Kaki Tiga Menjangan Jilid 03

Jilid 03

Mau Sip-pat mendongkol sekali, Hatinya juga mulai marah.

"Baiklah, urusanmu sendiri mau belajar silat atau tidak, Tetapi kalau kau sampai tertangkap lawan dan disiksa sehingga hidup tidak mati pun tidak, waktu itu kau jangan menyesali."

"Apa yang harus disesalkan? Lagipula, apa hebatnya belajar ilmu silat darimu? Buktinya kau bisa dililit oleh Su Siong begitu saja, dan ketika melihat dua bocah dari keluarga Bhok, kau langsung ketakutan Aku tidak mengerti ilmu silat, tapi aku tidak ketakutan seperti kau. Hal ini membuktikan bahwa bisa ilmu silat saja belum tentu hebat!"

Kemarahan dalam hati Mau Sip-pat benar-benar meluap. Tanpa dapat mengendalikan emosinya lagi, dia melayangkan tangannya menampar pipi Siau Po keras-keras. Tetapi bocah itu bukannya menangis kesakitan malah tertawa terbahak- bahak. Benar-benar anak yang kuat, juga bandelnya tidak ketulungan!

"Nah, benar kan? Aku sudah membuka rahasia hatimu sehingga kau menjadi marah dan melampiaskan kekesalan pada diriku, Coba kalau kau benar-benar tidak takut, tentu kau tidak akan begini marah hanya karena ucapanku tadi!" Sip-pat membungkam. Dia benar-benar kehabisan akal menghadapi bocah yang satu ini. Ditegur salah, dihajar kasihan, ingin meninggalkannya begitu saja, dia tidak sampai hati padahal adatnya juga keras sekali, tetapi kali ini dia terpaksa mengekang diri.

"Huh!" Dia hanya mendengus satu kali, kemudian berdiri termangu-mangu. Siau Po yang melihat keadaannya juga turut berdiam diri, pikirannya melayang-

layang, dia ingat ibunya di rumah pelesiran, Sejak mengenal Mau Sip-pat, dia bertekad 

untuk menjadi orang gagah.

Ternyata tidak mudah. Dia juga tahu hilang sudah kesempatan baginya unjuk belajar silat, tapi dia tidak menyesal. Dia meraba-raba mukanya yang bengap parah di sudut bibirnya sudah kering.

Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya, pikirnya dalam hati.

"Tidak apa-apa aku tidak jadi belajar ilmu silat darimu, yang penting aku bisa ikut terus mengembara. Pasti aku bisa memperhatikan gerak-gerikmu ketika kau berkelahi, apa aku tidak bisa menirunya sedikit demi sedikit? Bahkan aku bisa melihat gerakan musuh. Dengan demikian aku bukan hanya belajar ilmu silatmu saja, ilmu silat orang lain juga bisa kucuri belajar. Dengan memiliki kepandaian beberapa orang sekaligus, bukankah lama kelamaan aku bisa mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari padamu? Hm!

Sementara itu, Mau Sip-pat merasa perutnya lapar sekali.

"Mari kita pergi!" katanya sambil langsung mengangkat tubuh Siau Po.

Siau Po tidak membantah. Mereka mencari tempat untuk beristirahat. Keduanya mengisi perut, membersihkan tubuh, mengganti pakaian juga mengoles obat.

Kemudian, untuk melanjutkan perjalanan, Sip-pat menyewa kereta. Kakinya terluka, gerakannya tidak leluasa, Kedua ekor kuda rampasannya ditinggalkan begitu saja. Dengan menumpang kereta, dirinya juga tidak mudah terlihat orang. Bukankah dia seorang pelarian dari kota Yang-ciu?

Tujuan mereka tetap utara, Pada suatu siang, mereka sampai di propinsi Soa Tang, Ketika mereka menempuh perjalanan, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda, Siau Po melongokkan kepalanya, Dia melihat tiga kereta mendatangi dengan perlahan. Pada bagian depan kereta terdapat sehelai bendera kecil atau panji yang warna dasarnya putih dan tepiannya bersulamkan benang biru. 

Di tengah-tengahnya tertera huruf "Sou" Persis sama dengan bendera kecil yang mereka lihat tempo hari. Tanpa berpikir panjang lagi, Siau Po segera membangunkan Mau Sip-pat yang sedang tidur. "Coba lihat!"

Mau Sip-pat membuka matanya. Ketika melihat kereta dengan benderanya itu, wajahnya menyiratkan ketegangan. Sekejap kemudian, kereta itu telah melewati mereka dan terus melaju menuju selatan. Tampak Mau Sip-pat menghela nafas lega.

"Apakah yang lewat barusan juga kereta keluarga Bhok dari In Lam?" tanya Siau Po. "Mengapa kau bisa mempunyai dugaan itu?"

"Karena aku melihat semangatmu seperti terbang melihat kereta itu, itulah sebabnya aku bisa menduga demikian."

"Kapan semangatku terbang? jangan sembarangan mengoceh!" bentak Mau Sip-pat.

Meskipun mulutnya berkata demikian, tapi Sip-pat menyadari bahwa suaranya rada bergetar.

"Kau tidak takut aku justru sebaliknya," sahut Siau Po. "Apa yang kau takutkan?"

"Aku takut kau tidak sanggup menahan perasaan terkejut sehingga sakit parah," sahut Siau Po seenaknya, "Bisa juga kau mati kaget. Kalau hal itu sampai terjadi, bagaimana dengan aku?"

"Celaka! Gawat!" Terdengar Mau Sip-pat menggerutu. Dia tidak menggubris ucapan Siau Po.

Mungkin telinganya sudah kebal, Dia hanya menggumam seorang diri, "Keluarga Sou pun berangkat ke selatan. Pasti di sana telah terjadi sesuatu yang hebat!"

"Apa sebenarnya arti huruf "Sou" itu?" tanya Siau Po penasaran

"Di samping huruf "Sou" masih ada tiga huruf lainnya, yakni huruf "Lau", "Pui" dan "Pek" Mereka adalah nama keluarga yang menjadi Ke Ciang bagi keluarga Bhok, sedangkan keluarga Bhok itu keluarga bangsawan, tingkat Kim Kok-kong."

"Kim Kok-kong itu sejenis makhluk aneh atau hantu?"

"Tampaknya mulutmu memang harus dicuci biar bersih, Di dalam dunia kangouw, nama Kim Kok-kong bahkan lebih menciutkan nyali dari pada makhluk aneh atau hantu apa pun."

"Oh, begitu rupanya." "Hm..." kata Mau Sip-pat. "Pada waktu Baginda Beng Tay-cou mengerahkan angkatan perangnya menentang kerajaan Goan, Bhok ongya, Bhok Eng telah membuat jasa besar, sebab dia berhasil merampas propinsi In Lam, Karena itu Sri Baginda mengangkatnya sebagai penguasa di wilayah In Lam turun temurun. 

Setelah dia meninggal dia dianugrahkan gelar kehormatan Raja Muda Kim Len ong, sedangkan keturunannya mendapat gelar kehormatan Kim Kok-kong.

"Di zaman akhir pemerintahan Kerajaan Beng ketika Kaisar Kui-ong menyingkir ke In Lam, Kim Kok-kong Bhok Tian Po dengan setia melindunginya, Kim Kok-kong bahkan mengajak Kui-ong menyingkir ke Birma."

"Celakanya di sana Kui-ong dibunuh oleh orang jahat, sehingga Kim Kok-kong turut menjadi korban, jarang ada panglima merangkap menteri yang demikian setia kepada junjungannya."

"0h. Kalau begitu yang dipanggil loya Bho Tian Po itu merupakan cucu Bhok Eng 

seperti yang dikisahkan dalam cerita Eng Liat Toan. Memang Bhok ongya itu gagah sekali dan menjadi panglima kesayangan Baginda Raja."

Siau Po dapat mengatakan hal itu karena dia sudah terlalu sering mendengar legenda-legenda tukang cerita seperti Eng Liat Toan yang di dalamnya dikisahkan para pemeran utamanya, yakni Bhok Eng, Ci Tat, Siang Oi Cun, dan Oh Toa Hay. Mereka semua terdiri dari para panglima yang perkasa.

"Aih! Kenapa kau tidak menjelaskannya dari semula?" gerutu Siau Po seakan menyalahkan Sip-pat. "Kalau aku tahu keluarga Bhok dari In Lam itu masih keturunan Bhok ongya, Bhok Eng. Tentu aku akan bersikap lebih sopan sedikit. Coba kau ceritakan orang-orang seperti apakah keempat keluarga Lau, Pek, Pui dan Sou itu?"

Mereka adalah para Ke Ciang dari keluarga Bhok. Leluhur mereka turut mengambil bagian ketika Kim Leng-ong menaklukkan In Lam dan ketika Kim Kok-kong Bhok Tian Po melindungi raja menyingkir ke Birma, hampir seluruh keturunan para Ke Ciang itu ikut tewas. Hanya beberapa yang sempat meloloskan diri. 

Di kemudian hari keturunan dari keempat keluarga itu dihadiahkan masing-masing sebuah panji kecil berwarna putih dengan alas biru oleh Tan Ho cu dari Tian-te hwe sebagai lambang. Siapa pun tokoh persilatan yang melihat panji kecil itu, wajib memberikan bantuan atau pun melindungi mereka. itulah sebabnya aku juga menaruh hormat melihat panji kecil itu. 

Bukan takut, hanya sungkan, kalau aku sampai membuat kesalahan, tentu aku akan menjadi orang terhina di dunia ini!" sahut Mau Sip-pat yang tampaknya senang menerangkan secara panjang Iebar,

"Oh, begitu, Memang benar, bila bertemu dengan keturunan panglima atau menteri yang setia sudah selayaknya kita berlaku hormat." "Sejak berkenalan dengan kau, baru kali ini ak mendengar-ucapan yang tepat!" kata Sip-pat sambil menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Aku sendiri, entah kapan pernah mendengar kau mengucapkan kata-kata yang pantas seperti sekarang ini!" sahut Siau Po tidak mau kala "Siapakah yang tidak menghormati Bhok ongya yang hanya dengan terompet tembaga dapat menyeberangi sungai dan dengan sebatang panah dapat membunuh gajah?"

Mau Sip-pat kebingungan mendengar ucapannya, Diperhatikannya bocah itu lekat- lekat.

"Apa yang dimaksud dengan terompet tembaga dapat menyeberangi sungai dan dengan sebatang panah api dapat membunuh gajah?"

Siau Po tertawa lebar.

"Kau cuma tahu bagaimana harus menghormati keluarga Bhok, tetapi kau tidak tahu sampai mana kegagahannya, Tahukah kau ada hubungan apa antara Bhok ongya dengan Sri Baginda Raja."

"Siapa yang tidak tahu bahwa dialah panglimanya Raja."

"Panglima? Ya, ya betul. Memang panglima," kata Siau Po dengan nada mengejek, "Panglima juga bukan sembarang panglima! Kau tahu, di bawah raja ada enam orang Ong atau Raja Muda: Tentunya kau pernah mendengar Tiong San-ong Ci Tat serta Kay Peng-ong Siang Gi Cun bukan? Tetapi tahukah kau siapa Raja Muda lainnya?"

Sip-pat paling buta soal riwayat kerajaan. Dia memang pernah mendengar orang menyebut nama Ci Tat maupun Siang Gi Cun, tetapi dia tidak tahu bahwa mereka juga termasuk Raja Muda. Apalagi bahwa mereka mendapat gelar Tiong San-ong dan Kay Peng-ong.

Lain halnya dengan Siau Po yang sering mendengar legenda atau sejarah si tukang cerita, Dia menatap Mau Sip-pat dengan perasaan puas karena menganggap dirinya lebih banyak tahu.

"Empat Raja Muda lainnya ialah Ki Yang-ong Lie Bun Tiong, Leng Ho-ong Teng Ji, Tong Au-ong Tung Ho yang merupakan sahabat karibnya Tay cou, tapi usianya lebih tua. Teng Ji sudah lama mengenal Sri Baginda, Dia selalu mengambil bagian dalam setiap peperangan Lie Bun Tiong adalah keponakan luar Sri Baginda, sedangkan Bhok Eng adalah anak angkatnya, karena itu dia diijinkan memakai she rangkap."

"0h... begitu rupanya! Lalu apa artinya terompet tembaga dan panah api yang kau katakan tadi?" tanya Sip-pat. "Belakangan hanya tinggal Raja Muda Lian-ong dari In Lam dan Kui Ciu yang belum tertaklukkan, Liang-ong itu bernama Colikuluhua. Dia keponakan Goan Sun-te, yakni Kaisai terakhir dari kerajan Goan."

Sebetulnya Siau Po hanya mendengar kisah yang dituturkan oleh tukang cerita. Nama Raja Muda itu terlalu aneh sehingga dia tidak dapa mengingatnya. Karena itu dia sembarangan menciptakan sebuah nama, padahal nama Raja Muda itu PacaIawaerimi. Untung saja Mau Sip-pat memang tidak tahu apa-apa.

"Tay cou gusar sekali karena Raja Muda itu masih belum mau takluk juga, Akhirnya dia mengirim pasukan perang besar berjumlah tiga puluh laksa jiwa untuk menumpasnya, Panglimanya ialah Bhok ongya yang bersama Kwe Eng dan Yu Ti serta Lie Giok Eng dari In Lam. Angkatan perang itu bertemu dengan pasukan Goan yang dipimpin Jenderal Talima, panglima itu memiliki tubuh yang tingginya mencapai sepuluh tombak dan kepala sebesar kuali. "

"Mana ada orang yang tingginya sepuluh tombak?" tukas Mau Sip-pat. Siau Po mencibirkan bibirnya.

"Orang Tatcu memang jauh lebih jangkung daripada bangsa kita, bangsa Han," katanya tak kalah, "Jenderal Talima mengenakan seragam besi dan bertombak panjang. Di tepi sungai Pek Sek di wilayah Tiok Ceng itu, dia berteriak bagai guntur, Kemudian terdengar suara jeburan air dan percikannya muncrat ke mana-mana. Kau tahu apa sebabnya?"

"Bagaimana aku bisa tahu?"

"Suara tawa itu terdengar sampai ke tepi sungai lainnya. Belasan prajurit Beng tak sanggup mendengar suara itu, Mereka terkejut setengah mati dan roboh terjungkal dari kudanya kemudian terjebur sungai. Bhok ongya sempat kebingungan. Gawat kalau suara itu diperdengarkan terus, bisa-bisa seluruh tentaranya roboh dan kalah dengan mengenaskan. Dia segera mencari akal untuk mengatasinya. BegituIah, ketika Talima mau membuka mulut lagi, Bhok ongya segera memanahnya. 

Dia lihay sekali, dengan sebat dia menghindar Memang dia berhasil menyelamatkan diri, tapi di belakangnya terdengar suara jeritan saling susul menyusul. Jenderal Talima terkejut setengah mati. Kiranya anak panah Bhok ongya telah menembus badannya puluhan perwira sehingga tewas seketika."

"Ah, mana mungkin ada tenaga yang demikian tangguh," kata Sip-pat.

"Tapi kau harus ketahui, Bhok ongya merupakan bintang di langit yang menjelma ke dunia untuk mendampingi Tay cou. jadi dia bukan manusia sembarangan panahnya saja bernama Coan In-ciang (Panah penembus langit)."

"Kemudian bagaimana?" tanya Sip-pat yang sebetulnya ragu-ragu dengan cerita itu. "Talima merasa penasaran. Dia balas memanah, tapi Bhok ongya berhasil menangkap panah itu dengan kedua jari tangannya, Tepat pada saat itu, di angkasa terbang serombongan burung belibis yang mendatangi Rombongan burung itu terbang di atas kepala mereka, Bhok ongya mengatakan akan memanah mata sebelah kiri burung yang ke-tiga, Jenderal Talima tidak percaya. Untuk memanah burung yang ketiga saja sukar, apalagi matanya yang sebelah kiri. Bhok ongya segera memanah, bukan ke arah burung tetapi ke arah Jenderal Talima."

"Bagus!" seru Sip-pat sambil menepuk pahanya, "Itu yang dinamakan siasat bersuara di timur, menyerang di barat!"

"Masih terhitung bagus nasib Jenderal Talima. Mata kirinya tertembus panah, tubuhnya langsung terjungkal di atas tanah, Dengan demikian panah kedua dan ketiga hanya mengenai bawahan. Delapan belas perwira orang Tatcu berbulu tubuhnya. Pasukan tentara Beng menamakan mereka Mau-ciang dan Mau-peng, yakni prajurit dan tentara berbulu. Akhirnya pihak Tatcu kehilangan delapan belas orangnya, Lantas ada sebutan yang mengatakan dengan tiga batang anak panah, Bhok ongya membunuh Mau Sip-pat!"

Mau Sip-pat langsung tertegun.

"Apa katarnu?" Harnpir dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri Mau Sip- pat yang diucapkan Siau Po artinya "delapan belas si berbulu" tapi nadanya sama dengan namanya sendiri.

Siau Po memberikan penjelasan sampai beberapa kali, Akhirnya Mau Sip-pat tertawa terbahak-bahak. Biar bagaimana, itu merupakan sindiran baginya. Mau Sip-pat mendelikkan matanya sambil menggerutu.

"Ngaco! Ada juga Bhok ongya memanah ke seberang, yang kena Wi Siau Po." Siau Po tertawa terbahak-bahak.

"Waktu peristiwa itu terjadi, aku masih belum lahir, bagaimana Bhok ongya bisa memanah aku?"

Sip-pat juga tertawa.

"Lalu bagaimana kelanjutannya setelah panglima musuh terpanah mata kirinya?" "Tentara musuh jadi kalang kabut setelah panglima dan perwira-perwiranya terluka, 

Bhok ongya ingin mengejar ke seberang sungai Tiba-tiba dari seberang terdengar suara riuh terompet. Rupanya bala bantuan musuh telah tiba. Mereka langsung menyerang dengan anak panah. Waktu itu malam telah tiba. Bhok ongya kembali mencari akal, Empat panglima bawahannya diperintahkan membawa pasukan tentara ke hilir, Dengan diam-diam mereka menyeberang secara memutar sesampainya di sana, mereka diperintahkan untuk membunyikan terompet tembaga dengan riuh." "Ke empat panglima itu pasti Lau, Pek, Pui dan Sou, bukan?"

Sebetulnya Siau Po tidak tahu siapa keempat panglima itu, tetapi dia tidak ingin Mau Sip-pat menebaknya dengan tepat, karena itu dia berkata:

"Bukan, Mereka adalah Ciu, Go, Tan dan Ong, sedangkan Lau, Pek, Pui dan Sou selalu mengiringi Bhok ongya!"

"Oh, begitu," sahut Sip-pat yang kena dibodohinya.

"Sampai di situ, Bhok ongya menitahkan si Lau berempat memberi titah kepada para tentaranya agar berteriak-teriak dengan bising. Di lain pihak, seribu prajurit telah disiapkan dan diperintahkan menyeberangi sungai dengan rakit serta sampan."

"Musuh melihat mereka, yang mana lantas memanah secara serabutan, Wah, entah berapa banyak ikan dan udang yang mati terpanah!"

"Ngaco! ikan masih bisa dipanah, udang mana mungkin? Ukurannya terlalu kecil!" "Kalau kau tidak percaya, coba kau ke pasar beli ikan, udang dan kepiting, kau 

gantungkan dengan disusun lalu kau panah, coba mati apa tidak?"

"Sip-pat tahu Siau Po hanya sembarangan mengoceh, tetapi dia tetap ingin tahu kelanjutannya.

"Lalu bagaimana akhirnya?"

"Akhirnya tentara Bhok ongya mengambil delapan belas ekor ikan yang terpanah, Ikan-ikan dipanggang lalu dimakan beramai-ramai, habis!" sahut si bocah yang cerdik.

"Dasar setan cilik, kutu kupret! Kau memang pandai menyindir orang dengan cerita yang diputar balikkan!" gerutu Mau Sip-pat sambil tertawa, "Hayo cepat katakan bagaimana keterusannya mengenai Bhok ongya dapat menyeberangi sungai?"

"Bhok ongya menunggu sampai si Ciu dan kawan-kawan sudah sampai di belakang musuh dan membunyikan terompet tembaga, baru dia menyeberangi sungai. Bersama sisa pasukannya, dia naik rakit dan sampan, tangan masing-masing menggenggam sebuah perisai, dengan demikian panah musuh tidak bisa mengenai mereka, sementara itu bangsa Tatcu sudah kekurangan anak panah karena tadinya terlalu dihambur- hamburkan, Mereka kena dilabrak sehingga lari kocar-kacir. Di antara musuh ada seseorang yang rebah di atas punggung kuda serta dilindungi para perwira. Diduga, dialah Jenderal Talima. Bhok ongya mengejar sambil menyerukan agar Talima menyerah, tetapi pihak musuh menyangkal bahwa orang itu adalah Jenderal Talima, Namun ia tetap dapat dikenali karena di mata kirinya masih menancap anak panah. Kemudian orang itu diringkus oleh si Lau berempat. Dengan demikian bangsa Tatcu  pun menderita kekalahan. Banyak prajuritnya yang mati, sebagian di darat, sebagian lagi di air. Yang di air menjadi santapan ikan-ikan. "

"Lalu?"

"Kemudian Bhok ongya dari Kiok Ceng maju terus sampai di luar tembok kota raja. Musuh menggantungkan pengumuman agar peperangan ditunda, permintaan itu diterima baik karena tidak ingin timbulnya banyak korban. 

Malam harinya, ketika Bhok ongya sedang membaca kitab Cun Ciu, tiba-tiba terdengar suara yang bising dan aneh dari dalam kota, Bukan suara harimau ataupun serigala, Bhok ongya terkejut setengah mati sehingga ber-teriak. "

"Suara apa itu?" tanya Sip-pat "Coba kau tebak!"

"Tentunya suara jeritan Jenderal Talima dan anak buahnya!"

"Bukan, Bhok ongya segera mengadakan rapat darurat, Lau Ciang Kun diperintahkan membawa serdadunya yang berjumlah tiga ribu orang malam itu juga untuk mencari tikus sawah, Siapa yang tidak berhasil mendapatkan akan diberi hukuman, sebaliknya yang bisa mendapatkan akan diberi hadiah. "

"Untuk apa tikus sawah?" tanya Sip-pat bingung.

"Bhok ongya seorang ahli siasat perang. Rahasianya tidak boleh sembarangan dibeberkan. Orang pun tidak boleh bertanya apa-apa. Kalau dia sampai marah, seandainya kau adalah bawahannya, maka delapan belas batok kepalamu akan diremukkan seketika."

"Masa bertanya saja tidak boleh?"

"Tidak dalam keadaan seperti itu, Setelah itu, Bhok ongya menitahkan Pek ciangkun membawa dua laksa serdadunya pergi ke tembok kota sejauh lima li untuk menggali tanah sepanjang satu Ii. Dalamnya tiga tombak, penggalian itu harus sudah selesai dalam waktu satu malam. Kemudian kubu-kubu pertahanan dimundurkan sejauh satu li, jadi jaraknya dengan tembok kota kurang lebih enam li."

"Aneh sekali! Untuk apa lubang sepanjang dan sedalam itu?"

"Hm! Kalau siasat perang Bhok ongya dapat diterka olehmu, maka Bhok ongya bisa berubah menjadi Mau Sip-pat dan Mau Sip-pat berubah saja menjadi Bhok ongya."

Sip-pat membungkam. Lagi-lagi Siau Po menyindirnya. "Keesokan subuhnya, kedua panglima pulang dengan membawa laporan masing- masing, bahwa sudah didapatkan tikus sawah sebanyak satu laksa lebih, dan penggalian tanah pun sudah selesai Bhok ongya mengatakan "bagus!" lalu beberapa mata-matanya dikirim untuk mengintai gerak-gerik musuh. 

Siang harinya, di dalam kota terdengar suara riuh rendah, terutama suara tambur perang, Si mata-mata segera lari pulang menyampaikan berita, Tingkahnya panik sekali dan berkali-kali menyerukan celaka, Bhok ongya menjadi gusar dan membentaknya sambil menggebrak meja, Dia menanyakan apa yang telah terjadi, Mata-mata itu segera melaporkan bahwa musuh telah membuka gerbang sebelah utara dan dari sana muncul beberapa ratus kerbau siluman, Dikatakan siluman sebab hidungnya panjang, kawanan binatang itu sedang menyerbu datang."

"Binatang apa itu?" tanya Bhok ongya tersenyum, "Mustahil ada kerbau berhidung panjang, Coba kau selidiki sekali lagi, Cepat!"

Mata-mata itu mengiakan lalu berlalu menjalankan perintah Bhok ongya, walaupun memberikan perintah demikian, tetapi Bhok ongya tetap memimpin pasukannya maju ke depan, Dia mengawasi dari kejauhan sehingga dia dapat melihat debu-debu beterbangan dari pihak musuh, Setelah itu beberapa ratus ekor "kerbau berhidung panjang" seperti yang dilaporkan oleh mata-matanya datang menerjang. 

Kiranya yang dimaksud adalah ratusan ekor gajah yang di bagian kepalanya dikaitkan golok yang tajam, Gajah-gajah itu menerjang datang seperti kalap, sebab di bagian ekornya diikat obor api yang menyala! Liang-ong membeli beberapa ratu ekor gajah itu dari Birma dan menjadikannya pasukan gajah api untuk menyerbu lawan. 

Obor itu terbuat dari kayu cemara, saking kagetnya gajah gajah itu kabur ketakutan. Gajah binatang yang besar dan kuat, kulitnya tebal, anak panah hanya dapat melukainya karena sulit membunuhnya. 

Kalau tentara Beng sampai kena diserbu pasukan gajah itu, mereka pasti akan menderita kekalahan. Malah para tentara Beng yang asalnya dari Utara itu, boleh dibilang mereka tidak pernah melihat gajah, itulah sebabnya hati mereka pun tercekat."

"Pasukan gajah memang hebat sekali!"

"Tetapi Bhok ongya tidak gentar. Bahkan sikapnya tenang sekali, Begitu pasukan gajah itu mendekat, Bhok ongya segera memerintahkan bawahannya untuk melepaskan semua tikus hasil tangkapan tadi malam. Dalam sekejap mata ribuan bahkan laksaan ekor tikus sawah lari serabutan ke segala penjuru. 

Gajah tidak takut harimau, singa ataupun beruang, tetapi takut tikus. Melihat binatang kecil yang suka seradak-seruduk itu, kawanan gajah tersebut jadi terkejut. Semua lantas membalikkan tubuhnya menerjang ke arah pasukan bangsa Tatcu sendiri. Kacaulah tentara musuh. Sebaliknya, setiap gajah yang sampai di lubang penggalian, semua tercebur roboh tanpa berdaya, Setelah itu Bhok ongya mengeluarkan perintah  lagi, yakni melepaskan panah api. Dengan demikian di udara segera terlihat ribuan percikan api yang meleset ke arah musuh."

"Bagaimana panah bisa berapi?" tanya Mau Sip-pat penasaran. Siau Po tersenyum.

"Namanya saja panah api, sebetulnya bukan panah, Sejenis mesiu yang ditembakkan dengan meriam dan terselubung sehingga suaranya bising dan melesatnya jauh sekali, Gajah-gajah jadi ketakutan dan lari serabutan, sementara itu Bhok ongya memerintahkan pasukannya menyerbu masuk ke kotaraja pihak musuh. 

Saat itu Lian-Ong dan permaisurinya sedang berpesta, mereka sedang menantikan berita kemenangan dalam peperangan tersebut Tidak disangkanya bahwa yang datang menyerbu justru tentara musuh. Bukan main terkejutnya hati Lian-Ong dan permaisurinya, Dia berteriak sekeras-kerasnya "Kuluaputuliwa! KuIuapu-tuliwa!"

"Apa artinya?" tanya Sip-pat kebingungan.

"Tentu saja yang digunakan adalah bahasa bangsa Tatcu yang artinya "Celaka, pasukan gajah berontak!" Dengan panik dia menyeret tangan permaisurinya melompati tembok kota dan lari, Dia melihat sebuah sumur dan tanpa berpikir panjang lagi dia langsung terjun ke dalamnya, Ternyata lubang sumur itu terlalu kecil sehingga hanya sepasang kakinya yang masuk, sedangkan tubuhnya tertahan di luar Dengan demikian, Bhok ongya jadi mudah meringkusnya."

"Bocah, ceritamu bagus sekali!" kata Mau Sip-pat sambil tersenyum. Dia tidak perduli cerita Siau Po benar atau tidak, yang penting hatinya merasa senang dan perjalanan pun tidak begitu membosankan.

Mau Sip-pat menggunakan kesempatan ini untuk menceritakan segala sesuatu yang berkaitan tentang dunia kangouw kepada Siau Po, terutama mengenai apa saja yang tidak pantas dilakukan.

"Kau tidak mengerti ilmu silat, tidak mungkin orang melakukan kekejaman atas dirimu, tetapi jangan sekali-sekali kau berpura-pura, akibatnya malah gawat!"

Siau Po hanya tersenyum.

"Aku kan Siau Pek-Iiong Wi Siau Po, aku bisa menyelam dalam air selama tiga hari tiga malam dan makan ikan serta udang mentah-mentah."

Sip-pat tertawa, Sahabat ciliknya itu memang lucu sekali, sepanjang jalan, tidak pernah mereka bertemu lagi dengan keluarga Bhok. Selama itu pula luka di kaki Mau Sip-pat berangsur-angsur sembuh, setibanya di Pe King, yakni kota raja, Mau Sip-pat kembali memperingatkan Siau Po agar berhati-hati. "Aku tidak takut, kaulah yang harus waspada!"

Mereka menuju ke Se Sia, sebelah barat kota, Kemudian mereka masuk ke sebuah rumah makan. Ketika mereka sedang menikmati hidangan, mereka melihat masuknya dua tamu lain, Yang satu sudah tua, usianya sekitar enam puluh tahun lebih, sedangkan yang satunya, bocah berusia sebelas atau dua belas tahun.

Siau Po merasa heran, karena dia melihat pakaian mereka aneh sekali.

Sip-pat yang sudah banyak pengalaman segera mengetahui bahwa kedua orang itu merupakan para thay-kam (pelayan istana yang dikebiri). Si thay-kam tua berwajah kekuning-kuningan, pucat dan tubuhnya bungkuk. Tak henti-hentinya dia mengeluarkan suara batuk. Tampaknya orang itu sedang menderita sakit Si thay-kam cilik memapahnya, Mereka duduk di meja sebelah timur.

"Bawakan arak!" kata si thay-kam tua yang ternyata suaranya tajam sekali.

Pelayan bergegas datang dan melayani dengan hormat Tampaknya dia gentar menghadapi kedua thay-kam tersebut. Si thay-kam tua lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dan membukanya, Isinya semacam bubuk.

Dia mengendus bubuk itu lalu dengan jari tangan diambilnya sedikit kemudian dimasukkan ke dalam arak. Perlahan-lahan dia meneguk araknya itu.

Tak lama kemudian, mendadak thay-kam itu menggigil seperti orang kedinginan. Pelayan rumah makan itu terkejut setengah mati dan menanyakan dengan panik.

"Ada apa? Ada apa?"

"Minggir!" hardik si thay-kam cilik. "Buat apa kau mengoceh di sini?"

Kedua belah tangan thay-kam tua itu memegangi meja. Giginya gemerutukan tubuhnya semakin bergetar. Bahkan sejenak kemudian, meja pun ikut bergetar, sampai- sampai cawan arak dan supit berjatuhan ke lantai.

Si cilik jadi kebingungan.

"Makan obat lagi..." katanya, "Kongkong, makan obat lagi saja!"

"Tidak usah, tidak usah!" sahut si thay-kam tua. suaranya masih setajam tadi, tapi wajahnya menyiratkan ketegangan.

Si thay-kam cilik berdiri mematung dengan tangan masih menggenggam bungkusan obat. Tepat pada saat itu terdengar suara langkah kaki yang ramai, muncullah tujuh orang Iaki-laki bertubuh kekar. Mereka semua bertelanjang dada. Tubuh mereka berminyak, dari muka sampai ke kaki.  Tubuh mereka juga berotot, sedang di bagian dada dipenuhi bulu hitam. Tangan mereka kasar dan besar-besar. Mereka segera duduk memenuhi dua buah meja dan berteriak meminta arak serta daging.

"Cepat!" teriak beberapa orang.

"Ya! Ya! Tuan ingin memesan sayur apa saja?"

"Dasar budek!" bentak salah satunya. Bahkan seorang rekannya yang lain langsung menyambar pinggang pelayan itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, Pelayan itu meronta-ronta sambil berkaok-kaok.

Ke tujuh orang itu tertawa terbahak-bahak, kemudian tubuh pelayan itu dilempar keluar sehingga jatuh terbanting dan menjerit kesakitan orang-orang itu kembali menertawakannya.

"ltulah ilmu gulat!" bisik Sip-pat kepada Siau Po. "Setelah lawan tercekal kemudian diangkat ke atas, lalu dibanting dengan keras agar lawan tidak bisa segera membalas menyerang."

"Apakah kau mengerti ilmu itu?" tanya Siau Po penasaran

"Tidak! ilmu semacam itu tidak ada gunanya bagi seorang ahli silat." "Dapatkah kau melawan mereka?"

"Tidak ada gunanya!"

"Seorang diri melawan mereka bertujuh, pasti kau kalah." "Mereka bukan tandinganku!"

Sifat ugal-ugalan Siau Po timbul lagi, tiba-tiba dia berteriak kepada ketujuh orang itu. "Eh, sahabat! Kawanku ini mengatakan bahwa kalian bertujuh bukan tandingannya!" Mau Sip-pat terkejut setengah mati.

"Jangan mengacau!" cegahnya.

Sip-pat tidak tahu bahwa hati Siau Po penasaran sekali melihat pelayan itu dibanting tanpa melakukan kesalahan apa-apa. Dia merasa ketujuh orang itu perlu diajar adat.

Mendengar teriakannya, ketujuh orang itu menolehkan kepalanya serentak. "Eh, bocah cilik, Apa yang kau katakan barusan?" tegur salah satunya. "Kata kawanku ini, seenaknya kalian menghina pelayan itu, kelakuan kalian itu bukan perbuatan orang-orang gagah!" sahut Siau Po. "Kalau kalian memang berani, lawanlah dia!"

"Benarkah katamu itu, manusia hina?" salah seorang lantas maju memukul.

Sebetulnya Mau Sip-pat tidak berniat mencari keributan, tetapi hatinya panas melihat kegarangan orang-orang itu, Apalagi dia memang benci sekali kepada bangsa Boan ciu, teguran itu pun membuatnya gusar. Dia langsung mengangkat tangannya menangkis sehingga orang itu menjerit kesakitan karena tulang lengannya patah.

Seorang lainnya menjadi gusar. Dia langsung menerjang ke arah Sip-pat untuk melakukan serangan, tetapi dia langsung disambut dengan sebuah tendangan yang mengenai perutnya, tubuhnya langsung terpental dan rubuh bergulingan.

Kelima orang lainnya langsung kalap, mereka mencaci maki dengan kalang kabut, serentak mereka maju menerjang. Sip-pat menyambut dengan gerakan Kim Na hoat, dengan mudah dia dapat merobohkan mereka. 

Salah satu di antaranya langsung diangkat ke atas, diputar-putar dan baru kemudian dilemparkan ke depan, Kepalanya jatuh karena posisi jatuhnya memang di bagian kepala dulu.

Seorang lainnya maju menerjang tapi dia juga disambut dengan sebuah tendangan di dadanya, nafasnya jadi sesak kemudian memuntahkan darah segar. Ketika ada lagi yang maju, Sip-pat menghajar lengan orang itu sampai patah!

Tanpa menunda waktu lagi, Sip-pat segera menarik tangan Siau Po. "Lagi-lagi kau menimbulkan keonaran, mari kita pergi!"

Tentu saja Siau Po mengerti. Dia pun mandah saja ditarik oleh Mau Sip-pat. Di luar dugaan, tepat di depan pintu rumah makan itu mereka sudah dihadang oleh si thay-kam tua.

Sip-pat mengulurkan tangannya dengan maksud mendorong agar orang memberi jalan untuknya, tetapi saat tangannya menyentuh tubuh orang itu, hatinya langsung tercekat. Tubuhnya tergetar kemudian terhuyung-huyung. Kakinya sampai menyurut mundur dua tindak, pinggangnya membentur meja sehingga terbalik. Bahkan Siau Po sampai ikut terpental dan jatuh ke dalam gentong air!

Si thay-kam tua sendiri masih berdiri tegak di tempat semula, Hanya suara batuknya yang tidak berhenti-henti.

Saat itu juga, Mau Sip-pat menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi. Bahkan mungkin mengerti ilmu gaib. Kalau tidak, tak mungkin dia kena terhantam balik oleh tenaga pantulannya sedemikian rupa.  Mau Sip-pat dapat merasakan gelagat yang kurang baik, cepat-cepat dia mengangkat tubuh Siau Po dari dalam gentong air terus membawanya lari lewat bagian belakang rumah makan itu. Baru saja melangkah tiga tindak dia sudah terkejut setengah mati. Tahu-tahu thay kam tua itu sudah menghadang di hadapannya

Suara batuknya masih belum berhenti, Mau Sip-pat penasaran sekali. Dia menabrak thay-kam tua itu, namun kembali tubuhnya terpental ke belakang sehingga dia harus berjungkir balik di udara untuk menjaga keseimbangan agar tidak terguling jatuh, sementara itu, tangannya masih tetap membopong Siau Po.

Baru saja kaki Mau Sip-pat mendarat di atas tanah, dia merasa punggungnya seperti tersentuh sedikit, Di saat dia bermaksud menepis tangan itu, keadaan sudah kasip. Tubuhnya langsung roboh, untung saja dia jatuh di atas tubuh kedua lawannya tadi sehingga tidak sampai menderita sakit.

Kedua orang Boan ciu itu patah kakinya, tepi tangannya masih kuat sebagaimana halnya para pegulat. Mereka langsung mencekal Mau Sip-pat erat-erat Sip-pat mencoba mengadakan perlawanan tetapi tenaganya punah karena totokan si thay-kam tua.

Tubuhnya ditekan ke bawah dalam posisi tengkurap sehingga dia tidak bisa melihat apa-apa, tetapi telinganya masih mendengar suara batuk si thay-kam tua yang tidak berhenti-henti.

"Kau terus menyuruhku minum obat, berarti kau memang menginginkan aku cepat mampus, bukan?" bentaknya pada si thay-kam cilik. "Kalau kau menambah setengah bungkus lagi saja, aku bisa mati konyol. Aih! Anak, kau benar-benar ceroboh!"

"Anak... anak benar-benar tidak tahu," sahut si thay-kam kecil gugup, "Lain kali tidak akan terulang lagi!"

"Lain kali?" kata si thay-kam tua sambil tertawa getir, "Anak, kau toh tahu hidupku tidak akan lama lagi!"

"Kongkong, siapa orang ini? Mungkinkah salah seorang pemberontak atau pembangkang Kerajaan?"

Si thay-kam tidak menyahut, dia malah bertanya kepada rombongan pegulat. "Kalian ini fuku dari mana?"

"Kami dari istana The ongya, Terima kasih Kongkong, Apabila tidak ada bantuan dari Kong kong, kami pasti sudah kehilangan muka."

"Hm! Hanya kebetulan saja!" Orang Boan ciu gemar bergulat, setiap Pwe le atau pangeran biasa memelihara pegulat yang di namakan fuku, Begitu pula The ongya.

"Jangan menimbulkan keributan lagi, Sekaran kalian bawa laki-laki serta bocah ini ke Tay lwe Siang Sian Kam. Katakan bahwa mereka adalah orang-orangnya Hay kongkong!"

"Baik, Kongkong," sahut beberapa fuku itu. Mereka segera membereskan mayat- mayat teman mereka dan dibawanya sekalian bersama Mau Si pat dan Siau Po.

"Mengapa kau masih diam saja?" tanya thay-kam kepada bocah cilik itu. "Bukannya cepat panggil joli, kau kan tahu aku tidak bisa berjalan!"

"Ya, ya, Kongkong!" sahut si thay-kam cilik sambil berlari keluar.

Thay-kam tua itu kembali mendekam di atas meja sambil terbatuk-batuk, sementara itu, Siau Po dan Mau Stp-pat benar-benar tidak berdaya. 

Malah Siau Po kena batunya, ketika dia berusaha meloloskan diri, tahu-tahu betisnya terserang sebatang sumpit sehingga dia terguling jatuh, Dalam hati dia mencaci maki.

"Bapaknya Jin! Setan tua itu pasti menggunakan ilmu siluman! Mungkin dia memang jelmaan siluman kura-kura yang hampir mampus!" sebetulnya Siau Po memang ingin kabur secara diam-diam, dia ingat tukang cerita di tempat tinggalnya sering mengatakan "Selagi gunung masih menghijau, jangan takut kehabisan kayu bakar",

Tidak lama kemudian, si thay-kam cilik sudah kembali dengan sebuah joli, Kemudian si thay-kam tua digotong pergi, batuknya masih belum reda juga.

Di lain pihak, Siau Po dan Mau Sip-pat juga diangkut ke atas joli Iainnya. Tubuh mereka diikat erat-erat dan mulut mereka juga disumpal dengan kain. Bahkan Siau Po sudah dihajar beberapa kali karena tadinya mulut bocah itu tidak hentinya memaki- maki.

Joli itu ditutup dengan tirai hitam sehingga orang di dalamnya tidak dapat melihat apa-apa. Beberapa kali joli dihentikan kemudian terdengar suara orang bertanya, namun akhirnya joli itu diberi jalan setelah salah seorang fuku menjawab.

"Kami mendapat perintah Hay kongkong dari Siang Sian Kam!"

Siau Po bingung, Dia tidak tahu apa itu Siang Sian Kam. Tapi dia dapat menduga bahwa thay-kam tua itu mempunyai pengaruh yang kuat di dalam istana kerajaan Boan.

Seumur hidupnya, baru dua kali Siau Po naik joIi, Yang pertama ketika dia ikut dengan ibunya bersembahyang di kelenteng, Saat itu dia hampi tertidur pulas, ia merasa joli dihentikan dan salah seorang fuku berkata. "Orang yang dibutuhkan Hay kongkong suda tiba!"

"Ya," sahut seorang bocah cilik, "Hay kongkong sedang beristirahat. Biarkan saja orang itu menunggu di sini!"

Dari suaranya, Siau Po segera mengetahui bahwa yang berbicara barusan adalah si thay-kam ciiik. Lalu dia merasa jolinya diangkat dan digotong menuju suatu tempat kemudian berhenti lagi. Terdengar seseorang berkata:

"Kami akan pulang sekarang. Akan kami laporkan urusan ini kepada The ongya, pasti ongya akan mengirimkan wakilnya untuk mengucapkan terima kasih kepada Hay kongkong!"

Terdengar lagi sahutan si thay-kam cilik.

"Kalian melakukan hal yang tepat. Memang kalian harus melaporkan urusan ini kepada The ongya dan tolong sampaikan salam kongkong kepadanya."

Sementara itu, hidung Siau Po juga mengendus bau obat. Diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Setan tua itu tampaknya sudah parah sekali penyakitnya, tapi mengapa dia tidak cepat-cepat mampus saja? Celakanya kami justru sudah terjatuh ke dalam genggamannya."

Ruangan itu begitu hening. Hanya sekali-sekali terdengar suara batuk Hay kongkong. Siau Po kesal sekali, dia merasa urat tangan dan kakinya mulai kaku. Dia juga tidak dapat bersuara karena mulutnya tersumpaj sedangkan Hay kongkong seperti sudah lupa kepada mereka berdua.

Entah berapa lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara panggilan si thay-kam tua. "Siau Kuicu!"

Segera terdengar sahutan si thay-kam cilik, Siau Po berpikir dalam hati.

"Ah... dia juga memakai huruf Siau di depan namanya, sama dengan namaku!" "Lepaskan ikatan mereka, Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan!" perintah 

Hay kongkong.

Siau Kui cu segera melaksanakan perintah itu, tidak lama kemudian penutup mata Mau Sip-pat dan Siau Po telah dibuka, mereka melihat bahwa mereka berada dalam sebuah ruangan yang besar, tapi perabotannya sedikit sekali.  Yang ada hanya sebuah meja dan kursi, Di atas meja tersusun beberapa jilid buku, Hay kongkong duduk di atas kursi dengan posisi setengah menyandar, kedua pipinya cekung, matanya setengah dipejamkan.

Sumpalan kain di mulut Sip-pat dilepaskan ketika Siau Kui cu akan melepaskan sumpalan pada mulut Siau Po, Hay kongkong segera mencegahnya.

"Tunggu dulu, mulut bocah itu kotor sekali, Biar tersumbat agak lama!"

Siau Po hanya dapat memaki kalang kabut dalam hati. ikatan kedua tangannya telah dibebaskan tetapi dia tidak berani melepaskan sumpal mulutnya sendiri karena dia tahu thay-kam tua itu lihay sekali, usahanya pasti sia-sia. Dia hanya dapat memperhatikan sembari memasang telinga mendengarkan.

"Ambil kursi dan suruh dia duduk!" perintah Hay kongkong.

Siau Kui cu segera menuruti perintah, Diambilnya sebuah kursi dari ruangan sebelah kemudian dipersilahkannya Sip-pat untuk duduk, Siau Po tidak disediakan kursi. Tanpa sungkan lagi dia duduk di atas tanah.

"Kalau tidak salah tuan ini she Mau dan ahli ilmu Ngo-houw toan bun to, bukan?" tanya Hay kongkong.

Di dalam hatinya, Mau Sip-pat terkejut setengah mati, "Rupanya thay-kam tua ini sudah mengetahui siapa diriku!" Karena itu dia juga merasa tidak perlu berdusta lagi.

"Benar!" sahutnya tanpa ragu.

"Menurut selentingan yang kudengar, katanya tuan melakukan perampokan di kota Yang-ciu dan akhirnya setelah tertangkap, kau buron dari penjara setelah membunuh beberapa hamba kerajaan, Banyak juga perbuatan onar yang telah kau terbitkan, ya?"

"Memang benar!" sahut Sip-pat. Dia mengagumi kepandaian si thay-kam tua yang tinggi, karena itu dia tidak mau berlaku kurang sopan.

"Sekarang tuan telah sampai di kota raja, dapatkah tuan memberitahukan apa keperluanmu?" tanya Hay kongkong kembali.

"Aku toh sudah terjatuh dalam genggamanmu, mau bunuh, mau siksa silahkan, Aku orang she Mau adalah seorang laki-laki sejati, tak bakal aku mengerutkan keningku. Tapi kalau kau bermaksud mencari keterangan dari mulutku, sasaranmu salah!"

Hay kongkong tersenyum.

"Siapa yang tidak tahu Mau Sip-pat adalah seorang laki-laki sejati? Untuk memaksa kau, tentu aku orang tua tidak berani, tapi menurut kabar yang kuterima, katanya kau ini orangnya Peng Si-ong. " Belum selesai ucapan Hay kongkong, Mau Sip-pat sudah menukas dengan marah. "Siapa yang mengatakan bahwa aku orangnya Go-sam Kui si pengkhianat bangsa? 

Kata-katamu itu sungguh menghina!"

Peng Si-ong adalah pangkatnya Go-sam Kui, yakni seorang Raja Muda yang menaklukkan wilayah barat.

Thay-kam tua itu terbatuk-batuk beberapa kali, kemudian tersenyum lagi.

"Peng Si-ong telah berjasa besar terhadap kerajaan Ceng yang maha agung, Sri Baginda sangat mengandalkannya, Kalau tuan memang orangnya Peng Si-ong, sebaiknya katakan terus terang saja, Dengan memandang muka raja muda itu, aku orang tua juga tidak akan memperpanjang persoalan."

"Bukan! Mau Sip-pat dengan jahanam Go-sam Kui tidak ada hubungannya sedikit pun!" teriak Mau Sip-pat. "Aku tidak sudi memperoleh keuntungan dari keparat itu. Kalau kau memang mau membunuh aku, silahkan jangan membuat keluarga Mau sial karena tuduhanmu itu!"

Wi Siau Po juga pernah mendengar nama Peng Si-ong Go-sam Kui, orang itu yang membawa pasukan bangsa Boan ciu memasuki gerbang perbatasan sehingga dinasti Beng jatuh, Sejak itu pula kerajaan Ceng berkuasa di daratan cina. Dia maklum mengapa Mau Sip-pat marah sekali dikatakan orangnya Peng Si-ong, sebab Go-sam Kui dikenal sebagai pengkhianat bangsa Han atau Han Kan.

Sebetulnya ia kurang setuju dengan sikap Mau Sip-pat, pikirnya dalam hati.

"Si kura-kura tua ini pasti sedang membujuk sahabatku ini untuk mengaku, Mengapa dia tidak mengakuinya saja, dengan demikian bukankah kita akan dibebaskan? Sesudah bebas kita dapat memikirkan akal untuk melarikan diri dari kota raja, sekarang saudara Mau malah berkeras. Bagaimana kalau dia sampai disiksa? Bukankah dia hanya mencari penyakit? Sesudah bebas, kita bisa mencaci maki pengkhianat itu!"

Sejak dibebaskan, Siau Po dapat menggerakkan kaki dan tangannya dengan leluasa. Hanya mulutnya yang tetap tersumpal, Diam-diam dia mengangkat tangannya ke atas untuk melepaskan sampai mulutnya itu.

Hay kongkong sedang berbicara dengan Sip-pat, dia tidak memperhatikan tingkah si bocah, bibirnya malah menyunggingkan senyuman mendengar suara Sip-pat yang semakin keras.

"Tadinya aku mengira tuan datang ke kota raja atas perintah Peng Si-ong, rupanya aku keliru," katanya.

"Biarlah aku katakan terus terang padamu, Kedatanganku ke kota raja ini sebetulnya untuk mencari Go Pay. Aku dengar dia adalah tokoh nomor satu dari bangsa Boan Ciu,  katanya dia dapat membunuh seekor kerbau gila dengan kepalannya, Mendengar cerita itu, aku tidak puas, Aku sengaja mencarinya untuk mengadu kepandaian!"

Hay kongkong menarik nafas panjang mendengar kata-kata Mau Sip-pat.

"Kau hendak mengadu kepandaian dengan Go siau-po? sekarang kedudukannya tinggi sekali, di bawah satu orang tetapi di atas laksaan orang, Bagaimana mungkin dia dapat bertanding denganmu?"

Sementara itu, otak Sip-pat bekerja keras. Di sudah dikalahkan oleh thay-kam tua ini, Kalau Hay kongkong saja dia tidak dapat menandingi apalagi Go Pay? Bukankah Go Pay dikenal sebagai orang kuat nomor satu bagi bangsa Boan ciu? Sementara itu, secara diam-diam dia juga telah membebaska dirinya dari totokan Hay kongkong.

Dia berpikir dalam hati, apakah dirinya sanggup melawan thay-kam tua ini? padahal ketika di Te Seng San, dia tidak mempunyai rasa gentar sedikit pun. Setelah berdiam diri sekian lama, terdengar Hay kongkong menarik nafas panjang kembali.

"Tuan, apakah kau masih berniat mengadu kepandaian dengan Go Pay?" "Ada satu hal yang ingin kutanyakan terlebih dahulu, Bagaimana sebenarnya 

kepandaian itu? Kalau dibandingkan dengan kau orang tua, berapa tingkat 

kemenangannya?"

Hay kongkong tersenyum.

"Go Pay adalah seorang menteri yang sangat dihormati. Di dalam rumah, tugasnya menjadi menteri, di luar dia dapat merangkap menjadi panglima besar. Kekayaannya jangan ditanyakan lagi, Pangkatnya juga hampir tiada tandingannya, Berbeda dengan aku, kedudukanku di istana sangat rendah, Apabila dibandingkan dengan Go siau-po, ibarat bintang di langit dengan pasir di tanah!"

Thay-kam tua itu sepertinya mengelakkan pertanyaan Sip-pat dengan membicarakan soal lainnya, tapi Sip-pat tetap penasaran.

"Kalau kepandaian Go Pay ada setengahnya darimu saja, dapat dipastikan bahwa aku bukanlah lawannya!"

"Tuan terlalu merendah," kata Hay kongkong sambil tersenyum. Tampaknya sikap orang tua ini sangat ramah, "Sekarang aku tanyakan dulu kepadamu menurut penglihatanmu bagaimana ilmu silatku kalau dibandingkan dengan Tan Eng Hoa?"

Mau Sip-pat terperanjat setengah mati. "Apa katamu?" "Aku menanyakan tentang hiocu tertinggi dari partai kalian. Aku mendengar Tan hiocu telah mempelajari ilmu tenaga dalam Liong-kian Kong Khi (Naga menggulung hawa) yang hebat sekali. Sayangnya, aku yang rendah tidak mempunyai kesempatan untuk bertemu dengannya."

Sip-pat merasa heran. Semakin lama, thay-kam tua ini semakin membingungkan Dia bukan hanya mengetahui siapa dirinya, tapi juga banyak tahu tentang Tan Eng Hoa, ketua Tian-te Hwe. Mulutnya melongo, sampai sekian lama dia tidak sanggup mengatakan apa-apa.

Kembali Hay kongkong menarik nafas panjang, Tampaknya dia memang paling ahli dalam menarik nafas dan batuk-batuk.

"Saudara Mau, sejak semula aku sudah tahu bahwa kau adalah seorang laki-laki sejati, ilmumu cukup tinggi, mengapa kau tidak mengabdi saja pada Sri Baginda kami? Tidak sulit bagimu mendapatkan kedudukan Te-tok atau ciangkun. Tapi kau justru mengikuti Tan hiocu mengadakan perlawanan... aih!"

Tampak Hay kongkong menggelengkan kepalanya berulang kali kemudian menambahkan kembali, "Kau akan mendapatkan akibat yang tidak menyenangkan. Karena itu, dengan hati tulus aku menasehatimu, Lebih baik kau pertimbangkan kembali dan rubah pendirianmu sebelum semuanya terlambat, undurkan diri dari Tian-te Hwe..."

"Tian-te Hwe.,.? Aku tidak tahu apa-apa tentang partai itu..." sahut Sip-pat, tetapi pada dasarnya dia seorang jujur yang tidak pernah berdusta sekalipun Tingkahnya jadi gugup, Akhirnya dia menjadi nekad, Dia tahu orang pasti tidak akan mempercayai kata- katanya. 

"Tidak salah! Aku memang anggota Tian-te Hwe! Kami telah bersatu hati serta jiwa untuk membangun kembali kerajaan Beng. Mana mungkin aku mengabdi kepada bangsa Boan? Bukankah aku akan menjadi seorang Han-kan? Nah, sekarang semuanya sudah jelas bagimu, Terserah apa yang akan kau lakukan kepadaku!"

Hay kongkong tidak ada maksud membunuhnya. Dia malah berkata dengan nada sabar.

"Kalian orang-orang Han memang merasa tidak senang karena bangsa Boan telah merampas negaramu, pendapat kalian itu keliru sekali, Karena itulah aku menghargai kegagahanmu yang cinta pada negara, sekarang begini saja, aku tidak akan membunuhmu, tetapi tolong sampaikan kata-kataku kepada Tan hiocu bahwa Hay kongkong ingin sekali bertemu dengannya. 

Dengan demikian aku bisa menguji sampai di mana ketinggian ilmunya, Lian-kian Kong Khi. Aku harap dia datang secepatnya ke kota raja. Aih! Umurku tidak seberapa lama lagi, itulah sebabnya, bila Tan hiocu tidak lekas datang, aku tentu tidak mempunyai kesempatan untuk bertemu dengannya lagi. Sungguh harus disesalkan bila aku mati tanpa sempat bertemu dengan orang yang demikian gagah!" Sip-pat benar-benar bingung dengan sikap thay-kam tua itu. Bukan saja dia akan membebaskan mereka, dia juga berani menentang Tan hiocu. Hampir saja dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Dia berdiri dari tempat duduknya, tetapi tetap berdiri di tempat. Dia merasa ragu untuk melangkah.

"Apa lagi yang kau tunggu? Mengapa masih belum pergi?" tanya Hay kongkong. "Baik!" sahut Mau Sip-pat sembari membalikkan tubuhnya dan menarik tangan Siau 

Po. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi tidak 

ada sedikit pun suara yang tercetus dari mulutnya.

Hay kongkong menarik nafas panjang.

"Percuma kau menjadi orang kangouw sampai berpuluh tahun lamanya. Masa kau tidak tahu peraturan sedikit pun? Apakah kau akan meninggalkan tempat ini begitu saja tanpa meninggalkan apa-apa sebagai tanda mata?"

Sip-pat menggigit bibirnya keras-keras.

"Benar, Aku orang she Mau sampai melupakan hal itu. Saudara cilik, pinjam pisaumu sebentar. Aku akan mengutungkan tangan kiriku sebagai tanda mata!" katanya.

Ucapan Mau Sip-pat ditujukan kepada si thay-kam cilik yang menggenggam sebilah pisau belati sepanjang delapan dim yang tadi digunakan untuk memutuskan tali pengikat mereka berdua.

"Tangan kiri saja masih belum cukup!" kata Hay kongkong. Wajah Mau Sip-pat langsung merah padam saking gusarnya. "Kau menginginkan tangan kananku juga?" 

Hay kongkong menggelengkan kepalanya, "Dua belah tangan dan dua biji mata!" Sip-pat tercekat hatinya, Tanpa dapat ditahan lagi, kakinya menindak mundur dua langkah, cekalannya pada Siau Po dilepaskan. 

Dengan gerakan cepat tangan kanan dan tangan kirinya bergerak serentak, Tangan kiri diangkat ke atas, tangan kanan bergerak ke samping, itulah jurus Ti-gu Bong Goat" (Badak menengadah menghadap rembulan). 

Dalam hatinya dia berpikir "Bagaimana mungkin kau menginginkan kedua belah tangan dan kedua biji mataku? Tanpa lengan dan mata, apa gunanya aku menjadi manusia? Lebih baik aku mengadu jiwar biarlah aku mati di tanganmu!"

Hay kongkong tidak menolehkan kepalanya atau memperhatikan gerak-gerik Mau Sip-pat, dia sibuk mengurus batuknya yang semakin lama semakin menjadi-jadi,  nafasnya seperti sesak, Hay kongkong berdiri sambil memegangi tenggorokannya seperti ingin mengurut-urut agar pernafasannya menjadi lega.

Melihat penderitaan taykam tua itu, Mau Sip-pat berpikir dalam hati.

"Kalau tidak lari sekarang, mau kapan lagi?" Tubuhnya langsung bergerak, bukan untuk menyerang thay-kam tua itu, tetapi untuk menarik tangan Siau Po agar dapat diajaknya berlari bersama.

Tepat pada saat tubuh Sip-pat bergerak, Hay kongkong menurunkan tangan dan kedua jarinya seperti memotes ujung meja, potongan meja itu disambitkannya ke depan.

Sip-pat baru sampai di ambang pintu ketik potongan kayu itu menghajar betis kanannya, tepat di jalan daerah Hok-tut hiat. Tenaganya punah seketika, kemudian ia terjatuh dalam posisi bertekuk Iutut. Satu serangan lain mengenai betis kirinya sehingga Siau Po pun ikut terguling jatuh.

Sementara itu, suara batuk Hay kongkong masih terdengar terus, Terdengar pula Siau Kui cu berkata:

"Makan lagi obatnya setengah bungkus, mungkin batuknya bisa reda. "

Terdengar sahutan si thay-kam tua.

"Baik, baik. Tambah sedikit tidak apa. Tetapi kalau lebih bisa membahayakan." "Baiklah." Terdengar Siau Kui cu berkata. Thay-kam cilik itu merogoh sakunya untuk 

mengambil obat, kemudian dia menuju ke dalam untuk mengambil secawan arak. 

Sesaat kemudian dia sudah kembali lagi, dibukanya bungkusan obat itu ia dikoreknya sedikit dengan ujung kelingking.

"Ter... lalu ba... nyak. "

"Baik," sahut Siau Kui cu. Dia menuangk kembali setengah bubuk itu ke dalam bungkusannya. Matanya menatap Hay kongkong seakan ingin menanyakan apakah takarannya sudah cukup.

Hay kongkong menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba punggungnya membungkuk, batuknya semakin menjadi-jadi. Kemudian mendadak saja tubuhnya roboh tengkurap di lantai, tubuhnya kelojotan.

Siau Kui cu terkejut setengah mati, Dia menubruk Hay kongkong kemudian memapahnya bangun.

"Kongkong! Kongkong!" panggilnya berkali-kali, "Kenapa kau, kongkong?" "Panas... panas..." kata Hay kongkong kalang kabut, "Papah aku ke dalam gentong air itu, aku ingin berendam..."

"Ya!" sahut Siau Kui cu yang langsung mengerahkan tenaganya untuk membimbing Hay kongkong, Sesaat kemudian terdengar Burrr! Tubuh thay-kam tua itu pun dicemplungkan ke dalam gentong air.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar