Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Jilid 11

Jilid 11

Tapi Hong-thian lui tak menerima penghinaan begitu rupa, walaupun ia paham maksud tujuan In-tiong-yan yang baik itu, rasa dongkol hatinya sukar ditekan, maka air mukanya yang mengunjuk kemurkaan memang bukan bikinan pura-pura.

Tatkala itu, hari sudah terang tanah segera In-tiong yan memerintahkan, "Payang bocah ini naik kereta."

"Kalian tidak perlu pura-pura menanam budi, seperti tikus menangisi kucing, tuan besarmu dapat naik sendiri."

Dengan tersimpuh simpuh Hong-thian-lui merambat naik terus menggelundung masuk kedalam bagasi kereta, lalu merayap bangun berduduk sambil mulutnya menggereng kesakitan, nyata permainan sandiwaranya persis benar. In tiong-yan diam-diam merasa geli, "Tak kira bocah ini ternyata bisa main sandiwara."

Segala sesuatunya menurut keadaan kemaren, In-tiong-yan duduk didalam kereta bersama Hong-thian-lui. Rasa gusar Hong-thian-lui belum tumpas seluruhnya, sambil mengerang keras keras ia pentang kaki tangannya terus rebah celentang, kedua biji matanya mendelik mengawasi In-tiong-yan.

"Wah, agaknya masih marah padaku ya ? Huh, bila tidak kupandang muka Koksu, paling sedikit kau kuhajar tiga belas cambukan."

Bagasi kereta itu bagian luarnya tertutup kain tebal, kedua Busu yang mengendalikan kereta hanya mendengar suaranya, namun tak dapat melihat mimik wajahnya. Nada perkataan In-tiong-yan kedengarannya sangat marah, namun air mukanya mengulum senyum berkali-kali ia mengedipkan matanya memberi isyarat.

Watak Hong-thian-lui memang ketus, namun otaknya bisa berpikir dengan cermat. "Apakah dia punya rahasia yang hendak diberitahukan kepadaku ?"

Betul juga setelah mengacungkan jerijinya di depan mulut lalu ia menunduk, berbisik dipinggir telinganya. Dia menggunakan ilmu mengirim gelombang suara, apalagi mulutnya dekat sekali dipinggir telinga Hong-thian lui, sudah tentu kedua Busu yang duduk di bagian luar hanya mendengar suara makian saja.

Kata bisikan In tiong-yan adalah dua patah kata yang diajarkan oleh Sip It-sian, suaranya lirih sekali seperti suara nyamuk, tapi bagi pendengaran Hong-thian lui laksana geledek menggelegar. Tak tertahan lagi ia menjerit tertahan. Lekas lekas ln tiong-yan mendekat mulutnya. Terdengar ia berseru pura-pura menyukurkan. "Bagus, syukur! Biarlah kepalamu bencut sebesar telur." kedua Busu itu menyangka karena goncangan kereta yang berlari terlalu kencang sehingga Hong thian-Iui kebentur kepalanya, maka selanjutnya mereka sangat hati-hati melarikan kudanya.

Bisikan yang dikatakan In tiong-yan di-pinggir telinga Hong-thian lui adalah dua patah kata yang diajarkan Sip It-sian itu, dia menggunakan logat kampung Hong-thian-lui pula untuk mengucapkan kata-kata itu.

Kedua patah kata itu adalah "Tak dengar kata kugebuk pantatmu, ayo dengar nasehat, nanti kuberikan mainan baik padamu."

Kenapa Hong-thian-lui begitu terkejut mendengar kedua patah kata itu? Ternyata waktu dia masih kecil setiap kali Sip It-sian berkunjung kerumahnya selalu dia senang mengucapkan kedua patah kata ini, boleh dikata hampir menjadi pembukaan katanya setiap kali ia ketemu Hong-thian-lui.

Waktu kecil Sip It-sian sangat sayang kepadanya, sebagai pencopet nomor wahid diseluruh kolong langit setiap kali datang tentu dia membawa macam-macam permainan dan barang barang aneh hasil curiannya, diberikan kepada Hong-thian-lui, wajahnya selalu mengulum senyum pula sembari mengatakan kata-kata peringatannya itu. Kadang kala karena memang dia terlalu nakal, secara kenyataan dia memukul sesuai dengan ancamannya itu, namun hanya pelan pelan saja menepuk di pantatnya.

Baru sekarang Hong-thian lui menjadi paham, pikirnya In-tiong-yan tadi memukul pantatnya memang bertujuan mengurut dan melancarkan jalan darahnya, tapi tujuan yang lain merupakan suatu kisikan belaka In-tiong-yan bisa menggunakan logat kampungnya, mengatakan kedua patah kata itu, tak perlu ditanya lagi terang diberitahu oleh Sip It-sian. "Kenapa paman Sip mau anggap dia sebagai orang sendiri ?" demikian Hong-thian-lui bertanya-tanya dengan penuh keheranan.

Agaknya In-tiong-yan seperti mengetahui jalan pikirannya, lalu berbisik lagi dipinggir telinganya. "Apa kau ingin tahu kenapa Sip It-sian memberitahu kedua patah kata itu ? Karena ditukar dengan Pinghoat karya Go Yong itu."

In-tiong yan tersenyum manis, katanya lirih, "Paman Sipmu sudah percaya kepadaku, apa kau masih tidak mau percaya kepada aku ?"

Sekali lagi Hong thian-lui menjadi lebih paham, tanpa merasa hatinya menjadi haru menyesal dan berterima kasih pula, batinnya, "Tak heran dia memaki aku memfitnahnya semena-mena, tak tahu diuntung lagi. Ternyata dia betul seorang pendekar perempuan yang membantu aku dengan setulus hatinya. Demi mengambil kepercayaanku, dia berani berkorban menyerahkan Pinghoat Go Yong itu kepada paman Sip serta menyatakan isi hatinya untuk menukar kedua patah kata itu."

Sampai pada tahap sekarang Hong-thian-lui tidak lagi merasa curiga, namun sulit juga untuk membuka mulut menyatakan perasaan hatinya, terpaksa ia manggut-manggut, sinar matanya mengunjuk rasa haru terima kasih dan penuh kepercayaan.

In-tiong-yan berkata, "Paman Sipmu sudah tahu bahwa kau hendak digusur ke Yo-ka thong, disamping itu Geng Tian juga tengah memburu kerumahmu menyampaikan berita ini kepada ayah dan gurumu, mereka pasti akan datang menolong kau, maka kau harus menekan perasaanmu, bersabarlah sementara, asal kau mau percaya kepada aku begitu ada kesempatan, aku pasti mencari akal untuk menolongmu melarikan diri. Tapi dihadapan mereka, kau harus tetap pura-pura masih sangat membenci aku. Kau sudah paham ?"

Umong menunggang kuda mengiring jalan disamping kereta, tanyanya, "Tuan putri apakah bocah ini sudah mau dengar kata ?" ternyata waktu itu mereka tengah melewati sebuah pengkolan jalan dilembah sebuah pegunungan yang jalannya tidak rata sehingga kereta bergoyang sangat kerasnya dan kerai tutup kereta itu tersingkap, Umong sekilas melihat In-tiong-yan sedang membungkukkan badannya seperti sedang bicara apa apa dengan Hong-thian lui, namun sebetulnya ia tidak dengar apa yang sedang diperbincangkan.

In-tiong-yan terperanjat mendapat pertanyaan ini, pikirnya : "Orang ini Lwekang-nya cukup mendalam, meskipun aku menggunakan ilmu mengirim gelombang suara tapi juga harus hati hati." segera ia memberi isyarat kepada Hong-thian lui. Kontan Hong-thian-lui lantas memaki, "Siluman perempuan kau ini berani menganiaya aku, sekarang pura-pura baik hati main bujuk apa segala, aku tidak sudi kau obati."

In-tiong yan tertawa kejut, serunya : "Umong kau dengar tidak, kuobati luka-lukanya malah dia memaki ! Bocah keparat macammu ini apa tidak pantas dihajar ?"

Umong kena ditipunya, serunya, "Kalau dia toh takkan bakal mati, biarlah dia banyak menderita."

"Benar, bila Koksu tidak berpesan untuk meringkusnya hidup-hidup, masa aku sudi perdulikan dia," sembari berkata ia merogoh keluar Kim-yong yok lalu membubuhi luka luka ditubuh Hong-thian-lui.

Diam diam Hong thian lui membatin, "Ginkang Geng Tian memang hebat, tapi untuk pergi datang paling tidak memakan waktu sepuluh atau delapan hari. Semoga Lwekangku bisa lekas sembuh dan pulih kembali. Begitu guruku beramai datang, aku bisa membantu mereka bergerak dari dalam untuk menerjang keluar. In tiong-yan memang berlaku baik terhadap aku, tapi sebagai tuan putri bangsa Mongol bila aku dapat menerobos keluar sendiri tentu tidak usah menyusahkan dia."

Kalau Hong thian lui sedang mengenangkan Suhunya, sebaliknya gurunya juga sedang kangen dan kuatir pada keselamatannya.

Hari itu gurunya Cin Hou siau lebih pagi menyelesaikan latihan murid-muridnya lalu bersama putranya bertandang kerumah keluarga Ling. Sebelumnya pagi itu memang ayah Hong thian lui Ling Hou sudah berjanji padanya.

Kedua kawan tua ini begitu asyik beromong omong tanpa terasa sampai pada kentongan ketiga, boleh dikata Cin Hou-siau hampir melupakan waktu lagi untuk pulang kerumah.

Tidaklah heran kalau dalam percakapan mereka itu menyinggung tentang Hong thian-lui, Ling Hou berkata, "Anak Wi sudah pergi selama dua bulan, sampai sekarang masih belum pulang, aku menjadi sedikit kuatir padanya."

"Berada dirumah Lu Tang wan, kukira takkan terjadi sesuatu yang perlu dipikirkan." demikian Cin Hau siau menanggapi.

"Berada dirumah keluarga Lu sudah tentu aku sangat lega, yang kuatirkan justru perjalanannya ke Liang san itu."

Soal Hong thian lui menuju ke Liang san mencari Ping hoat sebetulnya Cin Liong hwi tidak tahu. Ternyata mengingat urusan ini besar penting artinya maka Cin Hou siau rahasiakan urusan ini kepada putranya, dia kuatir anaknya tidak bisa menyimpan rahasia ini, maka wanti-wanti ia berpesan kepada ayah Hong thian lui supaya tidak memberitahu rahasia ini kepada putranya. Sekarang karena sedikit lena tanpa sadar ia menyinggung soal itu.

Benar juga Cin Liong hwi lantas menyela bertanya, "Bukankah Liong-toako pergi ke keluarga Lu untuk menyampaikan selamat hari ulang tahun, kenapa pula dia menuju ke Liang-san? Apakah Liang-san tempat perkumpulan seratus delapan pahlawan gagah Liang san itu?"

"Bukan urusanmu, jangan banyak cerewet!" kontan Cin Hou siau memakinya. Lalu ia berpaling dan bicara lagi dengan Ling Hou, "perjalanan ke Liang-san itu memang mungkin menghadapi bahaya. Tapi kepandaian Ling Tiat-wi aku tahu. Didunia persilatan kecuali ia menghadapi tokoh kosen kelas tinggi betapapun dia tidak akan kena dirugikan."

Dicercah oleh ayahnya Cin Liong hwi menjadi kurang senang, pikirnya, "Pepatah berkata hubungan famili paling erat antar ayah dan anak. Kecuali ayahku ini, seolah-olah dia lebih erat dan kental kepada Hong-thian-Iui dari padaku. Demikian juga paman Ling ayahku begitu sayang kepada putranya, sebaliknya dia anggap aku sebagai orang luar, ada suatu rahasia apa selalu mengelabui aku!"

Tengah hatinya murung dan jengkel, terdengar ayahnya sedang berkata, "Bukan aku mau memuji anakmu bocah itu secara kenyataan jauh lebih unggul dari putraku ini!"

Cepat Ling Hou menanggapi, "Apa-apaan ucapanmu ini, menurut pandanganku justru keponakan Liong-hwi jauh lebih cerdik pandai."

"Memang secara lahiriah kelihatannya Liong-hwi lebih pintar, sayang hanya bagus luarnya kosong isinya. Tiat wi berwajah bodoh dan berkelakuan kasar hakikatnya otaknya cukup jernih dan gampang menyelami urusan. Sejak kecil punya pembawaan yang begitu baik, mau rajin belajar lagi, kelak tentu punya harapan yang jauh tinggi dari kita!"

"Ah, kau terlalu mengagulkan dia!" ujar Ling Hou, lahirnya dia bersikap sungkan dan wajar, sebetulnya dalam batin sangat senang. Diam2 Cin Liong hwi mengikuti pembicaraan ini hatinya semakin sirik.

Sementara itu Cin Hou Siau menyambung lagi, "Sebagal sahabat lama puluhan tahun, buat apa aku bicara sungkan kepada kau. Asal Liong hwi dapat memadai beberapa bagian dari putramu saja legalah hatiku. Umpamanya pelajaran ilmu Bik-le-ciang itu, hanya sepuluh delapan hari saja Liong-hwi cukup dapat mempelajarinya dengan apal. Sayang terpenting, betapapun baik permainan jurus tipunya juga tiada gunanya bukan? Sebaliknya jauh bedanya bila putramu yang mempelajarinya. Setiap jurus tipu permainannya tentu dia bolak balik mengulanginya sampai puluhan kali, gayanya tidak sebagus permainan Liong-hwi, tapi dia dapat mencangkok isi serta lebih menyempurnakannya. Aku sendiri bila sama sama menggunakan ilmu itu hanya dapat menang sejurus, tapi selisihnya sangat dekat!"

Omongannya memang kenyataan, justru karena kenyataan bagi pendengaran Cin Liong-hwi justru lebih mengecilkan arti dirinya diantara mereka. Sebetulnya biasanya dia sangat jelus dan iri kepada Hong thian lui, kini hatinya semakin terbakar dan dongkol sekali.

Baru saja Ling Hou mau membuka mata bicara baik Cin Liong-hwi tiba-tiba dilihatnya Cin Liong hwi meletakkan cawan araknya serta berseru heran, katanya, "Agaknya ada orang mengetuk pintu diluar?"

Ling Hou menjadi heran, ujarnya, "Hari sudah larut malam," katanya, "siapa lagi yang mau datang?"

"Anak Liong, coba kau tengok kedepan!" Cin Hou siau menyuruh anaknya membuka pintu.

"Semoga Tiat-wilah yang pulang," demikian Ling Hou-siau mengharap-harap.

Dalam pada itu Cin Liong-hwi sudah membuka pintu, tampak seorang laki-laki berusia pertengahan mengenakan topi bludru yang lebar menutupi separo wajahnya. Seorang tamu yang asing dan belum pernah dikenalnya, Cin Liong-hwi rada melengak, bentaknya, "Siapa kau?" orang asing itu menyahut lirih, "Jangan keras-keras biarlah aku masuk. Setelah bertemu dengan aku tentu Ling Hou tahu siapa aku adanya."

Keluarga Ling dan Cin sama-sama keturunan dari pahlawan gagah gunung Liang san, mereka mengasingkan diri secara rahasia di-kampung yang sepi tersembunyi lagi, kecuali beberapa kenalan lama, biasanya tak pernah berhubungan dengan orang luar. Teman keluarga Ling juga menjadi teman keluarga Cin, dasar cerdik Cin Liong hwi bisa berlaku waspada, selamanya dia belum pernah jumpa atau melihat orang asing ini, sudah tentu dia merasa curiga.

"Siapa she dan namamu? Datang dari mana? Sedikitnya harus kau kasih tahu padaku baru bisa kulaporkan kedalam," demikian tanya Cin Liong-hwi.

Orang itu mengerut alis, jawabnya, "Disini bukan tempat bicara, biarlah aku masuk dulu!" agaknya karena terburu hendak masuk sembari berkata tangannya lantas terulur maju serta mendorong Cin Liong hwi kesamping dengan perlahan-lahan.

Dasar sedang jengkel Cin Liong hwi semakin uring-uringan, pikirnya, "Setiap sahabat paman Ling dapat kukenal semua, orang ini tentu tak bermaksud baik." seiring dengan pikirannya secara gerak reflek ia menggesek sebelah kakinya terus menekuk dengkul rada jongkok sembari melancarkan ilmu Biau-kim-na-jiu tangannya membalik mencengkeram kepergelangan tangan orang; pikirnya hendak ajar adat pada orang.

Tak nyana begitu tangannya menyentil pergelangan tangan orang, mendadak terasa segulung tenaga keras membal balik menyentakkan tangannya. Keruan Cin Liong hwi sangat kejut, namun gerak geriknya juga cukup sebat, kedua jari dirangkapkan menjojoh ke-bawah menutuk jalan darah dilambung orang, tapi gampang sekali orang itu mendadak sikutnya menangkis, baru saja Cing Liong-hwi hendak merubah permainannya, tahu2 sudah kena disengkelit mundur, tanpa kuasa ia sempoyongan mundur beberapa langkah.

Orang itu melesat maju kedepan secara kebetulan memapah tubuh Cin Long hwi yang hampir terjungkal roboh. Saat mana mereka sudah berada didalam pekarangan rumah.

"Siapa itu bertingkah disini?" tampak Cin Hoa siau memburu keluar. Dibawah pancaran sinar rembulan begitu ia saling berhadapan dengan orang itu, kontan ia berseru tertahan.

Pada saat itu Ling Houpun sudah memburu keluar juga begitu melihat orang itu tanpa merasa ia menjadi kaget dan kegirangan, teriaknya, "Lu toako kiranya kau. Angin apa yang membawamu kemari? Aku suruh Tiat-wi menyampaikan selamat ulang tahunmu, apakah dia sudah kerumahmu?"

Ternyata orang ini bukan lain adalah Lu Tang-wan. Melihat orang tidak datang bersama puteranya, Ling Hou menjadi heran dan kuatir, maka begitu bertemu lantas mengajukan pertanyaannya itu.

"Ling toako," ujar Cin Hou Siau tertawa. "Kenapa kau begitu ceroboh, masa membiarkan sang tamu berdiri diluar dan kau ajak bicara disini?"

Ling Hou menjadi sadar, pikirannya, "Malam-malam Lu Tang-wan mencari aku, tentu kedatangannya sangat dirahasiakan!" bergegas ia menutup pintu serta menyeret Lu Tang-wan kedalam ruangan tamu.

"Liong-ji," ujar Cin Hou-siau setelah mereka duduk: "Ayo lekas berlutut kepada paman Lu. Bocah ini tidak tahu urusan, harap Lu-toako pandang mukaku suka memberi maaf akan kekurang ajaran tadi."

Lu Tang wan bergelak tawa, katanya, "Kiranya putera saudara Cin. Tak bisa salahkan dia. Tengah malam aku datang secara mendadak, sudah seharusnya ia berlaku hati hati dan waspada. Saudara Cin, kepandaian puteramu cukup hebat. Kau dapat mendidik puteramu sedemikian bagus, sungguh membuat aku ngiri. Jangankan salahkan dia," sembari berkata ia membimbing bangun Cin Liong-hwi.

Cin Hou-siau berkata, "Kenapa saudara Lu malah memujinya, bukankah sejurus saja dia tidak mampu menyambut seranganmu."

Lu Tang-wan berkata sungguh, "Para tunas muda mendatang yang kuat bertahan dari kebutan Hun-in-jiuku ini kukira tak banyak jumlahnya. Meskipun lwekang Cin si-heng rada lemah perubahan permainan tipu tipunya cukup baik dan tepat. Sekali pandang saja lantas aku tahu dia seorang anak yang sangat pintar. Kelak tentu punya harapan yang lebih tinggi dari kaum tua."

Cin Hou siau memang sering mengomeli puteranya tapi tujuannya supaya anaknya itu menjadi seorang yang berguna. Mendengar orang memuji puteranya, hatinya menjadi girang juga, "Begitulah harapanku. Lu toako harap kau suka memberi petunjuk kepadanya."

"Ah, kenapa sungkan. Ada kau sebagai ayah yang disiplin dan guru yang pandai, apa kau kuatir kepandaian puteramu tidak akan sempurna. Mengenai petunjuk aku tidak berani memberikan. Tapi dalam suatu kesempatan kelak aku harap Cin-siheng suka bertandang beberapa hari dirumahku, supaya Ling Tiat wi punya teman disana," dalam hati diam diam ia membatin: "Ilmu silat Tiat-wi jelas jauh lebih bagus dibanding dia, tapi soal kecakapannya terang jauh ketinggalan. Ai, ilmu silat dan raut muka sebetulnya memang sulit dicari keduanya yang sempurna."

Waktu kena disengkelit oleh Lu Tang-wan tadi sebetulnya Cin Liong-hwi merasa malu dan penasaran, belakangan serta mendengar orang memuji dirinya, hatinya menjadi senang dan terbuka. Segera ia menjura hormat serta menyatakan banyak terima kasih, mengambil air teh dan menyiapkan candu untuk Lu Tang-wan.

Waktu Ling Hou mendengar perkataan Lu Tang-wan supaya keponakan Tiat wi punya teman disana, sesaat ia menjadi tertegun namun lain saat ia menjadi kegirangan, cepat ia berkata, "Kalau begitu jadi anakku itu sudah sampai dirumahmu. Kenapa saudara Lu tidak membawanya pulang? Apakah telah terjadi sesuatu atas dirinya?"

Dilain pihak, Cin Hou-siau kelihatannya sedang tenggelam dalam pikirannya, serta merta ia menyalakan pelita lebih besar sehingga menyala lebih terang, dengan seksama ia pandang Lu Tang-wan.

Ternyata waktu ia mendengar Lu Tang-wan bergelak tawa tadi, hawa murninya kelihatannya kurang terhimpun, suaranya juga rada sember. Seorang tokoh Lwekeh selihay Lu Tang-wan adalah mustahil bila hawa murninya menjadi luber tanpa sebab, kalau itu benar sungguh sesuatu hal yang luar biasa.

Setelah sinar pelita lebih terang, ia dapat mengamati lebih jelas tampak muka Lu Tang wan rada berkeriut dan kuyu, tengah alisnya samar-samar ada setitik hawa hitam. Cin Hou-siau menjadi terkejut, pikirnya, "Apakah dia tengah terluka berat ?" Tapi karena Ling Hou sedang bicara dengan Lu Tang-wan, Cin Hou-siau sendiri juga ragu-ragu akan analisanya bila kurang tepat, kalau dikatakan tentu kurang enak. Terpaksa sementara waktu ia pendam isi hatinya.

Ling Hou seorang ahli dalam bahan-bahan peledak, sebaliknya ilmu silatnya biasa saja termasuk kelas kambing, kalau dibanding dengan sahabatnya Cin Hou-siau berbeda sangat jauh. Sudah tentu ia tidak tahu bila Lu Tang wan membekal luka dalam yang cukup parah. Apalagi ia sangat ingin mengetahui berita putranya, sudah tentu dia tidak begitu prihatin seperti Cin Hou siau.

Mendengar Ling Hou menanyakan Hong-thian-lui, sikap Lu Tang-wan menjadi kikuk katanya, "Ling-toako, bicara terus terang, kedatanganku ini adalah untuk menerima hukuman dan mohon maaf kepadamu, selain itu akupun perlu nyatakan terima kasih kepada kau."

Sudah tentu Ling Hou terkejut mendengar kata katanya itu, cepat ia bertanya, "Apakah Tiat-wi benar kena perkara ? Dia, bagaimana keadaannya sekarang?"

"Harap Ling toako melegakan hati, pada hari ulang tahunku itu Ling-siheng telah terpukul luka oleh si elang hitam Lian Tin san, untung luka lukanya tidak membahayakan jiwanya. Kira-kira satu bulan lagi baru bisa sembuh."

Sebagai tokoh silat kenamaan sudah tentu Cin Hou-siau mengenal macam apa tokoh si elang hitam Lian Tin-san itu, tanpa merasa ia menjerit kuatir, serunya gugup, "Apa Ling Tiat-wi berkelahi melawan Lian Tin-san ? Sungguh besar nyali bocah itu. Untung berada dirumahmu, Toako." menurut dugaan Cin Hou-siau, Ling Tiat wi tidak sampai terpukul mampus oleh Lian Tin-san tentu berkat bantuan Lu Tang wan.

Tak duga Lu Tang wan segera memberi penjelasan, "Supaya kalian berdua tidak kuatir dan terhibur, Ling siheng memang hanya terluka ringan saja. Tapi ia berhasil mengalahkan Lian Tin san sehingga dia melarikan diri ! hakikatnya tanpa aku turun tangan lagi."

Cin Hou-siau hampir tidak percaya akan pendengaran kupingnya, tanyanya tersekat sekat, "Tiat wi mengalahkan Lian Tin-san, apakah ucapanmu benar?"

"Apa kau kira aku guyon-guyon ?" ujar Lu Tang-wan tertawa geli. "hari itu banyak kawan dari berbagai tempat yang sudi meluangkan waktunya untuk menghadiri hari ulang tahunku, para tokoh-tokoh Kangouw yang kenamaan pun banyak yang hadir, paling tidak kira-kira tiga empat ratus orang. Di bawah sorotan mata para hadirin si Elang hitam Lian Tin san secara kenyataan telah digebah lari pontang panting oleh Ling siheng. Hehe, haha, maka tadi kukatakan Ling toako meskipun putramu sedikit terluka, namun luka lukanya itu cukup berharga. Anakmu sudah menjunjung nama dan angkat gengsi di hadapan sekian banyak orang orang gagah !"

"Ling-toako," seru Cin Hou siau ikut girang, "ucapan saudara Lu memang benar, peristiwa ini betul-betul sangat menggirangkan."

Ling Hou tertawa sambil mulutnya ternganga lebar, katanya, "Semua ini adalah berkat jasa saudara Cin. Tanpa adanya guru ternama ini, mana mungkin anakku ini mampu bergebrak dengan si Elang hitam !"

Dari samping Cin Liong-hwi mendengarkan percakapan mereka, semakin lama hatinya makin mendelu, pikirnya, "Tiat-wi bocah gendeng itu sekarang menjadi ternama sudah dihadapan tokoh silat diseluruh dunia, dia angkat gengsi perguruan. Sebaliknya putra kandung ayahku sekarang masih mengeram diatas gunung tanpa dikenal umum. Kelak bila aku kelana di Kangouw bila menyebut dia sebagai Suhengku, paling tidak aku hanya kecipratan getahnya saja," demikianlah Cin Liong-hwi berpikir secara negatif.

Sementara itu Lu Tang-wan sedang melanjutkan, "Ling-siheng memukul jatuh Lian Tin-san bukan saja menjaga nama baik dan gengsiku. Bagi dia karena bencana dia malah memperoleh keuntungan, namun bagi aku sungguh aku sangat menyesal dan prihatin. Oleh karena itu sengaja aku kemari untuk menyatakan terima kasihku kepada kalian berdua, disamping itu aku mohon maaf kepada saudara Ling karena aku tidak becus melindungi putramu."

"Lu-toako jangan bicara begitu, kau sudah menyempurnakan tujuan anakku, terima kasih saja belum sempat kuucapkan padamu. Tapi cara bagaimana dia sampai bergebrak dengan Lian Tin san ?"

"Begini . . . " selanjutnya secara panjang lebar Lu Tang-wan menceritakan kejadian hari itu secara blak-blakan, ia terangkan itu juga Lian Tin san yang hendak menuntut balas itu.

Setelah selesai Lu Tang wan menambahi, sembari tertawa, "Hari itu murid tunggal Lu Tang-wan mengocar kacirkan semua murid-muridku dan keadaan yang serba sulit itu bila aku benar dapat mengalahkan si Elang hitam juga kurang dapat dibanggakan. Untung sebagai seorang angkatan lebih muda, putramu tampil kedepan merobohkan mereka guru dan murid. Maka tadi kukatakan putramulah yang telah menegakkan gengsi dan mukaku, aku bicara dengan kenyataan, sedikit pun tidak mengagulkan dia."

Betapa girang Ling Hou sukar dilukiskan dengan kata-kata. Katanya, "Siaute ada menulis sepucuk surat kubawakan anakku supaya disampaikan kepadamu, kukira saudara Lu sudah membacanya bukan?" dalam hati ia membatin, "Tiat-wi bocah itu sudah membantu dia begitu besar artinya, urusan perjodohan ini terang tak perlu disangsikan lagi."

"O ya, sudah saatnya aku membicarakan urusan pribadi ini dengan Ling toako, sifat dan ilmu silat putramu jarang dicarikan bandingan, hehe ini, Siaute tidak perlu banyak kata," wajahnya mengulum tawa, namun tawanya kelihatan dipaksakan.

Kelihatan Ling Hou belum meraba maksud kata-katanya yang mengandung arti lain, katanya girang, "Banyak terima kasih akan pujianmu kepadanya, Ialu bagaimana menurut maksud saudara Lu?"

Pelan-pelan Lu Tang-wan berkata, "putramu sedang merawat luka lukanya dirumahku, setiap hari putrikulah yang meladeninya, kelihatannya mereka berdua sangat cocok. Tapi, tapi....."

"Tapi bagaimana?" tanya Ling Hou tercengang.

"Tapi menurut istriku, katanya usia mereka masih sangat muda apalagi putrinya sedang merawat luka lagi, lebih baik menunggu setelah luka-luka anakmu sembuh baru dibicarakan lagi."

Penjelasan Lu Tang wan sebetulnya cukup jelas dan merendah, tapi lapat lapat ia memberi tahu bahwa dia dan putrinya menyenangi Ling Tiat wi, hanya karena sang istri sementara belum setuju, maka harus ditunda dulu.

Mau tidak mau timbul rasa curiga Ling Hou. "Mungkin luka yang diderita Tiat-wi bakal membuatnya cacat seumur hidup. Sehingga Lu toaso harus menunda sementara setelah luka-lukanya itu sembuh baru membicarakan lagi soal perjodohan ini?" hatinya menjadi kurang senang, katanya tawar : "Banyak terima kasih akan rawatan putrimu kepada anakku itu, kita bicarakan kelak setelah luka-lukanya sembuh juga baik."

"Harap saudara Ling tidak salah paham, bicara terus terang, bila minta aku segera mengadakan perjamuan nikah dalam satu setengah tahun ini, hati ada maksud namun tenagaku takkan mampu melaksanakan."

Ling Hou merasa diluar dugaan, dia heran, batinnya : "Apa maksudnya ini ?" tengah ia kebingungan terdengar Cin Hou siau sudah menyela bicara, "Kalau saudara Lu tidak katakan, aku pun tidak berani banyak bertanya. Adakah sesuatu yang kurang sehat atas badan saudara Lu ?"

Lu Tang-wan bergelak tawa ujarnya, "Tak malu saudara Cin sebagai ahli silat yang kenamaan, kau dapat melihat bahwa aku terluka dalam."

Ling Hou terperanjat, tanyanya, "Siapa orangnya yang mampu melukai kau saudara Lu ?"

"Sungguh menyesal, aku dilukai orang itu, nama atau shenya sedikitpun aku tidak tahu. Ingin aku mohon keterangan dari kalian berdua."

"Itulah kejadian magrib tadi, kejadiannya hanya beberapa jam yang lalu," Begitulah Lu Tang wan menceritakan pengalamannya yang aneh. Pengalamannya ini membuat Cin Hou-siau heran dan kuatir.

Ternyata Lu Tang-wan belum pernah bertandang kerumah keluarga Ling, dia hanya tahu nama kampungnya tapi tidak tahu dimana letak dan jurusannya. Pengalaman anehnya itu justru terjadi pada waktu ia bertanya dijalan.

Lu Tang wan berkata, "Cuaca sudah hampir gelap, sepanjang jalan ini sepi tiada tampak seorangpun berlalu lalang, tengah aku celingukan dan kuatir tiada seorang yang dapat kutanyai jalan secara kebetulan ada seorang laksana dedemit saja menerobos keluar dari dalam hutan. Waktu kulihat, tampak orang ini rada luar biasa."

Cin Liong-hwi menjadi ketarik, tanyanya, "Apanya yang luar biasa ?"

"Raut muka orang itu kaku membesi tanpa expresi. Tapi tak dapat mengelabui sepasang mataku, terang dia mengenakan kedok."

"Hah, mengenakan kedok muka, terang dia dari kalangan hitam."

"Aku sedang menimang apakah aku perlu tanya kepadanya, tahu tahu dia sudah bertanya dulu kepadaku, katanya, "Kau tuan ini rada asing bagiku, apakah tuan datang dari luar daerah? Harap tanya siapa yang hendak kau cari?''

"Dari logat kata-katanya kudengar dia pasti orang setempat meski aku tahu dia dari golongan hitam, hanya tanya jalan saja apa pula halangannya?"

"Begitu kukatakan kampung kediaman saudara Ling, orang itu lantas berkata pula: "Tentu kau hendak mencari Ling Hou bukan?! Kukatakan benar, lalu bagaimana? Orang itu lantas menyeringai dingin : "Tidak kenapa. Aku hanya ingin menjajal kepandaian Bian ciang yang diagulkan oleh Lu Tang wan di-daerah Ciangkang timur itu, hari ini beruntung dapat bertemu disini, mohon suka memberi petunjuk."

Cin Hou-siau berseru heran, katanya, "Kalau begitu jelas dia sudah tahu siapa kau sebenarnya?''

"Aku curiga dia sebagai komplotan si Elang hitam, entah cara bagaimana dapat mengetahui rahasia asal usul saudara Ling, mesti dan sudah tahu bahwa aku bakal datang kemari maka sengaja mencegat ditengah jalan."

"Kalau benar begitu, berarti akulah yang menyebabkan kau menderita." Demikian kata Ling Hou cemas.

Merah muka Lu Tang wan, katanya, "Saudara Ling, ucapanmu ini bukanlah anggap aku orang luar malah? Jangan kata putramu sudah menanam budi kepada aku, mengandal hubungan kental kita selama ini betapapun aku tidak takut kena kerembet oleh kau," sebetulnya kata katanya terakhir ini rada menyimpang dari suara sanubarinya. Memang secara tepat kata kata Ling Hou mengenai lubuk hatinya.

"Mereka ada berapa banyak orang?" tanya Cin Hou-siau. Menurut perhitungannya, bila satu lawan satu orang yang dapat melukai Lu Tang-wan jumlahnya tidaklah banyak. Maka dia ajukan pertanyaan ini. "Hanya dia seorang saja !" jawab Lu Tang wan sambil menghela napas rawan. "Dia menang dulu baru turun tangan, tak malu sebagai seorang tokoh kosen,'' bicara sampai disini ia membuka bajunya seraya berkata lagi, "Saudara Cin, pengalaman dan pengetahuanmu luas apakah kau kenal ilmu pukulan beracun apakah ini, mungkin dari sini dapat diketahui sumber penyelidikan?"

Tampak pakaian sebelah dalamnya sobek hangus persis benar seperti telapak tangan manusia, sedang kulit dadanya berbekas sebuah tutukan jari warna hitam. Cin Hou siau adalah seorang ahli dalam bidangnya, setelah memeriksa sekian lamanya jantungnya berdebar keras pikirnya, "Tenaga pukulan orang itu dapat menembus kain baju melukai tubuh orang, tenaga pukulan lunak yang hebat ini sungguh luar biasa. Dada Lu Tang wan hanya terluka oleh tutukan jarinya saja, sembilan bagian dari kekuatan pukulan telapak tangan itu kena dipunahkan. Kekuatan Lwekang Lu Tang wan inipun jarang diketemukan di Bulim.''

"Apakah saudara Cin sudah dapat meraba asal usul pukulan jahat ini?''

Cin Hou siau tertawa getir, sahutnya, "sungguh menyesal entah pukulan beracun macam apa ternyata begitu lihay?"

Lu Tang-wan berkata, "Aku terkena sebuah pukulan keparat itu, diapun beracun, kuberondong tiga jotosan, luka yang dideritanya mungkin juga tidak ringan. Hehe, bila dia berani bertempur lebih lama lagi, asal kuat bertahan selama setengah matang hio, pasti aku bakal mampus ditangannya. Sayang dia tidak berani, aku masih kuat berdiri sedang dia sudah ngacir."

Cin Hou siau menimang-nimang. "Bian ciang kepandaian Lu Tang-wan itu sudah sempurna dan dapat menghancurkan baru keras, orang itu mampu bertahan setelah kena tiga kali pukulannya, kekuatan badannya itu juga cukup mengejutkan. Dia dapat melukai Lu Tang wan terang bukan melulu mengandal kepandaian pukulan beracunnya saja."

Lu Tang wan melanjutkan, "Untung dia berlari sangat kencang, kalau tidak aku tiada tenaga lagi dapat menuju kemari. Hari sudah petang lagi, terpaksa aku menggeremet dan berpura-pura diperkampungan sekitar sini baru akhirnya dapat menemukan rumahmu. Untung pula kudengar suara percakapan kalian baru aku berani mengetuk pintu."

Cin Liong-hwi merasa sangat heran dan kejut, pikirannya; "Paman Lu ini sudah terluka keracunan lagi, tapi aku tidak mampu menghadapi dua jurus serangannya, kepandaiannya ini mungkin ayah sendiri juga tidak mampu memadal" Hakikatnya kepandaian Bik lik ciang warisan keluarganya bila dapat berlatih sampai puncak kesempurnaannya, cukup berkelebihan untuk melawan ilmu Bianciang Lu Tang wan. Dia sendiri pokrol bambu saja, hanya tahu mengagumi dan mengiri kepandaian orang lain.

Bukan kepalang kaget Ling Hou, katanya, "Lu-toako, kau datang kemari, malah mengalami bencana ini sungguh membuat aku merasa risi. Kau terluka parah, sudah jangan banyak bicara lagi. Istirahat dulu, besok pagi biar kucarikan tabib untuk mengobati luka lukamu."

"Tabib biasa mana dapat mengobati luka lukaku ini," demikian jawab Lu Tang-wan. "Saudara Ling tak usah kuatir, luka lukaku ini bisa sembuh sendiri, cuma memakan waktu sepuluh hari atau setengah bulan saja. Saudara Ling, justru membikin susah kau saja."

Sebagai akhli silat Cin Hou-siau tahu bahwa Lu Tang wan hendak mengobati luka-lukanya dengan kekuatan Lweekang sendiri mengusir racun keluar dari dalam badan, segera ia berkata; "Lwekang yang saudara Lu latih bukankah dari aliran Siau-lim-pay?"

Lu Tang wan tercengang, sahutnya, "Benar."

"Ajaran Lwekang Siau-lim mengutamakan kemurnian yang positip, hampir serumpun dengan Lwekang warisan sekeluargaku. Kalau saudara Lu sudi biarlah Siaute memberanikan diri untuk membantu."

Lu Tang-wan kegirangan namun lahirnya tenang-tenang saja sahutnya, "menguras tenaga dalam saudara Cin saja, sungguh Siaute menjadi rikuh dan kurang tentram."

Cin Hou-siau terbahak, katanya, "Muridku merawat luka dirumahmu, sebaliknya kau merawat luka dirumah ayahnya, kalau hanya urusan sekecil ini kau larang aku membantu sebisaku saja, bukankah kau anggap aku ini orang luar? Ling toako sediakan sebuah kamar untuk istirahat saudara Lu. Hari ini aku tidak pulang." Ternyata penghidupan Cin Hou siau sehari-hari mengandal bayaran dari para muridnya yang belajar silat padanya. Bu-koan atau balai persilatan adalah rumahnya dimana terlalu banyak orang maka tak mungkin dia bawa Lu Tang wan kerumahnya.

Ling Hoa berkata, "Aku punya sebuah kamar buku yang cukup untuk tempat tinggal Lu toako. Kita sudah dua puluhan tahun tak pernah jumpa, bukan aku suka bicara ngelantur harapanku supaya Lu toako bisa tinggal beberapa hari lebih lama disini."

Lu Tang-wan tertawa, ujarnya, "Sebetulnya aku hendak mengundang kalian berdua berkunjung kerumahku sekarang malah aku yang tinggal dirumahmu. Kalau aku tidak lekas kembali mungkin putramu akan gelisah." Waktu berkata-kata pandangan matanya menatap kepada Cin Liong hwi.

Pandangan Cin Hoa Siau tajam dan luas pengalaman lagi, begitu melihat sikap orang yang memandangi Cin Liong-hwi, lantas dia paham maksud hatinya. Dalam hati ia lantas berpikir, "Tiat wi tinggal dirumahnya merawat luka-luka, aku dan Ling toako harus merawatnya pula disini, saat ini tak mungkin kami menengok anak Wi kesana, yang bisa meninggalkan rumah sekarang hanya anak Liong seorang. Tapi kepandaian bocah ini belum matang, wataknya suka ugal-ugalan lagi kepintarannya membuat dirinya keblinger, sukar dipasrahi urusan. Bila suruh dia seorang kelana di Kangouw betapapun aku kurang lega?"

Jalan pikiran Ling Hou sama dengan kawan tuanya ini, dia tahu kesukaran sahabatnya ini, segera ia terbahak-bahak serta berkata: "Anakku itu merawat luka-lukanya dirumah Lu toako, bila sudah pulih kembali baru kita berangkat bersama."

Cin Hou-siau segera berpesan kepada putranya, "Liong-hwi, kau pulanglah beritahu kepada ibumu, katakan malam ini aku tidak pulang kerumah. Besok akupun tiada waktu pulang, para murid dalam Bu koan itu semua kuserahkan kepadamu."

Para murid di Bukoannya itu adalah anak anak kampung sekitarnya, tujuan mereka berlatih silat hanya untuk menyehatkan badan, maka biasanya juga Hong-thian-lui saja yang mengajarkan mereka sudah cukup. Kepandaian Cin Liong hwi memang belum sempurna, namun untuk mengajar kepada para murid murid desa itu cukup berkelebihan.

Dengan perasaan gelisah dan kurang tentram Cin Liong-hwi lewatkan malam itu, hari kedua pagi-pagi benar, para murid baru dalam Bu-koan beruntun berdatangan, Cin Liong-hwi lantas berkata kepada mereka. 'Hari ini akulah yang mengajar kalian, marilah kita latihan dilapangan berumput dibelakang gunung."

Ada beberapa murid saat mana sudah berlatih pada tahap berpasangan adu tenaga, tubruk sengkelit dan banting, biasanya mereka berlatih ditengah pekarangan rumah keluarga Cin yang cukup luas, namun bila buat latihan saling dorong mendorong tempat seluas itu menjadi rada sempit, gerak gerik kurang leluasa. Sudah tentu ajakan Cin Liong-hwi untuk latihan dilapangan berumput dibelakang gunung itu kontan mendapat sambutan sorak sorak mereka, segera mereka berbondong bondong menuju kesana.

Tujuan Cin Liong-hwi adalah hendak melapangkan dadanya yang kesal dan menghibur diri, namun betapapun kejadian tadi malam selalu menggugat benaknya; semakin dipikir rasanya semakin penasaran.

Biasanya dia tiada punya kesabaran memberi petunjuk kepada murid murid itu. Sekarang kebentur hatinya sedang murung lagi sudah tentu cara ajaran ajaran semakin tidak sabar lagi.

Ada seorang murid yang belum lama belajar, Cin Liong-hwi mengajaknya berpasangan latihan adu tangan, tanpa terasa semakin lama cara turun tangannya terlalu berat, tenaganya semakin besar, kontan ia membanting murid kecil itu terlalu keras.

Murid kecil itu jidatnya pecah berdarah, untung darah tidak banyak mengalir, setelah dibubuhi Kim jong yok lantas bumpet dan tidak sakit lagi. Meskipun lukanya tidak berat tapi murid kecil ini menjadi merengut dan uring uringan, tak tahan lagi ia lantas ngomeli Cin Liong hwi, "Biasanya bila Toa-suheng mengajar aku, caranya begitu halus dan tidak pernah terbanting keras, ai, begitu dia keluar pintu, celakanya justeru akulah yang ketiban nasib jelek."

Cin Liong-hwi sendiri sedang murung dan kesal, walaupun murid kecil ini tidak mengomeli secara langsung kepadanya, jelas membeda-bedakan dirinya dengan Hong-thian-lui, hal ini justru mengorek kelemahannya yang paling fatal. Kontan membara amarah Cin Liong-hwi, semprotnya, "Orang siapa yang tidak kena gebuk atau terbanting dalam latihan silat. Adalah kau sendiri yang goblok sebaliknya menyalahkan aku !"

Siau-sute itu sudah terbanting luka kini dimaki lagi, tak tahan lagi iapun balas mendebat, katanya, "Ji suko, memang aku goblok. Tapi justru kau ini orang pintar. Toa-suko kalah jauh dibanding kepintaranmu. Tapi kenapa pelajaran silat yang kau pelajari kok tidak lebih unggul dibanding Toa-suko ?"

Cin Liong-hwi menjadi murka, serunya, "Bagus, dimana kalian hanya ada Toa-suko tanpa ada aku. Aku tak sudi mengajar kalian lagi."

Siau-sute itu menggerutu, "Tidak mengajar kitapun tidak mau ajar, emangnya kita sudi ?"

Merah padam muka Cin Liong-hwi tangannya sudah terkepal hampir memukul, untung nalarnya masih bisa terkendali, "aku sudah membantingnya terluka bila pukul dia lagi, kan memalukan saja, bukan saja bakal menimbulkan perlawanan mereka, bila ayah tahu pasti dia akan memarahi aku pula, pukulan ini mana boleh kuturunkan ?"

Beberapa murid yang berusia lebih tua segera maju melerai dan membujuk, "Siau-kwi-cu mana boleh kau berlaku kurang ajar terhadap ji suko, ayo lekas berlutut mohon maaf kepada Ji-suko. Ji-suko, usia Siau-kwi-cu masih kecil tidak tahu urusan, kau jangan berpandangan begitu cupat seperti dia. Harap Ji-suko tidak marah, marilah beri petunjuk pada kita beramai."

Cin Liong-hwi menjadi kikuk dan risi dirubung sebanyak para sutenya, setelah menghela napas ia berkata, "Masa pandanganku secupat seperti Siau-kwi cu. tapi hari ini badanku kurang enak, silahkan kalian latihan sendiri saja dirumah !"

Setelah terjadi peristiwa yang tidak menyenangkan ini, semangat mereka menjadi luntur, tiada minat untuk berlatih lagi dengan Cin Liong-hwi. Seorang murid yang tertua segera tampil kedepan bicara. "Badan Ji-suko kurang enak, marilah kita pulang saja."

"Kalian tidak usah hiraukan aku, aku ingin bermain disini sebentar."

Para murid murid itu mengiakan, beramai-ramai mereka bubar dan pulang.

Setelah menyadari Cin Liong-hwi menjadi kecewa dan menyesal akan sikapnya yang kurang wajar. Rombongan murid-murid itu sudah rada jauh namun lapat lapat suara percakapan mereka sedang memperbincangkan dirinya. "Masa badan Ji suko tak enak pada segala alasan belaka, yang benar hatinyalah yang kurang enak. Siau-kwi cu bila bicara terlalu kasar tak tahu adat. selamanya Ji suko paling tidak senang bila dikatakan tidak bisa memadai Toa-suko. Walaupun ia tidak pernah bicara langsung, tapi kita kan sudah tahu. Dasar kau ini yang tidak tahu adat." Siau-kwi-cu membantah, "Bukan aku tidak tahu, soalnya aku menjadi jengkel. Sebetulnya memang dia kalah bila dibanding dengan Toa-suko, aku kan tidak membual. Kelak bila dia maki aku, tetap aku kan berkata demikian."

"Sudahlah, Siauw kwi cu kau tak perlu banyak cerewet lagi ! Pandangan Ji-suko memang rada sempit, tak heran kalau Siauw-kwi cu menista dia."

Mendengar perdebatan mereka itu semakin sebal dan sesak badan Cin Liong hwi, pikirnya, "Ayah menghina aku, para Sute juga pandang ringan aku, semua umpakan dan sanjung puji semua dimiliki oleh Hong thian-lui. Kapan baru aku dapat angkat nama dan mengagulkan diri ?"

Alam pegunungan dan sunyi ini tinggal dia seorang diri, dada yang sesak dan rasa sesak ini sungguh sukar terlampias. Tak terasa lagi ia mulai menggerakkan tangan memasang kuda kuda bergaya main silat, terpandang dalam angan angannya Hong-thian lui berdiri dihadapannya, setiap pukulan dan tendangannya tentu telak mengenai badan Hong-thian-lui, begitulah cara ia melampiaskan kedongkolan yang mengeram dihatinya.

"Blang !" tahu-tahu kepalan Cin Liong-hwi menghantam diatas batang sebuah pohon, kontan ia rasakan kepalannya kesakitan dan melepuh, sungguh sakit luar biasa. Dua pohon berhamburan jatuh, namun tiada sebatang ranting pohonpun yang patah.

Rasa kesakitan itu menyentak sadarkan pikiran Cin Liong hwi, ia menyedot hawa segar sambil mengurut-ngurut jarinya. Pikirnya, "Memang kenyataan aku kalah dibanding bocah gendeng itu, berlatih sepuluh tahun lagi juga belum tentu dapat mengungkuli dia." ternyata pukulannya terakhir tadi dia gunakan sejurus ilmu Bik-lek-ciang yang paling liehay dan berat hantamannya.

Hong thian-lui bisa menggunakan jurus ini untuk latihan memukul batang pohon, setiap kali pukul, ranting-ranting pohon paling tidak berpatah dan berhamburan jatuh ketanah.

Disaat itulah mendadak dibelakang pohon terdengar orang menjengek tawa dingin. Cin Liong-hwi terkejut, bentaknya, "Siapa?" belum lenyap suaranya dari balik pohon Siong itu berjalan keluar seorang laki-laki yang mengenakan pakaian hijau.

Begitu melihat orang ini serta merta bergidik dan terasa dingin tengkuk Cin Liong-hwi. Ternyata mulut orang ini menyeringai tawa, namun wajahnya tetap kelihatan dingin membeku tanpa expresi.

"Apa yang kau tertawakan ?" bentak Cin Liong hwi.

Laki laki baju hitam itu berkata tawar, "Kutertawakan permainan silat kembangan dan tendangan kosongmu. Umpama sepuluh tahun lagi berlatih juga akan sia-sia tak dapat mengungkuli orang. Ai, kau tidak mawas diri, pintarmu membuat guru guru saja mengumbar adat. Seumpama perutmu pecah saking jengkel apa pula gunanya. Ai, sungguh sungguh menggelikan !" dari beberapa patah katanya ini jelas diketahui bahwa sejak tadi dia sudah tiba ditempat itu. Perbincangan para murid mengenai diri Cin Liong-hwi terang juga sudah didengar semua olehnya.

Lajimnya mengandal kecerdikan Cin Liong-hwi seharusnya dia sudah tahu bahwa orang yang dihadapi ini bukan orang sembarangan. Tapi dia sudah dirundung kemarahan yang memuncak, setelah mendengar olok-olok yang menghina itu, seperti pelita disiram minyak, semakin berkobar amarahnya, bentaknya, "Menurut katamu, jadi kau ini seorang ahli dalam bidang ini."

Orang itu mengekeh dingin, ujarnya : "Ahli, kata ini sukar untuk diterapkan secara tepat, itu harus dikatakan kepada siapa ?" sembari berkata matanya pelirak pelirik dengan sikap yang sangat memandang rendah Cin Liong-hwi sendiri.

Semakin bergejolak amarah Cin Liong-hwi katanya tertawa dingin, "Kalau tak ungkulan dibanding orang, masa tidak ungkulan dibanding kau. Baik, mari aku belajar kenal dengan kepandaianmu."

Laki-laki baju hijau itu malah menggeleng kepala, katanya : "Aku tidak mau bergebrak dengan kau."

"Huh," dengus Cin Liong-hwi, ejeknya menyeringai, "Mulutmu bicara besar, kiranya juga begitu saja ilmu yang kau pelajari, kalau tidak berani bertanding silakan minggat dan jangan banyak cerewet disini."

Wajah laki-laki itu tetap kaku dingin tak bergerak, sedikitpun ia tidak jadi marah oleh sindiran Cin Liong-hwi, katanya, "Kau tahu apa, aku tidak mau gebrak dengan kau karena ada sebabnya. Tapi bila hanya bertanding kepandaian saja boleh deh !"

"Bertanding cara bagaimana; silakan sebutkan !" tantang Cin Liong-hwi.

"Aku perlu bicara dimuka, jikalau kau kalah dan tunduk lahir batin, kau harus berlutut dan menyembah dan angkat guru kepada aku."

Cin Liong-hwi, seorang yang gampang diumpak dan gampang dipancing perasaannya, tanpa memikirkan akan segala akibatnya, kontan ia menyemprot dengan murka, "Bila kau yang kalah ?"

Orang itu tertawa, ujarnya, "Hormat menghormati sudah tentu aku juga angkat kau menjadi guruku. Tak perduli usiamu jauh lebih muda dari aku."

"Baik," seru Cin Liong-hwi. "mari dimulai. Bertanding cara apa ?" dalam benaknya berpikir. "Pertandingan ini bukan mengadu kekerasan. Tadi dia bilang hendak membuatkan dan patuh supaya angkat guru padanya seandainya benar aku kalah, dimulut kukatakan tidak tunduk, juga bukan berarti aku melanggar janji."

Belum habis jalan pikirannya, terdengar laki-laki baju hijau itu sedang berkata, "Tadi kau pukul batang pohon ini, kau sudah tunjukkan jurus ilmu Bik-le-ciang dari warisan keluargamu yang paling ampuh. Sekarang menjadi giliranku untuk memukul juga batang pohon ini untuk dibanding dengan kau, bagaimana menurut pendapatmu ?"

Melihat orang bertubuh kurus kering, kulitnya kuning kuyu seperti berpenyakitan, tidak seperti tokoh lwekang yang liehay, maka tanpa beragu lagi Cin Liong-hwi berkata, "Baik begitulah jadi aku tidak perlu memukul lagi?"

"Memang kepalanmu sudah melepuh, bila mukul lagi pasti jauh lebih lemah dari pukulan pertama."

Kena terkorek kelemahannya Cin Liong hwi menjadi malu dan merah jengah seluruh mukanya, bentaknya, "Ayo lekas pukul, cerewet apa lagi ?"

Laki-iaki baju hijau itu berkata pelan-pelan, "Baik, coba kau perhatikan." enteng sekali pukulannya dihantamkan tanpa bersuara tidak membawa kesiur angin. Begitu kepalan mengenai batang pohon, sedikitpun pohon itu tidak tergetar atau bergoyang.

Cin Liong-hwi terbahak-bahak, ujarnya, "Walaupun kepandaianku tidak becus, jelek-jelek pukulanku merontokkan banyak daun pohon, sedang kau, pukulanmu merontokkan daun pohonpun tidak, apa apa kau tidak lekas menyerah kalah? Hehehe, haha lekas berlutut dan menyembah kepada aku, angkat aku sebagai guru."

Orang itu berdiri menggendong tangan, sikapnya acuh tak acuh seperti tak dengar dan tak melihat sikap congkak Cin Liong hwi yang takabur itu.

Gelak tawa Cin Liong-hwi semakin lemah, mendadak air mukanya mengunjuk rasa heran dan terbelalak heran, wajahnya kaku dan tak mampu tertawa lagi.

Tampak olehnya dalam sekejap lalu seluruh daun pohon menjadi layu dan menguning, seluruh dahan ranting dan pohon itu menjadi kuyu dan kering tak hidup lagi.

Sebelum ini batang pohon siong itu subur menghijau, sekarang mendadak berubah menjadi kuyu dan kering tak hidup lagi.

Berselang tak lama lagi, terdengar suara keretakan dari patahnya dahan-dahan pohon itu, bukan saja seluruh daunnya rontok menguning, seluruh ranting-rantingnya juga berjatuhan tinggal batangnya saja yang gundul.

Baru sekarang laki baju hijau itu buka suara, katanya, "Ai, demi pertandingan ini sebuah pohon siong yang hidup subur harus menjadi kurban. Sekarang kau harus paham kenapa aku tadi tidak mau bergebrak dengan kau?"

Cin Liong-hwi kesima, mulutnya terpentang lebar, matanya mendelik tak mampu buka suara dalam hati ia membatin, "Bila badan manusia yang terdiri dari daging dan tulang kena pukulan ini betapa akibatnya?"

"Kau sudah menyerah kalah lahir batin belum?'' tanya laki-laki baju hijau.

Diam-diam Cin Liong-hwi menepekur. "Kepandaian silat orang ini begitu lihay bila aku angkat dia sebagai guru kelak tentu akan dapat mengalahkan Hong thian-lui bocah keparat itu. Tapi mana boleh aku angkat dia sebagai guru secara resmi?" begitulah hati dirudung kekuatiran dan bersangsi namun lahirnya ia tetap mengakui keunggulan lawan, katanya, "ilmu silatmu kenyataan memang jauh lebih tinggi dari aku, aku tunduk."

"Kalau begitu ayo lekas maju berlutut dan menyembah angkat guru kepadaku."

Cin Liong hwi menjadi tersekat sekat, katanya; "Bukan aku hendak menjilat ludahku sendiri, hal ini, ini . . . ."

Laki-laki baju hijau seperti dapat meraba isi hatinya, katanya, "Kau hendak pulang minta restu dari ayahmu bukan?"

"Betul, urusan besar begini, betapapun aku harus lapor dan minta ijin kepada ayahku."

Berubah air muka laki baju hijau mukanya sungguh-sungguh katanya: "Ketahuilah, bila kau angkat aku sebagai guru maka jangan sampai diketahui oleh orang lain. Aku sendiri akupun tidak akan membocorkan rahasia ini. Bila dihadapan orang luar, anggap saja kau dan aku tidak pernah berkenalan. Sudi atau tidak kau angkat aku menjadi gurumu, terserah kepada kau."

Uraikan kata-kata ini justru merupakan pembuka jalan bagi kesulitan yang dihadapi Cin Liong-hwi. Maklum keluarga Cin merupakan keluarga persilatan sejak moyangnya turun temurun, ilmu silat keluarganya sangat disegani oleh seluruh kaum persilatan, bila diketahui ia angkat guru dan belajar kepandaian dari aliran lain merupakan suatu noda bagi keluarganya mana dia berani beritahu hal ini kepada ayahnya.

Dalam hati Cin Liong hwi sebetulnya sangat rela namun dimulut ia masih berkata, "Kenapa kau sudi menerima murid tidak becus macamku ini?''

Mendengar pertanyaan Cin Liong-hwi, orang itu terloroh loroh.

"Locianpwe apa yang kau tertawakan?"

"Kutertawakan kau ini tidak bisa meniIai diri sendiri, selain itu akupun merasa sayang bagi kau kutertawakan ayahmu yang menyia-nyiakan bakatmu yang bagus ini."

Kalau biasa Cin Liong-hwi mendengar kata kata ini pasti akan murka dan berjingkrak marah. Tapi sekarang dia tahu bahwa orang yang dihadapi ini seorang tokoh kosen yang berkepandaian tinggi, mana dia berani mengumbar amarah? Begitulah rasa hormatnya lebih mempertebal keyakinannya untuk mempelajari silat orang, maka dengan laku hormat ia menjura serta katanya, "Harap Locianpwe suka memberi petunjuk!"

"Sebetulnya pembawaanmu cerdik pintar dan berbakat," demikian ujar laki laki baju hijau, "kenapa kau tidak mentas dalam pelajaranmu, soalnya karena ayahmu tidak tahu cara mengajar orang harus disesuaikan dengan kondisi orang itu sendiri, yang menggelikan justru kau sendiri juga tidak punya keyakinan dan pendirian yang teguh, pintarmu hanya mengeluh dan salahkan orang lain, bukankah kau terlalu menilai rendah dirimu sendiri?"

Kata-kata ini lahirnya mencercah pada Cin Liong hwi, namun tujuan yang sebenarnya adalah mengumpak dan memuji secara tidak langsung. Bagi pendengaran Cin Liong hwi seolah-olah ia kejegal jatuh digumpalan awan tubuhnya melayang-layang tinggi diangkasa sehingga tulang2nya terasa ringan.

Segera ia berkata kegirangan, "Kalau begitu bila Tecu mendapat guru teladan yang baik, dan dididik tiga lima tahun secara tekun, tentu aku dapat mengalahkan Toa suhengku itu bukan?"

Laki laki itu mendengus hidung, jengeknya, "Apakah hanya begitu saja tujuanmu belajar silat? Jauh terlalu rendah cita-cita yang kau impikan! Bila kau menjadi muridku tidak perlu setahun kaudapat sejajar dengan ayahmu, kira kira tiga tahun kemudian, kutanggung kau akan dapat sejajar dalam urutan sepuluh tokoh kosen berilmu paling tinggi didunia ini! Bagaimana kau sudi angkat aku menjadi gurumu tidak?''

Keraguan Cin Liong-hwi sudah tersapu bersih, serta mendengar dirinya kelak dapat sejajar dalam urutan tokoh-tokoh kosen lebih girang pula hatinya, tanpa ragu lagi kontan ia berlutut dan menyembah tiga kali, dengan laku hormat ia menyebut, "Guru!"

Laki-laki itu terbahak bahak, sambil membimbingnya bangun, ujarnya, "Murid mencari guru pandai guru kenamaanpun harus memilih murid yang berbakat, sudah beberapa tahun ini aku main pilih saling berganti baru sekarang aku memperoleh murid yang memenuhi seleraku."

Selamanya Cin Liong hwe belum pernah mendapat umpak dan pujian begitu tinggi dari Cianpwe, keruan girang dan gembira benar hatinya. Dalam hati ia membatin, "Tak heran dengan berbagai akal muslihatnya dia menjebak aku menjadi muridnya. Ternyata, hanya akulah seorang yang sembabat menjadi muridnya." setelah berdiri ia bertanya, "Tecu masih belum mohon kenal she dan nama besar Suhu!"

Laki-laki itu tertawa katanya, "Namaku sudah banyak tahun tidak digunakan lagi, orang lain mengundangku Jing-hou-khek. Bila tiada orang lain boleh kita panggil aku Suhu bila ada orang seperti orang lain panggil aku Jing hou khek saja bila perlu anggap saja belum pernah berkenalan. Buat apa pula kau mengetahui she dan namaku?"

Dimulut Cin Liong hwi mengiakan, dalam batin ia berkata, "Kiranya watak Suhu begini aneh!''

Kata Jing hou-khek, "Mulai sekarang juga kuajarkan Lwekang Simhoat dari ajaran perguruan kita, kau harus tekun belajar dan mendengar dengan cermat. Coba kutanya dulu, cara bagaimana ayahmu mendidik kau?"

"Cara ayah mengajar Lwekang diharuskan hawa murni terpusat dipusar semakin latih hari kehari semakin tebal bulan kebulan semakin kuat, dengan sendirinya setelah makan waktu lama kekuatan hawa murni itu akan semakin besar." cara yang disebutkan ini adalah pengetahuan umum bagi pelajaran Lwekang dari aliran lurus setelah menjelaskan cara ajaran ayahnya ini diam diam Cin Liong hwi menjadi heran, pikirnya, "Apakah ajaran Lwekang Suhu punya perbedaan?''

Benar juga sesuai dengan dugaannya, tampak Jing hou khek geleng geleng kepala, ujarnya, "Salah, salah!"

"Kenapa salah!" tanya Cin Liong-hwi terkejut.

Jing-hou khek tertawa, ujarnya, "Itulah sebabnya kenapa tadi kukatakan ayahmu tidak bisa memberi ajaran ilmunya menurut kondisi orang yang diberi ajaran itu. Apakah kau paham?" merandek sejenak lalu menyambung lagi, "Ajaran Lwekang yang diturunkan ayahmu itu, sangat cocok dipelajari bagi seseorang yang bersifat polos dan jujur. Sebaliknya kau ini binal dan ugal-ugalan, selamanya tak mau dikekang, mana ada minat mempelajari ilmu yang lamban kemajuannya. Sudah tentu kau tidak akan mencapai hasil yang memuaskan.''

Dikorek boroknya yang kenyataan, merah jengah muka Cin Liong-hwi katanya, "Aku sendiri tahu akan kesalahan dan kondisiku yang jelek ini, tak heran ayah selalu ngomel katanya aku tiada harapan menjunjung tinggi nama perguruan."

Jing hou khek geleng geleng kepala lagi, katanya, "Bukan, bukan! Kalau kau tidak berbakat dan tiada harapan mana mungkin aku mau terima kau menjadi murid?''

"Aku menjadi kurang paham, jelas Suhu tadi juga mengatakan bahwa aku tidak tahan sabar."

"Manusia umumnya suka berpandangan secara subyektif, bukan melulu cacat ayahmu seorang. Mereka selalu beranggapan bahwa orang yang berwatak polos jujur pasti jauh lebih baik dari seorang yang binal dan ugal-ugalan, sebetulnyalah: pendapat yang demikian harus disingkirkan."

O^~^~^O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar