Jilid 04
Pujian terakhir sungguh diluar dugaan, Hek-swan-hong tak tahu kemana juntrungan kata-kata ini, sesaat dia melengak.
Kata In-tiong-yan pula : "Selamanya, kau belum kenal aku, apa kau tidak takut setelah aku mendapatkan buku, terus ngacir ngelabui kau ?"
"Aku yakin kau tidak akan berbuat begitu."
"Dari mana kau tahu aku takkan berbuat begitu ?"
"Sebab kau seorang bangsa Han."
Diam-diam In-tiong yan geli, alisnya berdiri, katanya : "O, kalau bangsa Han lalu bagaimana?"
"Bila seorang bangsa Han tentu takkan mengangkangi buku kemiliteran itu."
"Kenapa ?" "Buku kemiliteran karya Go Yong adalah untuk membantu bangsa Han kita melawan kerajaan Kim, seorang bangsa Han yang berhasil menemukan buku itu, kecuali antek atau pengkhianat bangsa, rela mengekor pada penjajah, tentu takkan sudi mengangkangi sendiri dan tidak akan dipersembahkan kepada pemimpin pasukan pergerakan?"
"Bagus, kuakui ucapanmu ini masuk akal. Namun bagi kau, apakah kau tidak merasa caramu mempercayai aku terlalu bahaya ?"
"Meski selama ini kita belum kenal, tapi dari dua kali peristiwa kau membantu aku, aku sudah meraba martabatmu."
"Mungkin martabatku tidak sebaik seperti yang kau duga?"
"Kalau begitu memang aku menyerempet bahaya. Tapi aku yakin aku tidak salah menilai orang."
ln-tiong yan menjadi senang, katanya tertawa : "Kau yakin akan dirimu, baiklah mari kita mulai mencari, tapi Liang-san begini besar, dari mana harus mulai ?"
"Kuduga puluhan Li sekitar puing-puing Tiong-gi-tong Liang san pek sinilah adanya."
"Dengan alasan apa rekaanmu ini ?"
"Malam pada Go Yong selesai menulis karyanya sudah mendekati kentongan kelima setelah itu dia suruh Louw Cising menyimpan di tempat rahasia. Menurut lazimnya, mereka harus membereskan kerja sebelum fajar menyingsing. Pentolan Liang san pek kebanyakan bertempat tinggal disekitar Tiong-gi-tong. Dalam waktu satu jam berapa jauh bisa ditempuh, maka kuduga tentu dipendam sekitar pulunan li saja !"
"Apakah kau sudah tahu, dimana puing-puing Tiong gi-tong?"
"Tepat ditanah datar diatas karang kepala harimau ini. Menurut tafsiran, luas puing puing Tiong-gi-tong ini tidak lebih 20 li. Tanah seluas dua puluhan li dapat dijelajah dalam tempo tiga jam, tapi untuk mencari sejilid buku, walau tidak sesulit menganggap jarum dalam lautan, juga sangat sukar."
"Kalau gampang buat apa aku minta bantuanmu? Untung pameo itu bisa memberikan petunjuk kepada kita, sesuaikan dengan keadaan saja siapa tahu dicari sukar, ketemu tanpa diduga."
"Kalau begitu bekerja menurut nasib belaka. Baik, mulai dari sini kau menuju ke-timur dan aku kearah barat. Sebelum terang tanah besok pagi bertemu lagi di tempat ini."
Setelah berpisah pikiran Hek-swan-hong menjadi gundah bayangan punggung In tiong yan hilang menyelinap didalam hutan, hatinya gelisah dan was-was. Pikiran secara mendadak mohon bantuan In tiong-yan untuk mencari buku kemiliteran karya Go Yong, bahwasanya sangat berbahaya.
Terbayang olehnya mimik In-tiong yan waktu bicara tadi waktu dia berkata: "Sebab kau bangsa Han," In tiong-yan balas bertanya; "O, kalau bangsa Han kenapa?" tatkala itu, alis In-tiong-yan tampak berdiri, air mukanya mengunjuk setitik tawa licik dan sinis.
Ucapan lanjutan pertanyaan itu sebetulnya adalah: "Kalau bukan bangsa Han lalu kenapa pula?'' terpikir sampai disini tergetar sanubarinya. Dalam hati ia bertanya pada diri sendiri, "Kalau dia bukan bangsa Han bagaimana?"
Hem, dalam taktik perang ada bilang yang isi itu kosong, yang kosong itu isi. Dia balas bertanya, apakah untuk menghilangkan curigaku? Bukan mustahil dia bukan bangsa Han?"
Angin pegunungan mengembus dingin, Hek swan-hong tersadar dari lamunannya, terpikir olehnya: "Mungkin aku banyak curiga. Memang belum pernah aku dengar In-tiong yan membunuh pembesar Kim tapi pernah membantu aku mencuri konsep rencana gerakan pasukan Kim milik Wanyen Tiang ci. Betapa penting konsep ini kiranya jauh lebih berharga dari membunuh puluhan pembesar Kim? Mana mungkin dia seorang Kim? Jelas aku terlalu curiga."
Namun terpikir pula: "Aku menjadi gundah karena tak mengetahui asal usulnya. Kejadian hari ini merupakan ujian yang paling tepat untuk menyelidiki asar usulnya. Besok pagi segalanya dapat dibikin jelas. Ai, untuk membuyarkan rasa curigaku ini, aku menempuh bahaya begitu besar, apakah perbuatanmu ini cukup setimpal ?" mendadak Hek-swan-hong menyadari akan rahasia sanubarinya. "Kenapa aku ingin benar mengetahui asal usulnya ?" tanpa merasa merah dan panas raut wajahnya, hatinya hambar.
Dalam pada itu seorang diri In-tiong-yan tengah melangkah dalam hutan, batinnya pun dirundung berbagai pikiran.
In tiong yan berpikir: "Tanpa curiga ia percaya kepadaku." bayangan Hek-swan hong sudah jauh ketinggalan dan tak terlihat lagi tapi kini terbayang dalam lautan pikirannya. Sikapnya yang gagah, wajahnya yang ganteng serta tindak tanduk yang sopan serta suka melucu itu seolah-olah mengecap didalam lubuk hatinya sehingga jantungnya kebat kebit dan gelisah mukapun menjadi panas.
"Ai hari ini aku bisa kerja sama dengan dia, aku takut akan datang suatu hari, dia dan aku akan berhadapan dalam kedudukan yang berlawanan." demikian In-tiong-yan berpikir.
Sekonyong konyong terdengar gemuruh deburan air terjun yang mengganggu jalan pikirannya, In tiong-yan mendongak, dilihatnya dipuncak sana terdapat sebuah air terjun, airnya muntah deras dan mengalir kedalam kubangan yang dalam sana. Kubangan itu berada dihimpitan dua puncak yang menjadi seperti selokan panjang. Semakin dekat gemuruh air semakin keras.
Tergerak hati In tiong-yan, teringat olehnya akan pameo Louw Cising itu. Malam ini kebetulan tanggal lima belas, cuaca terang benderang tepat kentongan ketiga, sang dewi malam bulat dan tepat berada di tengah cakrawala.
Dalam hati In-tiong-yan mengulangi pameo itu : "Duduk bersila memandang mega, rebah mendengar irama ombak. Jalan kebajikan sudah tercapai, bulan bulat di cakrawala. Bait ketiga tak perlu dipikirkan, keadaan yang terlukis dalam pameo itu, seolah-olah persis ditempat ini dalam waktu yang tepat pula.''
Dalam selokan panjang sana, batu cadas berserakan, tapi satu diantaranya mirip sebuah meja bundar yang lapang dan licin laksana kaca, tempat yang tepat untuk berpijak.
"Biar kucoba kesana !" gumam In-tiong-yan sembari tertawa.
Setelah duduk diatas batu bundar itu, In tiong-yan mendongak keatas, tampak kabut bergulung gulung, puncak Liang-san seperti diselimuti mega putih, pemandangan beraneka ragam dan indah mempesona. Betul-betul panorama yang sukar dilihat ditanah datar umumnya. Berpikir hati In-tiong-yan: "Gunung sebagai badan, mega sebagai pakaian. Pepatah kuno memang benar. Keindahan duduk memandang mega sudah dapat menikmati, lalu apa sangkut pautnya dengan buku itu ?"
In-tiong-yan memasukkan kedua kakinya kedalam air, rasa dingin nyaman menyegarkan badan. In-tiong-yan tertawa, ujarnya : "Rebah celentang mendengar irama ombak, baiklah akan kucoba."
Dengan batu sebagai bantal In-tiong-yan merebahkan diri. Air terjun tumpah dengan dahsyat dan keras kerasnya mengguyur ke dalam kubangan, air muncrat suaranya gemuruh, lapat-lapat memang seperti deburan ombak, In-tiong-yan lantas membatin: "Louw Ci sing tentu punya waktu untuk menikmati irama ombak ini. Tapi buku itu takkan mungkin disembunyikan dibawah air, bagaimana penjelasan pameo itu?"
Begitulah ia mereka-reka, tapi setelah didengar lebih teliti dan cermat, terasa olehnya adanya keganjilan yang sulit teraba sebelumnya. Diantara gemuruh deburan air terjun yang tumpah itu, lapat-lapat seperti terselip suara harpa yang timbul dari bawah tanah. Tiba-tiba tersentak benak In tiong-yan, pikirnya : "Disekitar ini pasti ada sebuah lobang dibawah tanah." bergegas ia melompat bangun lalu memeriksa sekelilingnya, tak diketemukan sebuah gua apapun.
Secara kebetulan ia mendongak, tampak sang putri malam tepat berada di tengah cakrawala. Tergerak hati In tiong yan : "Coba kulakukan lagi menurut petunjuk pameo itu." kembali ia rebah diatas batu bundar, tiba-tiba dilihatnya didinding batu disebelah depan atas sana, muncul sebuah bayangan seperti sebuah lengan dengan jari jari tangan yang mulur panjang. Terperanjat In-tiong-yan dibuatnya, waktu diteliti, itulah akar pohon beringin tua yang melintang keluar dari atas tebing tinggi sana, satu diantaranya tersorot sinar rembulan hingga membayang diatas dinding batu.
Tergugah pikiran In tiong-yan, mungkinkah tempat yang dimaksud jari tengah itu ada sesuatu yang ganjil ? dengan Ginkangnya yang tinggi sebat sekali ia merambat naik keatas dinding batu yang tinggi itu.
Dinding batu ini sedemikian licin penuh lumut, kaki sukar berpijak disana. Dengan susah payah akhirnya ia sampai ditempat bayangan akar pohon, dengan teliti ia memeriksa, tempat ini tak lain hanyalah batu karang yang penuh tumbuh lumut juga, tiada sesuatu yang aneh.
In-tiong-yan sudah bercapek lelah mengeluarkan tenaga dan memeras otak, keruan hatinya rada penasaran, pikirnya : "Mungkin diatas batu karang ini terdapat huruf ukiran?'' lekas ia keruk sebagian besar lumut disana, dugaannya tepat, tampak sebuah huruf "the" yang cukup besar di batu karang itu.
Penemuan ini menggirangkan hati In-tiong yan, cepat ia keluarkan batu ketikan dan terus mengeruk lumut yang tebal itu, setelah bersih jelas kelihatan sebaris huruf-huruf "Thian, Heng dan To", tapi hanya ada empat huruf saja.
Semula In-tiong-yan menyangka akan menemukan petunjuk lebih lanjut untuk menemukan buku peninggalan Go Yong itu, keruan ia kecewa dan kecut perasaannya. Pikirnya: "The thian heng to (menjalankan kebajikan), sebetulnya memang semboyan hidup perjuangan patriot Liang-san-pek diukir diatas batu karang adalah bukan suatu yang mustahil.''
Perasaannya sudah dingin dan putus asa, sekonyong-konyong dilihatnya diatas huruf 'To' dan huruf 'Heng' masih kurang satu garis. Bermula ia menyangka ukiran ini sudah terlalu lama, ukiran hurufnya sudah aus. setelah ditegasi, baru diketahui bahwa asal mulanya memang begitu.
In-tiong-yang memeras otak, batinnya : "Orang yang mengukir huruf huruf ini kenapa sengaja mengurangi satu goresan dan satu titik?'' dasar cerdik tersadar pikirnya : "Bait ketiga pameo Louw Ci sing adalah Jalan kebajikan sudah tercapai, mungkinkah huruf "Heng-to" (jalan kebajikan) yang dimaksud disini bukan arti yang sesungguhnya tapi petunjuk bahwa kedua huruf yang terukir diatas karang ini belum sempurna ? Tapi pameo itu berbunyi Jalan kebajikan sudah tercapai, disini masing-masing kurang satu goresan dan satu titik, apakah maksudnya ?"
Lama dan lama sekali In-tiong-yan memeras otak memikirkan soal ini. Mendadak tersimpul suatu ilham dalam benaknya : "Pameo itu berbunyi Jalan kebajikan sudah tercapai, biarlah aku menambah garis dan titik untuk melengkapinya."
In-tiong-yan lantas melolos pedang pusaka, dengan ujung pedang ia menambahi sebuah goresan dan sebuah titik, masing2 diatas huruf To dan Heng.
Belum lagi selesai ia mengorek, dimana ujung pedangnya bergerak, tiba-tiba muncul keajaiban dihadapannya, selesai ia memberi titik tulisan, tiba-tiba terdengar suara berkelebatan, batu panjang persegi yang berukir "The-thian-heng-to" bergerak-gerak dan amblas, dengan pedangnya In-tiong yan menyongkel sekuat tenaga, batu panjang itu ternyata berhasil congkel copot dari tempatnya, dibawahnya kelihatan sebuah lobang gua.
Ternyata diantara seratus delapan pahlawan gagah Liang-san-pek itu, ada seorang tukang batu yang bernama julukan Te kiau sing Kim Tay-kian, pandai membuat alat-alat dan pintar mengukir pula. Waktu Go Yong memendam buah karyanya itu, kecuali Lauw Ci-sing, Kim Tay-kian pun ikut serta. Alat alat rahasia yang terdapat diatas dinding batu ini adalah buatannya.
Keruan bukan kepalang girang hati In-tiong-yan, setelah menyulut sebatang dahan pohon Siong sebagai obor ia menyelinap masuk. Lobang ini sangat gelap dan dalam, sekali tak kelihatan dasarnya, tak terasa In-tiong-yan rada keder. Tapi terpikir olehnya: "Bila buku kemiliteran kutemukan, merupakan sebuah pahala besar. Seumpama aku tidak temukan pahala, paling tidak pasti mendapat pujian ayahanda." maka dengan membesarkan hati ia bertindak maju lebih jauh.
Setelah tiba didasar dan kaki menyentuh tanah, terlihat dalam gua itu terdapat sebuah lobang kecil sebesar tinju, air mengalir masuk kesana menjadi sebuah aliran kecil, airnya terus mengalir keluar dari celah-celah batu disebelah sana. In-tiong-yan lantas berpikir: "Kiranya gua ini berada dibawah air terjun."
Sebuah batu besar yang berada ditengah gua terukir "Cui-in-tong" tiga huruf besar.
In-tiong-yan berpikir : "Dulu gua ini tentu ada jalan keluarnya, dari dalam gua sini dapat melihat panorama indah diluar air terjun, maka dinamakan Cui in tong, akhirnya disumbat jadi begini. Tapi entah dimana buku kemiliteran itu disembunyikan ?"
Dalam gua banyak terdapat batu-batu bergelantung dengan aneka bentuk yang aneh-aneh, seperti binatang, manusia dan macam-macam lagi. Tapi In-tiong-yan tak punya selera menikmati pemandangan aneh menakjubkan ini, perhatiannya tertuju untuk mencari buku kemiliteran itu.
Entah berapa lama kemudian, tahu-tahu dahan pohon siong itu tinggal setengah saja, namun usahanya tetap sia-sia. Hati In-tiong-yan menjadi gelisah, tiba tiba terpikir olehnya : "Cui-in tong tengahnya huruf 'IN' mega, bait pertama dari pameo Louw Ci sing berbunyi duduk bersila memandang mega, apa mungkin kata kata ini bukan melulu untuk melukisi keadaan sesungguhnya dalam pemandangan ? Biar kucoba menggunakan caraku membuka gua ini tadi !"
In-tiong yan segera mengerahkan seluruh tenaga, berpegang pada tulisan huruf IN tiba-tiba diangkat dengan keras. Batu itu ternyata terangkat dan dibawahnya kelihatan lobang persegi panjang satu kaki, lebar lima inci, waktu tangannya merogoh kedalam menyentuh sebuah benda keras, setelah dikeluarkan kiranya sebuah kotak persegi dari kayu cendana, dibukanya tutup kotak cendana itu tampak didalamnya sejilid buku.
Hampir In-tiong yan berjingkrak seperti orang gila saking girang, mulutnyapun berteriak : "Ketemu! Sudah ketemu!" tiba-tiba ia tersentak kaget sendiri, pikirnya : "Lebih baik kalau penemuanku ini tidak diketahui Hek-swan hong." berada didalam gua, diluar air terjun lagi, umpama dia menjerit sekuat tenaga, Hek swan-hong tidak bakal mendengar.
In-tiong-yan menenangkan hati, dengan hati-hati ia membuka halaman buku itu, memang benar adalah buku kemiliteran. Setelah dibalik beberapa halaman, dapat dipastikan bahwa buku itu adalah karya Kunsu Go Yong dari Liang-san-pek.
Beberapa lembar yang dibaca itu adalah catatan tentang taktik peperangan, ada cara melawan pasukan pemerintah, ada pula cara berperang melawan pasukan Kim. Terutama catatan taktik bagaimana menggempur pasukan Kim adalah yang paling jelas dan biasa menggunakan Long-si-pang dan Koay-cu-be dan lain-lain.
In-tiong yan tidak paham taktik peperangan, tapi dia tahu bahwa buku kemiliteran ini sangat berguna bagi ayahnya, mungkin lebih berharga dari segala benda pusaka termahal dalam dunia ini. Terpikir olehnya : "Setelah memperoleh mempelajari buku ini, untuk menyapu habis kerajaan Kim, tentu jauh lebih gampang.''
Obor ditangannya sudah hampir padam, lekas lekas In-tiong yan menyimpan buku itu, lalu bergegas keluar dari gua itu. Waktu ia merambat keatas, cuaca sudah terang benderang, sang surya sudah muncul dari peraduannya, berarti sudah menjelang pagi hari kedua.
Tiba tiba In-tiong yan teringat bahwa dia telah janji dengan Hek-swan-hong untuk bersua kembali di Karang kepala harimau sebelum terang tanah. "Kesana menemuinya tidak ?" demikian ia menjadi sangsi. Dia tidak ingin memberikan buku itu kepada Hek-swan-hong, tapi tak enak untuk ingkar janji. "Dia begitu mempercayai aku, mana bisa aku ingkar janji dan menjilat ludahku sendiri. Tapi apakah harus ngapusi dia, mengatakan tak menemukan buku itu ? Ai, menghadapi seorang yang percaya kepada aku, apakah enak aku membual terhadapnya ? Ai, lebih baik kesana saja!"
Dalam hati ia berpikir, namun kedua kakinya melangkah kembali dari arah datangnya tadi. Tiba-tiba terdengar teriakan Hek-swan hong: "Nona ln, dimana kau?" ternyata tanpa disadari ia sudah beranjak mendekati kepala harimau.
In-tiong-yan seperti sadar dari mimpi, ia mengumpat diri sendiri: "Kenapa aku ini? Urusan kecil tak bisa ambil putusan! Kenapa aku harus menemui dan memberi penjelasan segala? Masa aku takut dia membenci aku? Kalau benci biarlah benci, peduli amat."
Hek-swan-hong tak berhasil menemukan buku kemiliteran, maka sebelum matahari menyingsing dia sudah kembali ketempat semula menanti kedatangan In-tiong yan.
Pancaran sinar surya menerangi jagat raya, cahaya keemasan nan berselimut pagi kelihatan begitu indah menerobos sela-sela daun-daun pohon. Angin menghembus sepoi sepoi menggerakkan dahan dahan pohon, samar-samar dikejauhan sana Hek-swan-hong seperti melihat lambaian baju putih laksana salju, dari balik sebatang pohon siong yang besar dan tinggi didepan sana melongok keluar setengah wajah halus putih yang mengulum senyum.
Kejut dan girang Hek-swan-hong, teriaknya melompat; "Rupanya kau sembunyi disini, hendak main petak dengan aku ya? Apakah buku militer itu sudah ketemu? Hayo jangan main-main, cepat keluar!"
In-tiong-yan tertawa cekikikan, ujarnya: "Siapa main-main dengan kau. Maaf, aku harus segera pulang!"
Tersipu-sipu Hek-swan hong memburu, serunya, "Hai, hai! Ini bukan saatnya main-main, sebenarnya ketemu tidak buku militer itu?"
"Kenapa gugup? Baik, bicara terus terang, sudah ketemu, lalu kenapa?'' sembari bicara kakinya berlari kencang.
Betapa girang Hek swan-hong sungguh sukar dilukiskan dengan kata-kata, teriaknya: "Kalau sudah ketemu lekas serahkan kepadaku! Untuk lomba Ginkang lain waktu masih ada tempo."
"Aku yang menemukan kenapa harus kuserahkan kepada kau?"
Terkejut Hek-swan-hong teriaknya; "Bukankah kita sudah bicara sebelumnya?"
"Siapa janji dengan kau? Kau hanya minta aku bantu mencari buku militer ini (Ping-hoat), kan tidak dijelaskan harus diserahkan kepada kau !"
Hek-swan hong memang tidak memberi penjelasan sebelumnya, karuan ia menjadi gugup, teriaknya: "Aku hendak serahkan buku itu kepada laskar rakyat, jangan main-main!"
"Kau memang cerewet, perlukah menjelaskan sekali lagi? Aku tidak main-main dengan kau." mulut bicara sementara kakinya berlari semakin kencang.
Sembari mengejar Hek-swan-hong berteriak: "Tidak main-main, untuk kau apa bawa Ping-hoat itu?"
"Bukankah kau mengatakan barang yang sukar didapat setelah berada ditangan makin menarik dan menyenangkan? Ping-hoat ini akan kusimpan sebagai koleksi lemariku kalau sudah bosan kelak akan kuberikan kepadamu, kau tunggu saja dengan sabar !"
Tawanya yang merdu nyaring bagai kelintingan kumandang dialam pegunungan, sesuai nama julukannya gerak tubuhnya seperti burung walet begitu gesit dan tangkas menerobos mega menyelinap hutan, sekejap saja bayangannya sudah menghilang di kejauhan.
Taraf ilmu silat mungkin Hek-swan-hong lebih unggul, tapi Ginkang yang jelas tidak menang. Tahu tak mungkin menyandak akhirnya ia menghentikan langkah dengan rasa gegetun dan gemes, keluhnya: "Celaka, celaka! Sungguh celaka aku ini ! Aku ingin mencari tahu asal usulnya kini sudah jelas, sayang Ping hoat itu harus berkorban ! Bagaimana aku harus menemui Liok pangcu dan Tan-toako?"
Betapapun ia belum berani mengakui kenyataan yang dihadapinya ini. Dalam hati ia menghibur diri; "Mungkin dia sengaja menggoda aku. Supaya kelabakan? Siapa tahu dua tiga hari kemudian akan diserahkan kepada aku. Dia pernah membantu aku mencuri konsep militer milik Wanyen Tiang-ci, mana mungkin dia bangsa Kim ?"
Bayangan In tiong yan sudah tidak kelihatan, namun wajah orang yang tertawa sinis dan licik tiba-tiba terbayang dalam benak Hek-swan hong. Hek-swan hong tertawa kecut : "Tega kau mempermainkan aku, sehingga aku kelabakan dan kawatir. Tentu kau senang sekarang!" lalu terpikir lagi : "Semoga dia hanya mempermainkan aku, kalau tidak, ai . . . " tanpa merasa ia bergidik dan meremang bulu kuduknya. Batinnya, "Sebetulnya orang macam apakah dia ? Sungguh sulit diselami !"
ln Tiong yan berlari dengan kencang, tapi hatinya tidak seriang seperti dugaan Hek-swan hong. Waktu ia berpaling kebelakang dan tidak melihat Hek-swan hong mengejar, tawa riangnya menjadi tawa getir. Sambil menggembol kotak berisi Ping hoat itu, rasa senang dan gembira waktu menemukan kotak tadi sekarang sudah lenyap laksana asap mengepul tinggi ditelan mega diangkasa, sekarang tiada rasa senang sedikitpun dalam hatinya.
Maklum dia memperoleh sejilid buku berharga, tapi akan kehilangan seorang sahabat. Untuk selanjutnya, Hek-swan-hong tak kan bicara dan berkelakar dengan dirinya, bukan mustahil anggap dirinya sebagai musuh malah. Antara mendapat dan memperoleh ternyata ada perbedaan yang begini rumit. Ia tak dapat menjelaskan hatinya kosong dan hambar.
Demikianlah dengan perasaan kalut In-tiong-yan bergoyang gontai berjalan tanpa tujuan semakin dipikir hati terasa rawan, tiba-tiba terkenang akan kampung halaman di utara sana, pikirnya : "Tionggoan tiada tempat yang menarik lagi, lebih baik aku pulang menemui ayah saja."
Tengah ia berjalan dengan perasaan hampa dan bingung, tiba tiba seorang membentak : "Kau inikah In-tiong-yan ?"
In-tiong yan tersentak kaget mendengar bentakan sekeras guntur ini, waktu ia angkat kepala tampak seorang laki laki kekar kasar berdiri didepannya. Sepanjang pinggir telaga adalah pohon pohon welingi yang tumbuh subur setinggi manusia, laki-laki kasar ini menerobos keluar dari rumpun pohon welingi sana, apalagi hatinya tengah gundah dan gelisah, maka tidak tahu ada orang mencegat dirinya.
Hati In-tiong-yan tengah uring-uringan, pikirnya: "Biar orang hitam ini untuk melampiaskan rasa gemasku," lantas ia menyahut dingin: "Kalau benar kau mau apa ?"
Laki-laki itu membentak lagi, "Kotak apa yang kau pegang itu, apakah Ping-hoat karya Go Yong itu, lekas serahkan kepadaku, kalau tidak jangan harap kau bisa lewat kesana."
Sesaat In tiong-yan melongo dan menjublek, pikirnya: "Sungguh tak duga laki-laki berangasan ini juga tahu tentang Ping-hoat karya Go Yong ?"
Belum sempat ia membuka mulut, laki-laki itu sudah membentak lagi : "Apa kau ingin berkelahi dengan aku ? Hm, aku tahu kau punya kepandaian, tapi aku tak sudi berkelahi sama cewek !"
Tiba-tiba In tiong-yan angkat kotak itu tinggi keatas kepalanya, serunya : "Baik, nih, kau ambil !" lalu disodorkannya kotak itu.
Mendadak ia merangkap kedua jari, dengan kotak kayu itu sebagai aling-aling jari tangan kanannya menyolonong keluar dari bawah kotak. Maksudnya hendak menutuk jalan darah pelemah dibadan laki laki kasar, supaya bertunduk lemas tak bisa berkutik selama dua belas jam.
Hakikatnya In-tiong-yan tidak pandang sebelah mata laki-laki kasar berkulit hitam ini. Setelah orang bicara tentang Ping-hoat karya Go Yong baru timbul rasa waspadanya, dengan ilmu tutuk perguruannya ia membokong dengan cara licik lagi, dia kira laki-laki kasar berkulit seperti orang ini pasti ketipu olehnya.
Tak nyana meski wataknya kasar dan berangasan, gerak geriknya atau kepandaian lelaki hitam ternyata boleh juga. "Krak!" tiba tiba ia ulur tangan mencengkeram, kotak kayu ditangan In-tiong yan berlobang karena lima jarinya. Untung ia kawatir rusak buku didalam kotak sehingga tidak menggunakan setaker tenaganya.
Meski ilmu tutuk In tiong-yan sangat lihay, melihat Eng-jiau-kang lawan begitu hebat, ia menjadi kawatir dan bercekat hatinya, mungkin sebelum tutukannya mengenai lawan, cakar lawan sudah mencengkeram hancur pergelangan tangannya, tersipu-sipu dia tarik kembali tutukan jarinya, dengan gaya burung walet jumpalitan ditengah awan, kakinya menjejak ketanah terus bersalto ke belakang beberapa tombak.
Melihat cengkeramannya tak berhasil lelaki itu terkejut, pikirannya: "Wah, gerak tubuhnya hebat sekali! Naga naganya In tiong yan memang tidak bernama kosong, aku tidak bisa memandang rendah dia!"
Walau tidak tercengkeram oleh lawan, namun kotak kayu itu berlobang karena jari jari musuh, betapapun ia sudah kalah satu jurus. Dasar wataknya suka menang dan tak mau rugi, "Sret!" segera ia melolos pedangnya, serunya: 'Kepala hitam, keluarkan senjatamu. Kalau kau dapat merobohkanku, kotak ini kuserahkan kepadamu ."
Sementara itu lelaki hitam itu sudah menubruk maju juga, makinya gusar: "Hm, perempuan siluman seperti kau juga berani mempermainkan aku. Sebetulnya aku tidak sudi berkelahi dengan cewek, hari ini terpaksa melanggar pantangan! Buat apa aku menggunakan senjata, silahkan serang saja dengan pedangmu !"
Seiring dengan kata katanya, kedua tangannya terpentang, tangan kiri terkepal serta menggenjot dengan tenaga penuh, sementara tangan kanan berkembang jari jarinya mencakar kemuka orang. Menggenjot dan mencakar dilancarkan sekaligus dalam waktu yang sama, dengan tenaga penuh lagi sehingga membawa kesiur angin deras, hebat perbawa serangan ini. Sungguh mengejutkan.
In-tiong-yan tahu tenaga pukulan lawan hebat, mana dia biarkan lawan berkelahi dalam jarak dekat, sebat sekali kakinya bergerak mengganti kedudukan, sementara pedangnya bergerak laksana burung hong terbang, tahu tahu ujung pedang sudah menusuk kearah ketiak kiri orang.
Sekonyong-konyong laki laki itu menggertak keras, kedua telapak tangannya terkembang terus didorong kedepan, tenaga pukulannya bergelombang seperti arus bergolak, samar-samar terdengar suara geledek yang mengguntur, ujung pedang In-tiong-yan tersampok mental kesamping. In tiong-yang melonjak kaget, pikirnya : "Lwekang laki-laki hitam ini diatas kemampuan Hek-swan hong. Berkelahi terus belum tentu menang, lebih baik tinggal pergi saja."
Tak diduga, laki-laki kasar itu seperti menebak isi hatinya, bentaknya : "Perempuan siluman, jangan harap kau bisa kabur !" tujuh langkah disekitar gelanggang terkekang oleh tenaga pukulannya berantai, damparan angin kuat dan menggiris kulit membuat langkah In-tiong-yan sempoyongan.
Lengan Ginkang In tiong-yan kalau mau pergi sebetulnya tidak sukar. Soalnya Bik-khong ciang lawan memang hebat, bila ia putar tubuh lari pergi, punggungnya yang tak terjaga bisa kena pukul, walaupun dapat lolos namun dirinya bakal menderita luka ringan.
Satu pihak kawatir terluka, pihak lain penasaran dan dongkol, akhirnya In tiong-yan nekad, katanya tertawa dingin : "Kau sangka aku takut menghadapi kau. Lihat pedang!"
In-tiong yang pusatkan perhatian, pertempuran berjalan makin sengit pedang dan kepalan saling serang dengan berbagai tipu tipu dan cara yang lihay. Ilmu pedang In-tiong yan cukup aneh dan lihay, kadang kadang menusuk dan menyerang dari jurusan yang tak terduga oleh laki laki kasar itu. Untung ilmu pukulannya cukup hebat, tenaganya pun besar luar biasa, tinju menggenjot telapak tangan menampar, setiap gerak-geriknya membawa kesiur angin yang keras, tinju seperti godam, tamparan telapak tangannya seperti kampak membacok. Betapapun lincah permainan In tiong-yan, selama itu tak berhasil mendesak lebih dekat, jarak mereka tetap tujuh delapan kaki. Untung laki-laki itupun harus menjaga tusukan pedangnya yang menyerang dari berbagai jurusan dan mengarah sasaran yang tak terduga, sehingga tak berani mendesak terlalu dekat.
Pedang lawan tinju, keduanya punya kelebihan sendiri. Saking bernafsu laki-laki itu bertempur dengan semangat berkobar, setiap jurus pukulannya disertai gertakan yang menggeledek, jotosan demi jotosan, kuat dan besar pula tenaganya. Kekuatan telapak tangannya menggiriskan dan makin kencang lagi, bak umpama gugur gunung atau damparan ombak mengamuk, sehingga sinar pedang In-tiong-yan buyar berantakan, gerak langkah tak teratur dan badanpun sempoyongan seperti sebuah sampan yang terombang ambing di tengah amukan ombak.
In-tiong-yan mengembangkan kelincahan tubuhnya untuk bertempur secara petak dengan lari berputar putar. Laksana burung camar terbang mengalun mengikuti damparan gelombang laut seperti pohon liu meliuk gemulai. Meski damparan angin dahsyat bagai badai diprahara. ia masih bergerak lincah, maju mundur dengan leluasa. Tapi betapapun ia kewalahan juga karena kekuatan sendiri tak unggul dibandingkan lawan, puluhan jurus kemudian, kombinasi pedang dan gerak tubuhnya makin kacau, lambat laun ia merasa tenaga makin terkuras habis.
Untung laki laki itu jeri menghadapi ilmu pedang yang aneh dan ganas itu, sedikit lengah bakal memberi peluang kepada lawan.
In-tiong-yan terhalang delapan kaki diluar lingkungan angin pukulannya, dia tak berani merangsak secara gegabah. Dalam keadaan masing masing pihak punya kekawatiran sama kuat alias seri.
Kabut buyar megapun menghilang, cahaya matahari bersinar cemerlang menerangi seluruh jagat raya. Pemandangan dipinggir rawa yang penuh semak belukar pohon pohon welingi dibawah pancaran sinar sang surya menjadi makin jelas dan mempesona. Tadi In tiong yan turun gunung waktu cuaca masih pagi dan remang-remang, sekarang matahari sudah tinggi menjelang tengah hari.
In-tiong-yan tersentak sadar, pikirnya: "Kalau dilanjutkan agak lama, Hek swan-hong bakal mengejar tiba. Laki laki hitam ini aku tidak mampu mengalahkan, celaka kalau ditambah seorang Hek swan hong lagi ? Ai, ngacir adalah jalan paling tepat untuk menyelesaikan pertempuran ini! Tapi cara bagaimana aku melepaskan diri."
Agaknya laki-laki itu merasa maksud hatinya, kedua kepalannya menari makin kencang, serangannya membadai makin seru, bentaknya: "Kalau kau tidak serahkan Ping-hoat kepadaku, jangan kau ngacir ? Nah, lari ke ujung langitpun akan kukejar !"
In tiong-yan membatin : "Bila aku dapat lari ratusan langkah, memangnya kau dapat mengejarku ?" soalnya bagaimana dia melepaskan diri dari rangsakan gencar lawan dan lari sejauh ratusan langkah itu ? Pukulan Bik-khong-ciang laki-laki itu sangat lihay belum cukup lari ratusan tindak In-tiong yan pasti terpukul oleh pukulan jarak jauh lawan, meski dapat lolos pasti terluka.
Dalam suatu kesempatan, tiba-tiba laki-laki itu mencengkeram lagi, sigap sekali In-tiong-yan menangkis dengan pedang, kotak yang dipegang ditangan kirinya hampir terampas oleh lawan. Sekonyong-konyong otak In-tiong yan mendapat akal. Segera ia mainkan pedangnya lincah dan rapat untuk melindungi badan, kakipun bergerak mundur dengan teratur, sambil melayani serangan ia menyurut mundur ke pinggir telaga. Tiba-tiba ia bergerak lincah berputar seperti gangsingan, mulutnya menjungging senyum sinis, jengeknya : "Baik, Ping-hoat kuserahkan kepadamu !" ditengah gelak tawanya, tangannya kiri terayun keatas melontarkan kotak kayu berisi buku militer itu kedalam telaga.
Sudah tentu tindakannya ini diluar dugaan laki-laki hitam. Sejenak ia tertegun mengambil Ping hoat atau mengejar In-tiong-yan ? Jelas sebentar saja kotak kayu itu bakal hanyut dan tenggelam oleh damparan air kalau tidak lekas-lekas diambil tentu terlambat. Tiada banyak tempo, "plung !" laki-laki itu segera terjun kedalam air.
Untung arus air agak lamban, laki-laki itu pandai berenang lagi, setelah mengambang beberapa saat, kotak kayu itu mulai terendam air dan tenggelam, setelah selulup timbul dan berenang puluhan tombak, baru ia berhasil menangkap kotak kayu cendana itu.
Tapi waktu dibuka, ternyata kosong, Ping hoat telah lenyap.
In-tiong-yan pakai tipu daya untuk meloloskan diri. Waktu mundur secara teratur tadi, ditutupi lengan bajunya, diam diam ia telah mengambil buku Ping hoat itu dari dalam kotak, yang dibuang hanya kotak kosong belaka. Karena cara kerjanya yang cermat, apalagi bertempur sambil jalan, laki-laki itu harus menjaga permainan pedangnya yang aneh, sehingga tidak menaruh perhatian.
Setelah naik ke darat, laki-laki itu mengumpat caci. Dari kejauhan In-tiong-yan menggoda : "Kau sendiri yang menyangka isi kotak kayu itu adalah Ping-hoat, pernah aku mengatakan berisi Ping-hoat?"
Memang benar, demikian pikir laki-laki itu, tadi In-tiong-yan hanya balas bertanya: "Kalau Ping hoat lalu mau apa ?'' tapi tidak mengatakan bahwa isi kotak adalah Ping-hoat yang dicarinya itu.
Dia seorang laki laki polos dan jujur tak mengenal kelicikan orang, bukan karena bodoh atau ceroboh, ia berpikir: "Mungkin bukan dia saja yang mencari Ping-hoat itu, mungkin punya teman lain. Sengaja dia bawa kotak ini untuk memancing perhatian orang, sedang Ping-hoat yang sesungguhnya ditangan temannya itu?" lalu terpikir lagi: "Kalau rekaanku tidak benar, hanya ada sekesimpulan; yaitu Ping-hoat karya Go Yong itu belum ditemukan orang, perbuatannya hanya pura-pura membingungkan orang lain. Peduli rekaanku benar atau salah, biar aku ke Liang-san melihat gelagat !"
Dia anggap pikirannya cukup beralasan dan benar. Belum lagi tiba dikaki gunung Liang-san ditengah jalan dia bersua seorang yang baru turun gunung.
Dengan lesu dan kecewa Hek swan-hong turun dari Liang-san, tiba-tiba dilihatnya seorang laki-laki kulit hitam mendatangi, tangannya bawa kotak kayu, keruan bercekat hatinya baru saja ia hendak membuka mulut laki-laki hitam itu sudah membentak lebih dulu: "Bocah keparat berdiri disitu !"
"Siapa kau?" teriak Hek swan-hong, "Dari mana kotak itu kau dapat?"
Laki-laki hitam juga berteriak-teriak: "Apakah kau tadi bersama In tiong-yan ?"
Dua pihak sama bertanya, sejenak Hek swan-hong tertegun, batinnya; "Orang ini tahu In tiong-yan sudah tiba di Liang-san, siapakah dia? kepandaian In tiong-yan bukan olah-olah tinggi, masa dia mampu merebut Ping-hoat itu dari tangan In-tiong-yan? Atau In-tiong-yan sendiri yang berikan kepada dia. Mungkin dia komplotan ln-tiong-yan? Hmm, semoga In-tiong yan bukan bangsa Kim, namun bila dia benar orang Kim, maka laki Iaki hitam ini jelas adalah musuhku, peduli apa yang perlu Ping hoat itu harus kurebut kembaIi.''
Watak laki laki hitam itu berangasan dan kasar, hardiknya; "Hai. apa kupingmu tuli? Lekas katakan apakah In tiong yan bersama kau di Liang san?"
"Apakah dia yang suruh kau mencari aku?" Hek-swan hong balas bertanya, "Huh siapa kau?" dia anggap orang sengaja hendak cari gara-gara kepada dirinya.
Orang itu membentak pula: "Locu tak sabar lagi putar lidah, lekas kau jawab betul atau tidak!"
Timbul amarah Hek-swan hong jengeknya dingin; "Kalau benar mau apa?''
Kedua pihak saling curiga, sebelum lagi lagi Hek swan hong selesai bicara orang itu sudah ayun tangannya mengemplanh ke arahnya.
Karuan dongkol dan gusar Hek swan hong dibuatnya, serunya: "Belum pernah aku ketemu orang tidak kenal aturan macammu ini !"
"Biar sekarang kau kenal dan tahu !" teriak laki laki hitam.
"Blang !" dua tinju beradu keras, telapak tangan Hek swan hong rada miring melesat kesamping terus membalik menutuk jalan darah dipergelangan lawan, laki laki itu berjongkok menurunkan tubuh, berbareng tangan terulur panjang menjojoh lambung musuh. Namun gerak Hek-swan-hong cukup cekatan, sedikit kaki menutul ia melejit menyingkir. Laki laki hitam rasakan kepalanya panas membakar dan sakit, kiranya meski tidak kena tertutuk jalan darahnya, namun jari Hek-swan-hong berhasil menyerempet punggung tangannya.
Heh-swan-hong sendiri juga tidak mendapat untung, dia melesat lewat disamping laki laki itu, tujuan semula hendak menubruk balik untuk merangsak lagi, namun tanpa kuasa ia berputar-putar dua kali dengan kaki sempoyongan, niatnya menjadi gagal.
Tenaga pukulan laki laki hitam begitu kuat dan kokoh sekali, sekali pukul mengandung tiga tekanan tenaga dahsyat yang tak terduga. Kalau bertempur secara keras, Hek-swan-hong takkan kuat bertahan. Tapi Hek-swan-hong memiliki kepandaian keras lemas yang dapat dikombinasikan dalam setiap pertempuran, begitu dua pukulan saling bentur dia dapat punahkan sebagian besar tenaga lawan. Gerak perubahan juga jauh lebih bagus dari kemampuan si laki-laki.
Namun karena pukulan laki-laki itu mengandung tiga gelombang tekanan yang berlainan, Hek-swan hong hanya berhasil menghimpas separo, tekanan gelombang kedua tidak bawa akibat. Adalah tekanan gelombang ketiga membawa reaksi atas dirinya dikala ia hendak putar balik merangsak lagi, Hek-swan-hong berputar-putar dua kali, tujuannya adalah memunahkan tekanan gelombang ketiga ini.
Dua pihak adu pukulan, masing-masing punya keunggulan sendiri. Tapi dinilai sewajarnya, laki-laki hitam itu rada asor dan mendapat rugi.
Keruan laki laki itu makin murka, bentaknya : "Lari kemana ? Mari kau lawan aku tiga ratus jurus!"
Dia menantang bertempur tiga ratus jurus, jelas bahwa dia punya perhitungan jangka panjang, tahu bahwa Hek-swan-hong merupakan lawan tangguh, hanya bertempur sampai dua pihak kehabisan tenaga dan tele-tele baru dia punya harapan sambil kemenangan.
Hek-swan hong juga tidak jatuh pamor, teriaknya : "Gebrak ya gebrak, kau kira aku takut ? Kau tidak punya aturan, aku ini nenek moyangnya orang yang tak beraturan !"
Laki-laki itu menghardik, suaranya bagai geledek mengguntur, berdiri melengkung seperti busur, kedua telapak tangannya didorong kedepan. Untung Lwekang Hek-swan-hong cukup tinggi, namun begitu ia merasa kuping mendengung hampir pecah. Beruntun Hek-swan-hong gunakan dua jurus Hun hoa-hud-liu dan Ji-hong-jip-pit untuk memunahkan sejurus serangan Kim-kong-jiu lawan. Laki-laki itu membentak sekali lagi, lagi-lagi serangannya sudah memberondong tiba.
"Gembar gembor apa kau ? Memangnya panggil setan !" seru Hek swan hong.
"Kalau tidak suka dengar, tutup kupingmu !" teriak laki-laki itu, Hek-swan-hong geli dan penasaran lagi akan kedunguan lawan.
Setiap lancarkan pukulannya laki-laki hitam pasti membentak keras, tenaga pukulannya juga bertambah berat. Seolah-olah bentakan suaranya itu bisa menambah perbawa kekuatan pukulannya.
Dalam pertempuran seru itu, tiba-tiba laki-laki hitam berkata : "Aku tidak ingin ambil keuntungan, kalau kau takut kalah, silakan lolos pedangmu !"
Hek-swan-hong tertegun sejenak, batinnya: "Keuntungan apa yang kau ambil dari aku ?" sekilas menjadi sadar, "Oh, begitu memang pembawaan suaranya sangat nyaring, mungkin dia sangka bentakannya itu mengambil keuntungan dari aku." segera ia menjawab : "Ilmu pukulanmu belum seluruhnya kau mainkan, buat apa aku gunakan Pedang ?"
"Kau berani pandang rendah aku?" semprot lelaki itu dengan gusar.
"Bukan begitu soalnya. Aku ingin belajar kenal dengan seluruh permainan ilmu pukulanmu!"
Mendengar ucapan terakhir, agaknya lelaki itu menjadi senang, beruntun ia menggembor pula, sementara kedua tinjunya membadai seperti hujan lebat.
Lambat laun timbul rasa curiga Hek-swan hong, pikirnya: "Orang ini begini polos kelihatannya bukan antek bangsa Kim." rangsakan lelaki itu telah memberondong gencar sehingga Hek-swan-hong harus tumplek seluruh perhatian untuk melayani.
Pukulan masing masing mempunyai permainan yang kuat dan lincah sepihak sekeras Kim-kong (arhad) menubruk dengan kekerasan pihak lain lemah gemulai seperti jarum didalam kipas, gerak permainan si laki laki memang tidak sebat dan selincah Hek swan hong, sudah berulang kali menghadapi serangan berbahaya, untungnya Lwekangnya setingkat lebih tinggi. Hek-swan-hong sendiri selalu waspada untuk melancarkan serangan telak kawatir diri sendiri kena dikibuli, beberapa kali ada kesempatan merebut kotak kayu itu namun selalu sia sia saja.
Tengah bertempur tiba tiba laki laki itu buang kotak ditangannya ketanah terus diinjak menjadi hancur lebur, teriaknya: "Baik, mari berkelahi sepuasnya !" kotak ditangannya itu banyak mengganggu gerak geriknya maka sengaja ia menginjaknya hancur. Semula Hek-swan hong menyangka kotak kayu itu berisi buku karya Go Yong itu, mendadak melihat orang menginjaknya hancur, ia terperanjat, namun terinjak hanya pecahan kayu belaka, seketika timbul pula berbagai kesangsian yang menggoda hatinya.
"Kalau dia teman sekomplotan dengan In tiong-yan masa In-tiong yan memberikan kotak kosong kepadanya." demikian Hek-swan-hong membatin dalam hati. Sekonyong konyong ia teringat seseorang, cepat ia melompat keluar halaman pertempuran, teriaknya ; "Bukankah kau Ling Tiat-wi yang berjuluk Heng Thian lui itu ?"
Laki-laki itu melengak, iapun berteriak, "Dari mana kau tahu julukanku ? Siapa kau sebenarnya ?"
Hek-swan-hong tertawa, ujarnya : "Aku juga punya julukan, sahabat Kangouw memanggil Hek-swan-hong padaku !"
"Jadi kau ini Hek-swan-hong ?" teriak laki laki itu pula. "Apa benar ? Ah, kenapa tidak kau sebutkan sejak tadi?"
"Begitu bertemu kau ajak berkelahi, bagaimana aku jelaskan ?"
Laki laki itu unjuk mimik heran dan curiga, katanya : "Baik, sementara aku boleh percaya bahwa kau adalah Hek-swan-hong. Seumpama kau benar Hek-swan-hong juga tidak mungkin bisa tahu akan julukanku itu. Lain dengan kau, julukanmu sudah tenar dan kumandang di kalangan Kangouw, kalau umum tahu tidak perlu dibuat heran. Adalah julukanku itu, hanya beberapa teman sejak kecil dikampung saja yang suka memanggil demikian, bocah kampung lain tidak tahu."
"Kurasa tidak begitu halnya," ujar Hek-swan hong. "Menurut apa yang kutahu, seorang tua gagah yang mengembara di kalangan Kangouw tahu tentang julukan namamu ini."
"Siapa dia ?" "Liok Kun-lun Liok-pangcu dari Kay-pang !"
"Oh, ya !" teriak laki-laki itu, serunya, "Rupanya kau adalah sahabat Liok-pangcu."
"Belum setimpal dijajarkan sebagai sahabat." ujar Hek-swan hong. "Dihadapan Liok-pangcu aku hanyalah seorang Wanpwe saja."
Ternyata buyut Hong thian lui Ling Tiat-wi adalah orang gagah dari seratus delapan pahlawan Liang san yang bernama Ling Tim berjuluk Heng-thian-lui pula.
Ling Tin ahli membuat peledak, ilmu silatnya biasa saja. Kepandaian Ling Tiat-wi juga bukan turunan keluarganya, tapi didikan orang sahabat kental ayahnya, keturunan salah seorang pahlawan Liang-san-pit-le-hwe Cin-ping yang bernama Cin Hou-siau, memberi didikan langsung kepadanya. Keluarga Cin dan Ling menempati sebuah perkampungan, ilmu kepandaian yang diturunkan kepada Ling Tiat wi justru adalah ilmu warisan nenek moyang Cin hou-siau, yaitu Pit le-ciang.
Cin Hou-siau juga punya seorang putra bernama Cin Liong-hwi. Sebaya dengan Ling Tiat-wi, namun watak mereka jauh berbeda. Cin Liong hwi cerdik pandai, sejak kecil sudah pandai mengatur tipu daya untuk mempermainkan orang. Ling Tiat-hwi adalah lawan yang sering dipermainkan olehnya. Kalau dibicarakan memang cukup mengherankan, seorang pandai ternyata jauh ketinggalan dibanding bocah goblok dalam latihan ilmu silat. Baik diajari ayahnya, sejurus saja lantas paham dan bisa, sayang tidak tekun dan kurang rajin, begitu ada kesempatan lantas ngeluyur dan bermain suka membikin ribut dan bertengkar dengan anak tetangga. Sebaliknya Ling Tiat wi tahu bahwa otaknya tumpul, tahu tak mampu belajar dengan sempurna dan takut ditegur sang guru. Hanya sejurus guru mengajar, beruntun ia harus mengulang puluhan kali baru paham dan bisa.
Adalah jamak kalau bocah bermain sering adu mulut dan berkelahi, Cin Liong-hwi sering menyeret Ling Tiat wi untuk bantu menghajar lawannya. Kalau memang beralasan dan di pihak benar Ling Tiat wi selalu membantu, umpama dipihak salah, karena terlanjur ia tetap membantu, hanya setelah urusan selesai, secara langsung ia tegur Cin Liong wi. Kenapa Ling Tiat wi tetap membantunya menghajar lawan? Sebab dengan otaknya yang cerdas Cin Liong-hwi menipunya sehingga murid ayahnya mau membantu, belakangan baru Ling Tiat-wi sadar bahwa kesalahan dipihak Cin Liong-hwi. Maka ia maki dan tegur dia.
Suara Ling Tiat wi keras dan kasar, nyaring lagi, setiap bicara atau memaki orang seperti geledek, maka Cin Liong-hwi memanggilnya Hong-thian lui (geledek mengguntur di langit). Cin Liong-hwi tahu julukan nenek moyangnya, maka dia ambil julukan yang sama untuk buyutnya ini. Mungkin sekedar julukan yang disesuaikan keadaan, mungkin juga untuk menggoda bahwa dia punya julukan dari keturunan kakek moyangnya. Bocah kampung tiada yang jelas duduk perkaranya, mereka ikut ikutan saja memanggilnya begitu sebagai poyokan. Sampai akhirnya ayahnya juga tahu bahwa anaknya punya nama poyokan itu.
Liok Kun-lun, Pangcu Kaypang adalah sahabat ayah dan guru Ling Tiat wi. Pada beberapa tahun yang lalu Liok Kun-lun pernah bertamu di keluarga Cin, beberapa hari ayah Ling Tiat-wi juga bermalam dirumah Cin Hou siau. Pada suatu hari Ling Tiat-wi bertengkar dan ribut dengan beberapa anak tetangga, dia digiring oleh ayah anak-anak tetangga dan menghadap pada gurunya. Belum sampai diluar pintu, dari kejauhan sudah terdengar suara ribut Ling Tiat-wi, serta gemuruh tetangga yang suka iseng : "Hong-thian lui bikin perkara lagi !"
Cin Hou-siau anggap biasa kejadian itu, ia maklum akan duduk perkara yang sebetulnya, Ling Tiat-wi dijadikan kambing hitam oleh anaknya yang kurang ajar itu, Cin Liong hwi kabur menyembunyikan diri. Cin Hou siau suruh orang mencari dan menghajarnya, memang seperti dugaan semula, Cin Liong-hwi membuat gara-gara menghasut Ling Tiat-wi. Setelah menghajar dan memaki anaknya, Cin Hou-siau menghela napas panjang serta berkata : "Kakekku bernama julukan Pit-le hwe (berangasan), aku lebih suka anakku punya watak berangasan seperti moyangnya itu, jangan karena pandai selalu mengganggu dan mempermainkan orang, Ai, Ling toako, anakmu lebih kuat dan jauh menang dari moyangnya. Bocah keparat itu justru menjadi anak durhaka dari keluarga Cin kami."
Ayah Ling Tiat wi punya perhitungan dan pandangan jauh, setelah semua orang menyingkir, dihadapan dua sahabatnya ia mulai memberi pengajaran pada anaknya: "Moyangmu berjuluk Hong-thian-lui, karena dia seorang ahli membuat bermacam-macam bahan peledak, bukan karena wataknya yang berangasan atau kasar. Moyangmu membuat bahan peledak untuk membantu para pahlawan gagah Liang-san untuk menjalankan kebajikan menumpas kejahatan. Kau paham pelajaran membuat bahan peledak keluarga Ling kita sudah putus turunan, tapi adat dan pembawaan keluarga Ling kita tidak luntur. Aku suruh kau belajar silat dengan paman Cin supaya kau pandai meniru sepak terjang moyangmu menjalankan kebajikan bagi sesama umat manusia. Kau harus meniru dan jadikan moyangmu sebagai teladan, orang memanggil kau Hong thian-lui apakah kau malu dan menyesal ?"
Cin Hou-siau manggut-manggut, dia sentak anaknya supaya berlutut, katanya : "Dengar, uraian paman merupakan pengajaran juga bagi kau. Kau berdua harus selalu ingat dan prihatin !"
Liok Kun-lun tinggal beberapa hari di rumah Cin Hou-siau, kedua bocah itu memberi kesan mendalam dalam sanubarinya.
Perihal asal usul Hong-thian-lui, Hek-swan hong dengar dari mulut Liok Kun-lun. Hari itu Liok Kun-lun mengobrol tentang tunas muda dan tunas harapan kaum persilatan, yang menarik dalam percakapan itu adalah In-tiong yan yang serba misterius dan sulit diraba asal usul, selanjutnya baru menyinggung kedua bocah keluarga Cin ini.
Liok Kun-lun pernah berkata : "Kedua bocah itu sudah menanjak dewasa, usianya kira kira sebaya dengan kau, tapi Cin Hou-siau belum berani memberi kesempatan pada mereka untuk kelana di Kangouw. Tapi aku berani pastikan begitu mereka terjun dalam percaturan di Bulim tentu menonjol dan lebih tenar dari deretan nama nama tunas harapan yang lain. Terutama Hong thian-lui Ling Tiat-wi itu, bukan mustahil pada suatu ketika bakal menjadi seorang tokoh laksana geledek yang menggelegar diseluruh jagad."
Hek-swan hong bertanya : "Menurut pandangan Locianpwe saudara Ling yang berjuluk Hong thian-lui ini bagaimana kalau dibanding dengan In-tiong yan ?"
Liok Kun lun tertawa, ujarnya : "Yang kau tanyakan soal ilmu silat atau watak dan martabatnya ? Kalau soal martabat, aku belum pernah jumpa dengan In-tiong-yan, jejaknya sangat misterius, seolah olah tidak punya sepak terjang sebagai pendekar yang berbudi luhur. Sebaliknya Ling Tiat-wi anak kampung yang polos jujur dan sederhana; kelak pasti menjadi pendekar besar yang disanjung puji dan disegani oleh angkatan mendatang. Maka soal martabat, kedua orang ini sulit dibanding bersama."
"Soal ilmu silat, mereka punya keahlian sendiri. Ilmu silat In-tiong yan aku belum pernah menyaksikan. Tapi menurut penuturanmu, Ginkangnya jauh diatas kemampuan Hong-thian-lui. Tapi Hong thian-lui justru punya tenaga terpendam, pembawaan sejak kecil. Diantara orang-orang gagah seangkatan dengan dia yang pernah kulihat, mungkin tiada seorang pun yang dapat menandingi." maksud ucapannya ini sudah tentu termasuk Hek-swan hong sendiri. Keruan Hek-swan hong kaget dan bercekat.
Selanjutnya Liok Kun lun berkata lagi : "Tahun itu usianya kira kira dua tiga belasan. Cin Hou siau minta kepadaku untuk memberi petunjuk soal mengerahkan dan menggunakan tenaga. Waktu kucoba dengan pukulannya, setiap kali kutambah tenaga dia masih kuat melawan sampai tiga bagian tenaga Lwekangmu. Sekarang sudah terpaut sepuluh tahun, mungkin tenaga pukulan Hu mo ciangku tak kuasa menandingi Pit-le-ciang hiatnya."
Begitu asyik mereka mengobrol selanjutnya ia berkata pula : "Pit le-ciang keluarga Cin diturunkan kepada Tiat-wi ini betul-betul serasi dan cocok pada tempatnya. Ling Tiat-wi punya tenaga raksasa pembawaan sejak kecil, punya suara serak yang keras dan kasar, lagi bentakan suaranya benar-berar seperti geledek mengguntur. Disesuaikan pembawaannya Cin Hou-siau mengaturkan setiap kali melancarkan pukulan disertai bentakan yang memekakkan telinga, sehingga dapat mengembangkan Lwe-kang sewajarnya. Anak tunggalnya itu malah jauh ketinggalan dari harapan semula."
"Menurut hematku, diantara angkatan muda umumnya, mungkin hanya kau seorang yang dapat melawannya, Lwekangnya jelas lebih dalam dan kokoh dari kau, sayang dia belum dapat mengkombinasikan tenaga keras dan lunak otaknya tumpul kurang cerdik lagi. Kalau baru kelana dan belum punya pengalaman, mungkin dia hanya berkelahi hantam keromo saja, dengan adanya kelemahan ini kalau In-tiong-yan cerdik, mungkin dapat mengalahkan dia!"
Karena ilmu pukulan Ling Tiat-wi yang menakjupkan serta suara suara bentakan seperti geledek itulah sehingga Hek-swan-hong teringat akan cerita Liok Kun lun, dugaannya benar yang dihadapi bukan lain adalah Hong-thian-lui.
Dalam pada itu, setelah mendengar penjelasan Hek swan hong tentang nama Liok Kun lun baru Ling Tiat-wi mau percaya bahwa pemuda yang dihadapi ini benar adalah Hek-swan-hong. Namun kejap lain ia merasa curiga, tanyanya : "Kalau benar Hek-swan hong, kenapa kau bergaul dengan In-tiong yan ?"
Hek swan hong berkata dengan tertawa : "Aku sendiri juga ingin tanya padamu, siapa dan macam apa In tiong yan sebenarnya ? Kenapa aku tidak boleh bersama dia ?"
Berkerut alis Hong thian-lui, katanya : "Apa, jadi kau belum jelas orang macam apa dia sebenarnya ? Lalu kenapa kalian jalan bersama ?"
"Aku hanya tahu bahwa dia tuan penolongku yang pernah membantu aku dua kali !"
"Dia bantu kamu apa ?" tanya Hong-thian lui heran.
Setelah mendengar penuturan Hek-swan-hong, Hong thian lui bertambah heran, ujarnya : "Benar-benar aneh. Siluman perempuan itu mau membantu kau mencuri konsep militer Wanyen Tiang ci ! Huh, kalau aku percaya bahwa kau adalah Hek-swan hong, aku tak berani percaya penjelasanmu ini !"
"Saudara Ling," kata Hek-swan-hong, "agaknya kau sudah tahu asal usulnya. Orang macam apakah dia sebenarnya?"
Hong thian lui garuk kepalanya yang tidak gatal, jawabnya : "Kau tanya aku, aku tanya siapa?''
Jawaban ini membuat Hek-swan hong melengak, gemas dan dongkol lagi, batinnya : "Ribut sekian lama, ternyata kau sendiri bingung." segera ia berkata : "Kalau kau tak tahu, kenapa kau memakinya sebagai siluman ?"
"Aku tak tahu asal usulnya, juga tidak tahu dia she apa nama apa," demikian tutur Hong-thian-lui, "Tapi aku tahu dia pasti bukan orang Han. Dia bukan orang Han, kenapa meluruk ke Liang San mencuri Ping-hoat karya Go Yong, jelas gamblang untuk melawan bangsa Han kita. Dia bertentangan dengan kita, bukankah siluman perempuan ?"
Hek-swan hong menahan geli, katanya, "Memang benar ucapanmu. Tapi kau tidak jelaskan, bagaimana kau tahu bahwa dia bukan orang Han ? Lagi pula dari mana kau tahu bahwa kedatangannya kemari hendak mencuri Ping hoat karya Go Yong ?"
Baru sekarang Hong thian lui sadar dirinya belum memberi penjelasan, bahwa ln tiong yan benar sebagai 'Siluman perempuan' seperti dimakinya itu ? Katanya tertawa geli : "Harap maaf akan kecerobohanku. Watakku memang kasar dan berangasan. Kawatir kau tidak percaya bahwa dia 'Siluman perempuan', maka kutegaskan lebih dulu. Baiklah sekarang kau sudah percaya, biar kuterangkan kenapa aku tahu bahwa dia mau ke Liang-san untuk mencuri Ping hoat itu!" sebetulnya Hek swan-hong belum pernah mengatakan bahwa dia percaya akan keterangannya, dia hanya berkata bahwa analisanya cukup beralasan saja.
Kata Hong thian lui berduduk : "Tahukah kau diantara pahlawan gagah Liang-san, ada seorang yang bernama Sip Can ?"
"Sip Can pencuri sakti, siapa yang tidak tahu?" sahut Hek-swan hong tertawa. "Kisah Sip Can mencuri ayam, adalah cerita Ki dalang yang sangat dibanggakan !"
"Aku punya seorang paman Sip, namanya lengkap Sip It-sian (sekali muncul)." demikian Hong thian-lui menutur, "Sip It-sian adalah keturunan Sip Can itu. Tapi selamanya dia belum pernah mencuri ayam, kalau mau curi ya barang berharga macam mas perak atau jamrut dan lain lain yang bernilai tinggi."
"Namanya saja Sip It-sian (sekali muncul), sudah tentu merupakan pencuri sakti yang sukar diikuti jejaknya. Sebagai pencuri sakti yang diagungkan sudah tentu tak sudi nyolong ayam."
"Kurasa tidak mesti, kalau perut lapar terdesak oleh keadaan, betapapun harus nyolong makanan juga. Bukankah Sip Can sendiri juga pernah nyolong ? Soalnya selamanya dia belum pernah kelaparan, maka belum pernah mencuri ayam.''
Sedapat mungkin Hek-swan-hong tahan rasa gelinya, katanya tertawa : "Ya, ya. Cobalah ceritakan kisah tentang dia mencuri barang orang."
"Pada suatu hari, paman Sip ini mengincar tiga ekor gembel (kambing) gemuk, kau tahu arti gembel gemuk?"