Jilid 21
Waktu ia berusia tiga tahun, ayahnya meninggal, sampai ia menanjak usia tiga belas ibunyapun terserang suatu penyakit berat. Meski usianya masih kecil, namun otaknya encer dan pandai pula, tidak kenal siang atau malam dengan tekun dan rajin ia merawat ibunya.
Suatu malam kira-kira menjelang kentongan ketiga, tiba-tiba ibunya siuman dari pingsannya, semangatnya jauh lebih baik dari biasanya. Di luar tahunya bahwa hal itu sudah merupakan pertanda ajal ibunya semakin dekat, hatinya malah senang dan katanya : "Bu, biar obat kuseduh lagi, menurut pesan Ong-toako racikan obat ini harus digodok berturut-turut tiga kali. Agaknya obatnya cocok dengan penyakitmu."
"Tidak, tak usah minum obat lagi. Jangan kau menyingkir aku hendak cerita kepadamu !"
Hatinya yang masih kecil diam-diam merasa heran, sungguh ia tidak paham kenapa baru saja penyakit ibunya rada baikan lantas timbul hasratnya untuk bercerita menyuruh dirinya mendengarkan. Maka ia membujuk supaya ceritanya ditunda setelah penyakit ibunya sembuh betul-betul. Meski pun sejak kecil sebetulnya dia suka mendengar dongeng.
Dengan tersenyum, ibunya mengelus rambutnya katanya : "Ceng-ji, kau sudah tahu urusan. Tapi cerita yang hendak kukisahkan ini ada menyangkut keluarga kita.. Tahukah kau siapa ayahmu sebenarnya ?"
Sejak ia usia tiga tahun ayahnya sudah meninggal, ia hanya tahu bahwa ayahnya seorang pendekar, kini melihat ibunya bertanya hal itu dengan mimik sungguh-sungguh, sudah tentu hati kecilnya amat ingin tahu, maka iapun tidak menghalangi maksud ibunya malah tanyanya : "Siapa ayah sebenarnya ?"
"Ayahmu adalah seorang pahlawan penentang penjajah Kim." demikian ujar ibunya.
Sejak kecil ia sudah dididik secara kekeluargaan, hatinya nan kecil sudah tahu membenci bangsa Kim yang menyerbu dan menjajah negeri sendiri, mendengar sang ayah adalah seorang pahlawan menentang penjajah, hatinya menjadi girang dan berteriak, katanya : "Bu, kenapa tidak sejak dulu kau beritahukan kepadaku, bukankah hal itu cukup membanggakan keluarga kita ?"
Ibunya tertawa lebar, ujarnya : "Sebetulnya setelah kau berusia delapan belas tahun baru akan kuberitahukan kepada kau sekarang kuberitahukan padamu, ini sudah terlalu pagi. Maka jangan sekali-kali kau bicarakan hal ini dengan orang lain."
"Bu, anggapanmu aku bocah ingusan yang tidak tahu urusan ? Aku tahu bangsat Kim menjajah negeri kita, kalau kukatakan ayah sebagai pahlawan penentang mereka, tentu aku bisa ditangkap dan celakalah aku," demikian jawabnya.
"Bagus kau tahu diri, sungguh membuat aku senang. Sekarang hendak kuberitahu siapakah Sucoumu itu ?"
Sekilas ia melengak, lalu tanyanya, "Bukankah ilmu silat kami ajaran leluhur ? Pernah kudengar kau berkata bahwa ayah adalah ahli waris tunggal dari Ngo-ho-toan-bun-to jadi Sucou adalah kakek bukan ?"
"Benar, ajaran golok itu adalah warisan leluhur. Tapi ayahmu punya seorang guru lainnya, kepandaian silat yang dipelajari dari gurunya lebih hebat dari ajaran leluhurnya sendiri, sayang usiamu masih kecil, aku hanya bisa mengajarmu satu babak ilmu golok itu, kepandaian lain yang diyakinkan ayahmu, aku paham hanya separonya, sekarang tidak sempat kuajarkan kepadamu pula."
"Siapakah Sucou itu, beliaupun seorang penentang penjajahan Kim?"
"Betul, tigapuluh tahun yang lalu Su-couwmu itu guru silat kenamaan di Siok-ciu yang bernama Cin Tiong. Beliau wafat ditangan jago penjajah. Kisah yang hendak kututurkan kepadamu adalah cerita mengenai keluarga Sucouwmu itu."
"Bu, mari minum dulu secangkir teh panas ini."
Setelah minum teh panas ibunya melanjutkan kisahnya : "Sucoumu Cin Tiong membuka Bu-koan (perguruan silat) dikampung halamannya, dia sudah menerima sepuluh murid didikan. Tapi yang betul-betul mendapat ajaran aslinya hanya dua orang saja. Salah satu adalah muridnya terbesar bernama Le Keh-cun, seorang yang lain adalah ayahmu yaitu Nyo Yan-sing."
"Apakah Sucou tidak mempunyai putra atau putri ?"
"Hanya punya seorang putri, bernama Cin Liong-giok. Sudah tentu kepandaian silat Sukomu ini jauh lebih tinggi, dia adalah lihiap yang pernah menggetarkan selatan dan utara sungai besar pada duapuluh tahun yang lalu. Sekarang sebagai isteri seorang panglima perang."
"O, sekarang jadi nyonya penggede ?"
"Suaminya adalah panglima perang kerajaan Song, bukan penjabat tinggi dari pihak penjajah. Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari isterinya, merupakan seorang tokoh panglima perang melawan penjajah yang paling tenar. Beliaupun seorang tokoh kosen yang sangat disegani oleh kaum persilatan, dia yang diagungkan sebagi Kang-lam Tayhiap Geng Cian."
"Dia adalah keponakan Sucoumu, setelah mengalami berbagai kesukaran dan derita barulah kedua saudara misan itu berhasil mengikat perjodohan, sayang aku tiada tempo mengisahkan cerita mereka yang tersendiri. Hanya secara ringkas aku bisa memberitahu kau. Dua puluh tahun yang lalu dialah yang memimpin sepasukan tentara yang dinamakan pasukan harimau terbang berhasil memukul mundur dan melabrak pasukan negeri Kim kocar-kacir akhirnya menjadi panglima tertinggi digaris depan yang melawan serbuan pasukan penjajah. Merupakan pasukan yang paling kuat dan pandai berperang dari kerajaan Song." (Kisah Geng Cian bacalah Pendekar latah).
Begitu pesona dia mendengar kisah keperwiraan dari Kanglam Tayhiap ini, maka ia mengajukan pertanyaan: "Bu, kau sengaja mengisahkan keluarga Sucou adakah mereka hubungan dengan kami?"
Tersulam senyum manis pada wajah ibunya, katanya sambil menggenggam tangan, "Benar kau memang pintar, sekali tebak lantas kena. Sekarang aku lanjutkan pada ceritaku yang kedua cerita ini bukan saja ada hubungan dengan keluarga kita terutama ada sangkut pautnya dengan kau."
"Aduh cerita apa itu. Kenapa ada sangkut pautnya dengan aku?"
"Itulah kisah yang menyangkut Geng Ciau suami istri, ayahmu pernah menjadi bawahan atau pembantunya yang paling dekat, sebentrok pertama dengan pasukan musuh dia orang terluka, maka tidak ikut menyerang keselatan mengikut pasukan besar, kini pasukan harimau terbang itu diselatan sungai."
"Tatkala itu tentu aku belum lahir bukan?"
"Sudah tentu belum lahir. Malah itu waktu ayahmu belum lagi menikah denganku."
"Lalu kenapa dikatakan cerita mereka ada hubungannya erat dengan aku?"
Ibunya tersenyum geli ujarnya, "Kau dengar saja kelanjutan cerita ini, nanti kau tentu akan paham sendiri."
"Geng hujin adalah saudara seperguruan dengan ayahmu, sejak lama memang sudah berkenalan pula dengan aku, pernah suatu ketika menetap dirumah kita."
"Bukankah tadi kau katakan bahwa Geng Tayhiap sudah menyeberang keselatan?"
"Akhirnya dia pernah menyelundup pulang sekali. Waktu itulah ia menikah dengan Piaumoaynya. Karena waktu itu masih belum aman, peperangan saling terjadi, isteri-nya sudah keburu bunting sedang ia harus buru-buru pulang keselatan menunaikan tugas penting, terpaksa dia meninggalkan isterinya dirumah kami, akhirnya dia melahirkan seorang putra, dinamakan Geng Tian. Cengji kau harus selalu mengingat nama ini namanya adalah Geng Tian, tian yang berarti kilat."
"Geng Tian," dia mengulangi nama ini lalu katanya pula tertawa: "Nama yang begini gampang memangnya kau takut aku bakal melupakannya? Syair ajaranmu toh ratusan bait yang berhasil kuhapaIkan. Tapi kenapa pula kau haruskan mengingat ingat nama ini?"
"Bocah itu berusia empat tahun lebih tua dari kau, kini kira-kira sudah tujuh belas. Kabarnya tahun yang lalu sudah berhasil kembali kesamping ayah ibunya. Ai entah bisakah kelak dia kembali untuk bertemu dengan kau?'' kata ibunya tidak langsung menjawab pertanyaannya, malah mendadak menarik napas rawan.
"BiIa bertemu atau tidak kenapa harus dirisaukan. Asal aku tahu ada orang yang seperti kau katakan sudah cukup!"
"Tidak, kau harus bisa menemukan dia."
"Kenapa?" walau pintar betapapun dia masih seorang gadis kecil, baru ia tiga belasan masih belum bisa menangkap arti kata kata ibunya, relung hatinya yang kecil itu penuh diliputi kecurigaan.
"Dengarlah penjelasanku. Tanpa terasa Geng Hujin dan putranya tiga tahun menetap dirumah kami. Dalam tiga tahun itu kebetulan aku sedang bunting kau, entah bagaimana pihak musuh berhasil menyelidiki tempat tinggal kami, suatu malam datanglah tujuh delapan orang penjahat dari musuh, mereka adalah rata rata jago-jago lihay yang kuat, suatu pertempuran sengit tak dapat dihindari lagi, untunglah Geng Tian tidak sampai terebut oleh musuh namun ayahmu terluka parah, aku sendiripun sedikit terluka. Karena luka-luka beratnya itulah yang tidak bisa disembuhkan lagi, tidak lama setelah kau dilahirkan beliau lantas wafat. Selanjutnya badanku semakin lemah dan sering kejangkitan penyakit mungkin pula karena luka luka waktu itu penyebabnya."
"O, jadi begitu, bu, apakah kau rada membenci bocah itu? kalau bukan karena dia kukira ayah tidak akan selekas itu meninggal dunia."
"Anak bodoh mana bisa aku menyalahkan bocah itu? ayahnya berjuang demi nusa dan bangsa, meninggalkan istri dan anaknya bahwa kami bisa sedikit membantu kesulitan mereka seumpama pada waktu itu ayah dan ibumu sampai ajal di medan laga juga setimpal kularang kau mengucapkan kata-kata seperti itu lagi."
"Bu, akupun berpikir demikian. Sedikit pun aku tak pernah membenci dia, aku cuma bertanya sambil lalu saja."
"Baik kau bisa berpikir sehaluan seperti ibumu, sungguh aku girang," Ibunya minta minum teh secangkir lagi, lalu melanjutkan ceritanya. "Geng Hujin harus pulang ke Kanglam untuk membantu perjuangan suaminya, tidak bisa dia menempuh bahaya ini sambil membawa anaknya. Jejak kami sudah konangan lagi, kalau anaknya ditinggalkan di rumah kami juga kurang aman. Akhirnya Geng Hujin teringat akan seorang familinya yang miskin dan sedikitpun tidak pandai main silat putranya itu memang cepat dan baik kabarnya sampai tahun yang lalu, bocah itu masih menetap bersama guru sekolah kampungan itu, untung jejaknya tidak sampai konangan musuh. Tapi sejak dia umur tiga tahun dan berpisah sampai sekarang aku tidak pernah berjumpa lagi. Nah usianya lebih besar empat tahun dari kau, mungkin sekarang dia sudah dewasa, menjadi seorang pemuda yang gagah dan kekar. Mungkin meski dia berada didepanku tidak akan mengenalnya lagi."
"Bu, kau amat kangen kepadanya?"
"Sudah tentu, apalagi demi kau, masih aku tidak merisaukannya?"
"Kenapa? Waktu dia pergi, kan aku belum lagi lahir."
Teka teki ini akhirnya terjawab juga, kata ibunya lebih lanjut dengan kalem: "Sebab di waktu kau masih dalam kandunganku, aku sudah menjodohkan kau kepadanya."
Gadis kecil berusia tiga belas tahun meski belum mekar dan akil balik tapi toh tahu rasa malu juga. Cepat ia menunduk dengan muka merah jengah, sementara hatinya diam diam bersorak senang. Ayahnya adalah Panglima perang melawan penjajah yang amat termasyur agaknya diapun seorang gagah yang berwibawa.
Ibunya tersenyum pula katanya pula: "Kau mendapat seorang suami baik, ibu boleh merasa tenteram dan syukur. Cuma mungkin bocah itu sendiri masih belum tahu bahwa dia sudah punya calon seorang istri."
"Mungkin kau ingin mengetahui duduk persoalannya?" demikian ibunya menambahkan; "Beginilah kejadiannya. Setelah berhasil memukul mundur Geng Hujin tahu bahwa aku sedang mengandung, maka lantas bicara dengan aku, "Tidak lama lagi aku harus pulang keselatan ada sebuah keinginanku yang perlu kubicarakan dengan kau."
"Sudah tentu, sekaligus aku melulusi bantu melaksanakan keinginan hatinya itu. Maka dia berkata lebih lanjut, "Hubungan kita sebagai saudara sekandung, kami ibu beranak pun menerima budi pertolonganmu, semoga hubungan kekeluargaan kami bisa terikat lebih akrab dan dekat." kukatakan anak dalam kandunganku belum lagi diketahui laki laki atau perempuan. Dia berkata: "Kalau laki-laki biar mereka terikat sebagai saudara angkat, kalau perempuan biarlah kelak mereka menjadi suami istri." Begitulah akhirnya kami menentukan hari depanmu."
"Waktu itu aku sudah berjanji padanya, setelah anakku lahir, aku akan berdaya mencari orang untuk mencari kabar kepadanya. Tak disangka setelah kau lahir tidak lama kemudian penyakit ayahmu kambuh, selalu rebah diatas pembaringan, kemana pula aku harus mencari seseorang yang dapat dipercaya untuk mengerjakan janjiku itu ? Waktu kau berusia tiga tahun ayahmu meninggal, disusul peperangan antara Mongol dengan negeri Kim disusul negeri Kim berperang pula dengan kerajaan Song. Untuk menghindari kejaran para cakar alap-alap, terpaksa kita sembunyi diatas gunung, situasi lebih tidak memungkinkan kami mencari hubungan dengan mereka."
"Tiga bulan yang lalu aku pernah turun gunung membeli beras kebetulan bertemu dengan seorang murid Kaypang kuketahui Li-supekmu berada di Kim-ki-nio, setelah aku mangkat boleh kau pergi ke Kim-ki-nio mohon perlindungan supekmu, setelah kau dewasa baru pergi ke Kanglam untuk mencari Geng Cian."
"Bu, kau sendiri hendak kemana ?"
"Anak bodoh, kemana ibu bisa pergi, sudah tentu pulang kealam baka. Nak, kau harus menjaga dirimu baik-baik, jangan kau terlalu bersedih, setiap manusia pasti akan mati, mana ibu bisa menemanimu seumur hidupmu ? Semoga kau bisa selekasnya bertemu dengan Geng Tian, setelah masa depanmu mendapat saudara, barulah ibu merasa lega."
Ternyata setelah ibunya menjelaskan hal ikhwal itu semua malam itu juga lantas meninggal dunia, sesuai pesan ibunya meski usianya masih kecil, dia menggantikan pakaian laki-laki menyamar sebagai bocah minta-minta, sepanjang jalan menahan lapar dan kedinginan, kalau terpaksa menjadi pencuri, kalau tiada yang bisa dicuri terpaksa menjadi pengemis. Begitulah selama setengah tahun dia mengalami kehidupan minta-minta, baru akhirnya sampai di kim-ki-nio, dan bertemu dengan Supeknya Li Keh-cun.
Cecu dari Kim-ki nio adalah lihiap Liu Jing-yau yang digelari Hong-lay-mo-li oleh kaum persilatan, namanya amat tenar dan disegani kaum persilatan. Li Keh-cun adalah salah satu Thaubak dibawah pimpinannya. Hong-lay-mo-li amat menyukai perempuan kecil itu tapi karena nona cilik tidak elok dipandang orang berada didalam markas, maka dia serahkan kepada seorang teman baik suaminya yaitu Sau-go-kan-kun Hoa Kok-han yang bergelar Bu-lim-thian-kiau untuk dijadikan murid, supaya Tan Ih-tiong suami istri menerimanya sebagai anak angkat.
Julukan Tan Ih-tiong adalah Bu-lim-thian-kiau (Bandit budiman dunia persilatan), terhadap ilmu silat tiada yang tidak dipahaminya setelah usianya menanjak dewasa sering pula jalan-jalan ke Kim-ki-nio dimana sering berkumpul orang-orang gagah dari berbagai penjuru, maka walaupun usianya masih muda namun dia sudah paham menggunakan delapan belas macam senjata.
Kenangan lamanya mendadak tergugah oleh derap kaki kuda yang berlari kencang, ternyata dua orang serdadu membedal kuda tunggangannya sambil dilecuti berulang-ulang, dia baru turun gunung dan belum tiba dijalan raya, agaknya kedua orang itu ada membawa tugas penting untuk mengantar berita maka tiada kesempatan mereka untuk memperdulikan dirinya.
Gadis baju hitam melarikan keledainya seenaknya dijalan raya, kembali ia terbayang waktu gurunya menyuruh dirinya turun gunung.
Hari itu gurunya bertanya : "Dikalangan Bulim terdapat Ceng-liong-pang, apakah bibi Liumu pernah membicarakan dengan kau ?"
"Tahun yang lalu waktu aku berada di Kim ki-nio, pernah mendengar beliau menyinggung soal Ceng-liong-pang ini."
"Pangcu dari Ceng-liong-pang Liong Jiang-poh adalah teman baikku, dia punya empat pembantu yang paling diandalkan, dinamakan Su-tay-kim-kong. Diantaranya terdapat orang yang bernama Lo Hou-wi, orang ketiga dari Su-tay-kim-kong, usianya mungkin lebih tua beberapa tahun darimu, aku pernah berhutang budi terhadap ayahnya."
Sungguh ia tidak mengerti kenapa gurunya sengaja menyinggung orang ini, maka sambil lalu ia bertanya: "Oh, begitu ? Lalu suhu sudah membalas kebaikan budinya itu ?"
Bu-lim-thian-kiu tertawa getir, lalu katanya : "Ayahnya sudah meninggal, budi kebaikannya itu terpaksa harus dibayarkan kepada putranya. Ceng-ji, selama delapan tahun kau belajar silat kepadaku, bekal permainan Suhu sudah kuturunkan seluruhnya kepada kau, sejak hari ini kau boleh berkelana sendiri di kangouw, setelah kau turun gunung, boleh kau yang membayarkan hutang budiku itu kepadanya."
Mendengar uraian gurunya dia jadi melengak, hatinya menjadi bingung dan hampa tanyanya : "Suhu, cara bagaimana aku harus membayar hutang budimu itu ?"
"Ngo-hou-toan-bun-to-hoat yang pernah kuajarkan kepada kau dulu, apakah kau masih ingat ?"
"Tentu masih ingat !"
"Coba kau mainkan biar Suhu menilainya."
Setelah dia mainkan selintas permainan Ngo-hou-toan Bun-to hoat itu, Bu-lim thian-kiau tersenyum lebar sambil mengelus jenggotnya katanya : "Kecuali dua tiga gerak perubahan yang belum kau latih dengan sempurna, permainanmu sudah cukup baik. Nah ajarkanlah Ngohou-toan Bun-to-hoat ini kepada orang ketiga dari Su-tay-kim-kong yang bernama Lo Hou-wi itu."
"Apa ?" gadis baju hitam menjerit geli dan terkikih-kikih katanya : "Aku sendiri toh belum tamat belajar sama kau, mana bisa menerima murid ?"
"Dengarkan penjelasanku," demikian ujar Bu-lim-thian-kiau. "Ayah Lo Hou-wi adalah murid seorang guru silat dari Ciang ciu yang dikenal sebagai Tobusu. Ngo hou-toan bun to itu sebetulnya adalah ilmu golok dari warisan leluhur keluarga Toh itu, sayang sudah lama sekali putus turunan. Toh Busu tidak memperoleh ajaran murni dari ilmu golok leluhurnya yang hilang itu, selama hidup ia amat menyesal dan merasa diri dia tidak punya anak, hanya seorang murid she Lo itu, sebelum ajal ia ada berpesan kepada muridnya supaya mewarisi cita citanya melanjutkan pencariannya terhadap ajaran golok peninggalan leluhur yang hilang itu."
Baru sekarang ia paham seluruhnya, katanya, "Kukira ayah Lo Hou wi juga tidak berhasil menemukan ajaran ilmu golok yang sudah putus turunan itu bukan?"
Bulim thian kiau manggut manggut katanya: "Kau memang pintar tebakanmu tidak salah, ajaran ilmu golok itu setelah ia meninggal secara tak sengaja aku dapat menemukannya didalam koleksi buku buku rahasia pelajaran silat seorang Cianpwe. Maka kuminta kau mengajarkan ilmu golok itu kepada putranya. Letak rumah keluarga Lo berada disebuah kampung di Siok cio."
Setelah Bulim thian kiau menjelaskan alamat Lo Hou wi kepada putrinya ia berkata lebih lanjut, "Menurut apa yang kuketahui didalam Ceng liong pang tenaga Lo Hou wi amat dihargai merupakan pembantu yang amat dipercaya. Kabarnya sekarang dia mendapat tugas keluar mungkin sedang berada di Tay toh. Tay toh tidak jauh dari Siok ciu setelah tugasnya selesai di Tay toh mungkin dia akan mampir pulang ke kampung halamannya. Inilah kesempatan paling baik bagi kau untuk menurunkan ilmu golok itu disana. Seperti kau sejak kecil Lo Hou-wi pun sejak kecil sudah ditinggal mati ayahnya punya seorang guru lain. Bahwa pelajaran ilmu golok keluarga Toh yang putus turunan itu bisa dia memainkan dengan baik kalau diketahui orang kemungkinan sekali mereka dapat menimbulkan keributan. Maka kau harus wakili aku berpesan wanti wanti kepadanya supaya jangan sembarangan dipertontonkan dihadapan sembarang orang. Kelak kalau saatnya sudah tiba akan kupersiapkan suatu pertemuan besar mengundang para Ciangbun dari berbagai golongan menjelaskan duduknya perkara, tatkala itu barulah diangkat secara resmi supaya ia menjadi Ciangbun dari aliran Ngo hou to sudah tentu kaupun harus menganjurkan ilmu golok ini secara rahasia kepadanya.
Sesuai menurut pesan gurunya memang di rumah keluarga Lo di Siok ciu itu ia menemukan Lo Hou wi, itulah kejadian satu tahun yang lalu, teringat akan pengalamannya yang dulu itu sampai sekarang ia masih tertawa geli.
Semula Lo Hou wi tidak mau percaya akan omongannya malah anggap orang sengaja hendak mempermainkan dirinya. Setelah dia menggunakan Ngo hou toan bun to mengalahkannya barulah dia terima kalah lahir bathin malah begitu tinggi rasa hormatnya sehingga ia hendak berlutut angkat guru kepadanya. Dikatakan orang sudah melaksanakan cita cita ayahnya meski hanya wakil mengajarkan ilmu golok itu kepadanya tapi boleh dianggap sebagai guru juga. Sudah tentu tidak mau menerima setelah mengeringkan lidahnya barulah ia berhasil membujuk dan mengikat persahabatan sebagai teman setingkatan.
Teringat kepadanya Lo Hou wi seketika terkulum senyum geli pada wajah gadis baju hitam pikirnya: "Benar benar seorang pemuda yang polos jujur dan lugu, kabarnya diapun pandai melaksanakan tugasnya. Ha, menggelikan benar kalau dia menjadi muridku, memang sebetulnya aku mengharap punya seorang abang besar seperti dia itu. Usianya lebih tua empat tahun, hem, kebetulan sebaya dengan Geng Tian."
Teringat akan Geng Tian, gadis baju hitam itu merasa rikuh dan sungkan tapi rikuh dan sungkan terhadap Lo Hou wi. Ternyata mewakili gurunya gadis baju hitam mengajarkan ilmu golok kepada Lo Hou wi dan menetap dirumahnya selama setengah bulan, selama itu mereka selalu gaul bersama, sejak mula Lo Hou wi menghormatinya, patuh akan segala petunjuknya belum pernah terjadi suatu perbuatan yang tidak senonoh namun gadis baju hitam itu sendiri merasakan bahwa diam diam Lo Hou wi telah menaruh hati kepadanya. Perasaan yang aneh ini tidak usah diucapkan dengan kata kata. Setiap lirikan dan senyuman, sebuah kata kata yang diucapkan tanpa sengaja dapatlah menggetarkan sanubari seorang gadis yang tajam perasaannya.
"Mungkin Geng Tian belum tahu bahwa didunia ini terhadap seorang Nyo Wan ceng macam aku ini. Tapi ikatan jodoh dengan menunding perut entah sudah dia ketahui belum? Cara bagaimana aku harus membuka mulut bicara dengannya?"
Terpikir pula oleh Nyo Wan ceng, "Setelah Lo Hou wi bertemu dengan dia entah menyinggung tentang diriku tidak? Meski dia pernah dipesan supaya tidak membocorkan soal pelajaran ilmu goloknya itu tapi hubungan Geng Tian dengan mereka bukanlah sembarang hubungan, dia adalah majikan muda mereka. Sayang sebelum ini aku belum tahu akan asal usul Liong-pangcu dari Ceng liong pang, kalau tidak perlu aku menghadapi Geng Tian sendiri dengan sikap yang kikuk dan malu malu."
Sepanjang jalan pikirannya timbul tenggelam tanpa terasa ia sudah menempuh puluhan li jauhnya. Tiba-tiba didengarnya dentingan beradunya senjata dari arah depan sana, "eh siapakah yang bertempur disiang hari bolong ?" karena ingin tahu segera ia keprak tunggangannya menyusul kedepan untuk melihat dari dekat.
Setelah dekat dilihatnya dua orang perwira sedang mengerubuti laki-laki pertengahan umur yang memelihara jenggot kambing. Kedua perwira itu adalah dua orang militer yang melarikan tunggangannya seperti mengejar angin waktu tadi ia turun gunung. Seorang menggunakan Hou thau hou (gaitan kepala harimau) seorang lain bersenjatakan golok panjang yang melengkung, ilmu silat mereka agaknya tidak lemah.
Nyo Wan ceng amat kaget teriaknya : "Paman Toh."
Melihat kedatangannya sungguh laki laki pertengahan umur itu amat girang, iapun berteriak, "Nona Nyo, sungguh kebetulan kedatanganmu itu."
Sebelum ucapan orang itu selesai diucapkan Nyo Wan ceng sudah melayang turun dari punggung tunggangannya dan memburu datang, teriaknya pula : "Baik Toh sioksiok, kau mundurlah istirahat, biar kuwakili mengajar adat kedua cakar alap alap ini."
Ternyata laki laki berjenggot kambing ini bukan lain adalah seorang Toa thau-bak dari Kim ki-nio yang bernama To Hok, waktu itu badannya sudah terluka ditiga tempat, sebentar lagi terang tidak akan kuat bertahan.
Melihat gadis remaja nan ayu itu bagai bidadari dan mendatangi perwira yang bergaman golok melengkung itu tidak tega turun tangan bentaknya: "Apa kau cari mampus ? Lekas menyingkir saja."
Bicara lambat kejadian justru berlangsung amat cepatnya tahu-tahu Nyo Wan ceng sudah menyerbu tiba dengan menyilangkan kedua tangannya, dia melancarkan Khong-jiu ji-pek-to (bertangan kosong merebut senjata lawan). Adalah perwira yang menggunakan gantolan kepala harimau itu segera berteriak kejut, "Awas ! Dia Siau-moli !"
Belum lenyap suaranya, terdengarlah, "Trang" golok si perwira itu dengan membacok kearah lengannya Nyo Wan-ceng. Si perwira menyangka dengan bacokan yang telak itu, lengan Nyo Wan-ceng terang tertabas putus, baru saja hatinya mengeluh : "Sayang !! Kasihan!" Tak nyana mendadak ia mendengar suara "Traang" pula, karuan dia kaget dibuatnya.
Ternyata bacokannya ia sedikitpun tidak melukai kulit lengan Nyo Wan ceng, goloknya tepat sekali mengenai gelang perak yang melingkar dilengannya itu, meninjau tenaga bacokan lawan yang keras kuat ini, Nyo Wan-ceng mencelat mundur satu tombak, gelang perak itu sudah ditariknya memanjang menjadi seutas cambuk lembut, disaat hati perwira itu belum lagi tenang, ujung cambuk peraknya itu sudah berhasil menggubat golok melengkung lawan.
Ternyata melihat kepandaian silat kedua perwira ini tidak lemah, maka ia berkeputusan untuk bertindak cepat secara kilat mengakhiri pertempuran, apalagi dilihatnya Toh Hok sudah terluka maka ia menggunakan permainannya yang aneh untuk mengalahkan kedua musuhnya.
Perwira yang bersenjatakan Hou-thau-kau segera menubruk datang berusaha menolong temannya, Nyo Wan-ceng tertawa serunya : "Nih, kuberikan kepada kau !" Cambuk peraknya terayun, golok melengkung yang digubatnya melayang dan kebetulan ujung cambuk menggubat gagang golok sehingga tajam golok yang berkilauan itu memapak kearah leher lawan.
Kapan si perwira pernah melihat permainan yang aneh dan menakjubkan ini saking kaget ia menjadi gugup dan tersipu-sipu, tapi kepandaian silatnya yang cukup baik dalam keadaan gugupnya itu, lekas ia gunakan Ki hwe-liau-thian (mengacungkan obor menerangi langit) dimana ujung kepala harimaunya yang merupakan gantolan itu mengait dan ditarik, tepat sekali mengait ujung golok melengkung, serta menariknya kebawah, tapi cambuk perak Nyo Wan-ceng yang lemas itu dapat bergerak segesit belut dan setangkas ular sakti, kalau golok itu kena digaet jatuh, ujung cambuk itu tiba-tiba mulur kedepan dan berhasil menggubat lehernya. "Li enghiong am .... ampun !" belum lagi kata-kata 'ampunnya' sempat diucapkan napasnya sudah berhenti dan putuslah jiwanya.
"Tinggalkan jiwanya!" seru Toh Hok mencegah. "Ai . . . sayang."
"Kan masih ada seorang yang masih hidup, paman Tok Hok tidak usah kuatir."
Adalah perwira yang bergaman golok melengkung ini adalah ternyata seorang yang tabah dan keras kepala, tahu bahwa bukan tandingan Nyo Wan-ceng, ia jemput golok melengkungnya itu terus digorokkan keleher sendiri.
Sudah tentu nona Nyo tidak membiarkan orang bunuh diri. 'Tar' begitu cambuknya terayun berhasil ia menggulung jatuh golok melengkung itu, sekali ia menggentak lagi, cambuknya berhasil menutuk Hiat-tonya, katanya : "Aku hanya suka membunuh orang yang takut mati, kau tidak seperti temanmu takut mati, aku jadi tidak tega membunuhmu malah !"
"Nona Nyo," ujar Toh Hok tertawa. "Baru satu tahun berpisah kepandaianmu lebih maju lagi. Apa gurumu baik-baik ?"
"Baik paman Toh, bagaimana luka-lukamu, mari biar kububuhi obat."
"Luka seringan ini tidak menjadi soal, terlambat sedikit dibubuhi obat tidak menjadi halangan," demikian kata Toh Hok, lalu ia jinjing perwira yang tertutuk Hiat-tonya kedalam hutan, segera ia mengompres keterangannya : "Kau diutus oleh Wanyen Tiang-ci bukan? Kemana ? Untuk tugas apa ? Bicaralah terus terang !"
Perwira itu hanya tertutuk Hiat tonya, sebetulnya masih bisa bicara tapi ia tutup mulut tidak mau bersuara.
Toh Hok sudah menggeledah seluruh badannya yang mati, namun tidak menemukan apa-apa, lalu iapun menggeledah seluruh badan perwira yang masih hidup ini, hasilnyapun nihil. Akhirnya Toh Hok hilang sabar dan membentak : "Masa kepalamu lebih keras dari golok baja ini ! Katakan tidak ?"
"wuutt" golok terayun terus membacok batok kepalanya.
"Trang" lekas Nyo Wan-ceng menjemput golok melengkung orang untuk menangkis golok baja Toh Hok, katanya : "Orang ini adalah seorang gagah, seorang Enghiong, lepaskan saja dia pergi !"
Sebetulnya bacokan Toh Hok itu hanya gertakan saja, tadi ia berpura-pura mengukuhi pendapatnya, katanya; "Keponakan yang baik, kau tidak tahu orang ini membawa surat penting, hari ini kebentur di tangan kami masakah harus melepas pergi begitu saja ?"
"Lebih baik tidak mendapatkan surat penting itu, orang gagah macam kaya dia, harus kita hargai."
"Yah, apa boleh buat kupandang mukamu biar kulepas bangsat ini tapi kudaku terpanah mati oleh mereka, maka kuda tunggangan itu harus kutahan."
Segera Nyo Wan ceng membuka tutukan Hiat-to orang itu, katanya; "Tiada urusanmu lagi pergilah !"
Agaknya orang itu tak menduga bahwa jiwanya akan selamat tak kurang suatu apa terutama Nyo Wan ceng menyuruh pergi, dia malah ogah pergi.
Berkata To Hok tawar: "Keponakanku kau melepasnya pulang mungkin sesampainya di Tay-toh, Wanyen Tiang ci pun tidak akan mengampuni jiwanya."
"Soal itu tidak perlu kita risaukan, dia mau tidak pulang ke Tay toh adalah urusannya. Memangnya Bulim thian kiau Tan pwecu juga sudi tinggal di Tay toh?" Lalu ia berpaling kepada siperwira, katanya: "kau seorang pintar, semoga kau paham akan maksudku."
Perwira itu melenggong sebentar, mendadak berkata: "Nona Nyo, apakah gurumu Bulim thian kiau Tan ih-tiong?"
"Benar, guruku memang adalah Tam-pwecu kalian."
Siperwira kertak gigi, katanya nekad: "Nona, kau menghormati aku satu kaki, kubalas satu tombak; gurumu adalah tokoh yang selalu kukagumi pula, mengandal kata-katamu tadi, surat penting dan rahasia itu biarlah kuserahkan kepadamu. Silakan kau bongkar pelana itu, surat penting itu kusembunyikan disana." habis berkata terus putar tubuhnya tinggal pergi.
Ternyata siperwira amat heran akan penghargaan Nyo Wan ceng terhadap dirinya. Seperti pula kata kata Toh Hok, dengan kehilangan teman dan surat penting itu pastilah Wanyen Tiang ci akan menjatuhkan hukuman sesuai dengan undang undang militer. Bahwa Toh Hok hendak menahan tunggangannya, rahasia pada pelana itu cepat atau lambat konangan, lebih baik ia merelakan saja dengan memperlihatkan kebesaran jiwanya kepada Nyo Wan ceng sebagai imbalan. Ditambah sebab keempat, ia tahu guru Nyo Wan-ceng adalah Pwecu (pangeran) negeri Kim, dan dia sendiri masih punya ikatan famili sebagai angkatan muda dari Tan pwecu ini.
"Keponakanku memang kau amat pintar !" demikian puji Toh Hok tertawa, "kepandaian kedua perwira ini cukup tinggi, Wanyen Tiang ci mengutus mereka mengirim surat urusan pasti menyangkut persoalan besar dan penting." segera ia bekerja memecah pelana itu dan benar juga didalamnya itu mendapatkan segulung kertas, setelah membacanya tiba tiba Toh Hok berseru kaget dan heran.
"Paman, apa yang tertulis dalam surat itu ?"
"Kurasa rencana untuk menghadapi Kim-ki nio kita, ternyata bukan, mereka hendak menghadapi Ceng-liong-pang."
Nyo Wan ceng terkejut tanyanya: "Cara bagaimana mereka hendak menghadapi Ceng-liong-pang?"
"Lihat, surat rahasia Wanyen Tiangci yang ditujukan kepada Li In siu penguasa kota Liangciu dianjurkan supaya menyiapkan pasukan dan bergerak secara rahasia pada waktu Tiong-chiu bergabung dengan para jagoan yang bakal didatangkan dari Taytoh, bersama menyergap markas besar Ceng liong-pang di Kim lian san."
"Kalau begitu kita harus segera menyampaikan kabar ini ke Ceng liong pang."
"Itu sudah tentu, tapi dalam wilayah dekat sini tiada orang orang dari Kim ki nio kita!" Ternyata luka luka Toh Hok walaupun tidak berat, tapi juga tidak ringan, untuk menempuh perjalanan yang begitu jauh menuju ke Kim lian san, jelas kondisi badannya tidak mengijinkan.
"Paman Toh, kenapa kau berkata demikian memangnya aku bukan orang sendiri? Meski aku tidak menjadi anggota secara resmi, tapi hubunganku dengan bibi Liu dan para paman yang lain seperti keluarga sendiri bukan? Apakah kau tidak bisa anggap aku sebagai orang sendiri dari kerabat Kim ki nio?"
Memangnya Tok Hok hendak memancing kata katanya ini, ujarnya sambil tertawa, "Baik akupun tidak perlu sungkan2 lagi kepadamu, biarlah menyulitkan kau sekali ini." Lalu dia serahkan gulungan surat itu kepadanya.
Baru saja Nyo Wan ceng hendak berangkat, mendadak Toh Hok teringat suatu urusan, serunya: "Tunggu dulu!"
"Paman Toh masih ada pesan apa?"
"Tahukah kau orang macam apa Li Ih siu penguasa kota Liang-ciu itu ?"
"Tidak tahu!" "Asalnya dia adik raja dari negeri Sehe, setelah Sehe dicaplok oleh negeri Kim, sebagian tanah wilayah kerajaan Sehe dibelah menjadi keresidenan, dikembalikan nama aslinya sebagai Liang-ciu seperti dulu. Raja Sehe sudah dihukum mati, raja Kim lalu angkat adik raja dari Sehe Li Ih siu sebagai penguasa keresidenan Liang ciu."
"Jadi apakah Li Ih siu ini pura pura menyerah kepada negeri Kim, sebetulnya sedang memikul tugas berat dan secara sembunyi untuk bangkit dan berontak memulihkan kerajaan Sehe lama?"
"Kukira tidak demikian, karena tindak tanduknya tidak pernah menunjukkan gejala macam itu. Dia sudah begitu tunduk dan patuh kepada Wanyen Tiang ci, maka Wanyen Tiang-ci amat mempercayainya. Barulah dia dapat menjabat penguasa tertinggi di Liang-ciu, karena secara diam diam Wanyen Tiang-cilah menjadi tulang punggungnya."
"Memangnya kenapa sekarang paman menyinggung dia?"
"Lain bapak lain anak, putranya itu berhaluan lain dengan bapaknya yang terima diperbudak itu."
"Secara rahasia dia ada mengikat hubungan dengan Yalu Hoan-ih diluar tahu ayahnya. Yalu Hoan ih adalah putra komandan pasukan Gi-lim-kun negeri Sehe dulu setelah negerinya runtuh, ia menduduki gunung mendirikan pangkalan sebagai raja. Dengan Kim-ki nio kita diapun sering berhubungan."
"Kiranya begitu, lalu maksud paman Toh ?"
"Marilah kita menggunakan cara sekali gempur dua sasaran."
"Apa maksudmu dengan sekali gempur dua sasaran?"
"Sepihak kita bersiap-siap melawan serbuan musuh, dipihak lain kita memperalat dan mengadu domba sesama musuh. Tapi cukup asal kaujelaskan kepada Liong pangcu bahwa Li Ih-siu dan putranya berlainan haluan. Liong-pangcu sebagai seorang yang berambek besar dan berotak cerdas, sudah tentu ia akan tahu sendiri coba bagaimana ia harus bertindak. Tidak perlu kita memberikan saran dan usul kepadanya."
Setelah mereka berpisah, Nyo wan ceng menyimpan gulungan surat itu terus menempuh perjalanan, hatinya disamping girang ia-pun merasa risau dan kebat kebit. Girang karena dengan mengantar surat kemarkas besar Ceng liong-pang di Ki lian san ini, disana ia bakal bisa bertemu dengan Geng Tian, tidak perlu mencari alasan lainnya. Tapi setelah bertemu muka dengan Geng Tian, cara bagaimana ia harus buka mulut, ini merupakan persoalan pelik pula bagi dirinya.
"Dia belum lagi tahu bahwa didunia ada orang macamku ini, bahwasanya mungkin belum tahu akan perjodohan kami ini, lalu bagaimana baiknya ?" dia merasa malu dan kikuk untuk mengemukakan persoalan ini, disamping girang adalah jamak kalau Nyo Wan-ceng merasa risau dan kebat kebit.
Rekaan Nyo Wan ceng hanya betul separo saja. Memangnya Geng Tian tidak tahu bahwa didunia ini ada orang macam dirinya. Tapi sebetulnya dia sudah tahu akan persoalan perjodohan itu.
Bersama dengan Su-tay kim kong dari Ceng liong pang, mereka dari Ciatkang timur langsung menuju ke Liang ciu, sepanjang jalan mereka mengobrol panjang lebar, masing-masing bertukar pikiran dan pengalaman, tidak sedikit masing masing mendapat tambahan pengetahuan untuk memperkaya perbendaharaan ilmu masing masing, sedikitpun mereka tidak merasa kesepian.
Tapi selama perjalanan itu, belum pernah Geng Tian kemukakan isi hatinya. Dari keempat orang dari Ceng liong-pang ini, hanya Lo Hou wi yang sebaya dengan Geng Tian, hobby dan tutur katanya juga lebih cocok. Lapat-lapat Lo Hou-wi tahu bahwa Geng Tian ada menyembunyikan isi hatinya demikian pula Geng Tian pun merasakan Lo Hou-wi tidak seluruhnya jujur terhadap dirinya.
Hari itu mereka mulai memasuki wilayah perbatasan Liang ciu, menurut perhitungan kira kira empat lima hari lagi mereka bakal sampai di Ki lian san. Karena sibuk menempuh perjalanan sehingga malam itu mereka kehilangan kesempatan menginap setelah magrib hujan rintik-rintikpun turun; untunglah diatas pegunungan yang belukar itu mereka bisa mendapatkan sebuah biara kuno untuk berteduh meski biara bobrok dan tidak terurus sementara bisa juga untuk menyembunyikan diri dari hujan bayu ini.
Mereka mengumpulkan ranting-ranting kering dan membuat api unggun ditengah ruangan biara bobroknya, ranting-ranting yang basah kena air hujan membuat api unggun sukar menyala dan mengepulkan asap hijau yang tebal, sehingga pernapasan mereka menjadi sesak. Tapi dimalam hujan deras seperti itu beberapa kawan sehaluan dan seperjuangan duduk-duduk mengobrol sambil menghadapi api unggun merupakan kejadian yang menggembirakan juga bagi mereka.
Geng Tian tiba-tiba tenggelam dalam alam pikirannya, menggunakan ranting kayu yang dipegang ia mengorek-ngorek api unggun, sampai kayu yang masih membara mengenai tangannya baru dia berjingkat kaget.
"Geng kongcu," ujar Nyo Su gi tertawa, "Pekerjaan membuat api memasak nasi tentu kau belum biasa melakukan, mari biar kulakukan saja."
"Ketahuilah!" kata Geng Tian tertawa, "Sejak kecil aku sudah biasa hidup melarat dan menderita, tadi hanya kebetulan kurang hati hati saja."
Lo Hou wi mendadak menimbrung, "Entah Geng kongcu sedang memikirkan apa tadi?"
Terpaksa Geng Tian mengakui, "Benar aku sedang terkenang kenang seorang sahabat ayahku."
"Entah siapa Cianpwe yang kau maksudkan itu?"
"She Nyo bernama Yan-jing. Beliau adalah murid Gwakong (kakek luar)ku."
"Belum pernah aku bertemu dengan dia, tapi dia punya seorang suheng bernama Li-Keh cun, sekarang sebagai salah seorang Toa-thaubak, hubungannya cukup baik denganku, tahun yang lalu aku berkumpul beberapa lama dengan Li Keh-cun."
"Adakah dia pernah menyinggung soal Sutenya terhadapmu?"
Nyo Sugi manggut manggut, ujarnya: "Menurut katanya, sutenya itu sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu."
"Entah adakah dia meninggalkan putera atau puterinya?"
"Hal itu dia tak mengatakan maka aku tidak tahu. Apakah ayahmu menyuruhmu mencari jejak mereka ?"
Geng Tian menghela napas, tuturnya, "Ketika aku masih kecil, bersama ibu menyembunyikan diri dirumah mereka. Ketika kami berpisah dengan paman Nyo, usiaku belum genap empat tahun, tapi lapat lapat aku masih ingat keadaan waktu itu, mereka amat miskin setiap datang hujan, sekeluarga pasti sibuk menyingkirkan barang barang mengatasi kebocoran, semalam suntuk tidak bisa tidur, karena tiada tempat yang kering. Mereka kuatir aku kedinginan, selalu membuat api unggun menghangatkan badanku. Sering mereka duduk mengelilingi api unggun itu sambil mengobrol seadanya. Keadaannya persis seperti sekarang ini. Cuma kalau dulu didalam rumah bobrok, sekarang didalam kelenteng reyot. Bila terbayang akan kegetiran hidup masa lalu betapa aku tidak akan terkenang kepada mereka? Ai sayang aku tidak akan bisa berterima kasih lagi kepada paman Nyo."
"Gampang saja untuk menyirapi berita keluarga Nyo itu setelah kami tiba di Ki lian-san, tulislah sepucuk surat biar kuantarkan ke Kim ki nio mintalah Li Keh cun datang menjenguk kau."
"Biar setelah aku berhadapan dengan Liong pangcu, aku akan menyambangi paman Li di Kim ki-nio saja, cara ini kukira rada kelihatan menghargai beliau sebagai orang yang lebih tua."
"Menurut maksud Liong pangcu, seperti yang kuketahui, beliau hendak minta kau sementara mewakili jabatan Pangcu itu, mungkin dalam waktu dekat kau tidak akan ada tempo meninggalkan tempat kami."
"Aku masih terlalu muda cetek pengalaman lagi, mana setimpal menjadi Pangcu segala? Nyo toako, harap kau suka bantu membujuk pangcu, sekali-kali membatalkan niatnya itu."
"Kita toh belum sampai di Ki lian-san kelak kita bicarakan lagi setelah tiba di sana."
Dimana mereka bercakap cakap mengenai keluarga Nyo ini Lo Hou wi tidak membuka suara, hatinya sedang risau dan gundah sejak beberapa kali nama Nyo Wan ceng sudah sampai diujung mulutnya, namun toh tidak sampai terucapkan olehnya. Sambil menunduk ia mengorek ngorek api, tanpa ia sadari ia mencontoh perbuatan Geng Tian tadi, malah abu panas mengenai punggung tangannyapun belum disadarinya.
"Sam ko tadi kau katakan aku kurang hati hati, kenapa kaupun tak hati hati?" demikian goda Geng Tian, "Lihatlah, lengan bajumu sudah berlobang termakan api." tiba-tiba tergerak hatinya katanya pula, "Samko apa yang sedang kau pikir? Kami sedang membicarakan almarhum Nyo Yan sing Nyo Lung hiong, apa kau tahu?"
"Waktu Nyo Yan sing meninggal dia belum lagi kelana, mana bisa tahu?" demikian ujar Nyo su gi tertawa.
Hampa pikiran Lo Hou wi pikirnya: "Haruskah kuberitahu kepadanya?" setelah ragu sejenak, ia lantas menyahut: "Tidak apa apa, Geng Tian mendengar kau menyisihkan kehidupanmu yang getir diwaktu kecil mau tak mau menimbulkan kenangan lamaku pula."
"Apa kau pun dilahirkan dalam keluarga miskin?" tanya Geng Tian.
Pek Kian bu tertawa, selanya: "Dia sih keturunan guru silat yang kenamaan, soal miskin sih tidak. Cuma sejak kecil sudah kematian ayahnya, keluarganya menjadi berantakan." Diluar tahunya bahwa gejolak hatinya Lo Hou wi jauh lebih rumit dan kacau dari apa yang mereka bayangkan.
Geng Tian mendongak melihat cuaca, dilihatnya hujan sudah reda, katanya: "Habis hujan cuacapun terang, lihatlah betapa indah rembulan. Biar aku keluar mencari hidangan untuk tangsel perut ya? Dua hari ini selalu makan rangsum kering sudah membosankan. Baik nanti bikin binatang panggang dan diiringi minum arak, semalam ini tidak usah tidur."
"Baru saja hujan keadaan diluar tentu sulit buat jalan."
"Benar, habis hujan, burung dan binatang liar sama sembunyi disarangnya, kukira tidak gampang buat menangkap mereka," demikian timbrung Pek Kianbu.
"Memburu burung atau binatang liar aku cukup berpengalaman," ujar Geng Tian, "Kalian tidak percaya nanti buktikan saja, biar kutunjukkan kepandaian khususku ini."
Pek Kian-bu tertawa, katanya: "Kongcu digelari San-tian jiu (tangan kilat). Ilmu ginkangmu mesti seenteng burung dara secepat angin masakah berani kami tidak percaya akan kepandaianmu! Tapi kalau kau yang harus mencari makanan untuk kami beramai, wah rasanya rikuh dan tak berani terima, biar kami saja yang pergi!"
"Persediaan air dalam kantong itupun hampir habis," sela Geng Tian. "Pek jiko silahkan kau cari air saja bagaimana? Lo-sam-ko mari kau temani aku berburu, Nyo-toako kau tinggal saja di tempat ini bersama Site."
"Memangnya aku tinggal gegares tanpa bekerja mana boleh jadi," kata Nyo Su-gi.
Lo Hou-wi tertawa katanya; "Sejak kecil memang akupun senang berburu. Toako jangan kau berebutan dengan aku lho."
Nyo Su gi tahu akan hubungan mereka yang lebih akrab, maka iapun mengalah agar tidak mengganggu kesenangan hati mereka.
Adalah timbul rasa jelus dalam hati Pek Kian bu katanya: "Samte memang pandai mengambil hati orang agaknya dalam pandangan Geng Kongcu cuma dia seorang saja. Hm, tugas berat mencari air diberikan kepadaku, tanpa sungkan sungkan losam terima saja pembagian tugas itu. Jika Geng Kongcu betul akan menjabat Ciangbun kita, mungkin Losam bakal menjadi perintangku yang terbesar dan berkedudukan lebih tinggi dari aku." meski rasa jelusnya amat menghayati pikirannya, katanya; "Samko kabarnya tahun yang lalu kau ada pergi ke Tay-toh pernahkah kau pergi ke Siok ciu?"
"Memangnya aku ini kelahiran Siok ciu."
"Kalau begitu diwaktu Gwakongku meninggal, meski kau belum lahir kukira pernah mendengar orang membicarakan beliau bukan? Tahukah kau akan kedua murid beliau?"
"Geng tian, ada sebuah persoalan seharusnya kuberi tahu kepada kau cuma maaf tadi tidak leluasa kukemukakan kepada kau."
"Soal apa?" "Soal ini tentu berada diluar dugaanmu. Orang yang sedang dicari cari adalah guruku!''
"Apa katamu?" tanya Geng Tian melengak.
"Bukankah kau hendak mencari orang-orang keluarga Nyo?''
"Bukankah paman Nyoku itu sudah meninggal, cara bagaimana kau bisa angkat guru kepadanya? Oya... aku paham, apakah kau murid dari bibi Nyo?''
"Keluarga Nyo Yan sing toh bukan hanya terdiri dari isterinya saja? Sudah lama keluar Nyo meninggalkan Siok ciu sampai detik ini juga aku belum pernah bertemu dengan Nyo hujin."
"Lalu siapa yang kau maksud? Apakah..." ia membatin dalam hati: "Apakah putra atau putrinya?" waktu dia meninggalkan rumah keluarga Nyo, anak dalam kandungan Nyo hujin belum lagi lahir maka seakan Geng Tian ini tidak dikemukakan.
"Kau tahu didunia persilatan terdapat seorang dijuluki Siau mo li?"
"Apakah In tiong yan maksudmu?"
"Munculnya rada akhir dari In tiong yan, kepandaian mesterius mereka sama sama membuat musuh meringkik dan ketakutan. Tapi ada semacam tindak tanduknya yang berlainan dengan In tiong yan. In tiong yan khusus membunuh buaya darat atau sampah persilatan belum pernah dengar dia membunuh kaum bangsawan Kim atau Tartar Mongol, sebaliknya Siau mo li ini pernah membunuh jago jago kosen dari negeri Kim pernah membunuh juga para Kim tiang Busu dari Mongol. Julukan Siau mo li (Iblis perempuan kecil) justeru diberikan oleh orang orang Mongol. Sepak terjang In tiong-yan masih sulit kita raba tapi tindak tanduk Siau mo li dapatlah kami pastikan bahwa dia berdiri pada golongan pendekar dan pejuang nusa dan bangsa!''
"Asal usul In tiong yan masih belum kau ketahui hanya secara diam diam ia bermusuhan dengan Wanyen Tiang ci, hal ini pun baru kuketahui dari penuturan Hek swan hong," demikian batin Geng Tian karena tidak leluasa membeber riwayat hidup In tiong yan kepada Lo Hou wi maka ia berkata: "Tak perlu kita membicarakan In tiong yan. Bahwa lihiap yang kau katakan ini bukan In tiong yan memangnya siapa dia sebenarnya?"
"Dia bukan lain adalah orang yang sedang kau cari yaitu guruku."
Heran dan kaget Geng Tian dibuatnya, tanyanya: "Maksudmu dia putri Nyo Yan sing? Bagaimana dia bisa menjadi gurumu?"
"Bukan guruku yang kuangkat secara resmi dia sih hanya mewakili gurunya mengajarkan Ngo hou toan bun to hoat kepadaku. Sudah tentu dia tidak mau mengakui sebagai guru namun didalam sanubariku dia kuanggap sebagai guruku berbudi disamping seorang teman yang baik hati."
Setelah mendengar cerita cara bagaimana Nyo Wan-ceng datang kerumah Lo Hou-wi dan mengajarkan ilmu golok itu, maka berkatalah Geng Tian : "Bukankah tahun ini dia baru genap berusia dua puluh tahun ?"
"Benar. Dari mana kau bisa tahu?"
"Waktu aku berusia empat tahun meninggalkan rumah keluarga Nyo, dari penuturan ibu katanya waktu itu bibi Nyo sedang mengandung. Dihitung-hitung jadi aku lebih tua lima tahun dari dia."
"Kalau begitu jadi ibumu belum tahu dia itu laki atau perempuan bukan, kelak kalau kalian bertemu muka dan membicarakan hal ini tentu lucu dan menggelikan."
Geng Tian merasa hampa dan kesal katanya : "Ya, memang tidak kuduga sebelumnya."
Diam-diam Geng Tian membatin dalam hati : "Dari nada bicara agaknya ia amat patuh dan tunduk benar terhadap nona Nyo, setiap menyinggung namanya, wajahnya selalu mengulum senyum simpul. Dikatakan nona Nyo sebagai guru berbudi dan teman paling baik, em persahabatan yang melebihi kenalan biasa. Nona Nyo menetap hampir satu bulan dirumahnya setiap hari ketemu dan belajar bersama dari rasa hormatnya itu bukan mustahil berubah menjadi cinta, kejadian ini adalah jamak."
"Geng-heng," ujar Lo Hou-wi. "Jangan terlalu asyik bicara sehingga melupakan berburu. Coba lihat ..."
"Lihat apa ?" "Disini terdapat lobang kelinci, pepatah bilang kelinci licin tiga lobang, sarang lobangnya ini tentu menembus ke lobang yang lain, coba kau periksa kesebelah belakang sana, biar kusumbat lobang disini dengan asap."
"Lo-heng kau memang seorang pemburu yang berpengalaman."
Segera Lo Hou-wi mengumpulkan ranting kayu dan daun daun kering lalu menyusut api dan diselesapkan kedalam lobang, Geng Tian sedang berjaga dan belum lagi menemukan lobang yang lain, tiba2 dilihatnya dua ekor kelinci muncul disemak-semak rumput sana, sigap sekali Geng Tian lantas menerkam kesana, cukup sekali cengkeraman ia berhasil menangkap salah satu diantaranya, disusul dengan gerakan burung dara jumpalitan, kembali ia berhasil menangkap kelinci kedua dengan tubrukan yang indah secara kilat.
Lo Hou-wi segera berseru memuji : "Geng-heng, gerak badan yang cukup indah dan menakjubkan."
"Hasil ini berkat jasa baikmu, kalau tidak kau gebah keluar dari sarangnya, lorong ketiga dari sarang kelinci licin ini, kemana harus kucari ?"
"Cara menangkap kelinci dengan gabungan tenaga dua orang ini dapat kupelajari dari nona Nyo itu, Geng-heng ginkangnya sukar tandingannya di dunia ini. Tapi Ginkang nona Nyo itu kukira setanding dengan kau. Beberapa menangkap di Pak bong san bersama dia, setiap kali seperti keadaanmu tadi, sekali terkam pasti berhasil menangkap kelinci-kelinci yang diingininya."
Kalut dan gundah hati Geng Tian katanya tertawa dibuat buat : "Kan dia murid Bu-lim-thian kau, sudah tentu dalam berbagai kepandaian ia jauh menonjol dari orang lain," mulut bicara sementara hati sedang membatin, "Soal perjodohan yang dikatakan ibu, peduli dia tahu atau belum, yang jelas Lo-toako amat menaruh simpatik dan cinta kepadanya, setelah kuketahui hal ini memangnya aku tega menerjang ditengah mereka merebut cintanya ? Bila nanti ketemu dia, kalau dia tidak menyinggung, lebih baik aku pura-pura bodoh saja kalau dia benar-benar menyinggung, biarlah kuanggap perkataan dan janji ibuku dulu sebagai kelakar saja habis perkara."
"Geng heng, apa yang sedang kau pikirkan?"
Geng Tian tersentak sadar, katanya: "Coba kau dengar, agaknya seperti ada suara apa-apa di sebelah sana !"
"Benar, aku juga sudah dengar, memang ada suara ganjil."
Sebetulnya Geng Tian hanya mengada ada saja, tak nyana begitu suaranya menjadi hening, betul juga lapat-lapat mereka mendengar suara seperti benturan senjata-senjata keras. Keruan Geng Tian kaget serunya : "Mungkin musuh meluruk datang Pek jiko.."
Belum habis dia bicara, terdengarlah lengking sebuah suitan panjang bergema diatas pegunungan dari kejauhan sana.
Lo Hou wi segera berteriak kaget : "Memang itu suitan Pek-jiko, mari lekas susul kesana !"
Cepat Geng Tian memburu kearah datangnya suara itu, ginkangnya jauh lebih tinggi dari Lo Hou wi, tanpa sadar, ia tinggalkan Lo Hou wi jauh disebelah belakang.
O^~^~^O
Sementara itu Pek Kian bu sedang mendayung air disebuah aliran sungai kecil, sebetulnya sungai ini sudah kering dan dangkal. Setelah hujan lebat turun, air menjadi banjir dan meninggi, tapi toh hanya sedalam dengkul saja. Tanah disekitar aliran sungai ini sangat licin dan becek, sulit tancap kaki kalau tidak jalan hati2. Terpaksa Pek Kian-bu membenamkan kedua kakinya kedalam air lalu memasukkan kantong airnya ke dalam air. Untunglah ditengah-tengah sungai terdapat batu keras yang menonjol agak tinggi, dengan berdiri diatas batu mengisi air, sehingga bajunya tidak sampai basah.
Baru saja ia berhasil mengisi satu kantong, mendadak ia mendengar sebuah siulan yang menusuk kuping, dari gerombolan semak rumput bermunculan empat orang laki-laki pakaian hitam-hitam. Keempat orang ini adalah musuh besar Pek Kian bu.
Pek Kian bu tahu bahwa keempat orang ini masing masing mempelajari ilmu tunggal perguruannya jangan kata mereka maju bersama, hanya yang tertua saja seorang meski Pek Kian-bu melawan dengan satu lawan satu juga bukan tandingan orang.
Sudah tentu kejut Pek Kian bu bukan kepalang tapi sebagai seorang yang cerdik banyak aksinya, ia bersikap tenang dan menjengek dingin: "Bagus ya, Gi pak siang-hiong dan Siam-tiong siang siat bergabung hendak main keroyok, aku orang Pek hari ini naga naganya harus menyerah kalah saja. Dengan main keroyokan melawan aku seorang, apakah kalian tidak takut ditertawakan sesama sahabat Kangouw ?''
Laki-laki baju hitam yang memimpin rombongan keempat orang itu tertawa dingin: "kau boleh maju, lawanlah aku seorang."
Orang kedua segera menimbrung, "Bukankah kalian juga berempat? Hai, hai, asal teman- temanmu tidak turut campur kami pun tidak akan membantu. Kalau kau tidak berani melawan Toh toako mari melawan aku saja."
Dua orang yang insyaf kepandaian masing-masing tidak lebih unggul dari Pek Kian-bu namun justru permusuhan mereka jauh lebih mendalam kepada Pek Kian bu, maka mereka berkata bersama, "Menghadapi manusia rendah macam kau ini perlu apa pegang peraturan Kangouw segala, kebiasaan kami Sian-tiong-siang-sat toh kau sudah tahu, melawan satu orang kami maju bersama, melawan sepuluh orang juga kami maju bersama!''
Segera Pek Kian bu pegang kelemahan dari kata orang orang ini, jengeknya : "dua orang atau empat orang sama saja, aku tidak bisa mempercayai obrolan kalian, sebagai laki gagah harus melihat gelagat, maaf, aku tidak mengiringi keinginan kalian !"
Habis kata katanya, Pek Kian bu lantas melompat jauh dari batu pertama kebatu yang lain, didalam sungai memang banyak berserakan batu-batu besar, begitulah dengan berlompatan diatas batu menuju kehulu sungai ia melarikan diri. Memang cara melancarkan diri jauh lebih cepat dari pada berlari didalam air.
Kedudukan dan ketenaran Siam tiong-siang-sat tidak sebanding dengan Gi-pak siang-hiong di kalangan Kangouw, namun bara balas dendam yang membakar dada mereka jauh lebih besar dari Gi pak siang hiong, melihat Pek Kian bu melarikan diri, tanpa berjanji mereka lompat bersama kedalam air, mereka mengudak kencang mencontoh cara Pek Kian bu juga, ujung kakinya hanya main diatas permukaan batu batu yang menonjoI keluar.
O^~^~^O