Kaki Tiga Menjangan Jilid 13

Jilid 13

Siau Po menganggukkan kepalanya, Diam-diam dia berpikir dalam hati, kedudukanmu lebih rendah dua tingkat daripadaku.

Terdengar orang itu bertanya lagi:

"Kakak, apakah kakak ini Wi hiocu yang menyulut lima batang hio dari Ruang Kayu Hijau?"

"Benar!" sahut Siau Po. Diam-diam dia berpikir kembali "Usiamu lebih jauh tua, tapi kau memanggilku kakak. Enak sekali didengarnya! Mengapa tidak sekalian saja memanggil kakek atau paman ?" "Aku yang rendah she Kho bernama Gan-tiau dari Hong-hua tong. Sudah lama aku mendengar nama besar Wi hiocu, namun sampai sekarang baru sempat bertemu muka, ini benar-benar keberuntungan bagiku!" kata orang itu.

Tentu saja Siau Po senang sekali, tapi dia memang pandai menutupinya.

"Kakak Kho hanya memuji saja! Kita toh orang-orang sendiri, jangan kau sungkan!" "Wi hiocu, di dalam tong kakak ada seorang saudara Ci yang biasa menjual koyo di 

Thianko, Hari ini dia telah diserang oleh seseorang sehingga terluka parah. Karena 

itulah aku sengaja datang untuk melaporkan kepada kakak!" kata orang she Kho itu.

Siau Po terkejut setengah mati.

"Aku tahu saudara Ci itu," katanya, "Selama ini aku selalu sibuk sehingga belum sempat aku menemuinya. Bagaimana lukanya dan siapa yang menyerangnya ?"

"Kita tidak bisa berbicara di sini." kata orang she Kho itu. "Silahkan hiocu ikut denganku!"

Siau Po menganggukkan kepalanya. Dia langsung mengikuti di belakang orang itu. setelah melewati tujuh delapan gang, Gan Tiau sampai di sebuah lorong kecil, Mereka masuk ke dalam sebuah toko obat yang atasnya terdapat tiga huruf besar namun tidak dimengerti oleh Siau Po.

Di dalam Kho Gan-tiau berbisik kepada seseorang yang tubuhnya gemuk. Terdengar orang itu menyahut: "Ya, ya!" beberapa kali, Setelah itu dia mengangguk kepada para tamunya dan berkata:

"Tuan sekalian ingin membeli obat pilihan, silahkan masuk ke dalam!" Dia pun mengantarkan tamu-tamunya ke dalam setelah merapatkan pintu.

Di dalam ruangan, orang itu membuka papan lantai yang kemudian terlihatlah sebuah celah gelap. Setelah itu dia turun ke bawah lewat undakan batu yang terdapat di dalamnya.

Ruangan bawah tanah itu demikian gelap sehingga Siau Po merasa curiga, Diam- diam dia berkata dalam hatinya.

"Benarkah mereka ini orang-orang Tian-te hwe? Celaka kalau tempat ini rumah jagal..." Meskipun demikian, dia tetap mengikuti di belakang Kho Gan-tiau.

Untunglah setelah berjalan sepuluh langkah, mereka sudah sampai di depan sebuah pintu, Si pengantar membuka pintu tersebut kemudian mengajak mereka masuk ke dalamnya, Ruangan itu mempunyai penerangan sehingga semuanya dapat terlihat jelas.  Ukurannya kecil, jumlah orang di dalamnya ada lima, sedangkan orang keenam sedang terbaring di atas sebuah balai-balai yang rendah. Dengan bertambahnya tiga orang, ruangan itu menjadi sesak

"Saudara-saudara, inilah Wi hiocu dari Ceng-bok tong!" kata Kho Gan-tiau memperkenalkan.

Kelima orang itu segera bangkit dan memberi hormat serta menyambut kedatangan Siau Po dengan gembira, Siau Po merangkapkan sepasang tangannya dan membalas dengan menjura.

Gan Tiau menunjuk kepada orang yang terbaring di atas balai-balai.

"ltu kakak Ci, karena sedang terluka dia tidak dapat memberi hormat kepada hiocu!" "Tidak apa, tidak apa," sahut Siau Po yang segera menghampiri orang itu.

Wajah si Ci pucat sekali, seperti tidak ada darah yang mengalir dalam tubuhnya, sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat. Nafasnya perlahan sekali, ada noda darah di permukaan kumisnya yang sudah memutih.

"Siapakah yang melukai kakak Ci ini?" tanya Siau Po. "Apakah begundal Tatcu?" "Bukan," sahut Gan Tiau sambil menggelengkan kepalanya, "Yang melukainya 

adalah orangnya Bhok ong-ya dari Inlam."

Hati Siau Po benar-benar tercekat mendengarnya. Dia benar-benar tidak habis mengerti dibuatnya.

"Orangnya Bhok ong-ya dari Inlam? Bukankah keluarga itu juga para pecinta negara seperti halnya kita?" tanyanya kemudian.

Gan Tiau menggelengkan kepalanya.

"Menurut kakak Ci, ketika dengan susah payah dia berhasil kembali ke rumah obat Hwe-cun tong ini, dengan terputus-putus dia sempat mengatakan bahwa orang yang melukainya adalah dua anak muda she Pek dari Bhok ong-ya."

"She Pek?" tanya Siau Po menegaskan "Bukankah mereka adalah putra-putra salah satu dari keempat Keciang keluarga Bhok?"

"Bisa jadi." sahut Gan Tiau. "Menurut kakak Ci, pertikaian mula-mula terjadi karena kedua pihak berdebat soal Tong dan Kui. Saking sengitnya, mereka bercekcok, akhirnya mereka jadi menggunakan kekerasan otomatis dengan seorang diri kakak Ci tidak sanggup melawan dua pengeroyoknya itu." "Dua orang mengeroyok seorang lawan bukanlah perbuatan yang gagah!" kata Siau Po. "Tapi, apakah Tong dan Kui itu?"

Kho Gan-tiau segera menjelaskan: "Bhok ong-ya termasuk keluarga yang mendukung Kui ong. sedangkan kami dari pihak Tian-te hwe dulunya merupakan bawahan Tong ong. Kakak Ci bertempur justru karena ingin membela pangeran junjungannya."

Siau Po masih belum mengerti juga, "Apa yang dimaksud dengan orang-orangnya Kui ong dan Tong ong?"

Kho Gan Tiau menjelaskan lebih lanjut "Kui ong bukanlah raja yang sah. Tong ong kami barulah raja yang sesungguhnya!"

Di antara kelima orang yang sejak semula sudah ada dalam ruangan itu, terdapat seorang tojin berusia kurang lebih lima puluh tahun. Dia merasa keterangan yang diberikan Kho Gan-tiau kurang jelas, karena itu dia segera menukas:

"Wi hiocu, ketika dulu Lie Cong menyerbu ke kota raja Peking dan memaksakan kematian kaisar Cong Ceng dari dinasti Beng, Go Sam-kui juga memimpin angkatan perang kerajaan Ceng menyerbu ke Tionggoan, Dalam hal ini dia berhasil, sehingga seluruh Tionggoan kena dirampas lalu diduduki tentara musuh. 

Pada saat itulah, para menteri yang setia dan para orang-orang gagah mendukung anak cucunya Sri Baginda Beng thay-cou menjadi raja, Pertama-tama Hok ong dari Lam-khia yang menjadi raja. Ketika Hok ong berhasil dibunuh oleh bangsa Tatcu, di propinsi Hokkian, orang-orang mendukung Tong ong. 

Tong ong didukung oleh keluarga Kok-sing ya, dengan demikian dialah raja yang resmi, sementara itu, di dua propinsi Kwisay dan Inlam, ada kelompok lainnya yang mendukung Kui ong serta ada lagi kelompok ketiga di Ciatkang yang mendukung Lau ong. Merekalah raja-raja yang palsu!"

Mendengar keterangan itu, Siau Po langsung memberikan komentar.

"Langit tidak mungkin dihuni dua matahari dan rakyat pun tidak bisa di bawah pimpinan dua orang raja, Kalau sudah ada Tong ong, maka Kui ong dan Lau ong tidak boleh dipilih lagi."

"Memang!" kata Gan Tiau, "Apa yang dikatakan hiocu tepat sekali!"

"Tapi pihak Kwisay dan Ciatkang mempunyai pikiran yang berbeda, mereka tamak akan kedudukan tinggl, mereka berkeras bahwa pangeran-pangeran yang didukung oleh pihak masing-masinglah raja yang sah!" Tojin itu menghentikan kata-katanya sejenak, setelah mengatur pernafasan, dia baru melanjutkan kembali: "Apa yang terjadi kemudian? Baik Tong ong, Kui ong maupun Lau ong mengalami kegagalan. Tapi sampai sekarang semua orang masih tidak mau berhenti berusaha, mereka sibuk mencari turunan dari ketiga raja tersebut untuk dipilih kembali. Bangsa Han tetap ingin membangun kerajaan Beng, untuk itu tentu saja kerajaan Ceng harus diusir dulu. 

Ketiga pihak tetap mendukung junjungan masing-masing, Pihak yang pro kepada Kui ong dan Lau ong mengatakan Tian te hwe sebagai pendukung Tong ong. Hal ini memang tidak salah, karena kitalah sah. Pihak yang mendukung Kui ong dan Lau ong hanya ingin merebut kedudukan saja," 

"Oh! sekarang aku mengerti...," kata Siau Po menganggukkan kepalanya. "Jadi pihak Bhok ong-hu merupakan kelompok yang mendukung Kui ong, bukan?"

"Benar!" sahut tojin itu. "Selama belasan tahun, tiga kelompok ini terus berebutan satu dengan lainnya."

Siau Po teringat ketika-mengadakan perjalanan dengan Mau Sip-pat, di sebelah utara Kangou mereka bertemu dengan kedua kakak beradik she Pek. Di sebabkan sedikit ucapannya, Siau Po sampai kena dicambuki Mau Sip-pat habis-habisan. Sejak itu kesannya kepada kedua saudara Pek sudah kurang baik.

"Kalau Tong ong adalah raja yang sah, kedua kelompok lainnya tidak patut memperebutkannya lagi, Bukankah menurut kata orang Bhok ong-ya itu berhati mulia? Aku khawatir, kalau suatu hari beliau menutup mata, mungkin orang-orangnya akan main gila"

"Apa yang dikatakan Wi hiocu memang benar." kata Gan Tiau dan yang lainnya serentak.

"Sebenarnya para orang-orang gagah dalam dunia kangouw selalu menghormati Bhok ong-ya." kata tojin itu melanjutkan keterangannya. "Buktinya kalau ada yang melihat bendera putih dengan sulaman biru, orang selalu mengalah. Mungkin hal itulah yang membuat orang-orang Bhok ong-ya menjadi besar kepala, sehingga sikap mereka menjadi garang, itulah sebabnya kesabaran kakak Ci jadi habis. 

Sejak dulu sampai sekarang, kakak Ci memang sangat menghormati Tong ong, tentu dia tidak senang pangeran pujaannya dicela orang lain. Perasaan kakak Ci sangat halus, mendengar orang menyebut nama almarhum Sri Baginda saja, air matanya langsung menetes."

"Tadi kakak Ci sempat tersadar sebentar dan mengharap kita semua akan membalaskan sakit hatinya." tukas Kho Gan-tiau. "Sekarang, orang yang berwenang di wilayah ini hanya Wi hiocu seorang. Karena itu pula, menurut peraturan, kami harus melaporkan hal ini kepadamu. Yang menjadi masalah, justru yang kita hadapi adalah pihak Bhok onghu yang merupakan pecinta negara seperti haInya kita, Coba kalau orang lain yang menjadi lawan kita, urusannya tentu tidak sepelik ini." Siau Po hanya mendengarkan dengan berdiam diri.

"Kata kakak Ci, sebetulnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu dia mengharapkan kedatangan Wi hiocu, Dia melihat hiocu berbelanja atau mendengar cerita di kedai teh. "

"Oh rupanya dia telah melihat aku. "

"Ya," kata Gan Tiau, "Menurut kakak Ci, apabila Wi hiocu mempunyai keperluan, tentu akan menemuinya sesuai dengan apa yang telah dikatakan Cong tocu. itulah sebabnya, meskipun dia melihat Wi hiocu, tidak berani sembarangan menyapa."

Siau Po menganggukkan kepalanya, Dia memperhatikan si Ci lekat-lekat, kemudian dia berpikir dalam hati.

"Kiranya si rase tua ini sudah mengenaliku dan sering menguntitku kemana-mana sehingga dia tahu apa saja yang kulakukan. Bagaimana kalau dia bertemu dengan suhu lalu mengoceh yang bukan-bukan? Ah, lebih baik dia tidak dapat disembuhkan lagi dan langsung mati, Dengan demikian bereslah semuanya!"

"Setelah kami berunding, akhirnya kami bersepakat untuk mengundang Wi hiocu kemari." kata si imam kembali "Kami berharap Wi hiocu dapat menyelesaikan urusan ini."

Mendengar kata-kata tojin itu, kembali Siau Po berpikir.

"Aku toh masih bocah cilik, memangnya apa yang bisa kulakukan?" Biarpun begitu, Siau Po merasa bangga karena orang-orang menghormatinya.

Kemudian terdengar salah satu dari kelima orang yang mula-mula ada dalam ruangan berkata:

"Pihak kami sering mengalah, karena kami menghormati Bhok ong-ya. Tapi kalau bicara tentang membela negara, Kok-sing ya kami telah membangun jasa yang banyak sekali."

"Kalau kita mengalah lima bagian, mereka harus membalasnya sepuluh bagian," kata seorang lainnya sengit. "Tapi justru karena kita mengalah, mereka jadi besar kepala. Apakah kita harus berlaku sungkan terus menerus? Kalau urusan ini tidak dapat diselesaikan, apa yang akan terjadi kelak? 

Pasti kita akan digilas habis-habisan dan diinjak-injak sampai kita tidak sanggup mengangkat wajah lagi di kalangan masyarakat. Lalu, pada saat itu, bagaimana kita harus melewati hari-hari? Dengan mengurung diri?"

Ketiga orang lainnya juga ikut menyatakan perasaan kurang puasnya, "Karena itu, apa yang harus kita lakukan, terserah hiocu saja!" kata tojin tadi kembali. Pandangan mata orang-orang dalam ruangan terpusat pada diri hiocu yang masih muda itu.

Siau Po sendiri kebingungan Kalau urusan lain, mungkin tidak sulit baginya untuk mengambil keputusan. Tetapi urusan ini menyangkut perkumpulan Tian-te hwe, masalah besar, Siau Po sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Apalagi dia tidak mempunyai pengalaman sama sekali. Dia berbalik mengawasi orang-orang itu dengan tajam.

Tiba-tiba orang yang barusan berbicara dengan suara lantang mengembangkan senyuman, Siau Po heran. Tadi dia sengit sekali, kenapa sekarang dia tersenyum, apa yang sedang tersirat dalam benaknya ? Dia juga melihat sinar mata orang itu yang menyorotkan kelicikan.

Siau Po bukanlah Siau Po kalau dia tidak bisa menebak apa yang sedang terpikir oleh orang itu.

"Ah! Rupanya mereka bermaksud menyeret aku ke dalam lumpur supaya kelak apabila ada apa-apa, aku yang bertanggung jawab, seandainya ada teguran dari Cong tocu, mereka tentu akan lepas tangan. Mereka toh sudah melaporkan hal ini kepadaku dan meminta saran dariku? Tidak! Aku tidak akan membiarkan diriku terjerumus dalam siasat mereka!" katanya dalam hati.

Bocah yang cerdik ini pura-pura menundukkan kepalanya untuk berpikir, sesaat kemudian dia baru mengangkat wajahnya dan berkata:

"Saudara sekalian, walaupun aku menjadi hio-cu, tapi jabatan itu kudapatkan secara kebetulan karena aku berhasil membunuh Go Pay. Sesungguhnya aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa dan tidak sanggup mengajukan pemikiran apapun Lebih baik totiang saja yang mencari akal, Totiang sekalian pasti jauh lebih pintar dari aku."

Tojin itu bernama Hian Ceng, Bibirnya tersenyum kemudian menoleh kepada seorang laki-laki berusia setengah baya yang kumisnya sudah beruban.

"Hoan samko, kau lebih cerdas daripadaku, coba kau bilang, apa yang harus kita lakukan?" tanyanya.

Orang yang dipanggil Hoan samko itu bernama Hoan Kong. orangnya jujur lagi polos.

"Menurut pendapatku, tidak ada jalan lain kecuali langsung menemui orang she Pek itu, Dia harus minta maaf pada kakak Ci, barulah urusan ini bisa diselesaikan. Kalau tidak, tidak mempan menggunakan tata krama, kita terpaksa menggunakan kekerasan!" Beberapa orang yang lain juga sudah mempunyai pikiran yang sama sejak tadi, tetapi mereka tidak berani mengutarakannya, sekarang mendengar Hoan Kong mengatakannya, mereka segera menyatakan setuju.

"Hoan ko benar, paling baik kalau tidak perlu menggunakan kekerasan. Tapi kalau tidak bisa dikompromikan baik-baik, kita harus menunjukkan bahwa pihak Tian-te hwe bukan orang-orang yang mudah dipermainkan. Kakak Ci sudah dihina seperti ini, kita tidak boleh berdiam diri!" kata mereka serentak.

Siau Po menoleh kepada Gan Tiau dan Hian Ceng. "Nah, bagaimana pendapat kalian berdua?" 

"Apalagi yang dapat kita lakukan?" sahut Gan Tiau.

Hian Ceng hanya tersenyum, dia tidak memberikan komentar apa-apa. Siau Po memperhatikan tojin itu lekat-lekat. Diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Dia tidak mengatakan apa-apa, kelak apabila terjadi sesuatu, tentu mudah baginya untuk menyangkal Baik! Aku justru akan mendesaknya terus!"

"Toatiang, apakah kau menganggap pendapat kakak Hoan masih kurang sempurna?" Sengaja dia mengajukan pertanyaan itu.

"Bukannya kurang sempurna, tapi biar bagaimana kita harus berhati-hati, untuk menempur pihak Bhok onghu, pertama kita tidak boleh kalah. Kedua, kita tidak boleh membunuh orang, kalau pihak sana sampai ada yang jatuh korban, urusannya bisa gawat!" sahut Hian Ceng.

"Lalu, bagaimana kalau kakak Ci tidak bisa sembuh lagi?"

Hian Ceng menganggukkan kepalanya. "ltulah yang aku khawatirkan!" "Kalau begitu, pikirkanlah cara yang lebih bermanfaat, kalian toh lebih 

berpengalaman dari aku."

"Sebenarnya hiocu hebat sekali!" kata Hian Ceng.

"Totianglah yang terlalu merendahkan diri sendiri!" sahut Siau Po tidak mau kalah.

Keduanya pun tertawa lebar. Akhirnya mereka berunding, kebanyakan menyetujui usul Hoan Kong tadi, Kemudian Siau Po diminta untuk memimpin mereka menuju Bhok onghu. 

Mereka ingin menegur serta meminta keadilan dari pihak pangeran itu, mereka menyembunyikan senjata masing-masing. Siau Po memesan kepada mereka agar bersabar seandainya harus terjadi bentrokan, biarkan pihak sana yang memulainya terlebih dahulu. "Namun kita membutuhkan beberapa orang lagi yang kepandaiannya tinggi," kata Hian Ceng. Dia mengusulkan beberapa busu sebagai saksi agar jangan sampai dituduh Tian-te hwe yang sengaja mencari keributan.

"Kita juga harus berjaga-jaga agar kelak tidak disalahkan oleh Cong tocu!"

"Lebih baik mengundang orang-orang yang kepandaiannya benar-benar tinggi." kata Siau Po yang terpaksa menurut pada suara orang banyak, Dia yakin orang-orang Bhok onghu pasti lihay sekali, buktinya Mau Sip-pat pun segan kepada mereka.

Hian Ceng tersenyum.

"Kita mengundang orang yang mempunyai nama dan sudah lanjut usia saja, Yang penting mereka menjadi saksi, bukan membantu kita berkelahi."

"Yang sudah tua dan mempunyai nama, otomatis kepandaiannya tinggi juga, jadi kita mendapatkan semuanya!" kata Gan Tiau.

"Lalu, siapa yang akan kita undang?" tanya Hoan Kong.

Mereka berunding kembali, saksi itu harus mempunyai nama besar, tidak bersahabat dengan pembesar negeri dan harus mempunyai kesan yang baik terhadap Tian-te hwe.

"Ja... ngan un... dang o... rang... lu... ar," tiba-tiba Ci lautau yang baru tersadar berkata dengan suara dipaksakan.

"Apakah saudara Ci tidak setuju kalau kita mengundang orang luar?" tanya Hoan Kong.

"Ya... Wi hiocu... bekerja di istana... tidak boleh ada yang mengetahui... bahwa dia... kenal dengan kita. Bi,., sa membahaya...kannya. Urusan...nya juga... ga... wat. "

Baru sekarang mereka ingat bahwa Siau Po adalah mata-mata perkumpulan Tian-te hwe yang disengajakan berdiam di istana untuk mengintai gerak-gerik musuh. Rahasia ini sekali-sekali tidak boleh bocor Cong tocu juga menugaskannya untuk urusan besar, bukan urusan remeh seperti ini.

"Kalau begitu, sebaiknya hiocu tidak ikut dengan kami. Biar kami saja yang berbicara dengan orang she Pek itu, bagaimana hasilnya akan kita laporkan kepada hiocu kemudian." justru sekarang Siau Po berkeras untuk ikut.

"Aku harus ikut. Untuk mencegah agar rahasia ini jangan bocor. kita tidak usah mengundang saksi. " Siau Po memang agak jeri terhadap orang-orang Bhok onghu, 

tapi dia penasaran ingin menyaksikan jalannya peristiwa itu.

"Kalau begitu, sebaiknya kita atur begini saja. Hiocu adalah atasan kami, hiocu mau ikut, kita tidak boleh melarang atau mencegahnya. Kami yang bawahan harus turut apa  yang dikatakan sang ketua, sekarang sebaiknya hiocu merubah dandanannya sedikit agar tidak ada orang yang mengenali.,.," kata Hian Ceng.

Siau Po setuju dengan pikirannya. "Bagus-bagus sekali!" Ci lautau juga setuju, bahkan dia berkata:

"Kalau diatur dengan cara demikian, kita boleh mengundang saksi, cuma kalian harus waspada, Nah, hiocu hendak menyamar sebagai apa?"

Pandangan setiap orang tertuju pada Siau Po. Bocah itu pun berpikir: "Lebih baik menyamar sebagai pengemis atau anak hartawan?" Dia memang kagum sekali melihat dandanan anak-anak orang kaya di Yang-ciu dan ingin sekali menirunya, Apalagi sekarang dia mempunyai banyak uang. 

Dengan cepat dia mengambil keputusan Siau Po langsung mengeluarkan uang sejumlah seribu lima ratus tail, masing-masing terdiri dari uang kertas senilai lima ratusan, Kemudian dia menyodorkan uang itu sambil berkata:

"Nah, siapa saudara yang bersedia menolong aku membeli seperangkat pakaian yang indah?"

Semua orang merasa heran karena jumlah uang itu terlalu banyak.

"Jangan khawatir soal uang. Aku punya banyak," kata Siau Po. "Yang penting pakaiannya, makin bagus makin baik. Beli juga beberapa permata agar tidak ada orang yang menyangka aku ini thay-kam."

"Hiocu benar!" kata Hian Ceng. "Saudara Kho, tolong kau pergi membelikan keperluan Wi hiocu!"

Gan Tiau menerima baik tugas ini.

Siau Po sendiri menambahkan lagi sepuluh tail, "Tidak apa kita mengeluarkan uang sekali-sekali!" katanya, Tindakannya itu membuat orang-orang dalam ruangan itu jadi heran, Siau Po mengeluarkan uang lagi sebanyak tiga ribu lima ratus tail kemudian disodorkan kepada Hian Ceng. 

"Kita baru berkenalan belum sempat aku membelikan tanda mata apa-apa. Harap totiang sudi menerima sedikit uang ini. Uang ini aku dapat dari bangsa Tatcu, boleh dibilang perak haram!"

Bocah ini ingin mengatakan "uang yang tidak halal," tapi dia jaga ucapan itu. Karenanya dia mengatakan "perak haram."

Tian-te Hwe melarang anggotanya menerima uang tidak halal, itulah sebabnya Gan Tiau dan yang lainnya termasuk orang miskin, Melihat jumlah uang yang begitu banyak,  mereka sampai terkesima. Memang Siau Po bermaksud mengatakan uang yang tidak halal, tapi kata-kata yang tercetus dari mulutnya justru perak haram, Dengan demikian berarti haram bagi bangsa Tatcu namun halal bagi mereka. Karena itu dengan senang hati mereka menerimanya.

"Kita harus berpencar untuk mengundang beberapa orang saksi," kata Hian Ceng. "Karena itu, hari ini tidak sempat lagi kita pergi ke tempat Bhok ong-ya. Besok saja kita tunggu kedatangan Wi hiocu, Jam berapa kira-kira hiocu bisa datang kemari?"

"Pagi aku banyak pekerjaan. selewatnya tengah hari baru sempat." sahut Siau Po. Dengan demikian mereka pun bubar.

Malam itu, Siau Po senang sekali sehingga di lupa berlatih, Besok paginya dia menuju ke kama tulis raja untuk menyelesaikan pekerjaannya. Siang harinya dia membawa uang cukup banyak, lalu per ke toko emas dan membeli sebuah cincin bermata hijau dan sebuah kopiah yang dihiasi sebutir batu kumala putih yang besar dengan dikelilingi empat butir mutiara. 

Siau Po menghabiskan delapan ribu tail perak untuk semua itu, Dari toko mas tersebut, ia langsung menuju toko obat di mana Gan Tiau yang lainnya sedang menunggu.

Di sana dia diberitahukan bahwa mereka telah berhasil mengundang empat orang saksi yang terdiri dari busu, guru silat ternama. Seorangnya dihadiahkan seratus tail, Siau Po merasa jumlah itu terlalu kecil. Lima ratus tail perorangnya baru selesai

Setelah itu giliran Gan Tiau menunjukkan belanjaannya, Dia membeli seperangkat pakaian yang lengkap dengan kaos kaki bahkan sepatunya, Juga baju luar yang panjang serta rompi dari kulit rusa. 

Bagian lehernya dihiasi bulu yang indah. Menurut Gan Tiau, baju itu merupakan pesanan khusus yang dikerjakan sampai larut malam, Ongkosnya saja hampir lima tail perak.

"Tidak mahal, tidak mahal!" kata Siau Po yang mendapatkan pakaian yang indah itu, Malah uangnya masih lebih banyak.

Setelah itu cepat-cepat dia berdandan. Kemudian mereka berangkat. Siau Po naik joli, hal ini memang disengaja agar dalam perjalanan dia tidak terlihat oleh siapa pun.

Pertama-tama mereka menuju sebelah timur kota di mana terdapat sebuah ekspedisi bernama Bu seng piaukiok untuk menjemput keempat orang saksi yang telah diundang. Mereka terdiri dari Ma Pok-jin, guru silat Tan Twi, Yau Cun Tay-i, tabib yang mengobati Ci lautau, Lui It-siau ahli ilmu kebal dari Tiatpou san, dan Ong Bu-seng, kepala Piau su (piautau) dari Bu-seng piaukiok. Empat ahli silat itu sudah mendengar bahwa hiocu dari Tian-te hwe itu seorang yang usianya masih muda sekali, namun mereka tidak menyangka begitu mudanya sehingga masih seorang bocah cilik. Mana tampangnya juga mirip seorang anak hartawan atau putera orang berpangkat, Mereka semua mengagumi nama Tan kin-lam dan mereka percaya muridnya pasti bukan orang sembarangan Karena itu tidak berani mereka memandang sebelah mata.

Hanya sejenak mereka duduk untuk saling berkenalan, kemudian mereka-langsung berangkat menuju tempat orang she Pek di Yangciu, Selain Siau Po yang naik joli, Ma Pok-jin, Yau Cun juga demikian sedangkan Lui It-siau dan Ong Bu-seng menunggang kuda. sisanya berjalan kaki.

Setibanya di depan rumah orang she Pek yang dindingnya berwarna merah, Kho Gan-tiau bermaksud mengetuk pintu, namun saat itu juga dari dalam rumah berkumandang suara tangisan. 

Semua menjadi heran sekarang mereka baru melihat di kanan kiri pintu tergantung lampion pintu dari kain putih, tanda berkabung, Melihat hal itu, Kho Gan-tiau tidak berani mengetuk pintu tersebut keras-keras.

Beberapa saat kemudian pintu gerbang gedung itu baru dibuka oleh seorang koanke (pengurus rumah tangga) yang sudah berusia lanjut, Kho Gan-tiau segera menyodorkan lima lembar kartu nama sembari berkata:

"Beberapa tuan serta saudara dari Bu-seng piaukiok, Tan-twi bun dan Tian-te hwe datang mengunjungi Pek thayhiap dan Pek jihiap!"

Mendengar disebutnya nama Tian-te hwe, sepasang alis orang tua itu langsung menjungkit ke atas. Matanya mendelik lebar-tebar kepada para tamunya. Setelah itu dia berlalu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Ma Pok-jin sudah tua, namun sikapnya berangasan. "Budak tidak tahu diri!" katanya sengit.

"Ma loya benar!" sahut Siau Po.

Tidak lama kemudian muncullah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan mengenakan pakaian berkabung, matanya masih merah dan membengkak, bekas air mata masih terlihat jelas. Dia merangkapkan kedua tangannya untuk menjura.

"Wi Hiocu, Ma loyacu, Ong Cong piautau serta tuan-tuan semua, terimalah hormatku! Aku Pek Han-hong menyatakan maaf karena tidak dapat menyambut dari jauh!"

Ma Pok-jin yang tidak sabaran langsung bertanya: "Pek Jihiap sedang berkabung, Bolehkah kami tahu siapa dalam keluarga jihiap yang mengalami kemalangan?"

"Itulah kakakku Pek Han-siong!" sahut Pek Han-hong.

"Aih, sayang sekali! Pek tayhiap adalah panglima yang sangat diandalkan oleh Bhok onghu, Namanya dalam dunia kangouw sudah terkenal sekali, Namun beliau toh masih muda dan perkasa, penyakit apakah yang dideritanya sehingga tidak tertolong lagi?" tanya Ma Pok-jin kembali.

Mendengar pertanyaan itu, tidak terduga-duga Pek Han-hong menatap lawannya dengan sorot mata gusar.

"Ma loya, aku menghargai kau sebagai seorang tokoh tua dalam dunia persilatan. Aku juga menyambut kedatanganmu dengan hormat, Tapi sekarang kau sengaja menghina kami, padahal kau sudah tahu, tapi kau masih pura-pura menanyakannya?" teriaknya sinis.

Siau Po bingung mengapa orang itu tiba-tiba menjadi marah, Saking terkejutnya dia sampai menyurut mundur satu Iangkah.

Ma Pok-jin mengusap-usap janggutnya.

"Heran! Benar-benar heran!" katanya setelah tertegun "Justru karena lohu tidak tahu, maka lohu bertanya, Kenapa lohu malah dikatakan sudah tahu masih pura-pura bertanya? Apa maksudmu? walaupun jihiap sedang berduka karena kehilangan saudara, tidak sepatutnya menimpakan kesedihan dengan marah kepada orang lain!"

"Ma loyacu dan tuan-tuan yang lainnya, silahkan duduk dulu!" kata Pek Han-hong berusaha meredam emosinya.

"Duduk ya duduk!" kata Ma Pok-jin yang masih mendongkol "Memangnya kami takut?" Dia menoleh kepada Siau Po dan berkata, "Wi hiocu, silahkan duduk di atas!"

"Tidak!" sahut Siau Po. "Silahkan Ma loyacu saja."

Pek Han-hong sudah melihat kartu nama yang dibawakan oleh pengurus rumah tangganya. Memang ada sehelai diantaranya yang bertuliskan nama Wi hiocu dengan nama lengkapnya Siau Po. 

Tapi dia tidak menyangka orangnya masih seorang bocah cilik yang kekanak- kanakan, tiba-tiba dia menyambar tangan Siau Po dan membentak dengan suara garang.

"Kaukah Wi hiocu dari Tian-te hwe?" Siau Po terkejut setengah mati. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi dia mengeluarkan seruan tertahan Dia tidak menyangka akan diserang secara mendadak sehingga dia tidak sempat menghindarkan diri. 

Tangannya langsung terasa nyeri dan panas karena cekalan Pek Han-hong yang keras, Bahkan dia hampir jatuh semaput dan air matanya langsung mengucur keluar.

"Kami semua merupakan tamu-tamu Anda, Pek jihiap, Harap jangan terlalu menghina!" bentak Hian Ceng tojin sambil meluncurkan sebuah serangan ke iga lawannya.

Pek Han-hong heran mendapat kenyataan bahwa seorang hiocu dari Ceng-bok tong ternyata demikian lemah, Cepat-cepat dia melepaskan cekalan tangannya dan menyurut mundur sehingga terhindar dari serangan Hian Ceng tojin.

"Maaf!" katanya.

Siau Po berdiri terpaku, Sebagian tubuhnya terasa kelu, Alisnya mengerut dan wajahnya menyeringai menahan sakit, diam-diam dia menyusut air matanya.

Bukan hanya Pek Han-hong saja yang terkejut melihat Siau Po demikian tidak berdaya, bahkan Ma Pok-jin, Ong Bu-seng dan lainnya juga merasa heran. Bukankah bocah ini muridnya ketua Tian-te hwe, Tan Kin-lam? Mengapa ia tidak sanggup menghindarkan diri dari serangan Pek Han-hong malah menjerit kesakitan dan meneteskan air mata!

Wajah Hian Ceng dan anggota Tian-tc hwe lainnya jadi jengah serta merah padam saking malunya.

"Maaf!" kata Pek Han-hong kembali "Sungguh malang nasib kakakku yang mati di tangan anggota Tian-te hwe. itulah sebabnya aku tidak bisa mengendalikan diri sehingga. "

"Apa?" tanya Ma Pok-jin dan yang lainnya setelah mendengar kata-kata itu.

"Apa? Pek tayhiap mati di tangan anggota Tian-te hwe? Tidak mungkin!" teriak yang lainnya.

Pek Han-hong kesal sekali sampai membanting-banting kakinya di atas tanah. "Kalian bilang tidak mungkin?" tanyanya gusar. "Lalu kalian kira kakakku hanya pura-

pura mati? silahkan kalian lihat sendiri, Mari!" Kemudian dia pun mengulurkan tangannya kembali untuk mencekal Siau Po.

Kali ini Hian Ceng dan Hoan Kong sudah berjaga-jaga. Begitu si tuan rumah menggerakkan tangannya, merekapun mengirimkan serangan ke arah dada dan punggung Pek Han Hong. Han Hong melihat datangnya serangan, batal dia mencekal tangan Wi Siau-po. justru dia segera menangkis untuk melindungi diri. Hian Ceng menarik kembali tangan kirinya lalu menyerang dengan tangan kanannya, sementara itu, tangan Hoan Kong beradu dengan tangan Pek Han-hong. 

Laki-laki she Pek ini menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindarkan diri dari serangan Hian Ceng, tanpa menunda waktu lagi dia mengirimkan sebuah totokan ke arah kerongkongan Hoan Kong.

Hian Ceng menghindarkan diri, sedangkan Hoan Kong juga menyurut mundur tiga tindak sehingga punggungnya membentur dinding. Sungguh hebat kepandaian Pek Han-hong, dalam waktu yang bersamaan dia sanggup mendesak Hoan Kong mengundurkan diri sekaligus membuat Hian Ceng kerepotan melindungi diri.

"Apakah kau benar-benar ingin berkelahi?" bentak Hoan Kong yang gusar karena tangannya masih terasa nyeri akibat beradu dengan tangan lawan, dia maju lagi dengan niat melakukan penyerangan.

"Kakakku sudah mati. Aku pun enggan hidup lebih lama lagi!" teriak Pek Han-hong tak kalah kalapnya, "Kawanan anjing Tian-te hwe, majulah kalian semuanya!"

"Tahan!" seru Yau Cun si tabib yang mempunyai kesabaran luar biasa, "Mungkin dibalik semua ini telah terjadi kesalahpahaman Bukankah Pek jihiap menuduh bahwa kakaknya telah dibunuh oleh anggota Tian-te hwe? Bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya? Dapatkah Pek jihiap menjelaskan lebih lanjut?" tanyanya.

"Mari kalian ikut denganku!" ajak Pek Han-hong sambil mendahului yang lainnya masuk ke ruangan dalam dengan langkah lebar.

Yau Cun beserta yang lainnya segera mengikuti. Mereka tidak merasa takut meskipun sadar telah masuk ke dalam sarang harimau, sesampainya di dalam ruangan, mereka menghentikan langkal kakinya karena melihat sebuah peti mati di kamar belakang di mana di dalamnya terlihat sesosok tubuh yang membujur dan bagian kepala serta kakinya tampak jelas.

Pek Han-hong menyingkap tirai kemudian berteriak dengan keras:

"Toako, kau mati penasaran sekarang aku hendak membunuh beberapa ekor anjing Tian-te hwe untuk membalaskan sakit hatimu!" Meskipun suaranya keras, namun agak serak karena sudah terlalu banyak menangis.

Yau Cun beserta Ma Pok-jin, Lui It-siau dan Ong Bu-seng maju menghampiri peti mati itu. Mereka dapat melihat dengan tegas bahwa mayat yang terbujur di dalamnya memang Pek Han-sing. Yau Cun mendekati mayat itu dan memegang lengannya.

Han Hong tertawa dingin. "Kalau kau sanggup menghidupkan kakakku kembali, aku akan menyembah sebanyak selaksa kali di hadapanmu!" Yau Cun menarik nafas panjang. "Pek Jihiap," katanya sabar. "Seseorang yang sudah meninggal, tidak mungkin bisa dihidupkan kembali, Aku harap kau bisa mengendalikan kesedihanmu. sekarang ada sesuatu yang ingin kutanyakan 

kepadamu, benarkah orang Tian-te hwe yang membunuh kakakmu? Apakah dugaanmu itu tidak keliru?"

"Aku. keliru?" Pek Han-hong mengulangi pertanyaan itu dengan mata mendelik,

Yau Cun merasa terharu, dia tahu Pek Han-hong benar-benar sedih atas kematian kakaknya, bahkan Hoan Kong pun menahan emosinya, sehingga dia dapat berpikir dengan kepala dingin.

"Dia baru saja kehilangan kakaknya, tidak heran dia sampai tidak dapat mempertahankan kemarahan hatinya."

Pek Han-hong berdiri tegak di depan peti mati kakaknya sambil bertolak pinggang. Dia berteriak dengan suara lantang:

"Orang yang membunuh kakakku adalah Ci lautao si penjual koyo dari Tian-te hwe. Aku pernah dengar bahwa nama asli orang itu ialah Ci Tian-coan. julukannya Pat-pek Wan-kau (Si kera bertangan delapan) dan merupakan anggota Cam-tay tong di Tian-te hwe Benar bukan? Apakah kalian masih ingin menyangkal?"

Hoan Kong dan yang lainnya saling menatap dengan perasaan bingung, kedatangan mereka justru untuk mencari keadilan bagi Ci tian-coan, rekan mereka sendiri, Siapa nyana, justru mereka mendengar kabar kematian Han Siong yang menurut adiknya binasa di tangan Ci itu.

Saking gundahnya, Hoan Kong menarik nafas panjang dan berkata:

"Pek loji, Ci Tian-coan yang kau sebutkan itu memang benar orang Tian-te hwe, tapi dia... dia. "

"Ada apa dengan dia?" tanya Han Hong,

"Dia telah terluka parah oleh toakomu," sahut Hoan Kong yang masih merasa sedih, "Keadaannya sangat mengenaskan bahkan nafasnya tinggal satu-satu, Bahkan sekarang kami sendiri tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati, justru kedatangan kami ingin menanyakan mengapa kau sampai menyerang kakak kami sedemikian rupa, siapa sangka. aih!"

Tapi Pek Han-hong sedang dilanda kesedihan yang tidak terkatakan, mana mungkin dia bisa mengendalikan kemarahannya?

"Jangan kata kakak kalian itu belum mati, biar sudah mampus sekalipun, selembar jiwa anjingnya tidak cukup untuk mengganti jiwa toako kami!" Hoan Kong menjadi gusar sekali melihat orang tidak dapat diajak berkompromi secara baik-baik.

"Bicaramu sungguh kotor!" tegurnya keras. "Apakah kau pantas disebut sebagai orang rimba persilatan? sekarang katakan, apa sebenarnya yang kau inginkan?"

"Aku... tak tahu...," teriak Pek Han-hong. "Aku hendak membasmi kamu orang-orang Tian-te hwe yang mirip anjing pun tidak! Aku ingin membunuh kalian semua, semua!"

Selesai berkata, tuan rumah itu langsung menyambar sebatang golok yang menggeletak di sisi mayat kakaknya.

Seiring dengan berkelebatan sinar golok, tubuh Pek Han-hong pun menerjang ke arah para tamunya. Hoan Kong dan lainnya yang menyaksikan keadaan itu, segera menghunus senjata masing-masing untuk berjaga-jaga.

"Jangan bergerak!" Tiba-tiba terdengar teriakan yang memekakkan telinga.

Lui It-siau segera mencelat maju ke depan peti mati. sepasang kapaknya diangkat tinggi-tinggi.

"Pek Jihiap, bila kau berniat membinasakan orang, bunuhlah aku terlebih dahulu!" katanya lantang.

Sesuai dengan namanya, yakni Lui yang berarti guntur dan Siau yang berarti siulan, suaranya memang seperti geledek yang mengejutkan.

Pek Han-hong demikian kalapnya sehingga lupa diri, teriakan itu menyadarkannya kembali.

"Untuk apa aku membunuhmu? Kau toh bukan pembunuh kakakku!"

"Begitu pula dengan sahabat-sahabat dari Tian-te hwe ini. Mereka juga bukan orang yang membunuh kakakmu, Lagipula anggota Tian-te hwe paling tidak berjumlah lima puluh laksa jiwa, apakah kau sanggup membunuh semuanya?" sahut Lui It-siau.

"Aku tidak perduli!" teriak Han Hong. "Ketemu satu akan kubunuh satu, ketemu dua aku bunuh dua!"

Tepat pada saat itu, di luar rumah terdengar suara derap kaki kuda yang sedang mendatangi.

Sesaat kemudian suaranya berhenti di depan rumah tersebut. "Mungkin tentara kerajaan!" kata Yau Cun, "Simpan senjata kalian!" Hoan Kong semua menurut, mereka mendekati Lui It-siau. Han Hong pun terpaksa menyimpa kembali senjatanya, namun dia masih berkata dengan garang.

"Sekalipun yang datang raja langit, aku tidak takut!"

Sekejap kemudian terdengar suara ketukan pintu, lalu disusul teriakan seseorang, "Pek jite (adik kedua) aku yang datang!" Seiring suaranya, tampak seseorang 

meloncati tembok pekarangan kemudian menerjang ke dalam rumah.

Orang yang datang usianya kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya berwarna ungu, tampangnya gagah namun wajahnya pucat sekali.

"0h... benar rupanya Pek Toate. Pek toate.," serunya dengan suara bergetar.

Han Hong melempar golok di tangannya lalu menghambur ke depan.

"Oh, Sou siko, toako... dia... dia. " Tanpa dapat menahan kepedihan hatinya lagi, dia 

menangis meraung-raung.

Kho Gan-tiau langsung bisa menduga siapa adanya orang itu.

"Kemungkinan besar dia inilah sin Jiu kisu Soukong yang termasuk salah satu keciang keluarga Bhok. "

Pada saat itu pintu telah dibuka dan muncullah belasan orang yang serombongan dengan orang she Sou itu. Di antara mereka terdapat beberapa perempuan, mereka langsung mendekati peti mati Pek Han-Siong dan beberapa perempuan itupun menangis tersedu-sedu. 

Rupanya di antara mereka adalah istri-istrinya Pek Han-siong dan Pek Han hong. Menyaksikan situasi itu, Hoan Kong jadi tida enak hati, Mereka menjadi malu sendiri 

Lagipula dalam keadaan seperti ini, tentu mereka tidak bisa bicara secara baik-baik. 

Karena itu, mereka saling lirik dengan yang lainnya, kemudian masing-masing melangkahkan kaki dengan maksud meninggalkan tempat itu.

"Eh, kalian mau kabur?" bentak Pek Han-hong yang melihat gerak-gerik para tamunya. "Tidak bisa!" Dia langsung menerjang ke arah Hoan Kong yang membelakanginya.

"Siapa yang mau kabur?" bentak Hong Kong marah. Dia menoleh serta menangkis, Ketika melangkah, dia memang sudah meningkatkan kewaspadaan. Karena itu, dia tahu dirinya diserang,

Yan Cun dan yang lainnya juga melihat keadaan itu, mereka terpaksa menghentikan langkah kakinya. Tampak orang she Sou itu maju ke depan. "Siapakah tuan-tuan ini?" tanyanya, "Maaf, aku belum mengenal mereka!" "Merekalah anjing-anjing dari Tian-te hwe!" teriak Han Hong gusar "Toako justru 

dibunuh oleh mereka."

Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang sedang menangis dengan sedih segera mencelat ke depan dan menghunus senjata masing-masing. Mereka mengambil posisi mengurung, semuanya menatap dengan pandangan bengis dan penuh kebencian.

Ong Bu-seng tertawa lebar.

"Ma toako, saudara Lui, Yau tayhu, kapan kita masuk menjadi anggota Tian-te hwe? Orang-orang semacam kita, meskipun kita memohon, rasanya juga belum tentu diterima!"

Orang she Sou itu menjura kepada empat orang itu.

"Oh, rupanya tuan-tuan ini bukan orang dari Tian-te hwe? Dan yang dipanggil Yau tayhu ini kalau tidak salah bernama Yau Cun, bukan? Aku yang rendah Sou Kong, kami baru mendapat kabar bahwa adik Pek yang besar sudah menutup mata. itulah sebabnya kami segera datang dari Wanpeng. Saking berduka, kami jadi lupa berkenalan dengan tuan-tuan sekalian Harap maafkan!" katanya sambil menjura sekali lagi.

Ong Bu-seng membalas hormat sambil tersenyum. "Selamat berjumpa! sungguh bukan nama kosong julukan Sin Jiu kisu. pandanganmu jauh dan jiwamu gagah perkasa!"

Selesai berkata, piautau ini segera memperkenalkan rekan-rekannya, Pertama-tama dia menunjuk kepada Wi Siau-po.

"lnilah Wi hiocu bagian Ceng-bok tong dari Tian-te hwe!"

Sou Kong tahu bahwa Tian-te hwe mempunyai sepuluh bagian atau tong dan setiap tong dipimpin oleh seorang hiocu yang gagah, Karena itulah dia menatap Siau Po dengan heran, karena hiocu yang satu ini masih terlalu muda. Dia juga bingung melihat dandanan bocah itu yang demikian mentereng.

"Maaf! Sudah lama kami mendengar nama besarmu!" katanya sambil menjura.

Selesai Ong Bu-seng memperkenalkan diri, Sou Kong juga memperkenalkan rombongannya, Di antaranya terdapat dua orang adik seperguruannya, sedangkan mereka bertiga juga termasuk saudara seperguruan dengan kakak adik she Pek. Ada lagi muridnya Sou Kong serta nyonya Han Siong dan nyonya Han Hong.

"Pek jihiap!" kata Yau Cun dengan nada lembut "Sebenarnya persoalan apa yang membuat kalian berkelahi dengan anggota Tian-te hwe? Aku harap kau sudi  menjelaskan. Nama Bhok onghu dari Inlam sangat terkenal di dunia persilatan sedangkan peraturan Tian-te hwe juga keras sekali, Tidak biasanya mereka bertindak kasar atau berlaku kurang sopan terhadap sesama pecinta negara. 

Menurut pendapatku yang rendah, urusan ini tidak boleh kita selesaikan dengan kekerasan. Kami berempat yakni Ma loyacu, Lui toako, Ong piautau dan aku sendiri, pada hakekatnya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Tian-te hwe. Dan kami juga tidak bersahabat akrab dengan pihak kalian. 

Tetapi justru kami bersedia menjadi orang tengah bagi kalian. Karena itu, sudi kiranya kalian memandang muka kami dengan memberi penjelasan selengkapnya, Kami benar-benar bermaksud baik. Bahkan kalau bisa kami ingin mendamaikan."

Ong Bu-seng juga langsung memberikan pendapatnya sebelum pihak tuan rumah sempat mengatakan apa-apa.

"Bicara sejujurnya, Pek jihiap sekalian, sahabat-sahabatnya dari Tian-te hwe ini sesungguhnya tidak tahu bahwa Pek tayhiap telah tiada, Kalau tidak, mana mungkin mereka berani datang mengganggu kalian yang sedang tertimpa kemalangan..."

"Lalu, apa sebenarnya maksud kedatangan Wi hiocu dan tuan-tuan semuanya ke tempat kami ini?" tanya Sou Kong.

Ong Bu-seng tersenyum lagi.

"Kami tidak berani berdusta, Kedatangan kami ini disebabkan pihak Tian-te hwe yang mengatakan bahwa saudara mereka yakni Ci Tian-coan telah terluka parah di tangan kedua saudara Pek. Kami para orang tua ini diminta untuk mewakilkan mereka menanyakan duduk persoalan yang sebenarnya..."

"Kalau begitu, kalian datang kemari untuk menegur dan menghukum kami semua?" "Kami tidak berani." sahut Ong Bu-seng cepat. "Kami adalah orang-orang kangouw 

yang hidup mengandalkan rasa persahabatan Kami tidak berani sembarangan 

mengambil tindakan. Dalam urusan ini, siapa benar dan siapa salah, biarlah keadilan yang menentukan dan keadilan adalah suara terbanyak. Kita tidak berbicara tanpa mengandalkan hati nurani kita!"

Sou Kong menganggukkan kepalanya.

"Ong Cong piautau benar, Nah, silahkan kalian duduk dulu!" katanya sambil memberi isyarat kepada rekan-rekannya untuk menyimpan kembali senjata masing-masing.

Kecuali Pek Han-hong, semuanya menuruti nasehat Sou Kong, Kemudian kedua belah pihak mengambil tempat duduk masing-masing. Sou Kong juga duduk, tetapi beberapa rekannya tidak, karena kekurangan kursi. "Pek jite," kata Sou Kong pada tuan rumah, "Coba kau jelaskan duduk persoalan yang sebenarnya agar orang-orang dalam ruangan ini dapat mengerti."

Pek Han-hong menarik nafas panjang.

"Kemarin dulu, kurang lebih menjelang siang hari. " Baru berkata sampai di sini, 

kemarahannya meluap lagi. Tangannya bergerak, goloknya dilemparkan ke atas lantai sehingga ada dua potong ubin yang somplak. 

Setelah itu dia mengatur pernapasannya sebentar kemudian baru melanjutkan kembali, "Siang itu aku duduk bersama kakak di sebuah kedai arak dekat Thianko, Tiba- tiba datanglah seorang pembesar negeri bersama empat orang pengikutnya. Keempat pengikutnya itu sungguh tidak enak dilihat. 

Cara bicaranya kasar dan tidak bersopan-santun sedikitpun Mereka memesan arak dan makanan dengan lagak seperti tuan besar, Mereka juga berbicara dengan aksen Inlam."

"Oh, mereka berbicara dengan aksen Inlam?" tanya Sou Kong.

"lya," sahut Han Hong. "ltulah sebabnya aku dan kakak segera memasang telinga."

Hoan Kong tahu bahwa keluarga Bhok berkuasa di Inlam, Kedua keluarga Sou dan Pek juga berasal dari Inlam, Tentu saja mereka menaruh perhatian pada orang-orang propinsi itu.

"Sembari minum arak, si pembesar berkali-kali mencela barang hidangan yang menurutnya tidak lezat. Dan keempat pengikutnya segera meniru, Toako merasa tertarik, otomatis dia ikut bicara, Mengetahui bahwa kita pun berasal dari Inlam, pembesar itu mengundang kami bersantap ber-sama-sama. Karena itu kami pindah duduk, Toako ingin mendengar segala sesuatu yang berkaitan dengan Inlam, karena kita sudah lama sekali pindah kemari. 

Kemudian diketahui bahwa pembesar itu bernama Yo It-hong dan atas keputusan Go Sam-kui, dia telah diangkat menjadi camat wilayah Kiokceng!"

"Tadi kau mengatakan bahwa mereka berbicara dengan aksen Inlam?" tanya Sou Kong.

"lya, tapi dia berasal dari Tayli, Menurut peraturan, orang Inlam tidak boleh memangku jabatan di wilayahnya sendiri, namun Yo It-hong mengatakan bahwa dia tidak memperdulikan segala macam peraturan itu karena ia diangkat langsung oleh Peng See-ong!"

"Oh, nenek moyangnya!" seru Hoan Kong sengit "Baru diangkat oleh si pengkhianat Go Sam-kui saja, sudah begitu sombong!" Han Hong melirik ke arah tamunya itu dan mengangguk perlahan.

"Saudara... Hoan, kau benar," katanya kemudian. "Ketika itu aku pun mempunyai pikiran yang sama denganmu, namun Toako ingin mendengar kabar tentang Inlam, itulah sebabnya dia pura-pura senang menemani pembesar itu berbicara. Bahkan toako sengaja mengangkat-angkatnya, pembesar itu senang sekali, Semakin kata-katanya mengenai Go Sam-kui. sekarang ini, semua pembesar yang pangkatnya tinggi maupun rendah, adalah hasil pengangkatan Go Sam-kui. Bahkan banyak pembesar di ketiga propinsi sucoan, Kwisay dan Kuiciu juga hasil pemilihan wilayah baratnya Go Sam-kui. Katanya, biasanya bila raja mengangkat seorang pembesar, Go Sam-kui langsung menempatkan orangnya terlebih dahulu, sehingga pembesar yang dipilih raja itu ketinggalan Menurut Go Sam-kui jasanya sangat besar. Karena dialah, bangsa Boan- ciu dapat merampas seluruh Tionggoan, itulah sebabnya dia sangat dipercaya dan apapun usulnya tidak pernah ditolak oleh raja?"

"Apa yang dikatakan pembesar itu memang benar," Ong Bu-seng turut memberikan komentar "Ketika aku pergi ke beberapa propinsi barat daya untuk mengantar barang, di Inlam dan Kuicu aku dengar sendiri, orang-orang di sana hanya tahu Go Sam-kui, mereka tidak pernah tahu titah dari raja!"

"Menurut pembesar itu," kata Pek Han-hong melanjutkan kisahnya, "Menurut peraturan yang ada, siapa yang menjadi camat, dia harus pergi dulu ke kotaraja untuk menghadap raja dan nanti Sri Bagindalah yang akan mengangkatnya secara sah. 

Tetapi kalau camat yang diangkat oleh Go Sam-kui, kedatangannya hanya untuk formalitas saja, semakin banyak orang itu minum, ucapannya juga semakin jumawa, Toako sengaja mengatakan bahwa dengan pembesar Yo yang menjadi camat, berarti orang Inlam mengepalai orang Inlam sendiri, Tentu penduduk Inlam sangat berbahagia karenanya, Mendengar kata-kata toako, pembesar Yo itu tertawa terbahak-bahak. Dia berkata: "Hal itu sudah tentu!" justru tepat pada saat dia mengucapkan kata-kata itu, di meja lain ada seseorang yang berteriak. 

"Oh, bangsat tua. Dia benar-benar musuh kita semua!" Terus orang itu melompat bangun, Tampak wajahnya merah padam karena menahan kemarahan."

"Apakah kata-kata itu diucapkan oleh Pat-pil Wan-kan Ci Tian-coan, setan tua itu?" tanya Sou Kong.

"Memang dia!" sahut Han Hong. "Bangsat tua itu duduk di dekat jendela sembari minum arak, dia terus menambahkan, katanya kalau orang setempat memangku jabatan di asalnya sendiri, rakyat semakin diperas habis-habisan, Sebetulnya, kita toh sedang berbicara, siapa suruh dia banyak mulut?"

Hian Ceng tertawa datar.

"Pek jihiap, kata-katanya Ci samko kami tidak salah, bukan?" Han Hong terdiam sejenak, sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu, Sesaat kemudian dia baru berkata kembali.

"Kata-katanya memang tidak salah, aku juga tidak mengatakan dia salah,.. tapi, untuk apa dia ikut campur dalam pembicaraan orang lain? Coba kalau dia diam saja, tentu tidak akan timbul urusan sepelik ini di antara kita."

Melihat hati Han Hong masih panas, Hian Cen pun tidak mengatakan apa-apa lagi. Pek Han-hong melanjutkan keterangannya.

"Yo It-hong marah sekali mendengar kata-kata orang itu, Dia menggebrak meja keras-keras dan menoleh ke arah orang yang berbicara, Dia melihat orang itu sudah tua dan punggungnya bungkuk, di sampingnya ada sebuah kotak obat yang sudah kumal dan kotor. 

Mengetahui bahwa orang itu hanya seorang penjual obat, pembesar itu langsung menyentaknya dengan suara bengis: "Tua bangka tidak tahu mampus, apa yang kau katakan. Keempat pengikutnya pun menghampiri dan mendamprat bahkan salah satunya langsung merenggut leher pakaian orang itu. 

Ketika itu mataku benar-benar lamur, aku tidak tahu orang itu mengerti ilmu silat karenanya aku maju untuk memisahkan mereka, Maksudku hanya untuk meredakan suasana yang mulai panas,"

"Pek jihiap, tindakanmu benar sekali, Kau patut disebut pemuda yang gagah perkasa dan berhati mulia," kata Hian Ceng memuji. Dia memang sengaja berkata demikian, agar hatinya tuan rumah itu tidak panas terus. 

Dengan demikian mereka bisa mencari penyelesaiannya, Bukakah pihaknya yang meraih kemenangan? Pek Han-siong sudah mati, sedangkan ci Samko hanya terluka parah, sebaiknya mereka bisa berdamai saja.

Tapi ternyata Han Hong tidak kena diangkat-angkat, dia malah tambah marah. Matanya menatap ke arah Hian Ceng dengan mendelik.

"Orang gagah apanya? Aku justru menyesal mataku tidak mengenal orang, Aku tidak melihat bahwa bangsat tua itu sangat licik malah aku menyangkanya manusia baik- baik. Ketika itu Yo It-hong sudah berkaok-kaok bahwa orang itu berani memberontak serta mencaci-maki dengan kalang kabut. Dia mengatakan bahwa orang kota raja kebanyakan licik dan harus dihukum!"

"Pembesar anjing itu sungguh keterlaluan!" maki Hoan Kong yang mendongkol "Sudah di Inlam berani memeras rakyat, di kota raja pun dia hendak mengunjuk kuasanya!" "Buat menghina, pembesar itu tidak dapat berbuat sesukanya. Dia mengatakan bahwa dia ingin meringkus orang itu untuk diserahkan kepada pembesar setempat supaya dihukum rangket empat puluh rotan, Dia akan mengalungi leher orang itu kemudian digiring di jalan raya agar dapat disaksikan oleh orang banyak, 

Mendengar ucapan si pembesar itu, si bangsat tua itu tertawa terbahak-bahak, Dia malah berkata: Tuan camat yang mulia, dari tadi mulutmu berkaok-kaok terus, apakah kau tidak merasa letih? Biar aku yang hina memberimu selembar koyo agar mulutmu itu tertutup rapat!" Habis berkata dia membuka kotak obatnya dan mengeluarkan sehelai koyo yang langsung di sobek lapisannya!"

Semua orang yang ada dalam ruangan itu jadi tertarik hatinya dan ikut mendengarkan dengan perhatian penuh.

"MuIanya aku heran melihat orang she Ci itu tidak takut terhadap pembesar negeri," kata Pek Han-hong melanjutkan penuturannya, "Aku bersama toako hanya memperhatikan saja. Biasanya, kalau koyo akan ditempelkan harus digarang di atas api dulu agar obatnya meleleh. Tetapi tidak demikian halnya dengan bangsat tua itu. Dia menjepit koyo itu dengan kedua telapak tangannya dan obat itu langsung lumer. Tenaga dalamnya hebat sekali, sementara itu, Yo It-hong masih juga memerintahkan orangnya untuk meringkus si bangsat tua!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar