Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Jilid 23

Jilid 23

"Sudah tiada," ujar Nyo Wan ceng tertawa dibuat buat. "Sebenarnya aku sendiri hendak pergi ke Ki-lian-san, tapi kau bisa mewakili aku mengantar surat itu, aku bisa hemat tenaga, tak usah pergi jauh. Eh, kau harus segera pulang, aku tidak perlu banyak cerewet lagi," sikapnya kurang wajar.

Geng Tian tersentak sadar batinnya: "Aku terlalu lugu, mungkin dia salah paham terhadapku," tapi bertemu baru sekali, sungkan pula rasanya ia melimpahkan perasaan hatinya. "Aku tidak katakan kau cerewet, tinggallah sebentar lagi sambil mengobrol," terpaksa dengan mendelong ia awasi punggung orang yang semakin jauh, sekejap saja sudah hilang dari pandangan mata.

Seorang diri Nyo Wan ceng turun gunung pikiran kalut dan perasaan gundah rada rada senang, namun banyak kecewa pula akhirnya hatinya terasa hambar.

Yang disenangi, karena Geng Tian sang kekasih yang selalu dibayangkan itu ternyata jauh lebih baik kenyataannya, bukan saja berwajah tampan, tegap, ilmu silatnya pun lebih tinggi dari dirinya.

Kecewa kareka sejak mula sampai berpisah, orang tidak menyinggung sepatah kata-pun mengenai perjanjian jodoh oleh ibu masing-masing yang menuding perut merangkap perjodohan mereka.

Bahwa tadi ia terlambat pergi, adalah menunggu Geng Tian membicarakan hal itu, tak nyana dari nada bicara Geng Tian rasanya menyuruh dirinya lekas pergi saja.

"Apakah dia tidak tahu akan hal ini? Ataukah dia membenci aku. Hm, dia tidak menghiraukan aku, memang aku pingin disanjung puji olehnya, anggap saja tidak pernah terjadi hal itu. Tapi aku perlu tidak menuju ke Ki-lian-san?" karena jengkel dan merengek itulah ia jadi menyesal kenapa sengaja ia datang kemari untuk menemui Geng Tian.

Ternyata ditengah jalan ia mendapat jejak Siang-sat dan Sam tiong hendak menuntut balas kepada Pek-kian bu, kuatir bisa merembet yang lain lain sehingga Nyo Sugi dan Geng Tian beramai ikut bentrok dan terluka, maka sengaja ia kuntit dan mengikuti terus jejak mereka sampai di sini. Secara sembunyi tadi ia sudah saksikan permainan ilmu silat Geng Tian dalam beberapa kilauan saja maka tak tahan ia pancing orang keluar untuk menjajal sendiri.

Kalau menurut rencana semula ia langsung menuju ke Ki lian san, kesempatan untuk bertemu dengan Geng Tian akan jauh lebih banyak, tapi sekarang setelah ia bertemu dengan Geng Tian, menjadi sungkan dan kikuk untuk pergi ke Ki-lian-san.

"Perlukah aku pergi ke Ki lian san?" timbul pikiran didalam benaknya mendadak ia seperti menemukan rahasia relung hatinya, ternyata bahwa begitu besar keinginannya mengharap bertemu lagi dengan Geng Tian. Bukan saja ia marah dan gemas pada diri sendiri, maka hatinya semakin hambar dan risau.

Mendengar bayangan orang yang menghilang dibalik hutan hati Geng Tianpun hambar. Teringat oleh Geng Tian waktu ia hendak meninggalkan rumah ibunya memberitahu tentang ikatan jodoh ini waktu itu ia malah berkata: "Toh belum diketahui anak yang dilahirkan bibi Nyo putra atau putri, kenapa kau bersitegang leher ?" Ibunya berkata: "Pendek kata kalau laki laki, kalian harus mengikat persaudaraan, jika putri kau harus mengawininya sebagai istrimu, keluarga Nyo besar budinya terhadap kami, sekali-kali jangan kita melupakan kebaikan dan membalas air susu dengan air tuba."

Bagaimana juga daya tarik anak muda jauh lebih besar apalagi persoalan mengenai pernikahan atau hidup masa depannya, sejak tahu bahwa dirinya mungkin sudah punya calon istri, tak urung selalu ia berpikir dalam hati: "kalau kebetulan putri, entah bagaimana keadaannya bagaimana ilmu silatnya. Seumpama dia tidak mencocoki seleraku, apakah aku harus patuh akan perintah orang tua?" tapi meski dalam hati ia pernah memikirkan kekuatiran ini, namun ia sudah mengambil keputusan secara diam diam, "Ucapan itu memang tidak salah, mereka begitu baik dan berbudi besar terhadap kami, memangnya kami harus ingkar janji terhadap budi kebaikan mereka. Meski seburuk kuntilanakpun, aku harus mengawininya."

Malam ini diluar dugaan ia bertemu dan kelihatannya secara berhadapan, raut wajahnya cantik rupawan, ilmu silatnya betul betul amat mengesankan. Sayang ia bertemu dengan kekasih yang dibayangkan ini setelah ia tahu bahwa hubungan orang dengan Lo Hou wi adalah begitu baik dan intim, meskipun hatinya girang dan kejut, mau tidak mau perasaan dan tindak tanduknya sudah jauh berlainan dengan sebelum ini.

Dengan hati hambar, ia terlongong sekian lamanya tiba tiba terpikir olehnya, ''Mengandal kepandaian Ginkangnya, sejak tadi ia sudah berada disini, kenapa ia tidak langsung mencari Lo Hou wi, sebaliknya memancing aku kemari? Waktu itu bukankah Lo Hou-wi belum menyusul tiba? tiada orang lain disisinya, bukankah merupakan kesempatan yang baik. Ah, toh sebelum ini kami masih asing satu sama lain, kenapa dia begitu percaya kepadaku, dua persoalan rahasia yang pantang diketahui oleh Lo Hou wi, dia bocorkan dan memberitahu kepadaku?"

Tiba-tiba berdebar jantung Geng Tian, pikirnya pula: "Kenapa aku memikirkan sampai kesitu? Apakah aku mengharap sikapnya jauh lebih baik terhadapku dari pada terhadap Lo Hou-wi? Geng Tian, oh Geng Tian, disinilah letak kesalahanmu! Sebagai laki laki sejati mana boleh kau bertindak begitu rupa merugikan kepentingan sesama sahabat ? Lebih baik biar aku membangkang dan durhaka terhadap ayah ibu sendiri saja!"

Waktu pikiran kalut dan bimbang itulah tahu tahu Lo Hou wi sudah muncul di hadapannya. Melihat Geng Tian, Lo Hou-wi kegirangan serunya dari kejauhan: "Geng-heng terkejar tidak orang itu?"

Serba sulit bagi Geng Tian, "Perlukah kuberi tahu kepadanya? Persoalan Pek Kian-bu boleh tidak usah diberikan kepadanya. Tapi nona Nyo adalah sahabatnya. Masa aku tidak perlu memberi tahu kepadanya bahwa dia tadi sudah datang? Memang nona Nyo sendiri pernah berpesan kepadaku tidak usah memberitahu kepadanya.Tapi siapa tahu kalau nona Nyo itu kuatir jejak hatinya konangan maka sengaja ia berpesan demikian."

Lo Hou wi sudah memburu dekat tiada kesempatan berpikir bagi Geng Tian, katanya: "Sungguh menyesal tidak kecandak!" akhirnya ia menuruti pesan Nyo Wan ceng. Di mulut berkata menyesal terpaksa harus berbohong kepada Lo Hou wi.

"Mengandal Ginkangmu masih tidak terkejar? Orang itu laki atau perempuan?"

Geng Tian tertawa: "Kau sangka Nyo itu. Kalau kukatakan mungkin membuat kau kecewa saja, dari bayangannya kulihat bahwa dia adalah laki laki." terpaksa dan ketelanjur Geng Tian tetap membual.

Merah muka Lo Hou wi katanya: "Sudah tentu bukan nona Nyo masa boleh dia melukai Pek jiko dengan senjata gelap? Tapi bicarakan terus terang Ginkang orang itu begitu lihay sebelum dia menyerang Pek-jiko dengan senjata gelap memang aku menyangka dia adalah nona Nyo."

"Orang sering berkata selalu dipikirkan malamnya menjadi impian setiap detik kau tidak bisa melupakan nona Nyo itu adalah tidak heran kalau selalu mengharap kedatangannya," demikian goda Geng Tian sambil tertawa dibuat buat.

Semakin merah muka Lo Hou wi, tiba tiba ia berkata sungguh sungguh: "Geng heng, jangan kau menggoda aku, bicara sejujurnya memang aku amat kagum dan berkesan baik terhadap nona Nyo tapi masakan aku cocok sama dia? Didalam hatiku dia hanyalah guruku dan sahabat baikku saja, tidak pernah berani aku berangan-angan untuk mempersunting dia. Sebaliknya Geng heng hubungan keluarga kalian begitu dekat dan mendalam bicara cara soal ilmu silat perjodohan kalian cukup setimpal."

"Jangan kau seret diriku dalam persoalanmu Lo-heng, mana boleh kau berkata tidak cocok berpasangan sama dia. Kalau sudah jatuh cinta masa kemana memangnya cinta harus membedakan baik buruk bentuk wajah seseorang?" sementara dalam hati ia berpikir, "Dia berkata demikian lebih jelas memperlihatkan betapa dalam rasa cintanya terhadap Wan-ceng. Ai seorang Kuncu harus rela berkorban demi kesempurnaan hidup lain orang. aku, aku . . ."

Merah selebar muka Lo Hou wi seperti kepiting direbus, baru ia hendak membuka mulut tiba tiba didengarnya suara Nyo Sugi berteriak: "Ah kalian sudah pulang!"

Ternyata tanpa terasa mereka sudah beranjak hampir sampai dibiara bobrok itu. Mendengar derap kaki mereka yang mendatangi lekas Nyo Sugi menyambut keluar.

Tergerak hati Geng Tian katanya, "Sam-ko, Kim jong-yok ini ambillah dan bubuhkan pada luka-luka Jiko, aku hendak omong beberapa patah kata kepada Toako."

Nyo Sugi dan Lo Hou wi melengong bersama. Nyo Sugi keluar menyambut kedatangan mereka jaraknya kira-kira puluhan langkah dari luar pintu. Dengan berbisik-bisik Geng Tian berkata: "Aku bertemu dengan utusan Toh Hok, dia ada sepucuk surat penting minta disampaikan kepada Liong pangcu harap setelah kau baca simpanlah baik baik tapi dalam soal dia ada pesan supaya jangan diberitahu kepada orang ketiga." waktu ia berbicara dengan Nyo Sugi ini Lo Hou wi sudah melangkah masuk kedalam biara.

Setelah membaca surat itu Nyo Sugi amat kaget, pikirnya: "Benar berita yang amat penting sekali." tapi ia tidak habis mengerti, kenapa utusan Toh Hok berpesan supaya merahasiakan hal ini terhadap tiga saudara mudanya, tanpa terasa ia mengawasi Geng Tian, sorot matanya menampilkan rasa heran dan bertanya-tanya.

Baru saja Geng Tian hendak memberi bisikan supaya jangan terlalu percaya kepada Pek Kian bu, dari dalam terdengarlah keluhan Pek Kian-bu.

"Mari masuk dulu," kata Nyo Sugi, pikirnya, "kalau Toh Hok berpesan demikian tentu ada latar belakangnya, kalau ada selalu bertanya kepada Geng-kongcu bukankah menunjukkan sikap curigaku kepada Toh Hok dan tidak menghormati pesannya."

Dalam berpikir ini dia sudah melangkah masuk kedalam biara, terpaksa Geng Tian mengintil dibelakangnya.

Baik buruk mengenai pribadi Pek Kianbu sebelum Geng Tian sendiri mendapatkan bukti bukti yang nyata ia masih rada kuatir akan dugaan ataupun ucapan Nyo Wan-ceng yang bersumber sepihak saja. Maka begitu melihat Pek Kian bu rebah dilantai sambil merintih rintih segera ia maju dan bertanya; "Pek jiko bagaimana luka lukamu?"

Kata Pek Kian bu penuh kebencian, "Sungguh celaka bangsat itu melukai orang dengan senjata gelap bikin mampus jiwaku sih mending, sekarang pahaku luka demikian rupa mana aku bisa bergerak dan jalan jalan? ai celakanya pangcu mengutus kita menyambut kedatangan kongcu maksudnya agar lekas pulang, dengan luka-luka pahaku ini bukankah menggagalkan urusan besar?"

Melihat orang dapat bicara panjang lebar Geng Tian tahu bahwa orang lukanya tidak terlalu berat legalah hatinya katanya: "Terlambat bertemu satu dua hari dengan Liong pangcu tidak menjadi soal, toh bukan urusan besar segala perjalanan dari sini kira kira cuma tiga hari meski harus menggendong kau paling terlambat satu dua hari."

"Geng kongcu," tiba tiba Nyo Sugi bersuara, "Lebih cepat kau tiba di markas lebih baik, hal itu merupakan hal yang penting, menurut hematku terpaksa kita harus merubah rencana semula!"

Geng Tian tersentak sadar, ia maklum akan maksud kata kata Nyo Sugi, betapa penting surat rahasia itu, sang waktu akan menentukan kehidupan dari seluruh Ceng Liong-pang maka dia tidak boleh terlambat datang bertemu dengan Liong Jiang-poh untuk membicarakan sebuah masalah, karena pikiran ini, segera ia berkata: "Aku memang kurang pengalaman, ucapan Toako benar. Lalu bagaimana menurut maksud Toako?"

"Maksudku supaya kau Geng kongcu berangkat lebih dulu."

Pek Kian bu berpura-pura katanya; "Apa, kau suruh Geng-kongcu seorang diri pulang ke markas besar, ini...ini kukira kurang hormat. Bukankah Pangcu suruh kami menyambut kedatangannya?"

"Tapi kita harus bisa bekerja menurut gelagat, kita tidak bisa meninggalkan dia demikian saja, sementara Geng kongcu harus cepat bertemu dengan Liong pangcu. Hanya beginilah cara satu satunya untuk kepentingan bersama. Untungnya kepandaian Geng-kongcu jauh lebih tinggi dari kami, berarti Ginkangnya lebih tinggi lagi, kalau kami menemani dia juga tidak akan bisa membantu kesulitannya."

Geng Tian malah bimbang dan sulit berkeputusan, diam diam ia menerawang, "Pek Kian-bu terluka, kukira tidak akan melakukan tindakan yang nyeleweng.Tapi kalau kubiarkan berangkat bersama rasanya kurang lega. Kalau tahu keadaan serba sulit begini lebih baik surat rahasia itu tidak kuperlihatkan kepada Nyo Sugi lebih dulu."

Sembari bicara Nyo Sugi mengeluarkan sebatang anak panah perintah diangsurkan kepada Geng Tian katanya: "Setiba di Ki-lian san, kau akan diperiksa oleh saudara saudaraku disana, keluarkan panah kuasa ini, tentu kau tak akan menghadapi rintangan yang berarti."

Terpaksa Geng Tian terima panah itu, katanya, "Baiklah aku segera berangkat, selamat bertemu di Ki lian san."

Tatkala itu fajar telah menyingsing, setelah mohon diri Geng Tian lantas berpisah dengan Nyo Sugi beramai.

O^~^~^O

WAKTU itu seorang diri Nyo Wan ceng sedang melenggang dijalan pegunungan, semula ia punya seekor kuda tunggangan, kuda itu adalah kuda rampasan dari perwira yang membawa surat rahasia itu, kuda itu ia sudah jinakkan dan menjadi tunggangannya, waktu naik gunung ia tinggalkan kudanya itu makan rumput dilereng bukit sana, semula karena harus menguntit jejak Siang-hiong berempat maka ia tinggalkan dibawah gunung.

Tak nyana waktu ia turun gunung, kuda tunggangannya itu sudah tidak kelihatan lagi jejaknya. Heran Nyo Wan ceng dibuatnya, pikirnya, "Dalam atas pegunungan yang sepi ini mana ada orang, kuda itu tidak akan sembarangan mau ikut orang lain, begal kuda umumnya mana kuasa menundukkan kebinalannya."

Nyo Wan-ceng bersuit panjang namun kuda tunggangannya tidak muncul juga, segera ia kembangkan ginkangnya berlari turun gunung.

Semalam turun hujan lebat, maka jejak kaki kuda nampak jelas dijalan raya yang becek dan basah itu, kelihatan dua kuda berlari menuju arah barat.

"Satu diantaranya entah apakah kuda tungganganku. Biar kukejar kearah sana," pikir Nyo Wan-ceng, kuda tunggangannya itu adalah kuda jempolan yang pilihan didalam pasukan Gi lim kun negeri Kim. Wanyen Tiang ci sengaja suruh perwira itu menunggang kuda, supaya lekas menyampaikan suratnya ke Liang ciu, meski ginkang Nyo Wan ceng tinggi, terang tidak mungkin bisa menyandaknya namun karena ia merasa enak kepada kuda tunggangannya itu, maka ingin mencoba mengadu untung.

Ia mengharap orang yang mencuri kudanya itu akhirnya beristirahat disebuah warung makan untuk menangsel perut, siapa tahu ia masih bisa mengejar.

Tak nyana dalam pengejaran ini bukan saja ia tidak menemukan warung arak, sebaliknya kuda tunggangannya itu lebih dulu ia pergoki. Disebelah depannya, ada seorang perwira menunggang seekor kuda lain yang tinggi tegap, sementara kuda tunggangannya mengintil disebelah belakang.

Nyo Wan ceng menjadi keheranan, pikirnya: "Aku sudah menjinakkan kuda itu, kenapa dia mau ikut orang lain?" Akhirnya ia sadar juga, pikirnya: "Ya, betul, mungkin orang itu adalah perwira dari pasukan Gi lim kun, sebelumnya sudah kenal baik dengan kuda itu, melihat orang lewat dibawah gunung, maka ia terus mengintil pergi."

Kuda tunggangan didepan itu dicangklong pelan pelan, naga naganya mereka tidak buru-buru menempuh perjalanan.

Dengan bekal kepandaiannya yang tinggi, besar pula nyali Nyo Wan ceng, segera ia kembangkan ginkang delapan langkah mengejar tonggeret mengudak kedepan seraya membentak: "Begal kuda yang bernyali besar, berani kau mencuri kudaku!"

Perwira itu bergelak tertawa, sambil berpaling ia mengamat amati Nyo Wan ceng katanya: "Memang aku sedang menunggu kau pencuri kuda ini muncul, kau budak belia bernyali besar, mencuri barang orang, kebentur pemiliknya malah kau berani menuduh aku sebagai pencuri. Hm sungguh menggelikan, kuda penunggang ini kau curi atau kau rebut dari orang lain? kemana pula Kiam Chit yang semula menunggang kuda ini? Apakah sudah kau bunuh? Ayo lekas mengaku!"

Kiranya perwira yang menyerah dan diampuni itu bernama Kiam Chit. Agaknya perwira ini belum tahu akan duduk perkara sesungguhnya apakah kedua bawahannya itu menyerah atau sudah dibunuh musuh, maka ia ajukan pertanyaannya untuk mengorek keterangan Nyo Wan ceng.

Nyo Wan ceng tertawa dingin, jengeknya: "kalian bangsa nudhen (negeri Kim) menjajah tanah perdikan bangsa Han kita, termasuk kudamu ini boleh dikata sebagai barang kotor! berani kau main tanya hendak mengorek keteranganku, bukankah justru kau yang menggelikan?"

Perwira itu tidak menjadi marah, sambil tertawa besar ia melompat turun dari punggung tunggangannya, sekali ulapkan tangan kedua kuda itu lantas lari masuk kedalam hutan. Kata perwira itu setelah menghentikan tawanya: "Mungkin kau inilah Siau-mo-li yang selalu mencari gara gara dengan pihak kami? Begitu liar kau bicara, sungguh belum pernah kulihat anak perempuan segalak kau!"

"Nah biarlah hari ini kau tahu dan berkenalan dengan aku," demikian jengek Nyo Wan ceng, diam-diam ia waspada dan mengamat amati perwira dihadapannya ini, dilihatnya Thay ang-hiat dipelipis orang menonjol keluar, matanya berkilat, terang bahwa Lwekangnya cukup tinggi, tak heran orang berani bersikap garang terhadap dirinya yang biasa dipandang sebagai momok oleh kalangan mereka.

Perwira itu bergelak tertawa pula ujarnya: "Biarlah kubelajar kenal kepandaianmu! kalau aku kalah boleh kau bawa kedua kudaku ini, kalau kau yang kalah, he he...kau harus menyerah dan patuh mengikut aku ke kota raja."

Nyo Wan ceng menyeringai dingin, katanya, "Bukan saja aku akan merampas kedua kuda itu jiwanyapun akan kurampas sekalian."

"Baik, senjata apa yang kau gunakan, silahkan keluarkan, biar aku mengandal sepasang tangan dinginku ini! Usiaku lebih tua, jangan sampai nanti dikatakan situa menindas anak muda!" sikapnya yang wajar seolah olah punya bekal berkelebihan sehingga tidak perlu gentar terhadap musuh, meski sudah tahu yang dihadapi adalah Siau mo li yang disegani, toh dia tidak pandang sebelah matanya.

Ternyata perwira ini bukan lain adalah tokoh kedua dari Gi lim kun kerajaan Kim, yaitu wakil Komandan Cian Tang jun.

Melihat kedua utusannya tidak pulang memberikan laporan akan tugasnya maka Wanyen Tiang ci sengaja mengutus dia turun tangan sendiri menyusul ke Liang ciu.

Nyo Wan ceng menjadi gusar, segera ia turun tangan lebih dulu, begitu pergelangan tangan melintir, dimana sinar perak berkelebat tahu tahu gelang peraknya sudah ia sendal menjadi seutas cambuk perak yang panjang, "Sret" kontan ia menyabet kearah Cian Tang jun.

Cian Tang jun menyembunyikan kedua tangannya didalam lengan bajunya yang panjang dan kedodoran. Lekas ia kebutkan lengan bajunya sambil menjengek: "Bagus!" belum lagi ia turun tangan lengan bajunya sudah berhasil menggubat cambuk perak Nyo Wan-ceng bentaknya: "Lepaskan!"

Hampir saja Nyo Wan ceng tidak kuasa pegang cambuknya lagi, keruan ia kaget dibuatnya, lekas ia kerahkan Lwekang ajaran gurunya, tidak mundur malah merangsak maju, meminjam tenaga menggunakan tenaga cambuk peraknya itu disentak melempang seperti seutas kawat kaku. "Cret" ia berhasil menusuk lubang lengan baju orang dan bebas dari kungkungan lawan. Setelah itu barulah dia ada kesempatan mengejek. "Mengandal kepandaian begini hendak merebut cambukku keluarkan saja cakar anjingmu!" dimulutnya mengejek dan mengolok musuh, dalam hati ia sudah insaf bahwa kepandaian lawan berada diatas dirinya.

Bahwa lengan bajunya tertusuk berlubang oleh ujung cambuk lawan, hal ini membuat Cian Tang jun heran dan terkejut, batinnya, "Siau-moli memang mempunyai kepandaian yang berarti." seraya ia berkata serunya, "kau sangka aku tidak mampu merebut cambukmu? Coba lihat!" tahu tahu kedua cakar tangannya terjulur maju dimana angin pukulannya menekan, cambuk perak itu kena tersampok miring kesamping, lekas Cian Tiang jun ulurkan tangan meraih.

Permainan cambuk Nyo Wan ceng cukup lihay, sedikit menyendal gagang cambuknya ia putar menutuk Jian kin hiat orang, lekas Cian Tiang jun merubah cengkeraman tangannya menjadi jepitan dengan kedua jarinya, laksana gunting memapak kedatangan gagang cambuk lawan.

Tapi kejadian memang berlangsung amat cepat sekali, Nyo Wan ceng sudah merubah permainan cambuknya, dari tipu Pa ong-pian ciok Hun sam wu cambuk peraknya yang panjang melingkar lingkar bundar sambung-menyambung menggulung kearah Ciang Tian jun. Lekas Ciang Tiang jun tepukkan tangan kiri sementara kedua jari tangan kanan terjulur keluar hendak menggunting, maka terdengarlah suara, "Tas" ujung cambuk peraknya kena tergunting putus sebagian. Meski hanya putus sebagian saja namun hal ini sudah membuat Nyo Wan ceng kaget bukan kepalang.

Tapi meskipun terdesak, Nyo Wan ceng masih mampu balas menyerang, begitu ujung cambuknya putus, seiring dengan gerakan susulannya ia gentakkan batang cambuknya ke samping, terus ditarik kembali dengan kecepatan bagai kilat, lagi-lagi ia berhasil menusuk berlobang lengan baju Ciang Tian jun.

Nyo Wan ceng lompat mundur tiga tapak katanya; "Kau menggunting putus cambukku, aku melobangi lengan bajumu, masing-masing tidak kena digulingkan, mari dimulai lagi!" Sebetulnya memang sama sama rugi, namun kerugian Nyo wan ceng lebih besar.

Ciang Tian jun tidak menyinggung soal ini, ia berkata tawar; "Biar kubikin cambuk panjangmu menjadi cambuk pendek!" kedua telapak tangannya bergerak membundar seperti gelang menggelinding dan menjojoh maju, tampak pakaiannya tahu tahu melembung besar, laksana layar dihembus angin keras. Nyo Wan-ceng tahu bahwa lawan sudah mengerahkan Lwekangnya tingkat tinggi meski cambuk bisa mengenai sasarannya juga tidak bisa melukainya.

Mau tidak mau berpikir Nyo Wan-ceng, "Biar aku ajak dia bertempur main petak, asal dia tidak mampu merebut cambukku, sampai lima tujuh puluh jurus kemudian kusampaikan sekedar kata-kata ancaman menjaga gengsi, tinggal pergi habis perkara toh tidak terhitung kalah olehnya."

Setelah hati berketetapan cambuk peraknya mendadak melengkung lalu molor kedepan, gerak geriknya lincah diselingi gerakan perubahan yang serba ragam, beruntun Cian Tiang-jun coba mencengkeram namun selalu gagal.

Sayang Nyo Wan ceng harus jaga gengsi, kalau dia mau segera tinggal pergi masih ada kesempatan meloloskan diri, namun dia bergebrak lagi, kejadian terbalik dari keinginannya, tanpa terasa dia sudah terkekang oleh kekuatan Lwekang Cian Tiang jun.

Lima jurus kemudian Lwekang Cian Tiang jun yang disalurkan kedalam pukulannya semakin kuat dan deras, setiap kali Nyo wan ceng berlompatan. Lama kelamaan ia merasakan adanya daya rintangan yang menghambat gerak geriknya, sehingga lambat laun gerak geriknya tidak segesit dan selincah semula.

Semakin lambat gerak geriknya semakin payah ia kerahkan tenaga sehingga keringat bercucuran membasahi badan terdengarlah suara "Tas" ujung cambuknya kena digunting pula sebagian oleh kedua jari Ciang Tian-jun.

Karena tidak mampu lolos terpaksa Nyo Wan ceng kertak gigi dan menempur semakin sengit, dalam sekejap saja cambuk peraknya itu sudah kena digunting lagi beberapa kali kini cambuknya kena tergunting satu kaki lebih Cian Tiang-jun tertawa gelak-gelak: "Ha ha ha, akan kulihat apa pula yang dapat kaulakukan dengan cambuknya ini." cambuk-cambuk yang terputus satu kaki lebih sudah tentu daya tempur dan kekuatannya menjadi rada berkurang, semula Cian Tiang-jun harus bertahan dari jarak satu tombak melawan dirinya, sekarang gelanggang pertempuran mengkeret semakin kecil, ia berani mendesak maju merangsek lebih dekat.

Suatu ketika Cian Tiang-jun mendapatkan sebuah peluang akan titik kelemahannya yang nyata sigap sekali cakar tangannya menyelonong maju mencengkeram ke arah tulang pundak kanannya seraya terloroh loroh, "Budak kecil ikut aku saja."

Sementara itu seorang diri Geng Tian menempuh perjalanannya meski ia berusaha mengekang perasaan hatinya toh tak kuasa merindukan Nyo Wan ceng, caIon istrinya yang baru sekali saja dilihatnya.

Disaat berjalan dengan pikiran melayang layang itulah mendadak didengarnya diluar hutan sana ada suara orang bertempur, waktu itu Cian Tiang-jun sedang membentak keras sementara tak kuasa Nyo Wan-ceng menjerit kuatir.

Tersirap darah Geng Tian pikirnya; "Ternyata seorang perempuan sedang bertarung melawan penjahat disini, suara itu sudah amat kenal mungkinkah, mungkinkah dia nona Nyo? Masakah bisa mungkin begini kebetulan?" sebetulnya dia sedang menunaikan tugas penting tiada niatnya turut campur urusan orang lain. Tapi begitu rasa ketariknya seperti mengkilik kilik hati tanpa banyak pikir segera ia melesat terbang kedalam hutan dan meluruk kearah datangnya suara.

Kedatangannya memang tepat pada waktunya kebetulan Cian Tiang jun sedang turunkan tangan kejinya terhadap Nyo Wan ceng.

Begitu cakar tangan Cian Tiang jun itu diturunkan, mendadak ia merasa segulung angin kencang menerjang punggungnya, kejadian berlangsung amat cepat tahu-tahu ujung kipas Geng Tian sudah mengancam Hiat terbesar dipunggungnya.

Serangan ini memaksa musuh untuk menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu. Cian Tiang jun menghardik keras, sebelah telapak tangannya memukul balik kebelakang. Pinggiran kipas Geng Tian setajam pisau maka dari menjojoh ia ganti dengan gerakan mengiris, gerak kedua pihak menjadi begitu cepat, jaraknyapun begitu dekat siapapun tidak menduga bahwa kepandaian lawan sama sama lihay dan hebat, akhirnya kedua pihak sama menderita luka yang cukup parah.

Pergelangan tangan Cian Tiang jun tepat pada urat nadinya teriris luka oleh ketajaman pinggir tulang kipas Geng Tian. Sementara dada Geng Tian kena terpukul telapak tangan lawan dengan telak.

Mendapat peluang ini lekas Nyo Wan ceng sapukan cambuknya menggubat kedua kaki Cian Tiang jun sehingga Cian Tiang jun tersungkur kedepan terus menggelundungkan badan. Nyo Wan ceng tidak kuasa membekuk lawan sementara cambuknya menggubat kencang kedua kaki lawan terpaksa ia lepaskan cambuknya.

Geng Tian berdiri limbung dua kali terus hendak mengejar, lekas Nyo Wan ceng memburu kearahnya seraya berseru, "Bangsat itu sudah lari tak usah dikejar, Geng Toako kenapakah kau?"

"Tidak apa apa jangan kita lepaskan anjing penjajah ini!" demikian jawab Geng-Tian.

Cian Tiang jun terkejut batinnya: "Begitu hebat Lwekang bocah itu, Thi seciangku ternyata tidak mampu melukainya sedikitpun ?" karena urat nadi pergelangan tangannya teriris luka, tiada minat ia meneruskan pertempuran. Sekali tendang dan sendal ia bebaskan kakinya dari libatan cambuk terus lari kedalam hutan, mencemplak kuda tunggangan terus melarikan diri. Kuda tunggangan Nyo Wan-ceng itupun lari mengintil dibelakangnya.

Melihat orang sudah lari jauh, barulah Geng Tian bergelak tertawa, serunya, "Berbahaya, sungguh berbahaya." nada suaranya sumbang dan otot hijau menonjol diatas jidatnya.

"Apanya yang bahaya ?" tanya Nyo Wan ceng mendadak ia menjadi kaget, teriaknya kuatir : "Geng-toako . ."

Kebetulan angin kencang menghembus lewat tampak baju didepan dada Geng Tian berpeta sebuah telapak tangan yang amat jelas sekali, sedikit Geng Tian menyentuh dadanya, kain pakaian ditengah cap telapak tangan itu seketika hancur luluh, kelihatan lapisan pakaian sebelah dalam juga mengecap telapak tangan yang sama, cuma tidak sejelas cap tangan yang berada diluar.

Nyo Wan-ceng mencelos hatinya, katanya: "Geng-toako, jangan kau ngapusi aku, bukankah kau terluka ?"

"Memang lihay ! Tapi tidak perlu kuatir, aku tidak akan mampus. Luka sih memang ada, namun dalam tiga lima hari mendatang pasti kuat aku bertahan."

Sebetulnya luka pukulan didada Geng Tian tidak ringan, untunglah ia meyakinkan lwekang murni, sudah mencapai tingkatan yang lumayan, maka ia masih kuasa bertahan. Tadi ia pura pura seperti tak terjadi sesuatu atas dirinya, bergelak tertawa lantang lagi, memang dia harus berbuat demikian barulah dapat menggebah lari Cian Tiang-jun dengan ketakutan.

Kata Nyo Wan ceng mengerut kening : "Geng-toako, setelah terluka jangan kau bawa adatmu sendiri, nih aku punya sebutir Siau-hoan-tan, telanlah dulu. Mari kubawa kau ke kota disebelah depan, nanti kami cari tabib umum mengobati luka-lukamu. Kalau lukamu sudah sembuh baru melanjutkan perjalanan lagi."

Geng Tian menelan pil itu, katanya : "Apakah ini Siau-hoan tan buatan Siau lim-si ?"

"Benar, Hong tiang Siau lim si sendiri yang memberikan kepada guru."

"Adanya Siau hoan-tan ini tentu tidak akan perlu kuatir lagi akan luka-lukaku. Mana aku punya waktu menyembuhkan luka-luka lagi ?"

"Kalau Siau hoan-tan dapat menyembuhkan luka-luka, tapi toh bukan obat dewa, mana boleh kau tidak istirahat dulu satu dua hari ?"

"Kau tidak tahu punya urusan penting harus cepat cepat bertemu dengan Liong-pangcu di Ki lian san."

"O ya, aku belum tanya kau, dimana Nyo Su gi dan saudara-saudaranya?"

"Kau melukai Pek Kian bu sudah tentu mereka tidak bisa meninggalkan dia begitu saja!"

Nyo Wan ceng jadi menyesal, katanya : "Kalau tahu begitu, tidak perlu aku melukai Pek Kian bu dengan senjata rahasia. Jadi karena itu, maka seorang diri kau harus meIanjutkan perjalanan pikirnya : "Dia terluka, tanpa ada orang yang merawatnya, bilamana ditengah jalan kebentur musuh lagi, bukankah berarti aku yang mencelakai dia?"

"Hoan ceng, kemana kau hendak pergi ? Selamat bertemu dilain kesempatan, baiklah kami berpisah disini saja."

"Geng toako, biar aku bersama kau berangkat ke Ki lian san."

Kejut dan girang pula Geng Tian dibuatnya, serunya : "Kau...kau juga kesana ? Bukan lantaran aku terluka saja toh ?"

"Nyo Su-gi tidak bisa meninggalkan Pek Kian bu begitu saja, memangnya aku harus tidak menghiraukan lukamu? Kitakan saudara angkat, tidak perlu main sungkan dan malu malu segala."

''Benar urusan lebih penting jangan uruskan tetek bengek," demikian pikir Geng Tian, "Aku sudah terluka cukup parah kalau bangsat rendahan sih masih mampu kuhalau mereka, jika kebentur musuh seperti tadi, mungkin aku tidak akan bisa sampai ke Ki lian san." maka ia berkata tertawa: "Baik harap kau menjadi pelindungku !"

Begitulah sambil bercakap cakap dan senda gurau mereka berangkat, sehingga sepanjang jalan tidak merasa kesepian. Geng Tian ingin cepat cepat tiba di Ki lian-san, tak nyana semakin hatinya gugup larinya semakin lamban malah lama-kelamaan tidak kuat lagi.

Nyo Wan ceng segera membujuk : "Toako dengan membekal luka begini mana bisa kau tiba lebih cepat dari biasanya, kalau tanpa hiraukan jiwa sendiri kau harus mengembangkan ginkang berlari begini kencang, bagaimana kalau kau jatuh sakit?"

Apa boleh buat Geng Tian harus dengar nasehatnya. Hari itu mereka menempuh seratusan lebih perjalanan.

Hari kedua lebih payah lagi belum lama mereka berangkat Geng Tian merasa kepalanya pening mata berkunang. Tapi ia tidak berani memberitahukan kepada Nyo Wan ceng, sedapat mungkin ia mengempos semangat dan bertahan sampai hari menjelang magrib, hari itu mereka hanya menempuh delapan puluh lie perjalanan, raut mukanya sudah semakin pucat bagai kertas. Meski ia berusaha menutupi keadaannya, toh Nyo Wan ceng sudah melihat akan keadaannya yang semakin parah.

Menurut keinginan Nyo Wan ceng, semula hendak masuk kota mencari tabib supaya memeriksa luka lukanya, namun Geng Tian tidak mau menurut nasehatnya, alasannya bila menunda perjalanan dan membuang waktu kedua jejaknya konangan oleh musuh.

Dengan logat bicara orang dari luar daerah menempuh perjalanan jauh bersama berlainan jenis lagi, kalau mencari tabib untuk memeriksa penyakitnya, bisa menimbulkan kecurigaan dan menarik perhatian orang banyak. Dan lagi daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Li Ih siau yang bercokol di Liang ciu.

"Marilah cari tempat untuk istirahat saja, jangan terlalu capai menempuh perjalanan," demikian bujuk Nyo Wan ceng.

Akhirnya didalam sebuah hutan mereka menemukan sepucuk pohon yang rindang daunnya, di mana mereka dapat terhindar dari hujan angin dibawah pohon. Nyo Wan ceng membuat api unggun, lalu memasak air dan memberikan makanan kering kepada Geng Tian, setelah beristirahat dan mengisi perut barulah semangat Geng Tian rada baikan.

Nyo Wan ceng paksa dia untuk tidur, Geng Tian malah tertawa, katanya, "Sebetulnya aku ingin melanjutkan perjalanan dimalam hari sekarang sudah dengar nasehatnya, biarlah besok saja melanjutkan perjalanan. Masakah begini pagi aku harus tidur, mana aku bisa pulas ?"

Sebelum tengah malam cuaca mendung dan akhirnya hutan rintik mulai turun, Nyo Wan ceng mengerutkan kening, katanya: "Dalam tiga hari ini sudah hujan dua kali sungguh menyebalkan. Tapi hujan hari ini kulihat tidak akan sebesar tempo hari, kuharap hanya hujan lalu saja."

"Kejadian didunia ini sering diluar perhitungan manusia, kemaren malam waktu turun hujan, aku bersama Lo Hou-wi beramai melek semalam suntuk sambil mengobrol panjang pendek hampir sama dengan keadaan malam ini, cuma yang menjadi temanku ngobrol ganti orang lain."

"Apa saja yang kalian bicarakan malam itu ?"

"Tiada yang perlu dibuat perhatian kau, hanya membicarakan hubungan kedua keluarga kami dulu." sebetulnya Geng Tian hendak membicarakan kata kata yang diutuskan Lo Hou wi, tapi setelah ia pikir rasanya kurang pantas ia mengemukakan persoalan itu secara terang mengenai hubungan kaum remaja.

"Waktu kau berada dirumahku, aku belum lagi lahir kejadian lama apa yang kalian bicarakan?"

"Waktu itu dua keluarga kami sama menempati sebuah rumah bobrok kalau datang hujan ibuku dan ibumu pasti sibuk, aku justru merayap di tanah bermain air."

"O, begitu, jadi waktu kecil tentu kau amat nakal. Sayang aku tidak pernah melihat keadaanmu waktu masih kecil."

"Ya memang aku sering nakal maka membuat ibuku marah dan dimaki maki, untunglah ibumu selalu melindungi aku, kalau tidak tentu aku kenyang dihajar."

"Kalau begitu ibu itu amat sayang kepada kau. Aku pun telah mendengar ceritanya, waktu kecil kau amat mungil dan menyenangkan tapi belum pernah beliau menyinggung kenakalanmu."

"Apa saja yang pernah ibumu tuturkan kepadamu tentang diriku?"

"Kabarnya kau pulang keselatan, waktu kau masih berumur empat tahun, waktu itu aku masih berada dalam perut ibu," Bicara sampai disini tak terasa merah jengah selebar mukanya.

Berdegup jantung Geng Tian, katanya, "Betul tak nyana ibumu masih ingat hal itu begitu jelas. Lalu kenapa sih?"

Nyo Wan ceng menunduk kepala, katanya lagi, "Tidak apa karena aku sendiri belum pernah melihat kau, apa yang diceritakan ibumu mengenai kejadian sedikitpun tidak kuketahui, maka ia pun tidak banyak bercerita. Malam ini kau menyinggungnya, aku jadi ketarik dan ingin mendengar ceritamu. Coba kau ceritakan sejelasnya kepadaku."

Sekilas muka Geng Tian menampakkan rasa kecewa katanya tawar: "Usiaku masih terlalu kecil, tidak banyak yang bisa kuingat."

Mereka saling memancing dan main korek keterangan masing masing. Keduanya sama mengharap pihak lain lebih dulu membicarakan hubungan persoalan perjodohan mereka. Tapi sebagai kaum hawa sudah tentu Nyo Wan ceng malu dan segan untuk membuka mulut lebih dahulu. Akan tetapi sebaliknya Geng Tian sendiri serba curiga dan ragu-ragu sebelum dia berkepastian kepada siapa cinta Nyo Wan ceng dia limpahkan sulit dia membuka mulut, akhirnya mereka menanggung perang batin, keduanya sama kecewa. Sebetulnya Nyo Wan- ceng hendak bertanya: "Tidak banyak yang bisa kau ingat, tapi apa yang pernah dikatakan ibumu kepada kau tentu tidak lupa bukan?" Tapi setelah dipertimbangkan lagi, jelas perkataan ini akan terlalu menyolok, maka ia telan kembali pertanyaan yang sudah diujung mulut.

Keadaan yang hangat dan serba romantis semula, sekarang menjadi serba kaku dan dingin tanpa bersepakat kedua orang berpandangan, lekas lekas Nyo Wan ceng menunduk kepala. Sementara Geng Tian melengos, masing-masing kehilangan kata-kata sudah tentu keadaan menjadi runyam dan kikuk.

Sekian lama barulah Geng Tian membuka mulut: "Ranting kering sudah habis lekaslah mencari ranting-ranting kering untuk membesarkan api."

Mendadak Nyo Wan-ceng bangun dan berkata lirih: "Jangan pergi kau dengarkanlah."

Nyo Wan ceng tidak sakit maka pendengarannya tajam katanya, "Mereka menuju kearah sini, kira-kira ada dua tiga puluh orang, langkah kaki mereka tidak teratur, jelas ada sementara yang Ginkangnya cukup lumayan yang lain cuma melangkah dengan hati hati saja tapi toh tidak bisa menghilangkan derap langkah mereka. Diatas pegunungan belukar begini darimana rombongan orang banyak ini, mungkin sengaja menggerebek kita, biar kupadamkan api ini, lekas kau menyembunyikan diri."

"Aku toh terserang penyakit berat, memangnya aku sedang kesal, biar rombongan penjahat kecil ini menjadi bulan bulananku, melemaskan otot ototku, masakah aku harus berpeluk tangan melihat kau melabrak mereka?"

Tiba-tiba terendus bau harum merangsang hidung. Kiranya Nyo Wan ceng mendekat dan pegang tangannya, katanya berbisik di pinggir kupingnya: "Toako dengarlah nasehatku, kularang kau turun tangan!" betapa besar prihatin akan keselamatan sekaligus dilimpahkan dengan kata-kata halus yang merdu ini, syur dan hangat hati Geng Tian serta merta ia manggut-manggut mengiakan.

Nyo Wan ceng girang, lekas ia padamkan api unggun itu. Setelah menempatkan Geng Tian sembunyi dibelakang pohon, dia sendiri terus melompat keatas pohon tidak lama kemudian tampak obor berjejer mendatangi tahu-tahu rombongan orang itu sudah meluruk tiba. Diam diam Geng Tian mengintip, dilihatnya tiada perwira yang bertarung tempo hari maka legalah hatinya.

Yang pimpin rombongan ini adalah seorang perwira muda-muda, katanya, "Eh, barusan kulihat sinar api disini kenapa tidak kelihatan orangnya?" lekas ia maju memeriksa seorang perwira lain yang mengintil di belakangnya berkata: "Api unggun ini masih panas terang pasti baru dipadamkan. Orangnya tentu sembunyi disekitar sini," seorang perwira lain lagi ikut menimbrung: "Kalian lihat bekas kakinya, ini satu besar satu kecil, mungkin terdiri laki-laki dan perempuan. Menurut hematku pasti benar adalah dua orang yang dimaksudkan Cian Tayjin itulah." Perwira muda itu tertawa dan lalu berkata, "Tidak perlu kalau main tebak, siapa tahu mereka adalah muda-mudi yang sedang bercumbu rayu dengan gelap-gelap disini. Jangan kalian buat mereka ketakutan. Hai kalian keluarlah asal kalian bukan penjahat, setelah kami minta keterangan akan kami lepas kalian pulang."

Geng Tian berpikir: "Cian Tayjin yang dikatakan itu mungkin adalah penjajah yang kami gebuk lari itu. Rombongan penjajah itu, ternyata meluruk kepada kami, tapi perwira muda ini agaknya bermartabat baik." Sebaliknya Nyo Wan ceng yang sembunyi di pohon berpikir: "Perwira muda ini kelihatannya hanyalah putra hartawan mana yang lemah lembut, kepandaiannya pasti terbatas. Menangkap penjahat meringkus kepalanya lebih dulu, biar kuringkus dia saja supaya menghemat tenaga."

Melihat seruannya tiada mendapat reaksi baru saja perwira muda itu hendak mengeluarkan perintah untuk memeriksa sekitarnya, Nyo Wan ceng mendadak loncat turun dari atas pohon, katanya tertawa: "Aku disini memangrya matamu sudah picak?"

Bagai burung terbang dan kecepatan bagai kilat di tengah udara Nyo Wan ceng gunakan jurus burung berkelahi ditengah awan, jari-jarinya langsung mencengkeram kearah perwira muda itu.

Semula ia sangka sekali serang tentu membawa hasil tak nyana kepandaian si-perwira benar benar berada diluar perhitungannya. Begitu jari jari Nyo Wan ceng mencakar datang sebat sekali ia menunduk kepala menghindar. Dengan sejurus Hud kun-jiu kedua telapak tangannya mendorong ke atas. Maka terdengarlah suara. "Plok!" Topi kulit musang diatas kepala si perwira kena tercakar jatuh, tenaga cengkeraman Nyo Wan ceng kena tertangkis miring. Tanpa kuasa badannya terbang meluncur kesamping.

Hebat memang kepandaian Nyo Wan-ceng didalam kepungan musuh seketika ia memperlihatkan ilmu Ginkangnya yang hebat, di tengah udara ia jumpalitan segesit burung dara, sementara cambuk peraknya sudah terbang melingkar-lingkar, begitu kakinya menginjak tanah empat tentara yang menyerbu datang masing-masing kena disabet sekali dan bergelung dengan sambil mengerang kesakitan.

Seorang tentara lain yang bersenjata golok besar sebetulnya sudah menyerbu datang melihat Nyo Wan ceng begitu lihay saking kaget ia menjadi gugup sendiri dan berteriak ketakutan: "Siau mo li !"

"Benar," seru Nyo Wan ceng tertawa besar. "Memang akulah Siau mo li yang suka membantai pasukan anjing penjajah macam kalian." dimana cambuknya disendal dan melingkar seketika pergelangan tangan tentara itu seperti terbelit putus kontan golok besarnya terbang tinggi ketengah udara, tentara yang lain segera bersorak ketakutan dan mundur terbirit birit.

Sebat sekali Nyo Wan ceng putar tubuh tahu tahu cambuk peraknya sudah menyabet kearah siperwira muda itu. Tujuannya seperti semula hendak meringkus pemimpin mereka lebih dulu.

Mengandal pedangnya siperwira muda melindungi badannya, bayangan cambuk menari selulup timbul sementara cahaya pedang membundar menggubat badan, serangan cambuk dilancarkan dengan gencar dan cepat namun pertahanan pedang siperwira cukup kokoh dan rapat sementara waktu kedua pihak kelihatan sama kuat setanding.

Agaknya siperwira belum pernah lihat permainan cambuk yang dilancarkan lambat laun ia terdesak mundur beberapa langkah tapi setiap kakinya melangkah mundur tekanan serangan Nyo Wan ceng pasti kena dipunahkan sebagian besar selama itu belum bisa cambuk Nyo wan ceng mengenai lawan.

Tiba tiba seorang muda lainnya melompat keluar dari rombongan orang banyak, bentaknya, "Jangan bertingkah biar aku hadapi kau Siau moli ini!" suaranya nyaring dan melengking meski sedang memaki tapi kedengarannya cukup jeIas dan menusuk kuping.

Kedatangan musuh cukup kuat belum lenyap kata katanya tahu tahu Nyo Wan-ceng sudah merasakan tekanan angin kencang dari sambaran senjata berat yang menyerang punggungnya.

Lekas Nyo wan ceng sabetkan cambuknya kebelakang, kembali ia lancarkan tipu melilit pergelangan merebut senjata dari permainan ilmu cambuknya tapi perwira muda ini tidak bisa dibanding tentara yang bersenjata golok besar tadi, dengan tangkas lawan menggeser kaki pindah kedudukan lalu dengan jurus Jiay hong to hu (burung merak merebut sarang) dua bilah liu yap tonya ternyata balas menyerang secara sengit dan tangkas.

Baru sekarang Nyo Wan ceng dapat melihat jelas bahwa perwira muda yang kedua ini adalah seorang perempuan. Tak heran suaranya tadi melengking nyaring dan aneh kedengarannya.

Heran dan tidak mengerti Nyo Wan-ceng, pikirnya: "Tak nyana dalam pasukan anjing penjajah ini terdapat anak perempuan yang berkepandaian lihay." tidak berani ia pandang rendah musuh dengan cepat ia kembangkan Lian goan sam pian (tiga pecutan berantai).

Begitu perempuan itu bentrok langsung dengan Nyo Wan ceng lantas dia menginsafi bahwa kepandaian sendiri masih setingkat lebih asor cuma dia berwatak suka menang apa Iagi kuatir ditertawai oleh sekian bawahan bahwa dirinya kena dikalahkan oleh Siau mo li karena gugup segera ia berseru, "Toako kenapa tidak kau bantu aku? Memang kau sudah kepincut oleh parasnya yang cantik?"

Nyo Wan-ceng gusar, bentaknya, "Tidak tahu malu." Sret sret gerak cambuknya selincah naga terbang, kelihatannya memukul bagian atas, namun mendadak menggulung kesebelah bawah.

Gadis itu dirabunya mencak-mencak kerepotan namun mulutnya masih usil balas memaki: "Siapa tidak tahu malu kau Siau mo li ini justru tidak tahu malu. Mana laki-laki liarmu kenapa tidak lekas keluar?"

"Awas dik!" tiba-tiba perwira muda itu berseru memperingatkan, terdengarlah "cras'' dimana cambuk perak Nyo Wan ceng menyambar sebagian pakaiannya kena disambar hancur berkeping keping. Semula perwira itu segan main keroyokan melihat adiknya kewalahan menghadapi Nyo Wan-ceng, dengan gugup segera ia maju kedepan membantu.

Sebetulnya Geng Tian tidak ingin ikut turun tangan, tapi setelah melihat beberapa gerakan ia tahu bahwa Nyo Wan ceng sekali kali bukan tandingan mereka berdua, maka tanpa hiraukan luka-lukanya, sambil membentak segera ia melabrak keluar.

Geng Tian mendadak menerobos keluar, gerak geriknya cepat luar biasa, waktu para tentara bersorak dan merubung maju hendak mencegat, lenyap suaranya orangnyapun tiba langsung ia menubruk kearah perwira muda itu.

Perwira muda itu melintangkan pedangnya menangkis namun gerakan Geng Tian sungguh cepat luar biasa, tiba tiba kipasnya bergerak miring terus menyerang dari posisi yang tidak terduga sebelumnya, lekas perwira muda mengayun pedang membuat bundaran bundaran kecil, tapi belum lagi bundaran kecil itu tertutup Geng Tian gunakan suatu gerakan pura-pura memancing lawan, sementara kipasnya dengan kilat menyelonong masuk dari lobang sela sela bundaran pedangnya yang belum terkatup itu menutuk kepadanya, yang diarah adalah Ih-khi hiat dilambungnya.

Kontan terdengar siperwira menggerung pendek dan tersurut mundur tiga langkah serunya memuji, "Gerakan bagus yang amat cepat! Siapa kau?" ternyata ia tidak jatuh oleh tutukan kipas Gang Tian.

Kiranya meski tutukan Geng Tian tepat mengenai sasarannya tapi ternyata yang dikerahkan terlalu lemah maka tutukannya itu tak berhasil menghentikan jalan darah orang dan lagi latihan Lwekang perwira muda sudah cukup matang, sedikit menekuk dada dan mengembang kempiskan perutnya, apalagi terpaut selapis pakaiannya maka tenaga tutukan Geng Tian yang Iemah itu dengan gampang dapat ia punahkan. Namun demikian ia rasakan lambungnya sakit juga.

Dalam pada itu dua perwira lain yang berkepandaian rada tinggi segera menyerbu bersama maksudnya hendak membantu atasannya, "satu keparat ini pastilah bocah she Geng itu !"

Berpikir perwira muda itu: "Serangan teramat lihay dan menakjupkan cuman tenaga murninya kenapa begitu kendor, apakah dia terluka?" Tapi dia malah tidak mau unjuk kelemahan dihadapan sekian banyak anak buahnya, katanya bergelak tertawa: "San tian ju memang tidak bernama kosong kalian mundur biar aku hadapi dia sendiri."

Cepat sekali Geng Tian sudah putar badan kipasnya menjojoh ketimur menutuk kebarat dengan gayanya yang indah ia menyerang keperwira yang berada di sebelah kiri tapi mendadak tahu sudah menerjang perwira yang disebelah kanan.

Sebetulnya kepandaian siperwira ini tidak lemah, senjatanya sebatang tombak panjang dalam waktu gawat tidak sempat ia tarik badan untuk melindungi badan. Tahu tahu ia rasakan separo badannya kesemutan, pergelangan tangannya pun keseleo kena dicengkeram dengan Hun-kin joa kut hoat oleh Geng Tian.

Waktu kaki Geng Tian gentayangan sementara perwira satunya sudah menubruk tiba agaknya Geng Tian seperti sukar mengembalikan badannya lagi untuk berdiri, dan terjatuh kedalam pelukannya. Perwira ini menggunakan gaman sepasang gantolan begitu kedua gantolannya dikatupkan, tapi gerakan Geng Tian lebih cepat lagi, begitu jarinya menjojoh ia berhasil menusuk Hiat to orang lebih dulu. Mesti kedua gantolannya sudah sirna maka hanya melobangi pakaian Geng Tian saja.

Melihat beberapa gerakan dengan berlincahan seperti kelinci saja, orang sudah berhasil merobohkan kedua pembantunya yang paling diandalkan, karena terkejut perwira muda itu tanpa perduli orang terluka atau tidak cepat ia boyong seluruh kepandaiannya, dengan Loan pi hong kiam hoat ia cecar Geng Tian dengan tiga serangan pedang berantai.

Keruan Nyo Wan-ceng amat kuatir, teriaknya; "Geng toako, lekas kau lari! Kenapa kau tidak patuh akan nasehatku?"

Geng Tian berhasil punahkan dua jurus serangan lawan, teriaknya: "kaulah yang dengar kataku, lekas kaulari beri kabar kepada Liong pangcu." jurus ketiga ia sudah kehabisan tenaga kipasnya kena ditangkis dan tersampok jatuh oleh golok perwira muda itu. Sekumur darah segar kontan menyembur dari mulut Geng Tian, seketika ia jatuh tersungkur dan jatuh semaput. Agaknya ia sudah kehabisan tenaga, belum lagi musuh membekuk, dia sudah roboh lebih dulu.

"Berani kau bunuh toakoku biar kurenggut juga nyawamu!" demikian teriak Nyo Wan ceng mengancam, meski kepandaian si-gadis itu lebih asor dari dia, namun dalam waktu dekat, terang ia tidak mampu membebaskan diri dari libatan lawan.

Perwira muda segera menjinjing badan Geng Tian dan meraba hidungnya, katanya tertawa: "Nona tak usah gagap, Toakomu hanya jatuh pingsan, belum meninggal. Mungkin sebelum ini ia sudah terluka bukan," nada bicaranya lemah lembut, betul betul diluar dugaan para tentara yang dibawanya, namun kilas lain mereka lantas membatin: "Siau mo li ini berwajah begitu cantik seperti bidadari mungkin Kongcu kita ini sudah terpincut olehnya!" demikian juga Nyo Wan-ceng sendiri merasa heran, mendadak ia teringat sesuatu, tak tertahan berdetak jantungnya.

Waktu itu perwira yang bersenjatakan gantolan itu sudah ditolong oleh temannya, kepandaiannya tidak lemah, tapi dalam gebrak permulaan tadi, ia lantas terjungkal oleh tutukan Geng Tian sudah tentu malunya bukan main, begitu tutukan jalan darahnya bebas segera ia meluruk maju bantu gadis itu mengerubut Nyo Wan ceng.

Diam diam Nyo Wan ceng menerawang: "Ucapan Geng toako memang tidak salah, memberi kabar ke Ki lian san memang merupakan tugas yang amat penting, naga naganya perwira muda ini tidak bermaksud melukai jiwa Geng toako, entah apakah dia ini orang yang dimaksud oleh Toh Hok itu?" lalu terpikir pula olehnya; "Kepandaian mereka bersaudara cukup hebat, seorang diri aku tidak akan kuat melawan keroyokan mereka, aku sendiripun takkan bisa menolong Geng toako. Lebih baik aku mematuhi seruannya biar aku pergi ke-Ki Lian san menemui Liong pangcu lebih dulu, beramai ramai kita tentu dapat menolongnya keluar."

Karena pikirannya ini, "Sret" cambuknya menjadi kaku menusuk kena perwira yang bersenjata gantolan itu, jurusnya ini dinamakan Lam to cit sing ujung cambuknya bergetar tujuh kali, memecahkan tujuh cahaya perak yang membundar seperti kuntum kembang, betul betul menyerupai bintang yang kelap kelip menyolok mata. Lekas perwira itu katupkan kedua gantolannya kemuka untuk melindungi badan tak nyana serangan Nyo Wan ceng ini hanyalah gertakan belaka mendesak orang mundur, tiba-tiba ia putar badan sambil menyapu dengan cambuknya, disaat gadis itu menangkis dengan kedua sayap goloknya, bagai burung terbang menjulang ke langit, Nyo Wan ceng sudah mencelat pergi dari samping tubuhnya.

"Siau mo li," seru gadis itu, "kita belum menentukan siapa menang dan kalah, kalau suka berkelahi mari diteruskan sampai puas!"

"Bagus kalau kau berani mari kesini satu lawan satu. Kalian main keroyok, maaf aku tidak sudi melayani!" dalam berkata-kata itu ia sudah melesat keluar dari kepungan, mana para tentara itu mampu menghalangi dia ? Dari kejauhan Nyo Wan ceng berpaling dan berseru pula: "Seujung rambut saja kalian mengusik Toakoku, jangan harap kalian bisa tidur lelap! Berani bicara tentu berani kulaksanakan, akan datang kesempatan kubuat perhitungan pada kalian."

Perwira bergaman sepasang gantolan itu segera cemplak seekor kuda, serunya: "Menghadapi siluman wanita macam dia buat apa bicara soal aturan kangouw segala? Betapapun tinggi ginkangnya, masakah lebih cepat dari kudaku ini, mari kita kejar dia." seruan ini mendapat tanggapan ramai. Beberapa yang lain yang merasa kepandaiannya tidak rendah beramai cemplak kuda ikut mengudak.

Meski gadis itu mendongkol karena Nyo Wan-ceng memandang rendah dirinya tapi mengingat satu lawan satu dirinya bukan tandingan orang, kalau main keroyok, menurun derajatnya dan gengsinya maka ia hanya mengkerut kening tidak ikut mengejar.

Perwira muda itupun mengerut kening, tapi ia berpikir, "Kalau aku cegah mereka mengejar, mungkin bisa menunjukkan rasa curiga dan tak senang mereka. Nona itu berkepandaian tinggi, kukira mereka tidak akan membekuknya." maka segera ia tertawa katanya, "Baik, adikku, mari kita ikut melihat lihat saja tidak harus turun tangan."

Waktu itu cuaca sudah terang benderang tak lupa setelah rombongan besar ini maju ke-arah barat, tiba tiba tampak dua ekor kuda berlari mendatangi keduanya sama ditunggangi orang. Semula ada lima orang yang mengejar, kini cuma empat orang dan dua kuda yang kembali, tak perlu dijelaskan, terang kuda kuda mereka binasa ditengah jalan.

Kiranya satu diantara lima perwira yang mengejar Nyo Wan ceng itu seorang diantaranya adalah ahli panah yang kenamaan di Liang ciu, kuda tunggangannya besar kekar dan berlari paling cepat lagi, dia mendahului berhasil mengejar Nyo Wan ceng.

Ia tahu kepandaian Nyo Wan ceng tinggi maka tidak berani bertempur diatas kuda, maka didalam jarak ratusan langkah, segera ia kembangkan keahliannya "Sret, sret" beruntun tiga kali ia lepaskan anak panahnya.

Dua batang anak panah yang terdahulu kena dihindari oleh Nyo Wan ceng, panah ketiga mengenai tepat dan robohlah sasarannya. Perwira itu kegirangan lekas ia turun dan hendak membekuknya. Tak duga mendadak Nyo Wan ceng mencelat bangun, malah berhasil membekuk perwira itu dan merebut kuda tunggangannya pula. Ternyata ia hanya pura para saja kena dipanah, soalnya hari masih remang remang kelihatannya panah itu mengenai tenggorokannya, sebetulnya kena digigit oleh giginya.

Empat perwira yang lain segera mengejar tiba, karena kudanya dimuati dua orang, meski kuda bagus lambat laun terkejar keempat kuda yang lain. Maka berkata Nyo Wan-ceng tertawa dingin: "Diberi tidak membalas kurang hormat biar kalianpun berkenalan kepandaianku memanah kuda," kalau panah berantai sekaligus bisa dilepas tiga kali sudah merupakan kepandaian yang hebat, namun ia beruntun melepaskan empat batang panah. Perwira bergaman gantolan itu berkepandaian paling tinggi, ia berhasil menangkis jatuh panah yang mengincar kudanya, seorang lain yang ahli menunggang kuda juga berhasil meluputkan diri, dua ekor yang lain kena otaknya dan roboh binasa, dua perwira penunggangnya ikut terjungkal jatuh dengan luka-luka ringan.

Setelah melaporkan keadaan sebenarnya, perwira bergaman gantolan itu berkata pula: "Karena harus menolong sesama kawan, kami tidak bisa mengejar Siau-mo-li pula. Terpaksa kembali saja, harap Kongcu memberi ampun."

"Untunglah kalian tidak sampai terluka berat, terhitung kalian beruntung," demikian ujar perwira muda itu. "Siau-mo li hanya menahan kuda tidak mengejar orang, agaknya dia memberi keringanan kepada kalian."

Mereka malu muka para perwira itu kata bergaman gantolan itu: "Tapi Yapi Ciangkun kena ditawan olehnya."

"Itulah yang membuatku heran," demikian ujar perwira itu menepekur. "Dia menawan seorang kita entah apa maksudnya?"

Gadis itu menimbrung bicara: "Mungkin hendak tukar tawanan."

"Tapi Ciangkun adalah guruku memanah, jikalau dia benar benar minta kami menukar tawanan, wah membuatku serba sulit juga."

Perwira bergaman gantolan berkata, "Bocah she Geng ini kabarnya adalah buronan yang ingin ditangkap oleh Wanyen Ongya, sudah tentu tidak boleh ditukar."

Sebetulnya perwira muda ingin mencari alasan supaya kelak bisa menukar tawanan, namun mendengar tanggapan bawahannya, ia urungkan niatnya terpaksa harus mencari jalan lain.

O^~^~^O 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar