Kaki Tiga Menjangan Jilid 04

Jilid 04

Semua itu diperhatikan oleh Siau Po. Diam-diam dia berdiri lalu berjalan menuju meja, dengan ujung kelingking dia mengorek obat dari bungkusan tadi dan lalu menuangkannya ke dalam cawan arak. Setelah mengorek tiga kali, Siau Po khawatir dosisnya masih kurang keras, dia menambah dua korekan lagi.

Dari dalam kamar terdengar suara Sau Ku cu.

"Kong kong, apakah kau sudah merasa baikan? jangan berendam terlalu lama!" "Baik... baik!" sahut si thay-kam tua. "Panas... panas seperti terbakar api."

Sementara itu Siau Po melihat pisau belati di atas meja, diambilnya pisau itu, kemudian ia rebah kembali di samping Mau Sip-pat dalam posisi semula. Terdengarlah suara air dari dalam kamar, kemungkinan Hay kongkong sudah selesai berendam. 

Dia keluar dengan dipapah oleh Siau Kui cu. Suara batuknya masih belum berhenti.

Siau Kui cu mengambil cawan arak kemudian membawanya ke dekat mulut Hay kongkong, orang tua itu masih terbatuk-batuk sehingga dia tidak dapat meminum arak itu. Siau Po memperhatikan dengan seksama, hatinya tegang bukan main, jantungnya berdebar-debar. Dia berharap Hay kongkong meneguk arak itu.

"Lebih baik tidak usah minum obat, tidak usah minum obat.,." kata Hay kongkong. "Ya..." sahut Siau Kui cu. Diletakkannya cawan arak di atas meja, kemudian dia 

membungkus rapi obat tadi dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.

Masih saja thay-kam tua itu terbatuk-batuk, akhirnya dia menunjuk ke arah cawan arak di atas meja, Siau Kui cu segera mengambilnya dan kembali membawanya ke depan mulut Hay kongkong. Kali ini si thay-kam meneguk seluruh isinya hingga kering.

Sementara itu Mau Sip-pat sudah habis kesabarannya, nulutnya mengeluarkan erangan sedikit.

"Kau berharap... dapat... hidup terus, bukan?" tanya Hay kongkong. Baru dia selesai bertanya, tiba-tiba terdengar suara: Buk! Kursi yang didudukinya rubuh terguling, tangannya sempat memegangi ujung meja, tetapi tekanannya terlalu keras, sehingga meja itu tidak kuat bertahan, tubuh Hay kongkong pun bergulingan di atas tanah.

"Kongkong! Kongkong!" panggil Siau Kui cu yang terkejut sekali, serta merta dia menghambur ke depan untuk memapah tubuh orang tua itu, posisinya sekarang memunggungi Mau Sip-pat dan Siau Po.

Wi Siau Po maklum apa yang harus dia lakukan, wataknya memang berani sekali, dia bangkit dan tiba-tiba dia menerjang ke arah Siau Kui cu, sebelum thay-kam cilik itu menyadari apa yang sedang terjadi, punggungnya sudah tertikam pisau belati di tangan Siau Po. Hanya satu kali dia sempat menjerit kemudian tubuhnya roboh terguling, otomatis tubuh Hay kongkong pun jatuh kembali.

Siau Po menghampiri thay-kam tua itu. Pisau belati masih digenggamnya erat-erat. Dia bermaksud menikam orang tua itu, tetapi tiba-tiba Hay kongkong membuka matanya dan berkata kepada pelayannya.

"Eh, eh.... Siau Kui cu, kok, rasanya obat ini kurang beres...?"

Siau Po terkejut sekali, dia batal menikam, Hay kongkong tidak hanya bertanya, dia memutar tubuhnya sambil mengulurkan tangannya. Tangannya malah membentur pergelangan tangan Siau Po yang mana langsung dicekalnya.

"Siau Kui cu, a... pakah... barusan kau tidak salah menakar obat?"

"Ti... dak sa... lah!" sahut Siau Po dengan membuat suaranya kurang jelas, Dia merasa cekalan pada tangannya nyeri sekali sehingga rasa sakitnya menghebat, tetapi dia tidak berani menjerit karena takut suaranya dikenali.

"Cepat... cepat nyalakan lilin!" seru Hay kongkong gugup. "Gelap sekali, apa pun tidak terlihat!"

Siau Po bingung sekali, api lilin menyala dengan terang, mengapa thay-kam tua itu mengatakan keadaannya gelap gulita. Suatu ingatan melintas dalam benaknya, "Jangan-jangan matanya menjadi buta sehingga yang dilihatnya hanya kegelapan?" Siau Po ingin mendapatkan kepastian.

"Lilin masih menyala, Kong kong, apakah kau tidak melihatnya?"

Suaranya Siau Po berbeda dengan suara Siau Kui cu. Hal ini karena Siau Po orang Yang-ciu, sedangkan Siu Kui cu adalah bangsa Boan ciu, tetapi dia berusaha menirukan suaranya, agar tidak dikenali oleh Hay kongkong.

"Aku tidak melihatnya..." sahut Hay kongkong. "Siapa bilang lilin itu dalam keadaan menyala Lekas sulut!" teriaknya sambil melepaskan cekala pada tangan Siau Po. "Ya... ya!" sahut Siau Po. Cepat-cepat dia menjauhkan diri, dia berjalan menuju dinding dan sengaja membenarkan tubuhnya satu kali agar bersuara, "Lilin telah dinyalakan!"

"Apa? Ngaco! Kenapa kau masih belum menyalakan lilinnya?"

Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba tubuhnya terguling jatuh kembali Hay kongkong rebah dalam posisi terlentang. Melihat keadaan itu, Siau Po segera memberi isyarat dengan tangan agar Mau Sip-pat segera meninggalkan tempat itu, tetapi Sip-pat justru menggapaikan tangannya karena dia ingin mengajak Siau Po.

Bocah cilik itu berpikir dalam hatinya, "Dua orang minggat bersama lebih berbahaya, mudah dipergoki orang. Lebih baik mereka memencarkan diri, karena itu dia memberi isyarat kepada kawannya agar lari terlebih dahulu.

Mau Sip-pat sempat bimbang sejenak, Terdengar Hay kongkong merintih. "Siau... Kui cu.... Siauw.. Kui... cu!"

"Ya, aku di sini," sahut Siau Po sambil mengibaskan tangannya menyuruh Mau Sip- pat meninggalkan tempat itu.

Mau Sip-pat tidak bisa kabur, kedua kakinya masih tertotok, Dengan kedua tangannya dia memijit dan mengurut bagian pinggang dan kedua betisnya, sebegitu jauh, dia masih belum berhasil.

"Aku tak dapat berjalan, memang tidak mudah aku mengajak Siau Po. ia masih kecil tapi juga cerdik sekali, mungkin dengan mudah dia dapat meloloskan diri, tetapi kalau kita lari bersama, lebih gawat lagi kalau kita dihadang oleh para pengikut Hay kongkong yang lainnya," pikirnya dalam hati.

Membawa pikiran demikian, Mau Sip-pat pun merayap meninggalkan tempat itu. sebelumnya dia memberi isyarat kepada Siau Po. Dengan kedua tangan dia menyeret tubuh serta kakinya.

Hay kongkong masih merintih terus, Siau Po tidak berani meninggalkannya. Dia sadar, apabila Hay kongkong mengetahui bahwa Siau Kui cu sudah mati, orang tua itu pasti akan berteriak sekeras-kerasnya sehingga orang-orang berdatangan dan pada saat itu, tamatlah riwayat Siau Po.

"Mau toako kena masalah karena ulahku, Kedua kakinya terluka. Entah sampai kapan baru bisa sembuh dan bagaimana caranya meloloskan diri dari tempat ini. Lebih baik aku menunggu di sini saja, Yang penting si tua bangka ini tidak tahu kalau aku bukan Siau Kui cu. Keadaannya parah sekali, kalau dia pingsan, aku bunuh saja sekalian, baru melarikan diri," pikir Siau Po. Beberapa saat kemudian terdengar suara kentungan dipukul satu kali. Hal ini menandakan bahwa saat itu sudah masuk kentungan pertama. Tampak sinar lilin berkelebat, Siau Po menoIehkan kepalanya, rupanya salah satu lilin di ruangan itu sudah tersulut habis, dan saat itu juga dia melihat mayat Siau Kui cu masih menggeletak di sana, Tiba-tiba saja perasan bocah itu jadi takut.

"Aku yang membunuhnya, bagaimana kalau tiba-tiba dia menjadi setan dan minta pertanggungan jawab dariku?" pikirnya dalam hati.

Siau Po berdiam diri sejenak, kemudian dia mengambil keputusan untuk melarikan diri selagi masih tengah malam. Suara rintihan Hay kongkong masih terdengar membuktikan bahwa thay-kam tua itu tidak pingsan.

Biarpun nyali Siau Po cukup besar, tetapi dia tidak berani terlalu dekat thay-kam tua itu untuk menikamnya, Dia sadar ilmu orang tua itu tinggi sekali, salah sedikit saja dia pasti mengetahui apa yang akan dilakukannya. 

Bila dia menggerakkan kaki atau tangannya saja, celakalah Siau Po, apalagi kalau bagian kepalanya yang kena, bisa-bisa remuk karena tenaga dalam thay-kam tua yang kuat sekali itu.

Tidak lama kemudian, padamlah dua batang lilin yang lainnya, pandangan mata Hay kongkong sudah rusak, ada lilin atau tidak tentu bukan persoalan lagi baginya, berbeda dengan Siau Po, hatinya semakin kebat-kebit mengingat mayat Siau Kui cu dan bisa tersentuh apabila dia mengulurkan tangannya.

"Ah, sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari tempat ini," pikirnya kembali. Tiba-tiba terdengar suara rintihan Hay kong-kong.

"Siau Kui... cu... Siau.,., Kui... cu, di mana kau?"

"Aku di sini!" sahut Siau Po sambil perlahan-lahan melangkah ke pintu. "Siau Kui cu, kau... hendak... ke mana?"

"Aku... ingin buang air... kecil."

"Kenapa tidak di kamar saja?" tanya Hay kong-kong kembali

"Ya... ya..." sahut Siau Po, Dia pun lalu pergi ke dalam kamar. Baru berjalan dua tindak, ttba-tiba kepalanya membentur daun pintu.

"Eh, Siau Kui cu, ada apa?" tanya Hay kongkong bercuriga.

"Ti... tidak apa-apa." Kepala Siau Po terasa sakit, dia merogoh sakunya untuk mengeluarkan peletekan api. Dia melihat beberapa batang lilin di atas meja. Diambilnya  sebatang kemudian dinyala kannya lilin itu sehingga suasana kamar itu menjadi terang kembali.

Di dalam terdapat dua buah tempat tidur, yang satu ukurannya besar dan yang satunya lagi kecil. Siau Po tahu itu merupakan tempat tidurnya si thay-kam tua dan Siau Kui cu. Ada sebuah meja da. sebuah lemari, juga beberapa peti, entah apa isinya. 

Sebuah kamar yang perabotannya sederhana sekali, di sebelah kanan ada sebuah gentong besar dan airnya bercipratan ke mana-mana.

"Apakah sebaiknya aku kabur lewat jendel saja?" pikir Siau Po dalam hatinya.

Tiba-tiba dia mendengar suara Hay kongkon bertanya kembali. "Eh, Siau Kui cu, kenapa kau masih belum buang air juga?"

"Heran, Tidak henti-hentinya dia menanyaka aku, apakah dia sudah curiga kalau aku bukan Sia Kui cu?"

Siau Po menjadi khawatir, dia segera mengambil pispot dari kolong tempat tidur, sementara itu, matanya mengawasi jendela yang tertutup rapat dengan kertas tempelan, mungkin khawatir Hay kongkong yang batuk-batuk terus bisa masuk angin kalau dibiarkan terbuka.

"Kalau aku membuka jendela dengan paksa, suaranya pasti berisik dan si tua bangka itu pasti akan mendengarnya, dia pun akan masuk ke dalam kamar untuk meringkus aku," pikirnya lagi.

Siau Po menguras otaknya habis-habisan, tapi dia tidak menemukan jalan lain, Di dekat kolong tempat tidur Siau Kui cu ada seperangkat pakaian baru. Melihat itu, tiba- tiba Siau Po mendapat sebuah ingatan, cepat-cepat dia membuka bajunya sendiri, lalu menggantinya dengan pakaian itu.

"Siau Kui cu, sedang apa kau?" tanya Hay kongkong kembali.

"Tidak apa-apa." Siau Po bergegas mengancingkan bajunya dan berjalan ke luar. Dia sempat meraih kopiah Siau Kui cu dan mengenakannya sekalian.

"Lilinnya mati lagi," katanya, "Aku mau ambil lagi satu batang." ia kembali ke kamar, diambilnya dua batang lilin sekalian merenggut bajunya sendiri.

Hay kongkong menarik nafas dalam-dalam agar dadanya lega. "Benarkah kau sudah menyalakan lilin?"

"Benar, Apakah kongkong tidak melihatnya?" tanya Siau Po.

Thay-kam tua itu tidak memberikan komentar apa-apa. Beberapa kali dia terbatuk- batuk akhirnya baru berkata. "Sejak dulu aku sadar obat itu tidak boleh diminum terlalu banyak, Rasanya pahit sekali, Ya, memang makannya sedikit-sedikit, tetapi lama-lama akan menjadi bukit, setelah bertahun-tahun racunnya mulai memperlihatkan reaksi sehingga timbullah efek sampingannya di mata. "

Mendengar ucapannya, perasaan Siau Po menjadi agak lega. Hal ini membuktikan bahwa orang tua itu benar-benar sudah buta, "Untung dia tidak tahu bahwa aku yang menambah takaran obatnya, dalam anggapannya dia sudah minum obat itu terlalu lama dan banyak. "

"Siau Kui cu!" Tiba-tiba orang tua itu memanggil pula, "Bagaimana aku memperlakukan dirimu selama ini?"

"Baik sekali," sahut Siau Po. Dia tidak tahu bagaimana sikap Hay kongkong terhadap Siau Ku cu sehari-harinya, tetapi dia merasa jawaban itu paling aman.

"Aih! sekarang mata Kong koag sudah buta, dalam dunia ini hanya kau seorang yang dapat kuandalkan untuk merawat aku. maukah kau untuk tidak meninggalkan aku? Bagaimana kalau suatu hari nanti kau tidak memperdulikan aku lagi" suaranya terdengar pilu dan mengenaskan.

"Tidak akan, Kong kong.-." "Sungguh?"

"Sungguh!" sahut Siau Po. otaknya memang cerdas sekali, Dia dapat memberikan jawaban dengan cepat dan pandai berpura-pura pula, nada suaranya begitu tegas sehingga orang tidak akan mengetahui apakah dia serius atau memang berdusta, 

"Kong kong, kau toh tidak memiliki orang lain lagi untuk melayanimu, kalau bukan aku yang menemanimu, siapa lagi? Aku yakin lewat beberapa hari mata Kong kong pasti akan sembuh kembali Kong kong tidak usah khawatir."

"Tidak, Siau Kui cu. Mataku ini tidak mungkin bisa sembuh lagi!" Hay kongkong termenung sesaat, Kemudian baru berkata lagi, "Apakah orang she Mau itu sudah kabur?"

"lya, Kongkong."

"Bocah yang bersamanya itu telah kau bunuh bukan?"

Siau Po heran bagaimana Hey kongkong bisa mengetahuinya, Mungkinkah suara jeritan tertahan dari Siau Kui cu dikira orang tua itu sebagai suaranya sendiri? Tapi dia menjawab juga.

"Ya, kongkong, Bagaimana dengan mayatnya ?" "Aih! Kalau ketahuan kita membunuh orang di dalam kamar, urusannya bisa jadi panjang, Siau Kui cu, ambil peti obatku!"

"lya," sahut Siau Po sambil langsung masuk ke kamar, tetapi dia tidak tahu di mana letak peti obat. Lemari dibukanya, dia menarik setiap laci yang ada.

Tidak disangka-sangka, karena perbuatannya Hay kongkong tiba-tiba saja menjadi marah.

"Siau Kui cu, apa yang kau lakukan?" bentak orang tua itu, "Mengapa kau membuka lemari dan laci? Siapa yang menyuruhmu?"

Siau Po terkesiap, jantungnya berdebar-debar.

"Rupanya kotak-kotak ini tidak boleh sembarangan dibuka," pikirnya, Cepat-cepat dia menjawab "Aku lagi mencari peti obat, entah di mana letaknya?"

"Ngaco! Masa peti obat saja kau lupa di mana letaknya?" bentak Hay kongkong. "Kong kong, mungkin aku baru saja membunuh orang sehingga pikiranku menjadi 

kacau. Apalagi mata kongkong sekarang sudah buta," sahut Siau Po. Selesai berkata, 

terdengarlah suara tangisannya yang terisak-isak.

"Aih! Anak, apa artinya membunuh orang? Kau toh sudah biasa melihat orang dibunuh? Peti obatku ada di dalam kotak pertama yang besar!"

"Ya... ya!" sahut Siau Po. "Aku... hanya takut. " Selesai berkata, dia segera 

memperhatikan tumpukan kotak yang jumlahnya ada dua dan terkunci Entah di mana anak kuncinya, Siau Po menghampiri kotak itu dan iseng-iseng menggerakkan tangannya, ternyata kotak itu tidak terkunci.

"Bagus, Aku harus hati-hati agar setan tua itu tidak mencurigaiku!"

Dia segera membuka peti itu. isinya terdiri dari berbagai jenis barang, tetapi peti kecil yang berisi obat ada di sebelah kiri. Siau Po segera mengeluarkannya.

"Ambil sedikit bubuk Hoa si-hun, lalu taburkan pada bocah itu agar tubuhnya lumer dan musnah!"

"lya!" Siau Po segera membuka peti obat di mana di dalamnya terdapat botol-botol kecil dengan berbagai warna, tetapi tidak ada satu pun yang bertulisan Siau Po menjadi bingung, yang mana bubuk Hoa si-hun?

"Botolnya yang mana?" tanyanya kemudian.

"Bagaimana sih kau hari ini? Apa benar pikiranmu begitu kacau?" Hay kongkong balik bertanya. "Aku takut, kongkong," sahut Siau Po pura-pura bergetar "Apakah matamu benar- benar tidak dapat disembuhkan lagi?" kata-kata itu penuh perhatian Si thay-kam tua itu jadi terharu, dia meng-usap-usap kepala Siau Po.

"Botol itu bentuknya segi tiga, warnanya hijau berbintik-bintik putih, Obat itu sangat manjur, sedikit saja sudah cukup."

"Ya, ya..." sahut Siau Po yang langsung mengambil botol yang disebutkan tadi, Dibukanya tutup botol itu, kemudian dari dalam laci diambilnya sehelai kertas, Obat itu dituangkannya sedikit ke atas kertas, kemudian dituangkannya ke tubuh Siau Kui cu.

Sampai beberapa saat kemudian tidak ada perubahan apa-apa. Siau Po merasa heran, sedangkan Hay kongkong menunggu laporan darinya.

"Bagaimana?" Akhirnya Hay kongkong tidak sabaran. "Tidak ada perubahan apa-apa," sahut Siau Po jujur.

"Di mana kau taburkan bubuk itu? Bukan di darahnya?" tanya orang tua itu.

"Oh, aku lupa!" kata Siau Po yang segera menuangkan lagi bubuk obat itu ke luka Siau Kui cu yang masih berdarah.

"Hari ini tingkahmu agak janggal," kata Hay kongkong sambil menggelengkan kepalanya, "Sampai-sampai suaramu ikut berubah!"

Tepat pada saat itu terdengar suara peletekan dari tubuh Siau Kui cu, kemudian tampak asap mengepul, lalu keluar semacam nanah yang terus mengalir Setiap kali asap mengepul semakin tinggi, nanahnya pun keluar semakin banyak, sedangkan bagian yang terluka juga menguak semakin lebar.

Heran Siau Po menyaksikan perubahan itu. Dia memperhatikan dengan seksama. Dia dapat melihat bahwa daging di tubuh Siau Kui cu yang terkena rembesan nanah itu langsung musnah. Bahkan baju dan celananya pun perlahan-lahan termakan habis. Cepat-cepat Siau Po melemparkan baju luarnya sendiri ke cairan itu, ia juga membuka sepatunya sendiri untuk ditukar dengan sepatu Siau Kui cu.

Kurang lebih satu jam kemudian, habislah seluruh tubuh Siau Kui cu, yang tersisa hanya cairan berwarna kuning.

"Kalau si tua bangka ini pingsan, bagus sekali, Sekalian saja kububuhkan obat ini agar tubuhnya juga lumer seperti mayat Siau Kui cu tadi," pikir Siau Po dalam hati.

Hay kongkong masih terbatuk-batuk. Berulang kali dia menarik nafasnya dalam- dalam, tetapi tidak pernah jatuh pingsan. Sementara itu, di jendela terlihat sinar matahari mulai menyorot, tandanya sang fajar telah menyingsing. Ternyata waktu berlalu tanpa terasa.

"Sekarang aku telah mengganti pakaian, rasanya tidak perlu takut lagi untuk keluar berjalan-jalan, siapa yang akan mengenali aku?" pikir Siau Po kembali dalam hatinya.

"Siau Kui cu!" tiba-tiba Hay kongkong memanggilnya, "Hari sudah terang, bukan?" "Ya," sahut Siau Kui cu palsu ini dengan cepat.

"Kalau begitu, cepat kau ambil air dan bersihkan cairan kuning itu. Baunya tidak enak sekali!"

Siau Po mengiakan, dia bekerja dengan gesit. Sejenak kemudian cairan kuning di atas lantai tidak bersisa Iagi.

"Sebentar lagi, habis sarapan, kau boleh berjudi dengan mereka..." kata Hay kongkong,

Siau Po merasa heran, Hatinya bertanya-tanya.

"Berjudi? Aku tidak mau! Matamu sudah buta, Mana bisa aku meninggalkanmu hanya untuk ber-main-main?" sahutnya.

"Bermain-main? Siapa bilang bermain-main?" tegur Hay kongkong marah. "Kau lupa apa yang aku pesankan? BerbuIan-bulan aku mengajarimu, berapa ratus tail uang yang telah kau habiskan semuanya demi urusan besar kita, Apakah kau tidak mau mendengar perintahku lagi?"

"Bukan,., bukan begitu.,,." Siau Po benar-benar bingung. Dia hanya dapat mengikuti perkembangannya saja, "Kesehatanmu sedang terganggu, batukmu semakin menjadi- jadi. Kalau aku pergi, siapa yang akan merawatmu?"

"Kau harus menyelesaikan tugas yang aku perintahkan itu, urusan ini lebih penting dari segalanya!" kata Hay kongkong, "Sekarang coba kau main lagi!"

"Bagaimana caranya?" tanya Siau Po.

"Bagaimana? Ambil dadunya!" kata Hay kongkong sengit, "Kau membantah saja, hal ini membuktikan bahwa selama ini kau tidak belajar dengan sungguh-sungguh, Sudah begitu lama kau belajar, mengapa masih belum juga terlihat kemajuan apa-apa?"

Mendengar disebutnya tentang dadu, hati Siau Po langsung tertarik, Selama di Yang- ciu, dia sudah kenal baik dengan permainan ini, bahkan merupakan salah satu permainan favoritnya, selain mendengarkan kisah-kisah pahlawan-pahlawan besar si tukang cerita." "Wah, kacau, Di mana lagi disimpannya dadu itu?" pikirnya bingung, Lalu dia berkata kepada Hay kongkong, "Aduh, mengapa otakku hari ini kacau sekali? Di mana ya kusimpan dadu itu?"

"Benar-benar manusia tidak berguna!" bentak Hay kongkong, "Kenapa kau takut bermain dadu? Taruh kata kau kalah, toh bukan uangmu yang dipertaruhkan. Dadu itu disimpan dalam peti!"

"Aku sendiri tidak mengerti!" sahut Siau Po sambil menghampiri peti yang dimaksud dan dia mendapatkan dadu itu tersimpan dalam sebuah guci kaca. Dia sampai mengeluarkan seruan gembira, Siau Po menganggap dadu sebagai sahabatnya dan dia cepat-cepat memberikan dadu itu kepada si thay-kam tua.

"Benarkah kongkong mengharapkan aku berjudi?" tanyanya meminta penegasan. "Apakah kalau aku pergi, kongkong tidak akan kesepian ?"

"Sudahlah, jangan cerewet!" bentak Hay kongkong, "Aku jamin, kalau aku yang mengajari, kau akan pandai sekali bermain dadu!"

"Ya... ya!" sahut Siau Po. Baginya permainan dadu di mana pun sama saja, Toh, buahnya hanya empat, Dia mencoba melemparkan dadu itu dan dia mendapatkan empat dadu angka enam! "Bagus!" katanya, "Aku mendapat empat dadu angka enam!"

"Coba aku periksa!" kata Hay kongkong, Matanya sudah buta, dia tidak bisa melihat sehingga terpaksa merabanya dengan tangan.

"Coba lagi!" katanya,

Siau Po siap melemparkan dadunya kembali, tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya, dia tidak tahu sampai di mana kehebatan Siau Kui cu bermain dadu, tetapi kalau mendengar nada bicara Hay kongkong tadi, tampaknya si bocah cilik masih kurang mahir. 

Akhirnya dia mengambil keputusan untuk berpura-pura, jangan sampai kedoknya terbuka. Dia melemparkan dadunya sembarangan kali ini dia mendapat 2 angka 3, satu angka 4 dan satu lagi angka 5.

"Tidak apa-apa!" kata Hay kongkong, "Coba lagi!"

Sampai tujuh delapan kali Siau Po melemparkan dadunya namun gagal terus, Sampai lemparan ke sepuluh baru dia mendapatkan kembali empat angka 6.

"Nah, sudah ada kemajuan!" Hay kongkong senang sekali setelah memeriksa. "Sekarang pergilah kau untuk mencoba peruntunganmu, Hari ini kau bawa lima puluh tail perak!" Berjudi memang kegemaran Siau Po. Mendengar saja dia sudah senang, apalagi disuruh memainkannya, tadi selagi membuka peti di kamar dia melihat ada beberapa potong uang Goan po senilai dua puluh lima tail. Dia memang sudah mengambil dua potong uang itu.

Tepat pada saat itu di luar kamar terdengar panggilan. "Siau Kui cu! Siau Kui cu!" "Ya!" sahut Siau Po.

"Siapa yang memanggil kau? Pergilah!" kata Hay kongkong.

Senang sekali Siau Po mendengar perintah thay-kam tua itu. Baru saja dia berniat melangkah keluar, sekonyong-konyong sebuah ingatan melintas lagi di benaknya, "Ah... orang bisa mengenali bahwa aku bukan Siau Kui cu. Aku harus menutupi wajahku ini. " 

Dia memang cerdik, Diambilnya sehelai saputangan yang kemudian ia gunakan untuk menutupi wajahnya sehingga yang terlihat hanya matanya saja.

"Kong kong, aku pergi!" katanya berpamitan kepada si orang tua. Lalu bergegas dia keluar dari kamar itu. Di luar kamar telah menunggu seorang thay-kam cilik. Dia memperhatikan Siau Po dengan heran.

"Kemarin aku kalah, sehingga dihajar oleh Kongkong," kata Siau Po memberikan alasan.

Thay-kam kecil itu tertawa.

"Sekarang kau berani main lagi? Tentu kau ingin mendapat pulang modalmu, bukan!"

Siau Po menarik tangan thay-kam cilik itu lalu mengajaknya menjauh dari pintu kamar.

"Hussh! jangan berisik, nanti terdengar oleh kongkong!" kata Siau Po pura-pura takut, "Tentu saja aku ingin modalku kembali!"

"Kalau begitu, kau memang benar-benar berani! Hayo kita ke sana!" Kedua anak itu jala berdampingan.

Kedua kakak beradik Un sudah datang, biar bagaimana hari ini kau harus menang!" "Gawat kalau aku sampai kalah lagi."

Mereka melintasi beberapa serambi dan koridor panjang, kagum sekali Siau Po melihat tempat itu. Dia berpikir dalam hati. "Sungguh hebat pemilik tempat ini. Dia sanggup membangun gedung yang luas dan demikian indah." Siau Po melihat tiang-tiang penglari yang terukir indah. Seumur hidupnya belum pernah dia melihat gedung seindah ini. Mereka melintasi sebuah taman kecil di mana di dalamnya ada sebuah paviliun, Setelah melewati dua buah kamar, thay-kam cilik mengetuk sebuah pintu, pertama tiga kali, kemudian disusul dengan dua kali ketukan terakhir tiga kali.

Sesaat kemudian pintu pun terbuka, terdengar suara suatu benda yang bergerak di dalam mangkuk, di situ terdapat enam orang yang dandanannya berseragam. Rupanya mereka sedang bermain dadu.

"Ada apa dengan Siau Kui cu?" tanya seseorang yang usianya kurang lebih dua puluh tahun,

"Dia kena dihajar oleh Hay kongkong karena kekalahan kemarin," sahut si thay-kam cilik yang menjemput Siau Po.

Orang itu pun tertawa, Siau Po berdiri di belakang mereka, Dia melihat ada yang memasang satu tail ada pula yang memasang lima Ci, tidak tentu jumlah taruhannya, ia ikut, dia memasang lima ciam.

"Lihat Siau Kui cu!" kata seorang lainnya, "Entah berapa banyak uang yang dicurinya hari ini?"

"Kau mengatakan aku mencuri? Tidak enak didengar kata-katamu itu!" Hampir saja Siau Po mencaci maki kalau saja dia tidak ingat siapa statusnya sekarang dan di mana dia berada. Untung pula dia ingat bahwa suaranya sekarang sudah tidak sama seperti yang orang-orang itu ketahui sementara itu, dia memperhatikan aksen suara orang itu baik-baik dengan harapan dapat menirunya kelak.

"Eh, Lao Go, bandar lagi apes, berapa pasanganmu sekarang?" tanya seorang pada thay-kam cilik yang mengajak Siau Po.

"Dua tail!" sahut Lao Gao, dia menoIehkan kepalanya kepada Siau Po. "Siau Kui cu, bagaimana denganmu?"

Siau Po lantas berpikir "Untuk sementara sebaiknya aku jangan menang banyak- banyak, mereka bisa curiga." itulah sebabnya dia hanya memasang lima Ci. Orang lain tidak ada yang menggubrisnya, Setelah itu Siau Po berpikir kembali bahwa sebaiknya dia rela kalah dulu, nanti baru dia akan merebut kemenangan.

Perjudian pun berlangsung, orang lainnya bertaruh semakin besar, hanya Siau Po yang tetap pada patokan semula, akhirnya sang bandar berkata.

"Paling sedikit satu tail, Lima Ci tidak boleh ikut!" Siau Po memang berat gengsinya, dia langsung menerima tantangan itu. Dia memasang dua tail. Baik kalah ataupun menang, sikapnya cuek saja, Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan orang lain.

"Ah, sialan, Apes benar aku hari ini!" gerutu Lao Go. Dia sudah kalah tiga puluh tail. Tampaknya dia kesal sekali.

"Pakailah uang ini untuk menebus kekalahanmu," kata Siau Po kepada sahabat barunya. Dia menyodorkan uang senilai tiga puluh tail.

"Saudara, kau baik sekali!" kata Lao Go sambi menepuk bahu Siau Po.

Melihat keadaan itu, semua orang menjadi senang, Bahkan si bandar berkata: "Hebat, Siau Kui cu! Hari ini jiwamu besar"

Permainan itu pun dilanjutkan, Ketika Siau Po sudah menang sepuluh tail, seseorang berkata: "Sudah waktunya bersantap, besok kita sambung lagi."

Permainan pun dihentikan, Semua lantas menukar Ciam dengan uang kontan. "Entah di mana tempat bersantap?" tanya Siau Po dalam hati.

Sedang Lao Go kalah lagi dua puluh tail. "Saudara, besok saja kuganti uangmu itu," katanya kepada Siau Po.

"Tidak perlu dipikirkan urusan kecil," sahut rekannya.

"Kau benar-benar baik sekali, cepatlah kau pulang, sudah saatnya Hay kongkong bersantap!" kata Lao Go pula.

"Oh, rupanya semua orang bersantap di tempat masing-masing," kata Siau Po dalam hatinya, ia senang sekali, Dia memang berniat kembali ke kamar secepatnya, "Sampai besok!" katanya kepada Lao Go.

Mereka pun berpisah, Siau Po berniat meninggalkan tempat itu, tapi tidak tahu arah mana yang harus diambilnya untuk menuju kamar Hay kongkong.

"Wah, celaka!" pikirnya. Dia berputaran di tempat itu, tetapi ia malah kesasar, tidak mudah menemukan kamar si thay-kam tua, Akhirnya dia sampai di depan sebuah pintu modet rembulan, disebelah kiri ada sebuah kamar yang dari dalamnya terpancar bau makanan. 

Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, mengendus makanan itu, perutnya langsung terasa lapar, Siau Po menghampiri pintu kamar dan mendorongnya sedikit. Tidak ada seorang pun di dalamnya, Dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Di atas meja terdapat beberapa macam kue, diambilnya kue itu lalu dimasukkannya ke dalam mulut, kue itu rasanya enak sekali dan baunya harum. Dia makan lagi beberapa potong, tetapi jenisnya berlainan dan Siau Po sadar dia sedang mencuri. Tidak mau dia makan satu macam saja, agar tidak diketahui si empunya.

Tiba-tiba terdengar suara tindakan sepatu di luar kamar Tampaknya ada seseorang yang sedang mendatangi Siau Po menyambar sepotong kue kemudian menyusup ke kolong meja. Kamar itu kosong, tidak ada tempat lain yang dapat dijadikan tempat persembunyian.

Tak lama muncullah orang yang suara langkahnya terdengar itu, Siau Po melihat seorang bocah sebaya dengannya masuk ke dalam kamar. Dia mengambil sepotong kue lalu memakannya.

"Ah, rupanya dia juga pencuri" pikir Siau Po dalam hati, "Seandainya aku berteriak, tentu dia akan terkejut dan lari ketakutan Pada saat itu aku bisa makan kue sepuasnya," tapi Siau Po tidak melakukan hal itu, Sebaliknya, dia merasa menyesal mengapa tidak mengambil kue lebih banyak lalu membawanya ke taman dan di sana dia bisa makan dengan puas?

Tidak lama kemudian terdengar suara sesuatu yang dipukul Dia merasa heran, cepat-cepat dia mengintai, rupanya bocah itu sedang memukuli sebuah boneka kulit. Kelakuannya aneh sekali sebentar dia memeluk, kemudian mendorong lalu dibantingnya. 

Tapi pada dasarnya Siau Po memang cerdas, sejenak saja dia sudah mengerti apa yang sedang dilakukan bocah itu, Ya, dia pasti sedang berlatih diri.

Siau Po menjadi tertarik, sembari tertawa dia keluar dari kolong meja.

"Boneka hanya barang mati, mana menarik diajak berlatih, Mari aku temani kau!" Berani sekali bocah ini. Begitu keluar dia langsung menantang!

Anak kecil itu terkejut sehingga dia terlonjak dan memperhatikan Siau Po dengan tertegun, dia melihat wajah orang di hadapannya tertutup sehelai sapu tangan putih. Di saat lain, rasa terkejutnya sudah hilang, dia tersenyum sambil berkata:

"Baik, mari maju!"

Siau Po menyeruduk ke depan untuk mencekal tangan bocah itu, namun lawannya segera menggeser tubuhnya ke samping, kedua tangannya digerakkan kakinya mengait, tubuh Siau Po pun bergulingan jatuh, Terdengar bocah itu berkata:

"Ah, kau tidak mengerti ilmu gulat!" "Siapa bilang aku tidak bisa?" teriak Siau Po yang langsung bangun kembali dan menerjang ke arah kaki lawan untuk dipeluknya. Dengan demikian bocah itu gagal menyambar punggungnya, malah sebaliknya Siau Po yang meluncur terus ke depan dan lalu meninju dagu bocah itu.

Anak itu terkejut sekali, tetapi dalam sekejap dia sudah pulih kembali. Dia menyerang lagi ke arah Siau Po, kali ini mereka bergumul Keduanya sama-sama jatuh di atas lantai, sayangnya Siau Po kena ditindih oleh bocah itu. 

Dia terus memberontak dan berusaha mengadakan perlawanan Akhirnya dia berhasil pula membalikkan tubuhnya sehingga posisinya berada di atas, namun keduanya sudah lelah sekali.

"Ha... ha... ha... ha...!" Keduanya tertawa terbahak-bahak, pergumulan pun dihentikan. Namun rupanya bocah itu jail juga, mendadak dia menarik sapu tangan yang menutupi wajah Siau Po.

Siau Po terkejut, dia tidak sempat berkelit. "Ah.,., Rupanya kau yang mencuri makanan!" kata si bocah sambil tertawa lebar.

Siau Po memperhatikan dengan seksama, sekarang dia dapat melihat bahwa bocah itu sangat tampan, wajahnya bersih serta menimbulkan kesan baik.

"Siapa namamu?" tanya bocah itu. "Siau Kui cu. Kau sendiri?"

Anak itu bimbang sejenak, kemudian dia menjawab juga, "Aku Siau Hian cu. Kau orangnya kongkong yang mana?"

"Aku melayani Hay kongkong. "

Siau Hian cu mengangguk-angguk, Dia menyeka keringat yang membasahi wajahnya dengan kain penutup wajah Siau Po lalu diambilnya sepotong kue untuk dimakan, Siau Po juga ikut makan.

"Kau belum belajar ilmu gulat, tapi gerakanmu cukup gesit sehingga tidak dapat ditindih Iama-lama! Kalau kita bergumul lagi, akhirnya kau akan kalah!"

"Ah, belum tentu!" kata Siau Po alias Siau Kui cu palsu. "Kau tidak percaya? Baik, mari kita coba lagi!"

Siau Po menerima tantangan itu dan mereka kembali bergumul Benar seperti apa yang dikatakan anak itu, baru beberapa gebrakan saja Siau Po telah dirobohkan kemudian ditindihnya. "Nah, menyerah atau tidak?" tanya Siau Hian cu. "Tidak!" sahut Siau Po yang keras kepala.

Siau Hian cu bangun, Siau Po ingin menyerang kembali, tetapi bocah itu mencegahnya.

"Cukup dulu! Kau bukan tandinganku!"

"Tidak!" kata Siau Po penasaran "Besok kita lanjutkan lagi!" ia menunjukkan uangnya, "Besok kita bertaruh!"

Siau Hian cu tertawa. "Baik! Besok aku akan membawa uang! Nah, sampai jumpa besok siang!"

"Baik, sampai besok! Ingat, seorang laki-laki sejati, bila sudah mengeluarkan ucapannya, kuda pun sukar mengejarnya!"

"Ya," sahut bocah itu. "Kuda pun sukar mengejarnya!" Dia mengikuti ucapan Siau Po kemudian meninggalkan kamar itu.

Siau Kui cu alias Siau Po juga ikut keluar sebelumnya dia meraup beberapa potong kue kemudian memasukkannya ke dalam saku, Di tengah jalan dia mengingat kembali saat Mau Sip-pat yan memenuhi perjanjian untuk mengadu ilmu. 

Meskipun keadaannya sedang terluka saat itu, dia berpikir bahwa dia pun harus memenuhi janjinya, kali ini dia berhasil kembali ke kamar Hay kongkong sebelumnya dia mengingat baik-baik jalannya agar besok-besok tidak lupa lagi.

Baru sampai di depan pintu, dia sudah mendengar suara batuknya Hay kongkong. "Apakah keadaanmu sudah agak baik?" tanyanya.

"Baik, kentut busukmu! Cepat masuk!"

Siau Po masuk ke kamar, dia melihat thay-kam tua itu duduk di kursi samping meja. "Apakah kau menang hari ini"

"Menang tiga puluh tail, tapi. "

"Tapi apa?"

"Aku pinjamkan kepada Lao Go."

"Apa gunanya kau meminjamkan uang kepada Lao Go? Dia bukan orang dari Gi Si Pong, Mengapa tidak kau pinjamkan saja kepada kedua saudara Un?" Siau Po kebingungan. "Mereka tidak meminjam uang kepadaku."

"Mereka tidak meminjam, tapi apakah kau tidak bisa mencari akal agar mereka meminjamnya?" bentak Hay kongkong, "Apakah kau sudah lupa dengan pesanku?"

Siau Po tertegun.

"Kemarin aku baru membunuh orang, aku masih takut, aku jadi lupa pada pesan Kong kong."

"Bunuh satu jiwa adalah hal yang lumrah, tetapi kau masih kecil sehingga dapat dimaklumi. Apalagi kau belum pernah membunuh orang sebelumnya, sekarang ada satu hal yang akan kutanyakan apa kau sudah lupa mengenai buku itu?"

"Aku... aku. "

"Ah! Kau pasti sudah lupa!"

"Kong kong, kepa... laku pu... sing, a... ku sampai me. lupakannya."

"Baik, nah, kau kemarilah!"

Siau Po maju ke depan beberapa langkah.

"Aku akan menjelaskan sekali lagi, Kalau kau sampai lupa lagi, aku akan membunuhmu!"

"Ya.   ya," sahut Siau Po. Diam-diam dia berkata dalam hatinya, "Kau kira aku Siau 

Kui cu, kalau kau katakan sekali saja, sampai seratus tahun pun aku tidak akan lupa."

"Begini, kau harus mengalahkan kedua saudara Un, kemudian kau tawarkan pinjaman uang kepada mereka. Lebih banyak lebih bagus. Lalu lewat beberapa hari, kau minta mereka mengantar kau ke Gi Si Pong. 

Karena mereka ada hutang denganmu, tak mungkin mereka menolak, seumpamanya mereka menolak, kau ancam akan mengadukannya kepada Ouw kongkong, congkoan dari Gi Si Pong. 

Kalau mereka tidak dapat membayar, otomatis mereka akan mengajak kau ke Gi Si Pong. Asal kebetulan Sri Baginda sedang tidak ada di dalam kamar tulis nya itu. "

"Sri Baginda Raja?" tanya Siau Po mengira telinganya salah dengar. "Apa katamu?"

"Oh, tidak," sahut Siau Po cepat. "Mereka tentu akan menanyakan untuk apa kau ke Gi Si Pong. Kau katakan saja bahwa Sri Baginda adalah manusia agung, kau ingin melihatnya, dan kau berharap dapat bekerja di sana. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kedua saudara Un tidak akan mengijinkan kau melihat raja. Apabila mereka mengajakmu, tentu dipilihnya waktu ketika Sri Baginda sedang tidak ada di kamarnya, kau harus menggunakan kesempatan baik itu untuk mencuri sebuah kitab."

Mendengar disebutnya Sri Baginda, perasaan Siau Po menjadi heran, Dia tahu Sri Baginda itu raja, tapi dia tidak tahu apa artinya Gi Si Pong.

"Oh, kalau begitu ini pasti istana kerajaan, Kalau bukan istana, tentu tidak seindah dan semegah ini. itulah sebabnya orang-orang di sini semuanya terdiri dari para thay- kam yang biasa melayani di istana raja," pikirnya dalam hati.

Tampang dan suara para thay-kam biasanya berbeda dengan orang umum, sayangnya Siau Po kurang pengalaman sehingga tidak mengetahuinya. Dia pernah mendengar tentang raja, putera mahkota, pangeran ataupun puteri. 

Juga tentang thay-kam dan para dayang, tetapi semua belum pernah dilihatnya dengan mata kepala sendiri ia telah bergaul dengan Hay kongkong, Lao Go, serta kedua saudara Un, tetapi dia baru menyadari bahwa mereka adalah para thay-kam, Sekarang, mendengar kata-kata Hay kongkong, dia baru mengerti.

"Celaka, Kalau begini, bukankah aku juga menjadi thay-kam cilik?" pikirnya dalam hati.

"Eh, kau mengerti apa tidak?" Hay kongkong segera menegur melihat Siau Po tidak menyahut dari tadi.

"Ya, ya... aku mengerti," sahut Siau Po. "Aku harus ke kamar tulisnya raja!"

"Untuk apa kau ke kamar tulisnya raja?" uji Hay kongkong, "Apakah untuk bermain- main?"

"Untuk mencuri sebuah kitab. "

"Kitab apa?" tanya Hay kongkong mendesak. "Aku... aku... entah kitab apa? aku.   

lupa. "

"Akan ku ulangi sekali lagi, ingat baik-baik! Kitab itu kitab agama Budha yang judulnya Si Cap Ji cing-keng, jumlahnya beberapa jilid, Kitab itu sudah tua sekali, Mengerti? Nah, apa nama kitab itu?"

"Aku ingat! Namanya kitab Si Cap Ji cing-keng!" seru Siau Po girang.

Hay kongkong merasa heran mengapa nada suara Siau Po begitu gembira. "Kenapa kau begitu senang?"

"Karena kongkong mengingatkan sekali lagi, sehingga aku tidak akan lupa lagi!" sahut Siau Po cepat.

Padahal bukan itu alasan mengapa hatinya merasa senang, Dia tidak pernah sekolah jadi dia tidak bisa membaca, yang dikenalnya hanya huruf angka san dan kitab itu kebetulan berjudul Si Cap Ji cing-keng (Empat puluh dua kitab Buddha) Dengan demikian tidak ada kesulitan baginya untuk menemukan kitab itu.

"Mencuri kitab dalam istana Gi Si Pong harus cekatan, kalau kau sampai kepergok, biarpun nyawamu ada seratus, kau pasti mati juga," kata Hay kongkong mengingatkan.

"Aku mengerti. Asal kepergok, matilah aku!"

"Kalau kau sudah berhasil, ajaklah kedua saudara Un kemari Aku akan menghadiahkan mereka semacam barang permainan yang berharga sekali."

"Baik, kongkong, Tapi bolehkah aku tahu barang mainan apakah itu?"

"Sampai waktunya kau akan tahu sendiri," sahut thay-kam tua itu. "Apakah dadumu sudah ada?"

"Ada!"

"Kalau begitu, jangan bermalas-malasan. Mulailah berlatih!"

Siau Po mengiakan dan kemudian masuk ke dalam, Di atas meja, hidangan masih utuh.

"Kong kong belum makan, nanti aku sendoki nasinya."

"Tidak usah, aku belum lapar!" sahut orang tua itu. "Kau makanlah dulu!"

Siau Po mengiakan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia makan dengan lahap. Meskipun makanan itu sudah agak dingin, Siau Po tetap merasakan kelezatannya yang luar biasa, sembari menikmati santapannya, dia berpikir: 

"Kalau ini istana, sudah dapat dipastikan kalau Lao Go, kedua saudara Un dan yang lainnya adalah para thay-kam, entah bagaimana tampang Raja dan permaisurinya ? Senang sekali kalau bisa melihat mereka! Aih... entah bagaimana nasib Mau toako? Berhasilkah dia meloloskan diri? Tetapi ketika berjudi, tidak ada seorang pun yang membicarakan tentangnya, Mungkin dia memang sudah berhasil membebaskan diri."

Selesai makan, Siau Po mulai berlatih, dia khawatir Hay kongkong curiga kepadanya kalau dia diam saja, Suara dadunya di dalam mangkuk berisik sekali. Padahal sejak dua  tahun yang lalu, Siau Po sudah lihay bermain dadu, jadi dia tidak perlu berlatih lagi Dia melakukannya hanya karena tidak ingin Hay kongkong curiga. 

Karena itu, tidak lama berlatih, rasa kantuk pun menyerangnya, maklumlah sepanjang malam dia tidak tidur. Sesaat kemudian dia sudah pulas.

Di waktu magrib, Siau Po terbangun, dia melihat seorang thay-kam cilik mengantarkan makanan Tampangnya kebodoh-bodohan. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Setelah menyajikan makanan, dia langsung pergi. Tentunya dengan membawa piring mangkuk kotor siangnya.

Siau Po melayani Hay kongkong bersantap terus merapikan tempat tidurnya agar orang tua itu dapat beristirahat. Dia sendiri berbaring di tempa tidur pikirannya melayang-layang.

"Besok aku akan melawan Siau Hian cu. Bi bagaimana pun aku harus menang!" Dia memejamkan matanya sambil membayangkan cara Mau Si pat menghadapi lawannya di bukit Tek Seng Sa 

"Lebih baik aku tiru saja gerakan mereka, Sayang sekali ketika itu Mau toako ingin menerima aku sebagai murid dan mengajarkan aku ilmu silat, aku mengabaikannya. 

Kalau besok aku kena tindih lagi oleh Siau Hian cu, sungguh memalukan, mengapa aku tidak minta si kura-kura tua ini mengajarkan ilmu silat kepadaku, bukankah kepandaiannya tinggi sekali?"

Siau Po segera mengambil keputusan.

"Kong kong," panggil Siau Po. "Besok aku harus ke Gi Si Pong untuk mencuri sebuah kitab, tapi aku mempunyai sedikit kesulitanku."

"Apa itu?" tanya Hay kongkong.

"Begini, kongkong, tadi sepulang bermain dadu, aku dicegat oleh seorang thay-kam cilik. Dia memaksa meminta uang meskipun aku tidak sudi memberikannya. Akhirnya kami berkelahi. Dia bilang, asal aku bisa mengalahkannya, dia akan mengijinkan aku lewat, itulah sebabnya aku sampai tidak sempat makan karena melayani dia berkelahi. "

"Kau kalah, bukan?"

"Tubuhnya lebih tinggi dan lebih besar, Dia menantang aku berkelahi setiap hari Ketika aku kalah, dia membiarkan aku lewat. "

"Siapa nama bocah itu? Dia orang dari mana?" "Namanya Siau Hian cu, entah dari kamar mana." "Mungkin karena kau menang judi sehingga lagakmu menjadi sombong dan orang- orang tidak menyukaimu..."

"Tapi aku tidak puas, pokoknya besok aku akan melawannya lagi, entah menang atau kalah. "

"Hm. rupanya kau minta aku mengajarkan ilmu silat kepadamu Kalau aku 

mengatakan tidak, percuma biar kau merongrong sepanjang hari!"

"Dasar kura-kura tua, benar-benar tidak dapat diperdaya gerutu Siau Po dalam hatinya. Tetapi di luar dia hanya berkata: "Siau Hian cu tidak mengerti ilmu silat, untuk mengalahkannya aku pun tidak perlu belajar ilmu silat, Siapa yang ingin diajari olehmu? Tadi aku berhasil menindihnya, justru karena tenaganya kuat dan tubuhnya besar, dia berhasil membalikkan aku pula. Tapi besok aku akan menindihnya kembali. Aku yakin seperti seekor kura-kura, dia tidak bisa membalik lagi!"

Sebenarnya Siau Po sudah mencoba mengendalikan kata-katanya agar jangan berbicara kasar, tetapi dia kelepasan juga.

"Tidak sulit apabila kau ingin membuat dia tidak bisa membalik diri," kata Hay kongkong.

"Aku juga berpikir demikian. Besok aku akan menekan bahunya sekuat tenaga!" "Percuma kalau kau menekan bahunya, untuk membalikkan tubuh, tenaga pinggang 

harus kuat. Karena itu kau harus menindih pinggangnya dengan Iututmu. Mari aku 

ajarkan!"

Siau Po senang sekali ia melompat turun dari pembaringannya dan menghampiri Hay kongkong, orang tua itu langsung menyambar pinggang Siau Po kemudian menekannya sehingga bocah itu merasa lemas.

"lni dia jalan darahnya, ingat baik-baik!"

"Baik, besok akan kucoba, Entah berhasil atau tidak?"

"Berhasil atau tidak? Harus berhasil!" Hay kongkong menekan sedikit sisi leher Siau Po, sehingga bocah itu menjerit kesakitan Dadanya terasa sesak. "Kalau kau menekan dia dua bagian itu, dia pasti akan lemas dan tidak dapat berkelahi lagi!"

Siau Po semakin senang.

"Bagus! Besok aku akan melawannya lagi dan pasti aku yang menang!" Dia kembali ke pembaringannya dan tidur pulas.

Keesokan paginya, Lao Go datang menjemput Siau Po untuk diajak berjudi. Hari itu bandarnya ialah kedua saudara Un, yakni Yu To dan Yu Hong. Siau Po menghadapinya dengan cara licik, Dalam sekejapan saja dia sudah menang empat puluh tail. Setelah bermain agak lama, habislah uang kedua saudara Un yang menjadi bandar itu. Mereka kalah sebanyak seratus tail.

"lni, pakai saja uangku!" kata Siau Po menawarkan. Mereka meminjam lima puluh tail darinya, namun akhirnya ludes juga.

Siau Po ingat janjinya dengan Siau Hian cu. permainan pun dihentikan, bergegas dia menuju kamar yang kemarin. Di atas meja kembali tersedia barang makanan Tanpa berpikir panjang lagi Siau Po langsung meraihnya dan makan sampai kenyang, Ketika mendengar suara langkah kaki, cepat-cepat dia bersembunyi di bawah kolong meja untuk mengintai Siau Po khawatir yang datang bukan Siau Hian cu.

"Siau Kui cu! Siau Kui cu!" Terdengar suara panggilan dari luar

Siau Po mengenali suara itu, segera ia keluar dari kolong meja dan menghampiri orang yang memanggilnya. Bibirnya langsung tersenyum.

"Kita sudah berjanji kemarin, sebelum bertemu, aku pasti tidak akan pergi," katanya.

Ketika sudah berhadapan, Siau Po dapat melihat pakaian Siau Hian cu mentereng sekali, Siau Po merasa kagum. Diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Rupanya dia thay-kam kesayangan Raja, Biar sebentar nanti aku sengaja merobek pakaiannya agar hatinya kecewa!"

Tanpa menunda waktu lagi, Siau Po langsung mulai menyerang. "Bagus!" kata Siau Hian cu yang menyambut serangannya.

Kedua tangan mereka pun saling mencekal, Ketika kaki Siau Hian cu maju ke depan mengait, robohlah tubuh lawannya, tapi Siau Po sempa menarik tubuh Siau Hian cu sehingga keduanya jatuh bersama-sama. 

Dengan gesit, Siau Po membalikkan tubuhnya menindih tubuh lawan, Dia berniat menotok tubuh lawannya menurut ajaran Ha kongkong, sayangnya dia belum mengerti ilmu totokan, terlalu lambat baginya untuk mencari jalan darah mana yang dimaksudkan sehingga dia kena didahului oleh Siau Hian cu yang dengan tangan membalikkan tubuhnya, Sekejap mata mereka pun terpisah.

"Eh, kau pun mengerti ilmu Hui in-jiu (Tipu awan terbang)?" tanya Siau Hian cu heran.

Sebetulnya Siau Po sendiri tidak tahu apa nama tipu gerakan itu, tetapi otaknya cerdas sekali, dia langsung berkata. "Hui In-jiu masih belum seberapa! Aku masih mengerti banyak tipu daya lainnya!" Siau Hian cu tertawa. "Tidak mungkin Mari kita coba lagi!"

Siau Po tidak menolak. Kembali mereka berkelahi Kali Siau Hian cu juga menggunakan tipu daya sehingga Siau Po roboh dan kena ditindihnya.

"Nah, menyerah tidak?" tanyanya.

"Tidak!" sahut Siau Po sambil meronta dengan penasaran. Tetapi tiba-tiba dia terdiam, rupanya dia telah ditotok terlebih dahulu oleh Siau Hian cu sehingga tenaganya lemas.

"Baik, kau menyerah kali ini!" katanya kemudian. Dia tahu yang digunakan oleh Siau Hian cu adalah totokan yang diajarkan Hay kongkong, tetapi dia sendiri tidak tahu cara memainkannya.

Siau Hian cu tertawa, Dia bangkit berdiri, Tiba-tiba kakinya dikait oleh Siau Po sehingga terjungkal jatuh dan terus dihantam sekali sehingga tidak dapat melakukan pembalasan.

"Nah, menyerah tidak?" tanya Siau Po.

"Hm!" Siau Hian cu mendengus dingin. Kedua tangannya langsung bergerak, Siau Po terkejut setengah mati, Dadanya terhajar Dia merasa kesakitan sehingga menjerit kemudian roboh.

Dengan demikian mereka sudah saling merobohkan Tapi seperti sebelumnya, Siau Po terpaksa mengakui keunggulan lawan, Ketika Siau Hian cu bangkit kembali, dia merasa tubuhnya sudah letih sekali Demikian pula Siau Po, dia sampai terhuyung- huyung.

"Sampai besok. Kita akan melanjutkan kembali, Biar bagaimana pun kau harus ditaklukkan!"

Siau Hian cu tertawa.

"Biar sepuluh atau seratus kali, kau tetap kalah olehku, Kalau kau memang berani, besok kau datang lagi!"

"Asal kau juga mempunyai nyali! Janji sampai mati!" sahut Siau Po. "Janji sampai mati!" Siau Hian cu mengikuti kata-katanya,

Mereka pun berpisah, Sampai di kamarnya, Siau Po langsung berkata kepada si thay-kam tua. "Kong kong, ilmu totokmu payah, Nyatanya tidak berhasil!"

"Dasar kau yang tidak becus! Pasti hari ini kau kalah lagi!" sahut Hay kongkong. "Kalau aku pakai caraku sendiri, meskipun belum tentu menang, tapi mungkin tidak 

akan menderita kekalahan juga, justru karena memakai cara yang kau ajarkan, aku jadi 

ka1lh. ilmu itu terlalu sederhana, dia pun bisa!"

"Oh? Dia juga mengerti ilmu totokan? Coba kau tiru kasih aku lihat!"

"Matamu kan buta, bagaimana bisa melihat?" pikir Siau Po dalam hatinya. Tapi dia menyerang orang tua itu dengan jurus yang digunakan Siau Hian cu. "Nah, begini caranya dia menyerang aku!"

"Akh! itu tipu jurus I Te-tui (Menyikut ketiak)."

"Ada lagi.!" kata Siau Po sambil menirukan gerak lainnya. "ltu tipu jurus Hui In-jiu!"

"Dan ini!" Sekali lagi Siau Po memberikan contoh. "ltu tipu jurus To-ki Bwe (Merobohkan pohon Bwe)!"

"Rupanya semua jurus itu ada namanya," pikir Siau Po dalam hati.

"Kau tentu dikalahkan dengan cara seperti ini," kata Hay kongkong sambil melakukan gerakan.

"Ya," sahut Siau Po mengakui.

Hay kongkong menarik nafas panjang, "ltulah jalan darah Ci Hiat-kong. Kalau begitu, guru bocah itu pasti lihay sekali!"

"Masa bodoh! pokoknya besok aku harus mengalahkannya!" kata Siau Po ngotot. "Bocah itu menggunakan ilmu partai Bu Tong pai." Hay kongkong seperti 

menggumam seorang diri, "Siapa sangka di dalam istana ini, ada jago yang demikian 

lihay, Apa maksudnya? Sulit menebaknya... Eh, berapa kira-kira usia Siau Hian cu itu?"

"Mungkin lebih tua sekitar dua tahun dariku, kurang lebih lima enam belas tahun, tapi tubuhnya lebih tinggi. "

"Berapa lama kau berkelahi dengannya?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar