Kaki Tiga Menjangan Jilid 11

Jilid 11

Siau Po menceritakan dengan terus-terang, sekali-sekali dia menyelipkan caci maki kepada Go Pay yang dibencinya itu, dia menceritakan bagaimana dia membantu kaisar Kong Hi membekuk pengkhianat yang terkenal sebagai jago nomor satu bagi bangsa Boan itu. 

Yang ditutupinya hanyalah urusan Hay kongkong yang mengajarnya ilmu silat dan kaisar Kong Hi yang ikut membokong Go Pay. Kwan An-ki dan yang lainnya percaya penuh dengan cerita dari Siau Po, sebelumnya mereka memang sudah mendengar tentang seorang thay-kam cilik yang dengan berani ikut membekuk Go Pay. Saking kagumnya, dia sampai menarik nafas panjang dan berkata:

"Go pay terkenal sebagai orang gagah nomor satu bangsa Boan. Kau bukan hanya berhasil membunuhnya, bahkan sebelumnya kau membekuknya terlebih dahuIu, ini  yang dinamakan takdir! Nasib telah menentukan jalan hidupnya harus berakhir seperti itu!"

Tepat pada saat itu, pintu ruangan terbuka, tampak masuk dua orang anggota perkumpulan itu dengan menggotong sebuah usungan Di belakangnya mengiringi Ki Lao-Iiok. Dia segera berkata:

"Cihu, saudara Mau Sip-pat telah diundang datang. "

Siau Po langsung bangun dari tempat duduknya, dia melihat Mau Sip-pat yang terbaring di atas sebuah usungan, pipinya cekung dan matanya celong, wajahnya suram.

"Saudara, a. pakah kau sakit?" tanya Siau Po. perasaannya sedih dan heran 

melihat keadaan sahabatnya.

Mau Sip-pat diundang oleh Ki Lao-liok, dia menduga ada urusan penting yang terjadi di Ceng-bok tong dan dia akan diajak berunding. Tidak disangka-sangka dia melihat Siau Po dan langsung mengenalinya, hatinya gembira sekali.

"Hai, Siau Po!" serunya, "Kau. kau juga berhasil lolos! Oh, betapa aku 

memikirkanmu! Tadinya aku bermaksud menunggu sampai sembuh kemudian menyelinap ke dalam istana untuk menolongmu !"

Hanya beberapa patah kata yang diucapkan oleh Mau Sip-pat, hilanglah kecurigaan orang-orang dalam ruangan itu. Mereka percaya sekarang bahwa bocah itu bukan orang kerajaan Ceng.

Sebetulnya Mau Sip-pat bukan anggota Tian-te hwe, tetapi namanya sudah terkenal di dunia kangouw sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur. Mau Sip-pat juga seorang buronan kerajaan Ceng dengan demikian berarti mereka berada di pihak yang sama.

"Mau toako, apakah kau terluka?" tanya Siau Po khawatir.

Sip-pat menarik nafas dalam-dalam agar dadanya terasa lega.

"Malam itu, ketika aku berniat melarikan diri dari istana, begitu sampai di halaman depan, aku kepergok para siwi, sendirian aku dikeroyok lima siwi tersebut. Dua di antaranya berhasil kubunuh, tapi aku sendiri juga kena terbacok sebanyak dua kali, aku kabur dengan dikejar para siwi itu. sebenarnya aku hampir tidak punya kesempatan lagi untuk menyelamatkan diri, untung saja datang saudara-saudara dari Tian-te hwe ini yang memberikan bantuan. Apakah kau juga ditolong oleh saudara-saudara dari Tian te hwe ini?" Pertanyaan itu membuat Kwan An-ki dan yang lainnya menjadi malu hati, mereka jengah sebab bukan mereka menolong Siau Po melarikan diri dari istana, tetapi mereka justru membekuk dan menculiknya dari sana....

Namun, tidak disangka-sangka Siau Po tidak mempermalukan mereka.

"Benar! Di istana, si thay-kam tua memaksa aku menjadi thay-kam cilik seperti dia sendiri. Baru hari ini aku mendapat kesempatan meloloskan diri, untunglah aku bertemu dengan bapak-bapak dari Tian-te hwe ini!"

Semua anggota Tian-te hwe menghembuskan nafas lega mendengar ucapan Siau Po. Muka mereka benar-benar dibuat terang, mereka menjadi bersyukur karena kehebatan bocah ini.

"Mari kita istirahat di dalam," ajak Ki Lao-liok kemudian. Mereka berbicara di ruang sembahyang bersama yang lainnya.

Lukanya Mau Sip-pat parah sekali, meskipun selama setengah tahun ini dia sudah berobat dengan berganti-ganti tabib, tapi masih belum sembuh secara keseluruhan. Ketika dia digotong keluar barusan, usungannya berguncang-guncang sehingga lukanya terasa nyeri kembali. 

Saking menahan rasa nyeri itu, Mau Sip-pat sampai tidak sanggup berbicara, padahal banyak yang ingin dibicarakannya dengan Siau Po. Mereka telah terpisah begitu lama dan selama ini mereka saling memikirkan sehingga perasaan mereka tidak pernah tentram. 

Hati Siau Po justru yang paling lega, "Biar bagaimana, tidak mungkin mereka membunuhku.,." pikirnya dalam hati, Tadinya dia cemas orang-orang perkumpulan Tian-te hwe itu tidak percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang thay- kam bangsa Boan.

Ketika Sip Pat beristirahat dengan menahan rasa nyerinya, Siau Po sudah tertidur pulas di atas kursi, Tubuhnya meringkuk.

Tengah malam, Siau Po merasa tubuhnya dibopong kemudian dipindahkan ke atas pembaringan lalu ditutupi sehelai selimut. Ketika dia terjaga dari tidurnya yang nyenyak, segera muncul seseorang yang membawakan sebaskom air untuk membasuh muka, Kemudian dia juga dibawakan semangkuk bakmi dan secawan teh.

"Semakin lama semakin baik perlakuan mereka terhadapku," pikir Siau Po. "Senang sekali diperlakukan seperti orang dewasa." Namun ketika dia membuka pintu kamar, hatinya langsung tercekat Di luar kamar ada orang yang berdiri tegak, demikian pula di luar jendela, Apakah orang-orang itu sedang mengawasinya secara diam-diam karena khawatir dia akan melarikan diri? Tapi Siau Po memang cerdik, dia pura-pura tidak melihat mereka. "Kalau mereka benar-benar menganggap aku sebagai tamu, mengapa aku harus diawasi?" pikirnya lagi, Tapi Siau Po tidak takut Dia berkata dalam hati, "Hm! Kalian ingin menjaga aku, Wi Siau-po? Aku mau keluar, ingin kulihat bagaimana caranya kalian empat manusia tolol bisa mencegahku?"

Diam-diam Siau Po mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar itu, dia segera mendapatkan akal yang bagus. Tiba-tiba dia membentangkan jendela sebelah timur keras-keras sehingga menimbulkan suara yang gaduh.

Ke empat penjaga itu terkejut setengah mati. Serempak mereka menoleh ke arah sumber suara. Tepat pada saat itu Siau Po menghentak pintu kamarnya lalu membantingnya dengan keras dan secepat kilat dia menyusup ke kolong tempat tidur.

Kembali keempat orang itu terkejut. Apalagi setelah melihat bahwa jendela dan pintu kamar sudah terbuka lebar, hati mereka tercekat Mereka ditugaskan untuk mengawasi bocah itu, tetapi sekarang mereka yakin Siau Po sudah kabur.

"Ayo!" teriak mereka serentak, dengan gugup mereka lari ke dalam kamar.

Mau Sip-pat masih tertidur dengan nyenyak namun bocah itu sudah tidak kelihatan. "Bocah itu pasti belum jauh! Lekas kalian berpencar mengejarnya!" kata penjaga 

yang satu. "Aku akan memberikan laporan!"

"Baik!" sahut ketiga kawannya, kemudian mereka pun berpencaran yang satu menuju luar dan dua lagi naik ke atas genteng, sedangkan yang satu lagi segera masuk ke dalam.

Begitu orang-orang itu meninggalkan kamarnya, Siau Po segera keluar dari kolong tempat tidur. Sengaja dia mengeluarkan suara batuk-batuk kemudian dengan tenang melangkah ke arah aula. 

Dia membuka pintu dan tampaklah Kwan An-ki sedang duduk bersama Ki Lek-si, sedangkan penjaga tadi sedang memberikan laporan. Tampaknya orang itu panik sekali sampai-sampai bicaranya pun tersendat dan tiba-tiba ucapannya terhenti ketika dia melihat si bocah muncul di depan pintu.

Mulutnya mengeluarkan seruan tertahan da matanya menatap dengan membelalak. Sikap Siau Po tenang sekali, dia menganggukkan kepalanya pada kedua tokoh 

Ceng-bok tong itu.

"Lie toako! Kwan hucu! selamat pagi! Apa kabar?" seenaknya saja Siau Po memanggil Lie toako dan Kwan hucu seperti anggota Tian-te hwe lainnya.

Kwan An-ki dan Lie Lek-si saling pandang sejenak. "Sudah pergi!" bentak Kwan An-ki pada si penjaga. "Dasar manusia tidak berguna!"

Penjaga itu menganggukkan kepalanya berkali-kali dan cepat-cepat keluar dari ruangan aula, Kwan An-hi menoleh kepada Siau Po dan berusaha bersikap sewajar mungkin.

"Silahkan duduk! Apakah tidurmu nyenyak tadi malam?"

"Terima kasih, Kwan hucu," sahut Siau Po sambil tersenyum, "Tidurku nyenyak!"

Tepat pada saat itu jendela aula tersebut tiba-tiba terpentang lebar, dua orang melompat ke dalam sambil berseru.

"Kwan hucu, bocah itu kabur entah kemana!"

Kata-katanya mendadak berhenti sebab dia melihat Siau Po sudah duduk di dalam ruangan bersama para pemimpinnya.

"Dia... dia!" Satu di antaranya menunjuk ke arah Siau Po dengan sikap gugup dan bingung.

Siau Po tidak dapat menahan kegelian hatinya, Dia tertawa terpingkal-pingkal. Menurutnya, kejadian itu lucu sekali.

"Kalian empat orang dewasa benar-benar tidak ada gunanya! Seorang bocah cilik pun tidak sanggup diawasi. Kalau aku memang berniat melarikan diri, sejak tadi aku sudah menghilang!"

Ta... pi, tapi bagaimana caranya kau bisa keluar dari kamar itu? Apakah mata kami yang sudah kabur?" kata salah seorang penjaga itu keheranan "Kami tidak melihat bayangan siapa-siapa dan tahu-tahu kau sudah lenyap. Aneh sekali!" Siau Po tertawa.

"Aku menguasai ilmu melenyapkan diri tanpa terlihat oleh siapa pun, sayangnya ilmu itu tidak bisa aku ajarkan kepada kalian!"

Kwan An-hi mengernyitkan keningnya mendengar pembicaraan mereka, Kemudian dia mengibaskan tangannya.

"Kalian boleh mundur sekarang!" katanya, "Tidak heran! pantas!" seru kedua orang itu dengan pandangan kagum, Mereka percaya dengan penuh ocehan bocah itu. Setelah itu mereka memberi hormat kepada Kwan An-ki dan Lie Lek-si, lalu mengundurkan diri.

Lie Lek-si tertawa lebar. "Saudara kecil, usiamu masih muda sekali, tapi otakmu sungguh cerdik. Kami benar-benar kagum kepadamu!" Belum sempat Siau Po memberikan komentar tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara derap kuda, Dapat diduga bahwa ada serombongan orang berkuda yang sedang mendatangi ke arah tempat tersebut.

Kwan An-ki dan Lie Lek-si langsung melompat bangun dari tempat duduknya. "Mungkinkah pasukan Boan yang datang?" tanya Lie lek-sie dengan suara Iirih.

Kwan An-ki menganggukkan kepalanya, dia segera menyelipkan kedua jari telunjuk dan jempolnya disela-sela bibir kemudian bersuit tiga kali. Lima anggota Tian-te hwe segera menghambur ke dalam.

"Semua bersiap!" kata Kwan An-hi "Lie Iao-liok, kau lindungi saudara Mau Sip-pat. Kalau pasukan itu jumlahnya besar, jangan lawan mereka dengan kekerasan. Kita mundur teratur seperti rencana semula."

Kelima orang itu segera mengiakan lalu mundur, semua anggota Ceng-bok tong segera bersiap sedia.

"Saudara kecil, mari ikut denganku!" kata Kwan An-ki.

Tepat pada saat itulah, seorang penunggang kuda menghambur datang dengan cepat sambil berseru:

"Cong tocu tiba!"

"Apa?" Kwan An-ki dan Lie Lek-si terhenyak seketika, Yang di maksud dengan Cong tocu adalah ketua dari markas pusat.

"Cong tocu datang bersama kelima tongcu lainnya," kata pembawa berita itu menerangkan "Mereka datang dengan menunggang kuda!"

Dari terkejut, Kwan An-ki dan Lie Lek-si menjadi senang sekali. "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Aku bertemu dengan Cong tocu di tengah jalan, dan aku diperintahkan untuk berjalan duluan agar dapat memberi kabar kepada kalian," sahut orang baru datang itu.

Tampaknya dia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa sehingga nafasnya masih tersengal sengal.

"Kau istirahatlah!" perintah Kwan An-ki yang kemudian memanggil orang-orangnya dan lalu menjelaskan "Yang datang bukan pasukan Boan, tetapi Cong tocu dengan kelima tongcu lainnya, Sekarang kalian bersiap-siap untuk mengadakan penyambutan!" Perintah itu segera disiarkan Para anggota perkumpulan itu pun sibuk mengadakan penyambutan, sementara itu, Kwan An-ki menarik tangan Siau Po.

"Saudara kecil, Cong tocu kami datang. Mari kita menyambutnya!"

Bocah itu hanya mengangguk lalu mengikutinya, Lie Lek-si dan yang lainnya pun ikut keluar. Dalam sekejap mata, orang-orang dari bagian Ce bok tong perkumpulan Tian-te hwe yang jumlahnya tiga ratus orang lebih sudah berbaris rapi, semuanya tampak bersemangat.

Mau Sip-pat ikut menyambut, dia digotong oleh dua orang.

"Saudara Mau, kau adalah tamu kami, seharusnya tidak perlu sungkan seperti ini," kata Lie Lek-si.

"Tapi, aku sudah lama mendengar nama besar Cong tocu yang ibarat petir menyambar di angkasa, Sudah selayaknya kalau hari ini aku menemuinya, Aku sudah merasa puas dapat bertemu dengannya walaupun setelahnya aku akan mati!" sahut Mau Sip-pat antusias.

"Lie Lek-si terharu mendengar ketulusan Mau Sip-pat. Suara derap kaki kuda semakin jelas, tampaklah belasan penunggang kuda sedang mendatangi. Tiga di antaranya segera mendahului yang lainnya, Begitu tiba, mereka langsung melompat turun dari kuda masing-masing.

Lie Lek-si menyambut ketiga orang itu, mereka langsung berjabat tangan dengan akrab sekali, Siau Po mendengar seseorang berkata.

"Cong tocu ada di depan menunggu, Lie toako, Kwan hucu dan saudara-saudara yang lain, mari kita menyambutnya!"

Lie Lek-si menganggukkan kepalanya, Bersama-sama Kwan An-ki, Ki Piu-ceng, Cui toucu beserta yang lainnya segera keluar. Mau Sip-pat merasa kecewa.

"Apakah Cong tocu tidak datang kemari?" tanyanya pada seseorang, Dia tidak memperoleh jawaban, tampang yang lainnya juga menyiratkan kekecewaan yang sama sepertinya.

Sesaat kemudian, datang lagi seorang penunggang kudanya yang langsung menyebutkan nama tiga belas orang, ketiga belas orang inilah yang sedang dinantikan oleh Cong tocu mereka.

"Mau toako," panggil Siau Po. "Bukankah usia Cong tocu itu sudah lanjut sekali?" Mau Sip-pat tidak diajak oleh rombongan yang menyambut ke depan. "A... ku belum pernah melihatnya," sahut Ma Sip-pat dengan nada kecewa, "Berapa banyak orang dunia kangouw yang ingin bertemu dengannya namun ini memang bukan hal yang mudah..."

Siau Po merasa tidak puas melihat sikap Ma Sip-pat.

"Huh! Banyak amat lagaknya! Apanya yang hebat? Lohu sih tidak berniat bertemu dengannya." katanya terus-terang.

Tiga ratusan anggota Ceng-bok tong masih berbaris menanti, namun ada beberapa di antaranya yang sudah merasa pegal sehingga duduk berjongkok.

"Tuan Mau," kata seseorang di antaranya, " baiknya tuan Mau istirahat saja di dalam, kalau Cong tocu datang, nanti kami akan kirim orang untuk memberitahukannya kepadamu."

"Tidak!" sahut Sip pat sambil menggeleng kepalanya, pada dasarnya adat orang yang satu ini memang keras sekali Siau Po yang paling tahu persis. 

"Biar aku menunggu di sini sampai Cong tocu datang, Kalau aku tidak berbuat demikian, itu namanya aku tidak menghormatinya, Entahlah, apakah dalam hidup ini aku mempunyai peruntungan untuk bertemu dengannya atau tidak."

Siau Po hanya mendengarkan dengan berdiam diri, memang sejak di Yang-ciu, Mau Sip-pat sudah menyatakan kekagumannya kepada Tocu perkumpulan Tian te hwe ini, itulah sebabnya dia mendumel terus karena keinginannya untuk bertemu demikian kuat.

Beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara derap kaki kuda, serentak semua orang yang sedang duduk maupun berjongkok langsung berdiri, mereka menjulurkan kepalanya ke depan dengan harapan ada panggilan lagi dari tocu atau ketua pusat mereka.

Kali ini muncul empat orang penunggang kuda, salah satunya yang menjadi pemimpin langsung menghampiri Mau Sip-pat kemudian menjura daIam-dalam.

"Cong tocu mengundang tuan Mau Sip-pat dan tuan Wi Siau Po untuk bertemu muka!"

Bukan main senangnya hati Mau Sip-pat. Dia sampai meloncat turun dari usungannya, namun sesaat kemudian dia langsung menjerit keras dan roboh jatuh. Kegembiraan yang meluap-luap membuat dirinya lupa bahwa tubuhnya masih menderita sakit, tapi dia menahan rasa nyeri itu.

"Mari kita pergi!" katanya penuh semangat. Wi Siau Po juga senang sekali Tapi alasannya lain dengan Mau Sip-pat. "Orang biasanya memanggil aku dengan sebutan kongkong, sehingga aku merasa sebal, Baru kali ini ada yang memanggil aku tuan. Ya, baru pertama kali! Tuan Wi Siau Po!" pikirnya antusias.

Mau Sip-pat mengucapkan terima kasih. Dua orang segera menggotongnya ke atas usungan. sedangkan seorang lainnya menyodorkan seekor kuda kepada Siau Po agar bocah itu menungganginya.

Sejenak kemudian semuanya berjalan beriringan, mereka membelok ke kanan di mana ada sebuah jalan kecil. Di antara jarak tertentu, selalu ada dua atau tiga orang yang melakukan penjagaan Ada yang berdiri dan ada juga yang duduk. 

Setiap melewati orang-orang itu, utusan yang ditugaskan menjemput Mau Sip-pat dan Siau Po selalu menunjukkan dua atau tiga jari tangannya. Hanya saja gerakan tangannya berbeda-beda, Rupanya itu semacam kode di antara mereka.

Baik Mau Sip-pat maupun Siau Po sama-sama tidak mengerti arti kode itu, yang jelas itulah tanda rahasia dari perkumpulan Tian-te hwe.

Mereka berjalan terus sejauh dua belas atau tiga belas li. akhirnya mereka tiba di depan sebuah gedung yang besar dengan pekarangan yang luas sekali, Di sana juga terdapat puluhan penjaga.

Orang yang menjadi utusan itu segera melompat turun dari kudanya dengan diikuti rekan-rekannya yang lain, mereka menggerakkan tangannya memberi isyarat. Melihat itu, seorang penjaga langsung berkata dengan suara Iantang, "Tamu-tamu sudah datang!" 

Pintu gerbang pun segera dibuka, muncullah Lie Lek-si bersama Kwan An-ki dan dua orang lainnya yang belum pernah dilihat oleh Mau Sip-pat maupun Siau Po. Mereka semua menjura dengan merangkapkan kedua tangannya dan salah satu dari kedua orang itu segera berkata.

"Tuan Mau, Tuan Wi, selamat datang! Cong tocu kami sudah menunggu kalian berdua!"

Bukan main senangnya hati Siau Po. Diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Ah, benar-benar aku sudah tua!" sementara itu, Sip Pat berusaha untuk bangkit, tapi dia langsung terjatuh kembali sambil menahan nyeri.

"Aduh, bagaimana aku harus memberi hormat kepada Tocu. Aduh!"

"Sudahlah, Tuan Mau," kata Lie Lek-si. "Kau toh sedang terluka, Tidak usah banyak peradatan!" Siau Po bergegas membalas penghormatan mereka, Sip Pat langsung digotong kembali menuju aula pertemuan.

Sampai di sana, seorang penjaga berkata kepada Siau Po.

"Tuan Wi, harap tunggu sebentar di sini! Cong tocu ingin berbicara lebih dulu dengan Tuan Mau!"

Siau Po mengangkat bahunya dengan tampang apa boleh buat, Mau Sip-pat langsung diusung ke dalam, Siau Po dipersilahkan duduk, teh dan beberapa macam kue segera disajikan di depannya, Siau Po mencicipi sepotong kue. Dia berkata dalam hati.

"Kue ini lain sekali rasanya dengan kue yang dihidangkan dalam istana."

Karena kue yang tidak lezat itu, pandangan Siau Po terhadap Cong tocu perkumpulan Tian-te hwe agak meremehkan Tapi karena perutnya lapar, dia makan cukup banyak juga.

Kurang lebih setengah kentungan kemudian, Lie Lek-si dan yang lainnya muncul lagi, Kali ini yang mengiringinya ada seorang kakek yang janggutnya sudah memutih dan panjang sekali. Dia mengatakan kepada Siau Po bahwa ketua mereka sudah menunggu di dalam.

Saat itu Siau Po sedang makan sepotong kue, mendengar kata orang tua itu, dia repot membersihkan mulutnya dan mengelapkan tangannya di pakaian lalu menjura kepada beberapa orang itu. Akhirnya dia diajak ke ruangan dalam.

Sampai di depan sebuah ruangan, orang tua itu langsung menyingkap tirai penyekatnya sambil berkata.

"Siau Pek-liong Wi Siau-Po sudah datang!"

Mendengar kata-kata itu, hati Siau Po merasa heran juga senang, Tadi dia dipanggil dengan sebutan tuan, sekarang malah ada yang menyebut julukannya Siau Pek-liong atau si naga kecil putih.

"Pasti Mau toako sudah menceritakan semuanya sehingga mereka tahu julukanku!" pikirnya dalam hati.

Di dalam ruangan tampak seorang laki-laki setengah baya bangun dari duduknya dan menyambut Siau Po dengan senyuman Iebar. "Silahkan masuk!" katanya, Siau Po langsung masuk ke dalam kamar Kwan An-ki segera memperkenalkan inilah Tan Cong tocu kami!"  Siau Po mendapat kenyataan bahwa orang ini mempunyai sifat penyabar namun sepasang matanya menyorotkan kewibawaan besar Diam-diam hatinya tercekat dan tanpa disadari dia menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat.

Laki-laki setengah baya dengan dandanan sastrawan itu tersenyum ramah. "Bangunlah!" katanya sambil mencekal lengan Siau Po. "Tidak perlu banyak 

peradatan!"

Siau Po terkejut juga heran, Cekalan tangan ketua perkumpulan Tian-te hwe itu membuat tubuhnya terasa panas dan bergetar Dia tidak sanggup berlutut lebih lama.

"Saudara kecil, kau telah membinasakan Go Pay yang terkenal sebagai orang gagah nomor satu bangsa Boanciu. Dengan demikian berarti kau telah membalaskan sakit hati orang banyak yang menjadi korban keganasan si jahat itu. Karena itu pula, dalam waktu yang singkat namamu sudah terkenal kemana-mana, Kau benar-benar orang langka yang sulit dicari duanya di dunia ini!"

Sebetulnya Siau Po termasuk manusia kulit badak, Biasanya dia akan menerima pujian seperti itu dengan bangga, Tapi kali ini, mendengar suara Tan Cong tocu yang demikian lantang dan berwibawa, wajahnya jadi merah padam.

Laki-laki setengah baya itu menunjuk ke arah sebuah kursi. "Silahkan duduk!"

Siau Po menurut, dia duduk di tempat yang ditunjuk sambil mengucapkan terima kasih. Sementara itu, Lie Lek-si dan yang lainnya tetap berdiri dengan tangan lurus ke bawah.

Cong tocu itu tersenyum dan berkata kemba "Menurut tuan Mau Sip-pat, saudara kecil telah membinasakan seorang kepala siwi di gunung Te Seng San wilayah Yangciu, Untuk seorang yang baru tampil di dunia kangouw, jasamu ini sudah terhitung besar sekali, Saudara kecil, dapatkah menceritakan bagaimana caranya kau dapat membunuh Go Pay, si manusia dorna itu?"

Perlahan-lahan Siau Po mengangkat kepala, ketika pandangan matanya bertemu dengan sinar mata tokoh Tian-te hwe itu, jantungnya langsung berdegup-degup dengan keras. Dia tidak berani berbohong. 

Karena itu, dia segera menceritakan dengan terus-terang perihal terbekuknya Go Pay dan bagaimana dia berhasil membunuhnya ketika masih berada dalam kamar tahanan, Dia juga tidak menutupi bahwa dia disayang oleh kaisar kerajaan Ceng.

Ketua Tian-te hwe itu menganggukkan kepalanya berkali-kali mendengarkan penuturan Siau Po. "Kiranya begitu! Saudara kecil, dengan demikian berarti ilmu silatmu lain alirannya dengan tuan Mau. Di luar tampaknya kau seperti menguasai ilmu Siaulim pai, sedangkan di dalamnya kau memahami ilmu Kong tong pai! Saudara kecil, bolehkah aku mengetahui siapa gurumu itu?"

Diam-diam Siau Po merasa terkejut dan kagum.

"Benar-benar tajam mata Cong tocu ini. Dari ceritaku saja dia dapat menebak aliran ilmu yang kupelajari pikirnya.

Cong tocu tersenyum melihat Siau Po yang terdiam.

"Aku dapat melihatnya dari gerak-gerikmu. caramu berjalan menunjukkan bahwa kau adalah orang Siau lim pai. Aku tidak dapat menduga sampai mana dasar tenaga dalam yang kau miliki. Tapi dari cckalanku tadi, aku tahu kau mempelajari inti tenaga dalam Kong tong pai. Terus-terang saja, aku juga heran dengan bercampur aduknya ilmu yang kau pelajari itu."

"Sebenarnya si kura-kura tua itu tidak mengajarkan aku ilmu silat yang sejati, hanya mengajarkan dengan keliru saja," sahut Siau Po.

Pengetahuan Cong tocu dari perkumpulan Tian-te hwe ini luas sekali, tapi dia tidak pernah mendengar adanya orang yang dijuluki si kura-kura. Karena itu dia memandang Siau Po dengan heran.

"Siapa si kura-kura tua itu?" Siau Po tertawa.

"Si kura-kura tua adalah Hay kongkong! Nama aslinya Hay Tai-hu, Aku dan Mau toako ditawan olehnya kemudian dibawa ke istana." Berkata sampai di situ, Siau Po terkejut sendiri. Dia khawatir Mau Sip-pat sudah menceritakan semuanya denga terus- terang kepada Cong tocu ini. Apalagi sebelumnya dia mengaku ditangkap oleh Go Pay namun sekarang dia mengatakan bahwa Hay kon kong yang menawannya.

Otaknya bekerja dengan cepat Dia segera menambahkan. "Kura-kura tua itu mendapat perintah dari Go Pay, dialah yang menawan kami. Go Pay adalah seorang menteri yang kedudukannya tinggi sekali, Tentu dia merasa gengsi turun tangan sendiri!"

Cong tocu diam-diam berpikir dalam hatinya, "Hay Tai-hu? Hay Tai-hu? Apakah di dalam partai Kongtong pai ada tokoh sehebat itu?"

"Eh, saudara kecil, coba kau mainkan beberapa jurus ilmu yang diajarkannya kepadamu," kata tocu itu kemudian Siau Po merasa malu menunjukkan ilmu yang belum matang itu. Karena itu dia berkata.

"Si kura-kura tua hanya mengajarkan aku ilmu palsu, Dia sangat membenci aku, sebab aku telah membuat matanya menjadi buta, itulah sebabnya dia menggunakan akal apa saja untuk mencelakakan aku, ilmu ajarannya tidak pantas dilihat orang!" 

Cong tocu tidak memaksa, dia hanya mengibaskan tangannya, Kepalanya manggut beberapa kali, Dia mengerti Siau Po tidak ingin menunjukkannya di hadapan orang banyak.

Tentu saja Kwan An-ki dan yang lainnya juga maklum. Mereka segera mengundurkan diri. Pintu ruangan itu pun ditutup rapat, Cong tocu bertanya lagi kepada Siau Po.

"Bagaimana caranya kau membutakan mata si kura-kura tua itu?"

Siau Po merasa serba salah menghadapi orang yang mempunyai wibawa besar seperti Cong tocu ini, karenanya dia mengambil keputusan untuk berbicara sejujurnya, Dia pun menceritakan bagaimana dia meracuni Hay kongkong sehingga matanya buta. Dia juga menceritakan tentang Siau Kui cu yang dibunuhnya kemudian dia menyaru sebagai si thay-kam cilik itu.

Cong tocu terkejut sekaligus merasa lucu, Dia menganggap bocah ini memang luar biasa, otaknya cerdik dan nyalinya pun besar, Tapi dia masih ingin menguji apakah bocah ini bicara sejujurnya atau tidak. Tiba-tiba tangannya menjulur ke depan secepat kilat ke arah selangkangan Siau Po. Dalam sekejapan mata dia sudah menarik tangannya kembali sambil menghela nafas lega. Ternyata bocah ini memang belum dikebiri.

"Bagus! Bagus!" katanya kemudian sambil tertawa, "Tadinya aku masih ragu sehingga sulit rasanya mengambil keputusan, ternyata kau memang belum dikebiri, saudara kecil!" Tangan kirinya menepuk meja seakan teringat sesuatu yang penting.

"Aih! inilah yang harus aku lakukan, Ya, dengan demikian saudara In ada keturunannya dan Cen bok tong pun ada yang memimpin."

Siau Po bingung, Dia tidak mengerti apa ya dikatakan Cong tocu itu. Karenanya dia hanya memperhatikan dengan seksama. Hatinya lega melihat wajah Cong tocu itu berseri-seri. Kalau laki-laki itu berwajah kelam, hatinya pasti akan gentar menghadapinya.

Cong tocu itu memangku tangannya sambil berjalan mondar-mandir. Terdengar dia menggumam seorang diri.

"Apa yang dilakukan oleh perkumpulan Tian-hwe adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan orang lain sebelumnya. semuanya boleh dibilang akulah yang bertindak, segala perbuatan yang mengejutkan orang banyak, Namun, apa artinya semua ini?"

Siau Po masih memperhatikan terus, Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Cong tocu itu.

"Di sini hanya ada kita berdua, Kau tidak perlu malu-malu. Coba kau mainkan seluruh ilmu silat yang pernah diajarkan Hay Tai-hu kepadamu, Aku ingin melihatnya, tidak perduli ilmu itu asli atau palsu," katanya kemudian.

Baru sekarang Siau Po mengerti mengapa Kwan An-ki dan yang lainnya disuruh mengundurkan diri.

"Kalau ajaran Hay kongkong tidak benar, harap jangan ditertawakan," kata bocah itu. "Tentang itu kau tidak perlu khawatir," sahut Cong tocu sambil tersenyum.

Siau Po tidak berani banyak bicara lagi, Dia segera menjalankan Taycu Taypi Cian- yap jiu yang diajarkan oleh Hay kongkong, Cong tocu memperhatikan dengan seksama sejak awal sehingga selesai Kepa-lanya manggut-manggut,

"Bagus! Rupanya kau juga pernah mempelajari ilmu Taykim-na hoat dari Siaulim pai, benar kan?"

Siau Po menganggukkan kepalanya, tadinya dia tidak berniat menunjukkan tetapi ternyata Cong tocu ini dapat mengetahui segalanya dengan tepat. Dia pun tidak berani menutupi lagi,

"Tujuan si kura-kura tua mengajarkan ilmu padaku hanya untuk menguji ilmu kaisar," katanya, Dia pun segera memainkan jurus-jurus ilmu Taykim-na hoat tersebut.

Cong tocu tertawa. "Bagus!"

"Sudah sejak semula aku tahu akan ditertawakan!" sahut Siau Po setengah menggerutu.

"Aku tidak menertawakan, justru aku senang melihatnya," kata Cong tocu sambil tersenyum. "Daya ingatmu baik sekali dan kecerdasan otakmu juga sukar dicari tandingannya. Kau seorang anak yang berbakat. Barusan kau memainkan jurus Pek be huan te (Kuda putih mengais tanah) sebetulnya Hay kongkong memang sengaja mengajarkanmu secara keliru, tapi ketika kau menjalankan sampa jurus Le-hi toksu (lkan lele melompat-lompat) kau dapat mengikuti perubahannya, Bagus sekali!"

Mendengar kata-kata Cong tocu itu, Siau Po berpikir dalam hatinya. "Rupanya ilmu Cong tocu ini jauh lebih tinggi dari Hay kongkong. Kalau dia sudi mengajarkan ilmu silat kepadaku, tentu aku akan lihay sekali. Tidak perlu lagi aku menjadi pahlawan gadungan, aku bisa menjadi seorang pendekar besar."

Tanpa terasa dia melirik ke arah Cong tocu, tidak tahunya saat itu sang ketua perkumpulan Tian-te hwe itu juga sedang mengawasinya dengan tajam.

Biasanya Siau Po sangat berani, meskipun terhadap kaisar Kong Hi maupun Hong thayhou dia juga tidak merasa takut, namun menghadapi tokoh yang satu ini, entah mengapa dia tidak tahan menatap sinar matanya yang tajam dan mengandung wibawa itu.

"Tahukah kau apa tujuan utama Tian-te hwe?" tanya Cong tocu dengan nada sabar. "Tian-te hwe ingin membantu bangsa Han membasmi bangsa Tatcu, Bahkan kalau 

mungkin ingin membangkitkan kembali kerajaan Beng!" sahut Siau Po.

Cong tocu menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Benar! sekarang aku ingin bertanya, maukah kau masuk menjadi anggota Tian-te hwe dan menjadi saudara kami semua?"

Siau Po senang sekali mendengar tawaran itu, "Bagus! Bagus sekali!" Selama di Yangciu, sudah sering Siau Po mendengar sepak terjang yang dilakukan perkumpulan itu. Dan sebenarnya perkumpulan itu bukan rahasia lagi bagi rakyat maupun pihak kerajaan, Semua orang sudah mengetahuinya. Dan Siau Po sendiri sudah Iama sekali mengaguminya, "Cuma, aku khawatir... aku tidak mempunyai peruntungan untuk masuk sebagai anggotanya."

"Kalau ada niatmu untuk masuk menjadi anggota perkumpulan kami, sebetulnya tidak sulit, hanya ada satu hal yang harus kau ketahui, perkumpulan kami mempunyai peraturan yang keras. Siapa yang melanggarnya, baik sengaja atau tidak, akan mendapat hukuman berat. Karena itu kau harus mempertimbangkannya matang- matang!"

"Mengenai hal itu, aku sudah tahu, Karena nya aku tidak perlu pertimbangkan lagi," sahut Siau Po. "Apa pun peraturan kalian, akan kutaati semuanya. Cong tocu, asal kau bersedia menerima aku menjadi anggota, sulit rasanya melukiskan kegembiraan hatiku ini."

Senyum di wajah Cong tocu sirna seketika, "Urusan ini sangat penting. Menyangkut soal mati dan hidup, bukan sebuah permainan seperti yang kau bayangkan!" kata Cong tocu dengan tampang serius.

"Aku mengerti, Cong tocu, Aku pun tidak berani menganggapnya sebagai permainan, Sudah lama aku mendengar tentang perkumpulan Tian-te hwe yang melakukan berbagai perbuatan mulia, Sepak terjangnya selalu menggetarkan langit dan bumi! Hal sepenting ini mana boleh dianggap permainan anak kecil?" "Bagus kalau kau memang mau tahu?" kat Cong tocu itu kembali Bibirnya tersenyum. "Untuk masuk menjadi anggota Tian-te hwe ada dua puluh enam sumpah yang harus kau ucapkan dan sepuluh larangan yang tidak boleh kau langgar, kalau tidak, maka bisa mendapat hukuman berat!"

Sewaktu mengucapkan kata-kata ini, suara Cong tocu itu serius dan berwibawa sekali, Terdengar dia menambahkan kembali: "Di antaranya ada beberapa aturan yang belum berlaku padamu, mengingat usiamu yang masih kecil, namun ada satu peraturan yang harus kau ingat baik-baik, bunyinya begini: Seorang anggota perkumpulan kami harus jujur dan lurus, tidak boleh berdusta atau berpura-pura! Nah, dapatkah kau mentaati peraturan yang satu ini?"

Siau Po tertegun, Dia menatap ketua pusat itu lekat-lekat.

"Terhadap Cong tocu sendiri, sudah pasti aku tidak berani berdusta, Tetapi bagaimana dengan saudara-saudara yang lain? Toh, tidak mungkin aku bicara sejujurnya sampai ke hal-hal yang paling kecil?"

“Tentu saja urusan kecil tidak masuk hitungan, Yang dimaksudkan di sini adalah urusan penting dan yang menyangkut orang banyak!" sahut Cong tocu.

"Baik!" sahut Siau Po. "Ada lagi, bolehkah aku berjudi dengan saudara-saudara yang lain? Bolehkah aku menggunakan cara-cara tertentu untuk mengakali orang lain?"

Cong tocu memperhatikan Siau Po dengan tajam. Dia tidak menyangka bocah sekecil itu akan mengajukan pertanyaan demikian, namun dia tetap tersenyum.

"Berjudi itu tidak, meskipun perkumpulan kami tidak memiliki aturan khusus yang melarangnya. Demikian pula dengan mengakali orang, perkumpulan kami juga tidak memiliki larangan untuk hal yang satu ini. Tapi kau harus ingat, apabila kebohongan atau kecuranganmu diketahui oleh saudara yang lain, ada kemungkinan kau akan dihajar setengah mati. Apakah kau mau kepalamu dikemplangi orang banyak hanya karena hal yang tidak berarti?"

Siau Po tertawa lebar mendengar kata-kata Cong tocu itu. Hal ini membuktikan bahwa bagaimanapun Siau Po masih seorang bocah yang polos namun keberaniannya patut dipuji

"Pasti mereka tidak tahu kalau telah diakali. Lagipula, dalam berjudi, aku tidak perlu menggunakan akal apa pun karena sembilan puluh persen uang mereka akan pindah ke kantongku!"

Cong tocu itu enggan membicarakan soal perjudian Hal itu memang tidak dilarang, Demikian juga minum arak. Kedua hal itu memang suka dilakukan orang-orang gagah meskipun dia sendiri kurang menyenanginya. "Sekarang ada satu hal lagi yang ingin kutanya kan kepadamu, maukah kau mengangkat aku sebagai guru?" tanya Cong tocu.

Siau Po tertegun, tapi hanya sebentar, hatinya senang tidak terkatakan. "Oh!" Dia langsung menjatuhkan diri berlutut di depan Cong tocu kemudian 

menyembah berkali-kali dan memanggil: "Suhu!"

Kali ini Cong tocu membiarkan saja. Setelah Siau Po menyembah sampai belasan kali, baru dia menghentikannya. "Sudah cukup!"

Siau Po pun berdiri, wajahnya berseri-seri menunjukkan hatinya yang gembira sekali. "Sekarang kau dengar baik-baik," kata Cong tocu, "Aku she Tan bernama Kin-lam. 

Nama Tan Kin-Iam ini hanya nama yang dipakai dalam perkumpulan kita, Kau telah 

menjadi muridku, ada baiknya kau tahu namaku yang asIi, yaitu Tan Eng-hoa."

Ketika menyebut nama aslinya, Tan Kin-lam sengaja merendahkan suaranya sehingga hanya Siau Po yang dapat mendengarnya.

"Baik, suhu!" sahut Siau Po penuh hormat "Tecu akan mengingatnya baik-baik dan tidak akan membocorkan rahasia ini kepada siapa pun!"

Tan Kin-lam menatap muridnya lekat-lekat kemudian berkata dengan nada sabar. "Sekarang hubungan kita adalah guru dan murid. Kita juga harus berhati tulus antara 

satu dengan yang lainnya, terus terang saja aku katakan, otakmu itu terlalu cerdik, 

bahkan banyak bicara dan menjurus ke licik. sifatmu itu tidak cocok dengan watakku sendiri Tapi mengapa aku mengambilmu sebagai murid? Tentu saja ada alasannya, yakni demi kepentingan perkumpulan kita ini!"

"Suhu, tecu berjanji akan merubah sifat buruk ini agar kelak dapat menjadi orang baik-baik!" sahut Siau Po.

"Negara bisa diubah, mengubah watak seseorang justru lebih sulit dari menemukan jarum di tengah samudera, Kau sadar dan kau berjanji, tapi aku tahu kau tidak dapat berubah banyak, Tapi aku sudah mengeluarkan ucapanku. Baiklah... kau masih muda, perasaanmu mudah berubah atau terpengaruh. Lagipula kau belum pernah melakuka perbuatan-perbuatan yang tercela. Karena itu, kau harus mengingat kata-kataku baik- baik, Terhadap murid, aku mempunyai peraturan yang keras. Kalau kau sampai melanggar peraturan, terutama mengkhianati perkumpulan kita, aku tidak segan-sega mencabut nyawamu. Ingat, aku dapat melakukannya semudah membalikkan telapak tangan dan dalam hal ini aku juga tidak mengenal belas kasihan! kata Tan Kin-lam serius. Selesai berkata, Tan Kin-lam menggebrak meja di hadapannya sehingga ujungnya menjadi gompal kemudian dia meremas pecahan kayu itu sehing hancur seperti debu yang bertaburan.

Mata Siau Po membelalak lebar saking kagumnya. Tanpa dapat ditahan lagi dia menjulurkab lidahnya. Sungguh hebat gurunya ini, Namun sejenak kemudian dia merasa gembira sekali atas peruntungannya yang bagus.

"Suhu, aku berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang tercela, seandainya satu kali saja aku melakukan perbuatan jahat, kau boleh pelintir batang leherku ini sampai putus. Tapi suhu, sebelumnya aku ingin mengatakan terlebih dahulu, Kalau leherku putus, tentu tidak bisa lagi menerima ajaran ilmu darimu!"

"Ya, kau ingat baik-baik!" kata Tan Kin-lam. "Satu kali saja kau melakukan kejahatan, kita bukan lagi guru dan murid!"

"Bagaimana kalau dua kali?" 

"Diam! jangan memutar lidah! Kita membicarakan hal yang serius!" hardik Tan Kin- lam yang mulai kewalahan menghadapi muridnya yang satu ini.

"Baik, suhu," sahut Siau Po, Namun dalam hatinya dia berkata, "Bagaimana kalau aku hanya berbuat setengah kesalahan?"

"Dengar!" kata Tan Kin-lam kembali "Sekarang aku telah menerima kau sebagai murid, tapi aku tidak mempunyai banyak peluang untuk mengajarkan ilmu kepadamu, Karena itu. " Laki-laki setengah baya itu mengeluarkan sejilid kitab tipis dari dalam 

saku bajunya. "Kitab ini berisi inti ilmu tenaga dalam, Kau bacalah dengan teliti, kemudian ikuti gambar-gambar petunjuk yang ada di dalamnya."

Siau Po menganggukkan kepalanya.

Tan Kin-lam segera membalikkan halaman kitab itu satu persatu dan menunjukkan cara berlatih menurut gambar yang ada. Dia menjelaskannya dengan terperinci sampai Siau Po mengerti.

Tetapi Siau Po masih kecil, lagipula dia belum begitu paham ilmu silat, jadi sulit baginya untuk memahaminya secara keseluruhan Namun dia berusaha memusatkan segenap perhaliannya.

Hampir satu jam lamanya Tan Kin-lam memberikan penjelasan, kemudian ia berkata: "Pelajaran ini mempunyai syarat yang terpenting, yakni kesungguhan hati, Hal ini 

memang akan menimbulkan kesulitan untukmu karena dasar ilmu yang kau pelajari 

sudah berbeda dengan yang tertera dalam kitab ini. Tapi asal kau belajar dengan tekun, bersungguh-sungguh, tetap akan membawa faedah yang tidak kecil bagimu, Dan apabila sedang berlatih kau merasakan kepalamu pusing atau matamu berkunang- kunang, kau harus segera menghentikannya. Sampai perasaanmu sudah membaik kembali, baru kau boleh melatihnya kembali. Apabila kau berkeras melanjutkan di saat kau merasa sakit kepala atau tidak enak badan, akibatnya bisa berbahaya sekali ingat baik-baik!"

"Baik, suhu," sahut Siau Po sambil mengucapkan terima kasih dengan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali, setelah itu baru memasukkan kitab itu ke dalam saku bajunya.

"Kau terhitung muridku yang keempat," kata Tan Kin-lam menjelaskan selanjutnya, Mungkin kau juga akan menjadi muridku yang terakhir dan termuda. Urusan Tian-te hwe yang harus ditanggulangi masih menumpuk, karena itu aku tidak bisa menerima murid terlalu banyak. 

Kau harus ingat, dalam dunia persilatan, derajatku tidak rendah, namaku juga tidak pernah cacat, karena itu sebagai muridku, jangan sekali-sekali kau melakukan perbuatan yang dapat membuat aku kehilangan muka!" 

"Baik, suhu," sahut Siau Po. "Tapi. " 

"Tapi apa?"

"Memang aku tidak akan mencemarkan nama baik suhu, tapi bagaimana kalau hal itu terjadi di luar kehendakku? Umpamanya aku dikalahkan orang dalam perkelahian lalu aku kena ditawan dan diangkat kesana kemari seperti layaknya benda mati. Kalau hal itu sampai terjadi, aku mohon suhu dapat memaafkannya. "

Tan Kin-lam mengerutkan keningnya, bocah ini memang luar biasa, Ada-ada saja pertanyaan yang terpikirkan olehnya, Untuk sesaat dia merasa lucu, sekaligus diam- diam mengeluh dalam hati, Akhirnya dia menarik nafas panjang.

"Aku telah menerimamu sebagai murid. Mungkin ini merupakan suatu kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan seumur hidup. Tapi, biar bagaimana aku tetap akan menjalaninya. Semua ini demi kepentingan perkumpulan kita, Siau Po, sebentar lagi kau harus berhadapan dengan berbagai urusan perkumpulan ingat baik-baik apa yang telah aku katakan kepadamu tadi, Asal kau pandai membawa diri, jangan banyak mulut atau bicara sembarangan aku yakin tidak ada masalah bagimu!"

"Baik, suhu!" sahut Siau Po. Matanya menatap Tan Kin-lam lekat-lekat

"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Tan Kin-lam yang dapat menerka ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh muridnya itu.

Tecu ingin menjelaskan Apabila tecu berbicara, tecu akan berbicara hal-hal yang beralasan, tidak nanti Tecu berbicara sembarangan."

"Bagus! Mulai sekarang kau harus kurangi bicaramu!" kata sang guru. Diam-diam Tan Kin-lam berpikir dalam hati, "Entah berapa banyak orang-orang gagah berbicara denganku, Biasanya mereka selalu berpikir dahulu matang-matang sebelum mengemukakan pikirannya, Tidak seperti bocah ini yang ceplas-ceplos seenaknya, Dia sungguh berani dan juga bandel sekali." Kemudian dia berdiri dan berjalan menuju pintu, Setelah itu dia menoleh dan berkata: "lkutlah denganku!"

Siau Po segera menghambur ke depan dan membukakan pintu serta mempersilahkan gurunya keluar terlebih dahuln Setelah itu baru dia mengikuti dari belakang terus menuju aula pertemuan.

Di dalam aula sudah berkumpul dua puluh orang lebih, ketika mereka melihat kehadiran Tan Kin-Iam, semuanya langsung berdiri dengan sikap hormat.

Tan Kin-lam menganggukkan kepalanya kemudian duduk di atas kursi yang kedua, Siau Po merasa heran mengapa seorang ketua duduk di kursi yang kedua dan bukan yang pertama. Diam-diam dia berpikir dalam hati:

"Mungkinkah suhu bukan tokoh yang kedudukannya paiing tinggi dalam perkumpulan ini? Apakah masih ada orang yang lebih tinggi lagi kedudukannya daripada suhu?"

Sementara itu, terdengar Tan Kin-lam berkata: "Saudara-saudara! Hari ini aku telah menerima seorang murid yang paiing kecil!" Tangannya menunjuk kepada Siau Po, "lni dia orangnya!"

Seluruh anggota perkumpulan itu langsung mengucapkan selamat dengan menjura. "Selamat, Cong tocu!" Mereka juga memberi selamat kepada Siau Po.

"Sekarang giliranmu memberi hormat kepada para pekhu dan sidehu-mu!" kata Kin lam kepada Siau Po.

Siau Po menurut, dia segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah serta memberi hormat kepada para pamannya sekalian dan mengucapkan terima kasih.

Setelah itu, Lie Lek-si mengenalkannya kepada sembilan hiocu dari perkumpulan itu, Hiocu adalah ketua dari setiap seksi. Selain itu masih ada Hu hiocu, yakni wakil ketua setiap seksi. 

Siau Po jadi repot berlutut dan menyembah ke sana-sini. untung saja ketika memberi hormat kepada para Hu hio cu, belum sempat menyembah, mereka sudah mencegahnya.

"Jangan sungkan, saudara kecil silahkan bangun!" Mereka juga memberi hormat dengan berlutut Siau Po segera menghambur ke depan untuk mencegah mereka, peraturan pada zaman itu memang demikian.

Jumlah para paman tua muda itu semuanya ada dua puluh orang lebih, Siau Po tidak dapat mengingat mereka satu per satu. Karena itu dia berkata kepada dirinya sendiri: "Mereka adalah orang-orang penting, Biar nanti perlahan-lahan aku akan mengingat nama mereka satu per satu."

Setelah upacara perkenalan selesai, Tan Kin-lam baru berkata kembali. "Saudara sekalian, aku telah menerima Siau Po sebagai murid, harap kalian pun 

dapat menerimanya sebagai saudara kita dalam perkumpulan Tian-te hwe!"

"Bagus!" Orang banyak menyatakan persetujuannya.

Bahkan Coa tek-tiong, yakni hiocu dari Lian hoa tong yang rambut dan kumis serta janggutnya sudah memutih langsung berkata.

"Sejak jaman dulu kala, guru yang pandai selalu menghasilkan murid yang hebat, Murid Cong tocu ini akan menjadi seorang pendekar muda dan akan membuat jasa besar bagi perkumpulan kita, aku yakin sekali akan hal itu!"

Hiocu dari Ki-hou tong, yakni Ma Tiau-hin mempunyai wajah yang selalu berseri-seri, tubuhnya gemuk pendek, dan sekarang dia ikut memberikan komentar.

"Hari ini kita berkenalan dengan saudara Wi, tapi kami tidak memberikan tanda mata apa pun. Karena itu, aku mengajukan diri sebagai pengantar bersama-sama Coan hiocu untuk menjadi perantara bagi saudara kecil yang mengajaknya masuk menjadi anggota Tian-te hwe. Entah bagaimana pendapat Coa hiocu?"

Coa Tek Tiong langsung tertawa lebar.

"Bagus! Aku setuju sekali! Cara ini juga tidak perlu mengorek kantong mengeluarkan uang!" katanya.

Mendengar ucapan itu, orang banyak merasa lucu dan tertawa.

"Siau Po. Cepat bilang terima kasih kepada kedua pamanmu!" kata Tan Kin-lam kepada muridnya. "lni merupakan suatu keberuntungan bagimu!"

Siau Po menurut, dia segera menjatuhkan diri berlutut kemudian menganggukkan kepalanya serta menyatakan rasa terima kasih kepada kedua hiocu tersebut.

"Saudara sekalian, peraturan kita sangat keras, sedangkan muridku ini masih terlalu muda dan kelewat cerdik, Aku khawatir dia akan ceroboh dalam mengambil tindakan atau melakukan suatu yang keliru. Oleh karena itu, saudara Ma dan saudara Coa, kalian adalah perantara, aku harap selanjutnya kalian bersedia mengawasi muridku ini dan memberikan petunjuk kepadanya agar jangan salah jalan. Kalau ada urusan apa- apa, jangan kalian sungkan-sungkan menegurnya!" kata Tan Kin-lam kembali.

"Cong tocu terlalu merendah, mana mungkin murid Cong tocu melakukan hal yang keliru?" sahut Coa Tek-tiong. "Aku tidak merendahkan diri, justru apa yang kukatakan adalah hal yang sejujurnya. Terhadap muridku ini, perasaanku selalu khawatir saja. Andaikata kalian beramai-ramai sudi mengawasi dan memberikan petunjuk kepadanya, berarti kalian juga membantu aku menenangkan perasaan ini sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan." kata Cong tocu.

Ma Tiau-hin tertawa lebar.

"Kalau mengawasi saudara Wi, kami tidak berani. Tetapi mengingat usianya yang memang masil muda, kalau ada urusan apa-apa, kami akan bicar terus-terang saja dan memberikan petunjuk dengan sejelas-jelasnya!"

Siau Po mendengarkan semua pembicaraan itu, diam-diam dia mendumel dalam hati.

"Memangnya kesalahan apa yang aku lakukan? Mengapa suhu terus khawatir aku akan melakukan hal yang keliru? Si kura-kura tua toh bukan guruku, itulah sebabnya aku membuat kedua matanya buta. Tetapi suhu justru guruku yang sejati, tidak mungkin aku mencelakakan dirinya, Kalau begini banyak orang yang mengawasiku, bagaimana aku bisa berkutik lagi?"

Melihat muridnya diam saja dan hiocu lainnya juga tidak memberikan komentar lagi, Tan Kin-lam baru berkata lagi.

"Saudara Lie, aku minta sudi kiranya kau mengatur meja sembahyang, Hari ini juga kita akan melakukan upacara menerima Wi Siau-po sebagai anggota Tian-te hwe!"

"Baik, Cong tocu!" sahut Lie Lek-si.

"Menurut peraturan kita, seandainya ada seorang yang ingin masuk menjadi anggota, setelah ada orang yang menjadi perantaranya, kita masih harus menyelidiki asal-usulnya dan perbuatan apa saja yang pernah dilakukannya di masa lalu. Paling tidak kita memerlukan waktu setengah sampai satu tahun untuk memperoleh kepastian apakah dia pantas masuk menjadi anggota perkumpulan kita, Dalam hal ini, Wi Siau Po mendapat pengecualian Kedudukannya dalam istana kerajaan Ceng dan rasa sayangnya kaisar terhadap anak ini, membuat dirinya patut mendapat keistimewaan sebelumnya, aku ingin mengatakan, bahwa bukan aku memanjakannya, tapi karena aku yakin, hubungannya yang erat dengan kaisar kerajaan Ceng akan membawa manfaat bagi kita."

"Kami mengerti," sahut beberapa hiocu, Mereka merasa Siau Po memang patut mendapat keistimewaan. Apalagi dia telah membangun jasa besar meskipun dilakukannya tanpa sengaja untuk perkumpulan mereka.

Hiocu dari Hong Sun-tong yang tubuhnya tinggi besar dan janggutnya hitam pekat, Pui Tay-hong, ikut memberikan suara. "Semua ini merupakan kemurahan hati Thian yang kuasa dengan memberikan kita seseorang saudara yang menjadi orang kepercayaan kaisar bangsa Tatcu. Mungkin memang sudah takdir bahwa kerajaan Ceng akan hancur dan kerajaan Beng kita akan bangkit kembali ini yang dinamakan, "paham diri sendiri, tahu diri lawan," dengan demikian seratus kali berperang, seratus kali pula kita akan meraih kemenangan. Siapa di antara kita yang tidak mengerti isi hati Cong tocu?"

Siau Po sangat cerdik, dari pembicaraan yang berlangsung dia maklum apa yang terkandung dalam benak Tan Kin-lam. Diam-diam dia berpikir.

"Kalian semua memperlakukan aku demikian baik, ternyata ada udang dibalik batu. Rupanya kalian ingin menjadikan aku mata-mata di kerajaaa musuh. Lalu, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menuruti keinginan mereka?"

Sementara itu, Coa Tek-Liong langsung menuturkan sejarah berdirinya perkumpulan Tian-te hwe. Juga mengenai peraturan-peraturannya yang harus ditaati.

"Pendiri perkumpulan kami berjuluk Kok Sing-ya. Nama aslinya The Seng-kong. Mula-mula Kok Sing-ya memimpin pasukan perangnya menyerbu wilayah Kanglam, namun ketika menderita kegagalan beliau mengundurkan diri ke kepulauan Taiwan. 

Sebelum mengundurkan diri, Kok Sing-ya menerima usul Cong tocu kita untuk membuat sebuah perkumpulan, dengan demikian berdirilah Tian-te hwe. Saat itu Cong tocu kita masih menjadi penasehat perang Kok Sing-ya, sedangkan aku bersama saudara Pui, saudara Ma, saudara Ouw, saudara Lie serta saudara In almarhum yang merupakan hiocu dari Ceng-bok tong masih menjadi perwira dalam pasukan Kok Sing- ya."

Mengenai Kok Sing-ya, Siau Po memang pernah mendengarnya. Dia tahu Kok Sing- ya adalah The Seng-kong yang mendapat anugerah marga "Cu" dari kaisar dinasti Beng. 

"Cu" adalah marga dari pendiri kerajaan Beng, itulah sebabnya dia mendapat julukan Kok Sing-ya (tuan agung yang menggunakan marga negara) Nama Kok Sing-ya paling terkenal di propinsi Kangsou, Ciatkang, Hokkian dan Kwitang, Beliau menutup mata di permulaan dinasti Ceng, tidak lama setelah kaisar Kong Hi naik tahta. 

Meskipun beliau telah tiada, tapi rakyat masih menghormatinya karena semangatnya yang menyala-nyala membela kepentingan negara.

"Tentara kita sendiri berpusat di Kanglam, Karena tidak mungkin semuanya mengundurkan diri ke Taiwan, maka sebagiannya ada yang mundur ke Emui. Atas titah Kok Sing-ya, Cong tocu tidak ikut mengundurkan diri, sebab Tian-te hwe tidak boleh tanpa pemimpin, Cong tocu diperintahkan untuk menghubungi semua bekas pengikut Kok Sing-ya.  Mereka pun menjadi anggota Tian-te hwe, mereka tidak perlu melalui tentara lagi, sebab asal-usul dan riwayat hidup mereka telah diketahui dengan jelas, sedangkan penelitian terhadap orang luar hanya untuk berjaga-jaga agar jangan sampai ada mata- mata musuh yang menyusup ke dalam."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar