Jilid 08
Hari itu cuaca cerah, melihat Hong thian-lui sudah bisa berjalan tegap dan bergerak dengan leluasa, Lu Giok-yau lantas berkata : "Ling-toako, mari kuajak kau ke suatu tempat untuk bermain."
"Tempat apakah itu ?"
"Dibelakang gunung ada sebuah tempat sepi tersembunyi, itulah sebuah lembah sempit yang terapit dua gunung, lembah itu datar dan lapang, tempat paling bagus untuk berlatih silat."
"Aku tidak mau kesana."
"Kenapa ?" tanya Lu Giok-yau melengak heran.
"Ayahmu pernah berpesan supaya aku tidak keluar pintu."
"Kalau begitu aku berjanji tidak beritahu kepada ayah bila dia kembali."
Hong-thian-lui goyang kepala, sahutnya : "Begitupun tidak boleh."
"Kau ini plintat-plintut, kenapa tidak boleh ?"
"Seorang laki-laki tidak boleh menjilat ludahnya sendiri !"
"Pergi bermain kan bukan soal penting, kenapa bersikap serius ?"
"Ai, kau tidak tahu, aku, aku ..."
"Dalam hal apa aku tidak tahu ? Aku tahu bahwa kakek moyangmu adalah pahlawan gagah Liang san. Sejak dulu ayah pernah beritahu kepada aku."
"Kau sudah tahu syukurlah, jangan aku membawa petaka buat keluargamu."
"Aku bilang ayah bernyali kecil. Kenapa kaupun penakut?"
"Tetangga mana tidak tahu kau adalah tamu kami ? Aku tidak percaya bermain diluar bakal kepergok musuh yang mengenal kau? Apalagi lembah datar itu sepi dan jarang dikunjungi orang, tiada orang luar yang tahu tempat itu."
Hong-thian-lui paling takut dimaki sebagai setan bernyali kecil, apalagi selama hidup sampai sebesar ini baru pertama ia dianggap plintat-plintut. Ia menjadi penasaran dan garuk kepala oleh kebinalan Lu Giok-yau.
Melihat wajah Hong-thian-lui yang lucu, Lu Giok-yau tertawa geli, katanya : "Hayolah, jangan ragu ragu. Kau sudah sebal dua bulan diatas ranjang, sudah saatnya melemaskan otot dan tulang."
Akhirnya tergerak hati Hong-thian lui oleh bujukan Lu Giok-yau, setelah pikir-pikir, ia berkata: "Baiklah, aku akan temani kau. Tapi kau harus terima sebuah permintaanku."
"Lho justru aku temani kau bermain sekarang kau putar balik persoalannya dan menekan lagi dengan syarat ! Coba katakan, apa syaratnya ?"
"Jangan serius ? aku hanya pikir..."
"Pikir apa ? Katakan sewajarnya, kalau tidak akan kumaki kau plintat-plintut lagi lho..."
"Aku ingin mengajak saudara Tay-seng sekalian."
Lu Giok-yau tertegun sebentar, tanyanya : "Kenapa mendadak kau teringat kepadanya ?"
"Bukan teringat mendadak," sahut Hong-thian-lui tergagap, "Hari itu, hari itu, waktu latihan aku terjatuh, kau begitu . . . begitu baik terhadapku, kelihatannya dia merasa kurang senang."
Merah jengah muka Lu Giok-yau, katanya : "Kuanggap Tay-seng berpandangan cupat, ternyata kaupun berpandangan sempit."
"Lebih baik ajak dia, supaya tidak marah. Bertambah seorang, kalau latihan kan ramai."
Dalam hati Lu Giok-yau berpikir : "Memang selama dua bulan ini sikapku dingin terhadap Piauko, kelihatannya dia sirik dan jelus terhadap Ling-toako. Dengan kesempatan ini biar kupererat hubungan mereka." maka ia berkata tertawa : "Agaknya kau pintar perhatikan orang lain, tapi perlu kuperingatkan bila pergi bersama Piauko berarti kita tak bisa latihan bersama."
"Kenapa ?" "Beberapa kali dia kuajak latihan selalu menampik. Kutanya apa sebabnya dia tidak mau bicara. Meski dia tidak mau menjelaskan, aku sudah tahu isi hatinya. Ilmu silatnya tidak setinggi kau, suka agulkan gengsi pribadi lagi, sudah tentu ia tidak sudi berlatih dengan kau."
"Dia berpikiran cupat, aku tidak tahu malah. Cuaca begini baik, sebetulnya aku tidak ingin latihan, marilah kita jalan-jalan saja melapangkan perasaan."
Lu Giok-yau suruh seorang pelayannya memanggil Khu Tay seng. Setelah mendengar penuturannya, Khu Tay-seng tertawa, katanya : "Kalian pergi saja, lebih baik aku tidak ikut. Apakah tidak mengganggu ?"
"Apakah maksud ucapanmu ini ?" semprot Giok-yau sambil menarik muka.
"Aku hanya berkelakar. Piau-moay, jangan marah lho. Tapi kalian tunggu sebentar, aku ganti pakaian."
Tunggu punya tunggu, kira-kira setengah jam lebih baru Khu Tay-seng selesai ganti pakaian, kata Lu Giok-yau mengomel : "Kau bukan gadis pingitan, perlu pakai pupur dan poles gincu segala, ganti pakaian saja begitu lama ?"
"Kenapa gugup, sekarang belum tengah hari, masih banyak waktu untuk bermain sepuasnya. Kau kira aku hanya ganti pakaian saja ? Lihatlah, aku telah sediakan ransum untuk perbekalan."
?Piauko, agaknya aku terburu nafsu. Dengan membawa makanan kita bisa bermain lebih puas lagi, tapi ibu ..."
"Aku sudah suruh pelayan memberi tahu kepada beliau."
Lu Giok-yau semakin senang katanya : "Kaulah yang lebih cermat. Marilah berangkat."
Terkurung beberapa bulan Hong thian-lui merasa gemes sekarang berada dialam terbuka berdiri diatas rumput nan hijau ditimpa sinar matahari nan cemerlang, perasaan menjadi lapang sambil menyedot hawa segar, ia berkata; "Tempat ini memang baik sekali."
"Sebetulnya tempat ini memang dinamakan Pek hoa-kok (lembah seratus bunga), sesuai dengan namanya bila musim semi, ratusan macam kembang mekar bersama lautan kembang seperti permadani indah dalam lukisan."
"Apa benar?" ujar Hong-thian-lui terlongong, "Sayang musim semi ....."
"Setelah musim semi bagaimana? Kenapa tidak bicara lagi?"
Hong-thian-lui menghela napas, katanya; "Bila musim semi tiba, mungkin aku sudah tidak berada disini lagi.''
Tergerak hati Lu Giok-yau; dari nada ucapannya terang ia berat meninggalkan aku. Serta merta merah jengah selebar mukanya, sambil menunduk ia berkata tertawa; "Tiada orang yang mengusir kau pergi, terserah kau senang tinggal sampai kapan. Hm, umpama kau mau pergi aku akan menahanmu, tahun depan bila musim semi tiba, kita bisa menikmati keindahan ratusan kembang mekar semerbak.''
"Sudah lama aku meninggalkan rumah, sudah saatnya aku kembali. Menanti ayahmu pulang ....."
"Sudahlah jangan kau bicara soal yang menyebalkan. Apa kau suka kembang kembang liar ini?"
"Sudah tentu aku suka !"
"Baik, mari kubuatkan kalung kembang.''
Sejak tadi Khu Tay-seng berdiri diam dipinggir, hatinya merasa panas dan dongkol timbul rasa cemburunya, pikirnya : "Agaknya Piaumoay kepincut bocah gendeng ini. Huh, jangan salahkan aku."
Sekilas mata Lu Giok-yau melirik dilihatnya sang Piauko berdiri menjublek disana seketika ia menjadi sadar, pikirnya: "Aku hendak merujuk hubungan mereka, tanpa terasa mengabaikan dia lagi." segera ia berseru tersenyum : "Piauko, apa yang sedang kau pikir? Setelah kalung kembang ini, maukah kaupun kubuatkan sebuah kalung kembang pula?"
"Masa aku punya rejeki sebesar itu. Coba tebak apa yang sedang kupikir?" demikian ujar Khu Tay seng tertawa.
"Kalau tidak kau jelaskan mana kutahu?"
"Dipuncak sana tumbuh beberapa pucuk kembang seruni ungu, ingin aku memetiknya beberapa kuntum supaya kau buatkan kalung kembang, bukankah kembang seruni lebih indah lebih bagus."
Lu Giok yau bertepuk girang, serunya: "Pendapatmu memang tepat."
"Mari kutemani kau kesana," ujar Hong-thian-lui.
"Memetik bunga saja kenapa mesti berkawan, lebih baik kau di sini saja temani Piaumoayku."
"Baiklah, kau harus hati-hati, puncak itu cukup terjal."
"Terima kasih akan perhatianmu. Walaupun Ginkangku kurang baik, kupercaya takkan kepeleset jatuh."
Sementara Khu Tay seng memanjat puncak, Lu Giok-yau berkata pada Hong thian-lui : "Ling toako, hari ini sikap Piauko cukup baik terhadapmu."
"Sebenarnya Piaukomu bukan orang jahat, cuma pikirannya cupat dan pandangannya picik. Tapi inipun tak bisa salahkan dia, sejak kecil kalian dibesarkan bersama, setelah aku datang, tanpa sengaja membuat hubungan kalian renggang."
"Jangan kau bicara sembarangan." demikian omel Giok yau, "Kau sedang sakit, sudah tentu aku harus mendampingi kau. Kau tak perlu berkeluh kesah."
Perasaan Hong-thian lui menjadi hangat dan manis. Tak tahu dia apa yang harus diucapkan, dengan sikap linglung ia mendelong mengawasi orang menganyam kalung-kalung bunga.
Tatkala mereka melengos dengan rasa jengah, sekonyong konyong terdengar Khu Tay seng berteriak keras: "Lekas lari, lekas lari, musuh datang!"
Mendadak beberapa orang muncul diatas puncak, tampak Khu Tayseng lari terbirit birit, orang-orang itu mengejar dengan kencang dibelakangnya. Para pengejar itu ada tujuh delapan orang, ada laki-laki ada perempuan, yang terdepan adalah perempuan setengah umur. Tampak ia menyusul dibelakang Khu Tay-seng.
Mana mungkin Hong thian-lui mau lari? Dengan menghardik ia memburu maju: "Kurcaci jangan takabur."
Sementara itu Lu Giok yau juga berteriak, "Piauko jangan gugup, kami bantu kau."
Khu Tay seng berteriak lagi: "Piaumoay, lekas lari. Luka-luka Ling-toako belum sembuh, mana bisa berkelahi? Biarlah aku menahan mereka, lekas kau ajak dia pulang."
Lu Giok yau tahu watak Hong-thian-lui, apalagi dia sudah menerjang kedepan, untuk membujuknya sudah tak mungkin lagi. Mendengar teriakan Khu Tay seng ia malah mengerut kening, pikirnya : "Kenapa Piauko begitu ceroboh, dia membongkar keadaan Ling-toako yang belum sembuh bukankah mengunjuk kelemahan sendiri ?" bahwa Khu Tay-seng prihatin akan keselamatan Hong-thian-lui, benar benar diluar dugaannya. Oleh karena itu meski ia sesalkan kelalaian orang, betapapun hatinya sangat haru dan senang.
Dikata lambat kejadian sangat cepat, perempuan pertengahan umur itu sudah berhasil mengejar Khu Tay-seng, bentaknya, "Bocah keparat jiwamu sendiri belum tentu selamat, kenapa ingin melindungi orang lain? Mari rasakan golokku."
Gaman perempuan pertengahan umur adalah sepasang Liu-yap to panjang pendek, golok panjang membacok lurus, sedang golok pendeknya membabat miring, lekas-lekas Khu Tay seng melolos pedang menangkis dan melawan beberapa jurus. Sebelum Lu Giok yau menyusul tiba, ia sudah terbacok sekali.
Lu Giok-yau berteriak dari kejauhan, langkahnya dipercepat, tampak perempuan pertengahan umur itu mengayun tangan menyambitkan tiga buah Thi-liancu, kontan Khu Tay-seng mengeluh tertahan terus menggelundung kedalam semak belukar. Ternyata salah sebuah Thi lian cu tepat mengenai jalan darahnya.
Dua butir Thi lian cu yang lain terbang kearah Lu Giok yau. Gesit sekali Lu Giok-yau kembangkan permainan pedang Luan-ki-kong untuk menangkis, tring, tring, kedua Thi lian cu terpental balik.
Terdengar perempuan itu berseru tertawa : "Kepandaian genduk ayu ini ternyata lumayan. Apakah putri Lu Tang-wan ? Kupandang muka ayahmu, tidak kucabut nyawamu. Lekas kau tolong Piaukomu itu." Waktu Lu Giok-yau angkat kepala, Khu Tay-seng sudah menggelundung kesemak belukar setinggi badan manusia, dan tak kelihatan lagi bayangannya. Tempat itu cukup jauh dari Lu Giok-yau, segera ia berteriak: "Ling toako, coba kau ke sana memeriksanya. Hm, perempuan galak ini berani melukai Piaukoku, biar aku adu jiwa dengan dia."
Perempuan pertengahan umur itu menyeringai dingin, jengeknya : "Kuberi ampun tak mau lari, sungguh tidak tahu diri, lihat golok !"
"Sret !" kontan Lu Giok-yau kirim sebuah tusukan, cepat perempuan pertengahan umur angkat goloknya menangkis, sementara golok pendeknya yang lain membacok dari samping. Lu Giok-yau gunakan jurus Hong-biau-lok-hoa (angin menghembus kembang jatuh), menghindar sekaligus balas menyerang dengan jurus Giok-li-to so, yang diserang adalah tenggorokan lawan.
Perempuan pertengahan umur itu memaki gemas : "Budak busuk, kejam seranganmu." dengan gaya burung Hong manggut ia menghindar berbareng kedua golok panjang pendeknya terangkat menangkis, 'tring' serangan Lu Giok-yau berhasil dipatahkan.
Semula Lu Giok-yau menyangka kepandaian perempuan pertengahan umur ini jauh diatas dirinya, sebab kepandaian Khu Tay-seng lebih tinggi dari tingkatannya. Khu Tay-seng terluka hanya beberapa gebrak, maka ia sangka dirinya tak mudah menang, namun umpama bukan tandingan juga harus melawan sekuat tenaga. Tak diduga setelah saling serang, baru tahu bahwa kepandaian perempuan pertengahan umur ini tidak setinggi yang diduganya, kini ia kerepotan oleh serangannya.
Lu Giok-yau heran dan bertanya dalam hati, kenapa hanya beberapa jurus sang Piauko sudah terjungkal di tangan perempuan jahat ini. Tapi terpikir olehnya mungkin Khu Tay-seng terlalu tegang dan gugup sehingga dirobohkan. Ia bertempur melawan perempuan pertengahan umur itu, tiada waktu berpikir lebih lanjut.
Sementara itu, kawanan pengejar di belakang itupun sudah tiba. Salah seorang bermuka burik bertubuh tinggi besar segera berteriak : "Hotoaso, silahkan mundur. Biar budak ayu ini rasakan pasir penyabut nyawa." Baru saja dia hendak sambitkan senjata rahasianya, salah seorang lain berjambang bauk tebal mencegah dengan suaranya serak dan keras seperti lonceng : "Ciok-ceng cu, jangan semberono."
Si muka burik itu bertanya : "Tokko-heng, kenapa kau cegah aku ?"
Laki laki jambang bauk itu tertawa katanya : "Gadis ini ayu rupawan, apa kau mau membuatnya burikan seperti tampangmu yang jelek itu ?"
Laki-laki burikan itu malu jengah, berarti marah tapi tak berani bercuit, katanya tertawa pahit: "Tak kira Tokko-heng kasihan pada dara cantik jelita."
Si muka burik bukan lain adalah Ciok-jicengcu dari Ciok-keh-ceng di Tay-tong-hu dalam daerah Siam say. Sedang si jambang bauk adalah majikan tiga belas peternakan di Kwan tiong yaitu Tokko Hiong. Secara resminya ia sebagai direktur peternakan, namun diluar tahu orang, ia menjadi anggota Gi-lim kun kerajaan Kim dengan pangkat tituler.
Kedua orang ini pernah mendapat pelajaran pahit dikarang kepala harimau di puncak Liang-san. Dengan pasir beracun ia membokong Hek swan hong, tapi dipukul balik dengan Bik khong ciang-lat sehingga senjata makan tuan, hingga mukanya menjadi burik. Luka yang diderita Tokko Hiong rada ringan, namun urat nadinya terluka, setelah merawat lukanya beberapa bulan baru sembuh.
Setelah berhasil melarikan diri dari Liang san, demi menuntut balas juga karena kemaruk harta dan pangkat, Ciok-goan mohon bantuan Tokko Hiong, akhir resmi iapun diangkat salah seorang kaki tangan setia bagi penjajah Kim, langsung dibawah pimpinan Wanyen Tiangci.
Beberapa orang ini adalah sampah persilatan yang kena dipelet dan dijubuk oleh Wanyen Tiang-ci untuk menjadi kaki tangannya, secara rahasia mereka tercatat sebagai anjing alap-alap, hal ini tetap dirahasiakan dan belum terbongkar di kalangan Kangouw.
Diantara kawanan anjing alap alap ini, selain Ciok Goan, masih ada lagi adiknya, Ciok Khong, Sam ceng cu dari Ciok keh-ceng.
Ciok Khong sudah memburu tiba serta berteriak : "Biar aku yang layani budak ini, Jiko lekas kau bekuk Hong-thian-lui bocah itu."
"Benar, kita ringkus dulu tujuan utama." seru Ciok Goan sambil ulap tangan, beberapa orang memburu dibelakangnya kearah Hong-thian-lui.
Tokko Hiong mendengus hidung, jengeknya dingin: "Kalian harus hati-hati, meski bocah ini terluka, mungkin merupakan lawan berat bagi kalian.''
Belum habis dia bicara, terdengar suara gedebuk sebelum kawanan pengejar itu menangkap Hong-thian-lui, sudah jatuh terbanting sendiri.
Ternyata meski Lwekang Hong-thian-lui sudah pulih tiga bagian, untuk lari dan berloncatan, kedua kakinya masih kurang lincah, apalagi Ginkangnya memang jelek, saking gugup kakinya menjadi berat ribuan kati maksudnya hendak menolong Khu Tay-seng, sedikit kurang hati hati ia keserimpet dan jatuh terguling.
Ciok Goan berada paling depan, ia terloroh-loroh, katanya : "Tokko-heng, kau terlalu agulkan bocah ini. Lihatlah, berdiri saja bocah ini tak kuat, masa perlu takut." sembari berkata segenggam pasir beracun di tangannya disambitkan kearah Hong-thian-lui.
Ciok Goan sambitkan pasirnya dalam jarak beberapa tombak, diam-diam ia membatin: "Kunanti setelah racun bekerja dalam tubuhnya baru kubekuk dia tentu segampang membalikkan tangan."
Ternyata kepandaian Tokko Hiong paling tinggi diantara gerombolannya, melihat Tokko Hiong tidak berani pandang rendah bocah ini, maka Ciok Goan berlaku hati-hati dan waspada. Dia kira luka Hong-thian-lui belum sembuh, pasti tak berani menangkis pasirnya beracun, maka ia menyerang dulu dengan senjata rahasia dengan maksud mencari jalan mundur terlebih dulu bila terjadi sesuatu diluar dugaan.
Tak duga begitu pasir beracun disambitkan, terdengar Hong-thian lui menghardik sekeras guntur, tampak sebuah telapak tangannya dihantamkan keluar, serangkum hebat menabur kalutkan segenggam pasir beracun menggulung balik kearah dirinya. Keruan kaget Ciok Goan serasa arwahnya meninggalkan badan, cepat ia berguling guling ditanah untuk jiwanya selamat.
Terdengar Tokko Hiong terkekeh-kekeh mengejek disebelah sana, serunya : "Sudah kuperingatkan untuk hati-hati, kau tetap bandel, untung tidak terluka, tapi selanjutnya kau tidak perlu takut lagi. Mari maju bersama aku."
Secara diam-diam Tokko Hiong sudah membandingkan kepandaian Hong-thian lui dengan Hek-swan-hong. Tatkala dikarang kepala harimau dulu, dengan Bit khong-ciang-lat yang sama pula, Hong thian lui tak mampu melukai Ciok Goan, padahal dia tahu, Lwe-kang Hong thian-lui lebih unggul dari Hek-swan hong. Menurut pertimbangannya, Hong-thian lui masih membekal luka dalam yang masih cukup parah. Maka Tokko Hiong membatin : "Khu Tay seng ternyata tidak membual. Bocah ini belum sembuh seluruhnya, malah lebih parah dari sangkaanku semula.''
Hong thian lui duduk bersila di tanah berumput, bentaknya : "Yang tidak takut mati, silakan maju!"
Tokko Hiong mengejek dingin: "Bocah, kematian didepan mata masih berani main gertak segala? Sayang tenagamu sudah ludes, sekali gebrak saja kutanggung kau bakal lapor kepada Giam-lo-ong!"
"Coba buktikan." dengus Hong-thian-lui, "Memang aku tak ingin hidup lagi, umpama harus adu jiwa, kalian mesti ada yang ikut mampus sebagai tumbalnya."
Tokko Hiong bergelak mengejek, serunya, "Bocah memang kau tidak bernama kosong, tidak takut mati. Bukan coba-coba, tapi kenyataan mesti mampus !" karena Hong-thian-lui tidak mampu berdiri, segera ia menubruk maju serta menggerakkan kedua telapak tangan mengepruk batok kepalanya.
Hong-thian-lui berteriak mengguntur, kedua telapak tangannya menyongsong kedepan seketika ia rasakan telapak tangannya seperti menghantam papan besi yang membara. Untung tubuh Hong-thian-lui cukup keras dan kasar, yang terasa sakit hanya kulitnya saja.
Diluar tahunya lawan lebih menderita dibanding dia. Begitu Tokko Hiong mengadu pukulan, terasa jantungnya tergetar, isi perutnya seperti dipuntir dan jungkir balik cepat-cepat ia mundur dan mengendalikan hawa murni mengatur napas, lalu melangkah kebelakang Hong thian lui melancarkan sebuah pukulan lagi.
Hong thian lui tahu gerak-geriknya tidak leluasa, maka ia hanya bertahan belaka bila serangan musuh tiba, cepat sekali ia membalik tangan memukul kebelakang. Kali ini Tokko Hiong tidak berani adu pukulan lagi, dengan gerak naga sakti melenggong tahu-tahu ia memutar ke kanan Hong-thian lui.
Diam-diam Tokko Hiong merasa beruntung dalam hati, pikirnya; "Untung luka-luka bocah ini belum sembuh. Sekarang saatnya aku menggempur sekuat tenagaku."
Ternyata adu pukulan tadi hanya menjajal Lwekang Hong-thian-lui masih ada berapa bagian diketahui bahwa Lwekang Hong-thian-lui masih lebih kuat dari kemampuannya, namun tenaganya bakal terkuras habis dalam waktu yang singkat. Kalau Hong-thian-lui tidak mampu berdiri akan malas menyerang, apa pula yang harus ditakuti?
Dalam pada itu, Hong-thian-lui rasakan telapak tangannya panas seperti dipanggang. Bentaknya; "Kau Tokko Hiong yang menjagoi Kwan-tong itu? Latihan latihan Lui siu-ciangmu belum sempurna, mana dapat membuat aku cidera? Tapi, ingin aku tahu diantara kita belum pernah bermusuhan, kenapa kau hendak mencelakai jiwaku?"
Guru Hong-thian-lui pernah membicarakan ilmu silat dari berbagai aliran dan golongan diseluruh dunia ini. Lui-sin ciang Tokko Hiong meski belum matang dan termasuk kelas dua, namun gurunya pernah menyinggung kepandaian yang cukup hebat ini. Sudah tentu gurunya tidak tahu bahwa Tokko Hiong sudah menjadi antek musuh, anggapannya orang hanya menjagoi daerahnya belaka.
Berkerut alis Tokko Hiong, tiba-tiba timbul akal dalam benaknya, katanya terbahak-bahak : "Baiklah, supaya kau tahu dan mati dengan jelas ! Memang selamanya kita tidak pernah bermusuhan. Tapi bukankah kau bermusuhan dengan In-tiong-yan, apakah kau melupakan hal itu ?"
Hong thian-lui menjadi sadar, katanya : "O, kiranya kau komplotan perempuan siluman itu."
"Terima kasih akan pujianmu. Kami hanya anak buah In-tiong-yan saja, mana berani mengagulkan diri sebagai 'komplotan'-nya. Tapi cukong kita itu ketarik pada kau, katanya asal kau mau menjadi kawan karibnya dan ikut kami pulang menemui beliau, dia akan mengampuni jiwamu. Hehehehe, kulihat kau ini bukan bocah gendeng, kau harus pandai melihat gelagat dan menerima kebaikanku ! Mau untung atau mau rugi tergantung pikiranmu saja."
"Kentutmu busuk." maki Hong-thian-lui gusar, "Aku lebih rela mati dari pada minta ampun kepada siluman perempuan itu."
Hari itu ia pernah memperbincangkan pribadi In-tiong-yan dengan Hek-swan hong, semua orang mencurigai In tiong-yan adalah bangsa Nuchen (Kim), tapi Hek-swan hong sendiri tidak berani memastikan, sebaliknya dia curiga, kini setelah mendengar ucapan Tokko Hiong lebih mempertebal keyakinannya.
"Baik, bocah keparat, kau tidak menerima kebaikan, biar kuantar kau keakherat ! Bocah ini kuat bertahan lama, hayo maju, kalian takut apa ?" demikian Tokko Hiong berkaok-kaok.
Ciok Goan sudah merayap bangun, umpama burung yang ketakutan melihat bidikan panah, semula ia ragu-ragu setelah melihat Hong thian-lui benar-benar tidak mampu berdiri, sedang Tokko Hiong juga tidak terluka setelah beradu pukulan dengan lawan, nyalinya bertambah besar, segera ia mendahului maju menyerang.
Begitu Ciok Goan menyerbu, yang lain lainnya tak mau ketinggalan. Tapi mereka tak berani mendekati Hong thian lui, senjata yang mereka gunakan adalah tombak pedang dan bandulan serta senjata panjang lainnya, jarak mereka terpaut satu tombak lebih, main sergap dan menyerang tempat mematikan di tubuh Hong-thian lui.
Setiap Hong-thian-lui menggerakkan kedua tangannya, gerakannya membawa deru angin keras, pertahanannya amat kuat dan rapat, musuh tak mampu melukai dirinya, bila dekat senjata mental balik tergetar oleh tenaga pukulannya.
Namun ia tak mampu menerjang keluar kepungan, seperti dugaan Tokko Hiong, lambat laun tenaganya mulai terkuras dan makin lemah. Hong thian lui harus tetap bertahan, meski keadaannya sangat payah. Sebaliknya keadaan Lu Giok-yau disebelah sana jauh lebih berbahaya lagi.
Kepandaian Sam-cengcu Ciok-keh-ceng yang bernama Ciok Khong diatas engkohnya Ciok Goan. Permainan Pat-kwa-ce-kim-to-hoat sangat lihay, begitu kencang ia memutar goloknya sampai hujan angin tak dapat membasahi tubuhnya. Betapapun Lu Giok-yau masih cetek pengalamannya, tenagapun kalah kuat, apalagi mendengar Hong-thian-lui terjungkal jatuh, hatinya menjadi gugup, diserang dengan gencar oleh golok Ciok Khong, permainannya menjadi kalang kabut.
Bertanding tunggal, Lu Giok-yau kurang pengalaman, melawan Ciok Khong belum tentu menang, apalagi kepandaian perempuan pertengahan umur itu juga tidak lemah, kedua golok Liu-yap to panjang pendek itu ditambah Ce-kim to Ciok Khong, tiga golok melawan satu pedang, sudah tentu Lu Giok-yau terdesak dibawah angin, untuk membela diri rasanya tidak mampu lagi.
Terdengar Hong-thian-lui membentak : "Kalian kemari hendak menangkap aku, aku hanya tamu dirumah keluarga Lu, kenapa kalian mempersulit nona Lu !"
Ciok Khong bergelak tawa, serunya : "Untuk melepas nona Lu gampang saja, asal kau menyerah dan diringkus !"
"Kentut! Seorang laki laki lebih baik mati dari pada dihina. Aku Ling Tiat-wi tak sudi minta ampun kepada kalian bangsat kurcaci." demikian bentak Hong thian-lui dengan murka.
Tokko Hiong menjengek dingin : "Tapi kau tidak ingin nona Lu celaka bukan ? Kupuji kau gagah berani, seorang kesatria. Kau harus pikirkan kepentingan nona Lu ! Bukan soal kau minta ampun terhadap kami, tapi kau minta ampun untuk keselamatan nona Lu. Pepatah mengatakan seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab, berkorban demi nona Lu, kau terhitung seorang laki laki siapa berani pandang rendah dirimu ? Apalagi majikan kami merasa kagum dan ingin bersahabat dengan kau, beliau takkan menyiksa atau menganiaya kau." Tokko Hiong yang cerdik punya perhitungan, meski situasi menguntungkan pihaknya, tapi ia kawatir kalau Hong thian-lui berlaku nekad, bertempur sampai titik darah penghabisan, bukan mustahil pihak mereka juga akan jatuh korban.
Setelah mendengar obrolan Tokko Hiong, Hong-thian-lui menjadi sangsi. Pikirnya : "Jika hanya aku saja, aku labrak mereka sampai gugur bersama. Tapi Lu Giok-yau ikut berkorban karena aku, aku malu bertemu dengan ayahnya..." tapi meskipun ia merasa serba sulit dan situasi memang gawat dan tidak menguntungkan pihaknya, kalau harus menyerah dan diringkus meski demi keselamatan Lu Giok-yau, betapapun ia tak sudi.
Lu Giok-yau berteriak : "Ling-toako, jangan kau ditipu mereka paling jiwa kita melayang. Kami tak lahir dalam waktu yang sama, biarlah gugur dalam hari bulan dan tahun yang sama, bukankah menyenangkan !"
Ciok Khong terbahak-bahak, serunya mengolok : "Bocah hitam itu besar rejeki; gadis rupawan yang genit ini ternyata rela sehidup semati bersamanya. Baik, genduk tak tahu malu ini rela mampus demi kekasih, biarlah aku menyempurnakan kamu."
"Hai, kita ringkus hidup-hidup saja !" Tokko Hiong segera berteriak.
"Saudara Tokko tak usah kawatir," sahut Ciok Khong menyengir, "aku hanya menggertak belaka. Tapi kalau genduk ini tidak mau menyerah, jiwa boleh diampuni, namun siksaan harus dia rasakan."
Berdiri alis Lu Giok-yau, makinya murka: "Bedebah mulut anjing takkan tumbuh gading, kalau bukan kau yang mampus biar aku yang mati.''
"Aku tidak bunuh kau, sebaliknya kau hendak bunuh aku?'' ejek Ciok Khong mengejek, "Aku kawatir keinginanmu sulit terkabul ! Hehehehe, aku jadi sayang melayani nona ayu genit macammu ini."
Mendengar pernyataan Lu Giok-yau tadi dada Hong-thian-lui merasa hangat dan mesra, teriaknya; "Adik Yau, terjanglah kemari. Benar, kita harus gugur bersama." Biasanya Giok-yau ingin berhubung lebih akrab dengan panggilan kakak beradik secara kekeluargaan, namun Hong-thian-Iui selalu memanggil 'nona Ku', untuk pertama kali ini ia dengar pemuda ini memanggil adik Yau kepadanya.
Lu Giok yau baru sadar oleh peringatannya itu, batinnya : "Benar, aku belum kembangkan Ginkangku kenapa tidak dicoba? bila bisa gabung bersama Ling-toako, tentu bisa saling tolong dan bantu, seumpama mati juga punya kawan seperjalanan.'' Maklum pergalamannya cetek, dikeroyok dua lagi. hatinya tegang dan nekad adu jiwa melulu, lupa untuk melarikan diri.
Agaknya perempuan pertengahan umur itu menebak isi hatinya, godanya tertawa : "Genduk ayu hendak menemui gendakmu bukan ? Hehehehe, kecuali kau bujuk dia menakluk kalau tidak jangan harap kalian bisa hidup bersama dalam dunia fana ini."
"Sret !" tahu tahu ujung pedang Lu Giok-yau menusuk kearah lambungnya. Cepat Ciok Khong melintangkan golok menangkis, "Trang!" kembang api berpijar pedang miring. Ciok Khong tak mau kalah menggoda ; "Maksud Hoa-toanio demi kebaikanmu, ucapannya tadi harus kautimbangkan dengan cermat."
"Kentutmu busuk !" maki Giok yau seraya obat abitkan pedangnya dengan jurus Giok-li-to-so Pek hong-koan jit dan Lo kong-sia ciok beruntun tiga rangkai serangan pedang memberondong kepada Ciok Khong secepat badai. Seolah olah ia sudah berlaku nekad untuk adu jiwa.
"Genduk goblok, apa benar kau hendak adu jiwa ?" olok Ciok Khong, dalam hati ia membatin : "Tokko Hiong melarang aku melukai dia, ini mempersukar tindakanku." belum lenyap pikirannya ini, sekonyong konyong dengan gaya Sip-hiong-jiau hoan-in (menyedot dada jumpalitan melampaui mega), tubuhnya mencelat kebelakang setombak lebih. Perempuan pertengahan umur memburu dan membacok, namun dengan gesit Giok yau melayang dan berkelebat mengegos, gerak geriknya selincah kera selicin belut, sekejap saja ia sudah lolos dari kepungan kedua musuhnya.
Perempuan pertengahan umur menjadi gugup, teriaknya : "Genduk busuk, kau kira bisa lari?" terdengar suara mendengung, dua biji Thi lian-cu menyamber dari arah depan, cepat Giok-yau mengegos miring, belum lagi kakinya berdiri tegak dua butir senjata mata uang tembaga sudah melesat tiba pula. Kepandaian menyambit senjata rahasia perempuan pertengahan umur ini belum termasuk kelas utama, namun sambitannya lincah dan mengagumkan. Senjata rahasianya melesat lewat diatas kepala Lu Giok-yau, tahu-tahu berputar balik menyerang lagi.
Terpaksa Giok-yau putar pedangnya menangkis, senjata rahasia perempuan pertengahan umur itu memberondong tak kenal putus. Lu Giok-yau kerepotan. Sebetulnya ilmu pedang Giok-yau berkelebihan untuk menjaga diri dari berondongan senjata rahasia musuh, soalnya ia sudah bertempur setengan jam, tenaganya terkuras, ia hanya mampu menjaga diri saja.
Ciok Khong terloroh-loroh, dengan langkah lebar ia memburu, teriaknya : "Akal bagus. Hoa-toanio, kurintangi dia, kau serang jalan darahnya dengan senjata rahasiamu."
Jelas Ciok Khong bakal melabrak tiba; mendadak terdengar suara "Trang tring" yang riuh, semua senjata rahasia disambitkan perempuan pertengahan umur mengapa tahu-tahu jatuh ketanah.
Kepandaian Ciok Khong betapapun lebih tinggi dan luas pengalamannya, sekaIi pandang tahulah dia, seseorang dengan segenggam batu yang diremas hancur menangkis seluruh senjata rahasia Hoa toania, gaya yang digunakan adalah Thian-li-san hoa. Seperti diketahui salah satu warisan keluarga Ciok yang kenamaan adalah pasir beracun pencabut nyawa disambitkan dengan jurus Thian-li san hoa, bedanya ia tidak mahir Bian-ciang untuk meremas hancur batu menjadi tepung. Hanya dengan butir pasir kecil berhasil meruntuhkan senjata rahasia yang terbuat dari besi, betapa tinggi Lwekang orang itu, terang dirinya bukan tandingan. Yang membuatnya lebih mengkirik adalah setelah meruntuhkan senjata rahasia Hoa-toanio, orang itu tetap tak mengunjukkan diri.
Sebaliknya Hoa toanio belum tahu bahwa senjata rahasia diruntuhkan pihak lawan, lebih tak tahu orang itu menggunakan cara apa dan dimana orang itu. Meski kepandaiannya tidak terhitung kelas satu dikalangan Kangouw, namun diantara kawan-kawannya, terhitung dia yang paling lihay. Sekarang secara misterius senjata rahasianya tahu-tahu runtuh semua, betapa malu dirinya, keruan ia menjadi gusar, makinya : "Kurcaci busuk, kalau berani silakan keluar, main sembunyi terhitung orang gagah apa ?" ia beranggapan orang itu sembunyi disekitar gelanggang pertempuran, kalau tidak mana mampu meruntuhkan senjata rahasianya ?
Ciok Khong mendesiskan mulutnya. Perempuan pertengahan umur itu menjadi tertegun heran, katanya : "Ciok-samko, apa maksudmu? Kau takut disergap bangsa pengecut, nyonya besarmu ini tidak gentar!" melihat orang belum sadar dan waspada, Ciok Khong mengerut kening, katanya merendahkan suaranya: "Hoa-toanio, kau salah pandang, coba kau lihat . . ."
Baru sekarang perempuan pertengahan umur itu tersentak kaget, memandang kearah yang ditunjuk Ciok Khong, tampak seorang laki-laki berusia tujuh delapan likur mengenakan jubah panjang warna biru tua, muncul dilereng gunung sana, jarak mereka masih terpaut ratusan tindak, orang itu berlenggang mendatangi kearah mereka. Tangannya mengebas-ngebas sebuas kipas, dilihat dandanannya seperti pelajar kutu buku.
Waktu itu menjelang pertengahan bulan sepuluh, meski musim dingin didaerah selatan terlambat datangnya dan belum turun salju, namun hawa sudah cukup dingin. Orang ini hanya mengenakan jubah panjang yang tipis, tangannya mengebas kipas lagi, terang bukan orang biasa.
Perempuan pertengahan umur menjadi keder, katanya, "Ciok samko, kau, kau kira dia inilah orangnya?"
Langkah orang itu lambat-lambat saja, seperti orang berjalan umumnya, tapi dalam sekejap mata tahu-tahu sudah berada didepan mereka, katanya dingin: "Benar, akulah yang meruntuhkan senjata rahasiamu. Sebagai ahli aku tidak perlu main sembunyi."
Sungguh kejut Hoa toanio bukan kepalang, harus maklum senjata rahasia terbang ratusan tindak jelas sukar dan tak mungkin dilakukan olehnya, tapi orang itu mampu meruntuhkan senjata rahasianya dengan batu kerikil saja, gaya apa yang digunakan musuh ia tidak tahu. Kepandaian senjata rahasia orang ini jauh lebih tinggi, entah berapa kali lipat lebih lihay.
Turun tangan dulu lebih untung, demikianlah Hoa-toanio berpikir secara licik. Diam-diam tangannya sudah menggenggam enam batang pisau terbang, bila orang itu makin dekat, dia akan menyambitkan senjata rahasianya dengan tipu Liok liong ping-ca (enam naga tandang bersama).
Betapapun pengalaman Ciok Khong lebih luas, cepat ia berkata ; "Hoa-toanio jangan semberono !'' tersipu-sipu ia menjura kepada orang itu serta sapanya: "Siapakah tuan ini, kenapa bermusuhan dengan kami ?"
Orang itu menggoyangkan kipasnya jawabnya tawar: "Sekarang aku belum tahu apakah perlu aku bermusuhan dengan kalian. Tunggu sebentar, biar kutanya dulu !"
"Tuan ingin tanya apa ?" Ciok Khong sangka orang itu hendak tanya kepadanya, ternyata orang itu berpaling dan tanya kepada Lu Giok-yau: "Harap tanya nona, Lu Tang wan itu pernah apamu ?"
Lu Giok-yau tidak kenal asal usul orang ini, dalam hati ia berpikir : "Selamanya ayah tak punya sahabat begini muda." entah untung atau bakal buntung segera ia menyahut: "Beliau adalah ayahku, kenapa ?"
Setelah mendapat jawaban, mendadak orang itu putar balik, katanya : "Sekarang sudah jelas aku bermusuhan dengan kalian, kalau ingin selamat, lekas menggelinding pergi."
Sejak tadi Hoa-toanio sudah siaga, spontan ia sambitkan enam pisau terbangnya ke arah orang itu.
Enam pisau terbang itu bertaburan kelap kelip ditengah udara, bermula menjurus lurus kedepan ditengah jalan tiba-tiba terpencar, dari berbagai jurusan terbang kearah orang itu, dari atas tengah dan bawah Hiat-to ditubuh orang itu terkurung oleh berondongan pisau terbang.
Orang itu berdiri tenang, kipasnya dikebaskan perlahan-lahan, mulutnya menyungging senyum ejek, ujarnya, "Mutiara sebesar beras juga memancarkan cahayanya." terdengarlah suara trang tring mirip orang memetik harpa, entah dengan cara apa ternyata enam pisau terbang itu ditangkis balik ke arah pemiliknya.
Saking keder perempuan pertengahan umur gemetar, lututnya goyah dan lemas. Ternyata enam pisau terbang yang mental balik itu, seperti formasi-formasi sambitannya tadi, terbang dari berbagai jurusan yang berlainan, kepandaian menyambut senjata rahasianya belum sempurna, dia pandai mengunakan gaya Liok liong-ping ca, tahu cara bagaimana menyerang melukai musuh, tapi tak tahu cara bagaimana harus mengatasi atau menangkis. Saking gugupnya, lekas kedua tangan memeluk kepala terus menggelundung ke tanah, badannya terguling guling kebawah lereng bukit.
Pisau terbang itu menyambar, terasa kepalanya dingin silir, kupingnya sempat dengar orang itu berkata : "Mengingat kau seorang perempuan, kuampuni jiwamu."
Waktu Hoa-toanio meraba kepalanya, ternyata kulit kepalanya yang tercukur kelimis sedikitpun tidak melukai kepalanya. Meski tidak terluka namun saking kejut terasa arwahnya terbang keawang-awang, tergopoh gopoh ia merangkak bangun terus lari pontang-panting tanpa hiraukan kawan-kawan lainnya.
Meski Hoa toanio lari sipat kuping, nasibnya cukup beruntung, paling hanya ketakutan dan tercukur rambutnya. Sebaliknya Ciok Khonglah kena getahnya.
Disaat Hoa-toanio menyambitkan pisau terbangnya tadi, berbareng Ciok Khong berputar kebelakang orang, menurut anggapannya, dibawah serangan hujan senjata rahasia, walaupun kepandaiannya tinggi pasti kerepotan, begitu lawan berkelit dengan leluasa dirinya akan menyergap dari belakang dengan bacokan goloknya.
Tak duga hanya sekali gerak tangan orang itu punahkan serangan Liok liong-ping ca Hoa-toanio yang cukup lihay, hakikatnya tidak perlu kelit atau menggeser kaki. Lebih mengagumkan, belakang kepalanya seperti tumbuh mata, disaat Ciok Khong membacok dengan goloknya, tiba-tiba sebelah tangannya yang lain terayun balik kebelakang. Belum lagi golok Ciok Khong mengenai sasaran, kipas lawan sudah menutuk telak dijalan darah di pergelangan tangan Ciok Khong.
Serangannya begitu lincah dan cepat luar biasa, umpama Ciok Khong sudah siaga, juga takkan luput dari serangan ini, apalagi mimpi juga ia tidak mengira, musuh begitu cepat membebaskan diri dari berondongan senjata rahasia, sekaligus menyerang dirinya. Terdengar "Trang !" Ce-kim to milik Ciok Khong terpental terbang ketengah udara, melayang jatuh kedalam jurang, goloknya berkerontangan menyentak batu-batu gunung, gema suaranya yang keras memekak telinga Ciok Khong sendiri.
Saking kejut dan ketakutannya, Ciok Khong berteriak: "Kau adalah Santian-jiu dari Kanglam?" San-tian-jiu berarti tangan kilat.
Orang itu mendengus hidung, katanya : "Kaupun kenal nama julukanku ? Baik, kuampuni jiwamu!'' mendapat pengampunan Ciok Khong lantas terbirit-birit mengikuti jejak Hoa-toanio.
Dilain pihak, Lu Giok-yau juga menjadi kegirangan, serunya : "Harap kau suka menolong Ling-toako."
"O, apakah Ling-toako itu adalah sahabatmu ?" tanya orang itu.
"Benar, benar. Lekaslah !" desak Giok-yau gugup.
Tak nyana orang itu berlaku kalem dan acuh tak acuh, bukan segera maju kesana malah tanya lagi : "Aku ingin tahu, siapakah ayahnya ?"
Hong-thian lui adalah keturunan pahlawan gagah gunung Liang-san, Giok-yau pernah mendapat pesan wanti-wanti dari ayahnya untuk merahasiakan asal usulnya. Tapi keadaan Hong-thian lui sekarang amat gawat, Lu Giok-yau tak sempat banyak pikir, sebentar sangsi segera ia menjawab: "Ayahnya bernama Ling Hou !"
Waktu San-tian jiu mengalahkan Ciok Khong, Tokko Hiong sudah tahu bahwa situasi tidak menguntungkan pihaknya segera ia memberi aba-aba kepada para kawannya : "Lekas, bunuh bocah ini !"
Tokko Hiong, Ciok Goan dan seorang lain yang menggunakan tombak berlomba menyerang. Mendadak Hong-thian-lui gunakan Hong tian-thau (burung hong manggut), ujung tombak menyerempet pundaknya. Dikata lambat prakteknya adalah secepat kilat, sementara itu telapak tangan Tokko Hiong juga menjulur tiba, tahu-tahu sudah beberapa inci diatas batok kepalanya. Ciok Goan lebih licin lagi, dia berputar kebelakang Hong-thian-lui, tinjunya menjotos punggung, yang diincar jalan darah penting yang mematikan.
Sudah tentu Lu Giok-yau menjerit kejut sambil meramkan mata. Dengan kalem San-tian-jiu berkata, "Tak usah gugup!" entah dengan gerak apa, laksana burung elang menukik dari angkasa menerobos hutan menerkam kelinci, belum suaranya hilang tahu-tahu sudah menyerbu ketengah musuh.
Sudah tentu Hong-thian lui tidak mudah diserang secara konyol. Begitu menggunakan Hong-thiam-thau sekaligus ia tangkap tombak lawan terus tarik dan menyendalnya, gagang tombak patah. Berbareng sikut kiri menyodok kebelakang menangkis jotosan Ciok Goan yang mematikan. Begitu dua tenaga raksasa saling bentrok, tinju Ciok Goan remuk, tulang tangannya hancur luluh kontan ia menjerit keras, melompat mundur beberapa tombak kebelakang.
Namun, Hong-thian-lui juga sudah kehabisan tenaga, meski berhasil melumpuhkan tombak musuh dan melukai Ciok Goan, tak urung lengannya pegal dan linu dan tak kuasa bergerak lagi. Sebetulnya begitu memukul mundur Ciok Goan dia hendak mengadu kekuatan dengan Tokko Hiong, namun ada hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai.
Kedatangan San-tian-jiu justru tepat pada waktunya, jarak telapak tangan Tokko Hiong tinggal beberapa inci dari batok kepala Hong-thian-lui. Mendadak terasa selarik angin kencang menerpa tiba, ternyata San-tian-jiu kirim pukulan ketengkuknya. Serangan ini cukup telak, musuh harus menyelamatkan diri sebelum menyerang musuh. Jika Tokko Hiong tidak berkelit atau meladeni serangan ini batok kepala sendiri mungkin terpenggal dari badannya.
Sudah tentu Tokko Hiong tidak berani mempertaruhkan jiwa raga sendiri dengan jiwa Hong-thian-lui, sebat sekali ia memutar tubuh, serempak kedua telapak tangannya melintang didepan dada sembari menangkis dan punahkan samberan telapak tangan San-tian-jiu.
Untung ia menangkis serangan telak San-tian-jiu, namun tak kuasa membendung tenaga murni lawan. Begitu tangan mereka bentrok, "Bleng!" Tokko Hiong menyemburkan darah segar, tubuhnya sempoyongan tujuh delapan langkah. Kamrat-kamratnya ketakutan, beramai angkat langkah menyelamatkan diri.
"Saudara Ling, aku terlambat setindak, bagaimana keadaanmu?" segera San-tian-jiu berjongkok.
"Aku tak apa-apa, lekas tawan seorang diantara mereka untuk dikompas keterangannya." katanya tidak apa-apa, padahal mukanya pucat pasi. San tian-jiu mengira luka-lukanya sangat parah, maka tak sempat ia mengejar para penjahat itu.
"Menawan seorang hidup apa susahnya?" ujar San-thian-jiu, sekali raih ia jemput sebutir batu, diremas hancur menjadi empat lima butir kerikil terus disambitkan kearah para penjahat yang lari terbirit birit dilereng gunung. Jarak mereka sudah ratusan langkah lebih, namun tiga orang berhasil disambit batunya. Sayang jaraknya terlalu jauh, dua diantaranya memiliki Lwekang tinggi, lukanya tidak berat, segera dipapah lari oleh kawan lainnya. Seorang yang lagi merangkak bangun hanya lari beberapa tindak; terus terjungkal roboh lagi.
"Tuh, tawanan hidup sudah tersedia, tak perlu mengompas keterangannya. Saudara Ling, coba kuperiksa, luka-lukamu perlu segera diobati.''
"Lukaku luka lama, sudah sembuh tujuh delapan bagian. Luka-luka baru ini hanya lecet dikulit belaka tak perlu dikawatirkan. Lekas kau tawan dua tiga orang lagi."
San-tiau-jiu tertawa geli, ujarnya : "Luka lama atau luka baru harus diobati, seorang tawanan hidup sudah cukup." tanpa memberi kesempatan Hong-thian lui bicara lagi, segera ia turun tangan mengurut dan memijat, menormalkan jalan darah Hong-thian lui. Lu Giok yau juga maju membubuhi Kim-jong-yok.
San-tian-jiu mengurut dan memijat, maka Hong-thian-lui harus bantu mengerahkan hawa murninya. Karena tak enak menampik kebaikan orang, karena hawa murninya memang hampir ludes, tanpa ada seorang tokoh kosen dalam bidang ini takkan dapat melemaskan otot dan tulang belakangnya, untuk berdiri memerlukan waktu yang cukup lama. Terpaksa ia menurut nasehat. San thian jiu sementara menentramkan diri untuk berobat diri.
Kira kira setengah jam kemudian air muka Hong-thian lui pulih kembali. San-thian-jiu berkata: "Lwekang saudara Ling cukup tangguh, jarang Siaute menemukan anak muda yang punya dasar latihan begitu sempurna."
Cepat Hong-thian lui lompat berdiri, serunya : "Mungkin bisa kecandak mari kita kejar mereka. Kalau tawanan hidup ini kaum keroco, tiada keterangan penting yang dapat kita kompas dari mulutnya. Lebih baik kita ringkus Tokko Hiong."
San tian-jiu sadar, pikirnya : "Tokko Hiong adalah pentolan kawanan penjahat itu bila bisa meringkusnya tentu lebih baik." namun karena kesehatan Hong-thian lui baru sembuh, ia masih kawatirkan keselamatannya.
Tengah ia sangsi, mendadak terdengar seorang perempuan tua berseru dengan suara kawatir dan gugup : "Giok ji ! Giok ji !"
Giok-yau berteriak : "Ah, ibuku datang ! Bu, aku berada disini."
Tampak Lu-hujin berlari mendatangi secepatnya, setelah tiba dihadapan mereka, ia gendrukan tongkatnya ditanah, omelnya, "Ai, kenapa kau tidak dengar nasehat ayahmu, membawa Ling-suheng keluar ! Tadi kudengar suara pertempuran apakah, apakah ..."
"Bu, tak usah gelisah, memang datang serombongan penjahat, semua sudah dipukul mundur. Tuan penolong inilah yang melabrak mereka." dia hanya tahu orang ini berjuluk San-thian jiu (si tangan kilat) namun belum tahu nama aslinya.
Pantasnya Lu-hujin harus nyatakan terima kasih kepada San-tian-jiu, tapi hatinya sedang gugup memikirkan keselamatan orang lain, sehingga tidak sempat menanyakan nama San-thian-jiu, setelah celingukan kian kemari ia berteriak kejut : "Dimanakah Piaukomu, kenapa tidak kelihatan."
Selama ini Lu Giok yau sibuk membubuhi luka-luka Hong-thian lui, baru sekarang ia teringat, jawabnya : "Piauko kesambit senjata rahasia musuh dan tertutuk darahnya itu didalam semak belukar sana."
Lu-hujin marah-marah : "Kenapa tidak kau tolong dia, meski luka Ling suheng cukup parah, jiwa Piaukomu juga harus dilindungi bukan ? Apakah kau tidak sempat menengoknya ?"
Merah jengah selebar muka Lu Giok-yau katanya tergagap : "Aku, kulihat Piauko tidak terluka berat, apa salahnya membebaskan jalan darahnya sedikit terlambat."
Dimarahi dihadapan orang banyak oleh ibunya, sudah tentu Lu Giok-yau menjadi uring-uringan dan cemberut.
Hong thian lui menjadi rikuh, dengan tertawa dibuat buat ia berkata : "Lukaku tak menjadi soal, lekas tolong Khu-toako." belum habis Lu hujin sudah lari kearah tempat yang ditunjuk.
Mendadak San tian-jiu bertanya lirih kepada Giok-yau : "Piaukomu she Khu?"
"Benar, dia bernama Khu Tay seng !"
"O, Khu Tay-seng!" gumam San-tian-jiu sekilas tampak wajahnya mengunjuk senyum sinis mendadak tubuhnya melesat kedepan.
Lu-hujin merasa angin berkesiur disampingnya, seenteng burung walet San tian jiu melesat disampingnya mendahului dirinya. Diam-diam Lu hujin menggerutu : "Bocah ini tidak tahu tata krama, memangnya kau hendak beradu Ginkang dengan aku ?"
Dia melangkah lebih dulu namun San-tian-jiu melampaui dirinya sudah tentu hatinya kurang senang.
Sebetulnya Ginkang Lu hujin tidak lemah, namun setingkat dibawah San-tian jiu. Waktu Lu hujin tiba ditempat itu, sementara San-tian-jiu sudah membimbing Khu Tay-seng.
"Khu-toako tidak terluka apa-apa, jalan darah yang tertutuk juga bukan jalan penting biar Siautit sekedar menolongnya." Sembari bicara segera membebaskan tutukan Khu Tay-seng.
Sebagai ahli silat, dengan mudah ia membuka jalan darah Khu Tay-seng yang tertutuk. Agaknya musuh menggunakan ilmu tutuk yang bertaraf rendah untuk menutuk tubuh Khu Tay-seng. Maka timbul rasa curiganya, batinnya : "Peristiwa ini jelas bukan kebetulan."
Melihat orang asing tidak dikenal membebaskan jalan darahnya, Khu Tay-seng melengak, baru saja ia mau bertanya, San-tian-jiu sudah buka suara : "Khu toako selamat bertemu."
Tatkala itu Lu Giok yau juga sudah memburu datang, melihat mimik dan kelakuan San tian jiu yang aneh dan ganjil, ia menjadi geli dan bertanya : "Kau kenal Piaukoku ini ?"
San-tian-jiu berkata tawar : "Nama besar Khu toako sudah lama aku mengaguminya !"
Lu Giok-yau menjadi heran, pikirnya : "Meskipun Khu-piauko pernah kelana di Kangouw, paling hanya dia tiga kali saja, belum terhitung bebas mengembara. Mana mungkin namanya tenar dan luas ? Apa mungkin orang sengaja mengambil hati ibu ? Melihat sikap ibu tadi sudah tentu ia maklum bahwa ibu sangat sayang kepada keponakannya ini."
Disanjung puji Khu Tay-seng menjadi girang dan bangga, katanya : "Aku seorang keroco, saudara ini terlalu memuji. Terima kasih akan bantuan saudara membuka tutukan jalan darahku, aku belum kenal siapakah nama saudara ?"
Segera Lu-hujin menimbrung : "Banyak terima kasih akan pertolonganmu kepada puteriku tadi."
"Terima kasih kembali." sahut San-tian-jiu menggoyang tangan, "Bicara soal budi, aku lebih besar menerima budi keluarga kalian."
Lu-hujin ragu-ragu, katanya : "O, kau, kau adalah ..."
"Aku adalah Geng Tian yang diantar dan dilindungi Lu-loenghiong sepuluh tahun yang lalu itu. Hari ini aku datang untuk menemui tuan penolongku."
Kejut dan girang Lu Giok-yau, katanya : "Ternyata kau adalah Geng-kongcu itu. Ayah mengatakan kau tak pandai main silat, ternyata ilmu silatmu begini tinggi."
"Kau bicara ngelantur," omel Lu-hujin, "Ayah Geng-kongcu adalah Kanglam Tay-hiap yang menggetarkan dunia persilatan, Geng-kongcu mendapat warisan keluarga, sudah tentu ilmu silatnya sangat lihay."
"Sepuluh tahun yang lalu sedikitpun aku tidak bisa main silat. Yang kuperoleh sekarang juga cakar kucing saja." demikian ujar Geng-Tian merendah.
"Sayang ayah Giok-yau tak berada di rumah. Kalau dia ketemu kau, entah betapa senang hatinya !"
Mulut mengatakan 'senang', namun mimik wajahnya tetap dingin serta mengerut kening malah, seolah-olah punya ganjelan yang membingungkan.
Lu Giok-yau berkata; "Walaupun ayah tidak dirumah, kami harus sambut tamu terhormat. Geng-toako, kuharap kau tinggal beberapa hari dirumah kami, menunggu ayahku pulang, mau tidak ? Bu, coba kau undang tamu kita menginap dirumah."
Lu hujin tertawa getir, katanya : "Kau masih menunggu ayahmu pulang, kurasa kami harus segera pindah tempat.''
"Kenapa?" tanya Giok-yau tak mengerti.
"Yang berkelahi dengan kalian orang-orang macam apa?" tanya Lu-hujin.
"Mereka hendak menawan Ling toako. Agaknya mereka anak buah seorang penjahat perempuan aku tidak begitu jelas namanya, coba kau tanya Ling-toako saja.''
"Pemimpin mereka bernama In-tiong-yan, memang seorang perempuan," demikian Hong thian-lui memberi keterangan sebelum diminta, "tapi dia bukan penjahat, menurut apa yang kutahu, mungkin adalah 'tuan putri? bangsa nuchen.''
Alis Luhujin bertaut, katanya : "Bukan kau tidak tahu asal usul Ling-toakomu, sekarang mereka sudah tahu bahwa dia tinggal dirumah kita. Kali ini mereka gagal, kau kira urusan selesai begini saja ? Untuk selanjutnya, kita takkan dapat hidup tentram lagi kalau tidak pindah rumah untuk menghindari bencana, apa harus mati konyol?"
"Lalu pindah kemana ?" tanya Giok yau gugup, "Bagaimana bila ayah kembali nanti?"
"Kau tidak perlu kawatir akan ayahmu, bila tiba saatnya pindah, aku akan memberi pesan kepada para tetangga. Soal pindah kemana memang suatu pertanyaan, walaupun ayahmu punya sanak kandang, bila mereka tahu akan peristiwa hari ini, mana mereka mau terima kita ? Seumpama mereka mau menahan kami, apakah tega kami merembet kepada mereka?"
Mendengar percakapan mereka, hati Hong-thian-lui menjadi cemas dan pedih, akhirnya ia kertak gigi, katanya : "Bibi tidak perlu kawatir, dari pembicaraan mereka kurasa masih segan terhadap paman, apalagi mereka hanya mengincar aku seorang. Bila aku meninggalkan tempat ini tentu kalian tidak akan diganggu. Beberapa bulan ini banyak terima kasih akan budi pertolongan Bibi, sekarang juga Siautit minta diri saja.''
Kejut dan gugup Lu Giok yau, serunya : "Sakitmu belum sembuh, mana boleh pergi?"
Lu hujin pura-pura membujuk, ujarnya : "Hiantit, aku tidak bisa menahanmu, bila ayah Giok-yau kembali dia tentu menyalahkan aku.''
Lahirnya katanya menahan Hong-thian-lui, hakikatnya secara tidak tidak langsung ia mengusir Hong-thian-lui secara halus. Segoblok-goblok Hong-thian lui juga merasa akan maksud ucapannya. Dengan tegas ia menyatakan hendak pergi.
Dengan kencang Lu Giok-yau menarik lengannya, sementara ibunya juga pura-pura membujuk dia tetap tinggal, tengah mereka saling tarik dan bersitegang leher, tiba-tiba Geng Tian menyelak : "Nona Lu, kau tak usah kawatir, serahkan saja Ling-toakomu kepada aku.''
"Kau ingin berangkat bersama dia ?'' tanya Giok-yau.
"Aku ini buronan kerajaan Kim, kami sama-sama buronan jadi tak perlu takut merembet kepada siapa," ujar Ceng Tiang melucu.
Merah muka Lu hujin, katanya : "Ilmu silat Geng kongcu lihay, Ling-hiantit berteman kau, aku boleh lega hati."
Lu Giok-yau membanting kaki, serunya: "Bu, kau . . ."
"Ai, kau kira aku tega melepas Ling-toako pergi ?" demikian Lu-hujin berdiplomasi, "Tapi kejadian ini memang serba sulit, bicara terus terang, bila dia menetap dirumah kita, kita tak mampu melindungi keselamatannya. Ada lebih baik ia pergi bersama Geng-kongcu. Kepandaian Geng-kongcu jauh lebih tinggi dari kami, tentu dia lebih aman bersamanya."
Ibunya sudah bicara sejauh itu, Hong-thian-lui juga berkukuh hendak berangkat, apa boleh buat Lu Giok-yau menjadi kewalahan. Akhirnya ia berkata: "Ling-toako, sepanjang jalan kau harus hati hati menjaga dirimu. Setelah sampai dirumah harus segera memberi kabar kepada kami."
"Jangan kawatir, aku pasti berhati-hati." jawab Hong-thian-lui. "Mungkin setibaku dirumah, ayahmu masih berada disana."
Diam diam Khu Tay-seng tertawa dingin dalam hati ; "Kalian budak goblok, dan keparat gendeng ini, seolah-olah kekasih yang intim sekali. Huh, begitu keparat ini meninggalkan tempat ini, kau kira bisa melihat dan jumpa lagi dengan dia ? Khu Tay-seng tidak bodoh, membiarkan panggang bebek yang sudah matang terbang menghilang !" segera ia ikut menimbrung : "Hari sudah siang, kalau Ling-toako terus berangkat, kamipun tak enak menahan dan mengganggu waktunya. Piaumoay, kau antar Ling-toako kemulut gunung saja dan tunggu aku pulang membenahi bekal Ling toako."
Sambil memanggul buntalannya Hong-thian lui berjalan cepat sambil menunduk, sesaat kemudian ia menoleh kebelakang, tampak Lu Giok-yau masih berdiri diujung jalan, berdiri terlongong mengawasi dirinya. Khu Tay seng tampak berdiri disampingnya serta berbisik dipinggir telinganya. Mendadak Hong-thian lui merasa pedih dan rawan, dengan kencang ia gigit bibir, cepat ia melangkah lebar kedepan dan tidak menoleh lagi.
Setelah keluar dari perkampungan, mereka sudah puluhan li jauhnya. Selama ini Hong thian-lui tetap bungkam, berjalan sambil menunduk.
Mendadak Geng Tian buka suara : "Ling-toako, apakah hubunganmu sangat intim dengan nona Lu itu ?"
Muka Hong-thian-lui yang hitam itu menjadi merah legam, sahutnya : "Jiwaku selamat dari renggutan maut berkat rawatan mereka ibu beranak, Tapi .... tapi .... tidak ..."
Ceng Tian tertawa geli, ujarnya : "Bukan aku mencari tahu urusan pribadimu, maaf akan kecerobohanku, ada suatu urusan, betapapun harus kubikin terang. Antara kau dan Khu Tay-seng, pernahkah terjadi pertentangan atau bentrok secara langsung ?"
Hong thian lui melengak, katanya: "Tidak, Khu toako cukup baik terhadapku, untuk keperluan apa kau tanya hal ini kepada aku ?"
Geng Tian berkata kalem : "Tahu orangnya tahu mukanya tak tahu hatinya. Kali ini kau disergap aku yakin kejadian bukan secara kebetulan, mungkin ada sangkut paut dengan Khu Tay-seng bocah itu !"
"Kukira tidak mungkin !" ujar Hong-thian-lui terkejut, "Saudara Geng, dengan alasan apa kau berani menuduh dia ?"
"Para penjahat yang menyergap kau kali ini sudah pernah kulihat sebelumnya. Malah sempat kucuri dengar pembicaraan mereka."
O^~^~^O