Jilid 07
Siau Po menurut, dia juga memasang hio dan menjatuhkan diri berlutut serta menyembah Namun sebelum mengucapkan sumpahnya, diam-diam dia berkata dalam hati.
"Aku lebih muda, tak sudi aku mati bersama-sama denganmu Lagipula namaku bukan Kui Siau Po!"
Setelah itu baru dia bersumpah "Murid Kui Siau Po, thay-kam dalam istana dan sehari-harinya dipanggil Siau Kui cu, hari ini mengangkat saudara dengan So Ngo-tu tayjin. Kami ingin hidup bahagia dan sengsara bersama-sama, Kami tidak terlahir dalam hari, bulan dan tahun yang sama, tapi ingin mati bersama dalam hari, bulan serta tahun yang sama, jikalau Siau Kui cu tidak jujur dan setia, biarlah Siau Kui cu terkutuk Tidak akan berumur panjang dan selamanya tidak mendapat rejeki."
Selesai bersumpah, dia menyembah lagi tiga kali, otaknya memang cerdik Dia terus menyahut nama Siau Kui cu, dengan demikian yang bersumpah itu bukan dia, tapi Siau Kui cu adanya.
Setelah itu, keduanya saling memberi hormat dengan berlutut dan menganggukkan kepala sebanyak delapan kali.
"Saudara Kui, sekarang kita telah mengangkat saudara, kita harus bergaul lebih daripada saudara kandung sendiri, Lain kali, bila kau memerlukan bantuan, silahkan katakan saja terus-terang. jangan sungkan-sungkan."
Siau Po tertawa.
"Hal itu tidak usah dibicarakan lagi, Sejak dilahirkan, aku memang tidak tahu apa arti sungkan."
Kembali So Ngo-tu tersenyum.
Tentang pengangkatan saudara ini, ada baiknya jangan diketahui pihak ketiga agar tidak menimbulkan kesirikan orang lain, menurut peraturan kerajaan, kami dari menteri pihak luar tidak boleh bergaul akrab dengan pembesar dalam istana, Karena itu, sebaiknya urusan ini diketahui kita berdua saja."
"Benar!" sahut Siau Po menyetujui pendapat itu,
"Saudara Kui, di hadapan umum aku tetap memanggilmu Kui kongkong, dan kau tetap menyebutku So tayjin, ini demi kebaikan kita masing-masing, Beberapa hari lagi, aku akan mengundangmu ke rumahku untuk minum arak sambil menonton Dengan demikian kita dua bersaudara dapat merasakan saat-saat menyenangkan bersama- sama." Siau Po senang sekali, Dia tidak suka minum arak, tapi nonton wayang merupakan kegemaran utamanya, Dia langsung bertepuk tangan sambil tertawa gembira.
"Bagus! Aku memang suka nonton. Kapan?"
"Kalau kau memang suka nonton, aku bisa mengundangmu setiap waktu. sebaiknya kau yang tentukan sendiri kapan waktu senggangmu."
"Bagaimana kalau besok?"
"Baik! Besok pun jadi. Siang-siang aku akan menunggumu di depan pintu," sahut So Ngo-tu.
"Tapi bagaimana dengan aku? Apakah seorang thay-kam dapat keluar masuk istana dengan leluasa?"
"Mengapa tidak? Asal kau sudah selesai melayani Sri Baginda, tidak ada pekerjaan lagi yang harus kau lakukan. Kau kan Sieceng thay-kam dan kau juga sangat disayang oleh Sri Baginda, Siapa yang berani melarangmu?"
Siau Po tersenyum Dalam hati dia sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan istana dan tidak akan kembali lagi, Tetapi kalau dipikir-pikir lagi sekarang, dia tidak berniat meninggalkan istana itu cepat-cepat karena rupanya dia dapat keluar masuk dengan bebas.
"Baiklah, demikian saja kita tetapkan, Kita adalah saudara, senang sama-sama, nonton pun harus sama-sama," katanya kemudian.
So Ngo-tu segera menarik tangannya. "Nah, mari kita kembali ke kamar Go Pay!" Siau Po menurut. Di kamar Go Pay, So Ngo-tu mulai memeriksa daftar barang-
barang dan meneliti benda-benda lainnya yang dikeluarkan dari dalam gudang rahasia.
"Saudara, apa yang kau inginkan?" tanyanya kepada Siau Po.
"Aku tidak tahu barang apa yang paling berharga, Toako, kau saja yang pilihkan buatku."
"Baik!" sahut So Ngo-tu yang segera mengambil dua rangkaian mutiara dan sebuah kuda-kudaan dari batu kumala, "Kedua barang ini sangat berharga, kau menyukainya bukan?"
"Aku sih suka saja," kata Siau Po. Dia langsung menerima benda-benda yang disodorkan itu kemudian dimasukkan ke dalam saku pakaiannya. Setelah itu, Siau Po iseng-iseng menjamah barang-barang lainnya, tangannya secara sembarangan mengambil sebilah pisau belati yang panjangnya kurang lebih lima dim. sarungnya terbuat dari kulit ikan.
Beratnya tidak berbeda dengan belati lainnya, Tanpa disengaja dia mencabut belati itu, tiba-tiba dia merasa ada serangkum hawa dingin yang menerpa.
Siau Po mengeluarkan seruan tertahan, Dia segera memperhatikan belati itu dengan seksama, Anehnya, tubuh belati itu berwarna hitam pekat dan tidak mengkilap, malah warnanya agak kusam.
Dia menduga belati itu tentunya sejenis senjata pusaka, sebab Go Pay menyimpannya di gudang rahasia. Namun bentuknya tidak jauh dengan belati biasa, dengan ayal-ayalan dia melemparkan pisau itu, tetapi dia dikejutkan suara yang keras. Rupanya pisau itu menancap di ujung meja sampai sebatas gagangnya.
"Ah!" So Ngo-tu juga mengeluarkan seruan terkejut.
Keduanya mengawasi dengan mata terbelalak, lebih-lebih Siau Po, karena dia tahu bahwa dia melemparkan sembarangan tetapi ternyata sanggup menembus meja itu. "Aneh! Belati itu tajam sekali, sehingga meja itu seperti sepotong tahu saja!"
Cepat-cepat Siau Po mengambil belati itu dan memperhatikannya dengan teliti. "Pisau belati ini aneh sekali!"
Pengalaman So Ngo-tu sudah banyak sekali, suatu ingatan melintas di benaknya.
"Mari kita coba lagi!" katanya sambil mengambil sebatang golok Go Pay yang tergantung di dinding kamar, Ketika dia menghunusnya, golok itu mengeluarkan cahaya berkilauan yang menandakan tajamnya yang luar biasa.
Dia merentangkan golok itu kemudian berkata kepada Siau Po. "Saudara, coba kau tebas golok ini dengan belati itu!"
Siau Po menurut. Dia mengayunkan belati ditangannya untuk menebas go!ok. Keduanya pun jadi tertegun seketika. Karena kenyataannya golok itu terkutung menjadi dua bagian begitu saja oleh tebasan belati tersebut.
"Bagus!" seru mereka serentak Golok itu terkutung seperti kayu yang dibelah, tidak terdengar suara dentingan logam sebagaimana biasanya, Hal ini membuktikan bahwa senjata belati itu memang benda mustika yang langka.
"Saudaraku, selamat!" kata So Ngo-tu kepada Siau Po. Bibirnya ramai dengan senyuman, "Beruntung sekali kau mendapatkan senjata pusaka itu, Menurut pendapatku di antara semua benda-benda milik Go Pay, mungkin belati ini yang paling berharga!" Tentu Siau Po senang sekali. "Toako, kalau kau menginginkannya, ambillah!"
So Ngo-tu segera mengibaskan tangannya. "Tidak! Kakakmu ini pembesar militer, sekarang menjadi pembesar sipil, perang sudah selesai, kami tidak membutuhkan senjata tajam lagi, sebaiknya yang simpan kau saja belati itu."
Siau Po menganggukkan kepalanya, Dia segera menyelipkan pisau itu di pinggangnya.
"Saudara, ukuran belati itu pendek sekali. sebaiknya kau selipkan dari kaos kakimu saja. Lagi-pula menyelipkan di pinggang mudah terlihat, nanti timbul banyak pertanyaan."
Memang ada peraturan dalam istana kaisar Ceng, kalau bukan siwi tingkat satu, siapa pun dilarang membawa senjata tajam.
Siau Po segera mengiakan dan menyelipkan belatinya dalam kaos kaki. Dia sudah mendapatkan pisau pusaka itu, hal lain tidak menarik perhatiannya lagi, Dia terus memikirkan pisau itu sementara yang lainnya bekerja.
Di keluarkannya lagi pisau belati itu dan dicobanya untuk menebas tombak yang ada di sudut ruangan. Ternyata tombak itu juga terkutung jadi dua bagian, Setelah itu dia seperti ketagihan, apa saja yang ditemuinya, dibabat seenaknya.
Terakhir dia malah menggurat gambar seekor kura-kura di atas meja. Setelah selesai, jatuhlah bagian yang di guratnya ke atas lantai dengan bentuk seekor kura- kura.
Sementara itu, So Ngo-tu yang asyik memeriksa barang-barang, melihat sepotong pakaian yang tipis sekali, Dia merasa heran karena pakaian itu mengeluarkan cahaya seperti perak.
Dia segera mengambil pakaian itu dan mengangkatnya, terasa ringan seperti kapas, pakaian itu bukan terbuat dari bahan sutera, entah dari bahan apa, pokoknya halus sekali, "Saudaraku, kemarilah!" So Ngo-tu memanggil Siau Po.
Dia ingin mengambil hati adik angkatnya itu, Karena itu, barang bagus yang ditemukannya, langsung dia serahkan kepada Siau Po agar hati bocah itu senang.
"Adik, coba kau pakai baju ini, rasanya pasti hangat sekali, buka dulu baju luarmu dan pakai ini di bagian dalam."
"Apakah itu juga baju pusaka? Apakah mengandung keajaiban?" tanya Siau Po. "Entahlah, kau pakai saja," sahut So Ngo-tu.
"Baju ini kebesaran. " "Tidak apa-apa. Baju ini kan tipis dan lemas, longgar sedikit tidak menjadi masalah."
Siau Po menerima baju itu. Memang ringan sekali. Dia teringat ketika di Yang-ciu, ibunya juga membuatkan sehelai baju hangat untuknya, tetapi sebelum selesai, dia sudah pergi.
"Ada baiknya aku pakai baju ini, Nanti kalau pulang ke Yang-ciu, aku akan memperlihatkannya kepada ibu," pikirnya dalam hati.
Siau Po langsung membuka baju luarnya dan mengenakan baju tipis itu. Baju itu memang kebesaran tetapi empuk dan hangat.
Kemudian So Ngo-tu meminta daftar yang telah dicatat orang-orangnya. Dia mendapatkan jumlah yang besar sekali, Untuk beberapa saat dia sampai terkesima karenanya.
"Sungguh luar biasa kekayaan Go Pay ini, Harta bendanya melebihi dugaanku." So Ngo-tu memberi isyarat dengan gerakan tangan agar orang-orangnya mengundurkan diri. Setelah itu baru dia berkata lagi kepada Siau Po.
"Saudara, ada pepatah bangsa Han yang mengatakan "merantau sejauh ribuan li untuk memperkaya diri." sekarang kebetulan kita mendapat tugas yang menyenangkan Kita ambil saja sebagian harta ini, nanti akan kuubah daftarnya. Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Aku tidak mengerti hal semacam ini," sahut Siau Po. "Urusan ini aku serahkan kepada toako saja."
So Ngo-tu tertawa.
"Jumlah kekayaan Go Pay seluruhnya ada 2.353.481 taiI. Bagaimana kalau kita main sulap sedikit dengan merubah angka dua di depan menjadi satu? Setuju?"
Siau Po terperanjat.
"Maksud toako...?" Dia bingung, sebab jumlah yang hendak dikurangkan So Ngo-tu mencapai satu juta tail, Kemudian jumlah itu akan dibagi rata dengannya.
So Ngo-tu tertawa lebar. "Saudara, apakah kau menganggap jumlah itu terlalu sedikit?"
"Bu... bukan begitu," sahut Siau Po gugup, "Hanya... saja aku masih kebingungan." "Begini, saudara, Dari jumlah itu kita ambil satu juta tail yang kemudian kita bagi dua.
Dengan demikian, satu orang mendapatkan lima ratus tail, Tapi kalau kau
menganggapnya masih kurang, kita bisa atur lagi." Wajah Siau Po menjadi pucat pasi seketika, Ketika di Yang-ciu, apabila dia mendapatkan uang sebanyak lima atau enam tail saja, dia sudah merasa dirinya tiba- tiba menjadi orang terkaya di dunia, Tapi sekarang dia justru ditawarkan harta senilai lima ratus tail. Bayangkan! Siau Po hampir tidak percaya pada pendengarannya sendiri.
Sebetulnya Siau Po masih terlalu muda untuk memahami tujuan So Ngo-tu yang sebenarnya. Menteri itu ingin memenuhi kantongnya sendiri, tapi dia khawatir Siau Po akan mengadukannya kepada Sri Baginda.
Karena itu, dia menawarkan "bocah itu untuk mengambil apa saja yang ia sukai dan diberi bagian setengah dari jumlah harta yang akan disulapnya. Dengan demikian, Siau Po tentu tidak berani berkata apa-apa kepada kaisar Kong Hi.
"Eh, saudara, ada apa denganmu? Kau tahu aku akan menuruti apa pun kehendakmu," kata So Ngo-tu heran.
Siau Po menghembuskan nafas lega.
"Toako, aku toh sudah mengatakan bahwa terserah kau saja, Kau ingin membagi aku setengah dari jumlah itu, rasanya terlalu banyak. "
"Tidak, tidak terlalu banyak, Begini saja, kalau adik merasa jumlahnya terlalu banyak, Bagaimana kalau kita kurangi sejumlah seratus ribu tail untuk dibagikan rata kepada orang-orangku ini. Jadi kita masing-masing mendapat empat ratus lima puluh ribu tail."
"lde bagus, Tapi sayangnya aku tidak tahu bagaimana cara membaginya," sahut Siau Po.
"Mudah, serahkan saja pada toakomu ini. Maka kubagi sama rata dan mengatakan kau yang menghadiahkannya, Dengan demikian, mereka akan tunduk dan menurut apa pun yang kau katakan. Dalam urusan apa pun, kau bisa mengandalkan mereka. "
"Baiklah kalau begitu."
"Sekarang saudaraku, tentunya repot bagimu untuk membawa barang-barang ini pulang ke kamarmu Ada baiknya sebagian kita jadikan uang kontan dulu, sehingga jumlahnya tidak menyolok dan bisa kau bawa kemana-mana. Tentu tidak ada orang yang menyangka bahwa kita ini sebenarnya kaya raya."
Siau Po tersenyum, Dia merasa cara ini memang bagus sekali Namun dia masih ragu dengan semuanya ini. Benarkah aku mempunyai harta sebanyak empat ratus lima puluh ribu tail? Uang begitu banyak, bagaimana cara memakainya? Kalau hanya untuk makan enak, tidak memerlukan uang sebanyak itu, Lebih baik aku kembali ke Yangciu saja dan membuka sepuluh rumah pelesiran di sana, ibu tidak usah bekerja lagi. Dialah yang akan mengelola tempat itu menjadi besar dan menjadi saingan utama Li Cu-wan. Hm! Aku ingin sekali melihat tampang-tampang orang yang menghinaku dulu. Nama-ku tentu akan menjadi terkenal kemana-mana, Sungguh suatu kenyamanan yang tidak terlukiskan dengan kata-kata.
So Ngo-tu melihat Siau Po berdiri terpaku, wajahnya termangu-mangu. Dia berusaha menduga apa yang sedang dipikirkan bocah itu.
"Saudara, Sri Baginda dan Hong thayhou menunggu kitab ini. sebaiknya kita antarkan secepatnya. Mengenai harta Go Pay, nanti akan ku urus."
Siau Po tersentak dari lamunannya. Dia menganggukkan kepalanya, So Ngo-tu segera membungkus rapi kedua jilid kitab Si Cap Ji Cing-keng. Dengan masing-masing membawa satu jilid, mereka kembali ke istana,
Begitu bertemu dengan raja, keduanya segera memberikan laporan sekalian menyerahkan kedua jilid kitab itu. Kaisar Kong Hi senang sekali, setelah itu dia mengajak Siau Po menyertainya membawa kitab itu ke kamar ibu suri, So Ngo-tu tidak masuk ke dalam. Dia mengundurkan diri dan mengemukakan alasan bahwa dia akan membereskan harta benda Go Pay.
Ketika berjalan masuk, Raja menanyakan berapa jumlah harta Go Pay, Siau Po menjawab satu juta lebih seperti yang dikatakan So Ngo-tu. Dia mengatakan demikian untuk berjaga-jaga apabila di kemudian hari hal ini terbongkar oleh kaisar Kui Kong Hi, Dia bisa menimpakan kesalahan kepada saudara angkatnya itu.
"Huh!" Kong Hi mendengus dingin, "Telur busuk itu, begitu banyak dia memeras rakyat, Coba bayangkan nasib rakyat jelata yang diperasnya!"
"Kau tidak tahu hampir sebagian dari jumlah sebenarnya telah dimanipulasikan oleh So Ngo-tu dan dibagi ramai-ramai!" kata Siau Po dalam hati-nya. Dia juga menertawakan kaisar yang ternyata begitu mudah dikelabui.
Sejenak kemudian mereka sudah sampai di kamar thayhou, Raja segera menyerahkan kedua jilid kitab tersebut sambil menjelaskan bahwa Siau Kui cu dan So Ngo-tu yang menemukannya di kediaman Go Pay.
"Siau Kui cu, pekerjaanmu bagus sekali!" puji Hong thayhou, Dia langsung menyambut kedua jilid kitab itu. wajahnya berseri-seri.
Siau Po menjatuhkan diri berlutut dan menyembah Dia mengatakan bahwa semuanya berkat keberuntungan ibu suri sendiri.
Di samping ibu suri ada seorang dayang kecil, permaisuri berkata kepadanya. "Lui Cu, ajaklah Siau Kui cu ke belakang, Dan berikan manisan buah untuknya."
Dayang itu berusia sekitar tiga atau empat belas tahun, wajahnya manis dan menawan, Dia tersenyum sambil berkata, "Baik!" Siau Po langsung mengucapkan terima kasih kepada Hong thayhou.
"Siau Kui cu," kata Kong Hi. "Setelah menikmati manisan buah, kau boleh langsung kembali ke kamarmu, Aku ingin berdiam di sini bersama thayhou, Kau tidak perlu menunggu lagi."
Siau Po mengiakan, kemudian mengikuti Lui Cu. Mereka menuju sebuah dapur kecil yang letaknya di bagian dalam. Nona cilik itu membuka sebuah lemari di mana di dalamnya terdapat berpuluh macam manisan buah. Ada juga beberapa macam kue. Sambil tersenyum dia berkata kepada Siau Po.
"Kau bernama Siau Kui cu, karena itu kau harus makan dulu manisan Kui hoa siong- ci. Dia mengeluarkan sebuah dus yang berisi manisan Kui-hoa campur Siong-ci. Baunya harum sekali.
Siau Po tertawa.
"Cici yang baik, kau juga makanlah bersama."
"Thayhou menghadiahkannya untukmu, bukan untukku, Kami yang menjadi pelayan, mana boleh mencuri makanan?" katanya terus-terang.
"Kalau kita makan secara diam-diam, tidak ada orang yang mengetahuinya, bukan?" Wajah si nona menjadi merah jengah, Dia menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak bisa makan!"
"Kalau tidak, begini saja, aku akan menunggu sampai kau selesai melayani thayhou, manisan ini aku bungkus dan nanti kita makan bersama-sama," kata Siau Po.
"Lebih baik kau makan sekarang saja. Atau kalau memang kau ingin membungkusnya, boleh juga, Kau bisa nikmati di kamarmu, Tapi jangan kau tunggu aku, sebab selesai melayani thayhou, waktunya pasti sudah tengah malam," sahut Lui Cu malu-malu.
"Memangnya kenapa kalau tengah malam. Malah bagus karena tidak ada yang tahu? Bukan? Cici katakan, di mana kau akan menunggu aku?"
Melihat sikap Siau Kui cu yang demikian serius, Hati Lui Cu ikut tertarik. Di antara beberapa dayang ibu suri, Usianya memang paling muda, wajahnya cantik dan manis, sayangnya dia tidak begitu akrab dengan kawan-kawannya dan tidak pernah bisa terbuka seperti terhadap Siau Kui cu sekarang. Sikap bocah ini menarik simpatinya, Dia memperhatikannya lekat-lekat.
"Bagaimana kalau di taman luar?" tanya Siau Po. Gadis cilik itu ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk juga, Bukan kepalang senangnya hati Siau Po.
"Bagus, kita sudah mengadakan perjanjian sekarang kau ambilkan manisannya, pilih saja yang kau sukai," kata Siau Po kembali.
Lui Cu tersenyum.
"Kan bukan aku yang makan, Kok, aku yang disuruh pilih? Kau suka makan manisan apa?"
"Apa pun yang kau suka, aku pasti suka juga," sahut Siau Po. Nada suaranya manis sekali sehingga hati Lui Cu jadi berbunga-bunga.
Gadis cilik itu segera memilihkan beberapa macam manisan kemudian dusnya diserahkan kepada Siau Po.
"Nanti kentungan ketiga, aku menunggumu diluar pendopo, jangan lupa!" kata Siau Po. Lui Cu menganggukkan kepalanya, "Kau harus berhati-hati!" pesannya.
"Kau juga harus hati-hati!" kata Siau Po yang segera meninggalkan tempat itu.
Kalau ditilik dari usianya, Siau Po belum mengenal kata asmara, Dia masih seorang bocah cilik yang gemar bermain-main. Baginya, penyamaran sebagai Siau Kui cu adalah sebuah permainan yang menyenangkan.
Apalagi sampai sekian jauh, tidak ada seorang pun yang mencurigainya, namun kegembiraannya agaknya berkurang ketika mengetahui bahwa teman berkelahinya Siau Hian cu adalah sang Raja.
Di samping itu, kedudukannya tiba-tiba saja meningkat banyak, tapi dia tidak merasa puas, bukan itu tujuannya menyamar sebagai Siau Kui cu di istana ini, itulah sebabnya dia merasa bersemangat kembali mendapat teman baru seperti Lui Cu.
Padahal dia sadar sedang bermain api, bila ketahuan, jiwanya bisa celaka, namun dia tetap nekad melakukannya karena hal ini membangkitkan kegembiraannya.
Sesampainya di kamar, Hay kongkong menanyakan apa saja yang dilakukannya hari ini.
Siau Po menceritakan bahwa dia dititahkan Sri Baginda untuk ikut dengan So Ngo-tu menggeledah rumah Go Pay, tujuannya untuk menyita harta benda orang itu. Tentu saja dia tidak menceritakan soal harta yang disulap, serta pisau belati dan baju tipis yang diambilnya, Dia hanya mengatakan. "Kongkong, thayhou menyuruh aku mengambil kitab Si Cap Ji Cin-keng. Ternyata di rumah Go Pay, aku menemukan dua jilid kitab tersebut, persis dengan yang ada di samping meja thayhou. "
Tampaknya Hay kongkong terkejut setengah mati mendengar keterangan Karena dia sampai terlonjak bangun.
"Di dalam gedung Go Pay, ada dua jilid kitab yang sama?"
"Benar!" sahut Siau Po menegaskan "Thayhou dan Sri Baginda yang menitahkan aku mengambil kedua kitab itu, Kalau tidak, sudah kubawa kemari untuk kongkong."
Wajah Hay kongkong berubah menjadi kelam.
"Hm! Hm! Bagus sekali!" Nada suaranya agak menyeramkan.
Dapat dipastikan bahwa hati Hay kongkong tidak senang mendengar berita itu. Ketika Siau Po menyuguhkan bubur untuknya, orang tua itu hanya makan sedikit.
Kedua matanya mendelik ke atas sehingga yang terlihat hanya bagian yang putih saja, tampaknya dia sedang menguras otaknya memikirkan sesuatu.
Siau Po tidak memperdulikan thay-kam tua itu, selesai makan dia langsung beranjak tidur, dia ingat janjinya pada kentungan ketiga tengah malam nanti, pikirannya terus membayangkan wajah Lui Cu sehingga dia tidak dapat pulas.
Ketika bangun, dia berjinjit perlahan-lahan menuju pintu, Dia tidak ingin mengejutkan thay-kam tua itu. Tapi, baru saja dia membuka daun pintu, Hay kongkong sudah menegurnya.
"Siau Kui cu, hendak ke mana kau?" "Aku ingin buang air kecil." sahutnya.
"Kenapa tidak di dalam kamar saja?" tanya Hay kongkong dengan suara tajam. "Aku tidak dapat tidur, aku ingin mencari udara segar di taman!"
Siau Po khawatir dia akan dicegah oleh Hay kongkong, Tanpa membuang waktu lagi dia segera melangkah keluar, tapi baru kakinya maju satu tindak, tahu-tahu kerah lehernya telah tercekat kemudian dia ditenteng masuk oleh Hay kongkong.
Saking terkejutnya, Siau Po sampai menjerit, diam-diam dia berpikir dalam hati. "Apakah dia tahu aku ada janji dengan dayang cilik itu dan dia hendak
mencegahnya?" Belum selesai pikirannya melayang, tubuhnya sudah dibanting ke atas tempat tidur, otak Siau Ku cu bekerja kilat, cepat dia berkata.
"Ah, kongkong," katanya sembari tertawa, "kenapa kongkong masih suka bercanda? Sudah beberapa hari kongkong tidak mengajarkan ilmu silat kepadaku, jurus apakah yang kongkong mainkan barusan?"
"Hem!" Hay kongkong mendengus dingin. "Ini jurus "Menangkap biawak" yang tidak pernah gagal. Lihatlah, sekarang biawak tua akan meringkus biawak kecil!"
"Huh! Biawak tua meringkus biawak kecil?" dalam hati Siau Po jengkel sekali otaknya segera bekerja, sepasang matanya mengedar, dia ingin meloloskan diri, karena ingat janji dengan Lui Cu. Dia juga memikirkan manisan buahnya, Pasti dus-nya sudah ringsek karena tertindih tubuhnya ketika dibanting Hay kongkong tadi.
Hay kongkong menghenyakkan pantatnya di atas tempat tidur.
"Kau memang berani, juga sangat berhati-hati. Apalagi kau juga cerdas, ilmu silatmu masih belum cukup berarti, tapi kau mempunyai bakat besar. Sayang... Sayang. "
Siau Po tertawa,
"Kongkong, apanya yang disayangkan?" Dia bersikap seakan-akan hatinya sedang gembira sekali.
Hay kongkong tidak langsung menjawab dia menarik nafas dalam-dalam, Sesaat kemudian dia baru berkata lagi.
"Aksen suara Peking-mu sudah maju banyak, kalau delapan bulan yang lalu, aksenmu sudah sebaik sekarang, tentu tidak mudah aku mengetahuinya. "
Siau Po terkejut setengah mati, tubuhnya menggigil, keringat dingin membasahi seluruh wajahnya. Tapi dia memaksakan dirinya untuk tertawa.
"Kongkong, kau. "
"Anak, berapa tahun usiamu sekarang?" Siau Po dapat mendengar nada suaranya yang tidak sekeras tadi lagi, hatinya menjadi lega. Rasa takutnya agak berkurang, Dia berusaha untuk bersikap tenang.
"Tahun... ini usiaku empat. belas."
"Mengapa jawabanmu ragu-ragu?"
"A... ku tidak tahu berapa usiaku yang sebenarnya. Ibu. juga tidak mengingatnya,"
sahut Siau Po. Sebenarnya jawaban Siau Po itu bukan asal mengoceh saja. Dia memang tidak tahu berapa usianya yang sebenarnya.
Hay kongkong menganggukkan kepalanya, ia juga terbatuk-batuk.
"Dulu ketika belajar ilmu silat, aku pernah tersesat. Maksudku, salah latihan. Akhirnya timbullah penyakit batuk ini. Kemudian aku tahu penyakit ini tidak dapat disembuhkan lagi. "
"Sebaliknya, kongkong, Aku rasa batukmu malah sudah membaik. "
Hay kongkong menggelengkan kepalanya.
"Membaik? Tidak! Sedikit pun tidak! Aku merasa dadaku semakin nyeri, hal ini memang tidak pernah aku katakan padamu, karena itu kau pun tidak mengetahuinya. "
"Sekarang bagaimana? Apakah kongkong ingin aku mengambilkan obat?" tanya Siau Po.
"Mataku fidak bisa melihat, aku tidak mau sembarangan minum obat!"
Siau Po terdiam. Tidak berani dia bicara sembarangan Menurutnya, watak Hay kongkong malam ini aneh sekali, dia merasa perasaannya tidak enak.
"Jodoh mu bagus sekali, Nak. Kau sudah menjadi sahabat Raja, Kelak di kemudian hari, banyak hal yang dapat kau lakukan, Kau pun belum membersihkan tubuh, sebetulnya aku dapat melakukannya, hanya saja. sekarang ini rasanya sudah
terlambat."
Siau Po bingung, dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan thay-kam tua itu. Dia tidak tahu yang dimaksudkan dengan membersihkan tubuh adalah dikebiri, Dia hanya merasa kata-kata orang tua itu aneh sekali.
"Kongkong, sekarang sudah larut malam, sebaiknya kongkong beristirahat saja," kata Siau Po.
"Tidur, ya tidur sebetulnya waktu tidur sudah terlalu banyak, Pagi tidur, siang tidur, malam juga tidur. Kalau orang kebanyakan tidur, untuk selamanya dia tidak akan terjaga lagi, Anak, kalau seseorang tertidur untuk selamanya, bukankah dia tidak akan merasakan penderitaan lagi? Dia juga tidak akan mengalami sengsaranya batuk-batuk seperti ini. Bukankah bagus sekali?"
Siau Po membungkam, dia tidak berani memberi komentar apa-apa. Hatinya tercekat, dia merasa kata-kata Hay kongkong malam ini semakin lama semakin aneh.
"Anak!" Terdengar Hay kongkong berkata kembali "Masih ada siapa di rumahmu?" Sebetulnya pertanyaan itu sederhana sekali Sering diajukan oleh siapa pun juga, tetapi masalahnya Siau Po menyamar sebagai Siau Kui cu. sedangkan dia tidak pernah tahu riwayat hidup thay-kam cilik itu, Bagaimana kalau dia salah bicara? Namun, biar bagaimana pun, dia tidak bisa mengabaikan pertanyaan itu.
"Di rumahku masih ada seorang ibu saja, tentang yang lainnya, entahlah, aku merasa tidak bergairah membicarakannya."
"0h... jadi hanya tinggal ibumu seorang, Kalian orang Hokkian, Biasanya bagaimana kalian menyebut ibu?" tanya Hay kongkong.
Sekali lagi Siau Po terkesiap.
"Mengapa dia bisa mengatakan aku orang Hok-kian? Apakah karena Siau Kui cu memang orang suku itu? Mungkinkah si kura-kura tua ini sudah mengetahui samaranku? Kalau benar, apakah dia juga tahu bahwa akulah yang membutakan kedua matanya?"
Pikiran Siau Po terus bekerja, sedangkan mulutnya menjawab dengan gugup. "Aih! Un... tuk apa kau menanyakan hal itu?"
Hay kongkong menarik nafas daIam-dalam.
"Usiamu masih begitu muda, tapi mengapa hatimu begitu jahat? sebenarnya kau menuruni watak ibumu atau ayahmu?"
Rasa terkesiap dalam hati Siau Po jangan ditanyakan lagi. Tapi pada dasarnya dia memang berani, Dalam keadaan seperti ini, dia masih bisa tertawa.
"Aku tidak mirip dengan siapa pun. Watakku tidak terlalu bagus, tetapi juga tidak terlalu buruk."
Hay kongkong kembali terbatuk-batuk.
"Kau tahu, sejak masih muda aku sudah dikebiri, karena itulah aku menjadi thay- kam. "
Hampir saja Siau Po mengeluarkan seruan terkejut, sekarang dia baru mengerti apa maksudnya membersihkan diri. Diam-diam dia berpikir dalam hati, "Aku belum dikebiri, dan aku pun tidak mau. Pokoknya aku harus mencari akal untuk meloloskan diri dari tempat ini!"
"Sebenarnya aku mempunyai seorang anak Iaki-laki." Thay-kam tua itu melanjutkan kata-katanya. "Sayangnya, ketika berusia delapan tahun, dia meninggal. Kalau tidak, mungkin cucuku saja sudah seusiamu sekarang, Eh, laki-laki she Mau itu, apakah dia itu ayahmu ?" Jantung Siau Po berdebar-debar. "Bukan! Bukan!" sahutnya cepat.
Tanpa terasa nada suara atau dialek Siau Po kembali sebagaimana dulunya, yakni aksen orang Yangciu.
"Aku juga mempunyai dugaan demikian seandainya kau adalah anakku tidak nanti aku tinggalkan kau dalam bahaya untuk melarikan diri sendiri. Biar bagaimana, aku pasti berusaha menyelamatkanmu!"
"Sayangnya aku tidak mempunyai ayah yang sebaik dirimu," kata Siau Po dengan suara yang manis sekali.
"Aku sudah mengajarkan dua macam ilmu kepadamu Yang pertama Tay Kim-na hoat dan Taycu Taypi Cian-yap jiu! Tentunya kedua ilmu itu sudah kau pahami dengan baik, bukan?" kata Hay kongkong kembali.
"Ya, Tapi ada baiknya kongkong mengajarkan aku ilmu lainnya, Kepandaian kongkong terhitung nomor satu di dunia, tentu baik sekali apabila ada yang mewariskannya, Dengan demikian nama kongkong akan terangkat sehingga menjadi terkenal," kata Siau Po memuji.
Hay kongkong menggelengkan kepalanya.
"Nomor satu di dunia? Aku tidak berani menerimanya, Kau tahu, orang yang berkepandaian tinggi di dunia ini banyak sekali, Bahkan tidak terhitung.,." Hay kongkong menghentikan kata-kata-nya sejenak, seakan sedang mempertimbangkan sesuatu, Kemudian baru dia melanjutkan kata-katanya. "Coba kau tekan perutmu, kurang lebih tiga dim dari pusar dan katakan apa yang kau rasakan?"
Siau Po tidak mengerti mengapa dia disuruh melakukan hal itu, tetapi dia menurut. Tanpa dapat dipertahankan lagi, dia mengeluarkan seruan tertahan karena bagian yang ditekan itu terasa nyeri, Nafasnya tersengal-sengal dan keringat dingin bercucuran.
"Bagaimana? Enak bukan?" suara Hay kongkong benar-benar tidak enak didengar.
Panas sekali hati Siau Pp disindir sedemikian rupa, Dia pun memaki dalam hatinya. "Dasar kura-kura tua tidak tahu mampus! Kura-kura tua busuk!" mulut dia menyahut
dengan tenang. "Oh, memang enak sekali, hanya sedikit nyeri saja, kok!"
"Setiap hari kau pergi berjudi dan berkelahi dengan Sri Baginda, sebelum kau pulang, hidangan sudah diantarkan kemari, aku merasa supnya kurang lezat, setiap hari dari dalam peti aku mengeluarkan sebotol obat yang lantas aku campurkan dalam sup itu. Dosisnya sedikit sekali sebab kalau banyak-banyak, reaksinya pada tubuhmu bisa membahayakan. Aku sadar tidak boleh melakukan hal itu, kau seorang bocah yang sangat cerdik, kau pasti akan curiga, dengan menaruh obat itu sedikit demi sedikit, kau tidak menyadarinya, bukan?"
Siau Po semakin terperanjat jantungnya berdegup semakin kencang. "A... ku... aku kira kau tidak suka makan sup. "
"Sebenarnya aku suka, tapi karena, di dalam sup ada racunnya biarpun hanya sedikit, aku jadi tidak suka, Siapa yang memakannya, lama-lama akan menjadi penyakit. Benar kan?"
Semakin kesal hati Siau Po. "Benar-benar sekali!" Dia mengangkat jempol tangannya. "kongkong, kau memang lihay sekali!"
Thay kam tua itu menarik nafas panjang, "Bukan, bukan begitu, Untuk melatih ilmu Tay-cu Taypi cian-yap Jiu, orang juga harus melatih pernafasannya, ini yang dinamakan latihan tenaga dalam. Latihan itu dapat menahan racun dalam tubuhmu, Kalau kau tidak melatih ilmu itu, mungkin sejak empat lima bulan yang lalu, kau sudah dilanda sakit yang tidak tertahankan.
Sampai satu tahun kemudian, kau tidak dapat menahan nyeri itu lagi sehingga kau akan membenturkan kepalamu ke dinding atau menggigit tanganmu sendiri!"
Berkata sampai di sini, dia berhenti sejenak untuk mengatur pernafasannya yang mulai memburu, "Yang harus disayangkan justru aku, penyakit ini membuat aku semakin lama semakin tidak berdaya, itulah sebabnya aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "
Perasaan Siau Po menjadi agak lega mendengar kata-katanya. Di samping itu dia juga memikirkan untuk mencari akal guna meloloskan diri dari cengkeraman thay-kam tua yang licik ini.
"Biarlah, meskipun ilmunya tinggi sekali, tapi toh matanya sudah buta, Kalau aku menyembunyikan diri, mana mungkin dia bisa mencari aku?" pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba sebuah ingatan yang bagus melintas di benak Siau Po. "Baru saja aku mendapatkan sebilah belati mustika yang tajamnya luar biasa, Kenapa aku tidak mencobanya saja?"
Membawa pikiran ini, dia segera berkata, "kongkong, kiranya sejak semula kau sudah tahu bahwa aku bukan Siau Kui cu yang asli, itukah sebabnya kau ingin menyiksa aku dengan cara ini? Ha... ha... ha... ha. ! sayangnya kau juga telah kena
dikelabui olehku, Ha,., ha... ha. ha.,.!" Siau Po tertawa terbahak-bahak. Sembari tertawa, Siau Po menundukkan tubuhnya dan mencabut belati yang terselip di kaos kakinya, Dia melakukannya dengan hati-hati. Dan dia yakin, meskipun timbul sedikit suara, tapi suara tawanya itu akan menutupinya.
"Dalam urusan apa aku dikelabui olehmu?"
Sengaja Siau Po mengarang-ngarang cerita agar perhatian thay-kam tua itu teralihkan.
"Sejak semula aku sudah tahu bahwa sup itu beracun, Aku langsung membicarakannya dengan Siau Hian cu. "
"Apa katanya?"
"Dia mengatakan bahwa kau ingin mencelakai aku!"
Hay kongkong tidak dapat menutupi rasa terkejutnya. "Oh! Jadi Sri Baginda menduga demikian?"
"Kenapa tidak? Cuma waktu itu aku masih belum tahu bahwa Siau Hiancu adalah Sri Baginda. Dia menganjurkan aku agar pura-pura tidak tahu demi menjaga diri terhadap hal yang tidak diinginkan. Dia menyuruh aku setiap hari minum sup itu kemudian dimuntahkan kembali. Kau kan tidak melihatnya, bukan?"
Sembari berkata begitu, pisau belatinya telah terhunus, bagian yang tajamnya di arahkan ke Hay kongkong. Diam-diam dia berpikir dalam hati. "Aku harus menikamnya dengan tepat Kalau dia tidak langsung mati, tentu aku yang akan dibunuhnya!"
Dalam usia tiga atau empat belas tahun, Siau Po sudah bisa menggunakan otaknya mencari akal dan pemecahan bagaimana harus berbuat otaknya cerdas, apa pun dapat dipelajarinya dengan cepat.
Hay kongkong setengah percaya setengah tidak dengan ucapan Siau Po itu. Terdengar dia tertawa dingin.
"Kalau kau tidak makan sup itu, bagaimana kau bisa merasa nyeri di perutmu barusan?"
Siau Po menarik nafas panjang.
"Masaiahnya begini, meskipun aku sudah muntahkan sup itu kembali, tetapi aku tidak sempat langsung mencuci mulut Karena itu, sedikit banyak racun itu menempel dilidahku, Lama-lama toh akan membawa pengaruh juga di tubuhku ini."
Jarak Siau Po dengan thay-kam tua itu tinggal setengah tindak. Dia tinggal menunggu kesempatan yang baik untuk menyerangnya tepat di tengah jantung. "Bagus!" kata Hay kongkong. "Racunku itu tidak ada obatnya, Kau makan sedikit reaksinya memang menjadi lambat, namun penderitaan yang akan kau rasakan juga semakin hebat!"
Siau Po tertawa terbahak-bahak. Tenaga dalamnya dikerahkan ke tangan kanan, tiba-tiba saja dia menikam ke jantung thay-kam tua itu!
Hay kongkong tercekat hatinya, namun dia memang lihay sekali, begitu merasakan adanya serangkum angin dingin yang menyambar, dia langsung mempunyai dugaan buruk.
Dengan gerakan spontan, tubuhnya maju ke depan, tangannya menangkis sekaligus mengirimkan serangan. Tangan kiri menangkis, tangan kanan menyerang.
Buk! Blam! Terdengar suara keras yang saling susul, dalam sekali gerak, kedua tangannya sudah memperlihatkan hasil.
Tubuh Siau Po terpental ke belakang dan menghantam daun jendela sehingga jebol seketika kemudian melayang keluar dan jatuh di atas tanah dengan menerbitkan suara keras, Siau Po merasa lengan dan seluruh tubuhnya nyeri bukan main.
Di pihak lain, Hay kongkong juga merasa terkesiap sebab telapak tangannya terasa bukan main nyerinya, Ternyata keempat jari tangannya telah terkutung akibat tangkisannya pada belati mustika Siau Po tadi.
Bahkan kalau reaksinya tadi kurang cepat, pasti saat ini dadanya sudah tertikam, namun sekarang hanya kulit luarnya saja yang tersayat.
Seandainya belati yang digunakan Siau Po bukan barang langka, ke empat jari tangannya sendiri juga tidak perlu terkutung karena tenaga dalamnya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali.
Terdengar Hay kongkong tertawa dingin, suaranya itu sungguh menggidikkan hati, Dalam dugaannya, mungkin Siau Po tidak dapat bertahan lebih lama lagi karena lukanya yang kelewat parah.
"Sungguh kematian yang terlalu enak baginya!" Thay-kam tua itu mendumel sendiri, Setelah itu dia mengoyak kain sprei untuk membalut luka di tangannya.
Setelah selesai, dia menggumam lagi seorang diri.
"Entah senjata apa yang digunakan bocah sialan itu. Mengapa bisa begitu tajam? Eh, jangan-jangan yang digunakannya adalah senjata mustika!"
Dengan membawa pikiran itu dia segera keluar dari jendela untuk mencari bocah itu. Tapi, meskipun sudah meraba kesana kemari, dia tetap tidak berhasil menemukan Siau Po, apalagi senjata mustikanya. Hay kongkong sempat bingung. Karena meskipun matanya buta, dia dapat menduga dengan tepat di mana jatuhnya tubuh Siau Po tadi. Dia juga masih hapal di luar kepala mana letak taman dan setiap pepohonan yang ada di sana. Tapi meskipun sampai kewalahan dia mencarinya, tetap saja dia tidak menemukan apa-apa.
"Mungkinkah ada orang yang langsung menyingkirkan mayatnya?" tanyanya dalam hati, "Siapa orang itu dan kemana mayatnya disingkirkan? Mengapa aku tidak berhasil menemukannya?"
Si thay-kam tua tetap yakin bahwa pukulannya sudah berhasil membunuh Siau Po. Padahal, kenyataannya Siau Po memang belum mati, Dia hanya merasakan nyeri di seluruh tubuhnya, dadanya sesak.
Memang ketika terpanting keluar, dia sendiri mempunyai dugaan bahwa jiwanya akan melayang, Hampir saja ia putus asa. Karena apabila hal itu terjadi, dendamnya karena dicelakai thay-kam tua itu pasti tidak bisa dibalas lagi.
Namun ketika menyadari dirinya tidak mati, cepat-cepat dia menggulingkan tubuhnya menjauhi tempat jatuhnya tadi, Hal ini karena mendadak ia ingat ada kemungkinan Hay kongkong tidak yakin akan kematiannya dan akan keluar untuk memastikannya.
Mengingat bahaya yang dihadapinya, dia segera menggulingkan tubuhnya, kemudian merayap beberapa tindak, namun dia roboh kembali, Dan kebetulan tanah tempatnya roboh itu cukup landai, sehingga dia bergulingan ke bawah.
Sampai sejauh belasan tombak, gerakan tubuhnya baru terhenti Akhirnya dia dapat berdiri juga walaupun seluruh tubuhnya masih terasa ngilu. Untungnya belati mustika yang didapatkan dari rumah Go Pay masih tergenggam erat di tangannya.
"Sayang si tua bangka itu tidak sampai mampus di ujung belatiku ini. Dasar nasibnya lagi terang!" gerutunya dalam hati.
Diam-diam dia juga bersyukur bahwa dirinya sendiri masih hidup, setelah menyelipkan kembali belatinya ke dalam kaos kaki, Siau Po berpikir kembali.
"Rahasiaku sudah terbongkar Aku tidak bisa tinggal lagi dengan kura-kura tua itu. Berbahaya sekali jiwaku bisa diincarnya setiap saat. Sayang uangku masih belum diberikan oleh So toako. Aih Sudahlah, anggap saja aku sudah menghamburkannya dalam satu malam sehingga ludes! Tapi, bagaimana dengan dayang cilik itu?" Tiba-tiba ingatannya kembali pada Lui Cu.
"Pasti dia sedang menunggu aku! Hampir saja Siau Po menjerit kecewa ketika mendapatkan manisan buahnya sudah hancur semua." Aku harus menemuinya dan memperlihatkan manisan ini kepadanya, Biar bagaimana, manisan ini masih harum dan rasanya masih bisa dimakan. " Membawa pikiran demikian, Siau Po cepat-cepat melangkah keluar sesampainya di depan pintu pendopo, lagi-lagi nyaris dia berteriak saking kesal Ternyata pintu itu terkunci Mana mungkin dia bisa masuk ke dalam?
Siau Po berdiri termangu-mangu. pikirannya bingung. Dia merasa gundah, Beberapa saat kemudian tiba-tiba pintu itu terbuka, lalu menyembullah sebuah kepala.
Ketika Siau Po memperhatikan dengan seksama, hatinya menjadi senang, Dia mengenali orang itu sebagai si dayang cilik yang mengadakan perjanjian dengannya.
Lui Cu sedang menggapai kepadanya sambil tersenyum manis, Tanpa berpikir panjang lagi Siau Po segera menghambur ke depan dan menyelinap masuk lewat celah pintu yang tersingkap.
"Aku khawatir kau tidak dapat masuk, Karena itu aku menunggumu di sini," kata si dayang cilik yang bibirnya tetap mengembangkan senyuman menawan "Sudah cukup lama juga aku menunggumu."
"Maafkan keterlambatanku," sahut Siau Po. "Di tengah jalan aku bertemu seekor kura-kura tua yang baunya bukan main. Batoknya keras sekali Aku ditabraknya sehingga jatuh terguling."
Lui Cu jadi tertegun mendengar keterangannya.
"Apakah di taman ini ada kura-kura yang begitu besar? Aih! Aku, kok belum pernah melihatnya, Lalu, apakah sakit sekali tubuhmu sekarang?"
Siau Po sedang menghampiri nona cilik itu, ketika dia bertanya, Tiba-tiba saja dadanya terasa nyeri kembali, untuk sejenak dia sudah melupakannya tadi karena terlalu gembira melihat si nona membukakan pintu untuknya, dia sampai mengeluarkan suara erangan.
Lui Cu dapat melihat keadaan bocah itu, Cepat-cepat dia menghampiri Siau Po dan membimbingnya agar tidak sampai terguling.
"Masih sakit?" tanyanya lembut.
Baru saja Siau Po hendak menjawab pertanyaannya, tetapi gerakan bibirnya terhenti karena saat itu juga dia melihat sesosok bayangan yang berkelebat.
Bayangan itu besar dan gerakannya cepat, sehingga mirip dengan burung garuda, namun ketika bayangan itu berdiam diri, Siau Po dapat melihat tegas bahwa itu merupakan seseorang yang tubuhnya kurus dan membungkuk. Malah Siau Po langsung mengenalinya sebagai Hay kongkong, si thay-kam tua. jantungnya berdebar- debar dengan kencang. Lui Cu juga sudah melihat orang itu. sementara itu, Hay kongkong menatap ke arah mereka dengan pandangan mata yang garang, sayangnya dia suda buta, Kalau tidak, tentu dia bisa mengenali Siau Po dan dayang cilik itu. Padahal jarak mereka hany terpaut dua kaki saja.
"Jangan bersuara!" bentak Hay kongkong garang, "Kalau tidak menurut apa kataku, kau akan mati! jawab perlahan-lahan, siapa kau?"
"Aku... aku. " Lui Cu menjadi gugup karena takut.
Thay-kam tua itu mengulurkan tangannya meraba kepala nona cilik itu, Dia juga mengusap wajahnya.
"Kau dayang keraton, bukan?" "Be. nar," sahut si nona cilik.
"Sekarang sudah tengah malam, apa yang kau lakukan di sini?" suaranya perlahan, tapi sinis sekali.
"A... ku,., sedang men... cari udara segar. "
Hay kongkong tersenyum, namun senyumannya itu benar-benar menggidikkan bagi siapa pun yang melihatnya, rembulan menyembunyikan dirinya sebagian sehingga cuaca tampak kelam.
"Dengan siapa kau di sini?" tanya Hay kongkong kembali. Dia menoleh, telinganya dipasang, Dia dapat mendengar deru nafas seseorang yang lain.
Tadi, karena terkejut, nafas Lui Cu memburu, itulah sebabnya Hay kongkong bisa mengetahui bahwa di sana ada orang, sedangkan Siau Po berdiri di samping nona cilik itu, tentu saja suara nafasnya juga tidak luput dari telinga thay-kam tua yang tajam itu.
Mendengar pertanyaan Hay kongkong, Siau Po terkejut setengah mati, Dia ingin memberi isyarat kepada si nona, tapi dia tidak berani bersuara atau menggerakkan kaki tangannya karena takut ketahuan Untung Lui Cu juga cerdik sekali, dia dapat menduga isi hati Siau Po dari sinar matanya.
"Ti... tidak. " sahutnya cepat.
"Di mana Hong thayhou sekarang?" tanya Hay kongkong kembali "Antar aku menemuinya!"
"Kong.,, kong... kau,., aku ha... rap kau jangan ber. kata apa-apa kepada ibu suri,
lain kali. aku tidak berani lagi," kata Lui Cu panik. Nona cilik ini menyangka Hay kongkong sudah memergoki perbuatannya dan akan diadukan kepada Hong thayhou.
"Kau tidak perlu memohon apa-apa kepadaku. Kalau kau tidak antar aku sekarang, aku akan membunuhmu!"
Hay kongkong mencekal tangan nona itu erat-erat, sebelah tangannya lagi mencekik leher dayang itu. Wajah si nona cilik jadi merah padam karena nafasnya sesak.
Siau Po juga terkejut setengah mati, Hampir saja dia mengeluarkan seruan. Untung saja dia dapat mengendalikan perasaannya.
"Lekas jawab!" bentak Hay kongkong, Cekikannya pada leher si nona dikendurkan. "A... ku akan mengajakmu Ma... ri," sahut Lui Cu lirih.
Terpaksa dayang cilik itu mengajak Hay kongkong masuk ke dalam pendopo yang mana merupakan tempat tinggal ibu suri, Tetapi si nona sempat mengedipkan matanya kepada Siau Po agar dia segera meninggalkan tempat itu.
"Thayhou berada di kamar tidur," katanya perlahan.
Hay kongkong mengikutinya, tapi tangan kirinya tetap mencekal nona itu. Otak Siau Po bekerja keras, Dia mengkhawatirkan Lui Cu, juga mencemaskan ibu suri, Diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Pasti si kura-kura tua ini akan mengadukan samaranku kepada Hong thayhou, dia juga akan menceritakan kematian Siau Kui cu dan kebutaan matanya yang disebabkan olehku, Dia akan meminta kepada Hong thayhou untuk memerintahkan para pengawal menangkap aku.
Bahaya sekali, Tapi, mengapa ia tidak mengadu kepada Sri Baginda saja? Apakah karena tahu aku bersahabat baik dengan Raja dan kaisar Kong Hi akan membela aku? Apa yang harus kulakukan sekarang? Ah! Aku harus segera melarikan diri, Tapi, mana mungkin? Pintu istana sudah dikunci, lagipula di depan banyak pengawal sebentar lagi Hong thayhou pasti akan menitahkan mereka menangkapku, Biarpun seandainya punya sayap, rasanya sulit untuk meloloskan diri dari tempat ini..."
Ketika Siau Po masih bingung untuk mengambil keputusan Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita.
"Ah! Hay tayhu! Akhirnya kau datang juga mencariku!"
Siau Po terkesiap, Suara itu sinis dan menggidikkan hati orang yang mendengarnya, namun yang paling membuat dia terkejut justru karena dia mengenalinya sebagai suara Hong thayhou, Rasanya dia ingin sekali mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. Tepat pada saat itu juga, terdengarlah suara Hay kongkong.
"Benar! Hambamu ini memang Hay tayhu, Hambamu datang kemari untuk memberi hormat kepada kau orang tua!" Nada suara thay-kam tua itu tak kalah sinis dan menyeramkan. Tampaknya dia mengandung niat yang kurang baik.
Siau Po keheranan, diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Eh, siapa kiranya si kura-kura tua ini dalam anggapannya? Mengapa bicaranya begitu kurang ajar kepada thayhou? Nada suaranya juga tidak enak didengar. Mungkin thayhou juga tidak menyukainya, Eh, bukankah aku sudah tidak mungkin melarikan diri dari tempat ini? Mengapa aku tidak coba menentangnya saja? Bukankah aku baru mendapat pujian dari Sri Baginda dan Hong thayhou karena jasaku yang besar? Apa artinya membunuh seorang Siau Kui cu dan membutakan matanya thay-kam tua itu? Aku rasa itu bukan kesalahan besar. Kalau perlu, mungkin saudara So Ngo Ta bisa membantuku. Tapi kalau aku kabur, kemudian si kura-kura tua ini mengoceh sembarangan siapa yang berani menentang atau menyangkalnya? Pasti kesalahanku akan dibesar-besarkan olehnya!" pikir Siau Po dalam hatinya.
Otaknya terus bekerja, "Bagaimana kalau thay-hou menanyakan alasanku membunuh Siau Kui cu? Apa yang harus kujawab? Aku... akan mengatakan... aku akan mengatakan... oh ya, aku akan mengatakan bahwa aku mendengar Siau Kui cu dan si kura-kura tua ini memburuk-burukkan thayhou dan Sri Baginda. Karena mendengar kata-kata yang kotor, sehingga aku tidak dapat menahan diri, lalu kubunuh Siau Kui cu dan kubutakan mata si kura-kura tua.
Bagaimana kalau aku ditanya apa saja kata-kata kotor yang dilontarkannya? Ah, aku toh dapat mengarangnya, Kalau berkelahi dengan kura-kura tua itu, aku memang bukan tandingannya, Tapi kalau adu bicara, hm... dia harus belajar sepuluh tahun lagi untuk menandingi aku. Lihat saja nanti!"
Dengan berpikiran demikian, perasaan Siau Po jadi agak Iega. Dia juga menjadi berani, Dibatalkannya niat untuk meninggalkan tempat itu, karena resikonya toh terlalu besar.
Namun masih ada satu hal yang menjadi pemikirannya, yakni kepandaian Hay kongkong yang tinggi sekali, "Dalam satu gebrakan saja dia sanggup membunuh diriku, sebaiknya aku mencari posisi yang tersembunyi dengan demikian bila dia menyerang aku, dia tidak akan berhasil mencapai maksud hatinya itu," demikian pikir Siau Po.
Terdengar suara ibu suri yang berkata. "Kau ingin memberi selamat kepadaku? Mengapa tidak datang di siang hari, malah di tengah malam begini, Aturan dari mana itu?"
"Aku mempunyai sebuah rahasia yang ingin kuceritakan kepada thayhou, siang hari terlalu banyak orang dan banyak telinga, kalau sampai rahasia ini diketahui tentu tidak baik," sahut si thay-kam tua. "Nah, ini dia!" kata Siau Po dalam hati, "Sekarang dia pasti ingin membeberkan kesalahanku Biar aku dengarkan dulu apa yang akan diocehkannya, kalau sudah setengah nanti, baru aku menukasnya, tentu belum terlambat untuk menyangkalnya!"
Siau Po menoleh ke kanan kiri, dia ingin mencari sebuah tempat yang aman dan leluasa untuk mendengarkan percakapan itu, Kemudian dia melihat sebuah gunung buatan di samping kolam ikan emas, dia segera menuju ke tempat itu yang dianggapnya cukup bagus.
"Kalau si kura-kura tua menyerang, aku akan loncat ke dalam koIam, Lalu berenang ke seberang dan menerjang masuk ke dalam kamar thayhou, Meskipun kura-kura tua itu mempunyai sembilan nyawa, tentu dia tidak berani menyerbu masuk."
"Hm!" Terdengar thayhou mendengus dingin "Rahasia apakah yang ingin kau sampaikan? Katakan saja sekarang!"
"Apakah di sini tidak ada orang lainnya?" tanya Hay kongkong, "Apa yang ingin hamba sampaikan adalah sebuah rahasia besar!"
"Apakah kau ingin masuk ke dalam untuk memeriksanya? Bukankah ilmu silatmu sudah mencapai taraf yang tinggi sekali? Apakah kau tidak bisa mendengar bahwa di sini tidak ada orang lainnya?" tantang thayhou.
"Mana berani hamba masuk ke dalam kamar thayhou? Bolehkah thayhou keluar ke sini, sebab ada rahasia besar yang ingin hamba utarakan."
"Huh! Semakin lama nyalimu semakin besar saja! siapakah yang kau andalkan sehingga sikapmu demikian kurang ajar?" tegur thayhou.
Mendengar teguran ibu suri, hati Siau Po merasa puas. "Memang kura-kura tua ini sudah keterlaluan, beraninya bersikap demikian tidak sopan terhadap Hong thayhou!" batinnya.
Sementara itu, terdengar sahutan Hay kong-kong. "Hambamu mana berani. "
"Hm!" suara Hong thayhou semakin dingin, "Kau. kau memang sudah lama tidak
memandang sebelah mata terhadapku! Malam ini, tanpa terduga-duga kau datang kemari, sebetulnya niat busuk apa yang terkandung dalam hatimu?"
Semakin puas hati Siau Po mendengarnya, "Oh, dasar kura-kura tua. Ketemu batunya kau kali ini! Rasanya aku tidak perlu campur tangan lagi, Thay-hou sendiri bisa memakimu sepuas hati!"
Terdengar suara Hay kongkong yang tetap tenang. "Kalau thayhou memang tidak mau mendengarnya, tidak apa-apa. sebetulnya aku mempunyai berita tentang orang itu. Nah, aku pergi saja!" Orang tua itu berlagak seakan ingin meninggalkan tempat itu dengan membalikkan tubuhnya.
Sedangkan Siau Po yang mengira bahwa si thay-kam tua hendak berlalu, belum apa- apa sudah kegirangan "Ah, kau mau pergi? Pergilah! Lebih cepat lebih baik!"