Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Jilid 06

Jilid 06

Orang ini mengenakan mantel kulit serigala, seperti muridnya itu pakaian mereka serba parlente bagai hartawan besar.

Begitu masuk keruang perjamuan, kedua orang ini lantas duduk dengan tingkah laku sombong dan takabur, diajak bicara malah mendongak acuh tak acuh, menjawab pertanyaan orangpun hanya mendehem saja tanpa buka mulut.

Tamu tamu yang hadir adalah tokoh-tokoh silat yang punya nama dan kedudukan, begitu sombong dan tak punya sopan santun lagi kedua guru murid ini sehingga para tamu menjadi sebal dan gemas.

Semula mereka sangka kedua guru murid ini adalah sahabat karib Lu Tang-wan, menggebuk anjing juga harus pandang muka sang majikan, maka menghadapi sikap sombong dan tidak mengenal aturan ini mereka hanya dongkol dan gemes saja tanpa berani menegur.

Tengah para tamu mereka-reka, tampak Lu Tang-wan sudah melangkah lebar dari dalam.

Tampak alis Lu Tang-wan bertaut, katanya dingin : "Tak nyana Hek-ing yang kenamaan sudi bertandang kegubukku ini !"

Semua hadirin menjadi kaget mendengar ucapan tuan rumah, "Jadi orang ini adalah Hek-ing (elang hitam) Lian Tin-san ?"

Ternyata Lian Tin-san adalah begal tunggal yang paling kenamaan pada masa ini. Tapi meski namanya tenar menggetar Kangouw namun jarang orang kenal dia. Soalnya dia malang melintang seorang diri, selamanya belum pernah kerja sama dengan orang lain. Setiap kali melakukan kerja besar selalu dengan caranya sendiri, sehingga si korban tak berani lapor atau menyiarkan kejahatannya.

Orang-orang Kangouw tahu wataknya kejam dan bertangan gapeh, ilmu silatnya tinggi, namun betapa tinggi kepandaiannya tiada seorangpun yang tahu.

Setelah ditegur, pelan pelan Lian Tin-san bangkit, katanya : "Kau merayakan ulang tahunmu yang ke 60, mana boleh aku ketinggalan ikut merayakan ?"

"Banyak terima kasih," jengek Lu Tang-wan. "Silakan bicara terus terang saja! Apa maksud kedatanganmu."

Lian Tin san bergelak tawa, serunya : "Baiklah, mari bicara secara gamblang saja, pertama kedatanganku ini memang menyampaikan selamat ulang tahun kepada kau, tujuan yang lain ..."

"Tujuan lain adalah membuat perhitungan lama bukan ?" bentak Lu Tang wan dengan bengis.

Lian Tin-san menyeringai dingin, katanya kalem: "Kata katamu terlalu berat didengarkan. Memang, dulu kita pernah berselisih, tapi tak perlu diperhitungkan. Bicara terus terang, aku orang she Lian bawa muridku yang tak becus ini, tak lain hanya untuk meramaikan perayaan ulang tahunmu, bertanding silat dihadapan para sahabat saja !"

"Bertanding silat atau membuat perhitungan sama saja akan tetap kulayani. Coba jelaskan cara bagaimana bertanding !"

"Bagus, cukup tegas ucapanmu, kalau begitu marilah buat sebuah perjanjian dulu !" demikian tantang Lian Tin-san.

"Menentukan janji apa? Katakan?"

"Kalau aku kalah, aku menyembah dan menyampaikan selamat ulang tahun kepada kau. Sebaliknya bila kau kalah, maaf, maka kaupun harus berlutut dan menyembah tiga kali kepadaku. Tiga ganti tiga cukup adil bukan."

Dengan nama dan kedudukan Lu Tang-wan mana sudi berlutut dan menyembah pada orang? Kalau sudah berlutut nyembah sekali atau tiga kali sama saja. Jelas Lian Tin san hendak menghina dia dihadapan sekian banyak orang.

Diam diam Lu Tang wan menerka dalam hati: "Dia mengasingkan diri selama sepuluh tahun baru datang menantang perang, tentu punya ilmu yang cukup lihay, jangan aku terjebak oleh muslihatnya." maka dengan menahan gusar ia tenangkan pikiran dan kerahkan tenaga murni katanya: "Baik akan kulayani setiap tantangan." Karena ruang perjamuan itu penuh sesak maka Lu Tang-wan ajak ia bertanding diluar pekarangan.

Tapi Lian Tin san tidak bergerak, "Nanti dulu !" katanya sembari tertawa sinis.

"Apa apa lagi, lekas katakan!"

"Teng ngo, kemarilah !" Lian Tin san menunjuk pemuda yang datang bersamanya serta berkata lagi: "Inilah Teng ngo. Teng ngo waktu datang tadi apa yang pernah kukatakan padamu."

Pemuda itu menjawab dengan sikap hormat : "Kau orang tua suruh aku belajar kepadanya menambah pengalaman."

"Tidak salah. Lekas kau minta pengajaran kepada Lu-loenghiong !"

Betapapun sabar Lu Tang-wan sekarang menjadi berkobar amarahnya, desisnya : "Lian Tin- san, berani kau menghina kepada aku."

Lian Tin san terbahak-bahak, ujarnya : "Saudara tua, jangan kau salah paham. Aku minta kau memberi petunjuk padanya, bukan minta kau beri pengajaran. Sudah tentu lebih baik kalau kau sendiri sudi terjun kegelanggang, buat dia sungguh sulit diharap malah."

Lu Tang-wan sudah bicara, cara apapun yang diajukan pasti dilayani, terpaksa ia tahan sabar, katanya: "Tak perlu banyak bacot, bagaimana aku harus memberi petunjuk kepadanya ?"

Lian Tin-san berkata pelan-pelan, "Kudengar kau punya empat murid dan seorang keponakan laki-laki yang sudah kelana di Kangouw, diapun terhitung setengah muridmu, tadi pernah kukatakan, kami hanya ingin bertanding mencari persahabatan di-hadapan sekian banyak orang. Kalau hanya aku bertanding melawan kau saja, bukankah terlalu mengenyampingkan mereka para angkatan muda. Merekapun perlu belajar kenal kau !"

"O, jadi maksudmu, murid lawan murid, guru lawan guru ?" Lu Tang-wan menegaskan. Diam diam ia berpikir : "Walau pemuda ini kelihatan penyakitan, bermuka kuning dan kurus kering, tapi Thay-yang hiatnya menonjol keluar, jelas Lwekangnya sudah cukup matang dan kuat. Keempat muridku itu mungkin bukan tandingannya, hanya Tay-seng yang mungkin dapat mengimbangi !"

Terdengar Lian Tin-san berkata : "Angkatan muda dari para sahabat atau sanak kandangmu, bila ingin memberi petunjuk pada muridku, kami sambut dengan senang hati."

Sementara itu Ko Teng-ngo sudah berada di pekarangan, dengan bertolak pinggang ia berseru : "Angkatan muda dari perguruan Lu-loenghiong sangat banyak, untuk menyingkat waktu, kuharap mereka bisa maju bersama."

Lian Tin-san lantas menanggapi, "Benar, satu persatu terlalu makan waktu, lebih baik maju bersama saja. Tujuan muridku dengan adu silat mencari persahabatan. Seumpama beruntung dia menang, betapapun kepandaiannya masih kurang sempurna, selanjutnya masih diharap saudara Lu tidak kikir memberi petunjuk padanya."

Keruan ocehannya menimbulkan reaksi pada empat murid Lu Tang-wan, serempak mereka tampil kedepan dengan marah marah.

"Baik, keparat ini berani membual, biar aku hajar dia." murid nomer tiga bernama Lu Kang yang paling berangasan memburu keluar, diapun salah seorang keponakan Lu Tang-wan.

"Hai, biar aku dulu yang maju!" murid terbesar Tio Gak berteriak.

Murid kedua Hoa Tai dan murid keempat Ciu Im hampir bersama juga memburu keluar, satu berteriak, "Potong ayam masa perlu golok kerbau, Toa suheng, biar aku dulu!" yang lain membentak: "bocah keropos, belum bertanding sudah bicara besar! Akulah murid yang paling rendah kepandaiannya, belum tentu kau dapat merobohkan aku !"

Keempat murid ini belum punya pengalaman Kangouw, mereka merubung bersama, Lu Tang wan mengerutkan kening, baru saja ia hendak mencegah, namun sudah terlambat.

Sebelum murid keempat Ciu Im habis bicara, mendadak terasa pandangannya kabur. Murid Lian Tin-san yang bemuka kuning berpenyakitan bertubuh kurus kering itu tahu-tahu sudah menubruk kehadapannya.

Meski pucat kuning muka Ko Teng-ngo, namun gerak geriknya ternyata sebat dan mengagumkan. Terdengar ia mengejek dingin, belum hadirin melihat jelas gerakan apa yang dia lancarkan "Blang!" tahu-tahu Ciu Im sudah terlempar setombak lebih.

Sejak tadi Lu Tang-wan sudah melihat kepandaian pemuda kurus ini cukup tinggi, tapi tidak nyana begitu lihay, keruan ia kaget, batinnya: "ltu kan gerak tipu Hun-kin joh kut yang bersumber dari Tay-kim-na jiui Hun-kin-joh kut masih mending, jelas iapun menggunakan kekuatan Siau-thian-sing-ciang lat. Agaknya Khu Tay-seng juga belum tentu menandingi dia. Keempat muridku ini jelas bakal bikin malu saja!"

Hampir dalam waktu yang sama keempat muridnya itu merangsak maju, begitu Ciu Im kecundang, murid terbesar Tio Gak dan murid kedua Hoa Tai juga sudah menerjang tiba. Betapapun Lu Tang-wan harus jaga gengsi dan nama baiknya, dalam keadaan begini tak bisa dia suruh muridnya mengundurkan diri.

Ko Teng-ngo terbahak-bahak, serunya: "Nah, kan begitu, kalian maju bersama saja !" seiring dengan gelak tawanya, ia turun tangan secepat kilat, dengan tipu Im-yang-siang- ciang, tinjunya menjotos muka Tio Gak. Sebagai murid terbesar, Tio Gak boleh dibanggakan, sigap sekali dia gunakan Hong-tiam-thiau untuk menghindar, berbareng kedua lengannya bersilang terus lancarkan Heng ka-kim liang, serangan yang mengandung pembelaan diri. Dalam waktu yang sama tinju murid kedua Hoa Tai juga mengenjot tiba, juga diarah adalah punggung Ko Teng ngo.

Punggung Ko teng ngo seperti tumbuh mata begitu genjotan kemuka Tio Gak luput, gesit sekali ia merobah gerakan tangannya, mencengkeram kebelakang, jengeknya dingin: "Harap maaf, aku tidak bisa terima petunjukmu, coba rasakan!"

"Krak !" pergelangan tangan Hoa Tai dipuntirnya keseleo, murid ketiga Lu Kang menjadi murka, bentaknya : "Berani kau melukai orang?'' menubruk maju tinju kanan menggenjot sedang tangan kiri memayang Hoa Im.

"Apa boleh buat, kepelan kan tidak punya mata. Terima kasih akan peringatanmu, kali ini aku cukup hati hati !" tinju Lu Kang mengarah lambung, tapi ia tidak berkelit atau menangkis, dengan tipu Sun jiu jian-yo ia tangkap pergelangan tangan Lu Kang terus digentak keluar.

Sebelah tangan Lu Kang memeluk Ji-suhengnya, karena gentakan keras ini kontan ia terbanting jatuh, Hoa Tai yang dipeluknya itupun ikut berguling-guling. Namun sesuai janjinya tadi, kali ini Teng-ngo tidak membuatnya cidera.

Sebagai murid tertua, meski tahu bukan tandingan, terpaksa Tio Gak mengeraskan kepala melawan dengan nekad.

"Saudara Tio," olok Teng-ngo, "Kau adalah golok kerbau, kau sudi memberi petunjuk, wah suatu kehormatan bagi aku," sengaja dia menyindir ucapan sutenya yang mengatakan mengggorok ayam tak perlu pakai golok kerbau. Sembari bicara, secepat kilat ia sudah lancarkan tujuh jurus serangan, jurus demi jurus Hun-kin-joh-kut sangat lihay dan cukup ganas. Tio Gak sudah kerahkan segala kemampuannya, susah payah ia berhasil melawan tujuh jurus, untuk gebrak selanjutnya jelas tak mampu membela diri lagi. Tiba-tiba mulutnya terbentang ia menghamburkan darah segar, badannya terhuyung mundur kebelakang. Muntah darahnya, bukan karena kena pukulan tapi karena tergetar oleh Siau thian sing ciang-lat yang hebat itu.

Teng-ngo menghentikan langkahnya, katanya tawar : "Singa menerkam kelinci, golok kerbau menggorok ayam, kiranya juga hanya begitu saja, cukup sampai di sini saja !"

Empat muridnya dikalahkan secara konyol saking marah muka Lu Tang-wan sampai membesi hijau.

"Entah siapa lagi diantara anak murid Lu-loenghiong yang ingin memberi petunjuk ?" Teng ngo menantang dengan suara tawar, meski tidak menunjuk sikap congkak, rasa senang dan takaburnya terdengar dari kata-katanya.

Mendadak terlihat pakaian melambai, dari belakang pintu angin berkelebat keluar seorang, serunya : "Biar aku mewakili ayah minta petunjuk padamu."

Ternyata sejak tadi Lu Giok-yau sudah sembunyi di belakang pintu angin melihat keempat Suhengnya dikalahkan, tak tahan segera ia tampil kedepan.

Lu Tang-wan terkejut, serunya : "Giok-ji, kau, kau ..." yang hendak dikatakan adalah : 'kau tidak dengar peringatanku, berani keluar !? sampai diujung bibir tiba-tiba ia urung bicara, kalau mencegah putrinya maju bukankah menambah lawan lebih takabur ?

Sebelum sang ayah habis bicara, Lu Giok-yau sudah membantah : "Yah, aku terhitung muridmu bukan, orang ingin mengukur kepandaian muridmu, masa kau sendiri yang turun gelanggang ?"

"Benar, Lu-siocia memperoleh pelajaran keluarga, tepat sekali untuk mengembalikan muka ayahmu." Lian Tin san menyindir dengan sinis.

Lu Tang-wan bungkam oleh olok-olok Lian Tin san, lebih runyam kalau ia perintahkan puterinya mundur.

"Huh, kau sengaja membuat malu para muridku, mereka konyol dan menjadi bulan bulanan belaka. Tapi kepandaian Giok ji lebih unggul dari pada Suhengnya, apa boleh buat biarlah iapun mencoba coba kemampuannya. Kalau bocah busuk ini berani melukai puteriku, terpaksa aku tak sungkan lagi padanya,'' diam-diam Lu Tang-wan bersiap siaga bila puterinya terancam bahaya, dia akan pukul mampus Ko Teng ngo.

Kelihatannya Lian Tin-san meraba pikiran Lu Tang-wan, sambil tertawa tawa ia menggeremet kesampingnya, katanya: "Nona Lu tadi tidak hadir mungkin tidak mendengar pertanyaanku, biarlah kutandaskan sekali lagi, muridku hanya berkelahi untuk mencari persahabatan berarti kedua belah pihak cukup saling tutul saja. Tapi kepelan atau senjata tajam umumnya tidak bermata umpama sampai terluka atau cidera kita harus pasrah nasib."

Ko Teng-ngo lantas melanjutkan: "Harap Lu eng-hiong berlega hati, puterimu suka beri petunjuk betapapun aku rela dilukai olehnya tapi pasti takkan membuatnya cidera."

Berdiri alis Lu Giok yau, semprotnya gusar: "Tidak usah mengalah! Jangan cerewet, keluarkan senjatamu !" ia tahu bahwa tenaga sendiri bukan tandingan lawan, ilmu pukulan terang tidak unggul lawan Ko Teng-ngo, alasan lain dia tak sudi saling gebuk dan hantam, supaya tidak sentuhan badan.

Ko Teng ngo bergelak tertawa: "Senjataku adalah kedua kepelanku ini. Nona Lu tak usah kawatir, silakan serang saja!"

"Sret!" Lu Giok-yau melolos pedang, jengeknya: "Baik kau yang menantang, kalau terluka jangan salahkan aku. Sambut serangan ini !"

"Ilmu pedang bagus !" teriak Ko Teng-ngo memuji, belum lenyap suaranya, tiba-tiba selicin belut ia menyelundup, berputar ke hadapan Lu Giok-yau, mengembangkan Khong jiu-jip-pek-to, dengan kekerasan dia berusaha merampas senjata Lu Giok-yau.

Lu Giok-yau terkejut karena tusukannya mengenai tempat kosong, pikirnya: "Tak heran para Suheng dirobohkan semua olehnya." seiring dengan gerak putaran tubuhnya, pedang ditangannya segera berubah memapas lengan kanan lawan.

Perubahan serangan pedang inipun cukup sebat dan ganas, tak urung Ko Teng-ngo juga terkejut dibuatnya, sedikit ayal pasti lengannya tertabas kutung.

Sekaligus Lu Giok-yau lancarkan tujuh rangkai serangan pedang, Ko Teng-ngo mundur tujuh tindak. Baru sekarang hadirin menghirup napas segar, beramai mereka bersorak memberi semangat padanya. Hanya Lu Tang-wan sendiri yang mengerutkan alisnya malah.

Diantara hadirin yang melihat tenaga pembawaan Lu Giok-yau lebih lemah dari lawannya, dalam hati mereka berpikir; "Entah ada permusuhan apa antara Lian Tin-san dengan Lu Tang-wan, jelas ia sengaja mengalah untuk memberi muka pada Lu Tang-wan."

Sebetulnya bukan Ko Teng ngo hendak memberi muka pada Lu Tang wan, tapi anak muda sudah logis kalau kepincut paras ayu diam-diam ia menaruh hati pada pandangan pertama. Sejak kecil ia digembleng dengan tekun oleh Lian Tin-san. Nona remaja yang cukup cantik jarang dilihat olehnya apalagi cantik jelita seperti Lu Giok-yau. Wajah Teng-ngo sendiri, boleh dikata jelek kalau tidak mau dikatakan terlalu buruk, gadis yang cukup rupawan sudah tentu tidak ketarik padanya.

Dalam hati Ko Teng ngo membatin, "Genduk ini amat cantik, kalau aku membuatnya cidera kan sayang? Lebih baik aku mengalahkan dia dengan cara yang mengagumkan supaya dia merasa hutang budi padaku."

Namun meski kepandaian sejati Lu Giok-yau tidak sebanding dengan dia, ilmu pedangnya tidak lemah, dengan bertangan kosong Teng ngo harus melawan pedang pusaka, berulang kali ia lancarkan Khong-jiu jip-pek-to hendak merampas pedang lawan, namun selalu gagal, pernah dua kali hampir saja dia terluka oleh sambaran lawan.

Kalau Lu Tang-wan mengerut alis, Lian Tin-san pun makin bertaut. Akhirnya ia berseru: "Teng ngo, kau hendak minta petunjuk Lu loenghiong, maka keluarkan kepandaianmu."

Ko Teng-ngo tersentak sadar, pikirnya: "Suhu berjerih payah mendidik aku, betapa besar harapannya terhadap aku. Kali ini dia ingin aku menegakkan gengsi dan mentenarkan namanya dihadapan sekian banyak orang orang gagah. Aku sendiri ternama atau tidak bukan menjadi soal, betapapan aku tidak bisa meruntuhkan nama baik perguruan."

Sayang Lu Giok-yau seorang gadis pingitan yang belum punya pengalaman, apalagi melawan musuh tangguh, sedikit berada diatas ingin lantas anggap kepandaian musuh hanya begitu saja, kewaspadaan dan kesigapannya menjadi kendor. Ilmu pedang yang dimainkan begitu lincah dan banyak perubahan yang menakjupkan itu lambat laun diselami oleh Ko Teng-ngo, titik kelemahannya sudah diincar oleh lawan.

Pertempuran makin sengit, tampak Ko Teng-ngo bergerak selincah kera menari, loncat kekiri hindar kekanan, setiap gerak geriknya serasi, hingga pedang Lu Giok-yau tak pernah menyentuh badannya mendadak ia menyentuh sekali, "Creng!" tepat ia selentik batang pedang lawan. Kontan Ceng-kong kiam ditangan Lu Giok-yau terlepas dan jatuh berkerontang diatas tanah, namun sebelum pedang jatuh ujungnya berhasil memapas sobek ujung lengan baju Ko Teng ngo.

Selentikan jari Ko Teng ngo itu mengerahkan tenaga murninya telapak tangan Lu Giok yau tergetar kesemutan, tubuhnya sempoyongan hampir roboh.

Sigap sekali Ko Teng ngo memburu maju seraya berteriak : "Maaf, aku kesalahan tangan !"

Betapa kejut Lu Tang-wan, serta merta ia bergerak hendak menolong. Lian Tin-san terbahak-bahak mengadang di depannya, ujarnya : "Lu-liok, belum saatnya kita turun gelanggang bukan?"

Pada saat itulah mendadak menerobos keluar seorang serta membentak gusar. "Bajingan kau berani melukai Piau-moayku !" seiring suaranya, kedua tangannya mendorong sehingga Ko Teng ngo terpental mundur.

Sebetulnya Khu Tay seng tengah bicara dengan Ling Tiat wi dikamar buku, sebagai Piau siauya yang berkuasa dalam keluarga Lu, dia mendapat laporan kejadian di depan oleh mereka yang bermuka-muka padanya.

Ternyata murid si elang hitam sudah mengalahkan keempat murid Ih tionya, sekarang sedang bertanding dengan Piaumoynya, bergegas dia memburu keluar.

Sebetulnya Ko Teng ngo kawatir Lu Giok-yau jatuh terjengkang, ia maju ingin memapahnya. Khu Tay-seng punya prasangka yang sama dengan sang Ih tio menyangka Ko Teng-ngo hendak berbuat tidak senonoh terhadap sang Piaumoay.

Karena terpelanting keruan Ko Teng-ngo menjadi gusar, serunya: "Aku bertanding dengan Lu, siapa bilang aku aniaya dia ?"

Khu Tay-seng tak hiraukan dia, tersipu-sipu dia payang Piaumoay, katanya, "Piau-moay, bagaimana kau ?"

"Aku tidak terluka," sahut Lu Giok yau. "Piauko, tepat kedatanganmu, kau balaskan sakit hatiku !"

"Nona Lu, pertarungan kita anggap saja seri, aku terlalu berat menggunakan tenaga, jangan kau marah lho !" demikian ujar Teng-ngo cengar cengir.

Merah jengah muka Lu Giok-yau, semprotnya; "Siapa sudi kau alem !" meronta dari pegangan Khu Tay-seng ia jemput Ceng-kong kiamnya yang jatuh oleh selentikan Ko Teng ngo tadi.

Melihat putrinya tidak terluka Lu Tang wan menyesal akan tindakannya yang terburu nafsu tadi, segera mundur kembali ketempatnya semula.

Lian Tin-san tertawa dingin, oloknya, "Muridku tidak melukai seujung rambut putrimu, sudah lega hatimu !"

Lu Tang-wan mendengus katanya: "Baik, nanti aku yang minta petunjuk ilmu silatmu !" Waktu mendorong Ko Teng-ngo tadi, kedua tangan Khu Tay-seng kesemutan, sebetulnya hatinya agak gentar, mendengar sang Piaumoay minta dia menuntut balas timbul semangatnya, segera ia membentak, "Baik, sekarang giliran kubelajar kenal dengan ilmu silatmu."

Melihat hubungan Tay-seng begitu mesra dengan Lu Giok yau, jelus hati Ko Teng ngo jengeknya; "Kaupun termasuk murid Lu-loenghiong, kabarnya diantara muridnya kepandaianmu paling tinggi, kau ingin kenal ilmu silatku. Hahahaha sangat kebetulan malah."

Tanpa banyak bicara mereka lantas bergebrak, Ko teng-ngo ingin menghajarnya, maka ia kembangkan Hun kin-joh kut, setiap jurus menggunakan tenaga penuh, yang diincar tempat berbahaya yang mematikan.

Khu Tay seng menebalkan nyali sekuat tenaga dengan segala kemampuannya ia melawan. Sayang secara kenyataan kepandaian setingkat dibawah lawan, meski ia sudah kerahkan setaker tenaganya, namun terdesak dibawah angin.

Dalam pertempuran seru itu dengan serangan Im-yang siang-jong ciang, Khu Tay-seng balas merangsak dengan sengit, berusaha mencapai kemenangan dan posisinya kepepet itu, umpama semua murid kalah betapapun harus gugur bersama, biar kalah asal menyenangkan sang Piaumoay, rasa sakit atau terluka tidak dihiraukan lagi.

Terdengar Ko Teng ngo terkekeh-kekeh, serunya lantang : "Para hadirin harap perhatikan dia yang menumbuk, bukan aku sengaja melukainya." belum habis suaranya kedua telapak tangan sudah terangkap dan tepat menggencet pergelangan tangan Khu Tay seng, bila kerahkan tenaga dan dipelihara pasti tangannya putus.

Dalam keadaan gawat itulah tiba tiba gelombang tenaga dahsyat menerpa datang. Mencelos hati Ko Teng ngo, kagetnya bukan kepalang, cepat ia lepas tangan dan mundur serta berteriak : "Lu loenghiong, kau... kau....." setelah melihat orang yang berada didepannya, seketika merah jengah selebar mukanya, kata-kata selanjutnya juga ditelan kembali.

Ternyata yang menolong Khu Tay-seng bukan Lu Tang wan, tapi seorang pemuda yang lebih mudah usianya sendiri. Dia tak lain tak bukan adalah Hong thian-lui Ling Tiat wi.

Sudah tentu bukan maksud Hong-thian-lui membokong, yang jelas tujuannya hendak memisah saja. Soalnya sebelum ia memburu tiba tenaga pukulannya sudah memberondong lebih dulu. Ko Teng-ngo tidak melihat jelas, ia anggap murid murid Lu Tang-wan tiada yang punya tenaga dalam sekuat ini, maka ia kira Lu Tang-wan sendiri yang turun gelanggang. Takut pukulan Lu Tang-wan bakal menghabisi jiwanya, tersipu-sipu ia lepas tangan dan tak sempat melintir putus tangan Khu Thay seng. Terpaksa dia kerahkan hawa murni bersiaga, sebelum Hong-thian-lui menerjang tiba, dia sudah lepas tangan melompat kesamping.

"Akupun termasuk angkat muda Lu loeng-hiong," demikian ujar Hong-thian-lui, "Hari ini aku menyampaikan selamat ulang tahun beliau. Tadi kau mengatakan, siapapun asal angkatan muda Lu-loenghiong akan kau beri ajaran !"

Kejut dan girang hati Lu Tang-wan, pikirnya : "Sudah kebacut dia keluar, biarlah diapun coba-coba." maka ia bicara : "Aku masih disini lho, Ko lote, kenapa kau panggil aku? Hehehe, belum saatnya aku turun gelanggang. Kau tak usah gembar gembor!" lalu ia berpaling dan berkata pada Hong thian-lui : "Tiat wi Hiantit, teguhkan hatimu menghadapi petunjuk saudara Ko !"

Usia Hong-thian-lui lebih muda dari Ko Teng-ngo, waktu masuk gelanggang tadi Ko Teng-ngo sudah obral omongan secara takabur, terpaksa ia harus mengeraskan kepala, sahutnya: "Benar, memang tadi kukatakan demikian, maju bersama atau giliran satu persatupun tetap kulayani." dalam hati ia berpikir : "Lwekang bocah ini kelihatan lebih unggul dari aku satu tingkat, namun belum tentu dapat menandingi tujuh puluh dua jalan Toa-kim-na-jiuku yang lihay ?" dasar licik ia mengatur jalan mundurnya lebih dulu, umpama kalah, betapapun tidak sampai malu.

"Jangan kawatir," ujar Hong thian lui dingin. "Aku Ling Tiat-wi takkan ambil keuntungan. Kau bilang aku bertempur giliran? Baik, aku batasi pertempuran ini sepuluh jurus saja, kalau dalam sepuluh jurus aku tak mampu merobohkan kau anggap aku yang kalah."

Diam diam girang hati Ko Teng ngo, namun lahirnya pura pura gusar makinya: "Bedebah! Kau pandang rendah diriku ?"

"Kau sudah tempur tiga babak tenagamu banyak terkuras, kalau tidak kubatasi bukankah aku beruntung ? Kalau kau tidak mau diremehkan aku orang she Ling juga tak mau dicela oleh para Enghiong yang hadir."

Memang Ko Teng-ngo memancing pernyataan terbuka ini, segera ia menanggapi; "Baik, kau sendiri yang bilang, bukan aku yang membatasi sepuluh jurus !"

Harus diketahui, untuk menang dalam perkelahian tidaklah sulit, yang sulit adalah merobohkan lawan, paling sedikit bekal kemampuan sendiri harus lebih tinggi satu atau dua tingkat dari musuh. Sudah tentu Ko-Teng-ngo tidak percaya bocah yang jauh lebih muda dari dirinya ini punya kepandaian begitu tinggi ?

"Nih, boleh kau mulai dulu, kau sebagai tamu aku mengalah tiga jurus!" demikian bentak Hong thian lui. Batas yang dia tentukan adalah sepuluh jurus, sengaja ia mengalah lagi tiga jurus tanpa balas menyerang, berarti tinggal tujuh jurus. Dalam tiga jurus ia harus waspada supaya tidak dirobohkan lawan.

Murid murid Lu Tang wan beruntun kecundang, tamu tamu undangan keluarga Lu ikut uring uringan dan jengkel. Sekarang melihat sikapnya gagah dan perbawa angker Hong thian lui, meskipun menang kalah belum dapat diramalkan para hadirin sudah bersorak dan bertepuk memberi semangat padanya.

"Keparat!" bentak Ko Teng ngo, "kau sendiri yang ingin mampus."

Bersama dengan bentakannya ia lancarkan serangan pertama. Tangan Hong-thian-lui masih terselubung didalam lengan bajunya yang panjang kedodoran, sedikit jongkok kebawah terus menerjang maju. Jurus serangan Ko Teng-ngo adalah menjojoh mukanya, tadi dia sudah berkenalan dengan Lwekang Hong-thian-lui, melihat orang menerjang dengan kekerasan, dia harus hati hati memperhitungkan untung ruginya, seumpama dirinya berhasil mencengkeram pecah urat nadinya, dirinya akan terluka oleh terjangan dahsyat bagai banteng ketaton ini. Memang dia sudah gentar, maka bergegas ia mengegos sambil ganti serangan.

Dari samping Lu Giok-yau bertepuk serta bersorak : "Bagus jurus pertama sudah dimulai !"

Menurut peraturan pertandingan, Hong-thian-lui tidak angkat kaki tidak ulur tangan sudah tentu tidak bisa dianggap balas menyerang. Meski ia menerjang dengan kekerasan, boleh dikata sengaja memberikan mukanya untuk digenjot lawan. Ko Teng-ngo tidak berani memukul umpan baik adalah kesalahan Kong Teng ngo sendiri. Yang terang dia sudah memberi keuntungan kepada Ko Teng-ngo.

Mendapat pengalaman pertama, Ko Teng-ngo mengubah permainannya, dengan gerak tangan yang cepat luar biasa dari samping ia memukul kemuka lawan, di tengah jalan pukulan tangan dirobah menjadi cengkeraman ke urat nadi Hong-thian-lui, walaupun kedua tangan Hong-thian-lui terbungkus di-dalam lengan bajunya, namun Ko Teng ngo mahir mengincar sasarannya dengan tepat, ia membatin : "Kali ini kulihat kau berani menumbuk tidak. Kalau kau melawan berarti sudah kukalahkan !"

"Bret !" tampak lengan baju Hong thian-lui robek besar, tapi Ko Teng-ngo malah terpental mundur tiga langkah. Para hadirin menyaksikan dengan jelas, kedua tangan Hong-thian lui masih disembunyikan didalam lengan bajunya.

Ternyata Hong-thian-lui menggunakan Tiat-siu kang (Ilmu Lengan Baja Besi), dengan dilandasi tenaga murninya, lengan baju yang dicengkeram Ko Teng-ngo menjadi keras seperti pentung kayu. Kalau Ko Teng-ngo dapat merobek lengan bajunya, terhitung kepandaiannya memang lumayan. Tapi jari jemarinya juga kesemutan dan kesakitan, tanpa kuasa ia tergetar mundur tiga langkah.

Jurus kedua ini, walau Hong-thian-lui menggunakan Tiat-siu-kang, namun jelas tidak turun tangan, jadi tidak bisa dianggap balas menyerang.

Lu Giok-yau acungkan jarinya sambil menghitung: "Jurus kedua!" suaranya sudah tidak selantang tadi.

Belum lenyap suara Lu Giok-yau, sigap sekali Ko Teng-ngo melejit kebelakang Hong-thian-lui, dengan tipu Yu-gong-tam-jiau ia mencengkeram tulang pundak Hong-thian-lui.

Pi-pe-kut atau tulang pundak merupakan bagian terlemah ditubuh manusia, bila dicengkeram, betapapun tinggi kepandaian silatnya pasti cacat seumur hidup. Ko Teng ngo berpikir: "Betapa tinggi Lwakangnya, apa mampu dia melindungi tulang pundaknya?"

Melihat serangan yang begitu keji dan telengas, hadirin bersorak mengumpat caci. Ditengah sorak sorai itu terdengar suara "Bret!" Baju dipunggung Hong-thian-lui tercengkeram hingga robek besar dan panjang, tampak jari jemari Ko Teng ngo berlepotan darah.

Ternyata waktu tangan lawan mencengkeram tiba, Hong thian lui menekuk pinggang, dengan punggung ia sambut Tay-kim-na jiu musuh.

Sejak kecil Hong-thian Iui melatih Lwekang dan Gwakang berbareng. Lwekangnya memang belum sempurna, tapi Gwakang sudah dilatih dengan baik, kulit badannya keras seperti besi, dibacok golok orang biasa juga takkan terluka. Ko Teng ngo luput mencengkeram tulang pundaknya, maka kelima jarinya lecet tergesek kulit kasar di punggung Hong-thian-lui, namun punggung Hong-thian-lui juga lecet keluar darah. Noktah darah dijari Ko Teng ngo sebagian adalah darahnya sendiri sebagian adalah darah Hong-thian lui.

Orang lain tak tahu adanya luka di jari Ko Teng-ngo, kenyataan punggung Hong-thian lui berdarah. Keruan hadirin kaget dan kebat-kebit, yang bernyali kecil malah menutup mata.

Hong-thian-lui sudah mengalah tiga jurus, yang diderita hanya luka lecet dikulitnya saja, terang belum dipukul roboh maka tidak bisa terhitung kalah.

"Tiga jurus sudah selesai," terdengar Lu Giok-yau berteriak, suaranya rada gemetar.

"Tiatwi Hiantit!" seru Lu Tang-wan, "kau tidak perlu sungkan terhadapnya !"

"Diberi tidak membalas adalah kurang hormat ! Sambut seranganku !" tiba-tiba Hong-thian-lui berteriak, suaranya mengguntur bagai geledek, sehingga suaranya bergema dalam ruang perjamuan. Dikata lambat kejadian begitu cepat. Seiring dengan ancamannya, tangan kiri berputar setengah lingkar sedang telapak tangan kanan seperti golok membelah miring kedada Ko Teng-ngo.

Ko Teng-ngo tidak berani menyambut, dengan gerak Ih-sing-haan-wi, ia menggeser kedudukan, dari samping ia menyergap ketiak kiri Hong-thian-lui. Sigap sekali Hong-thian-lui membalik tangan, Ko Teng-ngo terpental gentayangan seperti kertas melayang terhembus angin. Gerak geriknya memang indah untuk menghindar kedua rangsekan Hong-thian-lui. Gerak tubuh Hong-thian-lui sebaliknya kurang begitu lincah, kedua jurus serangan itu hanya terpaut beberapa inci saja, lambaian bajunya saja tidak tersentuh olehnya.

"Jurus kelima," terdengar Lian Tin-san mewakili muridnya menghitung. Diantara hadirin ada yang tertawa dingin dan mencemooh, meski tidak dilontarkan dengan kata-kata, Lian Tin san maklum orang mencela dan menyindir karena tiga jurus Hong-thian-lui tadi ia masukkan kedalam hitungannya. Walau Hong thian lui sudah bicara dimuka, namun sebagai seorang guru, sebagai angkatan tua yang punya kedudukan dan gengsi tidak pantas ia masukkan tiga jurus kedalam hitungannya.

Merah muka Lian Tin-san, batinnya : "Entah dari mana bocah ini, Teng-ngo kelihatan bukan tandingannya. Semoga ia mampu bertahan sampai sepuluh jurus." belum pikirannya hilang, tampak Ko Teng-ngo bergaya Lam lu-ta-gun, menghindar dari pukulan Hong-thian-lui, gerak geriknya kelihatan runyam dan gopoh, untung dapat terhindar dan selamat. Perasaan Lian Tin san enteng dan lega, pikirnya : "Tinggal empat jurus lagi, naga-naganya Teng ngo bisa bertahan!" tanpa hiraukan cemooh dan sindiran orang lain, ia menghitung lantang : "Jurus keenam !"

Diluar tahunya, bahwa muridnya dalam keadaan menderita, ada kesulitan tak bisa diutarakan.

Setiap melancarkan pukulannya Hong-thian-lui menyertai bentakan dahsyat, meski tidak mengenai sasarannya, namun tenaga pukulan yang menerpa bergulung bagai gugur gunung, laksana topan melandai, membuat Ko Teng-ngo sesak napas, bentakan laksana geledek mengguntur itu menggetarkan konsentrasinya sehingga kuping terasa hampir pecah.

Susah payah Ko Teng-ngo berhasil memunahkan tiga jurus serangan lawan pinggang terasa linu, dengkul terasa lemas, gerak geriknya menjadi lamban dan gentayangan. Terdengar Hong-thian-lui menggertak lagi, kedua telapak tangannya didorong kearah dirinya.

Kali ini Ko Teng-ngo tidak mampu meluputkan diri dari pukulan hebat ini terpaksa ia nekad menyambut dengan balas mencengkeram urat nadi Hong thian lui.

Tay kim na-jiu yang dilancarkan Ko Teng-ngo dilandasi tenaga Siau thian sing-ciang, gerak perubahan yang dilakukan merupakan langkah nekad dan besar resikonya, bukan saja telak dan tepat, juga mengandung perubahan yang mendadak, bisa meminjam tenaga, menggunakan tenaga. Didalam situasi yang gawat seperti yang dihadapinya sekarang, hakikatnya memang tiada cara lain yang lebih sempurna untuk menghadapi rangsakan musuh.

Sesaat suasana menjadi sunyi senyap, hadirin menahan napas, seumpama jarum jatuh kelantai juga terdengar. Diantara mereka tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan. Tapi mereka berpikir: "Umpama aku, mungkin tak mampu memunahkan dengan cara begitu gemilang!"

Belum mereka selesai berpikir, terdengar Hong-thian-lui membentak lagi: "Pergi!" Para hadirin sudah melihat jelas Ko Teng-ngo berhasil mencengkeram urat nadinya, entah mengapa, mendadak orangnya sudah diangkat tinggi terus diputar-putar kencang lalu dilempar jauh.

Sepihak merangsak dengan kekerasan, pihak lain melawan selembut jarum terselip dalam kapas. Didalam pelajaran silat ada istilah lemah dapat mengatasi keras, namun bagaimana juga harus mempertimbangkan kondisi dan kemampuan masing-masing. Memang Ko Teng ngo mampu mengombinasikan keras dan lemas, namun ia tak kuat melawan tenaga raksasa pembawaan Hong-thian lui. Begitu jari jemarinya mencengkeram urat nadi lawan, belum sempat mengerahkan tenaga, tahu-tahu jarinya sudah tergetar lepas, tahu-tahu dirinya sudah dijinjing tinggi terus dilemparkan.

Sebenarnya perlawanan Ko Teng-ngo cukup mempesonakan penonton, siapa tahu dalam kejap lain dirinya dilempar Hong-thian-lui malah. Dari posisi yang menguntungkan menjadi pihak yang kecundang, perubahan yang mendadak ini benar diluar dugaan para hadirin! Keruan semua menjadi melongo dan menjublek ditempatnya, lupa memberi sorakan.

Jelas Ko Teng-ngo bakal terbanting keras dengan pantat atau punggung menyentuh lantai lebih dulu. Lian Tin-san melompat dengan terkaman harimau, kebetulan dapat menyanggah tubuh muridnya, lalu dorong perlahan punggungnya, tampak Ko Teng-ngo jumpalitan tiga kali lalu mendaratkan kakinya dilantai, berputar lagi tiga kali baru bisa berdiri tegak. Dengan dorongan Lian Tin-san bantu muridnya memunahkan daya lempar yang kuat dan keras itu, kalau tidak, umpama dia menyambut tubuh muridnya dan menurunkan kebawah, pasti dirinya bakal terluka dalam yang cukup parah.

Melihat cara Lian Tin-san menolong muridnya, seumpama menjinjing kapas saja.

"Harapan satu-satunya hanyalah mengadu jiwa dan gugur bersama seperti dulu."

Tiba-tiba terdengar tampik sorak yang gemuruh, entah menyoraki Lian Tin-san atau menyoraki Hong-thian lui, atau mungkin menyoraki kedua-duanya. Ditengah tampik sorak itu terdengar seruan nyaring Lu Giok-yau : "Jurus kedelapan !" batas pertandingan adalah sepuluh jurus, masih kurang dua jurus lagi, Hong-thian-lui sudah berhasil merobohkan Ko teng-ngo. Walaupun tidak roboh menyentuh tanah, tapi dia ditolong gurunya, jadi terhitung kalah.

Terdengar Lian Tin-san berkata pelan-pelan : "Teng-ngo, beruntun kau sudah gebrak empat babak, sudah saatnya kau istirahat. Sungguh hebat kepandaian Ling-siauhiap ini, sungguh kagum dan harus dipuji. Beberapa tahun mendatang biarlah muridku minta belajar lagi pada kau."

Lu Giok-yau mencemooh tertawa : "Memang muridmu beruntun melawan empat babak. Tapi orangpun hanya menggunakan delapan jurus saja !"

Maksud Lian Tin-san adalah supaya Hong-thian-lui mengundurkan diri keluar gelanggang, kini gilirannya melawan Lu Tang wan, entah karena tidak tahu arti kata-kata orang, entah sengaja, Hong-thian-lui tetap berdiri ditempatnya tanpa bergerak.

Lu Giok-yau menjadi geli: "Bocah gendeng ini menjadi linglung dimabuk kemenangan ?" katanya tertawa: "Ling-suheng, kaupun perlu istirahat. Mari sini kuberi obat luka-lukamu !"

Jelus hati Khu Tay-seng melihat sang Piaumoay akrab dan prihatin terhadap Hong-thian-lui. Ia benci pada diri sendiri yang tidak becus, hingga dikalahkan murid orang, Hong thian-lui dapat angkat dada mengagulkan nama malah.

Hong-thian lui manggut-manggut kearah Lu Giok-yau, menyatakan rasa terima kasihnya. Tapi tetap berdiri ditempatnya tanpa berkisar.

"Ling-sutit,'' ujar Lu Tang-wan, "Kau sudah capek, mundurlah istirahat. Lian Tin san, sekarang giliran kita menentukan perhitungan lama!''

"Bagus !'' seru Lian Tin-san menyeringai dingin, "Biar kubelajar kenal betapa tinggi kepandaianmu!"

Mereka siap turun gelanggang, tak duga tiba tiba Hong-thian-lui berseru lantang: "Paman Lu, orang tua ada urusan, kaum muda yang memikul. Harap diijinkan biar Wanpwe minta petunjuk kepada Lian sian-sing ini."

Keruan Lu Tang-wan dan hadirin terperanjat. Kata Lu Tang-wan : "Apa ? Kau masih mau bertempur lagi?"

Lian Tin san juga merasa diluar dugaan, ia mendengus hidung, matanya mendelik, jengeknya : "Apa, kau mau bertanding dengan aku ?"

"Apa yang diherankan?" tanya Hong-thian-lui dingin, ''Muridmu sudah tempur empat babak, dalam delapan jurus aku mengalahkan dia, meski tidak perlu dibanggakan, kepandaian silat kalian yang hebat itu, ingin aku belajar kenal lebih lanjut ! Setelah muridnya keok dan mundur, menurut aturan aku boleh minta petunjuk kepada gurunya, kalau kau robohkan aku, tentu aku akan keluar gelanggang !"

Lian Tin-san menyeringai dingin, katanya : "Aku kawatir kau takkan mampu keluar gelanggang sendiri nanti!" ucapannya jelas maksudnya, bila turun tangan dia tidak belas kasihan. Kalau Hong-thian-lui terluka parah tentu akan digotong kedalam.

Berdiri alis tebal Hong-thian-lui, katanya berani: "Tinju memang tiada punya mata, kau bunuh akupun takkan menyesal. Kalau kau kena jotosanku, kaupun jangan salahkan aku."

Agaknya Lian Tin-san turun gelanggang melawannya. Lian Tin-san tertawa dingin, katanya : "Baik, kau memang pemberani, aku orang she Lian sungguh sangat kagum padamu, marilah dimulai!"

Terdengar Lu Giok-yau berseru seperti menggumam : "Tadi orang hanya membatasi sepuluh jurus !"

Meski ia menggumam sendiri namun suaranya cukup keras, semua hadirin mendengar dengan jelas.

Ada tamu yang iseng segera menanggapi : "Bukan saja terbatas sepuluh jurus juga mengalah tiga jurus lagi untuk diserang tanpa balas! Pertandingan seangkatan berani memberi rente, apalagi melawan angkatan lebih tua, kuat dan lemah sudah jelas, sebagai orang yang menjadi Cianpwe kalau mau menjaga gengsi dan kedudukan mungkin , . . . hehehe, betapapun tidak bisa meniru-niru saja bukan !"

Seorang tamu lain juga ikut menyela : "Betul seekor cempe yang baru lahir tak takut harimau. Menang atau kalah tidak peduli. Jiwa kesatria saudara Ling sungguh harus dipuji. Sudah kita tak perlu banyak mulut, biarlah mereka bertanding sama rata dan sama kedudukan saja. Harap dimaklumi, meski Ling-lote dikalahkan, harus dihargai juga."

Mendengar olok-olok dan sindiran pedas ini, merah padam muka Lian Tin-san. Diam-diam ia membantin: "Bocah ini Lwekang-nya tidak lemah, untuk menang, paling tidak aku harus menyerangnya sebanyak tiga lima puluh jurus."

Dalam delapan jurus Hong-thian lui mampu mengalahkan muridnya, sudah tentu ia tidak berani memberi batas pertarungan kepada Hong-thian-lui. Apa boleh buat ia anggap tuli atau tidak dengar olok-olok dan sindiran para hadirin.

Lu Tang-wan tertawa, sindirannya lebih tajam : "Sebetulnya tidak perlu dibatasi. Keponakanku ini hanya mohon pengajaran beberapa gebrak untuk menambah pengalaman. Sulit memperoleh petunjuk dari Hek-ing (elang hitam) yang menggetarkan Kangouw ini, sudah tentu semakin banyak semakin baik !"

"Jangan cerewet !" bentak Lian Tin-san seram, "bocah keparat ayo serang!" mulut bicara takabur, dalam hati ia membatin: "Biar akupun beri kelonggaran tiga lima jurus untuk ambil muka muridku !"

Hong-thian lui melangkah ketengah gelanggang, tiba tiba ia menggertak keras kedua telapak targannya memukul dada Lian-Tin-san. Lian Tin san membusungkan dada menyedot perut, kakinya tegak tidak bergeser tiba tiba badannya doyong kebelakang beberapa inci, pukulan Hong-thian-lui menyerempet tidak mengenai sasarannya.

Pertarungan jago kosen, setiap jurus permainannya menentukan langkah langkah selanjutnya. Begitu gampang dan sepele Lian Tin san menghindar dari pukulan Hong-thian-lui yang dahsyat, dari sini dapat dinilai berapa dalam dan matang latihan silatnya. Lu Tang wan musuh kebuyutan diam diam juga memuji !

Padahal dipandang lahirnya saja memang sepele dan gampang menghindar bahwasanya waktu kedua pukulan Hong-thian lui menerpa tiba, diam-diam bercekat sanubari Lian Tin san.

Meski pukulan orang hanya terpaut setengah inci dari sasarannya, namun betapa kuat dan dahsyat tenaga pukulan Hong-thian lui itu, hingga terasa dada dan perutnya tergetar kesemutan.

Terdengar Hong thian-lui membentak: "Jangan anggap mukamu bengkak dikira gemuk. Kalau tidak balas menyerang memangnya kau ingin menderita !" telapak tangan kiri menyelonong kekanan, sebaliknya telapak tangan kanan bergerak setengah lingkar menerjang kekanan, beruntun ia lancarkan serangan berantai, sayup sayup terdengar gemuruh suara geledek.

Jago kosen seperti Lian Tin san, setelah mendengar olok olok Hong thian-lui seharusnya ia memberi kelonggaran satu jurus lagi. Tapi setelah mengalah satu jurus tadi dadanya tertekan sakit, kalau mengalah lagi sejurus bukan mustahil ia bakal terluka dalam celaka kalau terpukul mati.

Sudah tentu Hong-thian lui tidak tahu bahwa lawan hendak memberi kelonggaran padanya, waktu melancarkan jurus kedua, pertama ia tidak sudi diberi kelonggaran, kedua kawatir kalau benar benar melukai orang, meski menang tidak gemilang. Hong thian lui berjiwa polos dan lapang dada, sebelum serangan dilancarkan ia membentak lebih dulu. Apalagi kedua telapak tangannya bergantian membundar, dengan cara ini meski kekuatan pukulannya bertambah tapi daya serangannya bisa diperlambat. Memang sengaja ia memberi peluang kepada lawan supaya ada waktu melayani serangan ini.

Terdengar Lian Tin-san membentak gusar: "Bagus, kau sudah bosan hidup, biar kuhajar kau!" setelah menggertak, baru lancarkan serangan balasan, telapak tangan kiri menekan lengan kanan Hong thian-lui, berbareng kepelan kanan mengenjot muka orang.

Hong thian-lui tidak mengira lawan bergerak sebat, lekas ia gentakan lengan mengibas tangan orang berbareng mengangkatnya keatas dan menangkis. "Blang!" dadanya kena genjotan pukulan Lian Tin-san.

Karuan hadirin berjingkrak kaget dan pucat mukanya. Terdengar Lu Giok yau berseru mencemoohkan: "Tidak tahu malu, sebagai angkatan tua membokong anak muda!"

Lian Tin san berkata tawar: "Kubiarkan dia menyerang, waktu membalas aku sudah memberi peringatan lebih dulu, mana bisa dianggap membokong? Bocah ini tidak becus! Menyambut sejurus serangan saja tidak mampu apa harus salahkan aku?"

Lian Tin-san kira begitu kena jotosannya Hong thian-lui bakal terjungkal roboh. Siapa tahu orang hanya terhuyung mundur dua langkah saja. Kejap lain tubuhnya sudah tegak kembali dan maju menyerang lagi. Bentaknya: "Aku kan belum kalah, jangan kau membual. Sambut serangan ini!" menurut aturan pertandingan, menjotos lawan hanya dianggap menang sejurus, kalau lawan tidak roboh dan mampu bangun lagi, masih boleh melanjutkan pertandingan.

Rupanya Hong-thian-lui sudah digembleng dari sejak kecil hingga kulit tubuhnya alot dan keras seperti besi. Walaupun Lwe-kangnya belum terlatih sempurna, namun sudah cukup tinggi dan kokoh dasarnya. Jotosan Lian Tin san itu hanya menggetar sakit dadanya, namun tidak terluka dalam.

Kalau Lian Tin san menambahi sekali jotos lagi sebelum ia dapat berdiri tegak, pasti Hong thian-lui dipukulnya roboh terjungkal. Tapi Lian Tin-san terlalu takabur, ia percaya pada kekuatan sendiri, demi menjaga nama dan gengsi sembari menjawab olok olok Lu Giok yau ia menanti Hong thian-lui terjungkal sendiri. Tapi perhitungannya meleset, Hong thian lui ada peluang ganti napas malah.

Hong thian lui mengerahkan hawa murni dari pusar, lalu digelandang tiga kali putaran dalam tubuh, hanya sekejap mata rasa sakit dadanya lantas lenyap. Sigap ia menerjang sembari menghardik, telapak tangan berbareng memberondong kedepan.

Melihat orang bergerak cepat menyerang lagi, suara bentakannya lantang penuh tenaga tanpa cidera sedikitpun jelas tidak terluka dalam oleh pukulannya. Bukan kepalang kejut hatinya, ia membatin: "Tak heran Teng-ngo dikalahkan dalam delapan jurus saja. Bocah ini betul-betul ajaib. Usianya tidak lebih dua puluh tahun, bagaimana mungkin membekal lwekang sehebat ini?" Untuk gebrak selanjutnya ia tidak berani pandang ringan lawannya, ia tumplek perhatiannya dengan jurus Hun in-jiu, kedua tangannya dirangkap lalu dikiblatkan kesamping untuk memunahkan daya tekanan Bit-le ciang Hong thian-lui yang dahsyat itu.

Baru sekarang hadirin bernapas lega, serta merta mereka bersorak lagi. Memberi applus kepada Hong thian lui. Ciang Tiong-ping, Lo-enghiong yang bicara duluan tadi sekarang mengejek pula: "Elang hitam yang kenamaan, ternyata hanya mampu memberi sejurus kelonggaran pada Wanpwe saja."

Lu Giok-yau segera ikut menanggapi dengan tertawa: "Ngalah sejurus saja kho diagulkan. Hehehe, bukan saja terlalu takabur, kulit mukanya juga cukup tebal !"

"Hus, jangan kau mentertawakannya !" demikian goda Ciang Tiong-ping, "Sejurus mengalah tadipun sudah cukup berharga lho!" sengaja ia perpanjang kata-kata 'lho' dengan nada menghina.

Seorang diri Khu Tay-seng berdiri di pinggir membalut luka lukanya, mendengar puji sang Piaumoy terhadap Hong thian lui, hatinya makin mendelu dan jelus, cemburu dan malu lagi.

Dalam pada itu, Hong thian lui juga terkejut melihat lawan begitu gampang memunahkan serangannya, ia berpikir : "Jelas aku takkan menang main pukulan, tapi menang atau kalah tetap kulabrak !"

Untung Hong-thian lui punya pengalaman bertempur melawan In-tiong yan dan Hek-swan hong menghadapi seorang lawan lebih tangguh, ia insyaf bertempur tidak boleh dengan membabi buta, maka untuk gebrak selanjutnya ia menggunakan perhitungan, kedua kepelannya menjaga rapat badan sendiri, serangan dan pertahanan dikontrol dengan rapi, tak perlu menang asal dirinya selamat dan kuat bertahan.

Bit le-ciang yang dimainkan Hong-thian-lui adalah warisan Bit ie hwe Cin Ping salah seorang pahlawan gagah Liang-san pek, daya kekuatan pukulannya hebat luar biasa, rasanya tidak lebih asor dari Kim-kong ciang yang dibanggakan Siau lim si, Lian Tin-san seorang bangkotan silat yang kenamaan di kalangan Kangouw, dia harus menang dan tidak boleh kalah menghadapi pukulan dahsyat Hong thian-lui, ia menjadi kelabakan dan susah ambil keputusan.

Setiap kali melancarkan pukulan Hong-thian-lui membentak keras. Sehingga hadirin pekak telinganya, tanpa merasa mereka menyurut mundur makin jauh dari gelanggang pertempuran, yang tak tahan segera menutup kuping dengan kain atau dengan tangan, namun mereka segan meninggalkan tontonan gratis yang seru ini.

Terkejut dan heran perasaan Lian Tin-san, pikirnya : "Lwekang bocah ini seperti tiada habisnya, sambung menyambung tak pernah putus. Kalau dalam seratus jurus aku tak mampu mengalahkan dia, di mana mukaku harus kutempatkan selanjutnya ?"

Semakin tempur makin sengit, kedua tinju Lian Tin-san menari nari dengan lincahnya, telapak tangan mengemplang, jari-jari pun menutuk, atau mencengkeram, memotong dan menggebuk bergantian, selalu merubah variasi, setiap jurus serangannya mengincar tempat penting ditubuh Hong-thian-lui.

Hong-thian-lui berdiri sekokoh gunung, kedua tinjunya bergerak kencang menerbitkan deru angin yang keras, beberapa jurus pernah terjadi telapak tangan Lian Tin-san hampir mengenai tubuhnya, tapi tiba-tiba ditarik kembali. Ternyata lawan takut terluka oleh kekuatan Lwekangnya, umpama dapat memukulnya roboh namun dirinya akan mendapat malu juga.

Semakin lama Lu Tang-wan makin kejut batinnya: "Tujuh puluh dua jalan Tay-sui-kim-na-jiu-hoat elang hitam sudah terlatih sempurna. Bila aku turun gelanggang menempurnya, mungkin sulit mencapai kemenangan. Bila terjadi seperti dulu, gugur bersama sudah merupakan keuntungan bagi aku."

Tanpa merasa seratus jurus sudah lewat. Betapapun lombok tua lebih pedas, setelah ratusan jurus lambat laun Lian Tin-san dapat menyelami dan meraba ilmu pukulannya yang lihay, maka gerak selanjutnya dengan hati hati ia lancarkan Kim-na-jiu-hoat dengan perobahan isi kosong yang sulit diduga, beruntun ia lancarkan tujuh delapan kembangan, lalu disusul serangan telak tujuannya membuyarkan perhatian Hong thian lui.

Sekarang ganti Hong thian lui yang hilang sabar, dalam perlawanan yang sengit itu ia gunakan tipu Gwa hou teng san (menunggang harimau panjat gunung) tubuhnya menubruk maju berbareng kedua pukulannya merangsek dari atas bawah. Sejak tadi Lian Tin-san perhatikan kelemahan lawan, susah payah ia mendapatkan kesempatan ini, tiba-tiba ia membentak; "Pergi !" penonton melihat kedua bayangan mendadak bergumul lalu terpental mundur. Maka terlihat baju Hong-thian lui robek dadanya tergores luka sepanjang lima senti. Untung dia sudah menggembleng diri sehingga kulit, tulang-tulang sekeras baja kalau tidak cengkeraman ganas tadi pasti bikin lobang besar didadanya. Karuan hadirin terbelalak dan melelet lidah.

"Yah!" teriak Lu Giok-yau, "Kau, kau, gantikan dia saja !"

Selama mengikuti perkelahian seru, Lu Tang-wan sudah punya pegangan untuk mengalahkan musuh segera ia berseru lantang; "Tiatwi Hiantit, kalian bertempur ratusan jurus sungguh harus dipuji! Sekarang kau mundurlah."

"Aku masih ingin minta petunjuk beberapa jurus elang hitam yang menggetarkan dunia persilatan!'' demikian jawab Hong-thian-lui.

Melihat orang membandel, Lian-Tin san menjadi keder juga, jengeknya dingin: "Bocah macam kau ini sebelum melihat peti mati agaknya tidak akan mengalirkan air mata?''

"Melihat peti matipun aku takkan menangis!'' saking bernafsu Hong-thian-lui robek seluruh bajunya bagian atas, maka kelihatan dadanya yang bidang kekar dan berotot. Bagai banteng ketaton ia menyerbu lagi.

Sepuluh jurus kemudian, Lian Tin-san gunakan tipu Yu-khong-tam-jiau, tangannya mencengkeram punggung, kalau kena kulit daging dedel dowel, bentaknya: "Masih tidak menyerah kalah!"

"Aku belum kalah kenapa harus menyerah!" seru Hong-thian lui sambil menerjang tanpa hiraukan luka luka punggungnya yang berdarah. Para tamu yang bernyali kecil sudah melengos tidak berani menonton lagi.

Beberapa jurus kemudian, Hong-thian-lui kena pukul lagi. Pukulan telak mengenai dadanya, lukanya makin parah, tapak tangan kelihatan mengecap didadanya yang kekar itu.

Lu Tang wan menjadi kawatir dan tak tega, ia menjengek: "Lian Tin-san, jelek jelek kau ini seorang yang kenamaan, dengan cara keji dan rendah kau hadapi bocah kurang pendalaman, umpama menang juga tidak perlu dibanggakan! Kalau ingin gagah, mari kau layani aku!"

"Bagus, majulah sekalian bersama bocah ini," demikian tantang Lian Tin-san, "Aku orang she Lian melawan dua orang juga tidak gentar."

Hong thian-lui tumplek seluruh perhatiannya untuk menempur musuh sehingga situasi sekelilingnya tidak dihiraukan olehnya. Apa yang diucapkan Lu Tang-wan hakikatnya tidak dengar, juga hiraukan. Tampak kedua biji matanya mendelik, gigi gemeratak, dengan nafsu berkobar ia serbu Lian Tin-san.

Hong-thian-lui tidak mau mundur, betapapun Lu Tang-wan tidak mau mengeroyok musuh. Lian Tin san maklum orang tidak mau kehilangan muka, maka seenaknya saja ia mengumbar obrolannya. Tapi menghadapi Hong-thian-lui yang menyerang gencar seperti harimau kelaparan ini, lambat laun gentar juga hatinya, lama kelamaan ia kerepotan melayani.

"Entah bocah ini menelan empedu harimau atau nyali biruang, selama setengah abad Locu (aku) mengembara dan malang melintang, belum pernah lihat bocah yang tidak takut mati begini. Tidak sukar aku memukulnya mampus, soalnya nanti dijadikan buah tertawaan orang gagah diseluruh dunia ? Kalau tidak dibunuh, merepotkan saja. Bagaimana baiknya ?"

Tatkala itu mereka sudah bertempur hampir dua ratus jurus. Meski seluruh badan Hong thian-lui penuh luka-luka, tenaganya-pun banyak terkuras. Tapi Lian Tin san sendiri juga basah kuyup oleh keringat, napas juga sengal-sengal, agaknya sulit melawan lagi. Sebaliknya walaupun sudah kehabisan tenaga, setiap pukulan Hong-thian-lui masih begitu keras dan menderu.

Akhirnya Lian Tin-san menggertak gigi, pikirnya : "Biar ditertawakan para sahabat Kangouw, betapapun jangan aku dikalahkan oleh bocah ini." maka timbul nafsunya membunuh, sorot matanya menjadi bengis dan buas. Tiba-tiba ia lompat menerjang seraya membentak : "Bocah keparat, kuantar nyawamu keakhirat !"

Julukan Lian Tin-san Elang hitam, maka tubrukan dari udara merupakan kepandaian paling menonjol dari seluruh ilmu yang dimiliki, mengenakan mantel hitam lagi sehingga berkembang seperti sayap, begitu menukik umpama seekor elang hitam besar.

Ditengah teriak kejut para hadirin, Hong thian-lui terpelanting jumpalitan, kelihatan badannya akan terbanting terlentang, sekonyong konyong sikutnya menutul tanah, tahu-tahu badannya melejit tinggi terus melompat bangun lagi. Dengan suara serak ia berteriak : "Aku belum kalah, Lian Tin-san, hayo maju lagi !''

Tampak lima lobang berdarah dipunggungnya. Ternyata dicengkeram Eng-jiau-jiu Lian Tin-san, sehingga punggungnya bolong.

Disaat Hong-thian-lui hampir terbanting, tanpa hiraukan aturan pertandingan, Lu Tang-wan memburu keluar, maksudnya hendak memapah Hong thian-lui sekaligus bersiaga bila Lian Tin-san menyerang lagi.

O^~^~^O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar