Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Jilid 05

Jilid 05

"Kata rahasia di kalangan Kangouw, sedikit banyak dapat kuketahui, bukankah maksudnya para pedagang yang royal ?"

"Bukan pedagang. Tapi tiga orang bangsa Tartar, kelihatannya mereka adalah pejabat pemerintah, namun menyamar sebagai rakyat jelata. Jelas sekali mereka adalah makanan empuk yang besar artinya, sekali pandang paman Sip lantas tahu bahwa mereka menggembol banyak harta benda berharga."

"Akhirnya bagaimana ?"

"Secara diam-diam paman Sip menguntit mereka, setelah malam tiba dengan kepandaiannya ia menyelinap ke hotel dimana mereka menginap, secara diluar dugaan, dia memberi dengar sebuah berita rahasia !"

"Apakah berita rahasia mengenai Ping-hoat ?"

"Benar, kenapa sekali tebak lantas tepat ?"

"Tadi kau menerangkan akan bercerita bagaimana In-tiong-yan meluruk ke Liangsan untuk mencuri Ping-hoat itu ? Kejadian ada sangkut pautnya dengan kejadian ini."

Hong thian-lui meneruskan : "Baru saja paman Sip meniup asap bius kedalam kamar mereka, saat itu juga ia mendengar berita rahasia ini."

Salah seorang diantaranya berkata : "Percaya lebih menguntungkan dari pada tidak percaya. Kalau Ping-hoat itu benar dapat ditemukan, boleh dikata besar manfaatnya bagi kita semua."

Seorang lagi menyahut : "Agaknya kurang leluasa kalau seorang diri ke Liang-san. Sekali pandang orang akan tahu bahwa kita bukan orang Han. Apalagi daerah Liang san di Soatan merupakan pusat kaum gagah dari Bulim, diantara mereka tidak sedikit tokoh tokoh yang berkepandaian tinggi. Umpamanya Li Su-lam dari Long-sia san. Ci In hong dan Kok Ham-si, kebentur ditangan salah seorang diantara mereka, mungkin kita bertiga bukan tandingannya!"

Seorang yang lain juga bicara : "Rasa kawatir ini memang beralasan, jarak Long-sia-san dan Liang san hanya beberapa ratus li, namun konon anak buah mereka satu sama lain sering beroperasi didaerah Liang-san."

Orang yang bicara duluan tadi berkata lagi : "Kesempatan baik untuk mendapat pahala, masa harus kita abaikan demikian saja ?"

Agaknya orang ketiga itu paling punya akal, dia berkata : "Ada, ada akal. Kita undang In-tiong-yan saja kesana. Dia persis orang Han, Ginkangnya baik pula, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan, kupercaya dia pasti dapat melarikan diri !"

Usul ini mendapat tanggapan hangat dari kedua temannya yang lain. Sampai disitu paman Sip tidak mendengarkan lebih lanjut. Urusan ini besar sangkut pautnya, supaya tidak memukul rumput menggebah ular barang-barang berharga yang bakal menjadi curiannya akhirnya batal digerayangi."

"Kalau begitu, In-tiong-yan adalah orang Kim. Aneh, kenapa dia membantu aku mencuri konsep militer milik Wanyen tiang-ci?"

"Tidak, hakikatnya In-tiong-yan apakah benar orang Kim, paman Sip sendiri juga belum berani pastikan."

"Bukankah kau sendiri tadi mengatakan ketiga gembel gemuk tadi adalah orang bangsa Kim?"

"Belakangan paman Sip menemukan sebuah rahasia lain."

"Rahasia apa lagi ?"

"Semula paman Sip menyangka tiga gembel gemuk bakal mangsanya itu adalah orang bangsa Kim, belakangan baru dia tahu bahwa anggapannya itu salah."

"Bagaimana dia tahu ?"

"Mereka mengobrol dengan bahasa Kim yang dicampur dengan bahasa Han. Tapi paman Sip dapat membedakan dialok mereka masing masing berlainan. Oh, ya, aku lupa beritahu pada kau, bukan saja paman Sip ahli mencuri, diapun ahli bahasa, dia paham bahasa daerah dari berbagai suku bangsa Bahasa Mongol, bahasa Kin, bahasa Cirdan dan banyak lagi bahasa lainnya.''

"Jadi dari perbedaan logat bahasa mereka dia dapat membedakan kewarganegaraan ketiga orang itu ?"

"Tepat sekali. Menurut katanya seorang memang benar orang Kim, seorang lagi bangsa Mongol, seorang lagi bangsa Cirdan. Jelas sekali logat orang Kim itu dari Tay-toh (ibu kota), sedang orang Mongol itu berlogat Ho-lim, tak peduli mereka bicara menggunakan bahasa Kim atau bahasa Han, logat semula dari daerah masing-masing betapapun tak bisa diubah. Cuma seorang yang lain itu tak dapat diraba asal usulnya, tapi pasti dia adalah bangsa Cirdan."

Hek-swan-hong terpekur, sesaat ia bicara : "Holin adalah ibu kota Mongol, satu diantaranya orang berasal dari Holim ! Kemungkinan besar adalah spion yang diutus Khan besar mereka kesini !"

"Tapi seorang yang lain berasal dari Tay toh adalah ibu kota kerajaan Kim. Apakah mungkin orang ini juga utusan raja Kim? Meski Mongol dan kerajaan Kim penah menanda tangani sebuah perjanjian, bagaimana juga mereka adalah musuh."

"Itu hanya rekaanku saja. Eh, urusan ini benar benar janggal dan aneh."

"Ketiga orang itu sepakat untuk memberi tahu rahasia ini kepada In-tiong-yan supaya dia yang ke Liang-san mencuri Ping-hoat itu, jelas bukan kalau In-tiong-yan sepihak dengan mereka. Maka kemungkinan In-tiong-yan adalah orang Kim, mungkin dari suku Cirdan juga mungkin dari bangsa Mongol. Tapi pendek kata dia bukan orang Han."

Hek-swan hong terbungkam, sesaat kemudian baru dia manggut-manggut, ujarnya: "Memang benar, aku anggap dia orang Han, agaknya aku salah nilai."

"Sebetulnya, apakah dia berhasil mencuri Ping-hoat itu?"

"Akupun tak tahu." sahut Hek-swan-hong hambar, "tapi dia bilang sudah berhasil mendapatkannya."

"Siluman perempuan ini mana mau terus terang. Mungkin dia sengaja menipu kau, supaya kau putus asa dan mengubah niatmu."

"Semoga begitu." kata Hek-swan hong tertawa getir, "Tapi setelah dia pergi, dalam radius puluhan li sekitar puncak sana aku sudah ubek-ubekan mencarinya tanpa hasil. Kalau kau punya niat dan cukup sabar, silakan kau cari sendiri!"

"Masa aku punya sabar untuk menggagap jarum didalam lautan. Aka hanya ingin mengambil keuntungan saja, biar In-tiong-yan berhasil dulu baru akan kurebut Ping-hoat itu itu dari tangannya. Siapa tahu aku hanya berhasil merebut kotak kosong belaka. Sebetulnya benar tidak ia berhasil merupakan tanda tanya besar."

Berhenti sejenak lantas Hong-thian-lui melanjutkan ceritanya: "Paman Sip menyampaikan berita rahasia itu kepada guru dan ayahku. Kedua orang tua itu berunding, kalau mereka yang muncul di Liang san untuk mencuri Ping-hoat, jelas kurang leluasa, sebab mereka dengan paman Sip adalah tokoh kenamaan dari Bulim, mereka kuatir diantara pejabat bangsa Kim ada yang tahu bahwa mereka adalah keturunan para pahlawan gagah gunung Liang-san. Sekali mereka muncul pasti akan membuat perhatian khalayak ramai."

"Akhirnya diputuskan, kaulah yang diutus kemari," kata Hek-swan-hong.

Merah jengah muka Hong-thian-lui, katanya: "Sebetulnya Cin-sute jauh lebih cerdik dan pintar dari aku, tapi Suhu justru tidak setuju kalau Cin-sute yang diutus kemari. Pit-le-ciang yang kulatih masih ada dua jurus yang belum matang dan sempurna. Tapi Suhu malah suruh aku mengembara."

Hek-swan-hong tidak tahu orang macam apa Cin sutenya itu, katanya tertawa : "Untung kedua jurus Pit-Ie ciang itu kurang sempurna, kalau tidak mungkin aku sudah kecundang ditanganmu. Gurumu suruh kau kelana tentu beliau percaya kau dapat menunaikan tugas berat ini."

Hong-thian-lui tertawa getir, ujarnya, ''Jelas tugas ini gagal dan hasilnya nihil dipermainkan oleh siluman perempuan lagi, sungguh penasaran, tiada muka aku pulang menemui ayah dan guruku."

''Perihal kedatanganmu ke Liang-san mencari Ping hoat, apakah Liok pangcu mengetahuinya ?"

"Selama aku mengembara belum pernah jumpa dengan Liok-pangcu."

"Aku ingin kembali ke Tay toh mencari Liok-pangcu, memberi tahu kejadian disini kepada beliau. Kuharap beliau bisa membantu menyirapi."

"Apa kau masih menyangka In-tiong yan itu orang baik ?'' goda Hong-thian-lui tertawa.

"Sudah tentu dia bukan orang golongan kita. Tapi bagaimana juga harus tahu asal-usulnya, aku harus memberi tahu berita baru ini kepada Liok-pangcu, anak murid Kaypang tersebar diseluruh pelosok dunia, mungkin dengan tuntunan sumber berita ini dapat membuat penyelidikan yang diharapkan. Saudara Ling, kau mau kemana selanjutnya?"

"Liok-pangcu juga terhitung paman kentalku, seharusnya aku menghadap kepada beliau. Tapi ayahku menyuruh aku ke Ceng-di-an di Ciat kang timur untuk suatu keperluan lain, terpaksa tak bisa mengiringkan."

"Cin-dian ada seorang Busu kenamaan Lu Tang-wan, kabarnya tahun ini genap ulang tahunnya ke 60. Apakah saudara Ling hendak kesana menyampaikan selamat ulang tahun?''

''Benar, beliaupun seorang sahabat kental ayahku, tapi aku hanya pernah melihatnya sekali waktu kecil, kira-kira puluhan tahun yang lalu."

''Kalau begitu, disini saja berpisah.''

"Setelah bertemu dengan Liok-pangcu, tolong sampaikan salam hormatku."

"Baik. Lebih baik lagi setelah menyampaikan bingkisan ulang tahun, kau bisa segera menyusul kesana, kita bisa bertemu di Tay-toh."

''Kuharap demikian,'' sahut Hong-thian-lui, berjalan berapa langkah, tiba-tiba teringat sesuatu, cepat ia menoleh dan berteriak, "Sungguh aku ceroboh, aku belum mengenal nama besarmu? Kau panggil aku saudara Ling, masa aku harus selalu panggil kau Hek-swan-hong ?''

Hek swan-hong menahan geli, sahutnya: "Aku she Hong bernama Thian-yang, tapi jangan kau beritahu nama asliku kepada orang."

"Aku paham, saudara Hong, selamat bertemu."

Sebetulnya dia kurang paham, kenapa Hek-swan-hong berpesan supaya nama aslinya tidak diberitahukan kepada orang lain. Yang dia pikir hanyalah Hek-swan-hong adalah benggolan yang mencari setori dengan kalangan pemerintah negeri Kim, berapa banyak pembesar jahat kerajaan Kim yang telah dibunuhnya, kalau nama aslinya diketahui orang, banyak bakal mempengaruhi sepak terjang selanjutnya. Memang ini hanya salah satu alasan belaka, yang penting masih ada alasan lain yang untuk sementara sengaja Hek-swan-hong tidak ingin memberitahu kepadanya.

Baru pertama kali mengembara Hong-thian-lui lantas berkenalan dengan seorang sahabat yang sudah menggetarkan dunia persilatan, apalagi seorang sahabat yang mempercayai dirinya, memberitahu nama aslinya yang tidak ingin diketahui orang lain, sungguh perasaan hatinya menjadi hangat dan berkobar darah mudanya. Terasa olehnya betapa berharga persahabatan kekal itu.

Hek-swan hong sudah tidak kelihatan, sesekali Hong-thian-lui masih berpaling kebelakang, memandang kemana Hek-swan-hong menghilang.

Dalam hati ia berpikir : "Kalau ayah tidak menyuruh aku ke Ciat-kang untuk menyampaikan bingkisan ulang tahun, bersama Hek-swan-hong aku pergi ke Tay-toh, alangkah menyenangkan !" sekonyong-konyong tergetar hatinya, batinnya : "Kenapa begitu tegas menyuruh aku ke Cing-dian menyampaikan bingkisan ulang tahun kepada paman Lu Tang- wan ?"

Watak Hong-thian-lui memang polos dan jujur, lugu lagi, namun dia bukan seorang muda yang goblok, malah dikata cukup cermat dan teliti meski terkadang pikirannya rada kekanak-kanakan.

Menurut aturan, betapa penting Ping-hoat karya Go Yong itu seumpama Hong-thian-lui berhasil merebut Ping-hoat itu, pantasnya ayahnya menyuruh segera pulang. Kalau telah mencuri In-tiong yan, dia harus kembali memberi laporan. Tapi ayahnya justru menyuruhnya dia pergi ke rumah Lu Tang wan di Ciat-kang timur untuk menyampaikan bingkisan ulang tahun, ini berarti ia harus menempuh jalan lebih jauh dan menghadapi berbagai bahaya pula. Mengapa?

Memang Lu Tang-wan itu adalah sahabat karib ayahnya, sahabat karib merayakan ulang tahun ke 60, bila ayahnya tak sempat bertandang sendiri lalu menyuruh anaknya mewakili adalah lumrah, perayaan ulang tahun boleh dianggap perkara kecil, mana bisa dibanding dengan Ping-hoat karya Go Yong itu?

Sepanjang jalan Hong-thian-lui menyelusuri berbagai pertanyaan ini, tanpa merasa ia terkenang akan keadaan malam itu.

Malam itu ayahnya dan gurunya berunding lalu menyuruh dirinya siap mencegat In tiong-yan merebut Ping-hoat itu, dia bersama Sutenya Cin Liong-hwi berdiri disamping siap menerima tugas.

Cin Liong-hwi ingin ikut berulang kali mohon kepada ayahnya. Diapun ikut menyokong Sutenya, sebab dia merasa sang Sute lebih cerdik, lebih meyakinkan untuk menunaikan tugas ini.

Tapi gurunya memilih dia, bermula ayahnya rasa sangsi namun beliau tidak mengukuhi pendapatnya, setelah dengar gurunya mengatakan bahwa anak Wi lebih dapat dipercaya, maka ayahnyapun tidak bersuara lagi.

Tiat-wi tahu akan sifat Sutenya, pikirnya keputusan ini pasti akan menimbulkan rasa sirik dan dengki Cin Liong-hwi. Betul juga setelah mereka keluar Sutenya menyindir dan mengolok dengan kata kata yang menyakitkan perasaan. Dia bilang dirinya bakal angkat nama dan menonjolkan diri, dia bilang ayahnya terlalu pandang rendah dirinya, tak sangka juga begitu rendah menilai diriku.

"Ayah mengatakan aku kurang dapat dipercaya, tapi ayahmu tidak membujuk atau menyampaikan kata-kata yang memberi muka kepadaku."

Dengan menahan rasa dongkol dan gegetun malam itu juga Hong-thian lui pulang kerumah sendiri, langsung ia bertanya kepada ayahnya, kenapa tidak bantu bicara atas kepentingan sang Sute.

Ayahnya menghela napas, ujarnya: "Justeru karena Sutemu selalu pintar, maka kita kawatir dan tidak rela menyuruhnya pergi."

Hong-thian-lui semakin heran,tanyanya : "Apa maksud ayah ?"

"Beberapa tahun terakhir ini, kalian tidak banyak membuat keributan, tapi waktu kecil, siapa yang lebih banyak membuat perkara ?" demikian tanya ayahnya.

"Boleh dikata semua gara-gara perbuatannya. Tapi akulah yang menerima getahnya."

"Benar, coba kau pikir, waktu masih kecil perkara sepele saja dia tidak berani bertanggung jawab atas perbuatan sendiri, mana bisa diharapkan menunaikan tugas berat dan penting ini?"

Hong-thian-lui terlongong sesaat baru berkata : "Tidak salah. Sute suka mempermainkan orang. Tapi tugas kali ini adalah untuk mengadu kecerdikan dan menguji keuletan dengan In-tiong-yan itu, kepintarannya bukankah sangat tepat untuk tugas ini ?"

Ayahnya menggeleng kepala, katanya : "Yang dikawatirkan hanyalah kepintaran kampungan belaka. Bocah kampung memang tidak terpelajar dan gampang dipermainkan olehnya. Tapi di Kota, kalau berhadapan dengan orang yang jauh lebih pintar, lebih cerdik dari dia, pasti gampang terjebak oleh tipu muslihatnya. Jauh lebih menguntungkan bila seseorang yang jujur polos dan kurang paham kelicikan memikul tugas ini. Dia harus punya keteguhan hati yang tidak gampang putar haluan, dengan bekal pembawaan ini, dia tidak mudah ditipu orang." melihat anaknya masih kurang paham segera ia menambahkan: "Umpamanya kau, kalau kau kebentur sesuatu kejadian yang kau anggap salah, betapa pun kau tidak akan mau mengalah bukan ?"

Hong-thian-lui mengiakan, berpikir sebentar lalu berkata : "Tapi, kadang kala terhadap Sute aku ada kekecualian juga."

Ayahnya tertawa, ujarnya: "Sudah tentu kau punya kekuranganmu sendiri, namun kau dapat membedakan benar atau salah, pilih kebijaksanaan dan membuang perbuatan jahat, sifat-sifat inilah kau jauh lebih dapat dipercaya dari Sutemu. Hanya pintar dan tidak punya pegangan menjadi manusia, kadang kala mendapat tekanan ancaman dan pancingan orang lain, sehingga mudah tertipu, untuk hal ini aku jauh mempercayai. Semula aku rada sungkan menghadapi sahabat lama, gurumu tidak mengijinkan anaknya pergi, kalau aku menyokong Sutemu, sebetulnya tindakanku kurang bijaksana. Demi suksesnya tugas penting ini maka selanjutnya aku tidak sungkan lagi. Maka kau harus paham, tugas dan bijaksana janganlah diabaikan. Nah, sekarang keputusan sudah ditentukan, tak perlu bicara lagi tentang Sutemu, mari aku ingin bicara urusan penting dengan kau.''

Setelah mendengar uraian panjang lebar ayahnya Hong thian-lui masih bingung dan kurang mengerti, tapi ia merasa masuk diakal dan dapat diterima, maka ia berkata : "Untuk pertama kali aku harus kelana, ada persoalan apa yang harus kuperhatikan, harap ayah suka memberitahu."

"Pengalaman Kangouw tidak bisa dipelajari secara teori, hanya secara praktek baru dapat kau selami. Untuk mencari Ping-hoat hanya mengadu untung dan nasib saja. Aku sendiri tidak berani menaruh harapan, yang hendak kukatakan adalah persoalan lain."

"Urusan apa ?" "Paman Lu Tang-wan, apakah kau masih ingat ? Waktu kecil kau pernah melihatnya bukan?"

Agak lama Hong-thian lui berpikir baru teringat, katanya : "Bukankah paman Lu yang pakai pipa cangklong untuk menutuk jalan darah itu?"

"Benar, paman Lu inilah yang hendak kupersoalkan. Dia adalah sahabat kental ayahmu, tapi sudah sepuluh tahun tak pernah jumpa. Paman Lu itu tidak punya putra, hanya seorang putri, beberapa tahun yang lalu Paman Sip It-sian pernah melihatnya, katanya wajahnya jelita ilmu silatnya juga lumayan, mungkin kau sendiri bukan tandingannya."

Hong thian-lui menjadi bingung, katanya : "Ayah, kau bicarakan paman Lu dan putrinya, sebetulnya punya sangkut paut apa dengan tugas yang harus kukerjakan itu?"

"Tanggal sembilan belas bulan delapan tahun ini adalah hari ulang tahun ke 60 paman Lu itu. Hari ini baru tanggal lima bulan tujuh, masih ada satu bulan, setelah usai tugas ini di Liang san, cepat kau pergi kesana. Ai, soal Ping hoat karya Go Yong itu, kita hanya patut berusaha."

"Bila secara kebetulan dapat kutemukan bagaimana?"

"Tak peduli kau berhasil tidak menemukan Ping-hoat itu, kau harus langsung ke Ciat kang menyampaikan selamat ulang tahun kepada paman Lu."

Lalu ia keluarkan sepucuk surat diserahkan kepada putranya, katanya : "Inilah sepucuk surat pribadi yang kutulis untuk paman Lu Tang-wan, simpanlah dalam baju, hati-hati jangan sampai hilang. Jikalau benar kau berhasil menemukan Ping-hoat itu, setelah jumpa dengan Lu Tang-wan, terlebih dulu kau serahkan suratku ini supaya dia baca. Setelah membaca surat ini, bila sikapnya manis dan ramah tamah, anggap kau sebagai keponakan sendiri, boleh kau beritahu persoalan ini kepada beliau. Sebaliknya bila sikapnya sungkan dan anggap kau sebagai tamu umumnya, jangan kau katakan kepadanya. Setelah perjamuan bubar segera kau harus pulang."

"Yah, bukankah kau tadi mengatakan paman Lu adalah sahabat karibmu ? Kenapa kau bisa beranggapan mungkin sikapnya dingin terhadap aku ?"

"Memang waktu muda dulu dia adalah kenalan paling erat dengan aku, tapi setelah puluhan tahun tak bertemu, apakah dia masih seperti dulu kala ?"

Sampai disini seperti ada sesuatu yang dipertimbangkan, rada lama kemudian baru bicara lagi: "Masih ada sebuah pesan yang harus kau ingat. Setelah sampai di rumah keluarga Lu, kecuali Lu Tang-wan, terhadap orang lain jangan kau katakan sebagai putraku. Demikian juga surat ini kecuali berhadapan langsung dengan paman Lu Tang-wan baru boleh kau serahkan kepada beliau."

"Kenapa begitu ?"

"Apa kau lupa bahwa moyangmu adalah pahlawan gagah Liang-san pek ? Sekarang belum cukup seratus tahun, pemerintah Kim masih mengawasi setiap keturunan orang orang gagah gunung Liang san. Banyak orang Kangouw yang tahu perihal diriku, lain dengan kau, orang she Ling dikolong langit entah berapa banyak, orang lain tidak menyangka bahwa Ling Tiatwi adalah keturunan Hong-thian lui Ling Tin dari pahlawan gagah Liang-san pek. Mana boleh kau sebutkan nama aslimu?"

"Ya, pesan ayah pasti kuperhatikan."

Lebih lanjut ayahnya berkata : "Selama puluhan tahun, aku tak berdaya untuk menyirapi keadaan paman Lu itu, karena situasi tidak mengijinkan. Kabarnya dia sudah punya seorang putri remaja yang ayu jelita."

Untuk kesekian kali ayahnya menyinggung putri Lu Tang-wan, Hong-thian-lui sulit ikut bicara, setelah berpikir ia bertanya : "Bukankah paman Sip It-sian juga keturunan orang Liang-san, kenapa dia tidak takut membawa bencana bagi keluarga paman Lu Tang wan, berani pula kerumah kita ?"

"Paman Sip adalah seorang pencuri sakti yang tiada bandingannya di dunia ini. Tidak pernah masuk ke rumah orang lewat pintu besar. Untuk bertemu dengan para sahabat lama juga selalu di tengah malam, selamanya tidak pernah mengejutkan para tetangga."

O^~^~^O

Teringat akan pembicaraan dengan ayahnya malam itu, tanpa merasa Hong thian-lui merasa pucuk surat yang disimpan dalam bajunya, batinnya: "Entah apa yang ditulis ayah dalam surat ini ?" adalah jamak bagi seorang muda yang ketarik akan sesuatu, bila hal ini terjadi pada Sutenya, tentu dia sudah membuka dan mencuri baca surat itu.

Hong thian-lui berpikir : "Syukur aku tidak memperoleh Ping hoat itu, di jalan tak usah kawatir menghadapi bahaya. Apa yang ditulis dalam surat ayah, setelah jumpa dengan paman Lu tentu dapat kuketahui." selanjutnya ia tidak banyak pikir lagi, dengan langkah lebar ia menuju ke Ciat-kang timur untuk menyampaikan sembah sujud kepada ulang tahun Lu Tang wan.

Sepanjang jalan ini tak pernah terjadi suatu apa, suatu hari tibalah dia dikampung halaman Lu Tang wan yang terletak di keresidenan Cing dian di Ciat kang timur pagi adalah itu perayaan hari ulang tahunnya.

Lu Tang-wan adalah seorang Busu kenamaan di Ciat-kang timur, begitu tiba di kampung halamannya, di jalan Hong thian lui mencari tahu pada penduduk yang ramah serta menunjukkan tempatnya.

Tapi waktu dia sampai di depan pintu besar gedung keluarga Lu, sesaat ia berdiri melongo.

Menurut anggapannya Lu Tang adalah Busu kampungan. Busu kampungan mesti tenar umumnya hidup sederhana tidak tinggal di gedung semewah ini. Di luar dugaan, tempat tinggal Lu Tang-wan persis rumah pejabat pemerintah atau hartawan besar, gedung yang megah dikelilingi tembok tinggi dengan berbagai cat warna warni, pintu besarnya dicat merah mengkilap, di luar pintu kanan kiri terdapat sepasang batu singa yang tinggi besar. Disebelah belakang sana kelihatan taman bunga dengan berbagai tanaman yang beraneka ragam.

Saat mana tamu-tamu undangan banyak yang sudah datang, didepan tinggal dua orang lagi, lalu gilirannya masuk. Baru saja kakinya menginjak undakan, salah seorang penyambut tamu maju menghadang.

Baju yang dipakai Hong-thian lui kasar warnanya luntur lagi, setelah menempuh perjalanan ribuan li jauhnya, maka pakaiannya kotor dan berdebu, dalam pandangan penyambut tamu itu, dianggap sebagai pengemis keliling.

"Hai, untuk apa kau kemari ? Minta arak atau sisa hidangan? Tunggu saja diluar," demikian bentak penyambut tamu itu.

Hong-thian lui tertegun, sesaat baru ia sadar maksud teguran orang, seketika merah wajahnya, jawabnya : "Aku bukan pengemis kedatanganku untuk menyampaikan selamat ulang tahun kepada paman Lu."

Penyambut tamu itu tertawa lebar, katanya kepada temannya : "Dari mana Lu cengcu punya keponakan rudin begini, apa kau pernah lihat ?"

Temannya itu segera menjawab : "Kau pamili atau kenalan Lu cengcu ? Coba sebutkan namamu."

"Aku bernama Ling Tiat-wi, mohon dilaporkan akan kedatanganku kepada Lu-locianpwe." dia takut dianggap mencari sedekah, maka ia mengubah sebutan 'paman Lu' menjadi 'Lu locianpwe'.

Kedua penyambut tamu saling pandang dan menyengir tawa, yang bicara duluan tadi berkata : "Tidak sukar memberi lapor, kau punya kartu nama tidak ?" bagi seseorang yang punya kartu nama, biasanya ditaruh dalam sebuah kotak kayu penyambut tamu, ini sudah tahu dan sengaja tanya, jelas hendak mempersulit dan mencari gara-gara.

Serta merta Hong-thian-lui melengak lagi : "Kartu nama apa?" tanyanya.

Penyambut tamu itu tertawa dingin, jengeknya : "Kartu nama yang tercantum nama besarmu. Kartu nama saja tidak tahu, kau mau mengacau ya ?"

Sebetulnya apakah kartu nama itu Hong-thian lui tahu. Tapi dia tidak pernah berpikir untuk menyiapkan kartu namanya. Ayahnya juga tidak menyangka dia bakal menghadapi kesulitan seperti sekarang. Lu Tang wan adalah sahabat karibnya, dengan sepucuk surat pribadi yang dibawa anaknya, ia kira sudah jauh dari cukup.

"Aku punya sepucuk surat untuk disampaikan kepada Lu locianpwe, setelah bertemu tentu dia tahu siapa aku ini." terdesak oleh keadaan terpaksa Hong-thian-lui memberikan alasannya.

"Surat siapa itu ?"

"Dari ayahku!" "O, tokoh kenamaan macam apakah itu, harap perkenalkan." dengan nada menghina dan cengar cengir penyambut tamu itu bertanya.

Wanti-wanti sang ayah pernah berpesan, namun kedua penyambut tamu ini bersikap tengik dan kurang ajar sungguh membuat jengkel dan dongkol, seumpama Hong thian-lui seorang batu juga berkobar amarahnya.

"Aku minta kalian masuk memberi laporan, bukan untuk diperiksa indentitasku?"

"Hah, bocah busuk macam kau unjuk tampang garang apa ? Kutanya bapakmu berarti memberi muka padamu, kecuali kau anak haram, kalau tidak masa tidak mau sebut nama ayah sendiri?"

Menurut lazimnya, penyambut tamu tanya nama ayahnya adalah suatu kehormatan. Tapi nada bicara dan sikap kedua penyambut tamu ini amat tengik dan menghina tak heran kalau dia berang.

Hong thian Lui seorang pemuda yang patuh dan bakti terhadap orang tua, mana terima orang menghina ayahnya ? Apalagi mendengar 'anak haram' segala, keruan ia naik pitam, kedua biji mata merah membara bentaknya : "Keparat, apa kau bilang?" kedua tinju berkeretekan.

Kedua penyambut tamu ini mahir silat juga, tapi melihat sikap garang Hong thian-lui yang bengis, mereka menjadi gentar, kata salah seorang : "Bocah kampung, ajak berkelahi ?" seorang yang lain berteriak ; "Kunyuk, berani bertingkah di sini, bosan hidup ya ?" mulut menggertak kaki menyurut mundur.

Kedua orang penyambut tamu ini berkepandaian lumayan didaerah Ciat-kang timur, pergaulan luas dan banyak pengalaman, namun tidak punya kepandaian sejati. Karena mereka pandai bicara dan mengerti tata tertib, maka Lu Tang Wan minta mereka membantu sebagai penyambut tamu. Meski rendah kepandaian, namun mereka punya pandangan tajam, melihat Hong thian-lui siap berkelahi, jari jarinya berkuretan, maka bocah ini tentu sukar dilayani, pihak sendiri belum tentu mampu melawan.

Ingin rasanya Hong-thian lui menghajar mereka, mendadak teringat olehnya akan nasehat gurunya, sabar dan jangan mengumbar adat, serta ia berpikir : "Pukul anjing juga harus pandang muka majikannya, kalau kuhajar, maka malu rasanya bertemu dengan paman Lu nanti."

Mengingat segi-segi yang merikuhkan, Hong-thian-lui tidak hiraukan mereka, langsung menerobos masuk saja.

"Hai, apa kerjamu di sini ?" ingat akan tugasnya, meski insyaf bocah ini sukar dilayani, kedua penyambut tamu itu menjadi nekad, terpaksa mereka merintangi.

"Kalau kalian tidak mau memberi lapor, biar aku masuk sendiri." demikian kata Hong-thian-lui.

"Tidak boleh !" teriak kedua penyambut tamu itu, setelah saling memberi lirikan mata serempak mereka mengerahkan tenaga lantas mendorong kearah Hong thian-lui.

Dalam hati mereka berpikir: "Tokoh-tokoh silat dalam keluarga Lu sekarang banyak sekali, jangan sampai bocah ini mengambil keuntungan. Kalau benar-benar dia menerobos masuk, betapa malu kami dibuatnya!"

Siapa tahu, bila mereka tidak mengerahkan tenaga masih mending, karena didera tenaga gabungan mereka, serta merta timbul reaksi dari tubuh Hong-thian lui, kontan kedua penyambut tamu itu terpental jungkir balik ditanah.

Waktu merangkak bangun, hidung berdarah dahi benjot, untung tidak kena batu, kalau tidak akibatnya pasti lebih runyam, setelah berdiri mereka berkaok-kaok: "Hai, kawan-kawan lekas datang. Ada orang berani bertingkah di sini!"

Sebetulnya tanpa dipanggil beberapa orang sudah memburu keluar, yang berjalan paling depan adalah seorang pemuda berjubah mewah dan baru.

Kedua penyambut tamu itu segera berteriak lagi: "Bagus, Piau-siauya telah datang! Piau siauya, bocah ini berani bertingkah disini !"

Piau siauya yang dimaksud adalah pemuda bersikap halus dan sopan santun, tahu tata krama, tanyanya: "Siapa kau, kenapa memukul orang?"

Hong-thian-lui tidak mengira kedua penyambut tamu itu jatuh tergulung, tanpa merasa ia jadi melongo, sahutnya tercekat: "Aku tidak memukul, mereka sendiri yang jatuh bangun."

Piau siauya inipun seorang ahli silat, sekali pandang lantas tahu bahwa ucapan Hong-thian-lui tidak bohong. Dalam hati ia berpikir: "Meskipun kedua orang ini tidak punya kepandaian sejati, tapi bocah ini hanya mengandal tenaga tolak dalam-dalam melontar mereka jatuh, kepandaiannya cukup lumayan juga. Siapa tahu dia murid seorang tokoh Kang-ouw, coba kutanyakan dulu."

Tanpa menanti orang bertanya Hong-thian lui berkata lebih dulu: "Aku datang untuk menyampaikan selamat ulang tahun kepada Lu-locianpwe."

Kedua penyambut tamu segera menimbrung, "Dia tidak punya kartu nama, mau menerjang masuk saja, bukan salah kami kalau merintangi dia. Dia bilang ada sepucuk surat tulisan ayahnya yang disampaikan kepada Lu-loya, kutanya siapa nama ayahnya kan jamak dan menjadi kewajiban kami, entah punya penyakit sinting atau kesurupan setan gentayangan, bocah ini memukul orang. Piau siauya, harap kau memberi keadilan."

Piau-sauya tersenyum, katanya: "Mungkin hanya salah paham saja. Hari ini adalah ulang tahun Ih-tio, ada orang ingin menyampaikan 'Selamat? tak peduli siapa dia, betapapun jangan kita membuat kecewa orang. Namun tamu terlalu banyak, Ih-tio tiada waktu melayani para tamunya. Kau punya surat dari ayahmu, apa boleh serahkan pada aku untuk kusampaikan?" Jelas maksudnya, nanti setelah Lu Tang wan melihat suratnya baru bisa memberi putusan apakah akan menemui dia tidak.

Melihat orang bicara sopan, punya aturan lagi, Hong-thian-lui merasa simpatik, tapi sang ayah berpesan untuk menyampaikan suratnya langsung kepada Lu Tang wan, maka segera ia berkata: "Aku yang rendah ingin menyerahkan langsung kepada Lu-locianpwe sendiri. Aku hanya mohon bertemu sebentar, kukira tidak akan mengganggu Ih-tiomu."

Piau-siauya rada kurang senang, ia tertawa lebar, katanya: "Urusan besar kecil dalam keluarga ini, biasanya aku yang urus. Tuan tak percaya padaku, silakan masuk saja. Oh, ya, aku belum tanya nama besar saudara, boleh bukan?" sambil bicara ia uIur tangan berjabatan dengan Hong-thian-lui.

Tiga diantara beberapa orang yang ikut keluar adalah murid Lu Tang-wan, sembari ketawa dingin mereka berkata bersama: "Bocah ini tidak tahu adat, saudara Khu, kenapa kau sungkan terhadapnya?"

Berjabatan adalah tata kehormatan yang layak Hong-thian-lui sedikitpun tidak curiga dengan wajar ia ulur tangannya untuk jabatan, tak nyana begitu saling genggam segelombang tenaga menggetar sehingga pergelangan tangannya sakit kesemutan. Berbareng kelima jari Piau siauya laksana jepitan besi mencengkeram urat nadinya.

Karena Hong-thian-lui terperanjat, baru sekarang ia insaf bahwa orang sengaja menjajal kepandaiannya.

Dikata ?Jajal? sebenarnya kurang tepat. Untuk jajal seharusnya cukup saling raba atau tutul saja, tapi dalam keadaan tanpa siap siaga lawan mendadak melancarkan sergapan licik dengan kekuatan tenaga dalamnya, malah mencengkeram nadi pergelangan tangannya lagi tujuannya jelas untuk mendesak posisinya menjadi pihak yang digempur tanpa balas atau melawan, hakikatnya tidak mungkin dikatakan ?jajal? atau adu kepandaian segalanya.

Bagi ahli silat yang punya landasan kuat begitu diserang secara reflek lantas timbul reaksi. Begitu mencengkeram urat nadi Piau-siauya lantas membentak: "Bocah goblok menggelinding keluar !" ia lancarkan jurus Tay-cui ui jiu hendak melemparnya keluar pintu, mendadak terasa lengan Hong thian-lui berubah sekeras baja, kelima jarinya yang mencengkeram dengan tenaga penuh tergetar lepas oleh daya perlawanan musuh.

Hong-thian lui menggentakkan kedua lengannya, ia pun membentak: "Kau usir aku, aku malah tak mau pergi !" meski lwekang Piau-siauya cukup tinggi mana kuat menandingi tenaga pembawaan Hong thian-lui, seketika ia terhuyung beberapa langkah lekas lekas ia kerahkan tenaga daya berat untuk mengendalikan badan.

Kedua penyambut tamu itu berteriak: "Wah kurang ajar, berani pukul Piau-siauya lagi !"

Tiga murid Lu Tang-wan yang ikut keluar bersama Piau-siauya tadi memburu maju, sambil menggerung besar serempak mereka merangsek.

Dari malu Piau-siauya menjadi gusar, hardiknya: "Kalian mundur, biar kuhajar bocah keparat ini !"

Hong thian lui juga naik pitam, gertaknya: "Jelas kau mencari gara-gara, kenapa hendak memberi pengajaran pada aku? Baik, mari maju, layani kepelanku!"

Dikata lambat kenyataan sangat cepat, sementara itu Piau-siauya sudah menerjang maju, sekaligus dua tinjunya menghantam. Hong-thian-lui kenal pukulan lihay orang, adalah Hun-kin-joh-kut (mengedot urat menyeleo tulang) keruan hatinya makin berang, pikirnya: "Kalau dia tidak kuhajar, ia anggap aku gampang dihina dan dipermainkan. Tapi paman Lu adalah Ih tionya jangan aku melukai dia."

Dengan gaya Toh bau-ciat ka, Hong thian lui menekuk dengkul menurunkan tubuh, begitu pundaknya turun secepat kilat badannya berputar seperti ulur tangan balas mencengkeram. Namun kepandaian Piau-siauya tidak lemah, setelah kecundang, ia insyaf bahwa Lwekang Hong-thian lui lebih unggul, mana dia berani mengadu kekerasan lagi? selicin belut ia berputar kesamping, sebat sekali tangannya mencengkeram Joan-yau-hiat Hong-thian lui, jalan darah pelemas tubuh. Dengan loncatan harimau menerkam, Hong thian lui loncat tinggi, beruntun kedua kakinya menendang berantai mengarah kepala orang. Terdengar suara "Bret!" baju kasar Hong-thian lui dicengkeram sobek, sebaliknya tendangan Hong-thian lui mengenai tempat kosong.

Ketiga murid Lu Tang-wan bersorak gembira: "Bagus, hajar saja kunyuk kurang ajar ini !" belum hilang suara mereka, Hong thian-lui menghardik, dua telapak tangan didorong bersama, untung tidak sampai mengenai Piau-siauya, namun sempoyongan mundur terus mundur tanpa dapat menguasai tubuh lagi.

Jelas ia bakal jatuh terjengkang. Hong-thian-lui jadi menyesal, batinnya : "Tenaga Bit-le-ciangku terlalu besar, semoga tidak sampai membuatnya cidera." baru saja hendak maju menolong, tiba-tiba seseorang berlari bagai terbang dari dalam, sebelah tangannya menekan punggung Piau-siauya, sehingga tubuhnya yang terhuyung mundur terus itu terhenti. Padahal dorongan Piau-siauya yang sempoyongan mundur itu sangat besar, namun dengan sebelah tangan orang itu dapat menahan daya tekanan yang begitu besar, sementara dia berdiri tegak tanpa bergeming.

Mengangkat seberat itu bagai seenteng asap, betapa matang dan tinggi kepandaian orang ini, sungguh Hong-thian-lui kagum dan memuji dalam hati. Waktu ia angkat kepala, dilihatnya seorang tua dengan jenggot kambing tiga baris menjuntai turun dari dagunya. Lapat-lapat Hong-thian-lui masih kenal paman Lu yang pernah dilihatnya waktu kecil dulu, kelihatannya seperti yang dilihatnya sekarang, tidak banyak berobah.

Setelah mengatur napas, Piau-siauya berkata : "Ih-tio, bocah ini bertingkah disini! Kuminta dia pergi sebaliknya malah memukul aku."

"Apakah paman Lu ?" seru Hong-thian-lui, "aku tidak pukul mereka, justeru mereka yang memukul aku !"

"Siapa kau ?" suara Lu Tang-wan serak berat.

Hong-thian-lui baru sadar bahwa dia belum memperkenalkan diri, setelah berapa tahun, jelas Lu Tang-wan tidak mengenalnya lagi. Cepat ia berkata : "Aku Ling Tiat-wi, ayah ada kirim surat untuk paman. Sengaja aku diutus kemari menyampaikan selamat ulang tahun kepada kau orang tua."

Lu Tang-wan tertegun sebentar sambil mengerut alis, tiba-tiba ia berkakakan katanya : "O, kiranya kau adalah Tiat-wi. Ini betul-betul salah paham belaka. Mari bicara dalam saja."

Piau-siauya menjadi kaget, serunya : "Orang ini . . siapakah dia ?" sebetulnya dia hendak bilang 'gendeng', melihat gelagat merubah haluan, karena Ih-tio sudah kenal bocah goblok itu, terpaksa ia pun ganti sebutan.

Kedua penyambut tamu itu menjadi kikuk dan malu-malu, katanya : "Dia tak sudi menyebut nama ayahnya, tak mau serahkan suratnya kepada kami, kami sebelum bertemu dengan kau orang tua, betapapun kami tak berani beri ijin kepadanya masuk kedalam.''

Lu Tang-wan maklum duduk perkara sebenarnya, iapun tertawa-tawa, katanya : "Dia putra seorang sahabat kentalku, agaknya baru pertama kali ini keluar pintu, tidak mengenal adat istiadat kaum Bulim, pandanglah mukaku, jangan salahkan dia." lalu ia berkata lagi sembari tersenyum riang : "Tiat-wi, watakmu masih seperti kecil, tapi cukup ceroboh juga."

Akhirnya Hong-thian-lui berhasil bertemu dengan Lu Tang wan. Lu Tang-wan begitu ramah pula terhadapnya, rasa marahnyapun lantas hilang. Kalau dipikir pikir memang bukan salah penyambut tamu itu, maka ia merasa menyesal dan risi malah, beruntun ia mengiakan dan minta maaf kepada kedua penyambut tamu itu.

Kata Lu Tang-wan tertawa: "Tanpa berkelahi kalian takkan berkenalan, mari berjabatan. Dia adalah keponakanku, bernama Khu Tay-seng."

Khu Tay-seng berkata: "Saudara Ling, pepatah mengatakan yang tidak tahu tak bersalah. Tadi aku ceroboh dan kurang hormat, maafkan jangan kau berkecil hati, ilmu silatmu cukup tinggi, sungguh aku sangat kagum. Kalau ada senggang harap suka memberi petunjuk !" sikapnya ramah beda jauh dengan sikap kasarnya tadi.

Jantung Hong-thian-lui masih kebat-kebit kawatir Khu Tay-seng menjajalnya lagi, dia ulur tangan untuk berjabatan. Kali ini Khu Tay-seng berlaku simpatik dan cukup hormat sedikitpun tidak kerahkan tenaga dalam. Justru sikap Hong-thian-lui yang tegang dapat dilihat Lu Tang-wan, terasa bahwa waktu Hong-thian-lui cepat dan kurang wajar, dalam hati ia membatin: "Maklum bocah kampung, baru keluar lantas membuat onar dan lucu."

Selanjutnya Hong-thian-lui unjuk hormat kepada Lu Tang-wan, Lu Tang-wan berkata; "Tak usah sungkan !" enteng saja ia jinjing dan membangunkan Hong-thian-lui. Namun demikian Hong thian lui masih berhasil menekuk dengkul dan membungkuk tubuh setengah hormat. Diam-diam Lu Tang-wan sudah menjajal Lwekangnya, ternyata memang lihay, hati rada terhibur dan senang, katanya; "Mari ikut aku !"

Khu Tay-sengpun ikut masuk.

"Tay-seng !" kata Lu Tang-wan, "keluarlah bantu menyambut tamu. Kalau ada tamu agung datang, mintakan maafku kepada mereka, aku perlu sedikit tempo baru bisa keluar lagi."

Khu Tay-seng jadi uring-uringan, batinnya: "Entah bocah dari mana dia, Ih-tio bersikap begitu ramah kepadanya, nanti biar kucari tahu kepada bibi, tentu beliau memberi tahu kepadaku." terpaksa ia mengiakan, lalu keruang tamu.

Lu Tang-wan membawa Hong-thian-lui ke sebuah kamar rahasia, tanyanya: "Apakah ayah dan gurumu baik-baik?"

"Baik, banyak terima kasih akan perhatian paman. Inilah surat ayah untuk disampaikan kepada kau orang tua." demikian kata Hong-thian-lui menyerahkan surat ayahnya.

Lu Tang-wan terima surat itu, sebelum dibuka ia berkata: "Aku bersama ayah dan gurumu adalah sahabat lama, setelah ada disini, anggap seperti orang sendiri. Tapi jangan sekali kali kau mengatakan bahwa kau adalah putra Ling Ho, demikian juga nama gurumu jangan kau sebut."

"Paman jangan kawatir. Siautit paham!" Setelah memberi pesan Lu Tang-wan membuka sampul surat serta membacanya sekali. Dari mula sampai akhir Hong thian lui memperhatikan wajah, tampak orang hanya sedikit mengerut alis, tanpa bicara apapun juga.

Hong-thian lui berpikir: "Entah apa yang ditulis dalam surat itu. Kelihatannya paman Lu kurang senang. Sesuai pesan ayah, tak usah kuceritakan tugasku ke Liang san mencari Ping-hoat itu. Setelah perayaan ulang tahunnya usai segera aku harus pulang."

Seperti mempertimbangkan sesuatu, pelan-pelan Lu Tang wan melepit surat itu, lalu disimpan dalam bajunya, katanya: "Surat ayahmu ini apakah pernah kau baca?"

"Tidak. Entah apa yang dikatakan ayah?" tanya Hong-thian-lui.

Pertanyaan ini sengaja hendak mengartikan bahwa bukan saja dia belum pernah baca, ayahnyapun tidak menyinggung isi surat itu.

Lu Tang-wan tersenyum, ujarnya: "Bukan soal penting, dia minta aku menyapa dan meniliki kau. Sebenarnya antara kawan lama masa perlu basa basi dan sungkan segala !" Sikapnya berubah ramah dan dekat lagi, meski tidak seramah waktu bertemu tadi, betapa pun tidak dingin.

Lu Tang-wan membuka pintu memanggil seorang pelayan, katanya tertawa: "Tiat-wi, sepanjang jalan ini tentu kau amat lelah. Pergilah kekamar belakang, istirahatlah dan ganti pakaian yang bersih. Para tamu yang datang hari ini tokoh-tokoh kosen yang kenamaan dalam kalangan persilatan, setelah ganti pakaian, nanti ikut aku keluar. Yah, kuanggap kau sebagai keponakan sendiri, jangan kau salah paham."

Lalu ia berpesan kepada pelayan: "Tong-bwe ambilkan jubah baruku untuk ganti Ling-sauya, perawakanku hampir sama dengan kau, mungkin bajuku bisa kau pakai."

Baju yang dipakai Hong-thian Iui sudah butut dan sobek lagi, waktu berkelahi dengan Khu Thay seng dicengkeram dilengannya, dalam hati ia membatin: "Paman Lu kuatir aku bikin malu, tapi bajuku ini memang juga harus kuganti, baru enak bertemu dengan tamu, tapi seorang pelayan harus meladeni aku ganti pakaian, ah, sungguh berabe dan malu !"

Selama hidup belum pernah Hong thian-lui diladeni oleh pelayan, tanpa merasa mukanya menjadi merah jengah.

Lu Tang wan tahu dan tertawa geli dalam hati, pikirnya: "Maklum orang desa!" segera ia berkata pula: "Tiong bwe, bawa Ling Siauya kekamar tulisku, keluarkan beberapa stel pakaianku supaya dipilih, lalu kau panggil Siocia, suruh segera menemui aku."

Tahu tak diladeni, Hong thian lui merasa lega.

Dalam pada itu Khu Tay seng melayani para tamu dengan hati kurang tenteram. Ih-tio dengan bocah goblok itu sedang bicara dikamar rahasia, sehingga semangatnya kendor. Kebetulan datang dua tokoh persilatan yang kenamaan dan punya kedudukan tinggi dengan alasan ini segera ia masuk kedalam hendak mencari tahu. Sebetulnya Lu Tang-wan tak perlu menyambut kedua tamu ini.

Khu Tayseng berhubungan dekat dengan keluarga Lu, sudah bisa keluar masuk seperti rumah sendiri. Tapi dia tahu hari ini luar biasa, sikap yang diutarakan Lu Tang-wan jelas tidak suka ada orang ketiga hadir ditengah mereka, mendengarkan percakapannya dengan bocah goblok itu. Takut membuat marah Ih thionya, Khu Tay seng tak berani masuk kedalam kamar rahasia itu, sesuai rencana semula ia menemui bibinya lebih dulu, supaya bibinya yang memanggil sang suami. Sekaligus mencari tahu asal usul bocah she Ling itu.

Diluar kamar suami isteri Lu Tang-wan adalah sebuah taman kembang, dalam taman ini dibangun sebuah gunung palsu dikelilingi pepohonan yang cukup rimbun. Setelah melewati pintu bulan sabit, tiba-tiba terdengar percakapan lirih Lu Tang wan dan istrinya didalam kamar.

Walau percakapan mereka lirih, sejak kecil Khu Tay-seng sudah berlatih senjata rahasia semacam Bwe hwa ciam dan lain-lain, pendengarannya amat peka, ia dengar percakapan itu dengan jelas.

Terdengar bibinya sedang bertanya : "O, sungguh aku tidak menyangka akan hal ini. Bagaimana keadaan keluarga pemuda she Ling itu, bagaimana pula martabatnya ?"

Khu Tay seng tertegun, batinnya, "Kenapa bibi menanyakan asal usul keluarga bocah she Ling itu?" diam-diam lantas ia sembunyi dibelakang gunung palsu mencari dengar percakapan mereka. Bila jejaknya konangan baru ia menggunakan alasannya tadi.

Terdengar Lu Tang-wan menghela napas, ujarnya : "Tentang keluarga bocah she Ling ini, aku agak sulit untuk menerangkan."

"Kenapa?" tanya Lu-hujin.

"Ayahnya bernama Ling Ho yang pernah kusinggung padamu dulu."

Lu-hujin terperanjat, katanya : "Bukankah Ling Ho keturunan pahlawan gagah Liang-san yang bernama Hong-thian-lui Ling Tin ?"

"Benar sebagai golongan pendekar dalam kaum Bulim, keluarga Ling adalah keturunan orang gagah. Merupakan keluarga kelas tinggi yang patut dihargai. Tapi bagi orang biasa tentu tidak berpandangan demikian."

"Beberapa tahun terakhir ini terhitung kita berhasil membangun rumah tangga yang sejahtera, betapapun kau harus hati-hati, jangan mengundang bencana."

"Waktu aku kelana di Kangouw pernah mendapat budi kebaikan Ling Ho. Terhadap anak seorang sahabat memangnya aku tidak pantas terima dan asuh dia ? Tapi kaupun tak perlu kawatir, aku sudah suruh dia tutup mulut !"

"Hidup manusia harus mengutamakan budi pekerti, sudah tentu kita harus sambut dan ladeni dia supaya jangan dianggap kita tidak berbudi dan tidak tahu tatakrama. Tapi meladeni dan soal nikah adalah berlainan, jangan dicampur adukkan."

Mendengar sampai disini mencelos perasaan Khu Tay-seng. Batinnya, "Soal nikah ? Jadi bocah busuk itu hendak melamar Piau-moay? Huh, katak buduk merindukan bulan !" Dugaan Khu-tay seng memang tidak salah. Dalam surat ayah Hong thian-lui memang melamar putri Lu Tang wan untuk dijodohkan dengan Hong-thian lui. Namun Hong thian-lui tidak tahu. Khu Tay seng anggap dia katak busuk merindukan bulan, ini terlalu dan fitnah belaka.

Jantung Khu Tayseng berdebar debar sembunyi dibelakang gunung, kupingnya dipasang lebih cermat.

Lu Tang-wan termenung sesaat lamanya baru bicara : "Ilmu silat tiat-wi memang lumayan, tadi aku menjajalnya sendiri. Soal martabatnya kelihatan polos dan jujur, sederhana lagi."

"Jadi kau sudah setujui dia ?" tanya Lu hujin dengan sikap dingin.

"Sayang bocah ini belum punya pengalaman, sikapnya kekanak-kanakan dasar bocah kampung."

"Kanak-kanak atau watak kampungan bisa dirobah, dia menetap disini, pelan-pelan dapat kau ajar dan bimbing dia, apa kawatir dia bakal tidak pintar ?"

"Lalu bagaimana maksudmu ?"

Tiba tiba Lu hujin tertawa dingin, ujarnya : "Tapi, kau lupa satu hal, putri kita itu sejak kecil bergaul intim dengan anak Seng, kulihat hubungan mereka sangat cocok dan setimpal. Beberapa waktu yang lalu, Toaci (ibu Tay-seng) pernah menyinggung soal perjodohan ini, kukatakan Giok-ji masih terlalu muda. Ai, hmm kalau tahu, tatkala itu seharusnya aku segera menerima lamarannya."

Kata-kata Lu-hujin laksana pil penenang urat syaraf, setelah mendengar ucapan bibinya Khu Tay seng merasa tentram, pikirnya, "Kiranya bibi penujui aku, ucapannya tadi hanya sindiran belaka."

Cepat Lu Tang wan menyanggah : "Aku kan tidak mengatakan harus menerima lamaran keluarga Ling, kenapa kau uring-uringan? Tapi ...."

"Tapi apa ?" "Ini soal masa depan Giok ji, menurut hematku biarlah dia sendiri yang menentukan pilihannya."

"Apa kau hendak beritahu soal ini kepadanya ?"

"Tidak. Aku hanya memberitahu kedatangan seorang putra sahabatku lama, supaya dia anggap Tiat wi sebagai abang sendiri. Soal selanjutnya, terserah kepada mereka kelak."

"Berapa lama kau hendak tahan dia disini ?"

"Terserah berapa lama dia suka tinggal di sini, masa enak aku mengusir pergi ?"

"Apa benar dia tidak tahu isi surat ini ?"

"Bocah itu bukan pembual, menurut nada kata-katanya bukan saja dia tidak berani membuka surat ini, ayahnya juga tidak menyinggung soal lamaran itu kepadanya.''

Lu-hujin lega, sekarang ia bisa unjuk seri tawa, katanya: "Begitupun baik, biar Giok-ji yang pilih calon suaminya. Sebagai ibunya aku dapat menyelami sanubarinya, Giok ji takkan memilih bocah gendeng itu !"

Sementara itu, Khu Tay-seng tengah membatin : "Piau-moay sejak kecil bergaul dengan aku, selama ini suka kepadaku. Bocah busuk itu merindukan bulan, Hah, biar dia mimpi di siang hari bolong. Tapi aku harus mencari akal untuk mengusir dia secepat mungkin."

Tengah ia menerawang cara bagaimana mengatur rencananya, mendadak terdengar derap langkah mendatangi, diujung taman muncul seorang gadis, sambil berjalan gadis itu berloncatan sambil memetik bunga dan daun-daun kembang.

Gadis ini adalah Piau-moaynya yang bernama Lu Giok-yau. Dari pintu bulan sabit jauh-jauh Khu Tay seng sudah melihat kedatangan sang Piau-moay, cepat-cepat ia mengkeret lalu melompat keluar dari atas tembok supaya tidak konangan jejaknya, setelah itu pura pura seperti baru datang dan muncul dari luar pintu, teriaknya : "Piau-moay !"

"Lho, kenapa kau tidak menyambut tamu diluar ?" tanya Lu Giok yau.

"Datang dua tamu, aku harus memberi lapor kepada Ih-tio."

"Ayah juga sedang menanti aku. Entah ada urusan apa dia panggil aku."

Mendengar percakapan mereka, segera Lu Tang wan berseru ; "Sungguh kebetulan kedatangan kalian, mari masuk!''

Setelah mereka didalam kamar, pertama-tama Lu Tang-wan tanya kepada Khu Tay-seng: "Orang macam apa yang datang?"

Khu Tay-seng menyebut nama dua orang tamu itu. Berkerut alis Lu Tang wan, ujarnya, "Kedua orang ini cukup ternama, tapi kau saja yang layani mereka."

"Mereka datang dari jauh, ingin sekali menyampaikan selamat pada Ih-tio, karena begitu besar keinginan mereka terpaksa aku masuk memberi laporan, harap Ih-tio maklum," demikian Khu Tay-seng mengada-ada.

"Kalau begitu boleh kau keluar dulu layani mereka." demikian sela Lu hujin.

Lu Tang wan juga tak memperpanjang persoalan, katanya : "Giok-ji, apakah Piauko sudah memberi tahu tadi datang seorang tamu. Tamu ini bukan tamu biasa, dia adalah putra seorang sahabat lamaku."

"O ya ? Piauko belum beritahu padaku. Anak sahabat lama yang manakah ?"

"Kau belum pernah melihatnya."

Tengah ia menimang nimang apakah perlu memberi tahu asal usul Hong-thian-lui di-hadapan Khu Tay-seng, tiba-tiba seorang pelayan berjalan masuk, yaitu Tong-bwe yang melayani Hong thian-lui.

Tanya Lu Tang-wan: "Ling-siauya sudah ganti pakaian belum?" dia sangka setelah memanggil si nona, pelayan ini melayani Hong-thian lui di kamar buku, baru sekarang balik kesini.

"Entahlah." sahut Tong-bwe, "Loya bukankah tadi kau suruh aku tidak usah melayani dia?"

"Lalu untuk apa kau kemari?"

"Aku baru saja keluar dari kamar Siocia dan ketemu Ting-taysiok yang sedang mencari Loya, dia suruh menyampaikan sepucuk kartu nama kepada kau. Menurut katanya kedua tamu ini tidak dikenal oleh penyambut tamu, katanya berwibawa dan angker, jadi mereka tidak berani menghalangi, mereka sudah disilahkan masuk."

Ting-taysiok adalah pengurus rumah tangga keluarga Lu. Setelah menjelaskan Tong-bwe menyodorkan sebuah kotak kepada majikannya.

"Dua tamu kenapa hanya sebuah kartu nama, siapakah nama mereka?"

"Menurut Ting-taysiok, seorang tua dan seorang muda, yang tua she Lian, yang muda adalah muridnya."

Begitu mendengar she Tian, berubah air muka Lu Tang-wan, lekas ia buka kotak kayu itu serta mengeluarkan sebuah kartu nama.

Dari samping Khu Tay-seng ikut melihat, tampak kartu nama itu bergambar dua bendera silang warna hitam, sebelah atas bendera hitam itu terdapat seekor elang hitam sedang terbang. Kartu nama itu tidak tertera nama terang, kecuali gambar itu terdapat satu huruf 'Lian' yang cukup besar.

"Ih-tio." kata Khu Tayseng, "Siapakah orang ini tidak tahu sopan santun?"

Lu Tang wan seperti tidak dengar pertanyaannya, gumamnya: "Sudah kuduga dia bakal datang mencari onar, tak nyana begitu besar nyalinya tidak pada hari-hari biasa justru dia pilih hari ini."

Lu Giok-yau ketarik, tanyanya: "Yah, Piauko sedang tanya kau. Macam apakah orang she Lian ini?"

Lu Tang-wan menghela napas, ujarnya: "Kalian tak usah turut campur soal ini. Tay seng coba kau kekamar buku, apakah Ling Tiat-wi sudah ganti pakaian, kau temani dia ngobrol saja."

"Bukankah kau hendak perkenalkan dengan para sanak dan sahabat?" tanya Tay seng.

"Semula ingin kuperkenalkan dengan para sahabat, dengan adanya soal ini tunda dulu kalau segala urusan sudah beres."

Diam diam girang hati Khu Tay-seng katanya dalam hati; "Kepandaian bocah itu lebih tinggi dari aku, kalau Ih tio ajak dia bercengkerama dihadapan sekian banyak orang-orang gagah mungkin aku asor dibanding dia. Nah, dengan kesempatan ini akan mengorek sedikit keterangannya.'' segera ia mengiakan lalu mengundurkan diri.

Walaupun Lu Tang-wan tidak memberi tahu siapa sebenarnya tamu she Lian itu, namun Khu Tay seng sudah maklum, tentu seorang musuh besar Ih-tionya yang mencari perkara. Kalau Khu Tay-seng paham, sudah tentu Lu Giok-yau juga mengerti.

Tak kuasa mengendalikan ingin tahunya Lu Giok-yau bertanya; "Yah, mari keluar bersama, hadapi tamu tak diundang ini."

"Untuk apa kau keluar?"

"Bantu kau kan ! Yah, betapa tenar dan tinggi kedudukanmu di Bulim, mana boleh berkelahi dengan orang? Biar aku saja yang layani dia !"

Lu Tang-wan tersenyum getir, ujarnya: "Memang kau benar, orang biasa aku takkan sudi turun tangan. Tapi untuk tamu ini mau tidak mau harus kulayani sendiri."

Terperanjat Lu Giok-yau, tanyanya: "Tokoh macam apakah dia? Yah, begitu penting sampai kau harus turun tangan?"

Lu Tang-wan menarik muka, katanya, "Sudah kuberitahu, jangan kau ikut campur. Ibumu ingin bicara dengan kau. Kau harus patuh tinggal didalam kamar saja!"

Lu Giok-yau merengut, hatinya uring-uringan; "Kau larang aku keluar, nanti sebentar aku akan lolos kesana." di saat ia jengkel inilah Lu Tang-wan sudah melangkah keluar.

Para tamu dalam ruang perjamuanpun heran-heran, hati mereka dirundung pertanyaan seperti Lu Giok-yau. "Orang macam apakah sebetulnya she Lian ini?"

O^~^~^O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar