Kaki Tiga Menjangan Jilid 10

Jilid 10

Tepat pada saat itu seorang berpakaian hijau menyelusup lewat jeruji jendela. Rupanya orang yang satu ini memiliki tubuh yang kecil dan ramping, tapi baru saja tubuhnya meluncur masuk, rantai borgol di tangan Go Pay sudah menyambutnya dengan keras sehingga batok kepalanya pecah tidak karuan.

Siau Po terkejut dan heran menyaksikan hal itu.

"Eh, kok dia menyerang temannya sendiri? padahal mereka berniat menolongnya keluar dari tahanan, Ah! Aku tahu! Celaka! Obat yang kuberikan padanya tidak membunuh mati orang itu, justru membuatnya jadi gila. Pasti aku memberikan obat yang salah!" pikirnya dalam hati.

Siau Po menjadi bingung, di luar kamar suara gaduh semakin menjadi-jadi dan berbaur dengan suara bising yang diterbitkan rantai borgol Go Pay yang menghajar kesana-kemari.

"Kalau dia sampai berbalik dan menghajar aku, tamatlah riwayatku!" pikir si thay-kam gadungan ini.

Tapi pada dasarnya otak Siau Po memang cerdik dan nyalinya juga besar. Dalam keadaan bingung, dia berusaha menenangkan dirinya. Diam-diam dia menghampiri Go Pay dari belakang dan tiba-tiba menikam punggungnya dengan belatinya yang tajam bukan main itu. Tenaganya cukup kuat ketika melakukannya sehingga seluruh gagang belati itu amblas ke dalam punggung Go Pay. Sebetulnya Go Pay mempunyai tenaga yang kuat dan pendengaran yang tajam, tetapi karena menelan cukup banyak obat yang dicampurkan Siau Po dalam makanannya, pikirannya jadi terganggu dan perasaannya jadi kurang peka. 

Dia baru tahu ada yang membopongnya ketika punggungnya terasa nyeri. Dia mengibaskan rantai di tangannya dengan kencang tapi luput pada sasarannya.

Hebat sekali serangan Siau Po barusan, bukan hanya belatinya saja yang luar biasa tajamnya, tetapi, begitu menghunjamkan dia langsung menariknya ke luar lalu ditekan ke bawah sehingga tulang punggung Go Pay putus seketika.

Hanya satu kali orang itu sempat mengeluarkan jeritan histeris, kemudian roboh bermandikan darah di atas tanah, suara borgolnya menimbulkan suara gemuruh.

Kawanan pakaian hijau yang ada di luar jendel menjadi terkejut dan heran, mereka juga gusar karena kematian teman mereka di tangan Go Pay. Mereka menyaksikan perbuatan Siau Po terkesima.

Mereka benar-benar tidak mengerti....

Begitu tersadar dari rasa terkejut seseorang diantaranya langsung berteriak: "Bocah itu membunuh Go Pay! Bocah itu membunuh Go Pay!"

Terdengar suara yang berwibawa dari mulut si orang tua.

"Bongkar jendela! periksa apakah Go Pay benar-benar sudah mati?"

Tampak dua orang dari kawanan itu mendekati jeruji jendela kemudian menghajarnya dengan ruyung besi. Dua orang lainnya berusaha membongkar kusen jendela itu.

Tepat pada saat itu dua orang wisu menerjang ke arah mereka, tapi ditahan oleh si orang tua, dalam dua kali gebrakan, kedua wisu itu sudah roboh mati di atas tanah.

Tidak lama kemudian, jeruji jendela itu sudah berhasil dibongkar.

"Biar aku yang masuk!" kata seorang wanita bertubuh kecil, dia langsung masuk ke dalam dan disambut oleh belati Siau Po yang mengangkat kawanan berpakaian hijau itu adalah musuhnya.

Wanita itu lincah sekali, Goloknya diangkat ke atas untuk menahan serangan Siau Po. Namun dia sampai terkejut ketika mendapatkan goloknya terkutung menjadi dua bagian terkena tebasan belati Siau Po.

Wanita itu sempat mengeluarkan seruan tertahan, tetapi secepat kilat dia menyambitkan kutungan goloknya ke arah Siau Po. Siau Po melihat datangnya serangan, dia bermaksud menghindarkan diri. Dia menundukkan tubuhnya sedikit dan mengira golok itu akan melintas lewat di atas kepalanya, ternyata dugaannya keliru, Golok itu bukan mengincar kepalanya tapi malah mengarah dadanya. Begitu cepat golok itu meluncur sehingga tahu-tahu dadanya sudah tertancap.

Siau Po merasa terkejut dan juga kesakitan, belum sempat dia berbuat apa-apa, wanita itu sudah menerjang lagi ke arahnya dan dalam sekejap mata kedua tangannya sudah ditelikung ke belakang sehingga Siau Po tidak berdaya. Wanita itu juga langsung mengirimkan sebuah totokan ke iganya sehingga dia merasa nyeri sekali.

Setelah jeruji jendela berhasil dibongkar, si orang tua tadi pun bisa meloncat ke dalam, dia segera mengangkat tubuh Go Pay dan memeriksanya dengan teliti.

"Memang benar Go Pay!" kata orang tua itu sambil mengangkat tubuh itu ke atas dengan maksud menyodorkannya kepada rekannya yang masih di luar jendela, retapi gerakannya tertahan karena rantai masih memborgol tangan Go Pay.

Wanita yang membuat Siau Po tidak berdaya itu teringat pisau belati si bocah yang tajam, dia segera mengambilnya dan berkata.

"Belati ini tajam sekali, Biar aku coba!" Ditebasnya rantai pengikat Go Pay dengan belati milik Siau Po, ternyata dengan sekali tebas saja rantai itu sudah putus.

Sejenak kemudian tubuh Go Pay sudah dilemparkan lewat jeruji jendela yang langsung disambut kawanan berpakaian hijau itu. Terdengar si orang tua berkata:

"Bawa bocah itu sekalian, sekeluarnya dari istana ini, kita berpencar jangan lupa, nanti malam kita bertemu di tempat semula!" Dia pun mendahului yang lainnya menyelusup keluar lewat jeruji jendela.

Kawan-kawannya juga ikut keluar dan wanita tadi langsung mengempit tubuh Siau Po sembari mengiakan. Mereka pun meninggalkan tempat itu. Tapi belum sampai di luar istana, mereka sudah diserang oleh anak panah. Bahkan Kong cin ong dengan membawa sebatang golok langsung memegang tampuk pimpinan

Siau Po diserahkan kepada seorang berpakaian hijau lainnya, Wanita itu menggunakan belati Siau Po untuk mengibaskan setiap batang anak panah yang meluncur ke arahnya.

"Mari ikut aku!" teriak salah-seorang dari kawanan itu yang memanggul mayat Go Pay. Dia menggunakan tubuh Go Pay sebagai kitiran untuk menahan datangnya serangan.

Kong cin ong tidak tahu Go Pay sudah mati atau masih hidup, dia tidak berani mengambil resiko. "Jangan memanah!" Di lain saat, dia juga melihat Siau Po dipanggul oleh kawanan itu. Dia segera menambahkan "jangan memanah! Nanti melukai Kui kongkong!"

Siau Po dapat mendengar suaranya dengan jelas, diam-diam dia berterima kasih: "Ongya, kau sungguh baik, Siau Po tidak akan melupakan budimu ini!" janjinya 

dalam hati.

Tukang panah istana segera menghentikan aksinya. Kesempatan itu digunakan kawanan berpakaian hijau yang tampaknya hampir semua memiliki kepandaian cukup tinggi. Mereka segera menyerbu keluar istana, Si orang tua mengulapkan tangannya, Tampak empat orang di antara kawanan itu segera melancarkan serangan kepada Kong cin ong, para siwi istana terkejut setengah mati.

Sebetulnya apa yang dilakukan orang tua itu hanya merupakan bagian dari siasatnya, Salah seorang di antara rekannya menyambitkan sebatang pisau yang langsung menancap di lengan Kong cin ong. 

Para pengawal semakin panik. Tidak ada lagi yang mengurus kawanan berpakaian hijau itu. Mereka segera mengerumuni Kong cin ong untuk memberikan pertolongan sementara itu, para penyerbu sudah menerjang keluar dan dalam sekejap mata tidak terlihat bayangannya lagi.

Kawanan berpakaian hijau itu lari masuk dalam sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari istana Kongcin ong. Mereka segera mengunci pintunya rapat-rapat. Tapi anehnya mereka tidak berdiam di dalam rumah itu malah lari lagi lewat belakang.

Rupanya mereka sudah merencanakan semuanya matang-matang sehingga jejak mereka tidak mudah diketahui oleh musuh. Mereka menggunakan cara yang sama sampai berkali-kali. Di rumah terakhir, mereka mengganti pakaian dengan macam- macam dandanan sehingga tampak seperti rakyat biasa.

Sebuah kereta telah disiapkan Dua orang yang mendorongnya, Di dalam kereta terdapat dua buah drum besar, Mayat Go Pay diselusupkan ke dalam drum yang satunya dan Siau Po juga dimasukkan ke dalam drum yang lainnya.

"Setan alas!" maki Siau Po dalam hati ketika mendengar suara kereta bergerak. Dia merasa mendongkol sekali karena tidak bisa melakukan apa-apa. Kepalanya dipenuhi buah tho sehingga bagian dalam drum itu tidak kelihatan sama sekali.

Untungnya, Siau Po masih bisa bernafas walaupun menemui sedikit kesulitan. Lambat laun dia mulai bisa menenangkan hatinya dan berpikir dengan kepala dingin.

"Mereka ini tentunya antek-antek Go Pay. Mereka menawan aku setelah mengetahui aku yang membunuh pengkhianat itu. Jangan-jangan perutku akan dibelek dan jantungku akan dikorek untuk menyembahyangi arwah penjahat itu.  Celaka! Semoga saja di tengah jalan kereta ini bertemu dengan tentara kerajaan. Pada saat itu, aku akan berusaha menggulingkan drum ini supaya mereka menjadi curiga dan aku bisa tertolong!" pikirnya diam-diam.

Siau Po lupa tubuhnya dalam keadaan tertotok, dia tidak dapat bergerak sama sekali seandainya di tengah jalan mereka bertemu dengan tentara kerajaan sekalipun, tidak mungkin dia bisa menggulingkan drum itu.

Dia hanya mendengar suara roda kereta yang berputar dan tubuhnya yang terguncang-guncang. Sampai sekian lama mereka meneruskan perjalanan dengan tenang. Tidak ada tentara kerajaan yang menghadang....

Perasaan Siau Po semakin kesal, rasanya ingin dia memaki sepuas-puasnya, tapi tidak bisa melakukan hal itu, bahkan mulutnya pun sulit dibuka untuk menggigit buah tho yang memenuhi seluruh kepala dan wajahnya itu. Akhirnya dia hanya dapat mencaci dalam hati.

Lambat laun, saking letihnya Siau Po pun tertidur pulas, entah berapa lama waktu telah berlalu, ketika ia tersadar kembali, kereta masih melaju, dia tetap tidak dapat bergerak, malah merasa sekujur tubuhnya ngilu dan kesemutan.

"Aih! Kali ini mungkin aku tidak dapat lolos lagi dengan selamat. Biar nanti aku akan mencaci maki mereka sepuas-puasnya. Biarlah aku mati, dua puluh tahun kemudian toh aku akan menjelma lagi sebagai seorang bayi laki-laki. 

Untung saja aku berhasil membunuh Go Pay. Coba kalau tidak, Setelah tertawan oleh kawan-kawannya ini, aku pasti akan mengalami berbagai siksaan dahulu sebelum mati dibunuh, sekarang aku dapat mati dengan puas, Go Pay toh berpangkat tinggi, sedangkan aku hanya seorang kacung dari rumah pelesiran. selembar nyawanya ditukar dengan nyawaku ini, rasanya masih tidak rugi!" pikirnya dalam hati.

Sungguh Siau Po seorang bocah yang hebat, dalam keadaan seperti itu dia masih sanggup menghibur hatinya sendiri.

Beberapa saat kemudian, kembali Siau Po tertidur, malah kali ini lebih lama dari yang pertama, Akhirnya setelah terbangun, dia merasa kereta itu melaju di jalan yang licin. Dalam hati dia bertanya-tanya, kemana mereka akan membawanya.

Lalu, saat yang ditunggu sampai juga, kereta itu berhenti Siau Po masih terus menunggu, namun tidak ada seorang pun yang mengeluarkannya dari dalam drum. 

Dia merasa heran dan juga gundah, terus dia berdiam diri sampai sayup-sayup didengarnya suara orang mendatangi. Dia agak terkejut ketika seseorang membuka tutup drum itu, buah tho yang menutupinya dikeluarkan sehingga Siau Po dapat bernafas lebih Iega. Ketika dia membuka matanya kembali, mula-mula pandangan terasa gelap, lambat laun dia baru mulai terbiasa, kali ini ada orang yang mengangkatnya dari dalam drum kemudian mengempitnya di bawah ketiak dan membawanya pergi Ada seorang lainnya yang berjalan di samping dengan membawa sebuah lentera. Rupanya malam sudah mulai menjelang.

Siau Po dapat melihat bahwa orang yang membawanya adalah seorang tua yang wajahnya berwibawa, sikapnya pendiam karena dia tidak bicara sama sekali. Ketika itu mereka berada dalam sebuah taman, tapi orang itu masih membawanya menuju ruangan belakang.

Pembawa lentera langsung mementangkan daun jendela. "Celaka aku!" keluh Siau Po dalam hati.

Ruangan itu penuh dengan orang, jumlahnya mungkin mencapai seratus lebih. Pakaian mereka seragam, semuanya berwarna hijau, Kepala masing-masing dibalut dengan sabuk putih, Bagian pinggang dililit dengan kain putih juga. Hal ini membuktikan bahwa mereka mengenakan pakaian berkabung.

Di tengah ruangan telah diatur sebuah meja sembahyang. Di sekelilingnya menyala delapan batang lilin.

Ketika di Yangciu, Siau Po pernah menghadi upacara sembahyang seperti ini. Karenanya di tahu dan hatinya takut sekali Tubuhnya gemetar, dia khawatir dirinya akan menjadi korban untuk upacara itu. Mungkin dadanya akan dibelek untuk di keluarkan jantungnya.

Si orang tua menurunkan Siau Po dan membiarkannya berdiri dengan sebelah lengannya tetap tercekal. Dia lalu menepuk dada dan punggung bocah itu agar jalan darahnya yang tertotok dapat bebas, tapi Siau Po tetap tidak dapat berdiri tegak karena kedua lututnya terasa lemas sehingga dia terpaksa dipapah oleh orang tua itu.

"Bagaimana aku dapat meloloskan diri dari tempat ini?" Hal inilah yang pertama-tama timbul dalam benaknya. Sebab dia sadar, yang paling utama saat ini hanyalah lari.

Semua orang yang ada dalam ruangan ini tentu berkepandaian tinggi inilah kesulitan yang harus dihadapinya. Tidak mungkin dia sanggup menandingi mereka. Tapi totokannya sudah bebas, Biar bagaimana, dia tetap akan berusaha, Dia terus mencoba!

"Bagaimana aku harus bersikap agar orang tua ini tidak terus menerus memegangi aku?" pikirnya kembali "Kalau aku lolos, pertama-tama yang kulakukan adalah memadamkan semua lilin di atas meja itu agar ruangan ini menjadi gelap gulita, Dengan demikian akan ada kesempatan bagiku untuk meloloskan diri." Diam-diam Siau Po memperhatikan orang-orang yang ada dalam ruangan itu. Kebanyakan terdiri dari laki-laki, ada beberapa hwesio dan tosu di antaranya. Juga terdapat beberapa wanita yang membawa senjata di pinggangnya.

Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya muncul dari kerumunan orang kemudian menghampiri meja sembahyang. Di samping meja itu dia berkata dengan suara keras.

"Ha... ri ini sakit hati yang da... lam telah terbalas! Toa... ko, semoga arwah mu tenang di alam baka!"

Hanya berkata sampai di sini, dia sudah menangis menggerung-gerung, tubuhnya mendekam di atas meja sembahyang dan berguncang-guncang karena tangisannya yang mengharukan Semua orang yang hadir dalam ruangan itu ikut menangis dengan sedih.

"Kurang ajar orang-orang ini!" pikir Siau Po yang mendongkol sekali, "Mereka harus didamprat!" Baru berpikir sampai di sini, tiba-tiba dia merasa apabila dia benar-benar melakukan hal itu, berarti dia membahayakan dirinya sendiri. 

"Asal aku membuka mulut, mereka tentu akan menyerbu aku Bagaimana aku dapat meloloskan diri?" Dia melirik ke kiri kanan orang-orang itu memang sedang menangis, tetapi dia tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri. Takutnya asal dia bergerak sedikit saja, tentu mereka akan mengejarnya dan akibatnya bisa lebih runyam Iagi.

"Upacara sembahyang dimulai!" Terdengar seseorang berteriak dengan lantang, rupanya dialah pemimpin upacara itu, suaranya menunjukkan usianya tidak muda lagi.

Mendengar suara itu, keluarlah seorang laki-laki yang bertelanjang dada, kepalanya dibalut dengan sabuk putih, tangannya terangkat tinggi ke atas sambil menggenggam sebuah nampan. Dan di atas nampan terdapat kepala seseorang yang dialasi dengan kain merah dan darahnya masih bercucuran. Hampir Siau Po semaput melihat kepala orang itu.

"Celaka!" gerutunya dalam hati, "Jangan-jangan mereka juga akan mengutungi kepalaku! Tapi, kepala siapakah itu? Kong cin ong atau saudara angkatku, So Ngo-tu?"

Karena nampan itu diangkat tinggi ke atas, Siau Po tidak dapat melihat kepala siapa yang berada di atasnya, Nampan itu lalu diletakkan di atas meja sembahyang, Pembawanya segera menjatuhkan diri berlutut. Orang-orang lainnya yang sedang menangis juga mengikuti perbuatannya.

"Kapan lagi aku menyingkir kalau bukan sekarang?" pikir Siau Po dalam hati, Dia segera menggerakkan kakinya, Belum sempat bertindak lebih jauh, orang tua di sampingnya sudah menyambar tangannya dan menariknya kuat-kuat sehingga Siau Po terjatuh berlutut di sisinya. Saking sengitnya, Siau Po memaki-maki dalam hati.

"Go Pay bangsat! Kura-kura! Awas kau, di neraka pun lohu tidak akan mengampuni dirimu!"

Beberapa orang bangun, namun sebagian masih berlutut, suara tangisan masih terdengar.

"Tidak tahu malu!" maki Siau Po dalam hati, "Masa laki-laki menangis seperti ini? Memangnya siapa Go Pay, si manusia busuk itu? Apa sih kehebatannya sampai perlu ditangisi seperti ini? Dia toh sudah mati, apanya lagi yang perlu disayangkan? Kenapa kalian harus menangis terus untuknya?"

Sesaat kemudian, seorang tua berjalan menuju samping meja dan berkata dengan suara lantang:

"Saudara sekalian, sakit hatinya In hiocu kita sudah terbalaskan! Akhirnya si jahanam Go Pay telah menerima bagiannya, kepalanya sudah dipenggal. Hal ini tentu saja merupakan berita gembira bagi Ceng-bok tong dari Tian-te hwe kita!"

Tian-te hwe adalah perkumpulan langit dan bumi.

Siau Po heran mendengar bahwa kepala Go Pa telah dipenggal.

"Eh, apa artinya ini?" tanyanya dalam hati, Di merasa heran sekaligus terkejut juga gembira. "Apakah mereka bukan antek-anteknya Go Pay? Jadi mereka ini malah musuhnya si jahanam itu?"

Orang tua itu tetap berbicara, tetapi Siau Po sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sekian lama dia berdiam diri merenungkan apa yang sedang dihadapinya.

Terdengar orang tua itu berkata lagi:

"Hari ini kita menyerbu istana Kong cin ong, Syukur kita berhasil membekuk Go Pay dan membawanya pulang kemari! Dengan demikian nyali bangsa Tartar pasti ciut ini merupakan keuntungan bagi perkumpulan kita yang bercita-cita menentang dan merobohkan kerajaan Ceng. Kita akan membangun kembali kerajaan Beng! Kalau bagian lain dari perkumpulan kita mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ceng-bok tong kita, tentu mereka akan merasa kagum!"

"Benar! Benar!" sahut yang lainnya serentak.

"Memang Ceng-bok tong kita telah berhasil memperlihatkan kehebatannya!" teriak seseorang.

"Pihak Ang-hoa tong yang biasa suka mengagulkan diri, tentu akan iri dengan keberhasilan kita kali ini!" seru yang lainnya tidak mau ketinggalan. "Peristiwa ini tentu akan menjadi bahan percakapan di mana-mana. Apalagi kalau kita berhasil mengusir bangsa Tartar, tentu nama Ceng-bok tong akan semakin harum!"

"Memang bangsa Tartar harus diusir! Tapi lebih bagus lagi kalau kita bisa membasmi mereka!"

Suasana dalam ruangan itu jadi gaduh karena teriakan di sana sini. Ucapan mereka penuh semangat sehingga kesedihan pun mulai terhapus karenanya.

Sekarang Siau Po sadar bahwa orang-orang itu adalah bangsa Han yang terdiri dari patriot-patriot pecinta negara dan sedang berusaha menentang pemerintah Boan, Siau Po masih muda dan belum banyak pengalaman, tetapi dia sering mendengar orang menyebut nama perkumpulan Tian-te hwe perkumpulan ini mempunyai cita-cita untuk menghancurkan kerajaan Ceng dan membangkitkan kembali kerajaan Beng. 

Dia juga sering mendengar berbagai usaha yang dilakukan perkumpulan itu. Bangsa Boan terkenal dengan kekejamannya, Ke-tika terjadi penyerbuan di kota Yangciu, entah berapa banyak rakyat yang menjadi korban. 

Dia juga pernah mendengar tentang Suko hoat yang dengan berani menentang pemerintah Boan, bahkan sampai mengorbankan nyawanya sendiri.

Mendengar suara orang banyak itu, terbangkit juga semangat Siau Po sehingga untuk sesaat dia lupa bahwa saat ini dia sedang menyamar sebagai si thay-kam cilik.

Setelah suara teriakan agak mereda, orang tua itu baru melanjutkan kata-katanya kembali.

"Selama dua tahun kita selalu teringat sakit hati In hiocu, kita juga sudah mengucapkan sumpah bahwa kita akan membunuh Go Pay dan memenggal kepalanya sebagai korban sembahyang upacara arwah In hiocu, Sampai sekarang maksud kita baru tercapai. Hari ini melihat adanya kepala Go Pay di atas nampan, tentu arwah In hiocu akan tertawa senang di alam baka!"

"Benar! Benar!" seru yang lainnya serentak.

Terdengar seorang lainnya berkata. "Dua tahun sudah sejak kita mengangkat sumpah akan membalaskan sakit hati In hiocu, Saat itu pula kita berjanji, apabila kita gagal, kita semua akan bunuh diri, Sebab, apabila kita mengalami kegagalan, kita yang dari bagian Ceng-bok tong bukanlah manusia tapi anjing-anjing buduk, tidak ada muka lagi bagi kita untuk hidup lebih lama, untunglah akhirnya sakit hati ini dapat terbalas juga. 

Aku orang she Pwe sudah dua tahun lamanya tidak enak makan dan tidak enak tidur karena memikirkan pembalasan dendam bagi In hiocu, tidak disangka-sangka kalau hari gembira ini tiba juga akhirnya!" Saking gembiranya orang she Pwe itu sampai tertawa terbahak-bahak, setelah itu masih ada beberapa orang lagi yang memberi komentar Siau Po yang menyaksikan hal itu diam-diam berpikir.

"Aneh kalian semua, sebentar menangis, sebentar tertawa, benar-benar mirip anak kecil!"

Suara gaduh pun reda. Tiba-tiba terdengar seseorang berkata dengan nada dingin:

"Apakah kita yang membunuh Go Pay"

Pertanyaan itu tajam sekali, orang-orang yang ada dalam ruangan itu membungkam seketika.

Pertanyaan itu juga tepat menikam ulu hati mereka, karena semuanya tahu bahwa yang membunuh Go Pay adalah seorang thay-kam cilik. Beberapa pentolan bagian Ceng-bok tong sendiri yang menjadi saksinya.

Sampai sekian lama baru ada seseorang yang mengomentari pertanyaan itu. "Memang bukan kita sendiri yang membunuh Go Pay. Tapi hal itu terjadi tepat ketika 

kami menyerbu ke istana pangeran itu. Orang yang membunuhnya justru menggunakan 

kesempatan ketika kekacauan terjadi sehingga dia berhasil!"

"Oh, begitu rupanya!" tanggap orang yang pertama dengan nada yang sedingin semula.

Orang yang kedua langsung bertanya dengan suara lantang. "Ki losam, apa maksud kata-katamu itu?"

"Apa maksudku? Tidak ada! Aku hanya ingin bertanya, apabila ada orang dari Ceng- bok tong yang mengaku dirinyalah yang membunuh Go Pay, aku ingin tahu siapa orangnya?"

Sungguh sebuah pertanyaan yang sulit dijawab, memang tajam dan menyakitkan namun merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal.

Terdengar si orang tua yang bertubuh kurus berkata. "Sebetulnya orang yang membunuh Go Pay adalah si thay-kam cilik dari istana Sri Baginda, tetapi dia juga berhasil karena kebetulan dan mendapat kesempatan yang baik. Aku yakin arwah In hiocu yang membimbing bocah itu membunuh Go Pay, Kita semua merupakan laki-laki sejati Kita tidak boleh mengakui jasa orang lain!"

Semuanya terdiam semangat mereka menjadi kendur, kegembiraan sebelumnya sirna entah ke-mana. Ternyata Go Pay dibunuh oleh orang lain. "Selama dua tahun Ceng-bok tong tidak mempunyai pimpinan, Orang banyak mengangkat aku sebagai wakil ketua untuk sementara, Aku berusaha segenap kemampuanku karena aku terus teringat sakit hati In hiocu, sekarang Go Pay sudah mati. 

Tugasku juga sudah selesai. Karena itu aku akan mengembalikan lencana Tong pai kita kepada In hiocu, Setelah itu, silahkan saudara-saudara pilih seorang ketua yang pandai dan bijak."

Selesai berkata dia mengeluarkan lencana perkumpulan mereka kemudian meletakkannya di atas meja sembahyang. Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali.

"Lie toako!" Terdengar seseorang berkata, "Selama dua tahun ini, kau telah membimbing kami dengan baik. Karena itu, selain engkau, tidak ada orang lagi yang lebih cocok menduduki jabatan ini, Harap toako jangan sungkan lagi, ambillah kembali lencana itu!"

Untuk beberapa saat semuanya terdiam, sampai terdengar seseorang berkata. "Kedudukan hiocu tidak dapat ditentukan oleh kita sendiri, tidak bisa sembarangan 

memilih satu orang kemudian menyiarkannya menjadi ketua Ceng-bok tong. 

Kedudukan itu harus ditentukan oleh Ketua pusat!"

"Memang benar!" kata orang yang pertama, "Tapi, jangan lupa, biasanya setelah calon itu terpilih dan diajukan kepada pusat, tidak pernah ada tentangan, jadi penetapan dari pusat hanya formalitas saja."

"Menurut apa yang aku ketahui," kata seorang lainnya, "Setiap hiocu yang baru dipilih oleh hiocu yang lama."

"ltu terjadi apabila hiocu yang lama sudah tua atau sakit dan tidak dapat menjalankan tugas lagi, Tapi, itu juga atas dasar kesepakatan semua orang, bukan satu orang saja," sahut yang lainnya.

Terdengar orang yang pertama berkata kembali. "Sungguh sayang hiocu yang dahulu yakni In hiocu telah dibunuh oleh Go Pay, Dengan demikian tidak ada pesan terakhir dari beliau. Ki lao-liok, hal ini kau bukannya tidak tahu, mengapa sekarang kau berlagak bodoh? Aku tahu maksudmu! Kau menentang Lie toako sebagai hiocu, karena kau mempunyai niat buruk, kau sudah merencanakan sesuatu!"

Orang yang dipanggil Ki lao-liok menjadi marah mendengar ucapan tadi.

"Apa niat burukku? Apa yang kurencanakan? Cui toucu bicaralah yang jelas, jangan sembarangan memfitnah!" Orang yang dipanggil Cui toucu juga jadi gusar. "Hm!" Terdengar dia mendengus dingin, "MariIah kita bicara blak-blakan, Di dalam Ceng-bok tong kita, siapa yang tidak tahu bahwa kau ingin menunjang kau punya cihu (kakak-ipar), Bi-jiam kong Kwan hucu sebagai hiocu? Apabila Kwan hucu menjadi hiocu, otomatis kau sendiri akan menjadi Kok-kiu loya (Tuan besar ipar ketua). Dengan demikian kau akan mendapat kedudukan tinggi dan kau bisa berbuat suka hatimu, ingin angin, angin pun datang, ingin hujan, hujan pun turun?"

"Kwan hucu itu kebetulan kakak iparku atau bukan, adalah masalah Iain!" bentak Ki lao-liok. "Tapi kalian harus ingat, dalam penyerbuan ke istana Kong cin ong, yang memimpin adalah Kwan hucu. Dia berhasil pulang dengan membawa kemenangan. Menilik kepandaiannya, bukankah dia pantas menjabat sebagai hiocu? Li toako memang berhak, dia juga memenuhi syarat, orangnya baik, aku tidak menentangnya secara pribadi. Akan tetapi kalau bicara tentang kepandaian Kwan hucu masih berada di atasnya!"

Mendengar kata-kata itu, Cui toucu langsung tertawa terbahak-bahak, nada suaranya mengandung ejekan. Hal ini membuktikan bahwa dia tidak memandang sebelah mata pun.

"Apa yang kau tertawakan?" bentak Ki lao-liok yang menjadi semakin marah, "Apa ada kata-kataku yang salah?"

Cui toucu kembali tertawa. "Kau tidak salah, Ucapan Ki lao-liok mana mungkin salah? Aku hanya merasa kepandaian Kwan hucu memang luar biasa, sebab kota besar mana pun sudah dia lalui, tetapi tidak ada satu pun panglima besar musuh yang sanggup dibinasakannya. Bahkan akhirnya seorang Go Pay yang sudah dipenjarakan juga mati di tangan seorang bocah cilik!"

Tiba-tiba seseorang keluar dari kerumunan Siau Po mengenalinya sebagai orang tua berjenggot yang memimpin penyerbuan ke istana Kongcin ong dia memang tampak gagah. Tapi dikala hatinya sedang marah seperti sekarang ini, wajahnya kelihatan berwibawa sekali.

Sebenarnya dia bernama Kwan An-ki, tetapi karena kumis dan jenggotnya yang panjang, orang menjulukinya Kwan kong. Kebetulan she-nya juga sama. itulah sebabnya orang-orang menyebutnya Kwan hucu (Nabi Kwan).

Tampak Kwan hucu mendelikkan matanya lebar dan berkata dengan suara lantang. "Saudara Cui, kau boleh berdebat dengan lao-Iiok, kau juga bebas menyebutkan apa 

pun yang kau sukai. Tapi aku tidak bersalah apa-apa padamu, jangan kau seret aku 

dalam perselisihan ini, Bukankah kita semua telah bersumpah dan mengangkat saudara di hadapan para dewa untuk hidup dan mati bersama? Mengapa sekarang kau bersikap demikian terhadapku apa maksudmu sebenarnya?" Si orang she Cui itu ngeri juga melihat kemarahan Kwan hucu, kakinya sampai menyurut mundur satu langkah.

"A... aku tidak bermaksud... mencela engkau. Tapi, Kwan toako, apabila kau setuju 

Li toako yang menjadi ketua Ceng-bok tong, aku akan berlutut di hadapanmu dan minta maaf atas kata-kataku tadi!"

Kwan An-ki menatapnya dengan sorot mata garang.

"Aku juga tidak berani menerima penghormatan yang demikian besar darimu, Tapi kau harus mengerti, siapa pun yang akan menjadi hiocu, aku tidak berhak mengatakan apa-apa, Dan kau, saudara Cui, kau juga belum menjadi ketua pusat, jadi. siapa pun 

yang menjadi ketua Ceng-bok tong ini, belum giliranmu untuk menentukannya!" Cui tou cu menyurut mundur lagi satu langkah.

"Kwan jiko, apakah kata-katamu juga tidak menyinggung perasaan orang? Aku Cui toucu, mempunyai kesadaran sendiri Meskipun aku menjelma delapan belas kali lagi, tetap saja tidak pantas menjadi ketua Tian-te hwe. Aku hanya mengatakan bahwa sin- gan Kim Ci (Mata Malaikat bersayap emas) Lie toako adalah seorang tokoh yang dihormati kalangan kita, Usianya sudah tua, tindakannya bijaksana, Apabila beliau yang terpilih menjadi ketua Ceng-bok tong, aku yakin sembilan bagian orang-orang kita akan menyetujuinya!"

Di antara para hadirin terdengar seseorang menukas.

"Cui toucu, kau bukan mereka, kau tidak bisa menyusup ke dalam jiwa delapan sembilan bagian dari orang-orang Ceng-bok tong, bagaimana kau bisa mengatakan mereka semua akan menyetujui nya? Lie toako memang orangnya baik, kita bisa mengajaknya minum arak bersama-sama, dapat pula mengajaknya bercerita atau bersenda gurau tetapi untuk mengangkatnya sebagai hiocu, mungkin delapan bagian atau sembilan bagian dari kita tidak menyetujuinya!"

"Kalau menurut aku, kata-kata saudara Ti memang tepat sekali!" tukas seorang lainnya. "Kita tidak bisa memandang tinggi satu orang yang menjadi pujaan kita, Kita ingin menghancurkan kerajaan Ceng dan membangun kembali kerajaan Beng kita, Kita juga bukan guru besar kita Kong Hu Zu yang bisa bicara soal filsafah maupun etiket, Bangsa Tartar tidak dapat diusir dengan nama besar saja. Orang yang kau katakan tadi banyak bisa dijumpai di mana-mana!"

Para hadirin tertawa mendengar kata-katanya yang kocak. Lalu seseorang bertanya: "Kalau begitu, Saudara, menurutmu siapakah yang pantas dipilih menjadi ketua kita? 

Apakah kita akan memilih orang yang gagah dan pandai melaksanakan kewajibannya?"

"Menurut pinto.,." tukas seorang pendeta agama To. "Orang yang gagah dan pandai itu memang hanya Lie toako seorang!" "Kami memilih Kwan hucu!" seru berpuluh-puluh orang lainnya, "Kepandaian Lie toako tidak dapat menandingi Kwan hucu!"

"Kwan hucu selalu serius dalam menangani persoalan apa pun. Semua orang mengetahui hal ini dan semua juga mengaguminya!" kata seorang tosu.

"Benar! Benar!" Berpuluh orang tadi segera memberikan sambutan yang meriah, "Nah, apalagi yang akan kalian katakan?"

"Sabar! Sabar!" teriak si tosu yang pertama, "Dengar dulu kata-kataku ini, Satu hal yang harus kalian ingat adalah watak Kwan hucu, Dia terlalu berangasan. Asal kurang senang, seenaknya dia mencaci orang, Di matanya, kalian hanya bawahannya, sedangkan terhadap dia, kalian merasa segan. Karena itu, apabila dia menjadi hiocu, dikhawatirkan semuanya menjadi tidak tenang!"

"Tapi belakangan ini watak Kwan Hucu sudah jauh lebih baik, Aku yakin bila dia sudah memangku jabatan sebagai hiocu, sifatnya akan berubah semakin baik!" seseorang ikut memberikan tanggapan.

Tosu itu menggelengkan kepalanya.

"Negara mudah dirubah, tidak demikian halnya dengan watak seseorang, Tabiat Kwan hucu adalah bawaan sejak lahir. Mungkin sekali-sekali dia bisa mengendalikan dirinya, tetapi apakah dia juga bisa mengendalikan dirinya setiap saat? Belum tentu!

sedangkan kedudukan hiocu bukan untuk sehari dua, namun untuk selamanya! Karena itu kita harus menjaga, jangan karena watak buruk seseorang, terjadi perpecahan di antara kita, Sekali saja terjadi keributan di antara kita, maka usaha yang telah dipupuk sekian lama, usaha yang mempunyai cita-cita luhur akan menjadi berantakan!"

Ki lao-liok ikut membuka suara.

"Kou Yao totiang, menurut pandanganku sifatmu sendiri belum sempurna!" Mendengar sindiran itu, Kau Yap tojin, si tosu tadi tertawa lebar.

"Benar apa yang dikatakan orang bahwa urusan pribadi masing-masing, diri sendirilah yang paling paham. perangai pinto memang tidak baik, Sering pinto berbuat kesalahan itulah sebabnya pinto berusaha untuk mengurangi pembicaraan tetapi dalam hal pengangkatan hiocu ini, pinto tidak bisa berdiam diri, Karena hal ini menyangkut kepentingan Ceng-bok tong kita, Terpaksa pinto mengungkapkan isi hati. Tabiat pinto tidak baik, pinto juga tidak tertarik menjadi hiocu. Kalau ada saudara yang tidak puas dan tidak memilih pinto, maka suatu hal yang kebetulan Menjauhkan diri dari pinto memang merupakan hal yang terbaik, Tetapi apabila pinto yang menjadi hiocu, tentu pinto tidak mau tidak dihiraukan sebawahannya atau pun tidak dipandang sebelah mata!" Ki lao-liok menjadi tidak puas mendengar ucapannya.

"Toh tidak ada orang yang mengajukan dirimu sebagai hiocu, Mengapa sekarang kau banyak bacot ?"

Tiba-tiba tosu itu menjadi marah. "Ki lao-liok!" teriaknya, "Sahabat-sahabatnya dari dunia kangouw, apabila bertemu dengan pinto, mereka menyebut pinto dengan panggilan totiang, Bahkan Cong tocu sendiri, ketua pusat kita juga masih sungkan terhadapku Mana ada orang yang begitu tidak tahu aturan seperti engkau? Biar pinto katakan terus-terang kepadamu, apabila Kwan hucu diajukan sebagai hiocu Ceng-bok tong, pintolah orang yang pertama yang menyatakan tidak setuju, Kalau dia memaksakan diri juga, dia harus memenuhi sebuah syarat!"

Ki lao-liok mendongkol sekali mendengar ucapan tosu itu, tapi dia berusaha untuk mengendalikan emosinya.

"Apa yang kau maksudkan? Bicaralah yang jelas agar kita semua bisa mempertimbangkannya!"

Kou Yap tojin menatap Ki lao-liok dengan tajam, kemudian baru dia berkata: "Syarat yang harus dipenuhi oleh Kwan hucu ialah harus bercerai dengan Sip Ciok 

Cin-kim Ki Kim-to!"

Mendengar jawaban rahib itu, orang-orang yang ada di dalam ruangan itu tertawa terpingkal-pingkal karena merasa lucu sekali.

Hat ini disebabkan Sip Ciok Cin-kim (Seratus persen emas murni) Ki Kim-to adalah istrinya Kwan hucu, Dia adalah kakak perempuannya Ki lao-liok, julukannya itu didapat karena dia menggunakan senjata yang merupakan sepasang golok emas.

Sekarang Kou Yap tojin justru mengajukan syarat yang aneh itu. Tentu saja orang- orang yang mendengarnya jadi geli.

Sebetulnya Ki Kim-to adalah seorang wanita yang baik. wataknya jujur, Ki lao-liok juga cukup baik, sayangnya dia terlalu menyanjung cihunya sendiri. 

Padahal watak Kwan hucu justru mudah marah dan berangasan, Karena itu banyak orang yang membicarakan perangainya yang buruk.

Kwan hucu yang mendengar ucapan Kou Yap tojin terus berdiam diri, ia tidak ingin berdebat dengan siapa pun. Tosu itu juga tidak mau memperpanjang urusan, Dia tertawa lebar.

"Kwan hucu, kita adalah saudara angkat, berbagai bahaya telah kita lalui bersama. Oleh karena itu, jangan karena perdebatan sesaat, persaudaraan kita menjadi hancur karenanya, Barusan pinto hanya bergurau, harap kau maafkan aku. Nanti kala kau  kembali ke rumah, harap jangan sampaikan apa yang kukatakan kepada enso, Kalau tidak, mungkin dia akan datang kemari dan menarik kumis dan jenggotku ini sampai putus!"

Kembali orang-orang yang ada dalam ruangan tertawa terbahak-bahak, Imam itu memang jenaka sekali, Kwan An-ki juga segan terhadap tosu itu. Dia tidak berkata-kata hanya bibirnya saja yang tersenyum.

Pemilihan hiocu masih menjadi bahan pembicaraan, ada yang memuji Lie toako yang sudah tua dan bijaksana, ada yang memilih Kwan hucu yang gagah, Sampai cukup lama masalah ini masih belum bisa dipecahkan.

Selagi orang ramai masih membicarakan persoalan itu, tiba-tiba terdengar seseorang menangis meraung-raung sambil berkata.

"ln hiocu, oh, In hiocu! Semasa hidupmu, kami dari Ceng-bok tong selalu rukun satu sama lainnya, Semua saudara tua dan muda tidak ada perbedaannya. Kita selalu bersatu dalam menghadapi apa pun. Kita bercita-cita merobohkan kerajaan Ceng dan membangun kembali kerajaan Beng kita! Siapa nyana kau justru mati di tangan Go Pay si jahanam! 

Sampai sekarang tidak ada orang yang hebat seperti toako! Oh, In hiocu, kecuali kau hidup kembali, kami pasti tidak bisa rukun seperti dulu, Kami akan seperti pasir yang buyar terhempas ombak, Kita tidak bisa kompak lagi seperti semasa hidupmu!"

Mendengar kata-kata itu, orang-orang lainnya pun teringat kepada In-hiocu. Mereka sedih sekali, Bahkan sebagian di antaranya ikut menangis dengan pilu.

Tepat pada saat itu, terdengar seseorang lainnya berkata.

"Lie toako mempunyai kebaikan tersendiri demikian pula dengan Kwan hucu. Kedua- duanya merupakan saudara kita, Karena itu, jangan karena urusan mereka berdua, masalah pemilihan hiocu ini jadi kacau, Dengan demikian tali persaudaraan kita bisa kendor dan kita pun tidak dapat hidup rukun lagi sebagaimana biasanya. Menurutku, lebih baik kita serahkan urusan ini kepada In hiocu. Kita undang arwahnya, Kita tulis nama Lie toako dan Kwan hucu, kemudian kita memasang hio bersembahyang kepada In hiocu dan memohon keputusannya. Bukankah cara ini yang paling bagus?"

Beberapa orang segera menyatakan persetujuannya. "Cara itu tidak bagus!" bantah Ki lao-liok. 

"Kenapa tidak?" tanya seseorang." 

"Siapa yang akan mengundi nama-nama itu?" 

"Bersama-sama kita pilih seseorang untuk menjadi pengundinya." "Bagaimana kalau orang itu tidak jujur?" 

"Benar! Bagaimana kalau ada yang berani main gila?"

"Tidak mungkin!" teriak Cui tou cu. "Di depan arwahnya In hiocu, siapa yang berani main gila?"

"Hati manusia sulit diterka, biar bagaimana kita harus berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan!" kata Lao-liok yang kukuh pada pendiriannya.

"Kau benar-benar edan! Siapa yang berani main gila kecuali kau?" bentak Cui tocu. Lao-liok menjadi gusar mendengar kata-katanya. "Siapa yang kau maki?"

"Aku memaki kau, bocah cilik!" sahut Cui toucu terus-terang, "Mau apa kau?"

"Sebenarnya aku sudah berusaha untuk sabar, tetapi kali ini habisIah kesabaranku!" bentak Ki lao-liok.

Ki lao-liok langsung menghunus goloknya dan berkata.

"Cui toucu, mari kita pergi ke halaman luar untuk mengadu kepandaian!" tantangnya. Dengan tenang Cui toucu juga menghunus senjatanya.

"Kau yang menantang aku, terpaksa aku melayani!" Dia menolehkan kepalanya kemudian berkata, "Kwan hucu, kau lihat sendiri!"

"Kita semua merupakan saudara, jangan karena urusan ini timbul perselisihan Cui toucu, tanpa sebab musabab kau memaki iparku, Kesalahan ada padamu!"

"Aku sudah menduga bahwa kau akan membela iparmu itu dan menyalahkan aku, Kwan hucu, belum jadi hiocu saja pertimbanganmu sudah berat sebelah, Apalagi kalau kau benar-benar terpilih menjadi hiocu?"

Kwan An-ki marah sekali.

"Apa orang yang sembarangan memaki itu kelakuannya benar? Apalagi kau mengucapkan kata-kata yang kasar, lalu maumu, aku harus bagaimana?"

Ucapan Kwan hucu dianggap lucu, sehingga orang-orang yang mendengarkan jadi tertawa.

Lao-liok yang mendapat pembelaan dari cihu-nya semakin besar kepala, Dia segera beranjak dari tempatnya dan menantang.

"Cui toucu, silahkan!" Ada seseorang yang segera memegangi tangannya dan mencegah.

"Lao-liok, kau ingin cihumu menjadi hiocu, pemikiran ini memang tidak salah, Tapi kau jangan melakukan kesalahan terhadap orang lain, Apalagi di hadapan orang banyak, seharusnya dalam segala hal kau bisa mengalah!"

Perlahan-lahan Cui toucu memasukkan goloknya ke dalam sarung. "Bukannya aku takut kepadamu," katanya kepada Ki lao-liok. "Aku hanya 

memandang saudara-saudara kita yang lainnya. Tapi aku tegaskan sekali lagi, apabila 

Kwan hucu ingin menjadi hiocu, biar bagaimana aku orang she Cui tidak setujui wataknya Kwan hucu masih lumayan, tapi lain halnya dengan Ki lao-Iiok. Lebih baik bertemu dengan Giam lo-ong daripada algojonya!"

Siau Po berdiri di samping, Dia dapat mendengar semuanya dengan jelas, Tanpa terasa dia menjadi tertarik. Rasa takutnya sudah hilang karena tahu dirinyalah yang salah sangka, Tadinya dia mengira orang-orang itu adalah antek-anteknya Go Pay, ternyata bukan, malah sebaliknya merekalah musuh bangsa Boan. 

Tapi masih juga terselip kekhawatiran di hatinya, yakni orang-orang itu merupakan patriot pecinta negeri sedangkan saat ini dia sendiri menyaru sebagai thay-kam cilik dari istana kerajaan musuh.

"Mana mungkin mereka percaya kalau aku bukan seorang thay-kam?" pikirnya dalam hati, "Sebentar lagi, apabila mereka sudah mengambil keputusan, mungkin aku akan dibunuhnya, Apalagi aku sudah mendengar rahasia mereka. Pasti mereka akan membungkam mulutku untuk selamanya, Taruh kata aku tidak dibunuh, mereka pasti akan mengurung aku untuk selamanya, Satu-satunya jalan yang paling baik adalah menyingkirkan diri selagi masih ada waktu!"

Perlahan-lahan Siau Po bergerak mundur untuk mencapai pintu, Dia berharap akan terjadi kekacauan di antara mereka sendiri sehingga dia dapat melarikan diri dari tempat itu.

"Mengundi hanya permainan anak-anak!" Terdengar seseorang memberikan komentar "Menurut aku, paling baik kita gunakan cara yang singkat dan tegas, yakni membiarkan Lie toako dan Kwan hucu mengadu kepandaian, boleh dengan tangan kosong maupun senjata tajam, tapi sebatas saling menotol saja. Dengan demikian tidak ada pihak yang sampai terluka, Kita semua menonton dari samping, siapa yang menang atau kalah, kita putuskan bersama, Bagaimana?"

Ki lao-liok setuju, Dialah yang pertama-tama menganggukkan kepalanya.

"Bagus! Begitu saja keputusannya, Kita gunakan cara mengadu kepandaian. Kalau Lie toako yang menang, aku akan menghormatinya sebagaimana layaknya seorang hiocu!" Mendengar ucapannya, Siau Po berpikir dalam hati.

"Belum tentu apa yang kau katakan jujur, Siapa tahu kau memang sudah yakin cihumu yang bakal meraih kemenangan? Kalau begitu, buat apa mereka mengadu kepandaian?"

Kalau Siau Po saja bisa mempunyai pikiran seperti itu, tidak heran yang lainnya juga berpikiran sama, Buktinya banyak orang yang memprotes usul itu, Bahkan ada yang mengatakan.

"Untuk menjadi seorang hiocu, harus ada dukungan dari kita semua, Bukankah kita semua terdiri dari saudara? persaudaraan tidak ada hubungannya dengan kepandaian. Tidak perduli siapa yang kepandaiannya lebih tinggi atau lebih rendah!"

"Kalau kita mengambil keputusan berdasarkan pibu, taruh kata Kwan hucu berhasil menang, lalu ada orang lagi yang menentangnya dan orang itu menang, Dengan demikian bukankah orang itu yang pantas menjadi hiocu? Sampai kapan urusan ini baru bisa diselesaikan?"

"ltu bukan cara untuk memilih hiocu tapi pertandingan di atas panggung, Kalau demikian, lebih baik Kwan hucu membangun panggung saja dan menentang setiap orang untuk mengadu kepandaian !" kata yang lain.

"Andaikata Go Pay belum mati, mungkin Kwan hucu sendiri tidak sanggup mengalahkannya. Lalu apabila hal ini sampai terjadi, seandainya Go Pay tidak mati, apakah kita harus memilihnya sebagai hiocu kita?" tukas orang yang lain.

Mendengar pertanyaan itu, orang banyak langsung tertawa geli, justru di saat itu terdengar pula ratapan seseorang.

"Oh, In hiocu! Setelah engkau menutup mata, orang tidak menghormatimu Iagi! In hiocu dengar sendiri, apa yang mereka ucapkan di depan meja sembahyangmu! Sumpah yang pernah mereka ucapkan sekarang hanya angin busuk belaka!"

Siau Po mengenali suara orang itu sebagai Ki losam yang paling pandai menyindir dengan ucapannya yang tajam.

Begitu suara itu terdengar suara bising pun sirap seketika, Ruangan itu menjadi sunyi seketika, Semua orang dapat merasakan tajamnya kata-kata itu.

"Eh, Ki losam apa maksud ucapanmu itu?" tanya beberapa orang.

"Hm!" Ki losam mendengus dingin, "Dulu ketika In hiocu meninggalkan, aku juga ikut berlutut menyembah di depan peti matinya, Aku juga menusuk jari tanganku dan dengan darah sendiri-sendiri kita bersumpah akan membalas sakit hati bagi In hiocu, Aku ingat apa yang pernah kita ucapkan waktu itu, siapa pun yang berhasil membunuh Go Pay, kita akan mengangkatnya sebagai hiocu, Aku masih mengingat dengan baik  sumpah itu dan aku tidak mau mengingkarinya, Apa yang telah kuucapkan bukan sekedar angin busuk!"

Semua orang terdiam mendengar kata-katanya. Sumpah itu memang bukan hanya diucapkan oleh Ki losam, tetapi mereka semua juga mengucapkannya, dan sebetulnya mereka tidak mungkin melupakannya.

Sesaat kemudian baru terdengar Ki lao-liok berkata.

"Ki samko, apa yang kau katakan memang tidak salah, bukan hanya engkau yang mengucapkan sumpah itu, aku juga, bahkan kita semua juga mengucapkannya. Tapi kau tahu, aku juga tahu, kita semua tahu bahwa yang membunuh Go Pay adala bocah itu. " 

Dia menoleh, tepat pada saat Siau Po sampai di ambang pintu, Ki lao-liok terkejut sekali dengan gugup dia berseru, "Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!"

Siau Po juga terkejut Dia ingin lari tetapi jalannya langsung dihadang beberapa orang. Dengan demikian gagallah niatnya itu, Siau Po kena dicekal dengan mudah dan ditenteng kembali ke dalam ruangan.

"Hai kura-kura sekalian!" teriak Siau Po dengan berani, "Kura-kura! Mau apa kalian menyeret-nyeret lohu?"

Siau Po menganggap dirinya tidak mungkin dibiarkan hidup, karena itu sebelum mati dia ingin berteriak sepuas-puasnya, Dia ingin memaki mereka habis-habisan.

"Eh, eh. Saudara kecil, jangan sembarangan memaki orang! Tunda dulu cacianmu itu!" kata seorang laki-laki berdahdanan siu cai.

Siau Po menolehkan kepalanya, dia mengenali orang yang berbicara. "Kau toh Ki losam?" tanyanya.

Ki losam yang bernama Ki Pu-ceng menatapnya dengan heran. "Eh, kau kenal aku?" "Kau tanya aku kenal denganmu?" kata Siau Po. "Tidak. Aku kenal dengan ibumu!" Losam tambah bingung, Tampangnya seperti orang pandir.

"Bagaimana kau bisa kenal dengan ibuku?" 

"Tentu saja aku kenal dengan ibumu, Malah kami bersahabat karib!" kata Siau Po seenaknya, Orang-orang yang mendengarkan ucapannya jadi tertawa geli.

"Aih! Lidah bocah ini sungguh tajam!" Terdengar komentar beberapa orang. Wajah Ki Piu-ceng merah padam seketika, .

"Aih! Saudara kecil ini memang suka bergurau!" Tampangnya menjadi serius," Saudara kecil, bolehkah aku tahu mengapa kau membunuh Go Pay?"

Siau Po segera mendapat akal yang bagus, pada dasarnya dia memang cerdik sekali dan pandai mengikuti perkembangan di sekitarnya.

"Go Pay si jahanam!" katanya dengan sepasang tinju dikepalkan. "Dia manusia terkutuk yang telah banyak melakukan kejahatan Terutama dia telah membunuh banyak patriot pecinta negara? Dialah musuh besarku! Aku Wi Siau-po telah bersumpah tidak sudi hidup dalam satu jaman dengannya, Aku, seorang rakyat jelata, tapi dia membekuk aku dan membawaku ke istana, Di sana aku dipaksanya menjadi thay-kam. Sungguh menyesal aku tak sempat mencincang tubuhnya atau melemparkan tubuhnya menjadi mangsa buaya di sungai!" 

Sengaja Siau Po mengucapkan kata-katanya dengan keras dan penuh semangat agar semua orang mendengarnya.

Ternyata semua orang yang hadir dalam ruang an itu jadi tertarik perhatiannya, mereka bahka saling pandang dengan terkesima.

"Sudah lamakah kau menjadi thay-kam?" tanya Ki Piu-ceng.

"Lama? setengah tahun pun belum! Aku berasal dari Yangciu, dibekuk oleh Go Pay kemudian dibawanya ke istana dengan paksa, Si jahat, Go Pay! Kalau dia mati, mayatnya harus dibawa ke gunung golok, arwahnya akan menerima siksaan dalam kuali panas! Batok kepalanya dipantek dengan tusuk konde!" Selama berbicara, Siau Po sengaja mengeluarkan logat Yangciu,

"Benar Dia memang orang Yangciu!" kata seorang wanita yang berasal dari daerah yang sama.

"Bibi, kita sama-sama orang Yangciu," kata Siau Po yang akalnya banyak dan rasanya tidak pernah kekurangan itu. "Dulu sungguh mengenaskan nasib kita orang Yangciu! Kita telah disembelih oleh orang-orang Mancu tanpa belas kasihan sedikit pun! Sampai sepuluh hari berturut-turut anjing-anjing Manchu melakukan pembunuhan! Kakek kita, nenek kita habis dibunuh! Tidak ada satu pun yang dibiarkan hidup! Iblis- iblis itu menyerbu dari pintu timur menuju pintu barat Dari pintu selatan menerjang ke pintu utara! Semua itu atas perintah Go Pay! Karena itulah aku membencinya dan menganggap nya sebagai musuh besar. Tak sudi aku hidup bersama-sama dengannya!"

Hebat sekali ucapan bocah cilik ini. orang-orang yang berkumpul dalam ruangan itu langsung menganggukkan kepalanya berulang kali, Hati mereka tergerak dan ikut tegang membayangkan kembali peristiwa yang dikatakan bocah itu barusan. "Tidak heran! Tidak heran!" seru Kwan An-ki saking kagumnya.

"Bukan hanya kakek dan nenekku yang menjadi korban, Bahkan ayahku juga mati karena Go Pay!" kata Siau Po kembali

"Kasihan... kasihan..." kata Ki losam, "Saudara kecil, berapa usiamu tahun ini? tanya Cui toucu,

"Empat belas tahun..." sahut Siau Po.

"Eh! peristiwa yang terjadi di Yangciu suda berselang dua puluh tahun dari sekarang, Bagaimana ayahmu bisa dibinasakan oleh Go Pay?" tanya Cui toucu kembali.

Siau Po terkejut sekali ketika merasa kebohongannya mulai dirasakan oleh Cui toucu, Tapi dasar bocah cerdik, dia sengaja berlagak pilon.

"Memang! Mana aku tahu? Saat itu aku pun belum lahir, ibulah yang menceritakannya kepadaku!"

"Andai pun ketika itu kau masih dalam kandungan, waktunya tetap saja kurang tepat!"

"Saudara Cui kata-katamu sendiri yang kurang tepat, Saudara kecil ini hanya mengatakan bahwa ayahnya telah dibunuh oleh Go Pay. Dia tidak mengatakan kematiannya tepat pada peristiwa Yangciu itu. Bukankah selama jabatan Go Pay, tidak ada sehari pun dia tidak melakukan kejahatan?" kata Ki losam.

"Oh ya... ya!" Cui toucu pun menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Eh, sahabat kecil, tadi kau mengatakan bahwa Go Pay telah banyak membunuh patriot pecinta negara. Apa hubungannya denganmu?" tanya Ki losam.

"Tentu saja ada hubungannya," sahut Siau Po. "Aku mempunyai seorang sahabat yang ditangkap oleh Go Pay dan dibawa ke istana kerajaan Ceng kemudian dianiaya sampai mati. sebenarnya aku ditangkap sama-sama dengan sahabatku itu!"

Para hadirin menjadi heran, mereka menatap bocah itu dengan penuh perhatian. "Siapakah sahabatmu yang ditangkap dan dicelakai oleh Go Pay itu?" tanya 

seseorang.

"Sahabatku itu seorang tokoh yang sudah mempunyai nama di dunia kangouw, Dia bernama Mau Sip-pat!" sahut Siau Po dengan perasaan bangga.

Para hadirin terbelalak mendengar kata-kata bocah itu. Bahkan ada beberapa di antaranya yang bertanya. "Mau Sip-pat itu sahabatmu?" "Tapi, dia kan belum mati?" kata ki Lao-liok bingung.

Sekarang gantian Siau Po yang membelalakkan matanya lebar-lebar. "Apa? Dia belum mati? Benarkah dia belum mati? Oh, aku ingin bertemu 

dengannya!" Kali ini apa yang dikatakan Siau Po memang keluar dari hatinya yang 

paling tulus.

"Bagus!" seru Kwan An-ki. "Dengan demikian kita bisa membuktikan apakah saudara kecil ini sebenarnya kawan atau lawan? Nah, Lao-liok. Ce-pat kau ajak beberapa saudara kita untuk mengundang saudara Mau Sip-pat ke sini, Coba kita lihat apakah dia kenal dengan bocah ini!"

Ki Lao-liok segera mengiakan dan berlalu dari tempat tersebut sementara itu, Ki Piu- ceng menarik sebuah kursi.

"Saudara kecil, silahkan duduk," katanya mempersilahkan.

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Siau Po langsung duduk di kursi yang telah disediakan, setelah itu ada orang yang datang mengantarkan semangkuk bakmi dan secawan teh dan meletakkannya di depan Siau Po.

Bocah itu memang sudah lapar, tanpa malu-malu lagi dia melahap habis makanan yang disajikan. Setelah itu, Kwan An-ki menemaninya duduk sambil berbincang- bincang, Masih ada beberapa orang yang ikut bergabung. Di antaranya ada Piu-ceng dan orang yang dipanggil Lie toako, nama sebenarnya Lie Lek-si. Mereka bicara dengan sungkan, padahal diam-diam atau dengan cara halus mereka sedang mengorek keterangan dari Siau Po untuk menyelidiki asal-usul bocah itu yang sebenarnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar