Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Jilid 16

Jilid 16 

Tapi dengan adanya alingan gunung-gunungan palsu, sembilan senjata rahasia yang berhamburan itu tiada satupun yang dapat mengenai diri Ling Hou.

Saking gelisahnya entah darimana datangnya kekuatan Hong-thian-lui, mendadak ia menghardik seperti guntur, berbareng telapak tangannya menghantam kedepan, Umong sudah kapok akan kehebatan pukulannya ini, sigap sekali ia mencelat berkelit, justru seorang Kim-tiang Busu yang berada disampingnyalah yang konyol terdampar oleh gelombang pukulan Bi-lek-ciang Hong-thian-lui, kontan tubuhnya terpental jauh tiga tombak.

Begitu meloncat keluar Hong-thian-lui lantas berteriak, "Ayah !"

Ling Hou terkejut, cepat iapun berteriak, "Anak Wi, berhenti, jangan kemari !"

Lou Jin-cin bergelak tawa, serunya : "Kalian ayah dan anak tumbuh sayap pun jangan harap bisa terbang, nantikan waktu untuk mengantar jiwa saja !"

Ternyata Ling Hou juga segera terbahak-bahak suara tawanya malah lebih lantang dan keras, sesaat kemudian terdengar ia berseru : "Lou Jin-cin, berani kau melukai seujung rambut putraku, akan kubuat seluruh Lou-keh-ceng ini hancur lebur rata dengan tanah. Hayo kalian berani melangkah maju puluhan langkah lagi, akan kubuat pula kalian dedel dowel seperti perkedel !"

Lou Jin-cin tertawa dingin, ejeknya : "Kau punya kepandaian apa, berani kau main gertak menakuti orang!" tapi para pembantunya mendengar ancaman Ling Hou serta merta merendahkan kakinya, sangsi dan takut pula hati mereka, lebih baik percaya dari pada menjadi korban secara konyol demikian pikir mereka, tanpa merasa beramai ramai mereka berhenti dan menonton adegan selanjutnya yang akan terjadi.

Terdengar Ling Hou berseru pelan-pelan, "Jadi kau tidak percaya ? Baik, biar kau lihat lebih dulu." Sambil berkata tiba-tiba tangan kanannya diayun, sebatang Coa-yam cian (panah ular berasap) segera melesat keluar. Ujung runcing dari Coa-yam-cian ini kosong dan diisi dengan ramuan bahan peledak, begitu terjilat api lantas menyala dan meledak, umumnya kaum persilatan digunakan untuk memberi isyarat sesama kaum dan disambitkan ketengah udara. Tapi kali ini Liong Hou menyambitkan kearah tanah.

Begitu jilatan api mengenai tanah kontan terdengar ledakan yang gemuruh, sebuah gunungan palsu dipinggir sana seketika runtuh berhamburan, batu pasir beterbangan ke tengah udara. Untung orang-orang itu sudah menghentikan langkah dan berdiri agak jauh dari lingkaran daya ledakan yang hebat itu, meski begitu tak urung mereka merasa muka mereka seperti disampok angin badai yang panas, tak sedikit yang terluka oleh percikan batu-batu.

Terdengar Ling Hou menjengek tawa pula, "Ini baru percobaan belaka ! Lou Jin-cin, ketahuilah, aku sudah memendam puluhan peledak disepuluh tempat yang terpendam dalam daerah lingkungan Lou-keh-cengmu ini. Tempat yang meledak ini hanya kutaruh bahan peledak yang paling sedikit !"

Ternyata keluarga Ling merupakan ahli pembuat bahan peledak yang diwaris dari leluhur mereka. Moyang mereka tidak lain adalah Ling Tin, pahlawan gagah dari gunung Liang-san yang paling terkenal pandai membuat peledak itu. Baru sekarang Ling Hou mengunjukkan diri, karena ia harus memilih tempat yang strategis untuk memendam bahan peledaknya itu.

Keruan Lou Jin-cin ketakutan, dengan mengeraskan kepala ia berseru, "Seumpama kau mampu menghancur leburkan seluruh Lou keh-ceng rata dengan bumi, kalian ayah dan anak serta kawan-kawanmu juga tidak ketinggalan mati bersama !"

"Kita ayah dan anak emangnya sudah tidak ingin hidup lagi," demikian ejek Ling Hou ketus, "Hehe seluruh keluarga Lou-keh-ceng kalian yang berjumlah seratus tiga puluh tujuh jiwa bersama tamu tamu agung kalian ini bakal mengiringi kami gugur bersama. Hitung dagang ini masih menguntungkan pihak kami, Lou Jin-cin, apa kau berani bertaruh bahwa aku sungguh tidak berani melaksanakan ancamanku ?" tampak kedua jari tangannya menjepit pula sebatang Coa-yan-ciau, ujung panahnya berkilauan membiru diarahkan ke arah Lou Jin-cin beramai. Siap untuk disambitkan.

Cepat Lou Jin-cin berseru, "Ling-tayhiap, marilah bicara dulu, buat apa kita harus bertengkar sampai babak belur bersama ? Sebetulnya aku tiada niat mempersukar kalian ayah dan anak !"

"Bagus !" seru Ling Hou, "jadi kau masih ingin berdagang lain obyek dengan aku ini ? Tapi aku kuatir kau tidak kuasa memberi keputusan."

Tatkala itu pertempuran berbagai kelompok itu sudah berhenti, cepat-cepat Lou Jin-cin memburu kepekarangan belakang sebelah barat, katanya lirih kepada Liong-siang Hoatong, "Hoatong, kawanan musuh ini adalah kaum gelandangan yang tidak takut mati. Aku kuatir mereka bakal melaksanakan ancamannya."

Sebetulnya Liong-siang Hoatong sendiri jauh lebih gugup dan gelisah dari Lou Jin-cin, sebagai seorang Koksu, masih ada seorang tuan putri macam In-tiong-yan yang menjadi tanggungannya di Lou-keh-ceng, mana berani ia mempertaruhkan jiwa sendiri dan jiwa tuan putri untuk berjudi dengan maut gugur bersama musuh ?

Terdengar Ling Hou membentak pula, "Aku tidak punya banyak waktu menanti kalian ngobrol bagaimana soal dengan ini? Sebelumnya aku harus bicara di muka harga yang kutetapkan tak bisa ditawar lagi."

Lekas Liong siang Hoa tong berkata, "Beritahu padanya kita turuti kehendak mereka saja!"

"Ling tayhiap," seru Lou Ji cin sambil tertawa kecut, "silahkan kau sebutkan kemauanmu!"

"Harap kau Lou toacengcu mempersiapkan kuda dan mengatur kita keluar perkampungan cukup hanya kau seorang saja. Setelah sepuluh li baru akan kulepas kau pulang dengan selamat!"

"Mana boleh kalian mengambil aku sebagai sandera," bantah Lou Jin cin.

"Kau anggap kita ini bermartabat macam tampangmu itu bicara seperti kentut busuk?"

Liong siang Hoatong segera membujuk, "Lou cengcu silakan kau antar mereka saja!"

Disebelah sana Ling Hou sudah menambahkan, "Sebelum kita keluar dari lingkungan Lou keh ceng, semua orang dilarang sembarangan bergerak! Kalau tidak, hm... cukup aku menggerakkan tangannya pasti bisa membuat kalian hancur lebur tanpa bekas lagi!" ancamannya ini ditujukan pada kawanan Liong siang Hoatong yang mungkin bisa main bokong secara licik. Meski Lou keh ceng meliputi satuan li panjangnya setelah mereka berada diluar seumpama Liong siang Hoa tong ingin mengejarpun takkan mungkin kecandak lagi.

Liong siang Hoatong tertawa dibuat buat serunya: "tayhiap kau terlalu banyak curiga. Masa Lolap bakal membokong kalian?"

"Kuduga kaupun tak akan," demikian jengek Ling Hou, segera ia memberi isyarat mengumpulkan teman temannya dengan mengepit Lou Jin cin di tengah, beruntun mereka beranjak keluar dari Lou keh ceng dengan langkah lebar.

Para centeng sudah mempersiapkan kuda yang diminta, tanpa banyak kata beramai ramai mereka menunggang kuda terus dibedal sekencangnya meninggalkan Lou keh ceng. Setelah puluhan li kemudian sesuai dengan perjanjian mereka melepas Lou Jin cin pulang.

Setelah bayangan punggung Lou Jin cin menghilang dikejauhan baru Ling Hou menengadah tertawa besar.

Hong thian lui bertanya heran, "Ayah, apa yang kau tertawakan?"

Ayah dan anak bertemu kembali sudah tentu sangat menggembirakan tapi dia tahu tabiat ayahnya meskipun sangat senang beliau takkan melepas tawa sepuas itu, oleh karena itu ia mengajukan pertanyaan karena heran.

Tiba tiba muka Ling Hou berubah serius, katanya, "Anak Wi adakah aku pernah berpesan padamu supaya tidak berbohong?"

Hong-thian-lui terkejut, sahutnya, "Anak belum pernah membangkang dari ajaran ayah. Tapi bila para Tartar Mongol itu mengompres keteranganku, aku pun tidak berani bicara secara gamblang, tapi kurasa hal ini tidak terhitung membangkang dari pesan ayah bukan?"

"Sudah tentu tidak terhitung," ujar Ling Hou tertawa, "Justru aku menguatirkan kau terlalu mentah menerima ajaranku itu, maka ingin aku bicara pula padamu, sekarang kau sudah kemukakan lebih dulu apa yang akan kuucapkan."

Untuk sesaat, Hong thian lui menjadi keheranan dan garuk garuk kepala. Maka Ling Hou lantas melanjutkan, "Sebagai manusia kita harus jujur, membual adalah merupakan pantangan berat. Tapi kita harus pandai melihat situasi dan pintar menghadapi keadaan. Ada kalanya untuk menghadapi musuh, tiada halangannya kita berbohong kepada mereka. Kenyataan sudah terjadi baru saja aku sudah menipu seluruh penghuni Lou keh-ceng itu."

Selamanya belum pernah Hong-thian-lui melihat ayahnya bicara begitu lucu dan humor, timbul rasa senang dan ingin tahunya, segera bertanya lebih lanjut, "Cara bagaimana ayah telah menipu mereka?"

"Sebetulnya aku hanya memendam bahan peledak disatu tempat saja," demikian tutur Ling Hou, "yaitu tempat yang meledak tadi. Bahwa kukatakan telah memendam peledak dipuluhan tempat adalah gertakan sambelku belaka untuk menakuti mereka."

Baru sekarang semua orang tahu duduk perkara sebenarnya, tanpa merasa mereka sama tertawa geli. Segera Hek-swan hong menimbrung bicara, "Lou Jin-cin memang kurang cerdik, seharusnya ia bisa berpikir, bila benar dapat memendam peledak dipuluhan tempat masa kau tidak konangan pada orang-orangnya?"

"Ya," ujar Ling Hou, "aku hanya main gertak dan bertaruh dengan mereka, seumpama mereka masih menaruh curiga, betapapun ia tidak akan berani mempertaruhkan jiwa dan seluruh harta bendanya untuk gugur bersama kita."

Hong thian-lui terburu buru ingin tahu satu persoalan, setelah keadaan rada tenang segera ia bicara, "Paman Lu, apakah kau sudah bertemu dengan putrimu?"

Lu Tang-wan mengerut alis dan bermuka kecut, sahutnya, "Dia sudah berhasil melarikan diri. Paman Sipmulah yang telah melihatnya tadi."

"Kudengar ia datang dengan seorang lain, entah siapakah orang itu? Paman Sip, apakah kau melihat orang itu?" tanya Hong thian lui.

Jawab Sip It-sian, "Sebetulnya akupun tidak melihat mereka." demikian Sip It-sian menjelaskan, "Aku hanya tahu bahwa keponakan Yau ada disekap dalam kamar dan kudengar suara teriakannya. Aku tidak keburu menolongnya karena harus melayani labrakan Lou Jin cin," setelah bicara diam-diam ia mengeluh dalam hati, sungguh ia menyesal harus berbohong, pikirannya, "Ling Hou mengajar anaknya supaya cuma berbohong kepada musuh saja, tapi justru aku berbohong terhadap orang sendiri. Ai, keadaanlah yang memaksaku berbuat demikian."

Kata Lu Tang-wan, "Setelah lolos dari Lou-keh ceng tentu putriku itu segara kembali kerumah. Mari kuundang kalian menetap beberapa hari dirumahku untuk istirahat beberapa hari. Keponakan Tiat-wi, luka lukamu belum lagi sembuh, lantas kau sudah menempuh perjalanan kali ini kau harus menetap beberapa hari lagi dirumahku!"

Mendelu perasaan Hong-thian-lui, dalam hati ia mereka-reka, "Sudah tentu aku ingin segera bertemu dengan Giok yau, kuatirnya setelah berada dirumahnya, bibi akan kurang senang terhadap kami!"

Kata Lu Tang wan pula, "Tiat wi, apa yang kau pikirkan, adakah sesuatu yang menyulitkan dirimu?" sebagai seorang yang berpengalaman luas, Lu Tang-wan dapat mengira-ngira, tanpa menanti pulang dirinya, Hong thian lui sudah meninggalkan rumahnya lebih pagi dari dugaannya semula, dalam hati ini tentu ada seluk beluknya. Oleh karena itulah ia ajukan pertanyaannya.

"Paman Lu," kata Hong thian-lui. "apa kau tidak kuatir kita beramai akan melibatkan dirimu?"

Lu Tang wan menjadi kurang senang, katanya, "Apa apaan ucapanmu ini, bila aku takut kena terlibat, tak mungkin aku menyusul kemari menolong kau bersama ayahmu." sebetulnya pertanyaan Hong-thian-lui justru mengenai telak ganjalan hatinya. Waktu pertama kali Hong-thian-lui bertandang kerumahnya memang dia kuatir terlibat urusan, tapi jalan pikirannya sudah jauh berbeda dan banyak berubah sudah.

"Bocah ini tidak pandai bicara, Lu-toako kuharap kau tidak ambil hati," demikian Ling Hou menyela. "Anak Wi, sekarang paman Lu sudah termasuk orang sendiri, kau masih ragu dan menyangsikan apa lagi, ayo maju mohon maaf kepada paman Lu," maksud kata katanya memberi kisikan bahwa Lu Tang wan mungkin sudah mempersetujui soal pernikahannya. Sudah tentu ini hanya anggapan Ling Hou seorang saja.

Cepat Hong thian lui maju menjura mohon maaf, "Paman Lu, aku bicara salah harap kau tidak ambil dihati."

Lu Tang wan tertawa lebar, ujarnya, "Kutahu kau bermaksud baik asal kau mau pulang bersama aku tentu aku akan senang. Bila anak Yau melihat kau pasti dia akan berjingkrak kegirangan."

Sebagai seorang tua yang berpengalaman, setelah mendengar ucapan Hong thian-lui, ia dapat meraba kemana juntrungan ucapannya tadi pikirnya, "Pasti ibu Giok yau yang ingin menjodohkan putrinya kepada Khu Tay seng sehingga bersikap dingin terhadap dia, sekembali dirumah nanti aku harus bicarakan persoalan ini dengan dia baik baik."

Hong thian lui setiba dirumah keluarga Lu pasti dirinya bakal bertemu dengan Giok yau legalah hatinya, katanya, "Saudara Hong, sayang ln tiong yan tidak berani keluar bersama kita."

Sip It-sian punya ganjalan hati, kuatir orang menanyakan soal siapa yang pernah bersama In tiong yan segera ia menyela bicara sambil batuk batuk, "Benar bicara soal In tiong yan, ada sebuah urusan yang harus kuserahkan kepada kau. Nah, inilah Pinghoat peninggalan Go Yong itu, In tiong yan menitipkan padaku untuk diserahkan kepada kau."

Hek swan hong menerima Pinghoat itu, hatinya senang tapi juga rada hambar, dalam hati ia berpikir, "Setelah mengalami peristiwa malam ini mungkin secepat mungkin In-tiong yan akan diseret Liong siang Hoatong kembali ke Holin. Selama hidup ini kapan baru kesempatan pula untuk bertemu. Ai, mungkin sesulit menganggap jarum didasar lautan."

Mana dia tahu meski In tiong yan tidak lari bersama dia tapi iapun tidak ikut Liong siang Hoatong kembali ke Holin. Pada saat terjadi keributan di Lou keh ceng secara diam diam ia sudah lari meninggalkan tempat itu. Jauh setengah jam dimuka ia sudah meninggalkan mereka. Setelah suasana menjadi tentram baru Liong siang Hoatong mengetahui sudah tentu kaget dan dongkol pula hatinya, namun apa boleh buat terpaksa ia tinggalkan empat Kim tiong Busu untuk mencari jejaknya bersama Umong dan lain-lain, ia kembali lebih dulu ke Holin.

Sekarang marilah kita ikuti pengalaman Cin Liong hwi yang melarikan diri sambil memanggul Lu Giok yau, setelah keluar dari Lou keh ceng sekaligus ia berlari lari kencang dua puluhan li, tanpa terasa cuaca sudah terang tanah. Hari masih pagi benar tapi Lu Giok yau masih belum lagi siuman.

Takut dijalan raya dilihat orang segera Cin Liong hwi sembunyi kedalam sebuah hutan, pelan pelan ia meletakkan tubuh Lu Giok yau diatas tanah. Setelah menenangkan pikiran dan mengatur napas ia tunduk mengawasi wajah Lu Giok yau masih tidur nyenyak dengan biji mata meram napasnya teratur nan enteng berbau harum. "Sungguh cantik rupawan!" demikian puji Cin Liong hwi dalam hati. Baru saja lolos dari mara bahaya tapi timbul pula sifat jalangnya, jantungnya berdegup cepat dan tanganpun berkeringat.

Mendadak didengarnya suara keresekan yang mendatangi, Cin Liong hwi terkejut dan berjingkrak bangun, tampak ujung dahan liuk melambai terhembus angin pagi nan sepoi-sepoi mana ada bayangan manusia? Dalam hati Cin Liong hwi tertawa pahit, "Tak heran orang sering berujar sekali pernah tergigit ular melihat rumput bergerak pun ketakutan. Paman Sip dan lain lain sedang terkepung di Lou keh ceng, betapapun tinggi Ginkangnya mungkin takkan dapat lolos. Kenapa aku ketakutan sendiri?" ternyata ia mengira Sip It sian sudah mengejar dan senang saat diketahui bahwa angin mengembus daun daun pohon.

Setelah hilang rasa kecutnya, hati Cin Liong hwi menjadi gundah was was, pikirnya, "Banyak tokoh tokoh kosen berada di Lou keh ceng, betapapun paman Sip takkan berhasil melarikan diri, tapi bila Lu Tang-wan benar juga sudah meluruk tiba di Lou-keh ceng, dengan memandang muka Lu Tang-wan mungkin Lou Jin-cin mau melepasnya pergi." Waktu Cin Liong hwi melarikan diri tadi Lu Tang-wan belum lagi menyusul tiba. Tapi teriakan Sip It Sian yang memanggil Lu Tang-wan supaya datang menolong putrinya dapat didengar dengan jelas oleh Cin Liong-hwi.

"Kejadian semalam sudah kepergok oleh paman Sip, mana bisa aku pulang kerumah? Rumah paman Lu akupun tidak mungkin ke sana pula, kecuali nasi sudah menjadi bubur, Lu Giok-yau sudah secara suka rela mau menjadi istriku, kalau tidak mungkin Lu Tang-wan sendiri pun bakal mencabut jiwaku."

"Ai, disini aku tidak bisa menetap, rumah pun tidak bisa pulang, bagaimana baiknya?" Sekonyong-konyong timbul pikiran jahat Cin Liong-hwi terpikir pula selanjutnya : "Apa boleh buat, terpaksa aku harus menipunya. Akan kukatakan padanya pulang menyambut ayahnya, kukira dia tidak akan tahu jalan mana yang harus ditempuh menuju ke-kampung halamanku. Bersama dia aku akan minggat ketempat nan jauh, entah kemana asal semakin jauh dari tempat kelahiran semakin baik. Laki perempuan melakukan perjalanan jauh bersama, wajahku lebih ganteng lebih cakap dari Hong-thian lui bocah itu, disertai bakat dan kepintaranku masa aku tidak mampu memincut dan mempersunting genduk ayu ini ?"

Setelah berketetapan hati, Cin Liong-hwi lantas mendekat maju dan duduk menggelendot disamping tubuh Lu Giok-yau, dengan membongkok tubuh ia menikmati kejelitaan wajah Lu Giok-yau nan ayu diwaktu tidur nyenyak, semakin ketarik, baru saja ia menunduk hendak mencium pipinya, tiba-tiba Lu Giok-yau membuka mata kontan ia menjerit teriaknya, "Heh, kenapa kau menyelonong masuk kekamarku?" Kiranya sepanjang jalan ini ia dipanggul oleh Cin Liong Hwi sehingga badannya ikut bergerak tergetar, sebetulnya beberapa jam Iagi baru ia bisa siuman sekarang kasiat obat bius itu menjadi hilang dan secara kebetulan ia siuman pada waktu itu juga. Begitu membuka mata pikirannya masih belum jernih, yang dilihat hanyalah Cin Liong hwi berada di depan matanya, ia menyangka dirinya masih rebah diatas ranjang dalam kamar istri Lou Jin cin.

Cin Liong-hwi segera mundur selangkah, ujarnya tertawa: "Syukurlah kau sudah siuman. Coba kau lihat tempat apakah ini ?"

Lu Giok yau celingukan, katanya heran: "Apakah yang telah terjadi? Kenapa aku bisa tidur dalam hutan belukar ini?"

"Nona Lu," kata Cin Liong-hwi, "apa kau tahu semalam hampir saja kau dicelakai orang?"

"Oleh siapa?" seru Lu Giok yau berjingkrak kaget.

"Bukan siapa siapa, tak lain tak bukan isteri Lou Jin-cin itulah," demikian Cin Liong hwi menjelaskan, "Mereka begitu tekun melayani kau, kiranya mempunyai maksud tertentu. Kau sangka emangnya mereka itu orang baik ?"

"Aku tahu mereka bukan orang baik. Tapi cara bagaimana mereka hendak mencelakai aku ? Cobalah kau jelaskan."

Cin Liong-hwi sudah merangkai sebuah cerita bohong, maka dengan kalem ia mulai menjelaskan : "Semalam setelah istri Lou Jin cin membawa kau kedalam kamar untuk istirahat, semakin pikir aku menjadi curiga. Karena tak bisa tidur pada tengah malam diam-diam ngeloyor keluar, tujuanku hendak mencari tahu dan membuat penyelidikan, waktu sampai diluar pekarangan kamarnya secara tak disengaja kudengar percakapan rahasia mereka suami istri."

"Apakah mereka sedang berunding cara untuk menghadapi aku ?"

"Benar. Sebetulnya bukan berunding lagi yang jelas tatkala itu kau sudah terjebak dalam tipu daya perempuan bawel itu. Nona Lu, coba kau pikir dan ingat-ingat kembali, sebelum tidur adakah minum air teh atau minuman lain pemberian mereka ?"

"Tak perlu diingat lagi. Aku tahu bahwa aku telah dicekoki obat bius mereka, kalau tidak masa sampai tiba ditempat ini baru aku bisa siuman tanpa kusadari sedikitpun, sepanjang jalan sejauh ini soal apa pula yang kau curi dengar dari percakapan mereka, coba kau jelaskan."

"Lou Jin-cin berkata, kekuatan obat biusmu ini bisa bertahan berapa lama? Istrinya itu menjawab sebelum fajar atau terang tanah genduk itu tidak akan bisa siuman. Lou Jin cin berkata, bagus, kalau begitu kita bisa serahkan genduk itu kepada Liong siang Hoatong, setelah terang tanah membawanya pergi dari sini. Istrinya bertanya : "Apa kau tidak takut pada Lu Tang wan ? Lou Jin cin menjawab, "Pertama Ilmu silat Liong siang Hoatong jauh lebih tinggi dari Lu Tang-wan, kedua Liong siang Hoatong menggondolnya lari ke Mongol, seumpama Lu Tang wan membekal kepandaian setinggi langit juga jangan harap bisa mencarinya kesana. Ketiga bocah yang datang bersamanya itu akan segera kubunuh, supaya peristiwa ini tetap terahasia dan tidak bocor. Keempat dengan adanya Liong-siang Hoatong yang menjadi sandaran kita, kelak untuk mengejar pangkat dan harta jalan kita menjadi lapang takut apa lagi?"

Mencelos hati Lu Giok-yau, badan basah oleh keringat dingin, ujarnya: "Sungguh berbahaya, jika tidak kau tolong, dengan enak-enak tidur kelelap, tahu-tahu aku sudah mereka antar sampai ke Mongol, seumpama tumbuh sayap juga jangan harap bisa lari. Tapi bukankah Lou Jin-cin sendiri pernah bilang bahwa Liong-siang Hoatong dan In-tiong yan sudah berangkat pulang mengajak Hong-thian lui ? Mungkinkah ucapannya ini hanya bualan belaka ? Dan lagi apa tujuan Liong siang Hoatong menawan aku kembali ke Mongol ?"

"In tiong yan dan Hong thian lui memang sudah pergi, dalam hal ini Lou Jin cin tidak berbohong. Tapi yang benar bahwa Liong siang Hoatong masih berada dirumahnya, cuma semalam ia tidak keluar. Semalam waktu kita memasuki kebon Lou Keh ceng itu bukankah kepergok dengan Busu Tartar, orang Mongol itu adalah murid Liong-siang Hoatong. Nona Lu, kuharap kau tidak memikirkan Ling Tiat wi lagi, dengan suka rela ia menempuh perjalanan ke Mongol bersama In-tiong yan, betapa jauh perjalanan yang harus mereka tempuh, betapapun hubungan mereka dapatlah kau pikirkan, kuharap kau paham akan hal ini."

"Persetan hubungan mereka, emangnya ada sangkut paut dengan aku?" demikian omel Lu Giok yau uring uringan. "Pernahkah aku menyinggung Ling toako, justru kau sendiri yang punya pikiran tidak genah. Sebetulnyalah Ling toako adalah tuan penolong keluarga kami, seumpama aku menguatirkan keselamatannya adalah jamak bukan."

"Yayaya, akulah yang salah omong, harap nona tidak marah," demikian kata Cin Liong hwi cengar cengir. "Tapi aku bicara demi kebaikanmu. Ling Tiat wi adalah Suhengku, masa aku..."

"Sudahlah, kenapa menyinggung soal Ling Tiat wi lagi!" demikian semprot Lu Giok yau cemberut, dalam hati ia berpikir, "bicara pergi datang soal-soal itu melulu, menyebalkan." soalnya ia anggap Cin Liong hwi telah menolong dirinya maka ucapan yang rada kasar ini rasa tak enak diucapkan.

"Benar," ujar Cin Liong hwi, "kukira kau masih ingin tahu kenapa Liong-siang Hoatong hendak meringkus kau dan digondol pergi ke Mongol bukan? Semalam waktu aku mencuri dengar pembicaraan Lou Jin cin suami istri, dapat kuketahui pula sebab sebabnya."

"Apa yang mereka katakan ?"

"Lou lin cin berkata: Liong siang Hoatong hendak mempersembahkan dirimu kepada Dulai untuk dijadikan selirnya."

Keruan Lu Giok-yau menjadi gusar alisnya menegak, serunya, "keparat, nanti bila bertemu ayah tentu kuminta beliau menuntut balas bagi penghinaan ini. Sayang Liong siang Hoatong sikepala gundul itu sudah pergi. Tapi Lou Jin-cin kan tidak akan lari, bila ayah pulang, pertama-tama harus menghancur leburkan dulu Lou keh-ceng-nya itu untuk melampiaskan penasaran ini!"

Cin Liong hwi tertawa geli, ujarnya, "Meskipun aku tiada mampu ikut menghancur leburkan Lou keh ceng, sedikit banyak telah memberi bantuan pada kau membalaskan sakit hati ini."

"Benar. Bagaimana kelanjutannya?"

Cin Liong hwi menjadi bangga dan angkat dada, sambungnya terus, "Tahu bahwa mereka hendak mencelakai kau sudah tentu segera aku menerjang masuk melabrak mereka. Haha, sedemikian tenar dan besar namanya di kalangan persilatan dalam golongan sesat, tak nyana hanyalah bernama kosong belaka. Cukup sekali pukul saja ia sudah terluka parah dan lari pontang panting bersama istrinya yang bawel itu! Sayang kau tidak menyaksikan pada waktu itu, betapa runyam keadaannya waktu melarikan diri itu sungguh menggelikan !"

Lu Giok Yau menjadi terhibur dan girang, katanya, "Bagus ! Salut akan sepak terjangmu yang gagah berani ! Cin toako, bukan karena ketidak becusan kepandaian Lou Jin-cin yang rendah, karena ilmu silatmu yang lihay dan tinggi sehingga ia dapat kau gertak dan lari terbirit-birit !" dia percaya akan bualan Cin Liong-hwi maka tak tertahan lagi memberikan pujiannya dengan setulus hatinya. Adalah diluar tahunya bahwa Lou Jin-cin sesungguhnya adalah Susiok Cin Liong-hwi.

Sambil menahan gelora hatinya yang melonjak kegirangan, Cin Liong-hwi berkata tawar : "Ah, pujianmu terlalu berkelebihan, terima kasih akan pujianmu. Aku sendiri tidak punya obat pemunah, setelah menggebah lari Lou Jin-cin terpaksa kupanggul kau melarikan diri kemari, kau tidak salahkan aku bukan?"

Merah jengah selebar muka Lu Giok-yau, katanya : "Untuk berterima kasih padamu sekarang aku sudah terlambat masa kusesalkan kau malah. Selanjutnya jangan kau singgung pula soal ini."

"Ya ya. Sekarang kau sudah mampu berjalan belum ?"

"Hendak kemana ?"

"Kenapa kau lupa, bukankah kau ingin bertemu dengan ayahmu ? Ayahmu berada dirumahku, sudah tentu pulang bersamaku !"

Baru saja mereka siap berangkat, sekonyong-konyong terdengar suara tawa dingin dari dalam hutan.

Bercekat hati Cin Liong-hwi, waktu dia angkat kepala dilihatnya seorang gadis remaja berpakaian hitam muncul dihadapannya. Rambutnya nan hitam disanggul meninggi, alisnya lentik panjang, wajahnya nan putih halus dan rupawan begitu agung dan mempesonakan sehingga orang tak berani memandang lama-lama. Sebetulnya Cin Liong-hwi sudah hampir mengumbar adatnya, sungguh tidak terduga olehnya bahwa yang dihadapi kiranya gadis remaja yang ayu molek, seketika ia berdiri melongo dan menjublek ditempatnya.

"Cin toanghiong !" seru gadis baju hitam. "Kedatanganku mengejutkan kau ya ?"

Cin Liong-hwi menenangkan pikiran, lalu katanya : "Siapakah nona ini? Darimana kau tahu aku orang she Cin?"

Gadis baju hitam itu berkata : "Kau adalah sute Hong-thian-lui yang bernama Cin Liong-hwi bukan ? He, he, siapa yang tidak kenal dan pernah dengar nama besarmu ? Bicara terus terang, akulah orang yang paling kagum akan nama Cin-toanghiong yang tenar itu !"

Pengalaman Lu Giok-yau terlalu cetek, tapi iapun merasakan nada sindiran dari ucapan gadis baju hitam ini, dalam hatinya ia menggerutu : "Perempuan ini kelihatannya kurang waras, entah siapa dia?"

Sungguh menggelikan justeru Cin Liong hwi merasa bangga dan seperti terbang melayang di awan awan oleh umpakan yang ironis itu, ujarnya, "Terima kasih sebetulnya aku baru saja terjun dalam percaturan Kangouw. Nona, siapa namamu? Entah ada keperluan apa kau mencari diriku?"

Kata gadis baju hitam: "Nama orang diibaratkan bayangan pohon, ada sementara orang yang selama hidupnya tidak dapat mengangkat nama dan dirinya tapi ada kalanya sekali dia kelana di Kangouw namanya laksana geledek menggelegar diseluruh kolong langit. Terbukti dengan suhengmu Hong-thian lui, sekarang kau demikian pula. Konon kepandaianmu malah jauh lebih tinggi dan lihay dari Hong thian-lui, maka sengaja kuluruk kemari untuk minta pelajaran." Secara langsung ia jelaskan alasan kedatangannya menemui Cin Liong-hwi tapi agaknya ia segan memperkenalkan nama diri sendiri.

Tergerak hati Giok-yau, selanya berkata, "Cici ini, apakah kau pernah bertemu dengan Hong-thian lui ?"

Gadis baju hitam menyahut tawar, "Hong thian lui telah mengalahkan si Elang hitam Lian Tin-san di Lu-keh-ceng, peristiwa tenar ini sudah tersiar hebat dikalangan Kangouw."

Cin Liong-hwi semakin bangga dan menepuk dada ujarnya: "Hong thian-lui mengalahkan Lian Tin-san, berita ini tidak perlu kau herankan, sebaliknya dari mana pula kau bisa tahu bahwa kepandaianku jauh lebih tinggi dari Suhengku itu?"

"Bukankah kau semalam telah mengalahkan Lou Jin-cin sehingga ia lari terbirit-birit? Dengan keberanian yang luar biasa kau berhasil menolong keluar nona cantik ini dari Lou-keh-ceng sarang gerombolan penjahat. Aku tahu kepandaian silat Lou Jin cin bahwasanya tidak lebih rendah dari Lian Tin san."

Cin Liong-hwi tertegun sejenak, tanyanya bergagap; "Kaupun tahu akan kejadian itu?"

Seperti tertawa tidak tertawa gadis baju hitam itu balas bertanya: "Apakah peristiwa itu sungguh tidak terjadi?"

Cin Liong hwi jadi berpikir: "Mungkin bualan ceritaku tadi dapat dicuri dengar olehnya? Melihat sikapnya ini agaknya ia amat percaya akan obrolanku tadi?" Terpaksa dengan mengeraskan kepala ia menyahut, "Ya, ya begitulah adanya!"

"Akupun percaya akan kebenaran kejadian itu," ujar gadis baju hitam. "Maka sengaja kemari untuk menemui kau!"

Cin Liong-hwi tercengang, tanyanya dengan suara melengking; "Apa-apaan maksud ucapanmu ini?"

"Dengan rasa bangga aku ingin berhadapan dengan seorang Eng-hiong, seorang pendekar besar yang gagah perwira dan mohon beberapa jurus petunjuk." Demikian cemooh gadis baju hitam sambil tertawa cekikikan.

Baru sekarang Cin Liong-hwi sadar bahwa sanjung puji sigadis baju hitam ini bahwasanya memutar balik kenyataan dengan kata kata manis untuk mengolok dan menyindir dirinya.

"Nona," sela Lu Giok yau. "Apakah kau dari Lou-keh ceng? Apa hubunganmu dengan Lou Jin-cin ?"

Sejak bertemu dan melihat tindak tanduk orang, ia sudah merasa gadis baju hitam ini kurang waras dan serba misterius, setelah mendengar maksud maupun tujuan orang semakin besar keyakinannya akan dugaan semula, maka pikirnya; "Konon Lou Jin-cin punya seorang puteri yang sudah menikah semalam tidak kelihatan tidak mustahil gadis yang kami hadapi inilah puterinya itu?" karena terkaannya ini ia lebih yakin dan berpikir lebih lanjut, "Pasti benar adanya, kalau tidak masa ia bisa tahu begitu jelas pengalaman Cin-toako semalam? Mungkin ia menyusul kemari untuk menuntut balas kekalahan ayahnya."

Mana Lu Giok yau tahu bahwa ceritera Cin Liong-hwi mengenai peristiwa semalam adalah bualan belaka. Terkaan gadis baju hitam inipun berkisar terlalu jauh dari kebenarannya.

Gadis baju hitam tertawa dingin, jengeknya: "Lou Jin cin barang macam apa menjadi budakku saja dia tidak cocok, nona Lu, tidak perlu kau sembarang main tebak. Aku cuma ingin menjajal sampai dimana kepandaian sejati Cin Tayhiap yang besar ini, sebentar kau akan tahu buktinya apakah dia seorang Enghiong tulen atau seekor anjing atau biruang belaka!"

Sangsi dan bimbang hati Lu Giok-yau batinnya: "Seorang puteri betapapun tidak akan berani memaki ayah kandungnya, dari kata-katanya tadi tidak sulit ditebak, kalau bukan musuh besar Lou Jin cin paling tidak iapun tidak senang melihat sepak terjang dan martabat Lou Jin cin. Lalu kenapa pula ingin menjajal kepandaian Cin-toako?"

Agaknya gadis baju hitam dapat meraba jalan pikirannya lekas ia berkata, "Yang asli tidak bisa dipalsu, yang palsu tidak mungkin jadi tulen. Bicara sejujurnya meski Lou Jin-cin bermartabat rendah dan hina, ilmu silatnya boleh kuakui cukup lumayan. Sebaliknya bila Cin Tayhiap ini mampu mengalahkan aku, baru aku akan mau percaya bahwa dia seorang Enghiong besar, seorang pendekar sejati."

Selamanya Cin Liong-hwi sangat menjunjung gengsi dan suka bermuka-muka mana ia mau dimaki dan direndahkan sebagai anjing atau biruang, sebagai binatang yang rendah? Rasa simpatiknya tadi seketika sirna seperti dihembus angin lalu terhadap gadis rupawan dihadapannya ini, sikapnyapun berubah seketika, jengeknya menyeringai: "Tidak perlu kau mengagulkan aku sebagai pendekar sejati segala, tapi bila aku tidak melayani tantanganmu, mungkin nona Lu akan curiga bahwa aku hanya membual belaka. Baiklah, mari kita saling jajal beberapa jurus. Cuma kepelanku ini tidak punya mata, bila sampai melukai atau merusak wajahmu yang ayu bagaikan bidadari ini, aduh, betapa kasihannya, mungkin kau tidak akan laku kawin dan menjadi perawan tua, maka jangan nanti kau menyalahkan aku lho!" dimulut ia bicara sementara dalam hati ia membathin: "Memang kau amat cantik rupawan, namun Lu Giok-yaupun tidak kalah cantiknya, kenapa aku harus menaruh belas kasihan segala."

Sekonyong-konyong Lu Giok yau berteriak gugup: ''Cin-toako awas!" dalam sekejap mata itu tiba tiba gadis baju hitam turun tangan secepat kilat, "plok" tahu tahu pipi kiri Cin Liong-hwi kena digampar dengan nyaring.

Kiranya gadis baju hitam ini bukan lain adalah In tiong-yan yang semalam lari keluar secara diam-diam dari Lou-keh-ceng.

Secara kebetulan ia tengah sembunyi di dalam hutan, semua rangkaian cerita bohong Cin Liong-hwi terhadap Lu Giok yau dapat didengar seluruhnya. Tidak mengapa bila Cin Liong hwi hanya mengabulkan diri, justru yang membuatnya jengkel bahwa tidak segan segan ia merendahkan Hong thian-lui, malah dirinyapun kena dikata katai sebagai perempuan yang membawa lari laki laki.

Karena tidak siaga dan serangan datang secara mendadak Cin Liong hwi menjadi korban tamparan yang sangat keras, meskipun tidak sampai terluka keluar darah, tapi sebelah pipinya menjadi bengap dan berwarna hijau kehitaman, sakitnya bukan kepalang. Sudah tentu betapa gusarnya, makinya dengan murka: "Siluman kecil. Kau ini budak dari mana, apakah tidak dididik oleh bapak mbok-mu? Belum lagi kau menikah sudah pandai pukul main kekerasan laki-laki, perempuan bawel dan galak benar, hm, ingin jajal kepandaian marilah bergebrak secara terang terangan, kenapa main bokong dan sergap."

Cin Liong-hwi mengumbar mulut dan memaki kalang kabut tidak terpikir olehnya bahwa makiannya justru menyinggung pantangan In-tiong-yan.

Sejak kecil In tiong-yan sudah yatim piatu, kematian ayah bundanya begitu menyedihkan pula. Meskipun Khan agung yang sekarang menghargai kedudukan yang cukup tinggi sebagai "tuan puteri" tapi bersikap dingin terhadapnya. Kecuali dunia tiada seorangpun dalam lingkungan keluarga kerajaan yang menaruh simpatik dan anggap dirinya sebagai tuan puteri junjungan mereka betul-betul. Yang paling diresapi dan membuatnya sedih adalah bila orang lain menyinggung perihal ayah bundanya, apalagi kali ini Cin Liong-hwi memakinya sebagai budak yang tidak punya dijalin keluarga.

Setelah menggampar sekali dipipi Cin Liong hwi sebetulnya rasa dongkolnya sudah terlampias tapi serta mendengar makiannya yang menusuk hatinya ini seketika berkobar pula hawa amarahnya, dalam hati ia berpikir, "Kupandang muka Hong thian lui, tak perlu kucabut nyawanya. Tapi mulut bocah brutal ini sungguh sangat kotor dan harus dihajar dan disumbat!"

Dengan menekan sabar in-tiong yan menanti makian Cin Liong hwi selesai, lalu ia menjawab dengan suara datar: "Kau kan seorang pendekar Enghiong yang telah mengalahkan Lou Jin cin, tadi aku sudah menantang kepadamu untuk mulai bergebrak, bila kau kena kutempiling salah siapa ? Baiklah sekarang kuberi tahu kau aku akan menggampar pula sebelah pipimu yang kanan, bersiaplah kau. Bila kau tak mampu menangkis atau menghindar, anggaplah kau anjing atau biruang saja !"

Cin Liong hwi tidak kuasa mengendalikan marah lagi sembari menghardik sejurus Hek sau-liok hap (enam sambaran bergabung satu) dari pukulan Bi lek ciang merangsak hebat kearah musuh, jurus ini mengandung penyerangan yang gencar tapipun mempunyai penjagaan yang cukup rapat, dalam hati ia membatin: "Akan kulihat cara bagaimana kau bisa pukul aku lagi !"

Tak nyana gerak-gerik In tiong-yan adalah begitu cepat dan gesit sekali sulit dilukiskan dengan kata-kata meskipun jurus serangan Bi-lek-ciang ini tipu peranti untuk menyerang dan menjaga diri merupakan ilmu terlalu cetek dan belum sempurna mana kuasa menghadapi ginkang In-tiong yan serta gerak kilatnya yang hebat itu.

Maka terdengarlah suara "plak plok" keadaan Cin Liong hwi jauh lebih mengenaskan dari semula, tamparan beruntun dua kali dikiri kanan pipinya begitu telak dan keras sekali, kontan selebar mukanya menjadi bengap merah padam.

"Cin-toanghiong, Cin-toahiapsu, pukulan kali ini cukup membuka kedok aslimu bukan ? Ternyata kau bukan Enghiong atau pendekar benar, kau adalah anjing, adalah biruang yang pintar membual!''

"Wak," mulut Cin Liong hwi terpentang dengan menyemburkan darah segar, makinya keras: "Siluman perempuan, aku ingin jiwamu !" seiring dengan makiannya, "Wuut" ia kirim sebuah pukulan yang dilancarkan sekarang adalah ilmu hasil ajaran dari Jing-bau-khek.

Pengalaman In-tiong yan dalam menghadapi musuh cukup luas, begitu melihat telapak tangan orang menjadi hitam lantas dia menduga pasti pukulan orang mengandung bisa timbul kewaspadaan dirinya, cepat ia menarik tangannya kedalam lengan bajunya dengan jurus Hian-niau hoat-su dengan jari-jarinya terbungkus dalam lengan bajunya terus menggores dengan kekuatan lwekangnya ditelapak Cin Liong-hwi yang nyelonong tiba itu kontan Cin Liong-hwi rasakan telapak tangannya seperti diiris pisau, sakitnya bukan alang kepalang, sambil menjerit keras dia jumpalitan mundur kebelakang. Bicara lambat kejadiannya terlalu cepat. In-tiong-yan memburu pula lantas angkat kaki menendang tubuh Cin Liong-hwi kontan menggelundung jauh dan akhirnya terbanting celentang sejauh beberapa tombak. Untung In tiong yan masih menaruh kasihan tidak melukai jalan darah Lou-kiong-hiat, kalau tidak ilmu silatnya itu sudah punah seluruhnya.

Setelah melampiaskan amarah hatinya In tiong yan jadi berpikir, "Kupandang persahabatanku dengan Hong-thian lui, aku tak boleh bertindak terlalu kasar padanya. Tapi cara bagaimana aku harus menjelaskan kepada nona Lu ini?" Seperti diketahui In-tiong-yan adalah putri bangsa Mongol, sejak jauh hari Hong-thian-lui mengenalnya toh baru beberapa lama saja dia mau percaya pribadinya.

Sekarang ia baru pertama kali ini jumpa dengan Lu Giok-yau, bahwasanya belum bisa dikatakannya kenal, seumpama In-tiong yan bicara terus terang menurut keadaan yang sebenarnya mana mungkin dia mau percaya begitu saja?

In tiong-yan sedang berpikir cara bagaimana dia mencari alasan untuk ajak bicara pada Lu Giok-yau, mendadak Cin Liong hwi meletik bangun serta berjingkrak berdiri teriaknya. "Suhu, Suhu! Kau orang tua lekas datang siluman perempuan ini hendak membunuh aku!"

Terdengarlah suara dingin serak berkata, "Siluman perempuan dari mana?" suaranya pun hilang orangnya tiba, tiba-tiba dihadapan mereka muncul seorang laki-laki tua mengenakan jubah panjang warna hijau.

In-tiong-yan tercengang hatinya, "Adakah orang ini Cin Hou siau? Kenapa muka mereka ayah beranak jauh berbeda! Apalagi seharusnya dia memanggil ayah kenapa memanggil Suhu malah?"

Dikala Cin Liong-hwi kena disepak jumpalitan oleh In-tiong-yan dalam kejutnya segera Lu Giok-yau mencabut pedangnya, baru saja ia siap menerjang memberi pertolongan, sekonyong-konyong muncullah seorang yang dipanggil Suhu oleh Cin Liong-hwi, keruan iapun terkejut dan tertegun dibuatnya.

Kiranya karena hajaran In-tiong-yan yang bertubi tubi itu, Cin Liong hwi menjadi kaget gusar dan dongkol pula, apalagi setelah kena ditendang jumpalitan semakin takut hatinya bila In-tiong yan benar benar hendak menghabisi jiwanya, dalam keadaan panik itu segera berkaok kaok memanggil gurunya, tanpa hiraukan lagi pesan Jin-bau-khek bila dihadapan orang luar sekali-kali dilarang membocorkan rahasia hubungan antara guru dan murid ini.

"Siapa kau ini?" bentak In-tiong-yan, dalam hati ia berkata: "Bila benar dia adalah guru Hong-thian-lui, biar aku nanti minta maaf padanya." Setelah menyambut pukulan Cin Liong-hwi tadi meski jari jarinya terbungkus didalam lengan bajunya, tak urung telapak tangannya terasa gatal dan kesemutan. Tidak seperti Lu Giok-yau meski ayahnya seorang tokoh persilatan yang kenamaan tapi pengalaman Kangouwnya sendiri terlalu cetek dan memang belum pernah berkelana sehingga tidak punya pengetahuan seluk beluk kehidupan di luaran. Cin Liong-hwi mengatakan pukulan tangannya yang berbisa sebagai Bi lek-ciang untuk menipunya diapun mau percaya begitu saja. Dulu In-tiong yan pernah bertempur sama Hong-thian lui, begitu ia menyambuti pukulan Cin Liong-hwi ini lantas tahu itulah bukan Bi-lek-ciang. "Apalagi Cin Hou siau merupakan tokoh persilatan dari aliran lurus yang berkepandaian tinggi dari warisan keluarga yang murni, masa meyakinkan pukulan berbisa dari golongan sesat? Waktu Hong thian lui membicarakan soal ilmu silat sama aku dulu belum pernah dia rnenyinggung bahwa perguruannya juga mengajarkan ilmu kepandaian macam ini!" karena kesangsian inilah maka In-tiong yan berani membentak tanya kepada orang tua berjubah hijau.

Setelah angkat kepala dan melihat tegas pada In-tiong-yan, bukan kepalang kaget Jing-bau-khek, katanya tersipu-sipu; "Harap tuan putri suka mengampuni kesalahan muridku yang tak tahu diri ini, pandanglah mukaku orang tua tak berarti ini memberi ampun padanya!" sembari berkata ia menjura dalam.

In-tiong-yan mengayun telapak tangannya mendorong kedepan, serunya; "Siapa kau sebetulnya, kenapa aku harus pandang mukamu untuk mengampuni bocah keparat ini?" Dorongan tangannya ini sengaja hendak menjajal Lwekang Jing-bau khek, sudah tentu Jing-bau khek tidak berani balas menyerang tapi ilmu pelindung badannya jauh berada diatas kemampuan In-tiong-yan, sekali dorongan In-tiong yan ini sedikitpun tidak membuatnya bergeming, terasa olehnya tenaga dorongannya sendiri laksana amblas kedasar lautan dan tak berbekas, insaf bahwa kepandaian orang jauh lebih tinggi dari dirinya benaknya lantas membatin, "Untung dia masih belum tahu bahwa aku sedang melarikan diri, terpaksa sekarang harus cepat-cepat mencari akal untuk membebaskan diri."

Cin Liong hwi mengharap gurunya menuntutkan balas bagi dirinya, diluar dugaan malah gurunya berlaku hormat, dan mohon maaf pada gadis baju hitam ini dan memanggilnya ''tuan putri". Sebagai orang yang cerdik setelah hilang rasa kagetnya lantas ia sadar dan mengerti.

"Apakah perempuan siluman ini In tiong yan adanya? Bualanku mengenai pribadinya, telah didengar pula olehnya?" demikian ia membatin serta merta matanya melirik kearah Giok yau, tampak muka orang pucat pias, giginya menggigit bibir kencang-kencang tak bersuara mungkin karena peristiwa ini terjadi begitu mendadak sehingga perasaan hatinya bergejolak, relung hatinya belum bisa merangkai kejadian yang dihadapi ini dengan kesadaran pikirannya. Karena adanya sang guru dan In-tiong-yan di situ, Cin Liong-hwi menjadi berhalangan untuk memberi penjelasan seperlunya kepadanya, karena ia menjadi basah kuyup sebab gugupnya sendiri.

Untuk sesaat Jing bau khek sendiri juga belum jelas duduk perkara sebenarnya, sangkanya sebelum tiba di Lou keh ceng Cin Liong-hwi sudah mengerjai Lu Giok yau, sehingga belum bertemu dengan Lou jin-cin, tidaklah perlu dibuat heran jika terjadi bentrokan dengan In-tiong yan disitu.

Dihadapan In tiong-yan sudah tentu Jing bau khek kurang leluasa menanyakan pada muridnya, terpaksa ia menjawab pertanyaan In tiong yan lebih dulu dengan tertawa dibuat-buat ia menyahut, "Tuan puteri tidak kenal aku tapi aku sudah bertemu dengan Koksu kalian Liong siang Hoatong sekarang kebetulan memang kami hendak menuju ke Lou keh ceng untuk menemui Liong-siang Hoatong, dengan tuan puteri sungguh tak nyana bisa beruntung jumpa disini entah bagaimana muridku yang tidak becus ini membuat kesalahan terhadap tuan putri, harap tuan putri suka memaafkan atas kesalahannya. Muridku, hayo maju mohon maaf kepada tuan putri?"

Betapapun Cin Liong hwi masih punya rasa malu setelah tahu In tiong-yan adalah tuan putri bangsa Mongol, hatinya menjadi nekad, pikirnya, "Suhu membunuh akupun tidak sudi bertekuk lutut padanya." batin memang berpikir demikian serta melihat gurunya mendelik kepadanya, sikapnya yang kereng itu seketika menjadi hatinya gugup.

In tiong-yan mengulapkan tangannya, ujarnya: "Kejadian sudah berlalu tak perlu minta maaf apa segala. O ya, apa benar kau hendak ke Lou keh-ceng?"

Jing bau khek mengiakan dengan laku yang sangat hormat.

"Bagus benar kedatanganmu kalau begitu," demikian ujar In-tiong-yan pula, "Lekaslah, kau bawa muridmu ke Lou keh ceng. Bila kau ketemu Liong-siang Hoatong harap beritahukan padanya katakan aku bersama nona ini, pergi kerumahnya kira-kira dua tiga hari lagi baru bisa pulang. Sudah nona Lu mari kita berangkat !"

Jing bau khek menjadi keras pikirannya, setelah bertengkar dengan Cin Liong-hwi kenapa hubungannya begitu intim dengan putri Lu Tang-wan apakah memang mereka sudah kenal sejak lama?" namun meski hatinya masih dirundung berbagai pertanyaan, betapapun ia tidak berani bertanya pada In-tiong-yan.

Meski pengalaman Lu Giok yau masih cetek tapi pikirannya bisa bekerja dan tidak teledor, sesaat ia terlongong lambat laun kesadarannya dapat menyimpulkan serangkaian jalan pengalamannya selama ini yang hampir saja membuat dirinya masuk kedalam tipu daya keji orang. Terpikir olehnya; "Tak heran ayah sering berkata hati manusia susah diduga, bocah she Cin yang mengaku sebagai sute Hong thian lui ini ternyata adalah mata mata orang Mongol !" Soalnya ia dengar guru Cin Liong-hwi tadi mengatakan hendak menghadap pada Liong-siang Hoatong yang menjadi Koksu bangsa Mongol, apalagi kalau bukan mata-mata yang punya intrik dengan tartar Mongol? Demikian ia menganalisa. Adalah jamak pula bila dia menyangsikan kebenaran asal usul diri Cin Liong-hwi ini, bukan mustahil dia pun samaran belaka.

Sebetulnya Lu Giok-yau juga tidak mempercayai In tiong-yan, namun menghadapi antara untung rugi atau berat dan ringan ini, mau tidak mau ia harus berpikir. Sekarang diriku sudah kejeblos kemulut harimau, pergi sama In thiong-yan tidak lebih masuk ke mulut harimau yang lain, betapapun menghadapi dia seorang perempuan jauh lebih baik." karena pikirannya ini tetaplah tekadnya ia berkeputusan untuk membebaskan diri dari belenggu Cin Liong-hwi dulu, segera ia berangkat sama In tiong-yan.

Setelah jalan rada jauh In tiong-yan mengembangkan ginkangnya, sudah tentu Lu Giok yau tak mampu mengejarnya, jarak mereka semakin jauh. Berpikirlah Lu Giok yau, "Eh, kelihatannya dia tidak kuatir aku melarikan diri?" sebab kalau In tiong-yan anggap dirinya sebagai tawanan, tidak mungkin mau meninggalkan dirinya dalam jarak yang begitu jauh.

Belum lenyap jalan pikirannya mendadak kelihatan In tiong yan berlari balik lagi, lalu ia menarik tangan orang. Keruan Lu Giok yau kaget, teriaknya, "Apa yang kau lakukan?"

"Kita harus lekas lari," demikian In tiong yan menjelaskan. "Obrolanku hanya dapat ngapusi mereka sebentar saja, bila orang orang Lou keh ceng mengejar tiba dan bertemu mereka guru dan murid di tengah jalan bualanku akan tentu konangan mereka."

Lu Giok yau tercengang keheranan, batinnya, "Bukankah kau tuan puteri bangsa Mongol? Kenapa takut dikejar orang orang dari Lou keh ceng?"

Tapi In tiong yan menariknya lari sedemikian kencang, meski hati dirundung berbagai pertanyaan ia menjadi susah membuka mulut.

In tiong yan mengembangkan ginkang-nya yang paling tinggi menyeretnya lari seperti dikejar setan, hal ini berarti telah membantu dia. Terasa oleh Lu Giok yau angin menderu ditelinganya, pohon pohon dipinggir jalan berkelebat laksana kilat mundur ke belakang seperti naik awan saja dirinya bergelantungan meluncur kedepan. Tak habis heran dan kejut hatinya, pikirnya, "Kepandaiannya begini hebat bila ia bermaksud jelek terhadap diriku, betapapun aku tidak bakal dapat lolos dari genggaman tangannya !"

Entah berapa jauh sudah mereka lari, In-tiong yan membawanya kesebuah puncak gunung baru disini ia menghentikan kakinya. Katanya: "Kita boleh istirahat sebentar di sini. Tapi juga hanya sekejap saja kita harus berpisah disini. Kau ada pertanyaan kepadaku boleh silahkan katakan saja."

"Hah, jadi dia benar benar ?" tanyanya, "Apakah kau In tiong yan?"

In tiong yan tertawa, ujarnya, "Benar akulah In tiong yan seperti yang dikatakan keparat Cin Liong hwi telah kawin lari sama Hong thian lui. Apakah kau masih mempercayai obrolan bocah keparat itu?''

"Lalu dimana Ling Tiat wi berada?" tiada tempo ia mengurus persoalan Cin Liong-hwi, yang paling diperhatikan adalah keadaan Hong thian lui.

"Kau tidak perlu kuatir ayahmu akan bisa menolongnya keluar !"

"Apa ayahku sudah menyusul tiba ke Lou-keh-ceng ?" teriak Lu Giok-yau kaget kegirangan.

"Ya, kuduga waktu kau jatuh pulas itulah beliau sudah sampai di Lou-keh-ceng. Kudengar seseorang berteriak memanggil ayahmu untuk menolong kau dipekarangan luar disebelah timur, maka berani kupastikan akan kedatangan ayahmu. Ada pula seorang yang membantu Hong-thian-lui melawan Liong-siang Hoatong menurut rekanku orang itu betul-betul adalah Cin Hoa-siau adanya."

Tanpa merasa Lu Giok-yau merasa kuatir akan ayahnya, katanya : "Konon ilmu silat Liong-siang Hoatong sangat lihay entah apakah mereka bisa meloloskan diri dari Lou-keh-ceng ?"

In-tiong-yan sudah lari keluar sebelum ayah Hong-thian-lui muncul, kejadian selanjutnya ia tidak tahu sama sekali. Terpaksa ia hanya bisa membujuk pada Lu Giok-yau : "Ilmu silat Hong thian-lui sudah pulih kembali, ilmu silat gurunya jauh lebih tinggi darinya, menurut hematku seumpama mereka tidak dapat mengalahkan Liong siang Hoatong, Liong siang Hoatong juga tidak akan dapat merintangi mereka melarikan diri."

"Semoga begitulah adanya!" demikian Lu Giok-yau berdoa, dalam hati ia membatin : "Bila Ling-toako bisa lolos dari marabahaya, ayah pasti membawanya pulang. Bila aku segera pulang tentu disana bisa ketemu dengan mereka."

Tak terduga justeru In tiong-yan berkata : "Nona Lu dalam daerah yang berdekatan sini, adakah kau punya famili ? Lebih baik famili yang rada miskin, terutama keluarga terdekat yang belum diketahui oleh pihak Lou-keh-ceng."

Lu Giok-yau tercengang sebentar katanya : "Apakah cici hendak mencari tempat untuk menyembunyikan diri ? Cobalah kupikir sebentar !"

"Bukan aku tapi kaulah! Menurut pandanganku, untuk sementara waktu kau jangan keburu pulang kerumah."

Heran Lu Giok yau dibuatnya, tanyanya: "Bukankah tadi kau mengatakan hendak pulang bersama aku?" dalam hati ia membatin: "Kalau kau tidak leluasa berkunjung kerumahku, adalah aku sendiri kenapa tidak boleh pulang?"

In tiong-yan tertawa: "Tadi aku omong sembarangan saja untuk menipu mereka. Sudah tentu aku tak bisa kerumah, dan kaupun tidak boleh pulang."

"Kenapa?" "Lou Jin-cin bertetangga dalam bilangan satu keresidenan, sudah tentu dia mengetahui alamat rumahmu bukan?"

Baru sekarang Lu Giok-yau sadar katanya: "Kau kuatir mereka akan meluruk ke-rumahku mencari perkara!"

"Benar, bila Hong thian-lui dan ayahmu serta yang lain berhasil lari keluar dari Lou keh ceng, masa Liong-siang Hoatong mau berpeluk tangan dan menyudahi perkara itu? Kuduga ayahmupun tidak begitu goblok mau segera pulang kerumah,'' lalu sambungnya lagi. "Untung dalam waktu dekat ini Liong-siang Hoatong harus segera pulang ke Mongol, untuk sementara kau harus sembunyi menghindari malapetaka, kira kira sepuluh hari atau setengah bulan setelah mendapat berita yang pasti baru pulang!"

Tak tahunya bahwa analisa In tiong-yan justru menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Lou Jin cin sudah pecah nyalinya oleh bahan peledak Ling Hou, selama berpuluh tahun dalam operasi berdagang tanpa modal dalam kalangan hitam menghasiIkan harta benda dan bangunan gedung yang megah ini boleh dikata jauh lebih banyak dari milik Lu Tang-wan, mana dia sudi mempertaruhkan segala harta milik dan jiwa sendiri dalam adu perjudian yang sulit diramalkan kalah menangnya ini. Jika sekarang dia dapat mengalahkan dan menghancurkan segala milik keluarga Lu umpamanya, masa dia tak kuatir kelak Lu Tang-wan dan Ling Hou berani menuntut balas kepadanya?

Dengan kedudukan Liong-siang Hoatong sebagai Koksu negeri Mongol, beliau takkan sudi menunjukkan diri dimuka umum. Sebab kedatangannya ke Tionggoan kali ini mempunyai tugas yang teramat penting artinya, segala gerak-gerik dan tindak-tanduknya disini harus serba rahasia. Cuma soal ini In-tiong-yan sendiri tidak tahu.

Namun bagi In tiong-yan pengalamannya kangouw jauh lebih luas dibanding Lu Giok yau, kuatir Lu Giok-yau tidak tahu urusan maka sebelum berpisah ia telah memberi pesan wanti- wanti, inipun maksud baiknya demi keselamatannya. Mana dia tahu bahwa maksud baiknya justru menjadikan dia anggap dirinya kepintaran, sehingga akhirnya terjadi pula peristiwa lain yang berbuntut panjang.

"Terima kasih akan petunjuk Cici," kata Lu Giok-yau, "Cici kemana kau pergi, kenapa harus berpisah di sini? Bukankah kita lebih baik jalan bersama?''

"Aku kuatir kau kena rembet perkara ini. Mereka pasti akan mencariku kemana-mana, mana boleh kau jalan sama aku?"

"Aku jadi tak mengerti, bukankah kau tuan putri? Kenapa harus takut kepada mereka?" ada sebuah kata yang menyuapi hati orang tak enak diucapkan, sebetulnya ia ingin bertanya, ''Kenapa pula kau mau bantu aku ?"

"Dalam waktu singkat sulit menerangkan, kelak bila kau ketemu Hong-thian-lui segalanya dapat kau ketahui!"

Belum habis kata katanya, tiba-tiba didengarnya derap langkah kaki kuda yang berlari pesat sekali, lambat laun, semakin dekat, dan menuju kearah sini.

In-tiong-yan tertawa dingin, "Cepat benar kedatangan mereka!"

"Bila yang datang keparat she Cin itu, kulabrak dia habis-habisan!" demikian ujar Lu Giok yau dengan gemas.

"Jangan ceroboh, yang datang bukan hanya satu, Em, satu dua tiga semua ada empat orang," dalam hati ia membatin ; "Tunggangan mereka sama kuda kuda jempolan dari luar perbatasan, mungkinkah keempat Kim-tiang Busu yang mengejar kita ?" sebagai nona yang dibesarkan dipadang rumput, dari derap kaki kuda kuda itu dapatlah ia mengukur dan menaksir kuda macam apakah itu. Lu Giok yau maklum akan peringatan In-tiong yan tersentak hatinya, pikirnya : "Ya, mereka bukan hanya seorang, meski ada bocah keparat she Cin itu, mana ada kesempatan aku melabrak dia?" diam-diam ia sangat sesalkan kepandaian sendiri yang tidak becus, sesaat ia kehilangan pegangan diri sendiri, katanya, "Lalu bagaimana ?"

"Lekas kau sembunyi, tak perduli apapun yang terjadi jangan sekali kali kau keluar, biar aku yang hadapi mereka."

Tempat dimana berada sekarang hanyalah sebuah gugusan tanah tinggi menurut perhitungan In Tiong-yan, para pendatang itu tentu akan naik kemari dalam jangka waktu satu jam, cukup untuk memeriksa seluruh gunung untuk sembunyi juga tidak bisa lagi, paling diseret pulang pula. Sebetulnya ia tidak sudi pulang kembali ke Holin, jadi supaya Lu Giok-yau tidak jatuh ketangan musuh, tidak bisa tidak ia harus mengorbankan dirinya sendiri.

Dengan langkah ringan In-tiong-yan berjalan keluar hutan, dia siap menanti kedatangan mereka untuk mencegah mereka memeriksa kedalam hutan. Tak terduga belum lagi ia berjalan keluar dari hutan, didengarnya derap kaki kuda yang cepat itu sudah melewati gunung dan semakin jauh dan akhirnya tak terdengar lagi.

O^~^~^O 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar