Kaki Tiga Menjangan Jilid 12

Jilid 12

Penuturan hiocu itu tidak ditukas oleh siapa pun. Siau Po juga mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika melanjutkan kembali ceritanya, wajahnya tampak penuh semangat.

"Ketika angkatan perang kita keluar dari Tai-wan dulu, jumlah semuanya mencapai tujuh belas laksa jiwa, yang terbagi sebagai berikut: Lima laksa pasukan berkuda, lima laksa pasukan bahari, dan lima laksa pasukan jalan, sedangkan dua pasukan lainnya terdiri dari selaksa pasukan gerilya, Selaksa lagi disebut pasukan orang besi, Hal ini karena mereka mengenakan baju besi dan menggunakan tombak panjang sebagai senjata. Tugas mereka khususnya untuk mengait kaki lawan dan kaki kuda tunggangan musuh, sedangkan mereka tidak akan terluka oleh anak panah karena mengenakan baju besi, itulah sebabnya ketika terjadi pertempuran di bukit Yanghong dan wilayahnya Tinkang, dengan dua ribu tentaranya, Cong tocu berhasil melabrak musuh yang jumlahnya delapan belas ribu jiwa, Saat itu aku sendiri menjadi tentara pasukan ke delapan. Sewaktu kami menyerang musuh, kami mendengar mereka berteriak, "Malu... malu, chihu... chihu. "

Siau Po menjadi tertarik, tapi dia mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata terakhir hiocu itu.

"Apa artinya "malu dan chihu?"

"Malu artinya mama, sedangkan chihu artinya kabur. Jadi tentara musuh berteriak, Mama... mama... kabur. kabur!"

Orang-orang dalam ruangan itu ikut tertawa mendengar ceritanya yang lucu. "Coa hiocu, ceritamu memang menyenangkan, apalagi mengenai pertempuran di 

Tinkang itu, Tapi kalau kau cerita terus, mungkin tiga hari tiga malam juga tidak akan 

selesai. Bisa-bisa sampai kumis saudara Wi sudah tumbuh."

Tiba-tiba Ma Tiau-hin menghentikan kata-katanya, Sebab dia teringat bahwa seorang thay-kam tidak mungkin tumbuh kumis, diam-diam dia melirik ke arah Siau Po. Untung saja bocah itu memperlihatkan wajah kurang senang, Dia khawatir bocah itu akan tersinggung karenanya. Tepat pada saat itu, Lie Lek-si muncul dan melaporkan bahwa meja sembahyang telah selesai diatur Tan Kin-lam langsung mengajak semuanya menuju pendopo belakang.

Siau Po melihat di atas meja sembahyang ada dua buah Cengpai (tanda peringatan) yang masing-masing bertulisan "Tanda peringatan arwah kaisar dinasti Beng dan tanda peringatan Jenderal besar Ciau Tou-tay ciangkun merangkap pangeran Yan Peng-kun dari dinasti Beng, The Seng-kong."

Di atas meja juga teratur rapi berbagai macam persembahan, misalnya kepala babi, kambing, ayam dan ikan. Dalam tempat perabuan tertancap tujuh batang hio.

Semua orang langsung menjatuhkan diri berlutut memberi hormat pada kedua lengpai tersebut, sementara itu, Coa Tek-tiong mengambil sehelai kertas dari atas meja sembahyang kemudian membacanya.

"Langit dan bumi saksinya, kami bersumpah akan membangun kembali kerajaan Beng, Kami akan membasmi bangsa Tatcu, Kami bersedia hidup dan mati bersama, seperti tiga saudara dari zaman tiga Negara. Kami berjanji akan menjadi saudara antara yang satu dengan yang Iainnya, kami mengakui langit sebagai ayah dan bumi sebagai ibu, matahari sebagai saudara laki-laki dan rembulan sebagai saudara perempuan. Kami juga menghormati Ngo-cou dan Si-cou Ban In-liong serta keluarga Hong! 

Hari lahir kami jatuh pada jam cu-sie tanggal dua puluh lima bulan ketujuh tahun 

Khe-in. Kami semua, baik dari dua kota raja maupun tiga belas propinsi, kami tetap satu hati satu tubuh. Bagi pemerintah sekarang, kami bukanlah apa-apa. 

Kalau hati kami tergerak, semua hanya karena ingin membangun kembali kerajaan Beng yang maha besar. Kami berjanji akan melaksanakan apa pun perintah Tan Kin- Iam, kami akan menjelajahi lima sungai dan mengarungi empat lautan, demi menemukan rekan-rekan sejiwa dalam perjuangan. Dengan ini kami meneteskan darah kami sebagai penguat sumpah dan para malaikatlah yang menjadi saksinya!"

Selesai membacakan kertas ikrar itu, Coa Tek-tiong berkata kepada Siau Po. "Saudara Wi, kita mencontoh apa yang dilakukan tiga saudara angkat dari jaman 

Sam Kok (tiga negara) kau mengerti bukan?"

"Aku mengerti," sahut Siau Po. Tiga saudara angkat dari jaman Sam Kok adalah Lau Pi, Kwan Kong dan Tio Hui. Mereka tidak terlahir dalam hari bulan dan tahun yang sama namun bersedia mati dalam hari bulan dan tahun yang sama!"

"Betul!" kata Coa Tek-tiong. "Sekarang kau masuk menjadi anggota Tian-te hwe, dengan demikian kita menjadi saudara satu dengan yang Iainnya, Kami juga menjadi saudara dari Cong tocu, dan karena kau sudah menjadi murid beliau, otomatis kami semua sekaligus juga menjadi pekhu dan siok-siokhu-mu.  Dulu, kalau bertemu dengan kami, kau harus berlutut dan menyembah, nanti setelah masuk menjadi anggota yang berarti kita bersaudara, kau tidak perlu lagi melakukan peradatan seperti itu!"

"Baik!" sahut Siau Po. Dalam hatinya dia berkata sendiri, "Bagus sekali!"

Coa Tek-tiong berkata kembali: "Kita orang-orang dari Tian-te hwe juga disebut kaum Hong Bun. Kata Hong diambil dari tahun kerajaan Sri Baginda Beng Thaycou, yakni Hong Bu. Pemimpin kita yang pertama, seperti yang sudah kau ketahui adalah Kok Sing-ya atau Ban In-liong. 

Kita tidak berani sembarang menyebut nama asli Kok Sing-ya karena hal itu berbahaya sekali, Bisa-bisa kita diringkus bangsa Tatcu! Itulah sebabnya kami menyebut Kok Sing-ya dengan panggilan Ban In-liong. Ban artinya laksa, di sini mempunyai makna sebagai rakyat negeri kita yang jumlahnya ratusan ribu laksa jiwa, sedangkan In-liong berarti mega mengiringi naga. 

Dengan demikian Ban In-liong bisa berarti rakyat seluruh negeri mengiringi pemimpin sesakti naga, Saudara Wi, ini adalah rahasia perkumpulan kita, jangan sekali-sekali kau menyampaikannya kepada siapa pun, termasuk Mau Sip-pat saudara angkatmu sendiri. Harap kau ingat baik-baik pesanku ini!"

Siau Po menganggukkan kepalanya: "Aku mengerti!"

"Yang dimaksudkan dengan jam cu-sie tanggal dua puluh lima bulan ketujuh tahun Khe-in adalah waktu lahirnya perkumpulan kita ini. Ngo-cou adalah lima leluhur perkumpulan kita, mereka adalah lima tokoh gagah perkasa yang telah mengorbankan nyawanya demi kepentingan negara. 

Leluhur kami yang pertama adalah Kam Hui. Sewaktu pasukan perang kami menyerang Kangleng, aku memimpin sepasukan tentara Tin-peng, Atas titahnya Cong tocu, aku bersembunyi di luar pintu kota sebelah barat Bangsa Tatcu. "

"Coa hiocu!" tukas Ma Tiau-hin tiba-tiba. "Urusan pertempuran di kota Kangleng, kau bisa ceritakan perlahan-lahan kelak, tentu masih belum terlambat."

Coa Tek-tiong tersenyum meskipun ceritanya diputus oleh Ma Tiau-hin. Perlahan- lahan dia menepuk dahinya sendiri.

"Benar! Benar! Menceritakan pengalaman seru yang telah berlalu pasti tidak habis- habisnya, Baik-nya sekarang aku jelaskan saja soal peraturan dan segala larangan yang ada dalam perkumpulan kita," Coa Tek-tiong langsung menjelaskan hal-hal yang perlu kepada Siau Po. Siau Po pun mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Baiklah!" kata Siau Po. "Aku telah mengerti dan akan mentaati semuanya!" Ma tiau-hin segera mengambil sebuah mangkok yang telah diisi dengan arak. Setiap orang yang ada dalam ruangan itu menusuk jari tengah tangan mereka dengan sebuah jarum, kemudian meneteskan darahnya ke dalam mangkok berisi arak itu. perbuatan ini diikuti oleh Siau Po. 

Kemudian mereka meminum satu teguk arak yang telah bercampur dengan darah tersebut, dengan demikian berarti upacara telah selesai dan mereka pun sudah menjadi saudara antara satu dengan yang lainnya, semuanya merangkul Siau Po dan memberi hormat sekali lagi kepadanya.

Setelah itu, terdengar Tan Kin-lam berkata lagi: "Partai kami terdiri dari sepuluh tong. Di depan ada lima pong dari lima tong dan demikian pula di belakang, Kelima tong depan adalah Kian Hong-tong, Hong Sun-tong, Ki Hou-tong, Cam Tay-tong dan Hung Hua-tong. 

Kelima tong di belakang terdiri dari Ceng-bok tong, Cik Hwe-tong, Pek Kim-tong, Han Sui-tong dan Oey Tou-tong. sembilan hiocu dari sembilan tong telah berkumpul di sini, kecuali Ceng-bok tong yang tidak mempunyai hiocu karena In hiocu telah mati di tangan Go Pay. 

Sampai sekarang lowongan ini belum terisi. Setelah kematian In hiocu, para saudara dari Ceng-bok tong pernah mengangkat sumpah di depan abu penghormatan saudara Ban In-liong, bahwa siapa pun yang dapat membinasakan Go Pay, berarti dia telah membalaskan sakit hati In hiocu dan orang itu akan diangkat menjadi hiocu Ceng-bok tong sebagai pengganti In hiocu, Nah, saudara sekalian, benarkah kalian pernah mengucapkan sumpah seperti itu?"

Serentak semua anggota Ceng bok-tong membenarkan kata-kata Cong hiocu mereka.

"Benar!"

Dengan sorot mata yang tajam, Tan Kin-lam mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, Kemudian dia berkata lagi dengan nada lembut:

"Bukankah pernah terjadi perselisihan antara para saudara dari Ceng-bok tong pemilihan seorang ketua sebagai pengganti In hiocu? Bukankah perselisihan itu jadi reda karena kalian semua mengingat kepentingan perkumpulan ini? Nah, sampai sekarang masalah itu masih terkatung-katung. 

Bagaimana hal ini dapat dibiarkan saja? Tentu tidak baik akibatnya nanti, Bukankah Ceng-bok tong merupakan bagian yang penting dalam perkumpulan Tian-te hwe, sebab bagian inilah yang mengepalai seluruh saudara-saudara kita dari wilayah di sekitar Kanglam. Kekosongan ini akan merugikan kita dan menguntungkan pihak musuh!"

Semua anggota perkumpulan itu terdiam mendengar kata-kata ketua mereka, karena apa yang dikemukakannya memang beralasan "Sekarang aku ingin tanya, benarkah musuh besar kita Go Pay dibunuh oleh saudara Wi Siau Po? Apakah benar saudara sekalian telah mengetahui bahkan beberapa di antaranya menyaksikan dengan mata kepala sendiri?" tanya Tan Kin-Iam kembali.

"Ya, benar," sahut Lie Lek-si dan Kwan An-ki. Lie-Lek-si malah menambahkan. "Kita semua sudah mengangkat sumpah di depan abu penghormatan Ban In-Iiong, kita tidak boleh mengingkari apa yang pernah kita ucapkan. 

Kalau sumpah itu hanya angin busuk belaka, untuk apa lain kali kita mengangkat sumpah lagi? Saudara Wi Siau Po memang masih muda, tapi aku Lie Lek-si bersedia mengangkatnya sebagai hiocu kami, hiocu dari Ceng-bok tong!"

Tentu saja Lie Lek-si paham apa arti ucapan Cong tocu tadi, karena itu dia langsung mendahului menyatakan pendapatnya.

Kwan An-ki juga ingin memberikan pendapatnya, tetapi sudah didahului oleh Lie Lek- si. Diam-diam dia berpikir dalam hati:

"Bocah itu telah menjadi murid Cong tocu, dengan demikian dia bukan orang sembarangan. Lie Lek-si tidak berbeda dengan aku yang menginginkan kedudukan hiocu, namun sekarang ini kesempatan sudah tidak ada. Mendengar kata-kata Cong tocu barusan, Lie Lek-si menyadari maksud hati Cong tocu tersebut Sungguh pandai dia mengikuti perkembangan sehingga langsung mengemukakan pendapatnya, semestinya aku tidak boleh kalah dengannya!"

Itulah sebabnya Kwan An-ki segera berkata: "Benar sekali apa yang dikatakan Lie toako, saudara Wi sangat cerdas. Di bawah bimbingan Cong tocu, kelak dia akan menjadi seorang pemuda yang bisa menggemparkan dunia kangouw, Ya! Kwan An-ki juga bersedia mengangkatnya sebagai ketua Ceng-bok tong!"

Mendengar kata-kata itu, Wi Siau Po langsung mencelat bangun, dia menggoyangkan tangannya berulang kali.

"Tidak bisa! Tidak bisa! Apa itu hiocu atau joucu? Aku tidak sudi!" katanya,

Sebetulnya hiocu berarti seorang ketua dari suatu seksi dalam sebuah perkumpulan namun dalam kata-kata sehari-harinya hiocu juga bisa berarti tuan yang harum itulah sebabnya Siau Po yang bengal mengatakan hiocu atau joucu "tuan yang bau."

Sepasang mata Tan Kin-lam mendelik lebar-lebar dan mimik wajahnya menyiratkan kewibawaan.

"Apa yang kau ocehkan?" bentaknya, Siau Po pun tidak berani mengatakan apa-apa lagi.

Tan Kin-lam melanjutkan kata-katanya kembali. "Bocah ini telah membunuh Go Pay. Hal ini tidak pernah terlintas dalam bayangan kita, namun ternyata toh terjadi. Oleh  karena itu, sudah sepantasnya kita menepati sumpah yang pernah kita ucapkan di hadapan abu penghormatan toako Ban In-liong! Bukankah kita telah bersumpah akan mengangkat orang yang berhasil membunuh Go Pay sebagai hiocu Ceng-bok tong? Justru karena ingin mengangkatnya sebagai hiocu, aku baru menerimanya sebagai murid. Jadi bukan sebaliknya, Anak ini mempunyai bakat besar, juga cerdik. Di kemudian hari entah berapa banyak kesulitan yang harus kuhadapi karenanya!"

"Cong tocu, kami semua mengerti maksud hati tocu yang memikirkan kepentingan kita semua," kata Pui Tay-cong ketua dari Hong Sun-tong, "Bukankah Cong tocu tadinya tidak mengenal saudara Wi, sebagaimana halnya saudara Wi juga tidak mengenal Cong tocu? Kedua pihak tidak ada hubungan apa-apa sampai bisa bertemu dihari ini. Memang sikap Cong tocu yang lain dari biasanya cukup mengejutkan, namun kami mengerti semua ini demi kepentingan kita bersama. 

Karena itu pula harap Cong tocu tidak perlu khawatir, meskipun usia saudara Wi masih sangat muda, tapi kami yakin dia tidak akan melakukan sesuatu yang tidak diharapkan! Apalagi dengan adanya Lie toako dan Kwan hucu yang membantu sekuat tenaga."

Tan Kin-lam menganggukkan kepalanya, "Kita memilih Wi Siau-po sebagai hiocu hanya untuk mewujudkan sumpah yang telah kita ikrarkan di hadapan arwah Ban In- Liong toako," katanya kemudian "Apakah saudara Wi bisa menjadi hiocu untuk selamanya atau hanya untuk satu kali saja, masalahnya lain lagi. Yang penting kita telah memenuhi sumpah yang telah kita ucapkan, seandainya besok dia berani main gila atau menghalang-halangi pekerjaan kita yang ingin mengusir bangsa Boan, kita boleh segera memecatnya tanpa ragu-ragu! Lie toako, saudara Kwan, aku harap kalian bersedia membantunya. Andaikata anak ini melakukan sesuatu yang tidak benar, jangan segan-segan meIaporkannya kepadaku, jangan kalian menutupinya!" Lie Lek-si dan Kwan An-ki menganggukkan kepalanya serentak.

"Baik, Cong tocu," sahut mereka bersamaan, Tan Kin-lam memutar tubuhnya kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan meja abu. Dia mengambil tiga batang hio yang kemudian disulutnya lalu diangkatnya tinggi ke atas.

"Sebawahan Tan Kin-lam dengan ini bersumpah di hadapan toako Ban In-liong, apabila murid kami yang baru Wi Siau-po melanggar aturan serta kurang bijaksana dalam mengambil tindakan, kami akan segera memecatnya, Kami mengangkatnya sebagai hiocu karena ingin mewujudkan sumpah yang telah kami ucapkan. Apabila Tan Kin-lam tidak mentaati sumpah itu, biarlah arwah Ban toako menurunkan kutukannya kepadaku!"

Selesai berkata, Tan Kin-lam segera menyembah beberapa kali lalu menancapkan hio di tempat dupa sembahyang dan menganggukkan kepalanya lagi sebanyak belasan kali. "Dengan berbuat demikian, Cong tocu telah menunjukkan kebijaksanaannya yang tidak mementingkan diri sendiri, Kami semua menjunjung tinggi Cong tocu!" terdengar suara banyak orang mengomentari.

Siau Po justru mempunyai pandangan yang berbeda, Diam-diam dia berpikir dalam hati:

"Bagus! Aku kira kalian bermaksud baik mengangkat aku sebagai hiocu, tidak tahunya kalian hanya menjadikan aku jembatan penyeberangan. Apabila kalian sudah sampai di tujuan, jembatan pun akan dirobohkan kembali. Hari ini kalian mengangkat aku sebagai hiocu yang untuk mewujudkan sumpah yang telah kalian ucapkan, besok kalian bisa mencari seribu satu alasan untukk memecatku. Yang penting kalian tidak mengingkari sumpah kalian sendiri, dan pada waktu itu, mungkin Lie toako atau Kwan hucu yang akan menggantikan kedudukanku. Dengan demikian kalian tidak menyalahi aturan!"

Berpikir sampai di sini, dia segera berkata dengan suara lantang. "Suhu, aku tidak mau menjadi hiocu!"

Suaranya memang lantang, namun menyiratkan ketenangan sehingga Tan Kin-lam menatap muridnya itu dengan heran. Bahkan orang yang ada di dalam ruangan itu ikut menjadi bingung.

"Apa katamu?" tanya Tan Kin-Iam.

"Aku tidak bisa menjadi hiocu!" sahut Siau Po tegas, "Aku juga tidak menginginkan jabatan tersebut !"

"Kalau merasa tidak sanggup, kau bisa belajar perlahan-lahan," kata Tan Kin-lam "Aku dapat membantumu, demikian juga saudara Lie serta saudara Kwan. Mereka telah memberikan kesanggupannya untuk membantumu, jabatan hiocu dari Tian-te hwe adalah sebuah kedudukan yang tinggi, Mengapa kau malah menolaknya?" 

Siau Po menggelengkan kepalanya, "Aku tidak suka kedudukan itu, Sebab hari ini aku diangkat menjadi hiocu, mungkin besok kau akan memecatku. Daripada mendapat malu, lebih baik aku tolak jabatan itu, tanpa kedudukan, aku dapat melakukan apa pun yang aku inginkan Begitu aku menjadi hiocu, aku seumpama telur yang didatangi setiap orang untuk dicari tulangnya! DaIam sekejap mata telur itu akan pecah dan habislah semuanya!"

"Telur ayam kan tidak ada tulangnya?" tanya Tan Kin-lam. "Biar pun orang mencarinya, tetap saja mereka tidak bisa menemukannya."

"Tapi telur dapat menetas menjadi anak ayam," sahut Siau Po. "Sedangkan anak ayam pasti ada tulangnya, Taruhlah tidak ada tulangnya, tapi asal orang mengambil telur itu lalu dipecahkan dan bagian merah serta putih telurnya diaduk menjadi satu, maka habislah sudah!" Para hadirin menjadi tertawa mendengarkan kata-katanya yang lucu.

Tan Kin-lam tetap bersikap sabar: "Kau kira usaha kami perkumpulan Tian-te hwe seperti permainan anak-anak? Asal kau tidak melakukan kesalahan, setiap orang akan menghormatimu sebagai seorang ketua yang bijaksana dari Ceng-bok tong. Siapa yang berani memperlakukan kau dengan kurang hormat? Taruh kata mereka tidak menghargai kau sebagai seorang ketua, mereka tetap akan menghormati kau sebagai muridku !"

Siau Po merenung sejenak.

"Baiklah!" kata bocah itu akhirnya, "Sebaiknya sekarang kita bicara dulu secara terus-terang. Kalau di kemudian hari kalian tidak menyukai aku menjadi ketua hiocu Ceng-bok tong, aku harap kalian bicara sejujurnya, aku akan mengundurkan diri secara sukarela, Aku tidak mau kalau kalian sampai sembarangan menuduh aku berbuat kesalahan, atau menyeret aku tanpa alasan yang pasti lalu memenggal kepalaku!"

Tan Kin-lam mengernyitkan keningnya, "Kau benar-benar suka saling tawar. Seperti apa yang telah kukatakan sebelumnya, Asal kau tidak berbuat kesalahan, siapa yang akan menuduhmu sembarangan atau memenggal kepalamu? justru sebaliknya, apabila bangsa Tatcu menghajar atau membunuhmu, maka seluruh anggota perkumpulan Tian- te hwe akan membelamu dan membalaskan sakit hatimu! Siau Po, seorang laki-laki sejati, berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Demi keadilan, dia tidak akan mundur atau menyerah begitu saja. Sekali kau masuk menjadi anggota Tian-te hwe, maka kau harus berani dan pantang mundur demi membela kepentingan negara, Siapa yang hanya mengutamakan dirinya pribadi, apakah pantas dia disebut orang gagah?"

Mendengar diungkitnya soal orang gagah, hati Siau Po jadi tertarik. Dia teringat tukang dongeng yang sering mengisahkan cerita-cerita tentang orang-orang gagah di zaman dulu.

"Benar sekali, suhu! Paling-paling juga batok kepalaku ini dipenggal, toh delapan belas tahun kemudian aku akan menjelma lagi menjadi manusia."

Kata-kata yang diucapkan Siau Po biasanya dicetuskan oleh orang yang sedang digiring algojo menuju tiang gantungan atau akan menjalani hukuman mati dengan kepalanya dipenggal orang-orang dalam ruangan itu langsung memberikan sambutan meriah atas ucapannya itu!

Tan Kin-lam juga ikut tertawa dan berkata: "Menjadi hiocu adalah suatu hal yang menggembirakan, mana dapat disamakan dengan orang yang akan menjalani hukuman mati? Lihatlah ke sembilan hiocu yang lain, mereka menjalankan tugas dengan senang hati, Kau seharusnya mencontoh mereka!"

Kwan An-ki segera menghampiri Siau Po lalu memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya rendah-rendah. "Sebawahan Kwan An-ki menghadap hiocu!" katanya.

Mendapat penghormatan seperti itu, Siau Po tidak menolak atau membalas. Dia langsung menoleh kepada Tan Kin-lam sambil bertanya:

"Suhu, apa yang harus tecu lakukan?"

"Kau harus membalas hormat!" sahut Tan Kin-lam.

"Kwan hucu, apa kabar?" kata si bocah sambil merangkapkan kedua tangannya menjura,

Tan Kin-lam tersenyum mendengar ucapan Siau Po.

"Sebutan Kwan hucu hanya panggilan umum karena itulah julukannya saudara Kwan, Tapi di saat melangsungkan upacara seperti ini, kau harus memanggilnya Kwan jiko!"

Siau Po menurut, sekali lagi dia menjura sambil berkata. "Kwan jiko, apa kabar?"

Kwan An-ki hanya tersenyurn, sementara itu, Lie Lek-si menyesal karena telah didahului oleh Kwan An-ki. Bergegas dia juga maju ke depan dan memberi hormat kepada hiocu barunya itu. Setelahnya, sembilan hiocu yang lain pun melakukan hal yang sama.

Selesai upacara, mereka duduk berkumpul di aula pertemuan. Cong tocu dan sepuluh hiocu dari perkumpulan itu pun terlibat pembicaraan yang berkaitan dengan urusan partai.

Ceng-Bok tong adalah seksi pertama dari kelima hou-tong atau tong belakang, Dan terhitung bagian keenam dalam perkumpulan Tian-te hwe itulah sebabnya Siau Po duduk di kursi deretan pertama sebelah kanan, Dan rasanya lucu melihat di sebelahnya duduk orang yang sudah tua dan janggutnya sudah memutih semua.

Lie Lek-si, Kwan An-ki dan yang lainnya segera mengundurkan diri. Di dalam ruangan itu hanya tinggal Tan Kin-lam dan sepuluh orang hiocu dari sepuluh bagian perkumpulan Tian-te-hwe.

Di tengah ruangan ada sebuah kursi kosong, Tan Kin-lam menunjuk ke arah kursi itu dan berkata kepada Siau Po.

"Kursi itu adalah kursi kedudukan Cu Sam thaycu!" Dia menunjuk lagi ke kursi kosong lainnya yang terletak di sebelah kursi pertama tadi, "Dan itulah kursi kedudukan yang disediakan bagi The ongya dari Taiwan, Kalau kita sedang mengadakan rapat dan keduanya tidak dapat hadir, maka kedua kursi itu dibiarkan kosong.,."  Tan Kin-Iam menghentikan kata-katanya sejenak kemudian baru melanjutkan kembali, "Saudara-saudara sekalian, silahkan saudara sekalian melaporkan dahulu segala sesuatu yang menyangkut wilayah kalian masing-masing."

Ada baiknya kita jelaskan terlebih dahulu mengenai perkumpulan Tian-te hwe. Kelima tong di depan yaitu Lian-hoa tong mempunyai kekuasaan di propinsi Hokkian, Tong kedua, yakni Hong-sun tong berkuasa di propinsi Kwitang, Tong ketiga, Ki-hou tong menguasai propinsi Kwisai, Tong ke-empat, Cam-tay tong bermarkas di dua propinsi, yakni Ouwlam dan Ouwpak, sedangkan tong kelima, Hong-hoa tong menguasai propinsi Ciatkang. 

Kemudian kelima houtong, yakni tong belakang, Ceng-bok tong berkuasa di Kangsou, Cik-hwe tong di Kwiciu, Si-kim tong di Sicuan, Hian-sui tong di Inlam dan Oey-tou tong di Tiong ciu, Hoalam,

Pertama-tama hiocu Coa tek-tiong yang melaporkan usaha mereka di Hokkian, kemudian menyusul hiocu Pui Tay-hong dari Kwitang.

Tidak tertarik hati Siau Po mendengarkan laporan itu, kesatu karena dia memang tidak mengerti kedua dia juga tidak tertarik terhadap masalah itu. Dia lebih senang membicarakan soal perjudian Sampai giliran hiocu keempat yakni Lim Eng-tiau dari Hian-sui tong, baru hatinya tergerak. 

Lim Eng-tiau memberikan laporan dengan penuh nafsu sekali, Kadang-kadang dia malah menyelipkan umpatan serta cacian, itulah sebabnya Siau Po tambah tertarik mendengarkan kata-katanya.

"Go Sam-kui, penjahat besar itu, dia sangat menentang kita bangsa Han. Dia memusuhi kita di mana saja. semenjak tahun yang lalu sampai sekarang, belum ada sepuluh bulan namanya, sudah ada seratus tujuh puluh sembilan anggota perkumpulan kita yang mati di tangannya. 

Dia benar-benar telur busuk, induk kambing! Dialah musuh dari keturunanku! Tiga kali berusaha membunuhnya secara diam-diam, selalu aku menemui kegagalan. Dia mempunyai banyak pembantu yang lihay. 

Terakhir malah aku sendiri yang turun tangan, celakanya bukan hanya tidak berhasil! bahkan lengan kiriku jadi kutung! Manusia itu benar-benar raja kejahatan. Pada suatu hari nanti, pasti dia beserta seluruh keturunannya akan jatuh dalam genggaman kita, Pada waktu itu, aku ingin menghancur leburkan seluruh tubuhnya!"

Mendengar disebutnya nama Go Sam-kui, para hiocu yang lain juga ikut marah dan panas, Siau Po sendiri pernah mendengar nama Go Sam-kui ketika di Yangciu, Dialah pengkhianat bangsa Han yang telah memimpin pasukan Boanciu masuk ke Tiong-goan untuk menyerang, kemudian merampas kerajaan. Go Sam-kui juga si raja jahat yang menjadi biang keladi pembunuhan di Yangciu, Entah berapa banyak rakyat yang dikorbankannya di saat itu. Berkat jasanya ini pula, dia diangkat menjadi Peng-seng ong, raja muda yang menguasai wilayah barat, tepatnya di propinsi Inlam. 

Setiap menyebut nama Go Sam-kui, rakyat bangsa Han pasti akan mengepalkan tinjunya dan mengkertakkan gigi erat-erat karena mereka membenci orang itu sampai ke tulang sumsum. Karena itu, Siau Po juga tidak heran mendengar hiocu Hian-sui tong memaki dengan demikian hebatnya.

Dipelopori oleh hiocu Lim Eng-tiau, kedelapan hiocu yang lainnya segera membuka suara ikut mencaci Go Sam-kui. Untung saja di sana terdapat Tan Kin-lam, kalau tidak, mungkin mereka sudah mengeluarkan segala macam cacian terkotor yang pernah ada.

Siau Po senang sekali mendengar caci maki mereka, baginya semua kata-kata itu adalah makanan sehari-hari. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, dia ikut memaki. Akhirnya gaduhlah ruangan itu karena caci maki yang keras dan saling sahut menyahut.

"Cukup! Cukup!" seru Tan Kin-lam sambil mengibaskan tangannya berkali-kali, "Di seluruh negara, bangsa Han setiap hari mencaci dan mengutuk Go Sam-kui, tapi sampai hari ini dia masih tetap sehat wal "afiat dan bahkan masih menjadi seorang raja muda, sedangkan percobaan pembunuhan atas dirinya selalu gagal!"

Mendengar kata-kata sang ketua, Lie Si-kay dari Hong-hoa tong yang tubuhnya pendek kecil dan agak pendiam ikut memberikan pendapatnya:

"Menurut pandanganku yang rendah, seandainya kita menyerang ke Inlam dan menghabisi Go Sam-kui, tindakan itu masih belum berarti banyak bagi perkumpulan kita, apalagi orang ini adalah pengkhianat besar bangsa, satu kali bacokan terlalu enak baginya.Dia pantas menjalani berbagai siksaan berat seperti yang dialami tawanan- tawanan yang pernah jatuh ke tangannya!"

Tan Kin-lam menganggukkan kepalanya.

"Hiocu memang benar, Sekarang, dapatkah hiocu memberikan pendapatmu yang berharga?"

"Urusan ini besar sekali, Lebih baik kita rundingkan bersama-sama. Aku sendiri tidak mempunyai pandangan apa-apa. Cong tocu saja yang memberikan petunjuk!"

"Memang urusan ini bukan main besamya, maka benarlah bahwa kita harus merundingkannya bersama..." kata Tan Kin-lam. "Siapa juga tahu, pikiran satu orang pendek, pikiran dua orang panjang. sedangkan jumlah kita ada sepuluh, ch... bukan, sebelas! Tentu kita bisa memikirkan sebuah akal yang baik." Tan Kin-lam menghentikan kata-katanya sejenak, pandangannya mengedarkan orang-orang yang berkumpul dalam ruangan itu, baru dia kemudian melanjutkan kembali. 

"Kita ingin membunuh Go Sam-kui, tujuannya bukan hanya untuk membalas sakit hati para saudara kita, tetapi untuk rakyat yang tercekam olehnya! Kedudukan Go Sam- kui di Inlam kuat sekali Mungkin Tian-te hwe kita tidak sanggup membasminya. "

"Biar bagaimanapun kita toh harus berusaha menghancurkannya!" kata Lim Eng-tiau. "Kita bisa mengadu jiwa dengannya!"

"Sampai sebegitu jauh, buktinya kau belum berhasil, bahkan kau kehilangan sebelah lenganmu!" tukas Coa Tek-tiong.

"Apakah kau sengaja menghina aku atau ingin menertawakan kegagalanku?" tanya Lim Eng-tiau dengan wajah kurang senang.

"Aku hanya bercanda," sahut Coa Tek-tiong yang sadar telah kelepasan bicara, dia segera menoleh kepada Tan Kin-lam dengan bibir tersenyum. "Cong tocu, harap maafkan sikapku barusan."

Kin-lam mengetahui bahwa hati Lim Eng-tiau masih panas mendengar ucapan Coa Tek-tiong. Dia tidak ingin urusan ini jadi berkepanjangan.

"Saudara Lim," katanya dengan nada sabar. "Membunuh Go Sam-kui adalah cita-cita setiap bangsa Han. Orang terus berharap bahkan sampai memimpikannya, Jadi bukan berarti hanya tugasmu seorang saja. Kalau bicara terus terang, kita semua juga belum tentu bisa berhasil membunuhnya, namun kita toh tidak boleh putus asa begitu saja!"

Kemarahan dalam hati Lim Eng-tiau sirap mendengar ucapan Cong tocunya. "Apa yang Cong tocu katakan memang benar!" 

Terdengar Tan Kin-lam berkata kembali: "Untuk membunuh Go Sam-kui rasanya kita harus bekerja sama dengan partai persilatan lainnya, dengan demikian baru kita bisa mempunyai kekuatan yang besar. Di Inlam, Go Sam-kui mempunyai pasukan perang yang jumlahnya laksaan jiwa, belum lagi pendamping-pendampingnya yang berilmu tinggi, inilah yang membuat kita menghadapi kesulitan untuk membasminya. "

Terutama Siaulim pai dan Butong pai, kita harus berupaya untuk mengajak mereka bekerja sama, karena selain murid-murid mereka banyak, kepandaian mereka juga tinggi-tinggi!" tukas Coa Tek-tiong.

"Aku ragu kalau pihak Siaulim pai bersedia bekerja sama dengan kita, menurut apa yang kuketahui ketua Siaulim pai, yakni Beng Seng taisu, lebih mengutamakan soal agama daripada urusan politik. " kata Yau Pit-tat, hiocu dari Oey-tou tong, "Sejak beberapa tahun yang lalu, dia malah mengeluarkan peraturan baru. Para murid kuil itu, baik yang hwesio atau yang preman, tidak boleh sembarangan terjun ke dunia kangouw, Hal ini disebabkan kekhawatiran si taisu tua itu bahwa akan terbit keonaran yang tidak diinginkan, Karena itu, aku rasa tidak mudah bagi kita untuk mengharapkan dukungannya."

"Pihak Butong juga bersikap hampir tidak berbeda dengan Siaulim pai," kata Ouw Tek-ti, hiocu dari Cam-tay tong di wilayah Ouwkong. 

"In Gan tojin, pengurus kuil Cin-bu-koan, sudah lama tidak akur dengan kakaknya, In Ho tojin, Di antara murid kedua belah pihak pun seperti ada ganjalan apa-apa. Aku khawatir..."

Hiocu itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya, tapi semua orang sudah maklum memang sulit mengharapkan kerja sama dari pihak Siau lim pai maupun Bu tong pai.

"Kalau memang sulit mengharapkan kerja sama dari kedua partai itu, tidak ada salahnya kalau kita bergerak sendiri saja!" kata Lim Eng-tiau.

"Biar bagaimana, kita tidak boleh terburu nafsu..." tukas Tan Kin-lam. "Kita toh tahu bahwa di dunia ini, partai persilatan tidak terdiri dari Siaulim pai dan Butong pai saja."

Mendengar kata-kata ketua mereka, beberapa hiocu langsung mengajukan nama Gobi pai dan Kaypang, Terutama Kaypang yang terkenal setia kawan serta jujur.

"Pokoknya, kalau kita belum mendapat kepastian, sebaiknya kita jangan sembarangan membicarakan urusan, hal tersebut merupakan rahasia yang harus kita jaga baik-baik!" kata Tan Kin-lam.

"BetuI!" sahut Pui Tay-hong. "Jangan kita memaksakan kehendak dan jangan sampai kita kena batunya atau mendapat malu!"

"Yang penting kita harus bisa menyimpan rahasia." Sekali lagi Tan Kin-Iam menegaskan "Kalau rahasia kita bocor, Go Sam-kui pasti akan membuat penjagaan yang ketat..."

"Karena itu, mulai sekarang kita tidak boleh lancang. Untuk mendapatkan kerja sama dari pihak lain, kita tidak boleh gegabah, Harus ada persetujuan terlebih dahulu dari Cong tocu, jangan sekali-sekali mengambil keputusan sendiri!" kata Lie Si-kay.

"ltu benar!" seru beberapa orang lainnya sepakat.

"Sekarang kita belum bisa mengambil keputusan, karena itu, tiga bulan kemudian kita berkumpul lagi di Tiangsi, OuwIam, dan kau, Siau Po, kau kembalikan ke istana, Urusan Ceng-Bok tong boleh diserahkan saja kepada Lie toako dan Kwan hucu. Dalam rapat di Tiangsi kau juga tidak usah hadir," kata Tan Kin-lam selanjutnya. "Baik," sahut sang murid.

Tan Kin-lam menarik tangan Siau Po kemudian mengajaknya masuk ke dalam kamar tadi.

"Kau dengar kata-kataku ini," katanya kepada Siau Po. "Di dalam kota Peking, ada seorang kakek penjual koyo (obat tempel) di sebuah tempat yang bernama Thiankio, orang itu she Ci. Kalau orang lain menjual koyo berwarna hitam, koyonya justru berwarna separuh hijau dan separuh lagi merah seandainya hendak menghubungi aku, kau pergi saja ke Thiankio dan temui si Ci itu. 

Agar tidak terjadi kesalahan dan dapat saling percaya, ada pembicaraan yang telah diatur begini: Kau harus menanyakan kepada dia, apakah dia menjual koyo pembasmi racun dan obat yang dapat membuat mata buta menjadi melek kembali. Nanti dia akan menjawab, "obatnya ada, tapi harganya mahal sekali, YAKNI TIGA TAIL UANG EMAS DAN TIGA TAIL UANG PERAK!" Kau tawar, apakah dia menjualnya dengan harga lima tail uang emas dan lima tail uang perak, Setelah itu dia pasti tahu siapa dirimu."

Hati Siau Po jadi tertarik Dia tertawa lebar "Orang minta harga tiga tail, kita malah menawar lima tail, di dunia ini mana ada peraturan seperti itu?"

"ltu merupakan isyarat kita, mendengar kau menawar lebih tinggi, dia tentu akan menanyakan apa alasannya, Kau harus mengatakan bahwa tawaran itu sama sekali tidak mahal. Malah kalau mata yang buta bisa melek kembali, kau bersedia menjadi kerbau atau kuda baginya. 

Nanti dia akan berkata, "Bumi bergetar, tanjakan tinggi dan parit di gunung indah." Dan kau harus menjawab: "Pintu menghadap laut besar, tiga sungai mengalir menjadi satu laksaan tahun lamanya." 

Dia akan bertanya lagi: "Di sisi paseban bunga merah, di ruangan yang mana?" Kau harus menjawab, "Ruang kayu hijau, yakni Ceng-bok tong." 

Kemudian dia tentu bertanya lagi "Berapa batang hio yang disulut dalam ruangan itu?" 

Kau jawab: "Lima batang hio." Lima batang hio artinya kelima hiocu. Dalam perkumpulan kedudukanmu jauh lebih tinggi daripadanya. Karena itu, bila ada urusan apa-apa, kau boleh perintahkan dia untuk melaksanakannya."

"Siau Po mengingat baik-baik semua tanya jawab yang aneh itu. Kin-lam juga mengujinya beberapa kali sampai dia hapal betul."

"Meskipun orang tua she Ci itu kedudukannya rendah, tapi kepandaiannya justru baik sekali, Karena itu, jangan sekali-sekali kau bersikap kurang ajar kepadanya!" "Baik, suhu!" sahut Siau Po.

Kin Lam menerangkan beberapa teori ilmu silat yang harus dilatih oleh Siau Po. Kemudian baru dia berkata kembali:

"Siau Po, kita mempunyai tugas masing-masing yang harus dilaksanakan. Karena itu, kita tidak dapat berkumpul lama-Iama. Nanti sesampai di istana, kau boleh melaporkan bahwa kau telah diculik para penjahat, kemudian di malam hari kau berhasil meloloskan diri dengan membunuh penjagaan. 

Juga kau mengatakan boleh bahwa mereka datang ke tempat di mana kau ditahan, yakni tempat ini. Kepala Go Pay akan kupendam di kebun sayur belakang rumah ini. Kau boleh gali dan ambil kepala itu sebagai bukti. Dengan demikian kau tidak akan dicurigai."

Siau Po menganggukkan kepalanya, "Bagaimana dengan suhu dan yang lainnya? Apakah suhu ingin menyingkir dari tempat ini?" 

Tan Kin-lam mengangguk "Kalau kau sudah pergi, kami pun akan berlalu dari sini, kau tidak perlu khawatir!" Tan Kin-lam membelai kepala muridnya itu. "Siau Po, aku harap kau akan menjadi anak yang baik. Bila ada waktu luang, aku akan datang ke kota raja dan mengajarkan ilmu silat kepadamu." 

Siau Po mengangguk "Ya, Suhu," katanya.

"Bagus, Nak. Pergilah, Kau harus berhati-hati, Bangsa Tatcu sangat licik, meskipun otakmu cerdas sekali, tapi kau masih kurang pengalaman."

"Suhu!" panggil Siau Po sambil menundukkan kepalanya, "Sebetulnya aku tidak kerasan lama-lama di istana, kapan kiranya aku bisa ikut suhu mengembara?"

Tan Kin-lam memperhatikan muridnya lekat-lekat.

"Sabarlah kau untuk beberapa tahun. Berusahalah untuk membuat jasa bagi perkumpulan kita, Nanti setelah kau agak dewasa di mana suaramu sudah pecah dan kumismu mulai tumbuh, tentu kau tidak dapat menyamar sebagai thay-kam lagi, itulah saatnya kau meninggalkan istana!"

Siau Po juga memperhatikan gurunya lekat-lekat, diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Baiklah, aku akan berdiam di dalam istana saja, di sana aku bebas melakukan apa pun yang aku suka, kalian toh tidak mungkin mengetahuinya. Dengan demikian, kalian juga tidak menemukan alasan untuk memecat aku sebagai hiocu. 

Setelah lewat beberapa tahun, kepandaianku juga akan bertambah tinggi. Kalau aku sudah lihay, kalian belum tentu berani menentangku lagi!" Oleh karena itu, pikirannya yang tadi gundah menjadi gembira. Sebelum berangkat, Siau Po menemui Mau Sip-pat untuk mengucapkan selamat berpisah.

Siau Po tidak menceritakan apa-apa, meskipun Mau Sip-pat banyak bertanya. Laki- Iaki itu tidak tahu kalau adik angkatnya sudah menjadi hiocu Ceng-bok tong, bahkan diterima sebagai murid oleh Tan Kin-lam. Hatinya prihatin sekali.

Di samping itu, Siau Po juga telah mendapatkan semua barangnya kembali, juga pisau belatinya yang luar biasa tajamnya itu, Ketika ia akan berangkat, Siau Po diberikan seekor kuda dan diantarkan oleh Tan Kin-lam sampai di depan pintu. sedangkan Kwan An-ki, Lie Lek-si serta yang lainnya mengantar sampai sejauh tiga li.

Siau Po menanyakan sampai jelas jalan menuju kota raja, Kemudian dia melarikan kudanya dengan cepat ke tempat tujuannya itu, Ketika dia sampai dikota raja, hari sudah menjelang malam, Tanpa menunda waktu lagi, dia menuju istana dan menghadap kaisar Kong Hi.

Kaisar Kong Hi telah menerima laporan dari anak buahnya bahwa Siau Po diculik oleh antek-antek Go Pay. Dia menduga bahwa thay-kam kesayangannya itu telah dicelakai oleh mereka. 

Dia juga sudah menitahkan seorang jenderal, dengan membawa pasukan pergi mencari orang-orang yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Meskipun puluhan orang telah ditangkap dan diinterogasi, tetap saja tidak ada hasilnya.

Justru tepat di saat kaisar Kong Hi pusing memikirkan keselamatan thay-kam gadungan itu, tiba-tiba dia mendapat laporan bahwa Siau Po sudah pulang, bukan main gembiranya hati raja cilik itu.

"Lekas perintahkan dia menghadap secepatnya!"

Tidak lama kemudian, Siau Po pun menghadap dan memberi hormat kepada sang raja.

"Oh! Siau Kui cu... bagaimana kau bisa meloloskan diri dari tangan musuh?" tanyanya dengan nada terharu.

Siau Po telah diajari bagaimana harus berdusta, dia juga sudah memikirkan kata- kata yang harus diucapkannya sepanjang perjalanan. Karena itu dia tidak mendapat kesulitan sedikit pun dalam mengisahkannya.

Dia menceritakan bagaimana dia ditawan oleh pihak musuh, bagaimana dia dibawa dengan dimasukkan ke dalam sebuah drum lalu dijejali buah tho. Dia juga menceritakan bahwa dia akan dibunuh untuk menjadi korban, bahkan meja sembahyang sudah disediakan.  Sampai akhirnya ada salah seorang dari rombongan penjahat itu yang mengusulkan agar hukumannya ditunda duIu, dia pun dikurung dalam sebuah kamar gelap. Dia kemudian berhasil meloloskan diri setelah membunuh seorang penjaga. 

Siau Po mengatakan bahwa dia bersembunyi dibalik pepohonan yang lebat sampai akhirnya dia berhasil mencuri seekor kuda dan kabur pulang ke istana dengan jalan memutar!

Cerita karangannya dikisahkan dengan bagus sehingga kaisar Kong Hi tidak curiga sedikit pun. Bahkan kaisar Kong Hi merasa gembira sekali sehingga dia menepuk bahu thay-kam gadungan itu berkali-kali.

"Hebat kau, Siau Kui cu, Tentunya kau sudah banyak mengalami penderitaan!" kata raja itu.

"Tidak apa, Sri Baginda," sahut bocah yang cerdik itu, "Sri Baginda, antek-anteknya Go Pay banyak sekali, Mereka harus dicari dan ditumpas, Hamba tahu di mana letaknya sarang persembunyian mereka. Bagaimana kalau sekarang juga kita membawa pasukan untuk menyerang dan sekaligus menumpas mereka?"

"Bagus!" seru kaisar Kong Hi, "Lekas kau ajak So Ngo-tu dan pimpin lima ribu tentara berkuda untuk menawan para pemberontak itu!"

Siau Po menerima baik perintah itu. Dia tidak beristirahat lagi. ia segera menyuruh bawahannya menyampaikan perintah itu kepada So Ngo-tu. setelah itu dia segera mengganti pakaiannya.

Sekejap kemudian dia sudah berjalan bersama So Ngo-tu untuk menjalankan tugas yang diberikan kaisar Tentu saja dia bertindak sebagai penunjuk jalan.

Di tengah jalan pasukan tersebut disusul oleh orang suruhannya Kong cin ong, karena pangeran itu bermaksud mengirimkan kuda Giok-ho cong yang sudah dihadiahkan kepada Siau Po. Ketika sudah naik ke atas punggung kuda, penampilan Siau Po jadi berwibawa sekali.

Tatkala pasukan tentara itu tiba di tempat Siau Po tertawan, sarang itu sudah kosong melompong. Namun, atas anjuran si thay-kam gadungan, So Ngo-tu memerintahkan orangnya untuk mengadakan pemeriksaan. 

Kepala Go Pay digali dari dalam tanah kebun belakang, Di sana terdapat sebuah lengpai yang bertuliskan Tempat bersemayamnya arwah Yang MuIia Go Pay berpangkat Siau Po dari kerajaan Ceng yang Maha Besar." 

Di sana juga terdapat beberapa batang kayu yang berukir kata-kata pujian untuk orang gagah nomor satu dari bangsa Boan, dapat dipastikan bahwa Tan Kin-Iam telah mengatur semuanya dengan seksama demi memperkuat ceritanya Siau Po. Mereka pun kembali ke istana. Meski tidak ada seorang tawanan pun yang berhasil didapatkan, tapi So Ngo-tu dapat menghaturkan kepalanya Go Pay serta lengpai dan beberapa batang kayu berukir huruf-huruf itu. Kaisar Kong Hi merasa puas sekali dan menganggap panglimanya sudah berjasa besar kali ini.

"Selidikilah terus urusan ini!" katanya kepada So Ngo-tu.

Siau Po juga senang sekali, Apalagi membayangkan bahwa raja pun telah kena diperdaya olehnya. Begitu masuk ke dalam kamarnya sendiri, Siau Po langsung menghitung uang yang diberikan So Ngo-tu kepadanya, jumlahnya mencapai empat puluh enam laksa enam ribu lima ratus tail perak, semestinya dia menerima jumlah yang kurang satu laksa, tapi So Ngo-tu memang ingin menyenangkan hatinya dengan mengurangi bagiannya sendiri, dan Siau Po memang senang sekali menerimanya!

Setelah menyimpan uangnya, Siau Po segera mengeluarkan kitab kecil pemberian Tan Kin-lam. Kitab itu berisi ilmu tenaga dalam. Dia langsung duduk bersila dengan sikap orang bersemedi. Tapi belum sampai setengah jam, dia sudah letih dan mengantuk. Karena itu dia pun tertidur pulas.

Keesokan paginya, setelah terjaga dari tidurnya dan membasuh muka serta mengganti pakaiannya kembali, Siau Po pun menghadap raja, Dia menyelesaikan tugas cepat-cepat. 

Siang hari dia kembali ke kamarnya sendiri untuk melatih diri, Tapi, seperti juga kemarin, belum lama berlatih, dia sudah merasa capek dan tertidur

Rupanya kitab ilmu tenaga dalam yang diberikan Tan Kin-lam sangat sulit dipelajari. Untuk berhasil, orang yang mempelajarinya harus mempunyai minat, tekad serta ketekunan yang besar Siau Po cukup cerdas, minat pun ada, sayangnya ketekunannya kurang.

Ketika Siau Po terjaga kembali, hari sudah larut malam, Diam-diam ia berpikir dalam hati.

"Suhu menyuruh aku mempelajari kitab ini, tetapi isinya sama sekali tidak menarik"

Siau Po segera membalikkan halaman kitab itu. Selain gambar orang masih terdapat banyak huruf-huruf di dalamnya, Sayangnya, Siau Po tidak bisa membaca, seandainya bisa, kata-kata dalam kitab itu tentu akan memberikan bantuan kepadanya, Akhirnya Siau Po menarik nafas panjang dan menyimpan kembali kitab itu.

Ketika menerima Siau Po sebagai murid, Tan Kin-lam melakukan satu kesalahan. Dia tidak menanyakan apakah muridnya itu bisa membaca atau tidak. Mungkin bukan hanya Kin Lam yang tidak terpikir sejauh itu.  Mengingat Siau Po sangat disayangi oleh Sri Baginda dan thayhou, orang lain pasti tidak mempunyai keraguan terhadapnya, sebenarnya semua penjelasan itu tidak sulit di mengerti, sayangnya Siau Po memang tidak bisa!

"Bagaimana kalau aku bertemu lagi dengan suhu kelak?" pikirnya sambil rebah di tempat tidur Bagaimana kalau suhu ingin melihat sampai di mana kemajuanku? Tentu suhu akan kecewa....

Kemudian dia bangkit kembali dan mengeluarkan kitab pemberian Tan Kin-lam kemudian dia duduk bersila lagi. Belum berapa lama rasa kantuknya sudah menyerang lagi. Siau Po berusaha mempertahankan diri sekuatnya biarpun matanya terasa berat dan sulit diajak berkompromi.

"Aih! keluh Siau Po dalam hati, "Suhu orangnya baik dan kepandaiannya tinggi sekali, sayang sekali pelajarannya tidak menarik sebagaimana halnya pelajaran Hay kongkong!"

Teringat akan pelajaran Hay kongkong, semangat Siau Po terbangkit kembali, cepat dia mengambil kitab ilmu silat si thay-kam tua itu. Dia segera membukanya dan berlatih menurut gambar yang tertera dalam kitab itu.

Baru bersila tidak berapa lama, Siau Po sudah merasa ada hawa hangat yang mengalir dalam tubuhnya, diam-diam dia berkata dalam hati.

"Menurut keterangan suhu, habis berlatih hawa hangat memang akan keluar Karena kalau aku mempelajari kitab yang diberikan suhu, hawa hangat itu tidak terasa? Mengapa justru terasa begitu cepat kalau aku mempelajari ilmu si kura-kura tua?"

Siau Po juga merasa tubuhnya nyaman sekali.

Mempelajari kedua kitab tersebut, ilmu kepandaian Siau Po maju pesat, Tanpa disadarinya, dia menggabungkan kedua macam ilmu tersebut, Kalau pelajaran yang satu mengalami kesulitan, dia akan beralih kepada pelajaran yang lainnya, demikian pula sebaliknya.

Dalam waktu sembilan hari, Siau Po sudah selesai mempelajari gambar pertama dari kitab Hay kongkong, sementara itu, dia juga tetap dibantu oleh kitab dari gurunya. Setiap kali berlatih, seluruh tubuh Siau Po pasti basah oleh keringat dan terasa nyaman sekali, Namun dia sendiri tidak menyadari kemajuan yang diperolehnya dari gabungan kedua pelajaran itu.

Semakin hari Siau Po semakin bersemangat, asal dia sudah selesai melayani Sri Baginda, dia akan mengunci diri di kamar untuk berlatih. Setiap tanggal dua dan enam belas ada pula thay-kam yang datang mengantarkan uang perak sebesar dua ribu tail untuknya. So Ngo-tu mengeluarkan uang yang tidak sedikit dan membagi-bagikannya kepada beberapa selir raja, thay-kam dan siwi yang berpengaruh atas nama Siau Po. 

Hal ini membuat kedudukan thay-kam gadungan itu semakin kuat, dalam waktu beberapa bulan saja Siau Po sudah disukai oleh berbagai kalangan dalam istana, Di mana saja dia muncul, selalu disambut dengan ramah. Bahkan raja sendiri juga semakin menyayanginya.

Musim gugur telah berlalu, datanglah musim dingin. Suatu hari, di saat Siau Po selesai melayani raja, tiba-tiba dia teringat akan gurunya.

"Suhu telah berpesan, apabila aku mempunyai urusan yang ingin dibicarakan dengan suhu, aku boleh mencari si Ci, penjual koyo di Thianko, walaupun aku tidak mempunyai urusan apa-apa, tapi sekarang aku mempunyai waktu senggang, ada baiknya aku ke tempat itu. Siapa tahu suhu ada di sana! Aku harus bertemu secepatnya, agar kepandaianku mengalami kemajuan!"

Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po keluar dari istana, Setelah jalan berputaran beberapa kali, dia mampir di sebuah kedai teh, Di sana ada tukang dongeng yang sedang bercerita, Siau Po duduk menikmati secawan teh panas sambil memasang telinga mendengarkan Kisah yang dituturkan adalah "Eng Liat-toan." sebetulnya Siau Po sudah sering mendengar cerita yang satu ini, tapi karena tukang dongengnya pintar mengisahkan cerita itu, perhatian Siau Po sampai terpusat penuh. 

Dia terus mendengarkan dan tidak disadari bahwa hari sudah menjelang malam, dengan demikian hari itu dia tidak jadi menemui si Ci penjual koyo tersebut.

Di hari kedua kembali Siau Po keluar dari istana, tapi dia hanya berputar-putar saja, kemudian mendengarkan cerita lagi, Hari itu, pikirannya juga dilanda kebimbangan Dia merasa rindu kepada gurunya, namun dia juga khawatir dirinya akan ditegur, karena pelajarannya yang tidak mengalami kemajuan, bisa-bisa dia dipecat dari jabatannya sebagai hiocu dari Ceng-bok tong....

"Bukankah lebih enak jadi thay-kam saja?" pernah tersirat pikiran itu dalam benaknya, Tapi dia merasa kehidupan seperti ini tiada artinya, meskipun dia bebas melakukan apa saja. 

Namun, dia juga tidak ingin menjabat sebagai seorang hiocu untuk selamanya, Dia memang ingin bertemu dengan gurunya, namun tidak ada kepentingan apa-apa yang harus dibicarakan "Buat apa aku mencari si Ci penjual koyo itu? Kalau sampai mulutku kelepasan bicara atau membocorkan rahasia Tian-te hwe dan menimbulkan bencana bagi perkumpulan itu, celakalah aku!" pikirnya kemudian.

Satu bulan lebih kembali berlalu, dari tujuh puluh dua gambar yang tertera dalam kitab Hay kongkong, dia sudah menguasai dua puluh satu di antaranya. Dia merasa tubuhnya segar dan ringan, gerakan kakinya cepat dan ini membuat hati Siau Po menjadi gembira. Pada suatu hari, Siau Po pergi lagi ke kedai teh. Dia ingin mendengar kisah yang dituturkan si tukang dongeng, Kisah yang dituturkannya masih "Eng Liat-toan" Pelayan kedai itu sudah menyediakan tempat duduk karena mereka semua tahu bahwa dia adalah thay-kam kesayangan Sri Baginda, Siau Po selalu disajikan teh yang baik. Dia juga merasa senang karena orang-orang di sana sangat menghormatinya, Sedikit- sedikit dia dipanggil Kongkong,

Siau Po sedang mendengarkan dengan asyik, ketika ada seseorang yang berdiri di sisinya sambil berkata:

"Numpang duduk!"

Siau Po menolehkan kepalanya dan dia melihat seseorang sudah duduk di sebelahnya. Bocah itu jadi kurang senang, sepasang alisnya menjungkit ke atas.

Orang itu tidak menghiraukan sikap kurang senang yang diperlihatkan Siau Po. Dia malah berkata dengan suara perlahan:

"Aku yang rendah mempunyai koyo yang mujarab dan ingin kujual kepada kongkong. Coba kongkong lihat dulu!"

Siau Po memperhatikan, dia melihat orang itu meletakkan koyo di atas meja. Yang aneh, koyo itu warnanya separuh merah dan separuhnya lagi hijau, Siau Po langsung bertanya:

"Obat apakah itu?"

"Ini obat untuk menghilangkan racun dan menyembuhkan mata yang buta sehingga melek kembali sahut orang itu, Dengan suara yang lirih dia menambahkan "Ada namanya, Ki-ceng Hok-beng!"

"Ki-ceng hok-beng", adalah kata-kata sandi perkumpulan Tian-te hwe Arti sebenarnya memang memusnahkan racun dan membuat mata buta melek kembali Tetapi bagi perkumpulan Tian-te hwe sendiri artinya lain lagi, yaitu mengusir Ceng dan membangun kembali Beng.

Siau Po memperhatikan orang itu Iekat-lekat. Usianya sekitar tiga puluh tahun, tampangnya gagah, dengan demikian orang itu berbeda dengan apa yang pernah dilukiskan oleh gurunya. Menurut gurunya Ci lotau orangnya sudah tua, Tapi dia bertanya juga.

"Berapa harga obatmu ini?"

"Tiga tail uang perak dan tiga tail uang emas."

"Apakah kau mau menjualnya dengan harga lima tail uang perak dan lima tail uang emas?" "Apakah tawaran itu tidak terlalu tinggi?"

"Tidak tinggi, tidak tinggi! Asal obatnya benar-benar manjur, dapat menghilangkan segala macam racun dan dapat pula membuat mata yang buta melek kembali. Bahkan jika benar-benar demikian manjur, aku bersedia menjadi kerbau atau kudamu! Sama sekali tidak mahal!" sahut Siau Po.

Orang itu mendorong obatnya ke hadapan Siau Po sambil berkata lagi dengan suara lirih:

"Kongkong... aku ingin bicara denganmu." Tanpa menunggu sahutan dari Siau Po, dia langsung ngeloyor pergi.

Siau Po segera meletakkan uang dua ratus bun di atas meja, Setelah itu dia bangun dan berjalan pergi, Orang itu berdiri di depan kedai, Melihat Siau Po melangkah keluar, dia segera menuju ke arah timur. Kemudian dia menikung ke sebuah gang kecil, Di tengah jalan dia menghentikan langkah kakinya.

"Bumi bergetar, tanjakan tinggi, parit di pegunungan indah," kata nya. Mendengar ucapannya, Siau Po langsung menyahut.

"Pintu menghadap laut besar. Tiga sungai mengalir menjadi satu laksaan tahun lamanya." Tan-pa menanti jawaban orang itu, dia bertanya, "Tuan, ini paseban merah, tuan dari ruang yang mana?"

"Aku dari Ruang Bunga Merah."

"Berapa hio yang disulut dalam ruangan itu?" tanya Siau Po kembali. "Tiga batang!" sahut orang itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar