Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Jilid 09

Jilid 09

"Rahasia apa ?"

"Yaitu intrik Khu Tay-seng dengan para penjahat itu untuk mencelakai jiwamu."

"Apakah benar kejadian ini?" Hong-thian-lui menegas dengan kaget.

"Kalau tidak mana mungkin aku datang tepat pada waktunya."

Hong-thian-lui menarik napas panjang, katanya menghela napas : "Tak heran kau bilang tahu orangnya tahu mukanya tak tahu hatinya. Sungguh tak nyana Khu Tay-seng melakukan perbuatan serendah itu. Tapi cara bagaimana kau mendengar pembicaraan rahasia mereka ?"

Geng Tian berkata : "Kemarin waktu aku berada di Sam ciok-kang, kawanan penjahat itu kebetulan ditempat itu juga. Aku berada dibelakang mereka, sekali pandang lantas aku tahu mereka adalah kaum persilatan, mereka tiada yang memperhatikan aku. Sam-ciok-kang apakah kau tahu tempat itu?"

"Tempat itu merupakan tiga persimpangan jalan, ada batu yang berukir menunjukkan jalan, karena lumutan, huruf huruf diatas batu itu menjadi aos dan burang tak bisa dibaca lagi."

"Benar, ditempat itulah, waktu aku hendak tanya jalan kepada orang disana, kebetulan para penjahat ini juga mencari tahu kepada seorang petani yang kebetulan lewat. Yang mereka tanya adalah alamat Lu Tang-wan Lo-sian-seng. Begitu mendengar nama tuan penolongku sudah tentu aku lantas pasang kuping."

"Kukira mereka tidak memberitahu kepada petani itu untuk urusan apa mereka mencari Lu Tang- wan bukan ?"

"Sudah tentu tidak. Namun menimbulkan rasa curigaku. Lu Tang-wan adalah tuan penolongku, untuk apa kawanan penjahat ini mencari beliau? Bila mana sahabat Lu Tang-wan syukurlah, tapi jika mereka itu musuh, tidak bisa tidak aku harus turut campur. Oleh karena itu aku lantas menguntit mereka secara diam diam. Untung jalan yang mereka tempuh harus menerobos hutan dan jalan pegunungan, dari kejauhan aku menguntit jejak mereka ternyata tidak konangan."

Hong thian lui sudah saksikan Ginkang-nya yang hebat, dengan tertawa ia berkata : "Seumpama tidak berada didalam hutan, untuk mengetahui jejakmu, mereka juga tidak mampu."

Selanjutnya Geng Tian meneruskan ceritanya : "Setelah beberapa lama, mungkin menyangka daerah itu sepi, diatas pegunungan lagi, tentu tiada orang lain, maka mereka lantas bicara sesuka hati. Salah seorang berkata : "Khu Tay-seng bocah itu apakah laporannya dapat dipercaya ?"

Seorang yang lain menyahut : "Buat apa ia membual kepada kita ? kali ini adalah kesempatan yang sukar dicari, umpama menubruk tempat kosong juga tidak menjadi soal."

Orang yang bicara duluan tadi berkata pula : "Bukan takut menyergap tempat kosong, aku kawatir Khu Tay-seng bocah itu terlalu mementingkan pribadinya sendiri, bocah she Ling ..."

Belum orang ini selesai bicara, seorang yang lain segera mencegah : "Hus, hati-hati, meskipun di sini tiada orang lain, waspadalah bila dalam hutan ada orang pasang kuping."

Orang itu tertawa, ujarnya : "Kecuali kuping angin lalu. Baiklah, kalau kau takut dicuri dengar orang, kita tak usah memperbincangkan nama orang ini."

"Hehehe, meskipun aku bukan kuping angin lalu, tapi pernah melatih ilmu mendekam ditanah mendengarkan suara jauh. Sudah tentu mereka tidak menduga akan hal ini."

"Orang she Ling yang mereka bicarakan itu pasti aku. Apa yang mereka bicarakan mengenai aku ?"

Orang itu berkata : "Bocah she Ling itu pernah membantu Lu Tang wan mengalahkan musuh besar Lian Tin-san, sehingga Lu Tang-wan tidak cidera dan mendapat malu di depan umum."

Seorang lain tertawa, katanya : "Peristiwa itu sudah menjadi berita hangat dan tersebar luas dikalangan Kangouw. Ciok-jiko apa takut kami tidak tahu seluk beluknya?"

Orang she Ciok itu buka mulut : "Justru karena peristiwa itu, maka aku merasa sangsi."

Tanya orang itu, "apa yang kau sangsikan ?"

"Aku pernah tanya seorang tamu yang tinggal beberapa hari dirumah Lu Tang-wan, katanya putri Lu Tangwan berhubungan intim dengan bocah she Ling."

Kawannya itu terbahak-bahak, ujarnya : "Ciok-jiko, memangnya kau takut terhadap perempuan kecil ? Anggap saja perempuan itu memang jatuh cinta pada bocah itu, lalu kenapa ?"

Seorang lain menimbrung : "Benar, asal usul bocah ini (suaranya sangat lirih, beberapa patah katanya tak jelas terdengar ) . . . Apa kita harus lepaskan dia ? Seumpama dia sudah menjadi menantu Lu Tang wan, kita juga harus sikat dia."

Orang she Ciok itu berkata lagi : "Aku kawatir laporan Khu Tay-seng palsu tentang asal usul bocah she Ling itu, karena ia kawatir bocah she Ling itu merebut Piaumoaynya."

Sampai di sini kawan-kawannya baru sadar, katanya : "O, sekarang aku paham Ciok-jiko, tadi kau bilang Khu Tay-seng mementingkan pribadinya, kiranya tentang soal ini. Tugas yang harus kita lakukan umpama salah gasak satu dua orang tidak menjadi soal."

Orang she Giok itu berkata : "Kalau salah gasak dua tiga orang lain sudah tentu tidak jadi soal. Tapi persahabatan Lu Tang-wan amat luas, dia tidak pernah salah atau melanggar hukum kerajaan, bila bocah she Ling itu bukan buronan yang harus kita incar, kuanjurkan kita jangan bermusuhan dengan Lu Tang-wan, kedudukan kita harus dirahasiakan, jikalau Lu Tang wan menuntut balas terhadap kita, dia bisa menuntut dengan aturan kangouw, tak mungkin kita gencet dia dengan kekuatan hukum."

Mendengar penjelasan ini, kawannya itu menjadi sangsi, mereka bertanya, "Tokko toako, bagaimana menurut pendapatmu?" Orang yang mereka panggil Tokko toako adalah Tokko Hiong itulah.

Tokko Hiong menepekur, sesaat lamanya baru menjawab : "Tidak usah gelisah, apakah benar bocah she Ling itu adalah buronan yang harus kita tangkap, cukup hanya angkat tangan saja lantas dapat kuketahui."

Kawan kawannya heran, tanyanya: "Hah, cara bagaimana kau bisa tahu?"

Sahut Tokko Hiong kalem : "Menurut apa yang kutahu, orang itu berlatih Bit-le-ciang. Meski Bit le ciang aku tidak bisa, namun aku pernah lihat."

Mendengar Tokko Hiong bisa membedakan tulen dan palsu, beramai ramai mereka berkata: "Kalau begitu melegakan. Kalau bocah itu tulen, bila kita berhasil meringkusnya, umpama Lu Tang wan tahu, apa dia berani menanggung resikonya."

Geng Tian dengan jelas menuturkan pembicaraan yang dicuri dengar itu kepada Hong-thian-lui, akhirnya ia berkata, "Hari itu mereka tidak menyebut asal usulmu, tapi aku sudah curiga. Orang she Ling yang bisa gunakan Bit le ciang ilmu warisan orang gagah digunung Liang-san, tentu adalah anak keturunan Hong-thian lui Ling Tin. Ternyata dugaanku tepat." lalu ia meneruskan lagi : "Sekarang kau mau percaya bukan bahwa Khu Tay seng bocah keparat itu hendak mencelakai jiwamu? Huh, bila tidak kupandang muka Lu-hujin, aku tidak memberi ampun padanya."

Sejenak Hong-thian lui terlongong, mendadak menghela napas panjang.

"Saudara Ling, baik baik saja kenapa mengeluh?"

"Tidak jadi soal bila Khu Tay seng hendak mencelakai aku, aku kawatir, kawatir....."

"Kau kawatir nona Lu ditipu olehnya?"

"Benar, mereka adalah Piau-heng-moay, betapapun nona Lu tidak menyangka bahwa Piaukonya seorang yang keji bermartabat rendah. Ada orang macam itu berada disampingnya, setiap hari kumpul bersama, betapa aku tidak akan kawatir."

"Bagus, apa kau ingin aku kembali melaporkan hal ini kepada mereka ibu beranak ?"

Hong thian lui geleng kepala, ujarnya: "Mana mungkin Luhujin mau percaya keteranganku? Kawatirnya dia malah anggap kau sekongkol dengan aku untuk menfitnah keponakannya. Giok yau sendiri juga belum tentu percaya, lebih baik tak usah dikatakan saja."

"Kulihat nona Lu ketarik terhadap kau, walaupun kau tidak berada disampingnya. Khu Tayseng jangan harap dapat merebutnya."

Merah muka Hong thian lui, katanya menyeringai : "Saudara Geng jangan kau berkelakar." dalam hati diam diam ia berkata, "Semoga begitulah!"

"Baiklah, nanti kami bicarakan urusan penting saja. Eh, apa pula yang tengah kau pikirkan?"

"Tokko Hiong pernah berkata bahwa mereka adalah kaki tangan In tiong-yan, aku tengah berpikir, cara bagaimana Khu Tay-seng berkenalan dengan mereka? Menurut Tokko Hiong, terang mereka kemari karena perintah In-tiong-yan untuk melawan aku." dalam hati ia membatin bila ucapan Tokko Hiong itu benar, maka peristiwa hari ini tiada hubungannya dengan Khu Tay-seng.

Geng Tian tertawa lantang, katanya: "Saudara Ling, kau seorang jujur, apakah ucapan Tokko Hiong juga kau percayai? Tapi memang ingin aku tanya kepada kau, orang macam apakah sebetulnya In-tiong-yan itu?"

Benak Hong thian lui berpikir : "Rahasia Ping-hoat karya Go Yong itu tiada halangannya kuberitahu kepada kau." lalu ia bercerita pengalamannya di Liang-san, dimana ia berjumpa dengan In-tiong-yan dan Hek-swan-hong secaca blak blakan dikisahkan kepada Geng Tian.

Geng Tian merasa hambar, katanya, "Menurut ceritamu, In-tiong yan adalah 'tuan putri' dari kerajaan Kim?"

"Menurut kabarnya, Wanyen Tiang ci, komandan Gi-lim-kun dari kerajaan Kim punya seorang putra dan seorang putri, In-tiong-yan bisa jadi adalah putri Wanyen Tiang-ci."

Mendadak Geng Tian berkata, "Bagaimana asal usul In-tiong-yan aku tidak tahu. Tapi menurut apa yang pernah kudengar, In-tiong-yan tidak seburuk apa yang kau ucapkan tadi."

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Hong thian-lui melengak.

"Meskipun aku jauh berada di Kanglam namun sering ayah kedatangan para sahabatnya dari utara, menurut kisah mereka, seolah olah In-tiong-yan adalah pendekar perempuan !"

"Baik atau buruk, Hek swan hong juga tidak dapat menilainya, tapi kalau benar-benar dia seorang pendekar, kenapa dia merebut Ping-hoat karya Go Yong dan tidak serahkan kepada Hek-swan-hong ?"

"Aku sedikit curiga, berita yang didengar memang tidak harus dipercaya. Nah, soal In-tiong-yan tidak perlu dibicarakan lagi. Hek-swan hong yang kau sebut-sebut tadi rasanya ingin aku berkenalan dengan dia."

"Tempo hari Hek-swan-hong bilang hendak pergi ke Taytoh untuk mencari Liok-pangcu dari Kaypang, sekarang sudah lewat tiga bulan, mungkin dia sudah meninggalkan Taytoh menuju ketempat lain. Jejaknya tidak menentu, untuk menemuinya memang cukup sulit."

Sepanjang jalan mereka mengobrol sehingga tidak kesepian. Luka luka Hong-thian lui belum sembuh, setiap hari mereka hanya menempuh seratus li saja. Supaya tidak kepergok dengan musuh, mereka berjalan lewat pegunungan, sering tak menemukan tempat untuk menginap. Untung Hong-thian lui kekar dan tegap, bermalam ditempat terbuka sudah menjadi kebiasaannya. Apalagi ada sahabat kental mengiringi perjalanannya, meski lukanya belum sembuh seluruhnya, ia pun tidak terlalu menderita.

Hari itu mereka tidak mendapatkan tempat berteduh, padahal cuaca sudah gelap, mereka masih berada di hutan belantara, cari punya cari tiada tempat yang cocok untuk bermalam, Hong-thian lui angkat kepala celingak celinguk mencari tempat, tiba-tiba ia melihat sesuatu, katanya: "Nasib kita agak beruntung, disebelah sana ada perumahan."

Waktu Geng Tian melongok kesana, ia-pun tertawa, ujarnya: "Itulah biara kuno, tentunya sudah keropos. Coba lihat, patung Mi le hud ditengah ruang sembahyang samar samar kelihatan."

"Asal ada tempat berteduh saja, biara bobrok juga baik, dari pada ditempat terbuka."

Memasuki biara kuno itu, tampak gelagasi terbentang dimana mana, debu dan kotoran bertumpuk tebal, genteng dan atapnya sudah bobrok, demikian juga meja sembahyang juga sudah lapuk. Segera Hong thian-lui turun tangan, menyapu membersihkan tempat untuk tidur, sambil menggeliat ia berkata tertawa: "Ingin rasanya aku tidur pulas, tapi perutku sudah mulai keroncongan, marilah kita cari barang makanan dulu."

"Saudara Ling, kesehatanmu belum sembuh, selama beberapa hari ini kau cukup menderita. Biar aku memburu ayam alas atau kelinci, silakan kau tidur saja."

"Apa kau kira aku pemuda lemah yang biasa diladeni macam anak penggede ? sedang kau kerja sendirinya ?"

"Kalau kau ingin bekerja, maka tugasmu membikin api saja. Bicara terus terang, walaupun aku tidak biasa diladeni, namun pekerjaan rumah sedikitpun aku tidak mampu mengerjakan, apalagi membuat api, sering aku keselomot, muka kena abu mata kelilipan lagi setengah hari belum tentu berhasil."

Hong-thian-lui tahu Geng Tian prihatin akan kesehatannya, namun Geng Tian tidak mampu bikin api unggun memang kenyataan. Hong-thian-lui sangat haru dan terima kasih akan kebaikannya, maka ia tidak berdebat lagi. Katanya : "Baiklah kudoakan kau berhasil memburu kelinci yang gemuk-gemuk, tapi harus cepat pulang. O, ya, kantong air itu juga sudah kosong, kau harus cari sumber !"

"Soal air gampang, tadi waktu manjat gunung, aku sudah memperhatikan dibawah selokan sana ada aliran sungai."

Setelah Geng Tiang pergi, Hong thian-lui mengumpulkan dahan-dahan pohon kering, didepan ruang patung Mile-bud ia membuat api unggun, hawa dalam ruangan menjadi hangat dan keringatpun membasahi jidatnya. Sambil menunggu Geng Tian pulang ia merebahkan diri, saking kelelahan menempuh jalan jauh, tanpa merasa ia tertidur pulas.

Entah berapa lama ia tertidur, lapat-lapat terasa ada seseorang berjalan mendekat kesamping badannya, lalu terdengar suara tawa cekikikan. Lagi seorang yang pernah melatih ilmu tingkat tinggi, sedikit mendengar suara lirih saja segera terjaga dari tidurnya. Belum Hong thian-lui sempat buka mata, ia melompat bangun seraya berteriak ; "Saudara Geng Tian, kau sudah kembali !"

Setelah melontarkan ucapannya baru ia dengar tawa cekikikan yang merdu nyaring, keruan Hong-thian lui terperanjat, waktu ia membuka mata, tampak yang berdiri dihadapannya ternyata seorang gadis yang bermata bening berwajah lonjong, bukan Geng Tian seperti yang pikirannya.

Hilang rasa kantuk Hong-thian-lui, setelah tertegun sebentar mendadak ia berjingkrak bangun seraya membentak: "Bagus, aku memang ingin membuat perhitungan dengan perempuan siluman kau ini."

Ternyata gadis ini bukan lain adalah In tiong yan yang merebut Ping-hoat Karya Go Yong dipuncak liang-san itu.

Sekali raih Hong-thian-lui mencengkeram pundak orang. Dengan cekikikan ln-tiong yan mengegos kesamping, serunya tertawa; "Hong- thian-lui bukan untuk berkelahi aku mencari kau."

Hati Hong-thian lui membatin; "Dari mana dia tahu julukanku? O, benar, Tokko Hiong adalah anak buahnya, sudah tentu Khu Tay-seng memberi tahu kepada Tokko Hiong dan Tokko Hiong memberitahu padanya.''

Dendam dan penasaran berkecamuk dalam benaknya, tanpa bicara segera Hong-thian lui membentak sekeras guntur menggelegar, kedua telapak tangannya berbareng menghantam kedepan kakinya; "Kau tak mau berkelahi dengan aku, sebaliknya aku harus membuat perhitungan dengan kau."

In-tiong-yan sudah merasakan kelihayan pukulannya, insaf kalau mengadu pukulan dirinya bukan tandingan terpaksa ia mencabut pedang, segera ia lancarkan serangan yang gencar untuk memunahkan rangsekan Hong-thian lui.

Gerak-gerik Hong-thian lui kurang lincah, "sret !" tahu-tahu ujung pedang tiong-yan menusuk tiba, meskipun tersampuk miring oleh kekuatan pukulannya, namun ujung pedang itu menyamber lengan baju Hong-thian lui terpapas sebagian.

In tiong-yan melengak, batinnya: "Banyak orang bilang dia luka parah oleh pukulan Lian-tin san, agaknya memang betul. Tak heran Lwekangnya jauh mundur dibanding dulu."

Setelah memunahkan jurus rangsekan Hong-thian-lui ini, ln-tiong-yan masukkan pedang kedalam rangkanya, katanya tertawa: "Hong-thian lui, lukamu belum sembuh, kalau berkelahi kau tak bisa menyalahkan aku, lebih baik kau sabar dan dengar penjelasanku, bagaimana ?"

Hong-thian lui menjadi murka, semprotnya : "Kalau berani hayo layani aku tiga ratus jurus, jangan kau lari ! Berani kau katakan aku tidak bisa menang, hah, biar tidak bisa menang, tetap kulabrak kau."

In-tiong-yan geleng-geleng kepala, katanya : "Kau memang kasar dan berangasan, kenapa tidak bisa membedakan baik dan buruk."

"Hm, sejak lama aku sudah kenal martabatmu siluman perempuan ini. Kau masih pura pura menjadi orang baik dihadapanku!"

Ilmu pukulan Bit-le-ciang Hong thian lui sangat keras dan ampuh, walau luka-lukanya belum sembuh, namun dalam gebrak dua tiga puluh jurus, In-tiong-yan harus melayani dengan hati hati.

In-tiong-yan kembangkan kelincahan gerak tubuhnya seperti kera berloncat, maksudnya untuk menguras tenaga murni Hong-thian-lui, serunya : "Mari, kalau dilanjutkan pasti akan kecundang. Aku tidak akan bunuh kau, cukup kutampar dua kali dikanan kiri pipimu lalu lari, harap tanya apa yang dapat kau lakukan atas diriku ?"

Hong-thian lui tidak takut dihajar atau terluka, tapi bila kalau ditampar dua kali oleh 'siluman perempuan' ini, betul-betul merupakan penghinaan terbesar bagi dirinya tanpa merasa hatinya menjadi was-was dan gelisah, kawatir In-tiong-yan benar-benar melaksanakan ancamannya. Serta merta kakinya lantas menyurut mundur selangkah melancarkan Thi-so heng-kang, kedua tangan melintang didepan dada melindungi badannya.

In tiong-yan merasa longgar dan tertawa riang, katanya : "Jangan gugup, tak usah gelisah, asal kau menjawab pertanyaanku, aku tidak akan menampar pipimu. Aku hanya ingin tahu dimana kawan karibmu Hek-swan-hong sekarang berada ?"

"Untuk apa kau mencari tahu jejaknya?" jengek Hong-thian-lui dingin, "Hek swan hong adalah kesatria sejati yang gagah perwira, dia takkan kepincut kepada kau perempuan siluman ini, kunasehatkan padamu jangan kau mimpi disiang hari bolong !"

Kapan In tiong-yan pernah digoda dan diolok begitu rupa oleh orang lain tanpa merasa timbul rasa marahnya, tampak alisnya berdiri, makinya: "Kau, kau bocah goblok ini bermulut anjing yang tidak tumbuh gading !"

"Justru mulutmu yang tidak tumbuh gading! Berani kau maki aku."

In-tiong-yan menubruk maju, katanya lagi: "Bukan saja kumaki kau, akan kutampar mulutmu. Coba masih tidak berani mulutmu sembarang omong."

Hong-thian-lui menjadi keder kalau ditampar mulutnya, segera ia mundur beberapa langkah, menjaga diri tanpa berani balas menyerang.

Pukulan membela diri dikembang begitu rapat seumpama hujan badaipun takkan tembus. Dalam hati ia berpikir; "Kalau Geng toako kembali, tak perlu takut lagi menghadapi perempuan siluman ini. Huh, bila siluman perempuan ini kuringkus, pertama akan kutampar dulu mulutnya."

Permainan In tiong-yan ternyata enteng dan lincah seperti kupu kupu menari dipucuk bunga, tunjuk timur hantam barat, serang selatan menggempur utara, setiap menyerang, setiap kali terpental mundur oleh getaran angin pukulannya. Lambat laun hatinya menjadi gentar, batinnya : "Bocah ini berkelahi dengan ngotot dan membabi buta, bila aku tidak melolos pedang melukainya, dalam satu dua jam tak mungkin merobohkan dia. Tapi kalau aku melukai dia, tentu Hek-swan-hong anggap aku sebagai musuh. Apalagi luka-luka pemuda gendeng ini belum sembuh, bila kugunakan pedang untuk mengalahkan dia, kemenanganku tidak patut dibanggakan."

Entah berapa lama mereka saling labrak dan hantam, akhirnya In-tiong-yan dapat menyabarkan diri, tanyanya : "Hong thian-lui, kenapa kau benci kepada aku?''

Sebaliknya Hong-thian-lui tengah berpikir : "Kenapa Geng-toako belum lagi pulang ? Baik biar perempuan siluman ini bermain petak untuk mengulur waktu.'' Segera ia menjengek dingin, sahutnya, "Perbuatanmu sendiri masa kau tidak tahu. Hm, apa tidak pantas kubenci kau ?"

Bertaut alis In-tiong-yan, tanyanya : "Karena Ping-hoat itu kurebut bukan ? Ping-hoat itu sekarang kubawa kemari, asal kauberitahu dimana Hek-swan hong berada, aku akan kembalikan kepadanya. Atau kuserahkan kepadamu juga boleh, tapi kau harus bersumpah, bahwa Ping hoat ini akan kau serahkan kepada Hek swan hong."

Sudah tentu Hong-thian-lui tidak percaya obrolannya, katanya dingin : "Siluman perempuan, mulut manismu dapat menipu siapa? Hm, memangnya kau baik hati. Kenapa kau hendak mencelakai jiwaku ?"

In tiong-yan tertegun, tanyanya, "Tak mengerti, katamu aku hendak mencelakai kau?"

"Jangan pura pura pikun. Bukankah Tokko Hiong itu utusanmu ?"

"Tokko Hiong apa?" In-tiong-yan menegas dengan heran, "aku tak kenal orang itu, kau bilang aku mengutus dia mencelakai kau, dari mana asal mula kejadian ini?"

"Siuman busuk masih mungkir. Apakah Tokko Hiong bukan anak buahmu ?" semprot Hong thian-lui makin murka.

In tiong-yan menjadi geli melihat tingkah laku orang, katanya tertawa; "Sekali lagi kau maki aku 'siluman', aku tak sungkan lagi kepada kau. Coba kau terangkan kejadian itu secara ringkas, menurut hematku, hal ini ada latar belakang yang mencurigakan."

Mendengar jawaban orang, Hong-thian lui menjadi sangsi dan ragu-ragu, pikirnya : "Memang, bila dia ingin mencelakai aku, waktu dia datang aku sedang pulas, gampang dia mencabut jiwaku. Apa betul dalam hal ini ada latar belakang yang tersembunyi ?"

Karena curiga, Hong-thian lui senang dihadapi dengan lemah lembut dan marah kalau pakai kekerasan. ln-tiong-yan jengkel karena selalu dimaki sikapnya seperti sedang memberi nasehat lagi, sudah tentu Hong-thian-lui tetap penasaran, sebetulnya dia hendak menjelaskan peristiwa Tokko Hiong tempo hari, namun diurungkan. Pikirnya: "Aku tidak kalah bersikap lemah, bila aku bicara wajar tentu disangka takut kepadanya. Hm, walaupun ucapan Tokko Hiong tidak dapat dipercaya, apa ucapannya dapat dipercaya ? Siapa tahu sengaja dia putar balik persoalan dengan tipu muslihat lain untuk menjebak aku, jangan kau tertipu olehnya. Seumpama kututurkan peristiwa itu, diapun bisa mungkir seenak udelnya sendiri."

"Sudah kau pikir belum," desak In tiong yan. "Atau masih ingin melabrak aku lagi?"

"Benar, memang aku ingin tahu berapa tinggi ilmu silatmu, silakan kaukeluarkan ilmu simpananmu. "

Dongkol dan gemas pula In-tiong yan dibuatnya katanya: "Kau, bocah dungu, baik, disuguh arak tidak mau sebaliknya ingin dihajar, terpaksa kulabrak kau."

Pada saat itulah, terdengar suara Geng Tian bertanya dari kejauhan: "Ling toako, siapa yang sedang bicara dengan kau ?" yang digunakan Geng Tian adalah ilmu mengirim gelombang suara, orangnya masih satu li jauhnya, namun suaranya terdengar seperti dipinggir telinga, setiap patah katanya terdengar sangat jelas.

In-tiong-yan terkejut batinnya: "Orang ini bukan Hek-swan-hong, siapakah dia punya Lwekang begitu tinggi ?"

Hong-thian lui berteriak kegirangan, "Geng-toako lekas datang, siluman perempuan ini ajak aku berkelahi. Lekas datang, jangan sampai dia melarikan diri."

Disaat Hong-thian-lui berteriak kegirangan itulah mendadak In-tiong yan menyergap maju, menutuk jalan darahnya.

Dikata lambat kenyataan sangat cepat, terdengar Geng Tian berteriak: "sudah, ya, aku datang !" sebelum gema suaranya lenyap diatas pegunungan, gerak tubuhnya laksana kilat sudah berkelebat diambang pintu biara.

Dengan gaya ikan gabus meletik tiba-tiba Hong thian lui mencelat bangun seraya berteriak: "perempuan siluman, jangan lari! Mari buktikan, kau yang menampar aku atau aku yang menggampar kau !"

Padahal In-tiong-yan menutuk dengan Jhong-jiu-hoat, namun sejak kecil Hong-thian-Iui sudah digembleng hingga badannya keras dan kasar, dasar Lwekangnya jauh lebih tinggi dari In-tiong-yan, karena itu meski jalan darahnya tertutuk, rasanya cuma linu dan kesemutan, sebentar lantas hilang rasa sakitnya.

Tujuan In tiong-yan hendak menawannya untuk sandera, melihat tutukannya tidak membawa hasil ia menjadi gugup dan berpikir : "Bocah gendeng ini membenci aku, ilmu silat kawannya kelihatannya lebih tinggi dari aku, seorang gagah harus bisa melihat gelagat, dari pada diringkus dan dihina lebih baik melarikan diri saja !" sebat laksana burung walet menerobos kerai, ia melesat lewat jendela samping.

Melihat gerak-gerik In tiong-yan lincah dan sebat Geng Tian juga bercekat hatinya, dengan tangkas ia letakkan kantong air dan dua kelinci buruannya diatas tanah serta bertanya : "Ling-toako, apakah nona itu yang bernama In-tiong-yan ?"

Hong-thian-lui berseru gugup : "Benar, lekas kejar jangan lepaskan dia."

"Jangan kawatir, dia tak bisa lari!" begitu memutar tubuh laksana bayangan mengikuti bentuknya, ia mengejar keluar jendela.

Biasanya In-tiong-yan membanggakan Ginkangnya, mendengar perkataan Geng Tian, jengkel hatinya, katanya : "Baik, boleh kita berlomba, coba Ginkang siapa lebih unggul.'' Setelah meletakkan kantong air dan kedua kelinci buruannya baru Geng Tian mengejar, tatkala itu In-tiong-yan sudah menerobos hutan lebat, Geng Tian tidak melihat bayangannya.

Sudah tentu In-tiong yan tidak mau mengendorkan langkahnya entah berapa jauh ia berlari dengan kencang, namun Geng Tian tidak mengejar, dalam hati ia membatin : "Mungkin dia kehilangan arah dan tidak tahu dimana aku sekarang, mana mampu mengejar aku. Tapi aku datang dengan tujuan tertentu, maksudku menjadi gagal total, seumpama menang juga tiada artinya."

Baru lenyap pikirannya, mendadak terdengar suara Geng Tian bicara dipinggir kupingnya : "Ginkang hebat, memang tidak kosong julukan In tiong-yan."

In tiong yan berjingkrak kaget, waktu ia menoleh, tampak Geng Tian menerobos keluar dari hutan. Kecepatan gerak tubuhnya sungguh sukar dilukiskan. In tiong yan hanya merasa angin berkesiur dan segulung bayangan putih lewat disampingnya. Waktu ia menoleh Geng Tian sudah memutar tubuh menghadang di depannya.

Sambil kertak gigi In-tiong-yan berseru: "Baik, mari kujajal ilmu pedangmu !" sembari bicara kakinya tidak berhenti, tiba-tiba pedang sudah dilolos melancarkan serangan, ilmu pedangnya telengas, lincah dan tangkas sekali, boleh dikata latihannya sudah sempurna, serangan dapat dilancarkan sesuka hati.

Geng Tian berseru memuji lagi, pelan-pelan kipasnya menindih terus didorong ke samping seraya berkata : "Aku bukan ahli pedang, terpaksa tidak bertanding pedang dengan nona. Biar kulayani saja dengan kipasku ini !"

Seperti acuh tak acuh kipasnya menyampok dan menyontek, gampang ia tangkis pedang Ceng-kong kiam In-tiong-yan kesamping. Bergerak belakang namun tiba lebih dulu, dibanding In-tiong yan gerakannya tiga bagian lebih cepat.

Diam-diam mengeluh benak In-tiong-yan pikirnya : "Tak nyana kebentur lawan tangguh lagi. Ginkang orang ini lebih tinggi dari aku, lari terang tak mungkin, kali ini aku meski celaka."

Geng Tian sengaja perhatikan permainan ilmu pedangnya, setelah gebrak tiga lima puluh jurus, permainan lawan sangat ganjil dan beraneka ragam perubahannya, jauh berbeda dengan ilmu pedang semua golongan dari Tiong-goan. Tapi ada beberapa jurus diantaranya memang mirip, lambat laun hatinya heran dan curiga. Sekonyong-konyong teringat olehnya seorang, dalam hati ia membatin : "Coba kupancing dia."

Puluhan jurus lagi, mendadak Geng Tian bertanya : "Apa hubunganmu dengan Tiang-hui Sutay dari Long sia-san ?"

Diam-diam ia perhatikan air mukanya tampak In-tiong-yan seperti tertegun, namun tangan kakinya tidak kendor, sahutnya : "Sutay atau Su-koh apa ? Selama hidup belum pernah aku masuk biara Hwesio atau kelenteng Hikoh."

Geng Tian sulit meraba, semakin tebal curiganya, tiba-tiba sengaja ia membuat lobang kelemahan gerak permainannya, memancing In-tiong-yan menggunakan Giok-li to-soh (gadis rupawan merajut), ujung pedangnya menusuk dan berhasil memapas ujung lengan bajunya.

In-tiong-yan menjadi girang, serunya : "Kau sudah kalah satu jurus, apa masih mau bertanding lagi ?"

Menurut aturan pertandingan silat umumnya, bila tingkat sejajar dan tak punya dendam kesumat, cukup kalah sejurus harus mengakui kalah. In-tiong-yan kawatir bila pertempuran dilanjutkan tentu dirinya tak mampu mengalahkan musuh. Maka segera ia tonjolkan aturan Kangouw untuk mendesak musuh menyerah kalah.

Geng Tian bergelak tawa, ujarnya, "Ilmu pedang nona memang hebat, aku sungguh kagum, pertarungan tidak perlu dilanjutkan lagi. Tusuk kondai pualam ini, kukembalikan kepada nona."

Ternyata waktu In-tiong-yan berhasil memapas ujung lengan bajunya, iapun berhasil mencabut tusuk kondai yang terselip disanggul kepala In tiong-yan. Waktu menerima kembali tusuk kondainya merah jengah selembar muka In tiong-yan.

Kata Geng Tian tertawa; "Tanpa berkelahi kami tidak bakal kenal, sudi kau jelaskan asal usulmu?"

"Apakah kau sahabat baik Hong-thian-lui?'' tanya In-tiong-yan.

"Belum lama kenal dengan Ling Tiat-wi namun boleh dikata sebagai sahabat kental."

"Jikalau kalian sahabat kental, pasti dia sudah ceritakan kepadamu, yang macam apa aku sebetulnya?"

"Memang dia pernah menyinggung dirimu, katanya beberapa bulan yang lalu dia beruntung dapat bertemu dengan kau di Liang san. Tapi orang macam apa sebenarnya nona, menurut hematku dia belum tahu dengan jelas."

"Beruntung?" jengek In-tiong-yan dingin, "waktu itu hampir saja dia memaksa aku mandi dalam telaga. Tapi aku juga bingung setiap buka mulut Hong-thian-lui maki aku siluman perempuan, kenapa sebaliknya kau mau bersahabat dengan aku? Bukankah kalian sahabat kental yang sehaluan?"

"Watak Ling-toako polos, kukira dia salah paham terhadap nona."

"Jadi kau percaya bahwa aku ini orang baik?"

"Meski baru sekarang aku berhadapan dengan nona, nama besar nona sebetulnya sudah lama kudengar.''

In-tiong yan tertawa cekikikan, katanya sambil mendekap mulut; "Sudah lama dengar apa, kau tahu ucapanmu menunjukkan bahwa kau sedang membual?"

"Lho kenapa membual?"

"Bukankah nama besarku kau dengar dari mulut Hong-thian-lui? Baru saja kau mengatakan belum lama kenal dengan Hong-thian-lui, kenapa bisa kau bilang, sudah lama kenal namaku?"

"Dugaanmu salah, nama besarmu sudah lama kudengar waktu aku masih berada di Kanglam."

"O, jadi nama besarmu sudah tersiar ke Kanglam?"

"Kalau tidak, mana mungkin aku tahu bahwa nona adalah pendekar perempuan?"

"Pendekar perempuan?" In tiong yan menyengir, "Apakah tidak terlalu mengagulkan diriku. Kalau tidak dimaki 'siluman perempuan' saja aku sudah berterima kasih."

"Terhadap orang yang belum kenal pribadi nona, kau tidak perlu marah terhadapnya."

"Mendengar nadamu, seolah-olah kau tahu orang macam apa aku ini sebetulnya?"

"Kaum persilatan di Kanglam mungkin tiada yang kenal nona. Tapi ada seorang, walaupun nona tidak kenal dia, tapi kau tentu pernah dengar namanya? Kalau rekaanku tidak salah, orang macam apa nona, aku tahu sedikit seluk beluknya."

In tiong yan melenggong, kedua biji matanya menatap Geng Tian, tanyanya : "Siapa yang kau maksud?"

Pelan pelan Geng Tian berkata : "Li Sulam Bu lim bengcu di Kanglam."

Terkejut ln tiong yan, tak tertahan mulutnya bertanya : "kaukenal Li Sulam Tayhiap?" pertanyaannya ini secara langsung mengakui bahwa dia kenal Li Su lam, asal usulnya sudah ditonjolkan pula diluar sadarnya. Diam-diam Geng Tian berpikir : "Dugaanku ternyata tepat, ternyata dia bukan orang Han, juga bukan bangsa Nachen (Kim), tapi adalah perempuan gagah dari Mongol."

Setelah berhasil menyelidik asal usul In-tiong-yan, Geng Tian berkata tertawa : "Bukan saja aku kenal Li Su lam Tayhiap, akupun tahu beliau punya tiga sahabat kental di Mongol."

"O, siapa ketiga orang itu?"

"Dua orang pertama adalah Busu Mongol yang kenamaan, yaitu Akai suami istri. Sedang orang ketiga kedudukannya jauh lebih agung, dia bukan lain adalah putri kesayangan Jengis Khan yang terkecil yaitu Ming hui Kongcu.''

Melihat orang bicara serius dan yakin asal usul dirinya sudah terbongkar, maka In tiong yan tersenyum manis : "Tuan putri yang kau maksud bukan lain adalah Bibiku."

Ternyata In tiong yan adalah cucu Jengis Khan, yaitu putri Cahatai putra kedua Jengis Khan. Nama aslinya dalam bahasa Mongol adalah Pilelnya, nama junjungannya adalah Pile Kongcu.

Setelah Jengis Khan wafat, dalam perebutan kedudukan Khan agung, Cahatai dikalahkan adiknya Ogotai, beberapa tahun kemudian dalam suatu pertempuran dibenua barat Cahatai tewas dimedan perang. Dia tidak punya anak laki laki, hanya punya keturunan Pile Kongcu saja sebagai anak yatim.

Ogotai sudah kebacut benci dan dendam terhadap ayahnya, maka sikapnyapun dingin dan menelantarkan Pile Kongcu. Tapi sikapnya ini malah memberi kebebasan yang menguntungkan bagi Pile Kongcu, tidak terkekang oleh peraturan adat istiadat bangsawan, bebas laksana burung terbang diangkasa, bebas ke setiap pelosok daerah Mongol.

Semestinya Putri Ming-hui sudah dijodohkan dengan seorang Pangeran salah suatu suku Mongol, namun yang dia cintai adalah Li Su-lam. Waktu putra-putra Jengis Khan memperebutkan kedudukan Khan agung, Dulai putra keempat berpihak kepada Ogotai, sedang calon suami putri Ming hui yaitu Pangeran Tin-kok berpihak kepada Cahatai. Dulai sebagai panglima tertinggi yang pegang tampuk pimpinan angkatan perang, pangeran Tin-kok juga memimpin sepasukan tentara yang paling kuat dan paling dibanggakan. Sudah lama Dulai berusaha merebut kekuasaan kemiliteran ini, maka dalam suatu kesempatan secara licik ia berhasil menjebak dan membunuh pangeran Tin-kok.

Setelah patah hati dan gagal berumah tangga putri Ming hui putus asa lalu kembali ke negerinya bersama Akai suami istri, mereka menggembala ternak dan hidup sederhana. Betapapun tidak mau menetap di ibu kota Holia. Hubungan persaudaraan hanya Dulai yang paling dekat dengan dia, susah payah Dulai membujuknya namun tak berhasil saking kewalahan, ia umbar saja kehendak adik perempuannya yang terkecil dan suka dimanjakan itu. Memandang muka Dulai maka Ogotai juga memberi kelonggaran kepada adik perempuannya yang bandel ini.

ln-tiong-yan bernasib sama dengan putri Ming hui, maka antara bibi dan keponakan ini terjalin hubungan yang amat dekat. Setiap kali In tiong-yan bolos dari Holin yang dituju tentu tempat tinggal putri Ming hui.

Waktu masih muda putri Ming-hui pernah meluruk ke Tionggoan mencari Li Sulam, ia sering belajar silat dari para Busu ayahnya, waktu di Tionggoan ia diangkat murid oleh Ting hui Suthay dari Long-sia-san, dia mewarisi ilmu silat tingkat tinggi, setelah latihan dua puluhan tahun, sudah tentu kepandaiannya makin tinggi dan hebat.

Seluruh kepandaian putri Ming-hui diwariskan kepada In-tiong-yan pula, karena itu meski In tiong-yan belum pernah ketemu Ting hai Suthay, namun secara tidak langsung ia telah mewarisi kepandaian aliran Ting hai Suthay. Waktu melawan permainan pedang In tiong yan ternyata mencakup ilmu pedang Ting hai Suthay, maka Geng Tian berhasil menyelidiki asal usulnya.

Dasar cerdik dan berbakat pula In-tiong-yan berhasil mencangkok seluruh pelajaran putri Ming-hui, bibinya sering mengisahkan pengalamannya diwaktu muda, betapa luas dan subur Tionggoan, yang lebih menarik perhatiannya adalah kaum persilatan Tionggoan yang punya kepandaian lihay dan mengagumkan. Waktu usianya genap sembilan belas, ia mohon kepada pamannya, yaitu Dulai supaya diberi ijin mengembara ke Tionggoan.

Tatkala itu Dulai baru kembali memimpin bala tentaranya dari benua Eropa, kekuatan militernya sangat besar dan jaya, besar ambisinya untuk menelan kerajaan Kim dan menumpas Kerajaan Song selatan, merealisasikan ambisi Jengis Khan sesuai semboyannya diwaktu hidup menjadikan dunia ini sebagai padang gembala bangsa Mongol. Tapi rencananya belum matang, mana belum sempat mengerahkan pasukan, namun juga soal waktu belaka.

Dalam menghadapi In-tiong-yan, sikap Dulai berbeda dengan engkohnya yang menjabat Khan besar yaitu Ogotai menghina dan selalu mencercah In-tiong yan, sebaliknya Dulai sangat sayang dan kasihan serta membimbingnya.

Dulai tahu keponakan perempuan ini cerdik pandai, kepandaian silatnya tinggi pula, begitu In-tiong yan mengajukan permohonan, ia memberikan restu. Tapi dia bekali In tiong-yan tugas rahasia demi kepentingannya untuk menyerbu ke Tionggoan kelak.

Katanya: "Kuizinkan kau pergi ke Tionggoan, kuberi kebebasan pula kepada kau terserah kapan kau ingin pulang, bermainlah sepuas hatimu. Tapi kau tidak boleh dolan asal dolan saja, kau harus waspada dan hati hati, perhatikan situasi kerajaan Kim. Bila ada kesempatan boleh kau bersahabat dengan orang-orang Kangouw, cari tahu diantara para pahlawan gagah bangsa Han siapa yang ada harapan dalam pergerakan melawan penjajah bangsa Kim. Tugasmu ini kelak banyak membantu invasi pasukan kita keselatan. Setiap waktu bila perlu akan kukirim seorang kurir untuk mencari hubungan dengan kau !" Ternyata Dulai rencana jangka panjang, secara diam-diam ia sudah mengirim banyak spion dan intelnya keberbagai negara, diantaranya kerajaan Kim dan kerajaan Song selatan. Sudah tentu bukan melulu In-tiong yan saja yang dibebani tugas penting ini.

In-tiong-yan kagum dan ingin bersahabat langsung dengan kaum persilatan di Tionggoan, sudah tentu izin Dulai menjadikan cita-cita dan harapannya terkabul, apalagi diberi kebebasan sepuas hati. Disamping itu karena sejak kecil ia sudah kematian ayahnya, ia anggap Dulai seperti ayahnya sendiri sudah tentu segala petunjuk dan perintahnya dia tidak berani dibangkang, sebab yang ketiga karena usianya masih muda belia, sejak kecil nyalinya amat besar, suka menyerempet bahaya, terasa olehnya tugas yang dibebankan ini cukup menyenangkan maka ia terima tugas tanpa banyak pikir.

Setelah berada di Tionggoan ia pernah bicara dengan petani atau rakyat jelata, dalam percakapan beberapa kali itu, dia menyimpulkan bahwa orang Han sangat benci terhadap bangsa Kim yang menjajah mereka, namun terhadap bangsa Mongol yang siap agresi keselatan juga takut dan membencinya pula. Rakyat jelata saja begitu, apalagi para patriot gagah bangsa Han tak perlu dikatakan lagi.

Selama ini ia merahasiakan asal usulnya, selama dua tahun ia melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan kalangan persilatan di Tionggoan. Tapi dia gagal bersahabat dengan tokoh-tokoh persilatan. Sampai tahap terakhir, tokoh Kangouw yang membuat hatinya kagum dan takluk juga hanya Hek-swan-hong saja.

Waktu itu ia berhasil merebut Ping-hoat karya Go Yong sebetulnya merupakan hasil kerja yang paling sukses, namun setelah kejadian itu ia berpikir dan meresapinya kembali, mungkin Hek-swan-hong anggap dirinya sebagai musuh, tanpa merasa hatinya menjadi rawan dan murung.

Itulah sebabnya kenapa dia mencari tahu jejak Hek-swan-hong kepada Hong thian lui. Sungguh diluar dugaannya selain Hong-thian-lui kini ia bertemu lagi dengan Geng Tian, Geng Tian justru mengetahui asal usulnya.

Setelah mendengar orang memperkenalkan riwayatnya, walau Geng Tian sudah mengetahui asal usulnya, tak urung ia terkejut juga, ia berkata dengan tertawa : "Maaf ! maaf ! Ternyata nona adalah tuan putri, orang she Geng berlaku kurang hormat!"

Merah muka In-tiong-yan, katanya : "Apa kau tidak anggap aku sebagai musuh ?"

Geng Tian berkata dengan sungguh-sungguh: "Kita bangsa Han hanya membenci musuh yang menjajah dan menindas rakyat, tak peduli dia penjajah bangsa Nuchen atau bangsa Mongol. Demikian juga tak peduli dia seorang bangsa Nuchen atau bangsa Mongol, asal rela dan mau bersahabat dengan bangsa Han kita, kita tentu tidak anggap dia sebagai musuh. Bukankah bibimu Ming-hui Kongcu dulu bersahabat dengan Li-bengcu? Kapan kita pernah memusuhi dia?''

Merah jengah muka In tiong yan, hatinya menyesal, pikirnya: "Mana dia tahu bahwa lain bibi lain aku, dulu waktu bibi datang ke Tionggoan, dia berdiri dipihak bangsa Han kalian, sebaliknya aku sekarang membekal tugas rahasia dari paman. Meskipun secara kenyataan pertempuran terbuka belum pernah terjadi, betapapun kelak akan terjadi tinggal menunggu waktu saja!"

Melihat orang terpekur, Geng Tian berkata pula tertawa: "Apa nona tidak percaya ucapanku?"

"O, ya, aku masih belum belajar kenal dengan she dan namamu yang terhormat." setelah Geng Tian memperkenalkan diri ia melanjutkan: "Geng-kongcu, aku kawatir sahabat itu yang tidak percaya kepada aku, dia menuduh aku mengutus Tokko Hiong untuk mencelakai dia, entah bagaimana kejadian sebenarnya?"

"Tokko Hiong dan para begundalnya mengaku anak buah yang kau utus untuk mencelakai dirinya." secara ringkas Geng Tian ceritakan kejadian Hong-thian-lui disergap kawanan penjahat kepada In-tiong yan.

"Kawanan penjahat itu pernah dihajar oleh Hek-swan-hong, jikalau aku hendak mencelakai Hong-thian-lui kenapa aku mengutus gentong nasi itu."

"Untuk persoalan ini aku akan memberi penjelasan kepadanya, legakan saja hatimu. Nona In maukah kau kembali menemui dia?"

"Aku . . . . aku....." ragu-ragu dalam hati kecilnya ia membatin: "Urusan ini gampang dibikin terang, namun persoalan Ping-hoat itu bagaimana aku harus memberi penjelasan kepadanya ?"

Sudah dua kali ia gebrak dengan Hong-thian lui, watak kasar Hong-thian-lui sudah sangat dikenalnya, meski Ping-hoat dikembalikan kepadanya tentu urusan masih berbuntut panjang, satu pertanyaan yang sulit dijawab pasti akan dihadapi yaitu kenapa kau membawa lari Ping-hoat itu? Sebaliknya Geng Tian sudah tahu riwayatnya, apakah dia tidak curiga ? Bahwasanya dia sudah menjiplak Ping-hoat itu dalam buku lain yang bentuknya sama dan disimpan pada suatu tempat, kelak akan dipersembahkan kepada Dulai.

"Adakah persoalan lain yang belum melegakan hati nona ?"

"Geng-kongcu, apakah Hek-swan-hong juga kenalanmu ?"

"Pernah kudengar namanya dari Hong-thian-lui, aku sangat takjup padanya, sayang belum ada kesempatan aku bertemu dengan dia."

Diam-diam In tiong yan menerawang : "Urusan ini menyangkut rahasia yang sangat penting, meski orang she Geng ini pintar bicara, betapa baru kenal, mana boleh percaya begitu saja?"

Tergerak hati Geng Tian, katanya: "Apakah nona ingin memberi kabar kepada Hek-swan-hong supaya kami sampaikan ?" samar samar ia meraba maksud In-tiong-yan, dalam hati ia membatin; "Dia berhasil merebut Ping-hoat itu, tentu ada latar belakang yang tersembunyi, apakah karena sebab itu maka dia mencari tahu jejak Hek-swan-hong dari Hong-thian lui, supaya kelak ia mencari Hek swan-hong dengan mudah.''

Dugaan Geng Tian tepat, tapi juga hanya benar separo, In tiong-yan hendak memberi penjelasan kepada Hek-swan-hong dan tujuan yang utama adalah hendak mengembalikan Ping-hoat itu kepada Hek-swan-hong. Waktu Hong thian lui menolak memberi tahu jejak Hek-swan-hong tadi ia sudah menyatakan hendak menyerahkan Ping hoat itu kepada Hong-thian-lui supaya disampaikan kepada Hek-swan-hong. Sayang Hong-thian-lui tidak percaya ketulusan hatinya.

Gelisah hati In-tiong-yan, pikirnya : "Watak Hong-thian lui polos tapi berangasan, sayang dia tidak percaya kepada aku, tapi percaya padanya. Meski orang ini sahabat karib Hong thian-lui, belum tentu sehaluan, jangan aku gegabah percaya begitu saja. Apakah aku harus memberi tahu persoalan ini kepadanya ?"

Pikir punya pikir akhirnya ia mendapat akal, katanya : "Apa kau tahu dimana sekarang Hek-swan-hong ?"

"Menurut Ling Tiat-wi, waktu Hek-swan-hong berpisah dengan dia bilang hendak ke Taytoh. Tapi jejaknya sangat rahasia dan sukar dilacak, apakah dia sudah tiba di Taytoh atau sudah kelain tempat, sukar aku memberi keterangan."

"Apakah kau tahu alamatnya di Taytoh?" Geng Tian geleng-geleng kepala, katanya: "LingTiat-wi tidak memberi tahu, entah dia tahu atau tidak."

"Kalau begitu cara bagaimana kau akan menyampaikan beritaku kepadanya?"

"Di Taytoh kami punya beberapa kawan karib, mungkin dari mereka kami dapat mencari jejak Hek-swan hong." yang dimaksud oleh Geng Tian adalah Pangcu Kaypang Liok Kun-lun dan seorang Piausu dari Hou-wi Piaukiok yang sudah lama tinggal di kotaraja kerajaan Kim itu.

"Baiklah, bila kelak kau bertemu dengan Hek-swan hong, tolong sampaikan kepadanya, katakan supaya dia ke puncak Giok-hong di gunung Thay-san pada malam Goan-siau tahun depan, kuminta hanya dia seorang saja."

Tatkala itu adalah pertengahan bulan sepuluh jadi masih tiga bulan lagi hari Goan-siau ditahun depan. In tiong-yan sudah berkeputusan untuk menuju ke Taytoh mencari Hek-swan-hong, seumpama tidak berhasil juga masih ada harapan oleh bantuan Geng Tian. Besar harapannya Hong-thian-lui dan Geng Tian bisa bertemu dan menyampaikan kabarnya. Jangka waktu dua bulan cukup untuk perjalanan ke Taytoh lalu pergi ke puncak Thay san.

"Baik, sekuat tenaga akan kami bantu urus soal ini. Nona masih punya pesan apa lagi?"

Tiba-tiba muncul dua ekor kuda mencongklang pesat mendatangi, walaupun malam ada bulan, namun dialam pegunungan yang belukar ini, muncul orang berkuda betapapun sangat mencurigakan. Sudah tentu Geng Tian terkejut dan was was. Yang lebih mengherankan lagi kedua ekor kuda itu lari kencang, namun tiada terdengar derap langkahnya.

Ayah Geng Tian seorang perwira tinggi, dalam pasukannya banyak terdapat kuda kuda bagus, tapi kuda sehebat dan segesit ini jarang dilihat olehnya. Keruan ia terkejut, waktu ia angkat kepala, dalam sekejap mata kedua ekor kuda itu sudah tiba dihadapan mereka. Baru sekarang Geng Tian paham duduk perkaranya, kenapa derap kuda tidak begitu keras seperti lari kuda umumnya, ternyata kaki kedua kuda itu terbungkus kain sutra tebal.

Penunggang kuda adalah dua orang Busu, Geng Tian kenal seragam yang dikenakan kedua Busu ini adalah seragam Gi-lim-kun kerajaan Kim.

Sudah tentu bertambah kejut hati Geng Tian, baru saja ia hendak turun tangan, kedua Busu itu sudah lompat turun dari atas kuda terus menjura hormat kepada In-tiong-yan.

In tiong yan tertawa, katanya : "Geng-kongcu tak usah curiga dan kaget, kedua orang ini adalah anak buahku. Mereka menyamar sebagai Busu kerajaan Kim!''

Baru Geng Tian tahu bahwa mereka bangsa Mongol, mungkin karena berada di wilayah kerajaan Kim, demi kebebasan gerak mereka maka menyamar jadi Busu kerajaan Kim. Dalam hati ia berpikir : "Untung aku tidak berlaku semberono, entah apa maksud kedatangan kedua orang ini, In-tiong-yan yang mengundang mereka ? Atau mereka sendiri yang kemari mencari In-tiong yan ? Menurut lazimnya ia ingin bersahabat dengan Ling Tiat-wi, kenapa dia undang pula anak buahnya kemari." maka timbul rasa curiganya kepada In-tiong yan.

Kedua Busu itu berceloteh panjang lebar kepada In-tiong-yan, Geng Tian tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi raut muka In-tiong yan kelihatan makin membeku, perasaannya juga seperti tertekan, seolah olah menghadapi persoalan yang sukar mengambil keputusan.

In tiong-yan mengucap beberapa patah kata bahasa Mongol, kedua Busu itu geleng-geleng kepala, lalu menjura kepada In-tiong-yan, agaknya mereka memohon sesuatu kepada In tiong-yan, sebaliknya In tiong-yan tidak mau terima maka mereka meminta-minta.

Akhirnya In-tiong-yan menghela napas panjang, berpaling kebelakang ia berkata kepada Geng Tian : "Mereka minta aku segera pulang, tiada waktu mengobrol dengan kau. Tapi aku tetap akan ke Thay-san menepati janjiku dengan Hek-swan hong di puncak Giok hong pada malam Goan siau nanti, harap kau tidak lupa menyampaikan undanganku ini kepadanya," bergegas ia melompat naik keatas kuda terus dibedal kencang. Kedua Busu itu menunggang seekor kuda yang lain mengejar dengan kencang pula.

Geng Tian berpikir: "Tiga bulan lagi dia akan ke Thay san, tentu takkan kembali ke Mongol. Kedatangan putri Ming-hui ke Tionggoan dulu melarikan diri karena dipaksa kawin, keadaan In tiong yan agaknya berbeda dengan putri Ming hui dulu. Tak heran Ling toako tidak percaya kepadanya meski dia dipuji sebagai pendekar perempuan, betapapun sepak terjangnya amat misterius. Tapi, aku tidak peduli urusan tetek bengek, yang penting sekarang aku harus cepat pulang menemui Ling toako, tentu dia gelisah menanti kedatanganku."

Setelah berada di kaki gunung, In tiong yan memperlambat lari kudanya, dengan perasaan kurang tentram ia bertanya: "Cara bagaimana paman Dulai tahu bahwa aku berhasil merebut Ping hoat itu?"

Salah seorang Busu yang berusia lebih tua menjawab; "Ji cengcu dari Ciok-keh-ceng di Tay-tong-hu dalam wilayah San-say yang bernama Ciok Goan adalah orang kita. Dia hadir dalam pertemuan dikarang kepala harimau dipuncak Liang-san dan dilukai Hek swan-hong. Tapi untung lukanya tidak berat, mendekam dalam belukar daun welingi, ia mengintip bocah kulit hitam itu rebutan Ping-hoat dengan kau. Pile-kongcu, berkat kecerdikanmu sehingga berhasil merebut Ping-hoat itu, sungguh kami sangat kagum kepadamu."

In-tiong-yan tertawa getir, katanya: "Tak heran begitu cepat paman dapat berita. Jadi kalian juga suruh orang menguntit pemuda hitam itu."

Busu yang tua itu menjawab: "Bocah hitam itu harus diawasi. Kita berjumlah empat orang Umong dan Cohaptoh mungkin sudah meluruk ke biara bobrok itu."

Bercekat hati In-tiong yan pikirnya; "Umong adalah murid besar Liong-siang Hoa-tong, ilmu Liong-siang kang sudah diyakinkan sampai tingkat ketujuh, Cohaptoh adalah jago gulat kelas tinggi dari negeri kita, Hong-thian-lui dalam keadaan lemah karena penyakitnya belum sembuh, mana kuat melawan sergapan mereka? Kecuali Geng Tian memburu tiba tepat pada waktunya tapi bila Geng Tian berhasil melukai mereka tentu paman Dulai akan mencari tahu kepada aku." Ternyata ia menerangkan kepada Busu itu bahwa Geng Tian adalah sahabatnya, maka kedua Busu itu tidak cari perkara kepada Geng Tian.

Busu yang lebih tua bertanya lagi; "Apakah tuan putri pernah bergebrak dengan bocah kulit hitam itu?"

"Benar ilmu silat bocah itu cukup lihay aku kewalahan menghadapinya."

Busu yang lebih muda menimbrung dengan tertawa: "Betapapun tinggi dan lihay ilmu silat bocan itu, dia takkan lolos dari cengkeraman Umong dan Cohaptoh. Nanti setelah bocah itu diringkus tuan putri bisa melampiaskan sakit hati padanya."

Busu lebih tua agak curiga, tanyanya : "Pemuda sahabatmu itu bergaul dengan bocah hitam itu, apakah mereka kawan sehaluan?"

"Aku tidak tahu. Mereka bergaul tapi sebelumnya belum tentu kenal satu sama lainnya !"

Busu itu berkata lagi : "Tuan putri, bagaimana kau berkenalan dengan pemuda she Geng itu?"

In-tiong-yan tertawa, katanya : "Sudah dua tahun aku berada di Tionggoan, tokoh-tokoh Kangouw ternama sudah ada yang kukenal beberapa orang." tentang pertanyaan 'bagaimana kau kenal pemuda she Geng' ia jawab samar-samar dengan beberapa patah kata. Sudah tentu kedua Busu itu tidak berani banyak tanya lagi. Maklum In-tiong-yan adalah tuan putri, duta rahasia yang diutus langsung oleh Dulai. Menurut undang-undang spionase, tanpa mandat atasannya, dilarang menyelidiki rahasia kawan sejawat. Kedua Busu ini adalah anggota Busu kemah mas yang langsung diasuh Dulai, kedudukannya cukup tinggi, tapi dibanding tuan putri betapapun masih terpaut jauh.

Selanjutnya In tiong yan berkata : "Waktu aku datang, paman ada pesan, bila ada kesempatan aku harus bergaul dan bersahabat dengan berbagai tokoh-tokoh kosen dari segala aliran. Bicara terus terang, bukan aku gentar menghadapi ilmu silat bocah muka hitam itu, tujuanku hendak menggaet dia dan menarik kepihak kita. Sayang bocah itu tidak terima uluran tanganku, namun aku masih akan berusaha sekuat tenaga."

Busu yang lebih tua berkata : "Tuan putri memang cerdik dan punya perhitungan matang, pandangan Koksu juga sama. Koksu pernah berpesan kepada Umong dan Cohaptoh supaya tidak mencelakai bocah hitam."

In tiong yan tersentak kaget, serunya : "Apakah Koksu juga sudah berada di Tionggoan ?"

Ternyata Koksu (imam negara) Mongol yang bernama Liong siang Hoa tong adalah tokoh kosen nomer satu diseluruh Mongol, puluhan tahun yang lalu pernah dikalahkan oleh guru Li Su lam, sejak itu tidak pernah muncul lagi didaerah Tionggoan. In-tiong yan tahu bahwa Koksu ini tengah menggembleng diri meyakinkan ilmu sakti yang lihay, mungkin sekarang sudah berhasil dan sempurna ilmunya itu, maka berani meluruk lagi.

Busu yang lebih tua itu lebih banyak bicara: "Memang, justru Koksulah yang menyuruh kami menyambut tuan putri."

"Dimana Koksu sekarang?"

"Beliau tinggal dirumah orang she Lou di Yo-ka-thong, orang ini adalah saudara angkat Ciok Goan.'' demikian Busu yang lebih muda memberi penjelasan.

Busu yang lebih tua menerangkan : "Goan-swe tahu bahwa tuan putri masih ingin kelana lebih lama didaerah Tionggoan, maka beliau lantas mengutus Koksu kemari. Tuan putri jika Ping-hoat itu kau serahkan kepada Koksu, maka tak perlu kau pulang ke Holin."

Jarak Yo ka-thong kira-kira dua hari perjalanan dari tempat mereka berada sekarang. In tiong yan menjadi serba sulit, diam diam ia berpikir, "Bila aku menyerahkan Ping hoat kepada Koksu, bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada Hek swan hong. Memang aku punya tiruan yang lain dan bisa kuserahkan kepada Hek swan hong, umpama perbuatanku dapat mengelabuhi matanya, betapapun kesalahan ini akan selalu menggugah batinku." Menyerahkan duplikat Ping hoat itu kepada Hek swan hong sebetulnya adalah rencananya semula, tapi setelah hari ini ia bertemu dengan Hong thian lui dan Geng Tian, haluan pikirannya menjadi berobah. Dia insaf bila ia kirim Ping-hoat itu ke negerinya, entah yang dikirim itu asli atau duplikatnya, bila diketahui Hek swan hong, betapapun orang takkan memaafkan perbuatannya. Apalagi cepat atau lambat perbuatannya pasti diketahui Hek swan-hong, sebab menurut rencana Dulai, setelah mencaplok kerajaan Kim gerak selanjutnya adalah menelan kerajaan Song selatan, pada waktu itu dia pasti menggunakan taktik perang yang termuat dalam Ping hoat itu untuk menggempur Song selatan.

"Dua hari lagi aku bakal bertemu dengan Koksu, jangan waktu dua hari saja, untuk mencari orang diajak berunding amat sukar, bagaimana baiknya ?" demikian In tiong-yan menerawang dalam hati.

Busu yang lebih tua bicara lagi: "Koksu sudah mendapat tahu, bocah hitam itu bernama Ling Tiat-wi, julukannya Hong thian-lui, keturunan murni salah seorang pahlawan gagah gunung Liang-san. Banyak paman dan para saudaranya adalah tokoh tokoh patriot gagah ini, bila dapat membekuk dia, tentu besar manfaatnya bagi kita."

Justru soal inilah yang dikawatirkan oleh In tiong yan. "Semoga Geng Tian tiba tepat pada waktunya," demikian pikir In tiong yan, "Lebih baik Geng Tian melukai Umong, kelak aku bisa memberi penjelasan kepada paman, pasti paman percaya kepadaku. Tapi bila benar Hong thian lui dibekuk mereka, sukar aku menolong dia, ai, urusan ini sungguh mempersulit kedudukanku, dalam pemikiran Hong thian lui dan Hek-swan-hong, julukan 'siluman perempuan' tentu mendekati kenyataan.''

Sementara itu Hong-thian lui sudah tidak sabar menunggu kedatangan Geng Tian, kelinci sudah dipanggang, namun Geng Tian belum juga muncul. Rasa lapar Hong thian-lui tak tertahan lagi, namun Geng Tian belum lagi pulang, dia menjadi rikuh untuk gegares lebih dulu, terpaksa ia menelan air liur dan mengencangkan ikat pinggang.

O^~^~^O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar