Jilid 19
Rupanya Sui Tong itu adalah Hu congkoan, pemimpin muda dari Gi Cian siwi, pasukan pengawal pribadi Raja, Siau Po sering mendengar nama orang itu yang menurut para siwi ilmu silatnya tinggi sekali.
Hanya selama beberapa tahun belakangan ini, dia sering bertugas di luar istana, Karena itu Siau Po belum pernah bertemu dengannya.
" Aku yang rendah mempunyai urusan yang penting!" terdengar Sui Tong berkata kembali. "Kui kongkong, harap maafkan, Aku yang rendah telah mengganggu ketenangan kongkong, Tapi aku yang rendah ada urusan yang penting hendak dibicarakan.
Nyali Siau Po menjadi ciut. Diam-diam dia berpikir
Tengah malam begini dia datang kemari, entah apa yang diinginkannya? Mungkinkah dia tahu kalau aku menyembunyikan kawanan pemberontak dan sekarang dia datang untuk memeriksa dan menggeledah kamarku? Bagaimana baiknya sekarang? Kalau aku tidak membukakan pintu, dia tentu akan memaksa masuk. sedangkan kedua perempuan bau yang sedang terluka ini tidak bisa melarikan diri, sebaiknya aku pandai-pandai melihat situasi. Kalau ditilik dari suara langkah kaki di luar pintu, tampaknya Sui Tong hanya seorang diri.
"Ah... mengapa aku tidak mencari kesempatan membokongnya saja? Memang tidak ada jalan lain kecuali membunuhnya!" pikirnya kemudian.
Dari luar kamar kembali terdengar suara Sui Tong. "Urusan ini penting sekali, Kalau tidak, nanti aku yang rendah berani mengganggu kongkong yang sedang bermimpi indah!"
"Baiklah," sahut Siau Po. "Nanti aku akan membukakan pintu!"
Tapi, bukannya membukakan pintu, dia malah menyusupkan kepalanya ke dalam kelambu dan berbisik kepada Kiam Peng serta Pui Ie.
"Kalian jangan bersuara!" Nadanya serius, tampangnya juga bersungguh-sungguh. Setelah itu baru dia berjalan menuju pintu, Siau Po menenteramkan hatinya agar dia tampak tenang, kemudian baru dia membuka pintu.
Di depan pintu berdiri seorang siwi yang tubuhnya tinggi besar, Kepala Siau Po paling-paling sampai dadanya saja.
Orang itu, Hu congkoan Sui Tong, segera menjura ketika melihat Siau Po. "Maaf, kongkong," katanya, "Aku telah mengganggu kongkong!"
"Tidak apa-apa!" sahut Siau Po sambil mengangkat wajahnya untuk memperhatikan orang di depannya, Dia melihat seraut wajah yang tidak menyiratkan mimik perasaan apa-apa. Wajah itu begitu kaku, sehingga orang sulit menerka apa yang dipikirkannya.
"Sui congkoan, ada keperluan apakah?" tanyanya dengan sikap wajar, Dia sengaja tidak mengundang orang itu masuk ke dalam kamarnya karena khawatir congkoan itu akan curiga dan memergoki Kiam Peng serta Pui Ie.
"Aku yang rendah baru saja menerima perintah dari ibu suri," katanya, "Menurut surat titah yang diturunkan ibu suri itu, kawanan pemberontak yang menyerbu istana malam ini berhasil masuk karena ajakan Kui kongkong!"
Mendengar ucapan "titah ibu suri," Siau Po sudah terkejut setengah mati, inilah pertanda buruk, Apalagi mendengar tuduhan yang dijatuhkan pada dirinya. pikirannya bekerja dengan cepat Berkat kecerdasannya dia segera mendapat akal.
Pertama-tama dia menunjukkan mimik keheranan
"Aneh sekali! Aku baru saja menghadap Sri Baginda untuk menanyakan keselamatannya, Di sana aku mendengar beliau berkata: "Ah! Sungguh besar nyali si budak Sui Tong, Baru pulang ke istana, dia sudah... hm!"
Mendengar keterangan itu, Sui Tong terkejut setengah mati. Untuk sesaat dia berdiri terpaku, Dia justru menerima titah ibu suri untuk membekuk thay-kam cilik ini sebab menurut ibu suri, dia telah membawa kawanan pemberontak menyelundup ke dalam istana. Sekarang mendengar kata-kata Siau Po, ia percaya sekali, sebab dia tahu bocah di hadapannya ini merupakan thay-kam cilik kesayangan raja.
"Apakah Sri Baginda ada mengatakan hal lainnya?" tanya Sui Tong seakan melupakan tugasnya sendiri, sebenarnya ibu suri malah mengatakan kalau perlu dia boleh membinasakan bocah ini. Sekarang dia malah sudah ketakutan lebih dulu...
Siau Po berbicara demikian sebetulnya untuk mengulur waktu agar ia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Tentunya dia senang sekali melihat sikap pengawal ibu suri yang begitu ketakutan Dia pun segera menjawab pertanyaan Hu congkoan itu.
"Setelah berkata demikian, Sri Baginda menurunkan perintah agar besok pagi, begitu fajar menyingsing, aku harus mencari keterangan dari para siwi, mengapa Sui Tong bisa membawa kawanan pemberontak itu masuk ke dalam istana dan apa maksudnya yang sebenarnya serta perintah siapa yang dijalankannya, Sri Baginda ingin tahu apa rencana berikutnya dan siapa saja konco-konconya!"
Begitu khawatir dan terkejutnya Sui Tong sehingga pertanyaan berikutnya menjadi gugup dan tersendat-sendat.
"Ke... napa.... Sri Ba... ginda mengatakan a...ku yang membawa... ka... wanan pemberon... tak menyerbu ke... mari? Sia... pa yang mengo,., ceh semba... rangan di... hadap... an beliau? Bukan... kah fitnah i... tu hebat se... kali?"
Sebetulnya Sui Tong gagah dan cerdas otaknya, Namun dalam keadaan seperti ini, otaknya seakan menjadi keruh dan tidak sanggup berpikir secara normal, sebab ucapan Sri Baginda bagaikan penentuan hukuman mati baginya.
"Sri Baginda menugaskan aku untuk mencari keterangan secara teliti," kata Siau Po kemudian, "Sri Baginda juga berpesan bahwa aku harus berhati-hati. Katanya, "kalau budak Sui tong mengetahui tugasmu ini, mungkin dia akan mencarimu dan membunuhmu!"
Tapi aku meminta Sri Baginda agar menentramkan hatinya. Karenanya aku berkata kepada Sri Baginda: "Meskipun Sui Tong bernyali besar, tidak akan dia berani lancang melakukan pembunuhan di dalam istana! Sri Baginda tidak percaya, Beliau berkata: "Hm! Hal itu bukan tidak mungkin, Dia berani membawa kawanan pemberontak menyerbu istana untuk mencelakai junjungannya, perbuatan apa lagi yang tidak berani dilakukannya?"
"Kau ngaco!" Tiba-tiba Sui Tong menukas dengan nada membentak "A... ku... aku tidak mengajak orang menyerbu istana! Tidak mungkin Sri Baginda berani sembarangan menuduh!"
Di saat Sui Tong berkata demikian, pikiran Siau Po kembali bekerja dengan cepat. "Aku harus mendahuluinya menghadap Sri Baginda untuk menuduhnya! Setelah terang tanah, aku harus segera meninggalkan tempat ini Tapi, bagaimana dengan Siau kuncu serta nona Pui itu? Huh! Perduli amat dengan mereka! Yang penting ialah menyelamatkan jiwa sendiri! Bukankah aku berada di bawah ancaman maut?"
Setelah berpikir demikian, Siau Po berkata lagi kepada Sui Tong,
"Kalau begitu, bukan engkau yang membawa kawanan pemberontak itu menyerbu istana?"
"Sudah tentu bukan!" sahut Sui Tong tegas, "lbu suri sendiri mengatakan bahwa kaulah yang membawa kawanan pemberontak itu menyelundup ke sini!"
"Kalau begitu, kita berdua sama-sama kena difitnah!" kata Siau Po kemudian "Sui congkoan, kau tidak perlu takut Nanti aku akan menghadap Sri Baginda untuk membelamu. Asal kau memang jujur! Meskipun Sri Baginda masih muda sekali, namun beliau bijaksana dan cerdas, Beliau juga sangat mempercayai aku. Aku yakin kata- kataku akan didengarnya dan urusan ini segera dapat diselesaikan dengan mudah!"
"Baik!" sahut Sui Tong, "Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih kepadamu sekarang kau ikutlah aku menemui ibu suri!"
Tidak berani Sui Tong membunuh Siau Po, meskipun ibu suri sudah memberikan ijinnya, Biar bagaimana, hatinya merasa bimbang mengingat bocah ini adalah thay-kam kesayangan raja. Apalagi setelah mendengarkan ocehan ini.
Nyalinya semakin ciut Setidaknya, kalau Siau Po tidak mati, dia masih mempunyai seorang yang dapat diandalkan untuk membelanya.
Siau Po berlagak pilon.
"Sekarang kan sudah tengah malam, buat apa aku menghadap ibu suri?" tanyanya, "Aku rasa sebaiknya besok pagi-pagi aku menghadap Sri Baginda terlebih dahulu, Siapa tahu sekarang beliau sudah menurunkan titah untuk membekuk dan menghukummu? Ya... Sui congkoan, aku ingin memberitahukan suatu hal kepadamu Nanti kalau ada siwi dari Sri Baginda yang ingin menawanmu, jangan sekali-sekali kau melakukan perlawanan Sebab, sekali kau melawan, berarti kau telah membangkang perintah raja dan hal ini membuat fitnah atas dirimu susah dicuci bersih kembali!"
Biar bagaimana Sui Tong jadi bingung, sebenarnya dia meragukan juga kata-kata Siau Po, namun hatinya dilanda kebimbangan Rasa takut membuat pikirannya kacau, Bukankah dia membutuhkan keterangan bocah ini di hadapan Sri Baginda nanti? pikirannya lantas bekerja keras.
"Memang aku membutuhkannya untuk memberikan keterangan tentang kebersihanku di hadapan Sri Baginda, Tapi aku sedang menjalankan titahnya thayhou, Dan ibu suri telah mengancamku bahwa aku berbuat kesalahan besar apabila Siau Kui cu sampai lolos. Tidak bisa tidak! pokoknya aku harus membawa bocah ini menghadap Hong thay-hou terlebih dahulu, dengan demikian aku telah menunaikan tugasku. "
Dengan membawa pikiran demikian, Sui Tong segera berkata kepada Siau Po. "Aku toh tidak bersalah, mengapa Sri Baginda harus menawanku? sekarang
sebaiknya kau ikut aku dulu menghadap ibu suri!"
Siau Po menggeser tubuhnya ke samping, Sui Tong mengulurkan sebelah tangan untuk menariknya. Sembari menyingkir dia berkata dengan suara perlahan.
"Kau lihat! Di sana datang beberapa orang yang hendak menawanmu!"
Sui Tong terkejut setengah mati, wajahnya menjadi pucat pasi. Dengan cepat dia menolehkan kepalanya.
Tepat di saat Sui Tong menoleh, bocah yang cerdik itu langsung memutar tubuhnya dan mencelat ke dalam kamar, justru di saat itulah Sui Tong menggerakkan tangannya menyambar sebab dalam sekejap mata dia sudah melihat bahwa pada arah yang ditunjuk Siau Po tidak ada seorang pun yang mendatangi.
Siau Po takut tertangkap oleh siwi itu. Dia telah menyembunyikan dua orang nona dalam kamarnya dan dia menduga rahasia itu sudah bocor, Kalau dia sampai diringkus dan dibawa ke hadapan Hong thayhou, pasti sulit baginya untuk meloloskan diri dari bahaya.
Kalau saja dia bisa lari sampai ke taman, tentu banyak tempat baginya untuk bermain petak umpet dengan orang itu, Namun dia tidak menyangka gerakan Sui Tong begitu cepat.
Setelah berhasil menghindarkan diri dari sambaran tangan Sui Tong, Siau Po mencelat dan sampai di depan jendelanya, Tapi Sui Tong telah mengejarnya, Sebelum dia sempat melompat keluar lewat jendela, tangan pengawal muda itu telah mengenai punggungnya sehingga kedua kakinya lemas dan tubuhnya roboh seketika!
Sui Tong mengulurkan tangan kirinya untuk menyambar pinggang Siau Po. Dia tidak ingin thay-kam cilik itu meloloskan diri.
Siau Po berusaha membela diri, Kedua tangannya digerakkan, dia mengerahkan jurus Kim Na jiu-hoat. Sayangnya, tubuh bocah itu jauh lebih kecil sehingga kalah tenaga, Karena dia mengadakan perlawanan, tubuhnya terdorong dan jatuh ke dalam gentong air.
Gentong air itu milik Hay kongkong yang digunakan untuk merendam diri mengobati penyakitnya. Sampai sekarang memang Siau Po belum sempat membuangnya. Melihat bocah itu tercebur, Sui Tong tertawa terbahak-bahak, Tangannya diulurkan kembali untuk mencekal bocah yang hendak melarikan diri itu, tapi dia hanya berhasil mencengkeram batang leher Siau Po.
Di dalam gentong air, Siau Po mengerutkan tubuhnya, Namun gentong itu memang tidak terlalu dalam, Sesaat kemudian tangan Sui Tong sudah berhasil mencekiknya kemudian dia diangkat ke atas dalam keadaan basah kuyup.
Siau Po masih mencoba melawan, Ketika di dalam gentong, dia menyedot air cukup banyak dan sisanya masih dibiarkan berkumur dalam mulut Setelah kena dicekal, wajahnya berhadapan dengan wajah Sui Tong, Dia menyemburkan air itu sekeras- kerasnya ke arah matanya!
Sui Tong terkejut setengah mati. Dia juga gelagapan karena air masuk ke dalam mata, hidung dan juga mulutnya!
Dalam waktu yang bersamaan, Siau Po menerjang tubuh orang itu, tangan kirinya meluncur ke leher Sui Tong untuk dipelintir.
Sui congkoan terperanjat Dia berseru tertahan, tubuhnya menggidik beberapa kali, Lambat laun cekalan tangannya jadi kendor, kedua matanya mendelik dan wajahnya menyiratkan rasa nyeri. sedangkan dari mulutnya meluncur kata-kata atau lebih tepat gumaman yang tidak jelas.
Hal ini disebabkan oleh pisau mustika Siau Po yang telah menancap di tubuh Sui Tong ketika dia menerjang ke depan, Dan tidak kepalang tanggung, Begitu berhasil menusuk dada lawannya, Siau Po segera menghentakkan pisaunya ke bawah sampai terkoyak ke bagian perut.
Hal ini pula yang menyebabkan Sui Tong tidak berdaya, Dia tidak menyadari dari mana datangnya bokongan itu, juga tidak sanggup mempertahankan diri terlebih lama, Darah menyembur dengan deras dari bekas lukanya, tubuhnya terjengkang ke belakang dan nyawanya pun melayang! Dapat dikatakan bahwa dia mati penasaran!
"Hm!" Siau Po mendengus dingin, Setelah itu dia mencabut pisau belatinya. Meskipun kepandaian Sui Tong sangat tinggi namun sayangnya kecerdasannya masih kalah dengan Siau Po. Karena itulah, dengan akal yang licik, bocah kita sanggup membunuhnya.
Selama Siau Po melompat ke dalam kamar dan akhirnya tercekal oleh siwi yang kemudian mati itu. Kiam Peng dan Pui Ie dapat melihat jelas dari balik kelambu. Hanya saja mereka tidak tahu bagaimana caranya Siau Po membinasakan orang itu, Karenanya mereka menjadi heran.
Siau Po sendiri menjadi gugup setelah melakukan perbuatan itu, Untuk sesaat dia tidak sanggup mengatakan apa-apa. Ketika dia membuka mulut akhirnya, suaranya terdengar tidak jelas. "A...ku... a... ku. "
"Terima kasih kepada Langit dan Bumi. Akhirnya kau berhasil juga membunuh orang itu!" kata Kiam Peng.
"Sui Tong ini mempunyai julukan Tian-Ciang Bu tek (Tangan besi tanpa lawan)." Pui Ie turut memberikan keterangan "Tadi dia sudah membinasakan tiga orang anggota Bhok onghu, perbuatanmu berarti telah membalaskan sakit hati mereka bertiga. Bagus! Bagus?"
Dengan cepat Siau Po berhasil menenteramkan hatinya.
"Dia dijuluki Tangan besi tanpa lawan, tapi dia tidak sanggup berhadapan dengan aku, Wi Siau Po!" katanya senang, Rasa bangga membuatnya jadi sombong. "Akulah jago silat nomor satu yang lain dari umumnya!"
Selesai berkata, Siau Po memeriksa kantong Sui Tong dan akhirnya dia berhasil menarik sebuah buku kecil yang penuh dengan huruf-huruf kecil. juga didapatkan beberapa helai surat, Tapi karena dia buta huruf, dia meletakkan semuanya di samping, Ketika dia memeriksa lagi, tangannya menyentuh sesuatu yang agak keras di pinggang korban. Dengan pisaunya dia merobek jubah orang itu, akhirnya dia menemukan sebuah bungkusan yang dipak rapi dengan kain minyak.
"Entah mustika apa yang ada di dalamnya, Penyimpanannya saja demikian sempurna," pikirnya dalam hati.
Kembali dia menggunakan pisaunya untuk memutuskan tali pengikat bungkusan tersebut setelah dibukanya, dia mendapatkan sejilid kitab Si Cap Ji cin-keng yang ukurannya dan bentuknya sama dengan yang pernah ia lihat sebelumnya.
"Ah!" serunya girang, Lekas-lekas ia mengeluarkan bukunya yang sama, Untung saja tidak ikut basah karena dirinya tercebur ke dalam gentong air tadi, Diletakkannya kedua kitab itu secara berdampingan Ternyata tidak ada bedanya.
"Pasti ada sesuatu yang aneh dalam kitab ini," pikirnya kemudian "Sayangnya aku buta huruf, Kalau aku meminta penjelasan dari kedua nona ini, tentu mereka mengerti Tapi mereka pasti jadi tidak memandang sebelah mata terhadapku!"
Setelah berpikiran demikian, Siau Po membatalkan niatnya dan menyimpan kedua jilid kitab tersebut di dalam lacinya.
"Bagaimana sekarang?" terdengar Kiam Peng bertanya, "Kau sudah membunuh orang ini, pasti sebentar lagi ada orang yang menyusulnya kemari!"
Pikiran Siau Po bekerja dengan cepat, Tadi thayhou sendiri datang kemari untuk membunuhku Hal ini pasti disebabkan rahasianya yang telah diketahui olehku dan dia khawatir aku akan membocorkannya. Setelah gagal, dia mengirim Sui Tong melanjutkan keinginannya yang tidak kesampaian perempuan tua itu sungguh lihay! Bagaimana dia mendapat akal menuduhku sebagai konconya para pemberontak yang menyerbu istana malam ini? Bukankah itu fitnahan yang sadis?
Biar bagaimana, aku harus mendahuluinya turun tangan! Tindakan inilah yang paling tepat! Aku harus menghadap Sri Baginda selekasnya untuk memberikan penjelasan. Begitu fajar menyingsing, aku harus meninggalkan tempat ini dan tidak akan kembali lagi untuk selama-lamanya!"
Setelah berpikir demikian, Siau Po langsung mengambil keputusan Dia berkata kepada Pui Ie. "Aku harus mengarang cerita bahwa Sui Tong telah bersekongkol dengan pihak Bhok onghu kalian Maka itu, nona Pui. Tolong kau jelaskan apa maksud
kalian yang sebenarnya menyerbu istana malam ini?" Siau Po menatap si nona cantik lekat-lekat.
"Karena kami sudah menganggap kau seperti orang sendiri, rasanya tidak apa-apa kalau kami bicara terus terang kepadamu," sahut nona Pui Ie. "Kami menyamar sebagai orang-orangnya Go Eng-him, putera dari Go Sam-kui. penyerbuan kami kemari bermaksud melakukan pembunuhan gelap terhadap Raja. Kami pikir, syukur kalau kami berhasil. Andaikata tidak sekalipun, kami bisa menimpakan kesalahan ini kepada pihak Go Sam-kui, Bahkan apabila Sri Baginda gusar, ada kemungkinan Go Sam-kui sekeluarga akan dihukum mati!"
Siau Po menarik nafas panjang, Hatinya lega mendengar keterangan Nona Pui itu. "Bagus, bagus!" katanya memuji "Tapi, dengan bukti apa kalian memfitnah Go Sam-
kui?"
"Sengaja kami meninggalkan tanda di baju-baju kami," sahut Pui Ie. "Tanda itu akan memberikan bukti bahwa kami orang-orang dari pihak Peng Si ong. Beberapa senjata kami juga sengaja diukir huruf "Tay Beng Sanhay kwan hu congpeng".
Siau Po tertawa, Sebelum berpihak pada kerajaan Ceng, Go Sam-kui memang menjabat sebagai congpeng di Sanhay kwan pada masa kerajaan dinasti Beng.
"Akal itu bagus sekali!"
"Ketika kami merencanakan penyerbutan ke istana ini, kami sudah berpikir bahwa ada kemungkinan beberapa di antara orang-orang kami yang akan tertawan atau terluka sehingga tidak sempat melarikan diri Tapi, demi bangsa dan negara, kami siap mengorbankan diri! Kami sudah menerka, apabila ada orang kami yang tertangkap, tanda-tanda itu pasti ditemukan Mulanya kami pasti tidak mau mengaku. Setelah disiksa beberapa hari, barulah kami menyerah dan menyatakan bahwa kamilah orang- orang yang dikirim oleh Peng Si ong untuk membunuh Raja. Begitu masuk ke dalam istana, kami melemparkan beberapa senjata dengan tanda khusus itu secara sembarangan Maksud kami, apabila kami beruntung bisa lolos semuanya, bukti itu toh sudah tertinggal."
Nona Pui berbicara dengan serius, nafasnya sampai memburu saking bersemangatnya. wajahnya sampai bersemu dadu.
"Jadi kedatangan kalian bukan untuk menolong Siau kuncu?" tanya Siau Po kembali. "Bukan!" sahut Pui Ie. "Kami toh bukan dewa." Bagaimana kami bisa tahu Siau kuncu
ada di dalam istana?"
"Apakah kau pun membawa senjata yang telah diberi tanda bukti itu?" tanya Siau Po. "Ada!" sahut Pui Ie yang segera menyusupkan tangannya ke dalam selimut dan
mengeluarkan sebatang gotok. Karena tenaganya sudah lemah sekali, dia tidak
sanggup mengangkat golok itu tinggi-tinggi.
Siau Po tertawa melihatnya.
"Untung aku tidak tidur di sampingmu, kalau tidak, tentu mudah bagimu untuk menikam aku sampai mati!"
Wajah nona itu menjadi merah padam karena jengahnya. "Fui!" serunya dengan mata mendelik
Siau Po tersenyum Dia menerima golok kecil itu kemudian disembunyikan di balik pakaian Sui Tong.
"Aku akan memberikan laporan kepada Sri Baginda, Aku akan mengatakan bahwa Sui Tong adalah anteknya para penyerbu malam ini. Bukankah senjata tadi akan menjadi suatu bukti?" Tapi Pui Ie menggelengkan kepalanya, "Sebetulnya huruf apakah yang terukir di golok-golok itu?" tanya Siau Po. Dia merasa dirinya toh buta huruf, buat apa dia melihat sendiri huruf-huruf itu.
"Tadi aku toh sudah mengatakan bahwa bunyi-nya Tay Beng Sanhay kwan hu congpeng. sedangkan Sui Tong adalah orang Boan, tidak mungkin dia menghamba pada seorang congpeng dari dinasti Beng!"
"lya, benar juga yang kau katakan," kata Siau Po. Cepat-cepat dia mengambil kembali golok kecil yang diselipkan dalam pakaian Sui Tong, "Sekarang barang apa yang harus kita masukkan ke dalam pakaian orang ini?" tanyanya kemudian.
Tapi sebelum Kiam Peng atau Pui Ie sempat menjawab, sebuah ingatan sudah melintas di benaknya.
"Oh, ya! Ada!" Siau Po segera mengeluarkan barang-barang hadiah Go Eng-him, yakni dua renceng mutiara, sepasang ayam-ayaman dari batu kumala dan beberapa helai uang kertas, semuanya dia masukkan ke dalam pakaian Sui Tong, Dia merasa barang- barang itu akan menjadi bukti yang kuat sekali, terutama uang kertasnya.
"Nah, Go sicu," kata Siau Po dalam hatinya, "Lohu harus meninggalkan tempat ini. Yang lainnya terserah padamu, Maafkan tindakan lohu ini."
Kemudian Siau Po mengangkat tubuh itu untuk diletakkan dalam taman, namun belum sempat dia membuka pintu, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki mendatangi ia terkejut sekali, Dengan cepat dan berhati-hati, dia meletakkan tubuh itu kembali. Setelah itu dia memasang telinganya.
Dari luar kamar terdengar seseorang berseru. "Sri Baginda menitahkan agar Siau Kui cu datang melayaninya!"
Senang sekali hati Siau Po mendengarnya.
"Aku justru khawatir tidak sempat bertemu dengan Sri Baginda lagi. Siapa sangka Sri Baginda sendiri yang mencari aku. Apalagi baru saja timbul keonaran, tentu merupakan saat yang tepat bila aku bertemu dengannya sekarang, Tapi, untuk sementara terpaksa aku tidak dapat membawa tubuh Sui Tong ini," pikirnya dalam hati.
"lya, hambamu sudah mengerti!" sahut Siau Po cepat "Hambamu hendak mengganti pakaian terlebih dahulu, sebentar lagi hamba akan menghadap."
Sembari berbicara, Siau Po mendorong tubuh Sui Tong ke kolong tempat tidur, Kemudian dia menggerak-gerakkan tangannya kepada kedua nona di atas tempat tidur agar mereka jangan bangun, Ketika dia akan meninggalkan kamarnya, tiba-tiba dia berpikir: "Nona Pui itu tidak dapat dipercaya sepenuhnya, Celaka kalau dia mencuri harta bendaku..." Karena itulah dia lalu mengambil kedua kitab serta semua uangnya dan disimpan dalam pakaiannya, Setelah memadamkan lilin, baru dia membuka pintu dan berjalan keluar.
Di luar pintu berdiri menunggu empat orang thay-kam yang semuanya tidak ada yang dikenalnya, Diam-diam dia menjadi heran, Thay-kam yang menjadi pemimpin segera tertawa dan berkata.
"Kui kongkong, tengah malam buta seperti ini Sri Baginda masih memanggilmu juga, Hal ini memperlihatkan bagaimana sayangnya junjungan kita kepada Kui kongkong!"
Siau Po bersikap tenang.
"lstana telah diserbu orang. Karena itu, aku sendiri ingin secepatnya bertemu dengan Sri Baginda untuk menanyakan keselamatannya serta menghiburnya, Tapi, justru karena belum ada panggilan, aku tidak berani lancang menjenguk beliau di tengah malam. " "Kau begitu setia terhadap Raja, tidak heran Sri Baginda menyayangimu..." kata thay-kam tadi. "Sekarang, mari kau ikut dengan kami." Dia memutar tubuhnya dan melangkahkan kaki untuk berjalan di depan Siau Po.
Siau Po heran sekali, Diam-diam dia berpikir di dalam hati,
"Aku adalah kepala para thay-kam di Siang Sian tong, berarti kedudukanku lebih tinggi daripada kedudukanmu Mengapa kau malah jalan di depanku? Usia thay-kam ini sudah tidak muda lagi. Tidak mungkin kalau dia tidak tahu aturan." Dengan membawa pikiran demikian, dia segera bertanya:
"Kongkong, siapakah nama dan she kongkong yang mulia? Rasanya kita jarang bertemu..."
Thay-kam itu tertawa dan berkata.
"Kongkong menjadi orang kesayangan Sri Baginda, sebaliknya kami hanya para thay-kam biasa, Sudah tentu kongkong tidak kenal dengan kami."
"Tapi," kata Siau Po. "Sri Baginda menitahkan kalian memanggilku, berarti kalian bukan thay-kam biasa!"
Ketika berbicara, lagi-lagi Siau Po dilanda keheranan Thay-kam yang menjemputnya itu mengajaknya ke arah timur, sedangkan kamar raja letaknya di Tenggara.
"Eh, eh! Kau salah jalan!" tegur Siau Po sembari tertawa, Dia memang merasa heran, tapi tidak curiga. Dia malah menertawakan thay-kam itu begitu tolol sehingga dimana letak kamar raja pun lupa,
"Tidak salah!" sahut thay-kam itu. "Sri Baginda sedang menjenguk thayhou, Agar kita tidak mengganggunya, kita langsung saja menuju kamar ibu suri!"
Mendengar thay-kam itu menyebut ibu suri, Siau Po terkejut setengah mati, Mendadak dia menghentikan langkah kakinya, justru karena dia berhenti, ketiga thay- kam yang mengiringinya langsung melompat dengan posisi mengurungnya, Siau Po tambah tercekat hatinya.
"Celaka!" pikirnya, "lni pasti bukan panggilan dari Sri Baginda, Tentu thayhou yang menitahkan mereka untuk membekukku!" Dia pun bingung, Dia tidak tahu apakah keempat thay-kam itu mengerti ilmu silat atau tidak, Tapi satu lawan empat saja, Siau Po sudah sangsi. Lagipula, bila sampai terjadi pertempuran, pasti para siwi akan bermunculan dan pada saat itu semakin kecil kesempatannya untuk melarikan diri.
Meskipun hatinya tercekat, tapi pada dasarnya Siau Po memang cerdas sekali, Dengan cepat dia berhasil menguasai dirinya, Setelah tertegun sejenak, dia segera tertawa dan berkata. "Ke kamarnya thayhou? Bagus! Setiap kali ke kamar thayhou, aku selalu diberinya hadiah, Kalau bukan uang emas, sedikitnya kembang gula serta kue yang lezat Dalam hal memperlakukan para hambanya, thayhou memang yang paling baik hatinya. Dia suka mengatakan aku sebagai budak yang mulutnya paling rakus!"
Sembari berkata, Siau Po melangkahkan kakinya menuju arah kamar tidur ibu suri. Melihat keadaan itu, keempat thay-kam yang mengiringinya tidak mengatakan apa-
apa lagi, Mereka berjalan kembali seperti posisi semula, Satu di depan, tiga lagi
mengintil di belakang.
Siau Po berkata kembali.
"Belum lama ini ketika aku menghadap thayhou, rejekiku bagus sekali, Aku dipersen uang emas sebanyak lima ribu tail dan uang perak dua laksa tail, Tenagaku masih kecil, mana kuat aku mengangkat uang sebanyak itu. Tapi thayhou memang sangat baik, dia mengatakan, kalau aku tidak kuat mengangkatnya sekaligus, aku boleh membaginya beberapa kali angkat Kemudian thayhou juga bertanya kepadaku: "Eh, Siau Kui cu, uang sebanyak itu akan kau gunakan untuk apa?" Aku pun menjawab: "Harap thayhou ketahui, hambamu gemar mengikat persahabatan dengan para thay-kam di istana, Mana saja yang baik, pasti hambamu akan menghadiahkan uang agar dapat mereka gunakan untuk bersenang-senang!"
Sembari berbicara, sebetulnya otak Siau Po juga bekerja mencari akal agar mendapat kesempatan untuk meloloskan diri, Kata-katanya membuat mereka jadi ragu.
"Mana mungkin thayhou memberi persen dalam jumlah yang demikian banyak?" kata salah seorang thay-kam yang mengiringinya dari belakang.
"Apa? Kau tidak percaya?" tanya Siau Po. "Nih, kau lihat sendiri!"
Siau Po merogo kantongnya serta mengeluarkan uangnya, Ada uang emas, ada juga uang perak, Nilainya paling kecil lima ratus tail, Melihat uang sebanyak itu, keempat thay-kam itu jadi terpaku!
Siau Po memperhatikan mereka lekat-lekat Dia menarik empat lembar uang kertasnya kemudian tersenyum.
"Sri Baginda dan thayhou tidak henti-hentinya menghadiahkan uang kepadaku, Mana mungkin aku bisa menghabiskannya? Di sini ada empat lembar uang kertas, ada yang nilainya seribu tail, ada juga yang nilainya dua ribu tail, sekarang coba kalian uji peruntungan saudara sekalian! Masing-masing menarik sehelai!"
Keempat thay-kam itu merasa heran, Untuk sesaat mereka jadi bimbang. "Walaupun kau seorang dermawan, tidak mungkin kau menghadiahkan uang
sebanyak itu!" kata para thay-kam itu. Siau Po tersenyum
"Uangku banyak sekali, kemana aku harus menghamburkannya? Bahkan kadangkala aku di-repotkan oleh uang-uang itu. Sekarang aku akan menghadap Sri Baginda dan thayhou, entah berapa banyak lagi hadiah yang akan kuterima!" Dia mengangkat uangnya tinggi dan mengibar-ngibarkannya.
Seorang thay-kam menatapnya dengan tajam, Kemudian dia tertawa dan bertanya. "Kui kongkong, benarkah kau hendak memberi persen kepada kami? Apakah kau
tidak sedang bermain-main?"
"Siapa yang main-main?" kata Siau Po. "Dari semua saudara-saudaraku di Siang sian tong, siapa yang belum pernah menerima hadiah sebanyak delapan ratus atau seribu tail dariku? Nah, saudara-saudara sekalian, mari! Cobalah peruntungan kalian dengan masing-masing menarik selembar uang ini. Ayo, siapa yang mengundi terlebih dahulu?"
Salah seorang thay-kam tertawa, "Aku!" katanya.
"Tunggu sebentar!" kata Siau Po kembali "Kalian harus melihat dulu biar tegas!"
Lalu keempat lembar uang kertas itu didekatkan pada lentera, Keempat thay-kam itu mengerumuni untuk memperhatikan Ternyata memang benar, uang kertas itu bernilai seribu serta dua ribu tail, Hati mereka sampai berdenyutan melihatnya. Watak para thay-kam memang aneh.
Mereka tidak mempunyai anak isteri. Juga tidak dapat menjabat pangkat yang tinggi, tapi mereka selalu tergila-gila akan uang, Mungkin harta benda merupakan satu- satunya hiburan bagi mereka dalam dunia, Meskipun tinggal dalam istana, gaji seorang thay-kam sangat kecil, belum pernah mereka melihat uang yang nilainya sampai ribuan tail.
Sekarang, melihat uang kertas di tangan Siau Po, iman mereka menjadi goyah.
Siau Po mengibas-ngibaskan uang kertasnya, "Nah, saudara-saudara, Saudara inilah yang akan mencoba peruntungannya terlebih dahulu!" katanya pada thay-kam yang mengajukan dirinya tadi.
Thay-kam itu segera mengulurkan sebelah tangannya, Siau Po tidak menunggu sampai tangan itu berhasil menyentuh uang kertasnya, Secara tiba-tiba dia mengendorkan genggamannya sehingga uang-uang kertas itu terlepas dan berterbangan terbawa angin, Lalu dia sengaja berseru. "Ah! Kenapa kau tidak bertindak cepat dia mencekalnya erat-erat? Lekas, lekas rebut kembali! Siapa yang dapat, dia yang berhak memilikinya!"
Keempat thay-kam itu adalah orang-orangnya ibu suri, Mereka mendapat perintah menyusul Sui Tong, Tugas mereka ialah memanggil Siau Po atas nama Sri Baginda, Kalau thay-kam cilik itu membangkang, mereka harus membekuknya.
Ibu suri melakukan hal ini karena merasa khawatir Meskipun Sui Tong berkepandaian tinggi, tapi takutnya dia kalah cerdas dengan Siau Po. Dia sendiri pernah ditusuk oleh Siau Po sehingga tangannya terluka parah.
Keempat orang itu tidak mendapat perintah untuk membunuh bocah cilik itu, karenanya mereka hanya bersikap mengurung. Tapi sekarang mereka disodori uang sebanyak ribuan tail, sehingga mereka lupa akan tugas yang sedang dijalankan Mereka juga tidak curiga, karena si thay-kam cilik yang seharusnya mereka bekuk, tidak mengadakan perlawanan sama sekali. Karena itu pula, melihat uang kertas yang berterbangan mereka segera berlarian mengejarnya.
"Lekas! Lekas!" seru Siau Po menambah semangat mereka, Namun, mulutnya berteriak, kaki-nyapun digerakkan juga. Dia berlari meninggalkan tempat itu dan masuk dari sebuah gunung buatan yang telah ia kenal baik situasinya. Memang dari tadi dia sudah memikirkan jalan untuk menyelamatkan diri, di dalam taman itu banyak gunung buatan, banyak juga gua buatan yang berliku-liku, Siapa pun yang lari bersembunyi di tempat itu, tentu tidak mudah ditemukan.
Dari keempat thay-kam itu, ada satu yang berhasil mendapatkan dua lembar uang kertas, salah satunya malah tidak mendapatkan apa-apa, karena itu dia meminta bagian pada temannya yang mendapat dua lembar, Tapi permintaannya sudah tentu ditolak sehingga timbullah pertengkaran di antara mereka.
"Bukankah tadi Kui kongkong telah mengatakan bahwa siapa yang mendapatkan berhak memilikinya?" kata thay-kam yang beruntung itu, "Maka kedua lembar uang kertas ini adalah milikku!"
"Tapi tadi juga sudah dijelaskan bahwa setiap orang mendapat satu helai!" kata kawannya berkeras, "Kau bagi selembar kepadaku Cukup yang seribu tail saja!"
"Apa! Seribu tail?" bentak thay-kam yang beruntung itu, "Enak saja! Satu tail pun tidak akan kuberikan!"
Kawan itu menjadi panas mendengarnya, dia segera menjambak dada rekannya. "Kau mau memberikan atau tidak?" tanyanya dengan sikap mengancam.
"Mari kita minta Kui kongkong yang menentukan!" kata si thay-kam yang beruntung itu, Dia segera memutar tubuhnya dan saat itu juga dia menjadi tertegun. Siau Po tidak ada lagi di antara mereka. "Lekas cari dia! Lekas!" teriak thay-kam itu.
Tapi thay-kam yang tidak mendapatkan uang kertas tidak mau mengerti Dia masih mencekal baju depan orang itu.
Siau Po sudah lari sejauh belasan tombak, tapi dia masih mendengar suara pertengkaran di antara kedua orang, Diam-diam dia menertawakan dalam hati, Kemudian dia berpikir.
"Aku akan bersembunyi di sini sampai fajar menyingsing Aku akan menyingkir dari pintu samping. Aku tidak akan kembali ke sini lagi!"
Ketika itulah terdengar suara langkah kaki ramai mendatangi, disusul dengan suara percakapan.
"Malam ini datang pemberontak yang menyerbu, besok kita pasti mendapat teguran Mungkin juga ada yang kena hukuman," kata salah seorang di antaranya.
Siau Po mengenali mereka sebagai para pengawal istana, Lalu terdengar seorang yang lainnya berkata.
"Semoga besok Kui kongkong membantu kita berbicara beberapa patah kata di depan Sri Baginda. "
Kemudian terdengar lagi suara siwi yang ketiga,
"Kui kongkong masih muda sekali, tapi baik dan bijaksana, Sungguh sukar menemukan orang seperti dia!"
Mendengar suara mereka, senang sekali hati Siau Po. Segera dia keluar dari tempat persembunyiannya.
"Hu! Saudara-saudara sekalian! jangan bersuara keras-keras!" katanya.
Dua orang yang berjalan di depan segera mengangkat lenteranya tinggi-tinggi. "Oh, Kui kongkong!" seru mereka perlahan
Siau Po melihat belasan siwi yang tadi ada di luar kamarnya, Dia bahkan masih ingat nama-nama mereka.
"Tio toako!" katanya, "Di sana ada empat orang thay-kam yang bersekongkol dengan kawanan pemberontak yang menyerbu malam ini. Lekas kalian bekuk mereka, pasti kalian bernyali besar sekali!" Kemudian dia menoleh kepada siwi lainnya, "Dan kau, Ong toako, Cio toako, kalian totok saja otot gagu mereka atau hajar rahang mereka agar tidak bisa berkaok-kaok, dengan demikian kalian tidak perlu mengejutkan Sri Baginda!"
Sekalian siwi itu percaya penuh dengan ucapan Siau Po. Mereka juga tidak perlu merasa khawatir karena antek-antek para penjahat itu hanya terdiri dari empat orang thay-kam. Segera mereka menghentikan pembicaraan lentera juga dipadamkan Dengan mengendap-endap mereka menuju tempat yang ditunjuk oleh Siau Po.
Keempat thay-kam itu masih mencari-cari Siau Po. Tegasnya dua orang yang mencari, sedangkan dua yang lainnya masih bertengkar Dalam sekejap mata keempat thay-kam itu sudah didekati dan dengan mudah berhasil dibekuk.
Di antara mereka ada yang tidak mengerti ilmu menotok, Karena itu mereka menghajar muka keempat thay-kam itu sehingga mereka tidak sanggup berteriak Suaranya hanya terdengar desahan saja.
"Bawa mereka ke kamar itu!" kata Siau Po seraya menunjuk sebuah kamar yang letaknya d samping, "Paksa mereka berkata sejujurnya!"
Dia sendiri juga ikut masuk ke dalam kamar itu Bahkan dia duduk di tengah ruangan begitu lentera dinyatakan kembali.
Para pengawal itu menyuruh keempat thay-kam tersebut untuk bertekuk lutut, tetapi mereka membangkang karena menganggap mereka adalah orang orangnya ibu suri dan tidak pantas diperlakukan seperti itu, itulah sebabnya mereka kembali mendapat hajaran keras. Para pengawal itu menampar meninju juga menendang serta memaksa mereka bertekuk lutut.
"Barusan kalian berempat kasak-kusuk, jika kalian mencurigakan Lagak kalian seperti pencuri dan terus bertengkar," kata Siau Po yang mulai dengan gayanya yang khas, "Kalian juga menyebu nyebut jumlah uang, Kalau tidak salah, seribu tahil milik si anu, dua ribu tail milik si ini! Mengapa kalian juga mengatakan bahwa kawan-kawan kalia dari luar itu tidak bagus peruntungannya karena ada beberapa yang terluka dan mati di tangan para si anjing?"
Mendengar kata-kata Siau Po, para siwi itu menjadi marah sekali, Lagi-lagi mereka mengirimkan tendangan dan tinju kepada keempat thay-kam tersebut.
Para thay-kam itu berteriak-teriak penasaran tapi suara mereka tidak jelas kedengaran karena rahang mereka sulit digerakkan
"Kalian tahu, aku telah menguntit kalian!" kata Siau Po kembali, Dia terpaksa memfitnah untuk membela dirinya sendiri Dia juga merasa tidak ada salahnya bersikap keras terhadap orang-orangnya ibu suri yang ingin mencelakakan dirinya. "Lekas bicara! Aku dengar tadi kau mengatakan: "Akulah yang menunjukkan jalan untuk mereka dan uang ini adalah pemberian mereka, karena itu mana boleh aku membagikannya kepadamu?"
Sembari berbicara, Siau Po menunjuk pada kedua lembar uang kertas yang diperebutkan tadi, Lalu dia menuding kepada thay-kam yang tidak berhasil mendapatkan apa-apa.
"Bukankah tadi kau mengatakan bahwa perbuatan kalian ini dapat membuat batok kepala kalian pindah rumah dan dosa yang harus dipikul sama beratnya sehingga uang itu harus dibagi sama rata? Kau juga mengatakan biar bagaimana pun kau harus mendapat bagian?"
"Mereka menjadi musuh dalam selimut, dosa mereka memang besar sekali, Ada kemungkinan batok kepala mereka memang bisa pindah rumah!" kata beberapa siwi memberikan pendapatnya. "Ter-bukti mereka sedang membagi hasil, mari kita geledah pakaian mereka!"
Kata-kata itu segera dibuktikan Ternyata selain kedua lembar uang kertas yang sedang diperebutkan pada kedua thay-kam ditemukan dua lembar uang kertas lainnya, Karena itu, para siwi itu jadi gaduh. Mereka tahu gaji seorang thay-kam sebulannya hanya dua sampai tiga tail perak. Tapi sekarang mereka mempunyai uang kertas senilai seribu dan dua ribu tail!"
"Bagus!" kata seorang siwi, "Para penyerbu itu pasti memberikan uang ini sebagai hadiah mereka yang telah menjadi pemasuk atau penunjuk jalan, Sialnya mereka juga mengejek kita sebagai siwi anjing! Sekarang biar mereka mendapatkan bagian masing- masing!"
Saking sengitnya para siwi itu menendang dengan hebat, salah seorang thay-kam langsung terguling di atas tanah dan nyawanya pun melayang seketika.
"Jangan sembrono!" kata seorang siwi lainnya, "Mereka harus diperiksa dengan seksama!"
Rupanya siwi yang satu ini lebih sabar wataknya. Dia malah menolong seorang thay- kam untuk bangkit dan mengurut-urut rahangnya agar dapat berbicara.
"Ayo katakan!" bentak Siau Po. "Siapa yang menyuruh kalian melakukan perbuatan nekat ini? Nyalimu sungguh besar sekali. Cepat katakan!"
"Aku merasa penasaran!" teriak thay-kam itu. "Kami adalah thay-kam thayhou dan kami sedang menjalankan perintah.."
"Ngaco!" bentak Siau Po sambil menerjang ke depan, Dengan tangan kirinya dia membekap mulut thay-kam itu, sedangkan tangan kanannya menghajar batok kepala orang sehingga thay-kam itu jatuh tidak sadarkan diri, Kemudian dia berkata kepada para siwi: "Saudara sekalian, dia menyebut-nyebut nama thayhou, Hal ini bisa membahayakan kita!"
Para siwi itu terkejut setengah mati. Untuk sesaat mereka mempunyai pikiran yang sama.
"Mungkinkah mereka sedang menjalankan perintah thayhou untuk menjadi penunjuk jalan bagi para pemberontak itu?"
Para siwi itu mengetahui bahwa Sri Baginda bukan putra kandung thayhou yang sekarang, ibu suri juga sangat cerdik. Karena itu, mereka langsung menduga bahwa ada kemungkinan Raja telah melakukan suatu perbuatan yang menyalahi thayhou sehingga ibu tirinya itu mengambil tindakan sedemikian rupa. Mereka juga sadar dalam istana segala hal apa pun dapat terjadi Karena itu, hati mereka menjadi was-was.
Siau Po melanjutkan pemeriksaannya.
"Benarkah kalian sedang menjalankan titah thayhou?" tanyanya pada salah seorang thay-kam. Urusan ini hebat sekali, Kalian tidak boleh sembarangan bicara! Benarkah kamu dititahkan oleh thayhou?"
Thay-kam itu tidak dapat berbicara, Karena itu dia hanya menganggukkan kepalanya.
"Apakah uang ini juga pemberian ibu suri?" tanyanya kembali.
Thay-kam itu menggelengkan kepalanya, Siau Po tahu apa yang harus dia katakan, "Kalian sedang menjalankan perintah Karena itu apa yang kalian lakukan bukan keinginan kalian sendiri, bukan?" demikian dia bertanya.
Thay-kam itu kembali menganggukkan kepalanya, "Sekarang katakan! Kalian ingin hidup atau mati?"
Tentu saja pertanyaan itu menyulitkan kedua thay-kam tersebut Untuk sesaat mereka bingung, Yang pingsan tadi juga sudah sadar Dia menganggukkan kepalanya sedangkan yang lain menggeleng, Lalu ketiga-tiganya mengangguk serentak dan akhirnya menggeleng bersama-sama pula.
"Jadi kalian mau mati?" tanya Siau Po menegaskan.
Ketiga thay-kam itu menggelengkan kepalanya, "Oh, jadi kalian ingin hidup?" tanya Siau Po. Mereka segera menganggukkan kepala, Siau Po segera menarik tangan dua orang siwi yang menjadi pemimpin lalu mengajaknya keluar dari kamar itu. Di sana dengan suara lirih dia berkata kepada kedua orang itu.
"Tio toako, Cio toako, kepala kita juga bisa pindah rumah!" Kedua siwi itu, yakni Tio Kong-lian dan Cio Ci-hian terkejut setengah mati mendengar perkataannya.
"Lalu... apa yang harus kita lakukan?" tanya mereka gugup,
"Aku juga bingung!" kata Siau Po. "Kakak berdua, bagaimana pendapat kalian?" "Celakalah kalau urusan ini sampai tersiar Aku pikir, sebaiknya kita cari akal untuk
menutupinya.,." sahut Tio Kong-lian.
"Benar begitu," timpal Cio Qi-hian. "Bagaimana kalau mereka bertiga dibebaskan dan kita pura-pura tidak tahu saja?"
"Tapi, bagaimana kalau mereka berniat mencelakai kita?" tanya Tio Kong-Iian. "Salah satu rekan mereka telah kita bunuh. "
"Memang ada baiknya kalau mereka dibebaskan tapi khawatirnya mereka akan mengadu kepada thayhou," kata Siau Po. "Bukankah hal itu berbahaya sekali? Apa yang harus kita lakukan agar mereka tidak berani mengadu? Ada bagusnya apabila thayhou langsung membunuh mereka saja guna membungkamkan mereka, Tapi bagaimana kalau thayhou marah dan urusan diperpanjang? Tamatlah riwayat kita!"
Tubuh kedua siwi itu menggigil saking takutnya. Tapi akhirnya Kong Lian berhasil menguasai hatinya, Dia mengangkat tangannya kemudian menghajar sasaran kosong!
Siau Po mengerti Dia menoleh kepada Ci Hian.
"Bagus juga!" kata Ci Hian sambil mengangguk "Tapi bagaimana dengan uangnya?" "Mudah!" kata Siau Po. "Uang itu boleh saudara ambil dan dibagi rata, Aku takut
sekali, Yang penting aku tidak terlibat dalam urusan ini!"
Mendengar uang sebanyak enam ribu tail diserahkan kepada mereka, para siwi itu menjadi senang sekali, Berarti mereka masing-masing akan mendapatkan empat ratus tail apabila dibagi rata, Karena itu mereka segera mengambil keputusan, Mereka kembali ke dalam dan berbisik kepada tiga orang siwi yang dapat dipercaya penuh. Ketiga siwi itu menganggukkan kepalanya mendengarkan bisikan pemimpinnya, Salah satu dari mereka segera berkata kepada tiga thay-kam tadi.
"Kalian adalah orang-orangnya thayhou, Karena itu kami tidak ingin memperpanjang urusan ini. Kalian pergilah!"
Bukan main senangnya hati ketiga thay-kam itu. Mereka langsung berjalan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi. sedangkan ketiga siwi tadi mengikuti dari belakang.
Begitu mereka berada di luar, segera terdengar suara jeritan yang menyayat hati dari ketiga thay-kam tersebut, kemudian disusul dengan teriakan salah seorang siwi tadi. "Ada pembunuh gelap! Ada pembunuh gelap!"
"Celaka! Penyerbu gelap sudah membunuh empat orang thay-kam!" teriak siwi lainnya.
Setelah itu, ketiga siwi tadi berlari ke dalam kamar sambil berteriak.
"Kui kongkong! Celaka! Ada orang jahat yang menyerbu lagi! Empat orang kongkong terbunuh!"
"Sayang sekali!" kata Siau Po sambil menarik nafas panjang, "Cepat kalian tawan para penjahat itu! jangan sampai ada yang lolos!"
"Salah seorang penyerbu telah berhasil kami bunuh!" teriak seorang siwi lainnya. "Bagus." kata Siau Po, "Sekarang cepat kalian laporkan kepada siwi congkoan
tentang kematian keempat kongkong itu!"
"Baik!" sahut para siwi sambil menahan tawa, Mereka menganggap sandiwara mereka bagus sekali, sebaliknya Siau Po sendiri tidak dapat menahan rasa gelinya, dia tertawa cekikikan, Melihat hal itu, para siwi jadi ikut tertawa. Kemudian dia memberi hormat seraya berkata.
"Kakak semua, aku ucapkan selamat kepada kalian yang telah mendapatkan hadiah, Nah, sampai jumpa besok!"
Tanpa menunda waktu lagi, Siau Po segera kembali ke kamarnya, Tapi baru dia sampai di pintu, tiba-tiba dia mendengar suara dingin yang datangnya dari gerombolan pohon bunga.
"Siau kui cu, tindakanmu bagus sekali, ya?"
Bukan main terkejutnya hati Siau Po, Dia mengenali suara orang itu sebagai suara ibu suri, Dia segera memutar tubuhnya untuk melarikan diri, Tapi baru kira-kira enam langkah, dia merasa bahu kirinya tercekal keras, tubuhnya gemetar Di samping tidak dapat bergerak, dia juga terpaksa membungkuk Namun pada saat itu juga, dia berusaha mencabut pisau belatinya, Sebuah pukulan yang keras langsung mengenai tangannya sehingga dia menjerit kesakitan.
"Eh, Siau Kui cu!" terdengar kembali suaranya Hong thayhou, Kali ini lebih menyerupai bisikan, "Kau masih sangat muda, tapi kau sudah pandai bekerja, Dengan mudah kau berhasil membunuh keempat orang thay-kam, malah kau menjatuhkan fitnah kepada diriku. Berani-beraninya kau mempermainkan aku! Hm!"
Siau Po takut setengah mati, Dia juga menyesal sekali sehingga dia memaki dirinya sendiri dalam hati. "Siau Po, kau benar-benar kura-kura cilik! To-lol! Ingat, kalau kali ini kau tidak dapat meloloskan diri, mana namamu bukan Wi Siau Po lagi!"
Tapi pada dasarnya dia memang cerdik sekali, Dalam keadaam terdesak, dia segera mengambil keputusannya.
Thayhou sangat membenci aku. Percuma bila aku merengek memohon pengampunannya, Baiklah. Aku akan bersikap keras, Aku harus bertaha terus sampai mendapat kesempatan untuk kabur Hm... dia harus digertak!" Karena itu dia langsung berkata:
"Thayhou, kalau sekarang kau ingin membunuh aku,sayang sekali sudah terlambat!" "Apanya yang patut disayangkan?" tanya thayhou heran.
"Kau hendak membunuh aku agar mulut ini bungkam," kata Siau Po. "Sayang kau terlambat satu langkah. Bukankah tadi kau sudah mendengar apa yang dikatakan oleh para siwi?"
"Kau mengatakan aku telah mengirim empat orang kongkong yang tak punya guna untuk bersekongkol dengan kawanan para pemberontak dan mengajak mereka masuk ke dalam istana! Benar bukan! Untuk apa aku bersekongkol dengan para pemberontak itu?"
"Mana aku tahu apa maksudmu?" kata Siau Po dengan berani, "Mungkin Sri Baginda bisa menduganya!" Thay-kam gadungan ini benar-benar sudah nekat.
Ibu suri merasa gusar sekali tapi dia masih bisa menguasai dirinya.
"Kalau sekarang aku menyerangmu dengan satu kali hantaman saja, kau akan mampus!" kata-nya. "Tapi kalau benar demikian, peruntunganmu terlalu bagus!"
Siau Po benar-benar berani.
"Kalau sekarang kau membunuh aku Siau Kui cu, besok seluruh istana akan tahu!" katanya, "Pasti setiap orang akan bertanya: "Kenapa Siau Kui cu bisa mati?" Dan jawabannya adalah: "Pasti thayhou yang membunuhnya!" Lalu ada lagi yang bertanya:
"Mengapa thayhou harus membunuh Siau Kui cu?" Yang lain pun menyahut: "Karena Siau Kui cu telah mengetahui rahasia thayhou!" Lalu ada lagi pertanyaan "Rahasia apa yang telah diketahui oleh Siau Kui cu?" Aih! Bicara soal itu", ceritanya pasti panjang sekali. Karena itu, mari! Mari masuk ke dalam kamarku, Nanti aku akan menjelaskan kepadamu !"
Thayhou terdiam beberapa saat. Dalam hatinya dia berkata: "Apa yang diucapkan bocah ini ada benarnya juga!" Hatinya mendongkol sekali. Saking menahan emosinya, tangan wanita itu sampai gemetaran. Lalu dia berkata, "Biar bagaimana pun, kau harus dibunuh! Apa artinya belasan siwi? Besok aku akan menyuruh Sui Tong membekuk mereka dan dihukum mati! Setelah itu, aku akan terbebas dari ancaman!"
Mendengar kata-katanya, Siau Po tertawa terbahak-bahak.
"Kematianmu sudah di depan mata, Apa lagi yang kau tertawakan?" bentak ibu suri yang hatinya panas bukan main melihat lagak Siau Po.
Lagi-lagi Siau Po tertawa.
"Ah! Thayhou, kau hendak menyuruh Sui Tong membunuh para siwi itu?" Tawa Siau Po semakin keras. "Dia... dia.... Ha... Ha... ha...!"
"Kena... pa dia?" tanya thayhou.
"Ha... ha... ha... ha.,.!" Siau Po kembali tertawa pula, "Dia telah aku.,,."
Tadinya Siau Po ingin mengatakan "dia telah aku bunuh," tapi tiba-tiba dia mendapat akal yang bagus. Setelah tertawa sejenak, dia terus berdiam diri.
Thayhou heran Dia menatap bocah itu lekat-lekat. "Apa yang kau lakukan pada dirinya?" tanyanya. Lagi-lagi si thay-kam cilik yang cerdik ini tertawa.
"Dia telah aku tundukkan!" katanya, "Dia sekarang menurut sekali sehingga tidak sudi lagi mendengar kata-katamu!"
Thayhou tertawa dingin Dia tidak percaya kata-kata Siau Po.
"Kau setan cilik! Sampai di mana kehebatanmu?" tanyanya dengan nada mengejek "Bagaimana mungkin kau bisa membuat Sui congkoan tidak sudi mendengar lagi kata- kataku?"
Siau Po terus memutar lidahnya yang tajam.
"Aku adalah seorang thay-kam cilik, tentu dia tidak mungkin menurut padaku," katanya, "Tapi di sana ada seseorang lainnya yang dia takuti!"
Thayhou terkejut.
"Dia... dia..." katanya dengan suara bergetar "Dia takut kepada Raja?" "Kami semua adalah para budak, siapa yang tidak takut kepada Sri Baginda?" kata Siau Po. "Hal itu tidak perlu diherankan, bukan?"
Thayhou penasaran sehingga tanpa sadar dia jadi terlibat pembicaraan dengan si bocah cilik.
"Apa saja yang kau katakan kepada Sui Tong?"
"Semuanya telah kukatakan kepada Sri Baginda..." sahut Siau Po.
"Semuanya telah kau katakan?" Tanpa sadar thayhou mengulangi ucapan bocah itu, Unluk sesaat dia berdiam diri, Sesaat kemudian baru dia bertanya lagi, "Di... mana dia sekarang?"
Yang di maksudkan nya tentu saja Sui Tong.
"Dia telah pergi jauh!" sahut Siau Po. "Ya, dia telah pergi jauh sekali dan tidak akan kembali lagi! Thayhou, kalau kau hendak menemuinya, rasanya tidak begitu mudah !"
Hati thayhou tercekat.
"Maksudmu, dia sudah meninggalkan istana ini?"
"Tidak salah! Dia berkata kepadaku bahwa di takut kepada Sri Baginda dan dia juga takut kepadamu! Dia juga mengatakan bahwa sulit sekali hidup di antara dua orang yang terus menekannya, Dia khawatir suatu hari jiwanya akan melayang. Karena itu, dia menganggap pergi jauh-jauh adalah jalan yang terbaik baginya!"