilikinya pasti sudah dilatih lebih dari tiga puluh tahun, kala tidak, mana mungkin begitu lihay?"

Sementara itu, hati Siau Po sedih sekali, baru saja dia berpisah dengan To kionggo, sekarang di harus berpisah lagi dengan Kiam Peng dan Pui Ie. Dua orang nona yang cantik dan manis, Selanjutnya dia akan sendirian. Entah mengapa, tiba-tiba saja dia menjadi takut. 

Di istana, meskipun thayhou sangat membencinya, tapi dia sudah terbiasa dengan tempat itu, lagipula banyak orang yang di kenalnya, Dibantu dengan kecerdasannya, dia selalu bisa terhindar dari marabahaya, Tapi sekarang Dia harus pergi ke gunung Ngo Tay san yang masih asing baginya, sedangkan tugasnya penting serta berat, Seumur hidupnya, dia juga belum pernah menempuh perjalanan sejauh itu seorang diri. Pada dasarnya dia memang masih seorang bocah cilik.

Ci Tian-coan mengira sang hiocu akan kembali ke istana, karena itu dia berkata: "Wi hiocu, hari sudah senja, Cepat kau puIang, Nanti sebentar lagi pintu kota akan 

ditutup!"

"lya," sahut Siau Po.

Pui Ie menyerahkan sebuah buntalan kepada si thay-kam cilik. "lni bajumu, kau saja yang memakainya!" katanya.

"Tidak!" tolak Siau Po, "Lebih baik kau yang memakai!"

"Kami diantar oleh Ci loyacu," kata Pui Ie. "Tentu tidak ada apa pun yang terjadi pada diri kami, mengapa kau masih merasa berat dan khawatir?"

Terpaksa Siau Po mengulurkan tangannya menyambut buntalan itu, Dia tidak mengatakan apa-apa, hatinya bingung sekali.

Tian Coan segera mempersilahkan kedua nona itu naik ke atas kereta. Kemudian dia duduk di samping pak kusir, Begitu dia memberi isyarat, kereta itu langsung dijalankan menuju selatan.

Siau Po berdiri terpaku di pinggir jalan, matanya menatap ke arah kereta yang sedang melaju tanpa berkedip sedikit pun. Dia melihat kedua nona itu melongokkan kepalanya dan melambaikan ta-ngannya, Tidak lama kemudian, kereta itu pun lenyap dari pandangan Setelah melaju kurang lebih tiga puluh tombak, jalan di sana membelok dan pemandangan pun terhalang oleh pohon Yang Liu yang rimbun.

Akhirnya, Siau Po pun naik ke atas keretanya sendiri Dia menyuruh kusir itu menjalankan keretanya menuju barat, bukan kembali ke kota Peking. Kusir itu bingung sehingga dia memandang Siau Po dengan tertegun, Siau Po mengeluarkan uang sebanyak sepuluh tail dan disodorkannya kepada kusir kereta itu.

"lni uang sebanyak sepuluh taiI. Cukup untuk sewa kereta selama tiga hari bukan?" Bukan main senangnya hati kusir itu.

"SepuIuh tail cukup untuk menyewa kereta ini selama satu bulan. Baiklah, kongcu ya, aku yang rendah akan melayanimu. Kongcu mau berjalan atau minta berhenti, harap diperintahkan saja."

Berbeda dengan semula, kusir itu memanggil Siau Po dengan sebutan kongcu ya yakni tuan muda dari kalangan atas.

Siau Po tidak mengatakan apa-apa, dia hanya tersenyum,

Malam itu dia singgah di sebuah dusun yang letaknya kurang lebih dua puluh li dari kota Peking, Dia memilih sebuah penginapan kecil, Di dalam kamar, dengan bantuan cahaya lilin, dia membuka, buntalan yang diberikan oleh Pui Ie. Dikeluarkannya baju mustika berwarna hitam itu, kemudian dikenakannya sebagai pakaian dalam lalu ia berangkat tidur.

Besok paginya, Siau Po terjaga dari tidur, dia terkejut setengah mati. Kepalanya terasa berdenyut-denyut dan matanya berat sekali. Untuk sekian lama dia tidak sanggup membuka matanya, Yang lebih celaka, seluruh tubuhnya justru terasa lemas seakan tidak mempunyai tenaga sedikit pun. Dia merasa dirinya seperti sedang bermimpi buruk, Dia ingin membuka mulutnya untuk berteriak, tetapi tidak ada sedikit pun suara yang keluar Akhirnya, ketika dia mulai bisa membuka matanya, hatinya langsung tercekat Dia melihat ada tiga sosok mayat menggeletak di depan tempat tidurnya.

Saking kagetnya, Siau Po diam terpaku, Setelah agak sadar, dia mencoba menenangkan diri. Dipaksakannya otaknya untuk berpikir. Dia berusaha bergerak dan bangun, sekarang dia melihat di dalam kamarnya sudah bertambah satu orang lainnya. Orang hidup, Dan saat itu sedang duduk memperhatikannya sambil tersenyum simpul!

"Oh!" serunya terkejut sekaligus gembira, "Kau rupanya!" Orang itu tertawa.

"lya!" sahutnya, "Kau baru terjaga?"

Rupanya orang itu bukan lain dari To kionggo! Dalam sekejap saja, hati Siau Po jauh lebih lega.

"To cici!" katanya, "To... ie ie... apa sebetulnya yang telah terjadi?" To kionggo tidak langsung menjawab, Dia menunjuk ke arah tiga mayat yang menggeletak di atas lantai,

"Coba kau lihat! Siapa mereka?"

Siau Po mencoba turun dari tempat tidur, tapi baru saja dia menginjakkan kaki ke lantai, kedua lututnya terasa lemas dan dia jatuh terduduk. Dengan berusaha sekuat tenaga akhirnya dia bisa berdiri juga, punggungnya bersandar pada tiang tempat tidur, Dia memperhatikan ketiga orang yang sudah menjadi mayat itu. Tidak ada satu pun yang dikenalinya.

"Bibi To, kau telah menolong jiwaku?" tanyanya sambil mengawasi wanita itu.

To kionggo balas menatapnya lekat-lekat

"Sebenarnya kau memanggil aku kakak atau bibi?" tanyanya tertawa, "Ayo, jangan memanggil tidak menentu!"

Siau Po ikut tertawa.

"Kau.,, kau adalah bibi To!" sahutnya kemudian. To kionggo tertawa lagi. Lalu dia berkata:

"Kau melakukan perjalanan seorang diri, lain kali kalau makan atau minum, kau harus hati-hati. Coba kau jalan bersama-sama Pat-pi Wan Kau, tentu tidak ada yang perlu kau khawatirkan."

"Jadi tadi malam aku telah diracuni orang dengan Bong Hoan-yok?" tanya Siau Po. "Kurang lebih begitulah!" sahut To kionggo tertawa.

"Mungkin obat itu dicampur ke dalam air teh," sahut Siau Po. Ketika aku minum, memang aku rasa ada sedikit beda, ada sari asam dan manisnya."

Sembari berkata, bocah itu mengangkat teko teh. Dia ingat, tadi malam isi teko itu masih setengah, tapi sekarang sudah kosong, tidak ada isinya setetes pun.

"Oh? jadi ini sebuah penginapan gelap?" tanyanya.

"Tadinya sih penginapan bersih, sejak kau datang kemari, langsung saja berubah menjadi penginapan gelap!" kata To kionggo menjelaskan.

Siau Po meraba kepalanya yang masih terasa nyeri. "Aku benar-benar tidak mengerti!" katanya. "Tidak lama setelah kau masuk ke dalam penginapan ini," kata To kionggo kembali, "Segera ada orang yang menyusul kemari dan membekuk pemilik penginapan ini. Mereka terdiri dari sepasang suami istri dan seorang pelayan Salah seorang penjahat itu langsung menyamar sebagai pelayan dengan mengganti pakaiannya lalu menyeduh teh dan membawakannya untukmu. Aku melihat kau berganti pakaian, tapi sampai lama kau hanya berdiam diri, entah apa yang sedang kau pikirkan Aku berlalu sebentar dengan pikiran sesaat lagi aku akan kembali, Tidak tahunya kau sudah minum teh yang mengandung obat bius itu, Untung saja yang dicampurkannya bukan racun."

Wajah Siau Po jadi merah padam Dia merasa malu dan jengah, Dia menyesal bertindak kurang hati-hati dan ceroboh sehingga berhasil dikerjai orang, Tadi malam, ketika'mengenakan baju mustikanya, dia ingat baju itu pernah dikenakan nona Pui yang cantik dan manis. 

Dulu nona itu sangat membencinya, tapi sekarang sikapnya baik sekali. Mengingat dia mengenakan pakaian yang baru dikenakan gadis itu, dia menjadi tidak enak, Dia juga malu mengetahui To kionggo melihatnya berganti pakaian tadi malam. Memang usianya sudah lanjut, tapi To kionggo masih seorang nona, sebab dia belum menikah.

To kionggo melanjutkan keterangannya, "Setelah kita berpisah kemarin, aku langsung kembali ke istana, Aku heran sekali mendapatkan keadaan di istana sunyi senyap dan tidak ada perkabungan bagi thayhou, Cepat-cepat aku mengganti pakaian kemudian pergi ke Cu-leng kiong, Sejak dari luar keraton, keadaan biasa-biasa saja. Segera aku memperoleh kepastian bahwa thayhou belum mati, itu suatu hal yang buruk bagi kita. Mulanya aku pikir, asal thayhou mati, kita berdua bisa berdiam terus di istana. sekarang ternyata dia masih hidup, hal ini berarti mau atau tidak kita harus meninggalkan istana, Terutama aku harus memperingatkan kepadamu, agar kau jangan kembali ke istana, karena perbuatan itu berarti kau mengantar nyawamu sendiri!"

Siau Po yang cerdik pura-pura terkejut "Oh!" serunya, "Ternyata si nenek sihir belum mati? Wah! Berbahaya sekali!" Dalam hati sebetulnya dia tidak enak karena mendustai wanita ini. Dia berkata dalam hati, Aku meninggalkan istana dengan tergesa-gesa, karena itu aku lupa memberitahukan urusan itu!"

"Setelah mendapat keterangan bahwa thayhou belum mati, aku segera membalikkan tubuh untuk pergi, Tapi, tiba-tiba aku melihat tiga orang siwi keluar dari Cu-leng kiong. Tindak-tanduk mereka mencurigakan sekali. Aku menduga thayhou mengirim mereka untuk menangkap aku, Namun setelah aku ikuti, ternyata mereka tidak menuju ke kamarku, sayangnya aku tidak sempat mengikuti lebih jauh. Cepat-cepat aku kembali ke kamar untuk berkemas dan meloloskan diri dari samping dapur Gisian pong!"

"Rupanya bibi menyamar sebagai petugas dapur," kata Siau Po. Di sana memang banyak sekali pekerjaan Seperti membelah kayu, menggotong arak, memotong ayam, mencuci sayur-mayur dan sebagainya, semuanya dilakukan oleh pegawai rendahan, sehingga tidak banyak orang yang memperhatikan mereka.

To kionggo melanjutkan kata-katanya. "Begitu aku keluar dari istana, aku segera melihat ketiga orang siwi itu, mereka sudah mengganti pakaian dan pergi dengan menunggang kuda, Hal ini membuktikan bahwa mereka akan menempuh perjalanan jauh. "

"Oh!" seru Siau Po sambil menendang salah satu mayat tersebut "Jadi mereka inilah ketiga saudara baik hati yang membuka penginapan gelap ini?"

To kionggo tertawa.

"Karena itu kau harus mengucapkan terima kasih kepada mereka," katanya, "Kalau bukan mereka yang memimpin jalan, bagaimana mungkin aku bisa menemukanmu? Siapa yang menyangka kau akan memutar arah ke barat? Mereka ini justru menuju ke barat sepanjang perjalanan mereka selalu menanyakan tentang seorang bocah laki-Iaki berusia kurang lebih lima atau enam belas tahunan yang melakukan perjalanan seorang diri. Karena itulah aku menduga mereka mendapat tugas untu menangkapmu Mereka tiba di sini ketika magrib dan aku berhasil mengejar mereka tepat waktunya."

Siau Po merasa terharu sekali.

"Kalau bibi tidak datang menolongiku, kemungkinan sampai di alam baka pun aku tidak bisa menjawab pertanyaan Raja akherat mengenai kematianku," sahutnya bersyukur "Kalau aku ditanya kan tentang cara kematianku, aku sendiri akan terbingung-bingung!"

To kionggo tersenyum, Senang hatinya berbicara dengan bocah ini. Sudah berapa puluh tahun dia mengeram di dalam istana, jarang dia berbicar secara akrab dengan orang lain. Bocah ini sungguh menarik, Mendengar kata-katanya, To kionggo sampai tertawa geli,

"Pasti Raja akherat akan berkata: "Bawa dia pergi dan hajar lagi!" Siau Po juga tertawa.

"Memangnya tidak?" katanya, "Pasti raja akherat akan marah, Pasti dia tidak sudi di dalam nerakanya ada setan yang asal-usulnya tidak jelas, Dia juga tidak mau mengurus hantu yang kematiannya tidak karuan!"

Lagi-lagi To kionggo dan Siau Po tertawa.

"Bibi To, apa yang terjadi kemudian?" tanya Siau Po.

"Aku mencuri dengar pembicaraan mereka di dapur di mana mereka berkumpul. Tentu saja setelah membuat pemilik rumah penginapan dan pelayannya tidak berdaya, Menurut mereka, thayhou menitahkan kau hidup atau mati, sebaiknya ditangkap hidup- hidup, tapi kalau terpaksa bunuh saja. Kalau kau sudah mati, semua barang milikmu harus dibawa pulang dan diserahkan kepada thayhou, Tidak boleh ada yang kurang! Katanya kau mencuri kitab suci milik thayhou, kitab yang biasa digunakan untuk  membaca doa bagi Sang Buddha, Nah, adikku, benarkah kau mencuri kitab suci milik thayhou? Apakah Cong tocu yang menitahkan kepadamu?"

Sembari bertanya, To kionggo menatap Siau Po lekat-lekat

"Aih! Tidak salah lagi!" pikirnya, "Dayang ini pernah menggeledah kamar thayhou, tentu dia mencari kitab Si Cap Ji cing-keng.,." Siau Po sadar dia tidak boleh membiarkan To kionggo menunggu lama untuk jawabannya, Dia memperlihatkan tampang terkejut dan balik bertanya,

"Apa? Kitab Buddha apa? Cong tocu kami tidak memuja dewi Pousat dan kami tidak pernah melihatnya membaca doa!"

To kionggo percaya dengan keterangannya, Wanita itu memang gagah, tapi dia kalah cerdas dengan Siau Po. Di dalam istana kenalannya cukup banyak, tapi sahabatnya hampir tidak ada. Dia hanya kenal baik dua dayang tua lainnya, Dia juga mendapat kenyataan bahwa thay-kam ini cerdas dan polos. Diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Aku telah menolongnya dan tentu saja dia bersyukur sekali kepadaku, Mustahil dia berbohong, LagipuIa, aku telah memeriksa buntalan nya.."

Karena itu dia menganggukkan kepalanya dan berkata,

"Aku melihat mereka membuka buntalanmu dan memeriksa isinya, mereka mendapatkan dua jilid kitab ilmu silat, tampaknya mereka merasa bimbang dan tidak bisa memastikan apakah itu kitab yang dimaksudkan ibu suri!"

"Oh!" teriak Siau Po. Dia memang terkejut, taa terus menjalankan sandiwaranya, "Kitab ilmu silat itu merupakan tulisan guruku, celakalah kalau sampai diambil oleh mereka."

To kionggo tersenyum

"Jangan khawatir!" katanya, "Kitab itu masih ada dalam buntalanmu Sebaliknya, mereka justru keblinger melihat uangmu yang begitu banyak, Bahkan mereka sudah berdamai untuk membagi hasil dan menyembunyikannya. Aku jadi marah sekali, saat itu juga aku langsung masuk dan membereskan mereka, sekarang soal kitab agama Buddha itu, Aku yakin kitab itu penting sekali artinya, Aku juga tidak percaya kalau kau menyerahkannya kepada Ci loyacu atau kedua nona yang pergi ke dusun Cioki cung, Karena ketiga musuh itu sudah mati dan kau tidak kurang suatu apa pun, menggunakan waktu saat kau beristirahat aku langsung menyusul Ci loyacu, Aku pergi dengan menunggang kuda. untung saja aku berhasil menyusul mereka yang sedang beristirahat dalam sebuah penginapan. Mula-mula aku berpikir untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam Tapi nyatanya Pat pi Wan Kau memang lihay sekali. Baru saja aku naik ke atas genteng, dia sudah tahu, terpaksa sekali lagi kita bertempur. "

"Dia kan bukan tandinganmu!" kata Siau Po. "Sebenarnya aku tidak berminat melakukan kesalahan terhadap pihak Tian-te hwe, tapi kali ini aku benar-benar terpaksa," sahut To kionggo dengan nada penuh penyesalan "Setelah bertarung beberapa saat, aku berhasil merobohkannya, kemudian baru aku beri penjelasan dan memohon agar dia tidak salah mengerti atas apa yang kulakukan serta sudi memberi maaf. Karena itu pula, aku harap kalau kau bertemu dengannya, tolong kau jelaskan sekali lagi dan minta agar dia jangan mendendam terhadapku Aku berbuat begitu saking terpaksa, Aku telah memeriksa buntalan mereka bertiga, aku juga menggeledah seluruh kamar, tapi aku tidak berhasil mendapatkan apa pun. Dan ketika aku akan meninggalkan penginapan tersebut, aku melihat seorang dari dunia kangouw yang gerak-geriknya mencurigakan. Dia sedang mendekam di wuwungan atap kamar Ci loyacu, Dari gerak-geriknya itu pula, aku mempunyai keyakinan kepandaiannya tidak seberapa tinggi dan Ci loyacu bertiga tentu sanggup menghadapinya, Maka dari itu, aku segera meninggalkan mereka dan kembali ke sini."

Siau Po memperlihatkan tampang sedih dan menyesal

"Kalau demikian, akulah yang benar-benar tolol!" katanya, "Kau telah melakukan banyak hal untukku, tapi aku tetap tidak tahu!"

To kionggo berdiam diri sekian lama. Tampaknya dia sedang merenung.

"Adik," katanya kemudian "Kau sudah cukup lama tinggal di dalam istana, apakah kau pernah mendengar soal kitab Si Cap Ji cin-keng?"

"Kalau aku tidak salah, ibu suri dan Sri Baginda sangat menghargai kitab agama Buddha itu, Tapi dalam pandanganku, apa gunanya? Buktinya thayhou begitu kejam dan jahat, Biarpun dia membaca kitab suci laksaan kali, tidak mungkin Dewi pousat akan melindunginya!"

Tanpa memberi kesempatan kepada Siau Po untuk melanjutkan kata-katanya, To kionggo segera menukas.

"lbu suri dan Sri Baginda sangat memperhatikan kitab itu? Apa saja yang pernah mereka katakan?"

"Sri Baginda pernah menitahkan aku ikut dengan So tayjin untuk menggeledah tempat tinggal Go Pay. Aku dipesan mencari dua buah kitab entah Si... Keng... apa. Kalau tidak salah memang ada huruf Cap dan Ji. " Mendengar keterangan itu, To 

kionggo semakin bersemangat.

"Benar!" serunya, "ltulah kitab Si Cap Ji Cin-keng, Lalu, apakah kau berhasil mendapatkannya?"

Dalam hal berbohong, Siau Po memang jagonya. walaupun usianya masih muda, tetapi ketika di Yangciu, pengalamannya sudah banyak, karena dia dibesarkan di tempat pelesiran yang setiap hari penuh dengan kepura-puraan dan kebohongan. Dia tahu, kalau dia bohong secara keseluruhan, orang bisa curiga, Karena itu, kebohongannya harus dicampur dengan sedikit kebenaran Dengan demikian orang tidak akan ragu atau bimbang mengambil keputusan. Karena itu dia langsung menjawab.

"Sayang aku buta huruf, sehingga tidak tahu kitab itu Si Cap Ji cin-keng atau Ngo Cap cin-keng. Akhirnya kitab itu memang berhasil ditemukan oleh So tayjin, kemudian aku membawa dan menyerahkannya kepada ibu suri. Bukan main senangnya hati perempuan hina itu! Aku dihadiahkan kue-kue dan kembang gula, juga manisan. Oh! Dasar nenek sihir! Dianggapnya aku seorang bocah cilik sehingga tidak perlu diperseni uang, Kalau tahu dia sepelit itu, dari semula saja kubuang kitab itu ke dalam perapian di dapur Gisian pong!"

"Oh, tidak! Tidak! Kitab itu jangan dibakar!" seru To kionggo saking tegangnya sehingga lupa apa yang diceritakan Siau Po sudah lama berlalunya.

"Aku tahu!" sahut Siau Po. "Ketika Sri Baginda menanyakan kitab itu pada So tayjin, aku langsung mengerti bahwa kitab itu penting sekali!"

To kionggo merenung sejenak.

"Kalau begitu," katanya kemudian. "Paling sedikit thayhou mempunyai tiga jilid kitab yang sama. "

"Empat!" sahut Siau Po.

"Apa? Empat?" tanya To kionggo terkejut "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Sebenarnya thayhou sendiri sudah memiliki satu," kata Siau Po menjelaskan "Ketika aku membawakan dua jilid yang didapatkan dari gedung Go Pay, dia meletakkannya di atas meja dan berdampingan dengan yang satu itu, jadi saat itu jumlahnya ada tiga, Kemarin malam, ketika aku bersembunyi di kolong tempat tidur, aku mendengar pembicaraannya dengan si dayang palsu, Kitab yang keempat ada di rumah salah seorang pangeran dan thayhou sedang menitahkan Sui Tong, congkoan dari barisan pengawalnya untuk mengambilnya."

"Kalau begitu, benar saja thayhou memiliki empat jilid kitab tersebut," kata To kionggo, "Bisa jadi... lima atau enam jilid. dia berdiri dan berjalan beberapa tindak, 

Matanya menatap Siau Po lekat-lekat "Adik, malam itu kau bersembunyi di kolong tempat tidur thayhou, apa sebetulnya yang sedang kau lakukan?"

"Bibi To, biar aku katakan terus terang ke-padamu!" sahut sang bocah. "Tapi aku harap jangan kau katakan lagi kepada orang lain, kalau rahasia ini sampai bocor, aku akan terancam bahaya, Tentu kau maklum, aku bisa dibunuh oleh guruku!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar