Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Jilid 10

Jilid 10

Sekonyong-konyong seorang berkata : "Sedap, sedap ! Beri aku seekor kelinci untuk mengisi perutku, boleh tidak ?"

Orang ini muncul secara mendadak, dengan kepandaian Hong-thian-lui ternyata sebelumnya tidak mendengar suara apapun, sesudah orang muncul dihadapannya baru diketahui, keruan kejutnya bukan main, waktu ia angkat kepala, tampak seorang laki-laki berpakaian butut dan compang-camping, pakai topi bundar yang berujung tinggi dan melambai kedepan jidatnya.

Setelah terperanjat Hong-thian-lui menjadi kegirangan malah, teriaknya : "Paman Sip, kaukah ini !"

Ternyata laki-laki berpakaian compang-camping ini bukan lain adalah Maling sakti Sip It-sian, keturunan Sip Cian salah seorang pahlawan gagah gunung Liang-san.

Sip It-sian tertawa, katanya : "Aku biasa mencuri ayam, dialam pegunungan begini tiada ayam dapat kucuri, namun bau panggang kelincimu ini memancingku kemari !"

"Kelinci panggang ini harus kubagi seekor untuk seorang temanku, kalau paman Sip hendak makan silahkan ambil saja seekor bagianku ini."

"Siapakah temanmu ?"

"Putra Geng Ciau yang berjuluk Kanglam Tayhiap dia bernama Geng Tian."

"Aku hanya berkelakar dengan kau. Kulihat kau sudah kelaparan setengah mati, lekas makan, tak usah menunggu temanmu."

Merah muka Hong-thian-lui, ujarnya : "Memang perutku lapar, tapi temanku itu sebentar lagi pasti kembali." dalam hati ia membatin: "Mungkin mukaku yang pucat karena kelaparan dilihat paman Sip hingga ditertawakan."

Seakan akan Sip lt sian merasa jalan pikirannya, mendadak ia berkata dengan muka sungguh: "Wi-tit (keponakan Wi), aku tidak berkelakar dengan kau. Kalau perutmu tidak kenyang, mana kau punya tenaga untuk melarikan diri ?"

Hong thian lui melengak, tanyanya: "Kenapa aku harus lari ?"

"Kau tidak tahu, ada dua musuh tengah menuju kemari hendak menangkap kau ?"

"O, maksudmu In-tiong-yan siluman perempuan itu ? Temanku she Geng itu justru sedang mengejar dia, mana berani lari balik mencari kesulitan dengan aku ? Kepandaian siluman perempuan itu terbatas, dia datang lagi akupun tidak perlu takut."

Sip It-sian kelihatan tertegun, tanyanya: "In-tiong-yan apa, yang kumaksudkan bukan siluman perempuan, jelasnya Busu dari kerajaan Kim !"

"Busu kerajaan Kim ? Hah, pasti mereka anak buah In-tiong-yan, berapa orang mereka ?"

"Aku hanya melihat dua orang menunggang kuda naik gunung, adakah rombongannya dari jurusan lain meluruk kemari, aku tidak tahu."

Hong-thian-lui tertawa, katanya : "Hanya dua orang saja kenapa takut."

"Ilmu silatku tak sebanding kau, tapi pandanganku jauh lebih tajam. Kedua Busu Kim ini bukan kurcaci yang dapat dianggap enteng. Kudengar kau terluka berat oleh Lian Tin-san, sekarang sudah sembuh belum luka-lukamu ? Dalam menghadapi setiap urusan harus selalu waspada dan prihatin demi keselamatan diri sendiri. Bila musuh tangguh meluruk datang paman Sipmu tidak mampu melindungi kau lho!"

Ternyata sebagai maling nomer satu dan paling sakti di seluruh kolong langit, namun kemampuannya hanya tergolong kelas tiga dari kaum persilatan di Kangouw.

"Paman Sip tak usah kawatir," demikian kata Hong-thian-lui bandel, "Temanku she Geng itu lebih tinggi kepandaiannya dari aku, terutama Ginkangnya sungguh hebat, sebentar dia pasti kembali."

Berkerut alis Sip It-sian, katanya : "Kuda mereka lari dengan pesat, mungkin saat ini sudah diatas gunung. Betapapun tinggi Gingkang temanmu, tak mungkin menyusul lari kuda. Begitu mereka melihat cahaya api dalam biara ini, tentu meluruk kemari, sudah jangan banyak bicara, hayo lari atau akan kucarikan tempat untuk sembunyi saja."

Hong-thian lui geleng-geleng kepala, katanya : "Seorang Kangouw harus mengutamakan kesetiaan, mana boleh aku meninggalkan kawan menyelamatkan diri sendiri ?"

Belum habis perkataannya, terdengarlah kumandang langkah kuda yang riuh mendatangi secepat angin lesus.

Sip It-sian tertawa getir, katanya : "Untuk lari sudah terlambat, lekaslah kau sembunyi dibelakang patung Budha! Ha, lihatlah, kutemukan sebuah tempat cukup untuk kau sembunyi."

Selamanya Hong thian lui paling benci kepada orang yang bernyali kecil, dengan tegas ia menolak : "Tidak perlu sembunyi."

"Seorang laki-laki harus dapat melihat gelagat, jangan bandel menghadapi bencana, bersikap berangasan bukan laku seorang kesatria. Apalagi luka-lukamu belum sembuh, bila terjadi sesuatu atas dirimu, apa ada muka aku menemui ayahmu ? Kau tidak mau sembunyi, aku yang menjadi pamanmu ini biar berlutut dan menyembah kepadamu !"

Didesak sedemikian rupa tidak bisa tidak Hong-thian lui harus sembunyi, katanya: "Paman Sip, cepat kaulari dan panggil Geng Tian kembali untuk menghadapi mereka."

"Aku bisa bekerja menurut gelagat, peduli apa yang terjadi, jangan kau keluar."

Baru saja Hong-thian-lui sembunyi, derap kuda sudah tiba diambang pintu biara. Dua orang Busu seragam kerajaan Kim melompat turun dari kuda, dengan langkah lebar mereka masuk biara kuno ini.

Umong sudah menyelidik jelas bahwa Hong-thian lui adalah pemuda berusia dua puluh tahun, begitu melihat tampang Sip It-sian yang kurus tepos, tanpa merasa ia mengerutkan kening, bentaknya : "Siapa kau ? Ada bocah hitam she Ling, apa kau pernah melihatnya ?"

"Aku laki-laki rudin yang mengungsi keatas gunung, biara bobrok ini tempatku berteduh dari hujan dan angin. Tuan Pembesar harap kalian tidak mengganggu aku."

Cohaptoh bergelak tawa, serunya : "Kau laki laki rudin keropos lagi, kenapa aku harus ganggu kau ? Tapi kau harus bicara terus terang, bocah hitam yang bersamamu tadi sekarang lari kemana ?"

"Bahwasanya aku tidak pernah lihat bocah hitam atau putih, kalian mencari bocah hitam silakan ke tempat lain. Kalau orang hitam memang banyak." selesai bicara dengan malas-malasan ia tambahi ranting kering dan dahan pohon kedalam api unggun, sikapnya acuh tak acuh terhadap kedua Busu asing ini. Mencomot seekor kelinci panggang terus digares, katanya : "Celaka, kelinci panggang ini menjadi hangus. Untung tidak menjadi orang."

Cohaptoh menjadi gusar semprotnya : "Siapa ada tempo berkelakar dengan kau, lekas katakan di mana bocah hitam itu sekarang. Hm, aku tahu bocah hitam itu tadi berada disini, berani kau membual didepan kami."

Sip It-sian berteriak menyumpah-nyumpah, serunya : "Sebetulnya aku tidak pernah melihat bocah hitam segala."

Umong menyapu pandangan kesekitar ruang sembahyang, dalam hati ia membatin: "Biara bobrok ini tiada tempat untuk menyembunyikan diri." ternyata patung Bilekhud yang gendut besar itu perutnya kosong, sehingga Hong-thian-lui bisa sembunyi didalamnya, sudah tentu Umong tidak tahu. Kerai diatas altar sembahyang juga sudah robek, kedua ruang samping juga sudah diperiksa tak kelihatan bayangan orang. Mana dia punya pikiran untuk menjungkir balikkan patung besar itu.

Baru saja Umong hendak mengundurkan diri, mendadak tergerak hatinya, tanyanya : "Apakah kedua kelinci ini kau sendiri yang menangkap ?"

"Thian maha pengasih dan kasihan kepada aku yang tidak makan tiga hari ini, secara kebetulan kedua kelinci ini kepergok olehku. Meskipun dipanggang rada hangus, tapi rasanya sedap sekali. Tuan pembesar, apakah kalian sudi mencicipi ?"

Sip It sian berusaha mengulur waktu sambil menanti kedatangan Geng Tian. Tidak disadari olehnya bahwa Umong telah curiga kepadanya.

Dalam hati Umong berpikir : "Kunyuk ini bukan pemburu, tidak punya jala tak membawa tali, tidak membekal panah lagi, mana mampu menangkap kedua kelinci yang gesit dan dapat berlari secepat angin? Dia mengaku sebagai pengemis rudin, namun bicara ngelantur, terang bukan sembarang orang."

Apa yang dipikir Umong juga menjadi pertanyaan Cohaptoh, dia seorang gulat dari Mongol yang kenamaan segera ia menjengek dingin : "Baik, coba kurabakan !'' mendadak sekali cengkeram ia tangkap pergelangan Sip It-sian terus menelikung kedua tangannya kebelakang punggungnya. Bentaknya : "Bagaimana rasa panggang kelinci ? Hm bicaralah terus terang, kalau tidak, masih ada lain cara yang lebih enak kau rasakan! Dimana bocah hitam itu sembunyi ? Lekas katakan !"

Ilmu silat Sip It sian tergolong kelas rendah, begitu tangan ditelikung dan dipuntir, tulang lengannya retak sakitnya bukan kepalang, kontan mulutnya berkaok kesakitan, tapi dia masih bandel, katanya : "Tuan pembesar, kau bunuh akupun tidak tahu bocah hitam macam apa yang kau maksud."

Sembunyi didalam perut Bilekhud, Hong-thian-lui tidak bisa melihat keadaan diluar, namun mendengar jeritan Sip It sian yang kesakitan, dia tidak tahu Sip It-sian disiksa macam apa, namun hati tak kuat menahan sabar, sambil membentak : "Aku berada di sini!" disusul suara "Blang!'' dari dalam ia genjot pecah perut gendut patung besar itu terus menerjang keluar.

"Bocah bernyali besar!'' Umong juga membentak disaat Hong-thian-lui melompat turun, sekaligus ia barengi dengan pukulan Bik-khong-ciang.

Patung besar Bilekhud itu pelan pelan roboh kedepan dengan mengeluarkan suara gemuruh, begitu pukulan dahsyat saling bentur, patung besar itu pecah berantakan seluruh biara menjadi gelap oleh debu yang mengepul tinggi.

Dalam keadaan gelap dan susah bernapas karena debu yang mengepul ini, kedua mata Cohaptoh kelilipan debu lagi, ringan dan tangkas sekali Sip It-sian menekan pundak dan menarik sikut hingga terlepas dari cengkeraman musuh. Gerak geriknya yang aneh seperti permainan sulap. Bagi seorang maling tingkat tinggi, tentu melatih diri untuk membebaskan diri dari belenggu. Kedua tangan tertelikung dan diikat tali besar, dia mampu membebaskan diri, apalagi hanya dicengkeram tangan orang.

Cohapto menjadi gusar, hardiknya ; "Kau penipu ini, mau lari kemana ?"

Betapa gesit dan licin gerak gerik Sip It-sian, mana Cohaptoh mampu menangkapnya lagi?

Sementara itu, Umong sudah saling labrak dengan Hong-thian lui, kekuatan angin pukulannya begitu hebat sehingga beberapa tombak sekitar gelanggang, orang biasa tak kuat berdiri tegak. Meskipun Sip It-sian bisa main silat, tapi Lwekangnya terbatas, umpama kuat berdiri juga tak mampu membantu.

"Paman Sip," Hong-thian-lui berteriak, "Lekas lari. Temanku itu segera kembali!''

Sip It-sian tersentak sadar, pikirnya : "Benar, berada disini aku tak mampu membantu, lebih baik kususul temannya itu supaya lekas datang menolong." selicin belut segesit ular, hanya beberapa kali lompat dan selulup mudah sekali ia berhasil lolos dari rintangan Cohaptoh dan lari keluar biara.

Umong malah tertawa dingin, ejeknya : "Berapa banyak temanmu, silakan undang kemari, sekali jaring biar lekas ringkus supaya menghemat tenaga !"

"Lebih baik lekas ringkus dia dan bawa pulang supaya tidak menggelisahkan !" demikian Cohaptoh memperingatkan teman.

Umong sudah kerahkan Liong siang-kang tingkat kelima tapi belum mampu merobohkan Hong-thian lui, diam diam hatinya kejut dan heran, pikirnya : "Luka parah bocah ini belum sembuh, ternyata mampu melawan Liong-siang-kangku, jangan aku pandang ringan musuh kecil ini." segera kedua telapak tangannya berkembang, dia merangsak kanan kiri saling susul, tenaga Liong siang kang ditambah sampai tingkat ketujuh.

Sekonyong-konyong terdengar ledakan "Bum !" telapak tangan bentrok dengan dahsyat sekali. Umong menggeliat dan tersurut mundur tiga tindak. Sebaliknya Hong thian-lui menyemburkan darah segar.

Sebetulnya dengan bekal tenaga murni, Hong-thian-lui tak gampang terkalahkan oleh pukulan Liong-siang-kang Umong tingkat ketujuh, soalnya luka dalamnya belum sembuh, kelaparan lagi, sudah tentu dalam adu kekuatan ini ia asor dan muntah darah.

Cohaptoh berteriak kawatir : "Koksu perintahkan kami menangkap hidup-hidup jangan kau pukul dia sampai mampus." sambil bicara ia melangkah maju sambil melancarkan Kim-na-jiu-hoat, kedua tangannya menyelinap dari bawah ketiak Hong-thian-lui menekuk keatas menekan tengkuk orang ke bawah. Setelah adu pukulan, meski Umong diatas angin, namun diapun menderita, maka dia biarkan Cohaptoh bekerja lebih lanjut.

Keadaan Hong thian-lui sangat payah, kepalanya pusing tujuh keliling, pandangan kabur lagi, tahu-tahu dua tangan Cohaptoh mencengkeram gitoknya, tulang lengan sakit bukan main, secara reflek ia kerahkan tenaga meronta dengan sisa tenaganya, karena tidak menyangka Cohaptoh tak kuat menahan getaran tenaga dahsyat ini, kontan ia terjengkang jatuh ditanah.

Cohaptoh menjadi murka, hardiknya : "Bangsat, hendak kuampuni jiwamu, ternyata bocah bandel ini tak ingin hidup." dengan gaya ikan gabus melejit dia melompat bangun, sedianya menggunakan ilmu gulat menyengkelitnya, tampak Hong-thian-lui terhuyung-huyung terus roboh lebih dulu.

Cohaptoh takut terjebak sambil maju angkat kaki menendang, namun Hong-thian-lui diam tak bergerak, sementara Umong mendekat serta menekan sebelah tangan ke dada orang, tangan lain meraba pernapasan orang. Katanya tertawa : "Bocah ini semaput. Untung tidak mati."

Sejak berpisah dengan In-tiong-yan, Geng Tian lari kencang ke biara, benturan adu pukulan yang dahsyat itu, karena kejut dia percepat larinya, laksana kilat tubuhnya laju kedepan.

Mendadak orang menerobos keluar dari dalam hutan serta berteriak : "Apakah kau Geng- kongcu ?"

"Benar," sahut Geng Tian. "Akulah Geng Tian. Siapa kau ?"

"Aku adalah paman Hong-thian-lui, Hong-thian lui tengah dikerubut dua Busu kerajaan Kim, keadaannya sangat payah, lekas kau menolongnya !"

Tanpa diminta langkah Geng Tian tidak berhenti memburu kearah biara bobrok. Sayang betapapun cepat lagi mereka tetap terlambat juga. Waktu Geng Tian muncul di pintu biara, dilihatnya Umong mengempit Hong-thian lui sedang melompat keatas tunggangannya.

"Tinggalkan sahabatku !" Geng Tian menghardik dengan lantang, laksana burung walet tubuhnya melesat sambil mengenjot sekuatnya. Lekas Umong menangkis dengan telapak tangannya sambil mengerahkan Liong-siang-kang tingkat ketujuh.

Lwekang Geng Tian kalah ampuh melawan kekuatan Umong, begitu kedua Bik-khong-ciang berada ditengah udara, walaupun Geng Tian tidak terjungkal, namun gerakannya terlambat sesaat lamanya. Bicara lambat prakteknya sangat cepat bila Geng Tian berdiri tegak Umong sudah mencongklang tunggangannya bagai terbang sambil menggondol Hong-thian-lui. Umpama Ginkang Geng Tian maha tinggi juga tidak mungkin mengejar kuda jempolan yang dapat berlari seribu li sehari.

Namun Geng Tian tidak putus asa, dengan kencang ia terus mengudak, namun makin lama jarak mereka makin jauh, akhirnya tak kelihatan lagi kedua tunggangan musuh. Sungguh menyesal dan kecewa sekali Geng Tian, dalam hati ia membatin, "Bila kutahu sebelumnya, aku tidak akan banyak bicara dengan In tiong-yan."

Waktu ia berpaling Sip It sian sudah berada dibelakangnya. Melihat orang mengintil dibelakangnya, tergerak hati Geng Tian katanya; "Apakah locianpwe adalah Sip tayhiap?"

Sip It-sian tertawa kecut, sahutnya: "Tayhiap apa, maling kecil saja. Kalau aku setimpal disebut Tayhiap, Tiat-wi keponakanku mana kubiarkan dibawa lari oleh anjing bangsa Kim itu."

Setelah tahu asal usul Sip It-sian, diam diam Geng-tian berkata dalam hati; "Ternyata benar dia adalah maling sakti nomor satu di kolong langit Sip It sian adanya, tak heran Ginkangnya begitu hebat."

"Geng kongcu," tanya Sip It-sian, "Tadi kau berada di hutan sebelah sana, kau bertempur dengan siapa?"

"Seorang perempuan yang dikenal juga oleh Ling-toako, tapi dia bukan musuh, aku hanya menjajal kepandaiannya saja. Ai sebetulnya aku sudah tahu bahwa dia bukan musuh, seharusnya aku cepat-cepat kembali." sekonyong-konyong tersentak sanubarinya: "Apakah benar In tiong-yan bukan musuh?"

Melihat orang seperti memikirkan sesuatu Sip It-sian bertanya: "Apakah nona itu putri Lu Tang-wan?"

"Bukan," sahut Geng Tian, "Asal usul perempuan agak istimewa, kalau dibicarakan terlalu panjang....."

"Kalau terlalu panjang sementara tak perlu dibicarakan. Urusan yang terpenting sekarang adalah cara bagaimana kita harus menolong Tiat-wi."

"Sip-locianpwe," tanya Geng Tian, "kedua orang yang menangkap Ling-toako itu mungkin bukan Busu bangsa Kim."

"Apa yang menjadi dasar curigamu jangan kau katakan dulu, biar kuperiksa dulu barang-barang hasil curianku ini, dari sini pasti dapat kuketahui asal usul kedua orang itu. Nanti kita cocokkan apakah rekaanmu betul?"

"Sip-locianpwe, barang apa yang dapat kau curi?" tanya Geng Tian heran.

"Waktu berada di biara tadi aku kuras kantong salah seorang kedua orang Busu itu. Dia menelikung tanganku kebelakang, tanpa disadari olehnya, dengan leluasa aku menguras isi kantongnya malah," sembari berkata ia keluarkan barang-barang hasil curiannya.

Tampak beberapa pecahan uang perak, setumpuk uang kertas, sebuah poci mungil dari pualam bening warna hijau mulus dan tiga buah bumbung kecil panjang tiga inci.

Heran dan kagum Geng Tian dibuatnya, katanya: "Sip locianpwe, kepandaian menguras kantong orang betul-betul hebat, pasti tiada bandingannya dikolong langit. Kedua Busu itu berkepandaian tinggi, namun barangnya kau curi tanpa diketahui sedikitpun."

Sip It-sian tertawa getir, ujarnya: "Sayang aku hanya pandai mencuri saja, bila berkelahi segebrak saja pasti aku sudah keok dan konyol."

"Ya, kedua macam barang ini cukup istimewa," demikian kata Geng Tian, yang dimaksud adalah poci dan ketiga bumbung kecil itu.

Sip It sian menjemput poci kecil itu lalu membuka tutupnya serta diangsurkan di-depan Geng Tian, katanya: "Geng kongcu, coba kau cium."

Geng Tian menunduk, kontan bau wangi yang keras dan pedat menerjang hidungnya, tak kuasa ia berbangkis berulang kali serunya, "Barang apakah itu?"

"Inilah rokok sedot. Dugaanku memang tidak salah, kedua Busu itu bukan bangsa Kim, tapi orang MongoI !"

Pada permulaan abad tiga belas, rokok sedot sudah mengalir masuk Tiongkok dibawa oleh orang Mongol dari benua Eropa. Waktu itu kebiasaan ngendot rokok baru terbatas pada kalangan tingkat atas sebangsa bangsawan Mongol saja.

Sip It sian menjelaskan: "Untung aku pernah melihat permainan ini. Kutahu inilah poci wadah tembakau, bau tembakau ini sangat keras dan pedas, buat aku lebih baik menyedot mandat dari pada mengendus baunya. Tapi untuk mengobati penyakit pilek, bau tembakau ini amat mujarab."

"Sip locianpwe berpengetahuan dan berpengalaman luas." demikian puji Geng Tian.

"Berpengalaman luas apa, barang hasil curianku entah macam apa saja, banyak yang aneh dan lucu-lucu, itu memang benar. Dan tahun yang lalu dalam operasiku dalam sebuah gedung pembesar seorang Kim, kucuri mas perak dan barang-barang antik lainnya, kulihat diatas meja ada sebuah poci kecil tempat tembakau, tanpa kuketahui gunanya, sambil lalu kukantongi poci kecil itu. Setelah kutanyakan orang lain baru kuketahui manfaat barang ini. Poci tembakau ini sebenarnya ada asal usul yang cukup unik, konon seorang duta Mongol yang memberi Pangeran itu." lalu ia meneruskan, "Tapi poci tembakau yang terbuat dari batu Giok putih itu bila dibanding dengan poci hijau pualam ini masih kalah jauh. Mungkin harga poci ini jauh lebih tinggi. Menurut analisaku, aku berani pastikan bahwa kedua Busu itu punya kedudukan tinggi dalam pasukan Mongol, paling tidak sebagai Busu kemah mas."

Dugaan Sip It sian memang tidak salah, poci pualam hijau ini memang hasil kemenangan Dulai dari benua Eropa. Dulai memberikan kepada Cohaptoh sebagai hadiah atas jasa jasanya.

"Bumbung bumbung kecil ini, mainan apa lagi?"

Sip It sian mengambil sebuah bumbung bambu, sedikit diputar tutupnya lantas menjiplak terbuka ternyata didalamnya terpasang pegas hidup. Sip It-sian tertawa, katanya: "Kau suka makan gula gula tidak?"

"Apakah di dalamnya berisi permen?" tanya Geng Tian keheranan.

"Permen madu kwalitet terbaik dari kwilim! Coba kau rasakan!''

"Kau tidak takut ada racun?"

"Tanggung tiada racun. Cep, Cep, wah rasanya enak benar!"

Geng Tian mencomot sedikit dan dimasukkan mulut, ternyata rasanya memang manis dan harum, begitu masukkan mulut permen lantas lumer, rasanya memang sedap.

"Keparat itu ternyata beruntung dapat menikmati makanan enak sedap begini, begitu jauh dia membawa makanan kampung-halamannya kemari."

"Permen madu dari kembang kwi ini bukan made in Mongol."

"Lalu hasil buatan mana ?"

Sip It-sian seperti memikirkan suatu persoalan; sejenak ia berdiam diri, sesaat kemudian baru bicara : "Setelah kutemukan bumbung permen madu begini dapatlah kita memperoleh sumber penyelidikan yang dapat menemukan jejak mereka."

"Menemukan jejak apa?"

"Aku tahu daerah mana yang menghasilkan permen macam ini, tapi permen kwalitet terbaik begitu ditempat itu mungkin hanya kaum hartawan melulu yang mampu membuatnya karena harganya yang sangat mahal, di pasaran tentu tiada orang yang menjualnya. Ingin aku ketempat itu untuk mencari tahu. Marilah kita berpencar untuk menunaikan tugas masing-masing."

"Menurut Locianpwe apa yang harus kulakukan?"

"Tiat wi tertawan, kita harus memberi tahu kepada ayah dan gurunya. Tapi aku menjadi rikuh untuk menemui mereka, kau saja yang pergi kesana. Kampung halamannya apakah kau sudah tahu?"

"Ling-toako pernah beritahu kepada aku, sebetulnya aku hendak mengantarnya pulang. Tapi, sekarang...."

"Sekarang bagaimana?"

"Kini Ling-toako ditangkap musuh, jika berusaha secepatnya ada lebih penting kita segera menolongnya. Sip-locianpwe bukankah tadi kau katakan sudah menemukan jejak mereka dan hendak kesana menyelidikinya? kalau Siautit pergi bersamamu, meski tak dapat membantu banyak, paling tidak bisa saling bantu dan membaktikan tenagaku!"

"Kalau terlalu banyak orang malah tiada gunanya. Aku belum berani pastikan bahwa kawanan Busu Mongol itu tentu berada ditempat itu. Lebih baik biar kuselidiki dulu, jangan sekali-kali menggebuk rumput mengejutkan ular, akibatnya malah merugikan nanti."

Geng Tian berpikir, kedua Busu Mongol itu dapat membekuk Hong-thian lui hidup-hidup tentu berkepandaian tinggi, ditambah seorang In-tiong yan, tentu dirinya bukan tandingan mereka. Bila hendak menyelundup kesarang musuh walau percaya akan Ginkang sendiri untuk melarikan diri, tapi kepandaian menerobos jendela masuk kamar sedikit-pun tidak mampu, terpaksa memang Sip It-sian yang harus pergi. Oleh karena itu ia berkata : "Kalau begitu, marilah kita membagi tugas. Aku punya bahan untuk bekalmu." lalu ia ceritakan pengalamannya bersua dengan In-tiong-yan, katanya pula : "Kurasa kedua Busu yang menangkap Ling toako itu juga anak buahnya. Tapi dia kawan atau lawan sulit membedakan, bila ada kesempatan tiada salahnya Locianpwe mencari keterangan."

"Aku bisa bekerja menurut gelagat !" demikian sahut Sip It-sian. Setelah mereka berpisah, seorang diri langsung ia menuju ke Yo-ka-tong.

Kiranya permen madu kembang Kwi itu adalah buatan daerah Yo-ka-tong. Sip lt-sian tahu di Yo-ka-thong ada sebuah keluarga besar she Lou majikannya bernama Lou Jin-cin bekas begal tunggal yang sudah mencuci tangan mengasingkan diri. Lou Jin-cin adalah saudara angkat Ciok Goan, Ji-cengcu dari Ciok-keh ceng di Tay-tong-hu. Dalam hati Sip It-sian berpikir : "Menurut kata Geng Tian, adik Ciok Goan yang bernama Ciok Khong juga salah seorang yang ikut menyergap Ling Tiat-wi hari itu, maka dapat diperkirakan rombongan Busu Mongol itu tentu punya berpangkalan di rumah keluarga Lou itu."

Dugaan Sip It sian tidak salah, tapi dia tidak tahu bahwa jago silat nomer satu di-seluruh Mongol Liong siang Hoat ong juga berada dirumah Lou Jin cin itu.

Dilain pihak, In tiong yan tengah menempuh perjalanan dengan kedua Busu itu, tak lama kemudian tampak Umong dan Cohaptoh memburu tiba sambil melarikan tunggangannya secepat terbang, dibelakang tunggangan Umong kelihatan terikat satu orang, setelah dekat jelas adalah Hong-thian-lui.

Dengan rasa bangga dan sombong Umong melapor : "Pile-kongcu, bocah hitam yang pernah kurang ajar terhadap kau berhasil kuringkus."

Diam-diam ln tiong-yan mengeluh, tapi akhirnya dia pura-pura girang dan memujinya malah: "Ha, menawannya hidup-hidup, jasamu sungguh tidak kecil. Kau melukainya tidak ?"

"Tidak, dia lemas kehabisan tenaga dan jatuh pingsan." sahut Umong.

"Untuk sampai di Yo-ka-thong masih dua hari perjalanan lagi ya?"

"Kuda kita cepat, walaupun lewat jalan pegunungan, menurut perhitungan paling lambat besok malam kita sudah tiba disana."

"Jalan kecil dipegunungan tidak rata, luka-luka dalam bocah ini belum sembuh, mungkin dia terlalu menderita tergoncang-goncang, cobalah carikan sebuah kereta."

"Tuan putri begitu baik hati," Cohaptoh menimbrung tertawa.

"Bukankah Koksu bilang hendak menariknya kepihak kita, apa salahnya kita berikan sedikit kelonggaran supaya dia merasa hutang budi ? Apa lagi cara kau mengikat dia diatas kuda bila dia dilihat orang dijalan, meski tidak takut namun cukup berabe dan kurang leluasa."

"Ucapan tuan putri memang beralasan, dikampung orang Han banyak kereta keledai, untuk mencarikan sebuah gampang sekali." demikian kata Umong, lalu ia perintahkan kedua Busu yang lain : "Kalian berdua coba pergi cari kereta !''

Kedudukan kedua Busu yang lain itu lebih rendah dari Umong, berulang-ulang mereka mengiakan terus mengundurkan diri melaksanakan perintah. Tak lama kemudian benar juga mereka pulang mengendalikan sebuah kereta keledai.

"Begitu cepat !" seru In-tiong-yan tertawa.

Busu itu tertawa lebar, katanya : "Kita merebutnya saja, tak perlu tawar menawar lagi, sudah tentu cepat sekali !"

"Bunuh saja keledainya ganti kuda kita.'' Umong memberi perintah lagi.

"Kuda jempolan untuk menarik kereta, apakah tidak sayang ?'' In-tiong yan mengada-ada.

Sahut Umong: "Kita harus memburu waktu menempuh perjalanan jauh ini, kedua keledai ini sudah tua kurus lagi, mungkin empat lima hari baru bisa sampai ditempat tujuan.''

"Benar,'' Cohaptoh menimbrung; "Beberapa hari ini kita belum menikmati daging lezat, keledai ini memang kurus, tapi dagingnya tentu lebih enak dari ransum kering."

Maksud In-tiong-yan hendak mengulur waktu beberapa hari, selama perjalanan bisa mencari kesempatan mencari akal, seumpama tak berhasil, dapat mengulur sehari atau setengah hari juga baik, siapa tahu ditengah jalan bakal terjadi perubahan, tentu urusan lebih gampang dipikirkan.

Tapi sekarang Umong dan Cohapto cenderung menggunakan kuda menarik kereta supaya lekas tiba di tujuan, supaya tidak menimbulkan curiga mereka, In-tiong-yan pun tidak mengukuhi pendapatnya.

Dengan mudah Cohaptoh membunuh dan sembelih seekor keledai, memotong keempat pahanya.

In tiong-yan berkata; "Perutku lapar, mari kita istirahat sebentar, kita panggang paha keledai ini baru berangkat lagi."

Sebetulnya Umong rada keberatan, namun kehendak tuan putri ia tidak berani menentang, dalam hati ia pikir: "Bagaimana juga perut harus diisi, beberapa hari ini melulu makan sayur-sayuran, mulut juga menjadi getir baik juga rasakan panggang keledai dulu."

Maka mereka membelok kesebuah hutan, didalam hutan ini membuat api unggun untuk memanggang keempat paha keledai itu. In-tiong yan berkata; "Lepaskan belenggu bocah itu, eh, kenapa selama ini bocah ini belum siuman?"

"Untuk membangunkan dia gampang saja." ujar Umong, dijinjingnya sekantong air terus disiram ke kepala Hong-thian lui supaya pulih perasaannya, lapat-lapat ia sudah mendengar suara In-tiong-yan, begitu kesiram air dingin kontan ia sadar dan melompat kaget. Waktu membuka mata, siapa lagi kalau bukan In-tiong-yan?

Kontan Hong-thian-lui memaki: "Ternyata kau siluman perempuan ini lagi. Apa pula yang hendak kau katakan?"

"Mulut anjing tidak tumbuh gading, kau bocah ini tidak tahu kebaikan," demikian semprot Cohaptoh. "tuan putri merasa kasih dan sayang kepada kau, sebaliknya kau memutar balik persoalan dan memakinya. Rebahlah kau."

"Jangan aniaya dia," buru-buru In-tiong yan mencegah.

Cohaptoh menggunakan gerak Hunkin-joh-kut meremas tulang pundak Hong-thian-lui hingga lemas lunglai, rebah tak mampu berkutik.

Hun-kin-joh kut adalah ilmu khusus seperti ilmu tutuk umumnya, hanya cara Cohaptoh agak berat karena ia memuntir dua jalur urat nadi dibagian penting tubuh Hong-thian-lui, sehingga seluruh tubuh menjadi lemas dan linu, sedikit tenagapun tak mampu dikerahkan. Tapi caci makiannya terdengar makin keras.

In tiong-yan berkata tawar : "Jangan dipukul, bila dia masih mengumbar mulut, ambil kotoran kuda, sumbat saja mulutnya."

Hong-thian-lui tidak kenal takut, namun mendengar ancaman In-tiong-yan gentar hatinya, makinya murka : "Kau, kau ... sekali tusuk bunuhlah aku ! Aku seorang laki-laki sejati, tak sudi dihina begitu rupa." sebetulnya ia hendak memaki kau siluman perempuan, namun kata-kata 'siluman perempuan' akhirnya urung diucapkan.

"Kau harus patuh dan tunduk, siapa yang menghina kau ? Kau memaki aku dengan kotor dan menusuk kuping, sebaliknya belum pernah kumaki kau!"

"Lekas kau bunuh aku saja. Jika kau tidak bunuh aku, akan datang suatu hari aku akan menuntut balas kepada kau!"

Tergerak hati In-tiong-yan, hidungnya mendengus, katanya : "Bocah keparat, kau berulang kali memaki dan menghina aku, bicara terus terang memang aku ingin bunuh kau saja. Sayang Koksu ingin kau diringkus hidup hidup. Lebih baik kau cari kematian sendiri, jadi aku terhindar dari tanggung jawab."

Mendengar ucapan In-tiong-yan, Hong thian-lui menjadi sadar, seketika ia hapus angan-angannya hendak bunuh diri, jengeknya dingin : "Kau ingin aku mati, justru aku tidak akan mati lebih baik hidup untuk menuntut balas kepada kau !"

In tiong-yan menjadi lega, ganjelan hatinya menjadi longgar, katanya tertawa : "Bagus, bagus ! Akan kunanti tuntutan balasmu. Nih paha keledai kuberikan kepadamu!" In-tiong-yan sudah menyelami watak Hong-thian-lui, justru karena takut dia mencari jalan pendek maka sengaja dia memancing dengan akalnya itu.

Hong thian lui mendorong daging itu kesamping, makinya : "Siapa sudi makan barangmu !" karena tenaganya lemah dorong punya dorong paha keledai itu tak mampu disingkirkan malah tangannya berlepotan minyak. Perutnya memang sedang keroncongan, laparnya bukan main, harum bau daging panggang yang sedap itu menambah besar seleranya.

In-tiong yan membaling-balingkan paha keledai itu dihadapan Hong-thian-lui lalu meletakkan dipinggir kakinya, katanya tertawa: "Kalau perutmu tidak kenyang kau mampu menuntut balas kepada aku ? Kalau kau mampus kelaparan justru menjadi harapanku yang utama."

"Benar, selama gunung tetap menghijau, kenapa takut tiada kayu bakar." demikian batin Hong-thian-lui, "Sebelum mati betapapun aku harus membunuh anjing anjing Mongol ini." maka tanpa bicara ia jemput paha keledai itu terus digeragoti dengan lahapnya. Setelah ia habis makan, baru In-tiong yan bicara lagi dengan tersenyum : "Nah, kan begitu, daging panggang betapapun tentu lebih enak dari kotoran keledai bukan ?"

Meski jengkel dan ingin memakinya, Hong-thian-lui menjadi tidak berani buka suara.

Cohaptoh punya kebiasaan setelah kenyang makan tentu mencium atau menyedot bau tembakau. Setelah mencuci bersih tangannya ia berkata menggeledek : "Umong, sayang kau tidak tahu betapa nikmatnya hidup ini, kau hanya minum arak melulu, tapi tidak tahu betapa nikmatnya mengendus bau tembakau."

"Emangnya aku sudi mencium tembakaumu," demikian sahut Umong, "yang terang aku kepingin merasakan permen madu bikinan Yo-ka-thong itu. Perbekalanku sudah habis, coba bagikan sebumbung kepadaku."

"Ternyata kau lebih doyan dari aku, tapi rasa permen madu itu memang cukup sedap. Aduh, celaka !"

Umong terkejut, tanyanya : "Apa yang celaka ?"

Cohaptoh membalikkan kantongnya dengan muka kecut, sahutnya: "Poci pualamku hilang, beberapa ribuan uang kertasku pun ikut lenyap dicuri orang."

"Mana mungkin terjadi," bantah Umong heran. "Tidaklah kau simpan di tempat lain?"

"Poci pualamku selalu kubawa dalam kantong, seingatku tersimpan dalam kantong ini." sambil berkata ia geledah seluruh isi kantong, seluruh bajunyapun sudah digeremeti, barang-barang yang dicari itu memang sudah terbang tanpa sayap.

Umong mengerut alis, katanya : "Kau jago gulat terlihay dari pasukan Mongol kita, siapa yang bisa mendekati tubuhnya ? Dua hari belakangan ini kita belum pernah menginap di hotel, malam haripun tidur bersama, mana mungkin ada pencopet yang mencuri barang-barangmu? Mungkin kau sendiri yang menyimpannya kurang hati-hati?"

"Soal uang sih urusan kecil, poci pualam itu adalah hadiah dari Goanswe sebagai kenang-kenangan, kusayang barang itu melebihi jiwa ragaku sendiri, mana mungkin kusimpan disembarang tempat ?" sekonyong-konyong seperti tersentak sadar mulutpun berteriak : "Benar, benar, sekarang teringat olehku !"

"Teringat apa ?" tanya Umong.

"Tentu laki-laki rudin itu yang melakukan, dua hari ini hanya dia saja yang pernah berdekatan dengan aku."

"Bukankah kau menelikung kedua tangannya, mana bisa dia mencuri barangmu ?"

"Waktu patung besar itu roboh, debu beterbangan mataku kelilipan, saat itulah entah menggunakan cara apa mendadak ia meronta dan terlepas dari cengkeramanku. Tentu saat itulah dia turun tangan."

Umong terperanjat, katanya : "Dikolong langit ini mana ada pencopet begitu lihay, bila benar, setiap malam tidur kita harus hati hati."

Sekali cengkeram Cohaptoh jinjing Hong-thian lui hardiknya : "Siapa laki-laki rudin itu ?"

"Jangan kau gertak dia begitu rupa, biar dia menjelaskan secara baik."

"Aku tahupun tidak akan kujelaskan kepada kau !" demikian seringai Hong thian lui dengan dingin.

"Kau tidak mau bicara?" Bentak Cohaptoh gusar, "Hm, tuan putri, mestikaku itu betapapun harus kucari balik, terpaksa harus kusiksa supaya bocah ini tahu kelihayanku."

Tahu-tahu bergerak pikiran In tiong-yan, serunya tertawa : "Nanti dulu!"

"Bocah busuk ini keras kepala, bila tidak dihajar mana dia mau bicara." sembari berkata Cohaptoh cengkeram tulang pundak Hong-thian-lui serta menghardik lagi : "Tidak mau bicara, kupunahkan seluruh kepandaianmu."

"Aku sudah tahu siapa orang itu, tak perlu kau kompes dia. Lepaskan !" demikian In-tiong-yan memberi perintah dengan tersenyum.

"O, apa benar tuan putri tahu? Siapa dia?"

"Pencopet nomer satu diseluruh dunia yang paling sakti Sip It-sian, benar tidak?" kata-katanya terakhir ditujukan kepada Hong-thian lui.

Hong thian lui menjengek dingin : "Bagus sekali kalau kau tahu, jagalah supaya kepalamu jangan dicopotnya."

"Kalau kuringkus dia, akan kubetot ototnya dan kubeset kulitnya.'' demikian Cohaptoh berjingkrak gusar.

"Orang ini selulup timbul tak menentu jejaknya sukar diikuti, untuk mencari dia sukar seperti menggagap jarum dilautan, kecuali dia mencari diriku.''

Mereka sudah kenyang makan, kedua Busu itupun sudah siap mengganti dua ekor kuda sebagai penarik kereta. Tapi enam orang dua kuda cara bagaimana harus melanjutkan perjalanan, hal ini menjadi pemikiran mereka.

Kereta petani itu sangat kecil, bagasinya cukup muat dua tiga orang saja, begitu Hong-thian lui rebah didalam, hanya tinggal untuk duduk dua orang lagi. Sebetulnya kereta itu ditarik seekor keledai, kini ditarik dua ekor kuda yang lebih besar lagi, sudah tentu terasa berdesakan, tak mungkin ditambah muatan lagi. Jelasnya masih ketinggalan dua ekor kuda lagi.

Kedudukan Cohaptoh dan Umong sebagai Kim-tiang Busu, kedudukan yang cukup tinggi, sudah tentu mereka tidak sudi merendahkan diri pegang kendali. In-tiong-yan sendiri memang tidak punya tanggungan, sebagai seorang tuan putri, tak mungkin dia menunggang kuda bersama seorang laki-laki.

In tiong-yan berkata, ''Aku duduk di kereta sambil mengawasi bocah ini. Umong dan Cohaptoh menunggang kuda melindungi di belakang."

Sebetulnya Umong sadar sebagai tuan putri, In-tiong-yan duduk bersama tawanan dalam satu kereta sangat kurang pantas, namun kecuali begitu tiada cara lain untuk mengatasi keadaan sekarang, terpaksa iapun setuju.

Tugas kedua Busu tua dan muda itu menjadi kusir kereta. In-tiong-yan duduk disamping Hong-thian lui, waktu ia hendak bicara, Hong thian lui mendengus hidung terus pejam mata, kaki diselonjorkan, tahu tahu hidung sudah ngorok, ia tertidur pulas.

Sungguh dongkol dan jengkel hati In-tiong-yan, pikirnya : "Bocah bau ini anggap aku sebagai musuh besarnya, dengan cara apa aku harus berbuat supaya dia mau percaya kepada aku?''

Dengan ditarik dua ekor kuda jempolan sudah tentu jauh lebih cepat dari seekor keledai yang kurus kecil. Waktu menjelang magrib mereka memasuki sebuah hutan.

In tiong yan berkata : "Kita nginap disini semalam, aku sudah sangat letih."

"Kau duduk dalam kereta juga bilang letih. Dasar tuan putri yang suka aleman dan biasa hidup makmur." demikian gerutu Umong dalam hati, padahal hari belum gelap, mereka bisa menempuh beberapa jauh perjalanan, namun karena perintah tuan putri, Umong dan lain-lain tak berani membangkang. Bila terus maju kedepan memang juga belum tentu dapat tempat menginap.

"Dengan cara begini mungkin besok tengah malam baru tiba ditempat tujuan." demikian Cohaptoh kesal.

"Paling-paling terlambat sehari kan tidak menjadi soal? Kalau Koksu menegur biar aku yang tanggung jawab.''

Kabut malam makin tebal, keadaan hutan makin gelap dan hawa juga makin dingin. In tiong yan suruh kedua Busu itu membuat api unggun. Umong mencegah : "Kita sudah biasa hidup kedinginan, buat apa menyalakan api, membuat orang tahu kita berada disini ?"

"Ada kalian dua Kim-tiang Busu disini kenapa takut diketahui orang ?'' Demikian umpak In-tiong yan, "tidur dengan hawa hangat kan lebih enak." karena dipuji Umong menjadi bungkam.

Cohaptoh bergelak tawa, ujarnya : "Terima kasih akan pujian tuan putri. Tapi berlaku hati-hati juga ada baiknya. Kita berempat dibagi dua group giliran jaga malam, bagaimana ?" lalu ia membagi tugas, Umong dan seorang Busu tua jaga lebih dulu, sedang Cohaptoh dan Busu muda berjaga tengah malam. Sebagai tuan putri In-tiong-yan bebas tugas. Segera Umong mendirikan tenda untuk tempat In-tiong yan berteduh.

In-tiong-yan gulak gulik tak bisa tidur. Pikirannya terus melayang; cara bagaimana supaya Hong thian-lui percaya kepada aku ? Besok hari bakal bertemu dengan Koksu, sudah tentu dia harus menyerahkan Ping-hoat itu kepadanya supaya dibawa pulang ke Holin, lalu dengan cara apa pula supaya dia tidak berhasil membawanya pulang ? Kedua persoalan inilah yang selalu berkecamuk dalam benaknya, sekian lama dia gudah gulana ditempat tidur tanpa menemukan akal.

Sang malam makin larut, keadaan tetap tenang dan hawa semakin dingin. Kira-kira menjelang jam empat pagi hari menjelang fajar, saking kelelahan In-tiong-yan sudah hampir pulas, mendadak didengarnya Cohaptoh membentak diluar : "Siapa itu?''

Ternyata Sip It-sian sudah menyusul tiba.

Sip It-sian punya kepandaian khusus yang tak mungkin dipelajari orang lain, dia kuat tidak tidur selama tiga hari tiga malam, fisiknya masih segar dan penuh semangat. Meskipun dia menempuh perjalanan siang malam tanpa berhenti, namun dia tidak yakin dapat mengejar kuda jempolan dari Mongol itu. Yang diharapkan hanyalah sehari lebih cepat tiba di Yo-ka-thong.

Cahaya api didalam hutan menimbulkan rasa heran dan ingin tahunya, secara diam-diam dengan mengindap-indap ia maju mendekat, tampak seorang yang duduk bersila di pinggir api unggun itu, siapa lagi kalau bukan Hong-thian-lui adanya? Sungguh diluar dugaannya, sebelum tiba di Yo-ka-thong ia sudah berhasil mengejar dan melihat Hong thian-lui disini. Keruan bukan kepalang senang hatinya.

Tapi meskipun bukan kepalang senang hatinya, namun ia dapat mengendalikan perasaannya. Tampak Cohaptoh dan seorang Busu lain sedang berjaga ketat, Hong-thian lui diapit ditengah, bagaimana juga dirinya tak kan mampu menolongnya.

Dalam hati Sip It-sian berpikir: "Keempat Busu dan Hong-thian-lui berada disini, kenapa pula In tiong-yan apa mungkin dia tidur didalam tenda? Geng Tian berkata mungkin In-tiong-yan adalah kawan dan bukan lawan, bila orang yang tidur didalam tenda itu betul dia adanya, baiklah kucoba-coba."

Sebetulnya dengan kepandaian Sip It-sian yang lihay, seperti malaikat datang setan melenyapkan diri itu, untuk pergi secara diam diam Cohaptoh takkan dapat mengetahui jejaknya. Tapi memang dia punya tujuan tertentu sengaja ia menunjukkan tempatnya sembunyi.

Sip It-sian sengaja menyentuh dahan sehingga menimbulkan suara berisik. Cohaptoh terkejut dan berjingkrak bangun serta membentak.

Bentakan keras itu membuat kaget Umong serta menyentak In-tiong-yan dari rasa kantuknya.

Umong merangkak bangun seraya kucek-kucek matanya, katanya: ''Mungkin hembusan angin menggerakkan rumput kau anggap orang apa matamu sudah lamur."

Dilain pihak, tergerak juga hati In tiong-yan, segera iapun membentak. "Main selundap selundup terhitung orang gagah macam apa? Hm, pernah kudengar Tionggoan ada seorang bernama Sip It-sian, kerjanya cuma mencuri ayam menggerayangi anjing, sebetulnya tidak terhitung orang gagah! Sip It-sian bukankah kau itu?"

Sip it sian bergelak tawa dan loncat turun dari puncak pohon katanya lantang: "Aku disini, kalian memang sudah picak (buta) terhitung orang gagah macam apa pula?"

Cohaptoh sangat murka, bentaknya. "Bagus keparat kau ini aku sedang ingin mencarimu!" kedua Busu itupun ikut memburu maju.

"Jangan kalian kena dipancing meninggalkan sarangmu." demikian teriak Umong memanggil kedua Busu itu.

"Benar, kalian balik dan jaga disana, biar kubantu Cohaptoh meringkus maling kecil itu."

Maksud Umong juga hendak memanggil pulang Cohaptoh, tak duga begitu terburu nafsu mengejar dengan kencang, sekarang In-tiong-yan juga ikut mengejar, keruan ia sedikit gugup.

Umong tahu bahwa Cohaptoh sangat sayang kepada poci pualam hadiah Dulai itu, sekarang dilihatnya pencopet yang dicurigainya, sudah tentu harus dikejarnya sampai barangnya dapat dirampas kembali. Dalam hati Umong berpikir, "Tenaga Cohaptoh memang besar tapi otaknya tumpul, sebaliknya Pile-kongcu cerdik pandai. Ginkangnya lihay lagi, biarlah beliau saja yang ikut mengejar, hatikupun tak tak perlu kuatir lagi." Kedua Busu itu sudah kembali maka Umong juga tidak bersuara lagi. Mana dia tahu justru In-tiong-yan secara diam-diam telah membantu pihak lawan.

Sebagai jago gulat kelas wahid, sudah tentu gerak gerik Cohaptoh pun cukup cekatan dan tangkas, larinya pun cepat bukan main. Tapi bila dibanding Ginkang In tiong-yan yang hebat itu masih terpaut satu tingkat. Ginkang In-tiong yan sendiri juga tidak mampu mengejar maling sakti nomor satu didunia Sip It-sian, kejar punya kejar jarak mereka bertiga semakin jauh.

Diam-diam Sip It-sian menerawang. "Apakah In-tiong-yan kawan atau lawan belum diketahui, untuk mengoreknya mungkin rada sulit. Baik, biar kuatur sebuah tipu daya, Busu keparat itu harus ditinggal jauh-jauh supaya aku bisa berkesempatan bicara berhadapan dengan In tiong-yan!"

Karena tidak bisa mengejar Sip It-sian, Cohaptoh semakin gugup dan murka, dari kejauhan mulutnya berkaok-kaok: "Jika kau tidak kembalikan pociku itu lari sampai ke ujung langit juga harus kuringkus kau, bila ketangkap kubetot ototmu dan kubeset kulitmu."

Sip It sian terbahak-bahak, serunya, "Kim tiang Busu kenapa begitu kikir dan gampang marah ! He, he, kau anggap poci itu sebagai mestika, dalam pandanganku tidak lebih berharga dari sebuah bakpau. Baik kukembalikan awas! kau sambut baik baik!" habis berkata tangannya lantas diayun melontarkan poci pualam itu kearah semak belukar sebelah lereng sana yang penuh duri. Tempat itu berada disebelah kiri atas Cohaptoh, jaraknya cukup jauh.

Cohaptoh hanya bisa mengumbar amarahnya saja, sungguh diluar dugaannya Sip It-sian benar-benar mengembalikan barangnya, terlihat selarik sinar hijau melayang laksana meteor terbang, tahu dia barang yang dilempar Sip It-sian itu memang benar adalah pocinya itu, keruan kejutnya bukan main, makinya, "Keparat, sundel !" Apa kau mau membanting rusak mestikaku !"

Sip It-sian tertawa gelak-gelak, serunya : "Barangmu sudah kukembalikan, tidak terima kasih malah memaki aku ?" Cohaptoh kuatir kehilangan mestikanya, tanpa pedulikan adu mulut lagi, cepat cepat ia memburu ke semak semak sana mencari mestikanya.

"Ciangkun tak usah marah," demikian ujar In-tiong-yan. "Biar aku yang meringkus pencuri ini dan diserahkan padamu nanti."

Dalam pada itu, Sip It sian masih berlari sekencang angin, In tiong yan juga mengejar dengan cepat. Sebentar saja mereka sudah menerjang masuk kedalam sebuah hutan lebat. Cohaptoh sudah ketinggalan jauh dan tidak terlihat lagi!

Setelah rada jauh baru Sip It-sian berpaling, katanya: "Bagus, selama puluhan tahun aku menjalani karirku sebagai pencopet bila ditangkap oleh seorang tuan putri, bakal menjadikan sebuah legenda yang cukup mengasyikkan, sungguh merupakan suatu kehormatan bagi diriku.. Mau tangkap silahkan tangkap."

"Setelah kau curi barangku akan kutangkap kau baru menjadi kenyataan!" demikian In-tiong yan berkelakar. Namun kelakar In tiong-yan ini membuat Sip It sian melengak heran, ia tidak paham kemana juntrungan kata kata In tiong yan.

In-tiong-yan mengeluarkan sejilid buku tipis terus diangsurkan kepada Sip It sian, katanya: "Aku tiada punya mestika apa yang pernah kau cari, hanya ada sejilid Ping hoat ini, mungkin termasuk barang yang sulit didapat. Hehe... sekarang tak perlu kau mempertunjukkan kepandaianmu lagi, nih kuberikan kepada kau saja."

Moyang Sip It sian yang bernama Sip Cian adalah salah seorang pahlawan gagah gunung Liang-san yang berjumlah seratus delapan itu. Rumahnya ada penyimpanan alat-alat tulis Go Yong itu, namun ia kenal memang benar adalah tulisan Go Yong.

Saking kegirangan Sip it sian sampai terlongong menjublek, tujuannya semula adalah hendak mengorek riwayat In-tiong yan, belum lagi ia sempat membuka mulut, tak duga ln tiong-yan sudah menyerahkan Ping hoat karya Go Yong kepadanya.

In-tiong yan tertawa, "Sebetulnya aku hendak menyerahkan kepada Hek swan hong, Hong-thian-lui bocah itu tidak mau percaya kepadaku, tidak mau tidak menjadi soal, sebaliknya malah melabrak aku. He, he, terpaksa sama saja kutitipkan kepada kau. Kapan saja bila kau ketemu sama Hek-swan hong, tolong kau serahkan kepadanya. Ha, kalau bicara sebenarnya bukan kuberikan kepadamu lho, justru menyusahkan kau saja, apakah kau sudi menolong melaksanakan pekerjaan itu?"

"Nona In, ternyata kau begitu baik hati," demikian puji Sip It sian terharu. "Hong-thian lui bocah itu betul betul buta melek ! Legakan hatimu, pasti akan kusampaikan kepada Hek swan-hong. Walaupun sekarang aku masih belum kenal dia, tapi aku punya banyak sahabat yang tersebar, konon Kaypang Pangcu Liok Kun lun kenal dengan Hek-swan hong, beliau adalah salah seorang temanku pula. Aku minta para sahabat membantu tentu tidak sukar dapat menemukan Hek swan hong."

In tiong yan berpikir dalam hati. "Aku berani percaya kepada kau, sayang Hong thian lui bocah itu tidak mau percaya kepada aku. Tapi tidak bisa salahkan dia. Aku tahu asal usul Sip It-sian baru berani menitipkan Ping-hoat itu kepadanya. Sebaliknya mana Hong-thian-lui tahu siapa aku sebenarnya?"

Agaknya Sip It-sian dapat meraba jalan pikirannya, katanya. "Nona In, apa kau ingin supaya Ling Tiat-wi mau percaya kepada kau?"

"Ya, walaupun aku belum menemukan akal untuk dapat menolong dia paling tidak harus membuatnya percaya kepada aku baru bisa turun tangan."

"Kuberi kau dua patah kata, sepulangmu katakan kepadanya tanggung selanjutnya dia tidak akan curiga lagi kepada kau!"

"Apa betul? Dua patah kata apa? Apakah benar begitu mujarab ?"

"Kau harus belajar logat dari kampungnya dulu baru kedua patah kata itu dapat manjur!"

Baru saja dia ajarkan dua kali, mendadak terdengar suara Cohaptoh berteriak dari luar hutan. "Tuan putri, apakah kau berhasil mengejar maling keparat itu?"

Cepat cepat In-tiong yan berkata lirih, "Cepat, cepat bertarung denganku."

Sip It-sian melolos golok yang tergantung dipinggangnya, kejap lain terdengar benturan senjata yang ramai, goloknya beruntun beradu dengan pedang panjang In tiong-yan sebanyak beberapa jurus.

In tiong-yan pura-pura berteriak, "Cohaptoh, lekas kemari. Celaka, maling ini hendak lari !"

Sip lt sian kiblatkan goloknya lalu terhuyung-huyung mundur pura-pura terluka serta menjerit keras, "Budak keparat, kejam benar kau !"

Waktu Cohaptoh memburu datang menurut arah suara, tampak segulung bayangan hitam melayang pesat secepat burung terbang menyelinap kedalam lembah sana, sebentar saja lantas menghilang. Waktu ia tiba Sip It-sian sudah lari jauh dan tidak kelihatan lagi.

In tiong-yan membanting kaki, serunya gregetan, "Keparat itu sungguh hebat dan lincah sekali Ginkangnya. Aku berhasil menusuknya sekali, sayang dia berhasil melarikan diri."

Cohaptoh sudah berhasil menemukan kembali pocinya, hatinya sudah puas dan senang, katanya tertawa, "Pendeknya dia sudah terluka, biarlah dia lari." dalam hati ia membatin, "Maling itu Ginkangnya begitu hebat, seumpama terus mengejar juga belum tentu bisa kecandak."

Sekembali ketempat semula, Umong bertanya secara melit akan pengalaman mereka bertempur tadi, diapun ikut merasa kaget dan dongkol, katanya, "Heran, mengapa dia mau mengembalikan pocimu?"

"Mungkin dia takut kami mengeroyoknya, maka menggunakan tipu daya merintangi Cohaptoh sebentar. Hehe, caranya meloloskan diri ternyata begitu lihay, bila Cohaptoh tadi membantu aku mengepung dia tanggung dia takkan mampu melarikan diri,'' demikian ujar In-tiong yan.

Mendengar nada kata-kata 'tuan putri'nya rada menyalahkan dirinya, Cohaptoh menjadi rikuh dan risi, katanya mengunjuk tawa dibuat buat, "Poci ini adalah pemberian Gwan-swe, aku kuatir bila mengejar dia dulu, sekembalinya pasti sukar menemukannya kembali."

Umong menepekur, dasar otaknya memang cerdik setelah sekian lama berpikir tiba-tiba ia berkata, "Keparat itu kecuali Gingkangnya yang lihay, ilmu silatnya boleh dikata cuma kelas kambing. Untuk apa dia kemari menempuh bahaya begitu besar ? O, dia adalah pencopet nomor satu diseluruh dunia, pencopet sakti nomor satu . . . ."

In-tiong-yan pura-pura seperti tersentak dan sadar, tangannya meraba-raba bajunya seperti memeriksa apa apa, tiba-tiba ia berteriak kejut: "Aduh, celaka!"

Cohaptoh berjingkrak kaget, tanyanya gugup, "Celaka apa?"

"Pinghoat itu, Pinghoat itu telah hilang."

Kontan Cohaptoh dan Umong berubah pucat air mukanya, Umong membanting kaki sambil menggerutu, "Cohaptoh, gara-garamu ingin minta kembali poci pualammu segala, coba lihat bukankah hasil kecil kehilangan besar ?"

Cohaptoh menjadi bingung, namun coba membela diri, "Orang itu adalah copet sakti nomor satu diseluruh kolong langit, aku berhasil meringkusnya tapi malah kehilangan poci mestika. Tapi seumpama aku berada disamping tuan putri, mungkin tuan putri juga bakal terjungkal akan kepintarannya."

"Kalian tidak perlu ribut, barang itu akulah yang menghilangkan. Dihadapan Koksu akulah yang bertanggung jawab takkan merembet kalian."

Umong sendiri sudah menyaksikan betapa lihay pencopet sakti itu menguras seluruh barang milik Cohaptoh, meskipun dia merasa di luar dugaan akan tuan putrinya yang kehilangan Pinghoat itu, bagaimana juga ia tidak berani bercuriga bahwa Pinghoat itu justru telah diberikan oleh tuan putrinya sendiri.

"Terima kasih akan budi tuan putri," demikian seru Cohaptoh menjura, setelah menyatakan terima kasih dengan menunduk lesu ia berkata pula: "Hari hampir terang tanah. Kita harus siap untuk berangkat! Ai semoga koksu tidak memberi hukuman berat pada kita."

Mendengar Sip It sian berhasil mencuri Pinghoat itu dari In tiong-yan sungguh girang hati Hong-thian lui bukan main, tak tertahan lagi ia tertawa geli.

"Apa yang kau tertawakan?" jengek In-tiong-yan gusar.

"Aku tertawa sendiri, ada sangkut paut apa dengan kau?"

"Hm," dengus In-tiong-yan. "kami bersikap baik kepadamu, sebaliknya kau malah bersukur bila kami menemukan kesukaran. Huh, kalau tidak diberi hajaran sukar melampiaskan rasa dongkolku." meraih pecut "Tar, tar, tar," beruntun tiga kali ia melecut kepada Hong-thian-lui, ketiga pecutannya semua mengenai pantat Hong-thian lui.

Umong tahu akan sifat In tiong-yan itu, angin kekuatannya menderu keras terang menggunakan tenaga sepenuhnya, agaknya betul-betul kena marah ia menjadi kuatir bila hajaran In tiong yan terlalu berat dan membikin mati tawanan, segera ia mencegah, "Bocah ini tidak tahu diuntung, memang pantas untuk dihajar, tapi Koksu minta ditawan hidup-hidup, kalau tuan putri sudah melampiaskan amarah, janganlah menghajarnya terlalu berat lagi."

"Itu tergantung apakah selanjutnya dia mau dengar kata, kalau tidak biar Koksu marah kepadakupun tak peduli lagi, kuhajar dia lebih dulu perkara belakang."

Menurut adat Hong thian-lui, dirinya kena dihajar tiga kali betapapun dia pasti nekad untuk adu jiwa dengan musuh, seumpama tiada tenaga untuk berdiri, mungkin ia menubruk maju menggigit dengan giginya. Tapi sungguh ia tak memaki lagi, hanya mukanya saja yang hitam itu masih mengunjuk rasa gusar yang meluap luap.

Segera Cohaptoh maju melerai, "Bagus bocah ini kiranya tahu kapok sekarang. Tuan putri, kaupun tak perlu marah lagi."

Ternyata meskipun watak Hong thian-lui sangat keras dan berangasan, tak mau terima dihina orang. Tapi sebagai seorang ahli silat, ketiga kali pecutan In-tiong-yan kelihatannya menggunakan tenaga penuh, semula iapun menyangka dirinya bakal terluka berat oleh hajaran ini, siapa tahu begitu mengenai pantatnya, bukan saja tidak sakit malah sebaliknya merasa nyaman, seluruh jalan darahnya menjadi normal mengalir lagi. Baru sekarang Hong thian-lui menjadi jelas duduknya perkara, tahu dia bahwa In-tiong-yan menggunakan akal pecutnya itu mewakili jari-jemarinya untuk mengurut jalan darahnya, sehingga berjalan normal kembali.

Harus diketahui seluruh tubuh Hong-thian lui saat itu masih serasa lemah dan linu karena cengkeraman dan remasan tangan Cohaptoh yang menggunakan Hun-kin-joh kut itu. Permainan Hun-kin-joh-kut memang satu sumber dari kepandaian ilmu untuk jalan darah, kalau waktunya bersarang terlalu lama bakal bebas sendiri, namun tenaganya sebagian besar terkuras. Sekarang In-tiong-yan menggunakan caranya yang lihay itu untuk mengurut jalan darahnya, meskipun tidak bisa segera dapat memulihkan seluruh tenaganya, paling tidak dapat menyehatkan badannya dari serangan penyakit lumpuh.

O^~^~^O

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar