Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Jilid 01

Jilid 01
Musim kemarau di bulan sembilan, hari mulai senja, dipinggir danau Liau-hou-ting di pegunungan Liang-san penuh ditumbuhi daun-daun welingi, muncul empat orang. Empat tokoh persilatan yang punya nama dan kedudukan.

Orang pertama adalah Bing-ceng-ho Congpiauthau Hou-wi Piaukiok yang terkenal di Lokyang, orang kedua adalah anak buahnya, yaitu Piausu Phoa Tin. Orang ketiga adalah tokoh kenamaan dari Kong-tong-pay, salah satu Kong-tong-sam-ou yang bernama Oh Kan. Orang keempat adalah Sutitnya yang bernama Nyo Tay-him, orang ini pernah menjadi pelindung Kan Goan-pek, residen Kim ciu, sesuai dengan namanya tubuhnya tinggi gede kepala besar tangan panjang, telinga panjang kaki pendek, kalau jalan bergoyang gontai persis seekor beruang.

Sang surya sudah terbenam di sebelah barat, cuaca mulai gelap, hawa pegunungan makin dingin penuh kabut, sepanjang jalur air penuh tumbuh daun-daun welingi, ke empat orang itu sedang berdesak-desak di-antara semak yang sulit ditempuh, kabut semakin tebal lagi sehingga pandangan kabur sukar mem¬bedakan arah.

Mendongak keatas tampak pemandangan puncak gunung Liang-san yang mempesonakan, laksana pedang, tombak, harimau atau singa seperti pula burung garuda yang tengah mementang sayap, mirip pula kuda semberani yang angkat kaki depannya.

Kabut malam semakin tebal, menjelang magrib ini menghadapi pegunungan yang bentuk dan rupanya aneh-aneh itu, orang akan merinding dan kebat-kebit hatinya.

Tapi keempat orang itu maju terus dengan hati hati, seperti kuatir dari semak belukar mendadak muncul makhluk aneh yang akan menerkam mereka dan mengendalnya pergi.

Mereka adalah tokoh-tokoh ternama dari dunia persilatan, terutama Oh Kan salah satu dari Kong-tong-sam-ou, sudah biasa malang melintang di Kangouw, siapapun gentar dan ketakutan bila mendengar namanya. Tapi kenyataan mereka sedang ketakutan dan tak kuasa menahan deburan jantung sendiri.

Sebetulnya apakah yang mereka takutkan ?

Mereka menepati undangan seorang tokoh misterius. Asal usul dan nama orang yang mengundang itu tidak mereka kenal. Phoa Tin dan Nyo Tay him pernah kecundang dan dihancur babak belur oleh orang itu, namun bagaimana bentuk dan rupa orang itu sedikitpun mereka tidak jelas.

Sebentar lagi cuaca bakal gelap. Bing Ceng ho berkata : "Kalau musuh sembunyi disemak-semak daun welingi dan membokong, sulit kita menjaga diri. Kukira lebih baik kita maju terus, kita istirahat saja dikaki gunung sana."

Phoa Tin berkata dengan cemberut : "Sebelum kita tiba di kaki gunung mungkin sudah gelap. Orang itu pergi datang tanpa jejak, aku, aku, aku....." Entah karena malu, menjaga gengsi atau ketakutan kata-katanya tersendat malah giginya kerutukan, kata-kata lanjutan batal diucapkan. Tapi orang tahu maksud kata-katanya, yaitu takut berjalan dimalam gelap, kwatir dibokong atau disergap musuh.

Diam-diam Oh Kan salah satu Kongtong-sam-ou tertawa geli dan mencemooh dalam hati : "Phoa Tin adalah Piausu kenamaan, kenapa ketakutan demikian rupa, kedudukannya nomer dua di Hou-wi Piaukiok, kalau begitu Bing lo-piau-thau inipun punya nama kosong belaka." segera ia bicara : "Poalote tak perlu kwatir, kita berempat, aku tak percaya cecunguk itu punya tiga kepala enam tangan."

Sutitnya Nyo Tay-him segera menyeletuk dengan suara gemetar : "Susiok jangan terlalu pandang enteng musuh, ba . . . bajingan itu betul-betul lihay. Aku, aku juga takut berjalan di malam hari."

Oh Kan mengerut kening, katanya : "Kalau kalian takut berjalan malam, marilah cepat jalan." sebenarnya mulutnya saja mengatakan tidak takut, pada hal jantungnya kebat kebit malah bulu kuduknya pun merinding. Betapa lihay dan hebat kepandaian musuh itu, tak usah Sutitnya menjelaskan dia sudah sering dengar dari orang banyak.

Angin menghembus sepoi-sepoi, daun-daun welingi bergoyang-goyang dan berkeresekan. Bing Ceng-ho berkata lirih : "Awas, ada orang!" kata-katanya ini membuat Nyo Tay-him dan Phoa Tin kaget setengah mati, lekas-lekas mereka mendekam di tanah.

Oh Kan sebaliknya tawa, ujarnya : "Bing-toako, bayangan setan saja tidak kelihatan mana ada orang? Jangan kita menjadi ketakutan sendiri, daun bergoyang masa dianggap musuh."

Bing-Ceng-ho punya kepandaian mendengar angin membedakan senjata, dalam hati ia berpikir : "Suara itu jelas adalah orang yang merambat di semak semak, tak mungkin aku salah dengar ? Sungguh menggenakan Oh Kan mengagulkan diri sebagai Kong tong-sam ou ternyata tidak punya kepandaian sejati tapi bersikap takabur. Kalau tidak percaya omonganku, lebih baik aku waspada sendiri dan berjaga-jaga."

Baru saja berpikir sampai disini, tiba tiba Oh Kan mengayun tangan serta membentak : "Siapa itu ? Kurcaci mana yang membokong dan menyergap ? Lekas menggelundung keluar !"

Rupanya Oh Kan pura-pura tidak tahu bahwa di depan ada orang sembunyi supaya pihak musuh tidak berjaga-jaga. Dia maki orang membokong dengan cara gelap padahal musuh belum turun tangan, tapi dia menyambitkan senjata rahasia membokong musuh malah.

Senjata rahasia yang disambitkan adalah tiga bor terbang, ujung bor yang runcing disepuh racun jahat, kena darah racun bekerja, keji luar biasa. Tiga butir bor disambitkan bersama dengan formasi atas tengah dan bawah masing masing mengarah ketiga sasaran.

Terdengar suara tring tiga kali, tahu-tahu tiga bor terbang tadi terpental balik. Terasa bau amis menyampok hidung, dari semak daun welingi bertaburan segenggam pasir, sebuah suara serak tua membentak : "Diberi tidak membalas tentu kurang hormat. Silahkan kalian rasakan Tong-bing-sin-saku ini."

Begitu mengendus bau amis, Oh Kan tahu bahwa yang disambitkan musuh adalah pasir beracun, lekas ia memukul dengan Pik-khong-ciang sambil menyurut dengan beberapa langkah.

Tampak dari semak daun welingi di depan sana menerobos keluar tiga orang. Orang pertama adalah Hwesio, seorang Tosu dan seorang laki-laki pertengahan umur berjenggot kambing. Si Hwesio memukul balik tiga butir bersambitan On Kan, sedang pasir beracun adalah timpukan laki-laki pertengahan umur itu.

Setelah menyampok jatuh bor terbang Oh Kan, si Hwesio gusar makinya: "Maknya! Apakah kau ini Hek-swan hong? Selundup-selundup termasuk orang gagah macam apa, rasakan pentungku!" seiring bentakannya pentung besi sebesar mulut mangkok ditangannya menyodok dari depan.

On Kan tercengang, tak tahu siapa Hek swan hong yang dimaksud oleh si Hwesio. Namun sekilas ia menjadi paham bahwa mereka bukan musuh yang dinantikan.

Sementara itu tongkat besi lawan sudah menyambar tiba, Oh Kan tak sempat buka mulut, apalagi selama berkelana di kangouw sudah biasa main kasar, pikirnya, "Si gundul ternyata lebih buas dari aku, biar kuhajar biar kapok !'' sebat sekali ia melolos keluar goloknya terus menangkis, "Trang !" bunga api berpijar, Lwekang kedua pihak setanding, tapi senjata si Hwesio lebih besar dan berat, Oh Kan tak berhasil memukul jatuh senjata lawan, sebaliknya golok sendiri gumpal sebagian.

Dalam pada itu, laki-laki pertengahan umur tak berpeluk tangan, tampak kedua tangannya terayun bersama, pasir beracun ditimpukan kearah Bing Ceng-ho beramai. Dasar cerdik, cepat cepat Phoa Tin menggelinding masuk kedalam semak-semak yang lebat dengan gaya Lam-lu ta-kun (keledai malas menggelundung). Sebaliknya Nyo Tay-him agak lamban tidak tahu bahwa jiwanya terancam pasir beracun.

Bing Ceng-ho meraih topinya yang besar, tampak dia melejit maju "Plak !" telak ia dorong tubuh Nyo Tay-him kesamping, tangannya yang memegang topi berputar, laksana besi sembrani, taburan pasir beracun itu tersedot masuk kedalamnya. Gerak tubuh serta cara turun tangan memunahkan serangan musuh sangat menakjubkan.

Si hwesio sangat nafsu berkelahi dengan jurus Ya-ce-tam hay tongkat besinya menyodok lambung, disusul jurus Liong-ting toh cu lalu diubah tipu Ceng li kong-te, beruntun ia lancarkan tipu-tipu ganas dan keras, senjatanya besar dan berat maka Oh Kan tak berani melayani secara keras, terpaksa ia mundur dengan terkejut, pikirnya: "Siapakah si gundul ini, begini lihay ? Besar tenaga tak mengherankan, tongkat besinya yang luar biasa ini belum pernah kulihat, entah dari aliran mana ?''

Karena didorong Bing Ceng-ho tadi, Nyo Tay him terguling tiga tombak jauhnya, karena terbanting keras terasa tulang sakit otot pegal. Untung dia pernah melatih Kim cong-coh atau ilmu weduk sehingga tak terluka apa apa, namun demikian sesuai dengan sifatnya yang berangasan bergegas ia merangkak bangun serta berkaok-kaok dengan gusar:

"Bing-toasiok, kenapa kau pukul aku?''

Bing Ceng ho tidak hiraukan dia sebaliknya berseru kepada laki laki pertengahan umur itu : "Tuan ini apakah Cengcu dari Ciok-ke ceng ?"

Laki pertengahan umur itu juga berteriak : "Bagus sekali cara menyambut senjata rahasia dengan Jian-jiu-ji-lay. Yang datang apakah Bing li piau thau dari Hou-wi Piau-kiok ?"

Bing Ceng-ho berteriak : "Oh Toako, berhenti dulu kita satu golongan!''

Setelah jarak dekat kedua pihak melihat jelas tak terasa Bing Ceng ho bergelak tawa, ujarnya: "Kiranya Ji-cengcu dari Ciok-ke-ceng, untung aku kena pasir sakti penyabut nyawa.''

Ciok ke-ceng dikecamatan Tay-tong di San say merupakan tuan tanah yang bersimaharaja di daerahnya. Di kalangan Bulim mereka juga punya nama. Keluarga Ciok terdiri tiga turunan, laki perempuan tua muda seluruhnya berjumlah ratusan orang, laki laki yang sudah dewasa ada empat lima puluh orang, semua pandai main silat, kepandaian tunggal keluarganya adalah andalannya, meski belum termasuk taraf kelas satu, namun mereka sudah biasa malang melintang di Kangouw.

Cengcu bernama Ciok Joh, amat bangga akan pukulan Bian-ciang yang belum pernah ketemu tandingan, orang lain tidak tahu apakah ilmu kepandaiannya itu sejati atau tulen, hanya kenyataan selama itu belum pernah dengar ia dikalahkan orang.

Jiceng cu bernama Ciok Goan, senjata rahasia adalah andalannya. Dalam satu hari pernah ia melukai delapan tokoh silat dari aliran hitam, sehingga namanya mengetarkan Bulim. Baik aliran hitam atau golongan putih bila mendengar namanya tentu takut dan gentar.

Sam-ceng cu bernama Ciok Gong, ternama dengan kepandaian enam puluh empat jurus Ce-kim to hoat, selama hidupnya belum pernah ketemu tandingan.

Bian ciang, Am-gi dan To hoat merupakan Cok-ke sam ciat, tri tunggal dari keluarga Ciok. Terutama pasir beracun penyabut nyawa adalah yang paling ganas, sedikit tersentuh seluruh badan membusuk dan mati.

Laki laki pertengahan umur berjenggot kambing yang mereka hadapi sekarang adalah ji-ceng cu Ciok Goan dari Ciok ke-ceng.

Kata Ciok Goan sambil menunjuk si Hwesio : "Inilah Hek liong Taysu dari Tiang-pek-san, baru datang dari luar perbatasan. Tuan ini bukankah tokoh kenamaan dari Kong-tong-pay ?"

Oh Kan membatin: "Kiranya jago lihay dari Kwan gwa, tak heran aku susah mengenal aliran silatnya." segera ia buka bicara : "Terima kasih, aku memang Oh Kan dari Kong tong pay. Bocah gendeng ini adalah Sutitku Nyo Tay him."

"Ohooiii !" seru Hok-liong Taysu dengan gagah-gagahan, ujarnya: "Kalau tak berkelahi tak bakal kenal. Pinceng tadi terlalu kasar dan ceroboh, harap dimaafkan!"

Ciok Goan bicara lagi : "Yang ini adalah Hian-king Totiang dari Kui goan si. Kukira Bing-lopiauthau tentu kenal bukan !"

Kata Bing Ceng ho : "Sudah lama aku dengar nama Totiang yang kenamaan, beruntung hari ini ketemu disini."

Rupanya Hian king Totiang ini pendiam tak suka bicara, ia hanya manggut-manggut saja.

Saat mana Nyo Tay-him maju mendekat dengan pincang, sekilas Oh Kan lirik keponakannya ini seketika ia terkejut, cepat ia berseru : "Tay-him, cepat kau nyatakan terima kasih kepada Bing-lo-piauthau !"

Hati Nyo Tay-him masih rada dongkol, matanya mendelik kearah Bing Ceng-ho, sahutnya uring uringan : "Dia pukul aku, masa aku harus berterima kasih malah?"

"Bocah goblok!" bentak Oh Kan. "Kau tahu apa? Bing-lopiauthau telah menyelamatkan jiwamu, kau tahu?"

Nyo Tay him setengah percaya katanya ragu ragu: "Dia menyelamatkan jiwaku? Kapan dia tolong aku?"

"Coba kau singkap lengan bajumu ?" kata Oh Kan dengan gemas.

Waktu Nyo Tay him menyingkap lengan bajunya, tampak kedua lengan kanan kiri terdapat setitik merah sebesar kacang, bila diraba terasa sakit dan gatal.

Kata Oh Kan: "Untung Bing lopiauthau mendorong kau, kalau tidak mungkin seluruh tubuhmu sekarang sudah membusuk dan modar kau."

Rupanya sambitan pasir beracun Ciok Goan meski dipunahkan dan disedot kedalam topi Bing Ceng-ho, namun masih ada beberapa butir yang lolos, untung Bing Ceng-ho mendorong Nyo Tay him begitu keras sehingga ia terguling guling, tak urung kedua lengannya masih kena sambit juga, untung sudah tidak begitu membahayakan karena tidak melukai kulit.

Oh Kan menjura kepada Ciok Goan, ujarnya: "Harap Ciok-ceng-cu memberi maaf dan memberi obat pemunahnya."

Kata Ciok Goan: "Harap tanya Bing lo-piauthau, untuk apakah kalian kemari?"

"Untuk menepati sebuah undangan."

"Siapakah yang mengundang kalian?"

"Siapa dia kita tidak jelas."

"Dimanakah alamat pertemuannya?"

"Dikarang kepala harimau sana."

Setelah tanya jawab ini baru kedua pihak jelas, kata Ciok Goan: "Kalau begitu kita sehaluan, maaf akan kelancanganku tadi." lalu ia merogoh obat pemunah dan membubuhi luka luka lengan Nyo Tay him.

Sekarang Nyo Tay-him sudah tahu dan merasakan betapa lihay pasir beracun dari keluarga Ciok itu, meski dongkol dan gusar tapi berani banyak tingkah.

Diam diam Bing Ceng ho menjadi girang batinnya: "didengar dari kata kata mereka rupanya musuh kita juga menjadi lawan mereka ? Kalau benar berarti kita ketambahan pembantu yang boleh diandalkan."

Kepandaian Ciok Goan dan Hek-liong Taysu dari Kwan-gwa secara langsung sudah disaksikan tadi, hanya Hian-king Totiang yang pendiam itu yang tidak turun tangan. Namun Bing Ceng ho jelas mengetahui bahwa Hian king Totiang sangat lihay dengan ilmu pedang Gun-goan-kiam-hoat, setiap jurus mengandung tipu-tipu yang lihay dan ampuh.

Baru Bing Ceng-ho hendak tanya tujuan mereka, Ciok Goan sudah bicara lebih dulu, katanya : "Bing-lopiauthau, cara bagaimana kalian bermusuhan dengan orang itu ? Kenapa tidak jelas akan asal usul pihak musuh pula ?"

Jawab Bing Ceng-ho : "Beginilah kisahnya. Tiga bulan yang lalu, perusahaan kita telah terima sebuah obyek yang harus dikirim, pemilik barang adalah residen Kan Goan pek dari Kim ciu."

"Kan Goan pek menduduki jabatan residen selama dua puluhan tahun, harta benda yang disimpannya tentu sangat banyak." demikian kata Ciok Goan, "Konon dia tidak cocok dengan perdana menteri sehingga ia kehilangan pangkatnya sekarang. Apakah beliau minta bantuanmu mengawalnya pulang kampung halaman ?"

"Benar," sahut Bing Ceng-ho. "Penasehat raja yang sekarang memerasnya dengan pajak yang sangat besar, dia tak mau bayar, harta benda sudah dikeruk sedemikian banyak, maka ia meletakkan jabatan sebagai residen Kim ciu dan menyerahkan kepada keponakan Go Hay-ci, penasehat raja sekarang."

"Kudengar kaki tangan Kan Goan pek sangat banyak, ternyata minta kalian yang mengawal, suatu karunia dan penghargaan terhadap kalian."

Bing Ceng-ho merendah diri, katanya menghela napas : "Sayang kita tidak berhasil menunaikan tugas. Belum kita keluar dari perbatasan Kim-ciu sudah dibegal orang di tengah jalan."

"Bing-lopiauthau," kata Ciok Goan. "Selama puluhan tahun perusahaan kalian belum pernah gagal, siapakah orang yang bernyali besar berani merampas barang hantaran kalian ?" dalam hati ia sudah menerka bahwa pembegal itu pasti adalah orang yang mengundang mereka kesini.

Ujar Bing Ceng-ho :"Dasar aku terlalu takabur, barang hantaran residen ini bukan aku sendiri yang mengawal, hanya Phoa-lote inilah yang menjadi pelindungnya. Phoa-lote, kau saja yang bercerita duduk perkara yang sebenarnya ?"

Merah muka Phoa Tin, katanya: "Tatkala itu aku sudah berunding dengan Cong-piauthau. Seperti apa yang dikatakan Ciok-cengcu, memang anak buah Kan Goan-pek orang-orang kosen, mereka mengundang kita tak lain hanya menambah perbawa saja. Sungguh mimpi kita tidak menduga ditengah jalan bakal dibegal. Kalau sudah tahu sebelumnya akupun tak berani unjuk muka."

Muka Nyo Tay-him menjadi hitam legam, katanya cemberut dengan nada tinggi : "Phoa-piauthau, bicaralah langsung jangan putar kayun terlalu jauh. Aku adalah pengawal Kan-tay-jin, yang kumiliki hanya kepandaian cakar kucing, mana boleh dikatakan kosen segala." Karena Ciok Goan, Phoa Tin dan Bing Ceng-ho berulang kali mengatakan bahwa Kan Goan-pek punya kaki tangan berkepandaian tinggi, dari malu ia menjadi uring uringan.

Phoa Tin mengangkat pundak, serunya : "Aku sendiri dipukul jungkir balik oleh musuh, celaka lagi bendera Hou-wi Piaukiok juga hilang, bagaimana bentuk wajah musuh sedikitpun tak melihat jelas, masa berani aku menggoda kau si gede ini !"

Setelah melampiaskan kedongkolan hati, dada terasa lapang, kata Nyo Tay-him : "Benar, kalau mau dikata tidak becus, kita setail tiga uang."

Ciok Goan mengerut alis, katanya : "Mari kita bicara urusan pokok jangan melantur tak karuan."

Phoa Tin lantas melanjutkan : "Hari ini kita tiba di Lo-liang gou, daerah liar yang penuh pasir tandus, lebih liar dan sepi dari tempat ini. Disanalah begal keparat itu muncul dengan menunggang kuda seorang diri."

"Tunggu sebentar," selak Ciok Goan. "ingin kutanya sebuah urusan."

"Urusan apa ? Coba katakan."

"Betapa besar koleksi harta benda Kan-tay-jin tentu tak ternilai harganya kukira tak mungkin ditukar dengan benda-benda kecil seperti mutiara atau jamrut segala bukan ?"

"Aku tidak tahu berapa banyak jumlah harta bendanya itu, yang terang mas logam dan perak semua dimuat diatas enam buah kereta, jadi dengan harta benda lain seluruhnya ada tiga belas kereta."

"Nah, yang membegal hanya seorang, mana mungkin merampas barang begitu banyak ? Apakah dia membawa bantuan?"

"Tidak," sahut Phoa Tin, "hanya satu orang saja! bocah itu amat kejam. Kau orang tua dengar saja kisahku."

Setelah menghela napas, ia melanjutkan : "Orang itu berkedok, gerak geriknya enteng secepat angin lesus, belum sempat melihat mukanya tahu tahu terjungkal oleh sebuah pukulannya. Nih, lihatlah ..." lalu ia singkap bajunya, tampak sebuah telapak tangan berwarna kelabu masih jelas kelihatan di kulit dadanya, sudah tiga bulan cap tangan itu belum luntur.

Nyo Tay-him menimbrung : "Kita terkena sekali pukulannya, bagaimana rupa kunyuk itu kita tak melihatnya."

"Tatkala itu, aku merasa kepala pening tujuh keliling," demikian Phoa Tin melanjutkan, "setelah siuman, orang itupun sudah pergi."

"Lalu bagaimana dengan harta benda yang termuat diatas tiga belas kereta?"

"Semua masih lengkap,'' Jawab Phoa Tin, "Tapi dia meninggalkan sepucuk surat, suruh kita menghantarkan kesebuah tempat yang sudah ditentukan olehnya."

"Inilah,'' seru Hek-liong Taysu, "mana ada begal yang tidak turun tangan sendiri. Kenapa kalian mau menuruti petunjuknya itu?"

Phoa Tin menghela napas rawan, ujarnya; "Keadaan memaksa kita melaksanakan petunjuknya itu."

"Kenapa begitu?" tanya Hek-liong Taysu, "orang-orang yang ikut dalam expedisi itu rata rata kena pukulannya. Putra putri dan seluruh keluarga Kan-tay-jin juga tidak terkecuali, diberi tanda diatas badannya."

"Jadi kalian terluka parah semua?" demikian Hek-liong Taysu bertanya. Dalam hati ia membatin; "Tapi kalau terluka parah, mana kuat mengangkat harta benda itu?"

"Tidak, pukulan telapak tangan itu dilancarkan teraling selapis baju, tatkala itu kita tidak merasa terluka sedikitpun."

"Lalu bagaimana?'' Hek-liong Taysu menegas.

"Begitulah selanjutnya hakikatnya itu bukan luka-luka dalam." sahut Phoa Tin tegas.

Hek-liong Taysu menjadi heran, katanya: "Keteranganmu membingungkan. Kalian tidak terluka parah, seharusnya mampu menghantar Kan Tayjin kekampung halamannya. Kenapa menurut petunjuk penjahat itu, mengirim harta dalam tiga belas kereta itu ke tempat yang sudah dia tentukan?"

Hian-king Totiang yang sejak tadi tidak bicara mendadak bersuara; " setengah jam setelah siuman, apakah kalian merasa gatal luar biasa?"

"Benar." teriak Nyo Tay-him. "Bagaimana kau tahu?''

"Aku rada sangsi melihat bekas telapak tangan di dada saudara ini.'' Demikian Hian-king Totiang menerangkan. "sekarang berani kupastikan. ltulah Ki bun Cit ciat-ciang, ada tujuh jenis karya yang berbeda, bisa membuat sang korban menjadi tbc, bisa membuat orang sakit panas dingin seperti malaria, bisa juga membuat sang korban gatal seluruh badannya. Jelas kalian tidak terluka dalam, dia hanya menggunakan pukulan yang paling ringan, yaitu hanya membuat kalian gatal-gatal saja.''

"Yang paling ringan apa?" teriak Nyo Tay-him gemas, "aku rela dikutungi kedua tanganku ini dari pada disiksa gatal-gatal itu. Gatal itu seolah olah keluar dari dalam perut, sehingga sukar digaruk, makin digaruk semakin gatal sehingga seluruh badan lecet keluar darah, bergelimpangan ditanahpun sukar menahan rasa gatal itu, coba katakan apakah tidak menakutkan?''

Phoa Tin lantas melanjutkan: "Setelah orang itu pergi, dia meninggalkan sepucuk surat yang ditancapkan dengan belati diatas jendela kereta. Surat itu mengancam kalau kita tidak menerima obat pemunahnya, setiap tiga hari rasa gatal itu bakal kumat, setiap kali lebih hebat dari yang lebih dulu.''

"Kerja penjahat itu cukup rapi." demikian Ciok Goan berkesimpulan. "Jelas kalian disiksa gatal itu setengah mati, terutama Kan Tayjin, kalau setiap hari kumat tiga kali, setiap gatal main cakar diseluruh badan, berlompatan lagi seorang pembesar yang hidup prihatin seperti beliau apakah tidak malu ?"

"Memang beliau tidak tahan disiksa rasa gatal itu, maka perintahkan kita mengirim ketiga belas kereta harta benda itu ketempat yang telah ditunjuk. Terpaksa kita menjalankan perintahnya.''

Setelah Phoa Tin bercerita panjang lebar, baru Bing Ceng-ho melanjutkan: "Selama puluhan tahun Houwi Piaukiok kita belum pernah gagal menunaikan tugas. Kali ini kita runtuh total, tulang-tulang tuaku ini terpaksa harus kerja keras demi kelanjutan hidup anak-anak."

Oh Kan salah satu Kong-tong-sam-ou menimbrung: "Terpaksa kita harus nekad. Kan-tayjin kehilangan harta benda, sebagai bekas pejabat yang sudah biasa hidup mewah, apakah selanjutnya harus hidup melarat? Maka Sutitku ini minta aku bantu mengurus peristiwa ini, terpaksa aku mengintil di belakang Bing-lopiauthau."

"Apakah kalian berhasil menyelidiki asal usulnya?" tanya Ciok Goan.

Bing Ceng ho geleng kepala, sahutnya: "Selama berkecimpung dalam Piaukiok puluhan tahun boleh aku bangga bahwa tidak sedikit tokoh-tokoh silat kenamaan yang pernah kukenal atau kudengar. Selama beberapa bulan ini kita tidak berhasil mencari tahu asal usulnya. Sebaliknya Kan-tayjin mendesak sedemikian rupa, kalau peristiwa ini tidak dibikin selesai secepatnya tidak jadi soal kalau perusahaan kita bangkrut, tapi sebagai penanggung jawab perusahaan harus berhadapan dengan hukum dan dituntut di depan pengadilan. Disaat kita sudah putus asa, suatu malam penjahat itu bertandang ke gedung Kan tayjin, diatas pintu ia tinggalkan sepucuk surat dengan tusukan pisau, dia mengundang kita diatas karang kepala harimau di pegunungan Liang san untuk bertemu."

"Apakah Kan-tayjin tidak ketakutan setengah mati?" tanya Ciok Goan.

"Sudah tentu beliau ketakutan." jawab Bing Ceng-ho, "namun dia pandang harta benda lebih berharga dari jiwa raga, ada kesempatan membongkar kejahatan ini, mana boleh disia-siakan, maka beliau mendesak kita datang kemari. Dia mengundang banyak orang-orang pandai terpaksa untuk menjaga dan melindungi keluarganya."

"Bing-lipiauthau, jangan kau patah semangat," sela Oh Kan, "dengan kerja sama kita beramai belum tentu terkalahkan oleh dia. Kejadian ini sebetulnya bukan urusanku, tapi aku rela membantu. Siapa suruh Nyo Tay-him adalah keponakanku? Kalau Suheng tidak turut campur, aku harus turun tangan." sikap Oh Kan cukup gagah dan berani, tujuan yang sebenarnya adalah kemaruk harta dan pangkat.

"Benar," Ciok Goan menggosok, "keponakanmu mendapat malu, kau sebagai pamannya harus mengambil muka supaya Kong-tong-pay tidak dihina orang. Tapi aku rada heran, kenapa Suhengmu diam saja tahu muridnya dihina orang."

"Jangan kau singgung dia," kata Bing Ceng-ho, "beberapa tahun lalu perkara apa saja tentu turut campur, entah kenapa dua tahun belakangan ini sifatnya berobah sabar dan pendiam, urusan muridpun tak dihiraukan."

Kiranya Suheng Oh Kan ini adalah tertua dari Kong-tong-sam-ou yang bernama Lian Tay-seng. Dulu pernah berkenalan dengan Ciok Goan. Cion Goan tahu bahwa ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari Oh Kan, sudah tentu ia kecewa bahwa beliau tidak datang.

"Ciok cengcu," kata Oh Kan. "menurut katamu, penjahat itu juga menjadi musuh besarmu, apakah kau sudah tahu asal usulnya?"

"Tidak salah," jawab Ciok Goan dengan gegetun, "aku punya permusuhan sedalam lautan dengan penjahat itu. Tapi asal usulnya aku masih belum tahu, yang jelas aku tahu dia punya julukan Hek swan-hong (angin lesus hitam)!''

"Hek-swan-hong?" teriak Bing Ceng ho tercengang, "seratus tahun yang lalu diantara seratus delapan orang-orang gagah gunung Li-ang-san terdapat seorang satria yang benama Li Lok, julukannya adalah Hek-swan-hong. Kenapa julukan orang ini sama dengan Li Lok itu?"

Ciok Goan tahu apa yang dipikir oleh Bing Ceng-ho, segera ia berkata: "Sudah tentu orang ini bukan keturunan Li Lok itu. Julukannya ini bukan karena sifatnya seperti Li Lok yang kasar dan berangasan. Tapi karena pergi datang secepat angin, siapa saja yang kebentur ditangannya, pasti mengalami bencana. Maka kawan-kawan aliran hitam di Kangouw memberi julukan Hek-swan-hong kepadanya."

"Kawan-kawan aliran hitam di Kanglam ?" tanya Bing Ceng ho menegas, "Jadi dia datang dari Kanglam ?"

"Ya, dia melakukan berbagai kejahatan yang merugikan golongan hitam di Kanglam. Pernah ia mencuri pusaka keluarga Su Mi-wan. Peristiwa itu membuat geger kerajaan Song selatan, banyak pejabat dan Busu yang kena perkara. Setiap kali bekerja selalu mengenakan kedok, gerak geriknya cepat dan enteng seperti angin lalu. Para sahabat di Kanglam tiada seorangpun yang pernah melihat muka aslinya."

"O.. begitu," ujar Bing Ceng-ho, "dia datang dari Kanglam, tak heran nama julukannya aku belum pernah dengar."

Kata Phoa Tin : "Keparat itu banyak tipu muslihatnya, julukannya Hek swan-hong. Tapi jauh berbeda kalau dibanding Hek-swan-hong dari Liang-san yang kasar dan brangasan itu."

"Toh masih ada persamaannya," kata Hian-king Totiang tawar. "orang memberikan julukan itu karena dia mirip Hek-swan-hong Li Lok dari Liang san, sebagai orang gagah."

Bertaut alis Ciok Goan, batinnya : "Hidung kerbau ini tidak tahu malu, terang terangan memuji musuh malah." Ilmu pedang Hian ki Totiang sangat lihay dan tinggi, dianggap sebagai pembantu yang paling diandalkan dalam rombongan ini, meski hati tak senang tak enak ia menegurnya.

"Ciok-cengcu." kata Bing Ceng ho, "cara bagaimana kau mengikat permusuhan dengan Hek swan hong itu ?"

Kata Ciok Goan : "Kalian tahu, keluarga Ciok kita turun temurun adalah kaum persilatan, keluarga terbesar di Tay-tong-hu, adalah jamak kalau kita pernah salah tangan melukai orang. Pada suatu hari, bajingan itu meninggalkan sepucuk surat diatas meja sembahyang leluhur kita, ditusuk sebilah belati lagi, coba bayangkan menjengkelkan tidak?"

"Apa yang tertulis dalam surat itu ?" tanya Bing Ceng-ho.

Ciok Goan kikuk, sesaat baru ia berkata : "Isinya mencercah dan mencemooh kita, dia mengagulkan diri sebagai pendekar, supaya kita menyesal dan bertobat, kalau tidak dia akan cari perkara dan membuat onar."

Ternyata surat Hek swan-hong itu mencantum daftar kejahatan keluarga Ciok selama beberapa tahun ini. Pada hari bulan dan tahun sekian pernah menculik gadis desa pada hari apa lagi pernah memeras mati seorang petani, kapan lagi pernah sekongkol dengan pejabat setempat melakukan korupsi dan menyelundupkan barang gelap, menindas rakyat jelata. Pada hari dan bulan apa lagi merampok pedagang dan lain lain. Bait terakhir surat itu mengecam dan memberi peringatan supaya mereka insyaf dan bertobat, mengubah kelakuan, kalau tidak akan datang suatu hari mereka bakal menerima balasan yang setimpal.

Ciok Goan melanjutkan : "Dengan wibawa dan ketenaran keluarga Ciok kita, mana takut digertak ? Maka diam diam kita menyirapi kurcaci macam apa yang bernyali besar berani menepuk lalat diatas kepala harimau, disamping kita berjaga dan waspada. Sebetulnya kita tidak ambil peduli peringatannya itu. Tak duga bulan kedua ia mengirim pula pucuk surat yang kedua, artinya hampir sama dengan yang terdahulu."

"Kali ini kalianpun tak berhasil menemukan jejak-jejaknya ?" tanya Bing Ceng ho.

Merah muka Ciok Goan, katanya : "Bulan ketiga diterima pula sepucuk surat, sungguh harus disesalkan beruntun tiga kali, bayangannya saja tidak pernah kita lihat."

"Beruntun tiga kali, namun tak kelihatan reaksi ancamannya, mungkin dia takut akan wibawa dan kekuatan keluarga Ciok kalian, anggap saja geledek yang berbunyi di hujan sore sore." demikian Nyo Tay-him menyeletuk.

Maksud Nyo Tay-him hendak menyanjung, sebaliknya Ciok Goan anggap sebagai olok-olok, keruan ia menjadi gusar, dengusnya : "Kau mengolok dan menggoda aku ya ?"

"Tidak." sahut Nyo Tay him tersipu-sipu, "mana aku berani mengolok-ngolok kau Ciok-loyacu, aku takut menghadapi pasirmu. Jelasnya dia telah menghina keluarga Ciok kalian, hal ini aku tidak tahu, mana bisa kau salahkan aku?"

"Sabar saudara Ciok." kata Oh Kan membujuk, "kenyataan keparat itu menjadi musuhmu juga, coba jelaskan untuk dirundingkan supaya kita bisa menghadapi dengan sempurna."

"Bermula kitapun punya pikiran seperti Nyo lote tadi," begitulah Ciok Goan melanjutkan kisahnya. "kusangka pihak lawan hanya main gertak belaka, beberapa bulan berlalu tanpa terjadi sesuatu yang merugikan maka penjagaan dan kewaspadaan kita mulai kendor."

"Biasanya keponakanku keluar mengembara, sejak orang itu meninggalkan surat ancaman, Toako sudah berhati-hati dan kawatir, dia perintahkan semua orarg mengurung diri di rumah saja dilarang keluar kecuali punya urusan penting, kalau tidak, dilarang keluar seorang diri."

"Namun keluarga Ciok adalah keluarga persilatan, marga terbesar dan berwibawa lagi di Tay-tong-hu, sudah tentu banyak urusan yang harus dikerjakan. Sebulan kemudian setelah surat ketiga itu kebetulan Tihu kota Cih jiu ulang tahun, hubungan kita dengan Tihu ini sangat kental, maka kita harus hadir dalam perjamuan, kalau dalam keadaan biasa seharusnya Toako sendiri yang harus hadir, kawatir kalau Toako pergi dan kebetulan orang itu datang menyergap kita, terpaksa barang sumbangan yang sudah disediakan suruh keponakan besar mengantar."

"Kepandaian silat keponakan besar adalah didikan langsung dari Toako, pukulan Bian ciangnya dapat memukul batu menjadi bubuk, selama kelana belum pernah mendapat tandingan, aku sendiri mengakui mungkin belum dapat memadainya. Tapi Toako masih kurang lega, menyuruhnya menyamar dan berangkat bersama pedagang kuda ke Coh-ji."

"Keponakan besar itu sudah berjanji untuk bertemu di dalam kota dengan para pedagang kuda itu. Tak diduga setelah ia berangkat, hari ketiga para pedagang itu ke-rumah kita, katanya tidak bertemu dengan keponakan, kedatangannya untuk mengajaknya segera berangkat, kalau tidak mungkin ketinggalan pasaran."

"Sudah tentu hal ini sangat menggemparkan seluruh keluarga kita. Segera Toako perintahkan para centeng pergi ke Kota menanyakan, namun tiada seorangpun yang pernah melihat keponakan besar itu!"

"Jadi keponakan itu telah hilang secara misterius?" tanya Bing Ceng-ho.

Ciok Goan mengertak gigi, desisnya; "Hari kedua pagi-pagi, akulah yang buka pintu besar tampak sebuah kantong rumput tergantung diatas tiang bendera diatas pintu tertempel sepucuk sampul merah yang tertuliskan: ?Sebuah kado tak berarti harap diterima dengan tulus hati. Selayang pandang aku lantas mendapat firasat jelek cepat aku panggil Toako."

Timbul rasa ingin tahu Nyo Tay him, tanyanya; "Apakah isi kantong rumput itu?"

Sebaliknya Oh Kan sudah meraba apa isi kantong rumput itu, lekas ia deliki keponakan yang banyak mulut itu.

Ciok Goan berganti napas sebentar lalu menyambung: "Isi kantong rumput itu adalah sebuah kepala yang berlepotan darah, meski berlepotan darah dan kotor, kita khan orang sendiri masa tak bisa mengenalnya, jelas itulah keponakan besar yang harus dikasihani itu."

Bing Ceng ho tahu sepak terjang tuan muda dari Ciok ke ceng, diam diam ia membatin: "Tuan muda kalian terlalu mengandal wibawa keluarga, ilmu silatnya memang lihay, baru beberapa tahun mengembara sudah bersimaharaja entah berapa banyak sesama kaum persilatan yang sirik dan benci akan tingkah lakunya yang tak genah, justru orang orang yang ditindasnya itulah yang harus dikasihani, sudah tentu pikiran ini dipendam dalam sanubarinya, namun lahirnya secara spontan ia nyatakan ikut berduka akan kematian keponakan orang.

Kejadian itu sudah dalam rekaan semua orang, namun serta mendengar penuturan langsung dari Ciok Goan, tak urung mereka menjadi merinding juga.

Kata Oh Kan; "Keparat itu begitu kejam sungguh keterlaluan !"

"Ada lagi yang lebih keterlaluan!" senggak Ciok Goan.

"Masih ada buah karyanya yang lebih ganas?" tanya Phoa Tin mengkirik.

"Di Tay-tong-hu kita ada membuka tujuh pegadaian," demikian Ciok Goan melanjutkan, "punya ribuan hektar sawah. Pegadaian yang terbesar bernama Lik-lay-hou (rejeki datang), pendapatan setiap tahunnya ada beberapa laksa uang perak, yang pegang kuasa adalah salah seorang keponakanku yang terdekat.

Hari kedua setelah kepala keponakan besar diantar datang, terjadilah tragedi di Lik-lay hou itu, Kuasanya mati secara misterius ditempat tidur. Akhirnya kita undang Hian king Totiang untuk memeriksa jenazah baru kita ketahui kematiannya itu lantaran Ki-bun jit ciat-ciang!"

"Ki-bun jit-ciat-ciang ?" teriak Pho Tin, "bukankah itu pukulan beracun penjahat itu ?"

"Kali ini keparat itu tidak tinggalkan tulisan, tapi ketiga kalinya ada pula pesannya."

"He, begitu berani bekerja berturut-turut, hm, benar benar menghina dan keterlaluan bajingan itu,'' demikian sanggah Bing Ceng ho. Dia tahu berbagai perbuatan buruk keluarga Ciok yang tercela, dimulut ia berkata manis namun dalam hati ia membatin: "Orang jahat tentu mendapat ganjaran yang setimpal, memang sudah menjadi kodrat perlu munculnya pendekar macam Hek swan hong untuk menghukum dan menghajar mereka habis-habisan. Ai, jika bukan karena urusan Hou-wi Piaukiok, segan aku ikut campur dalam urusan kotor dan memalukan ini."

Gigi Ciok Goan berkeriut menahan gusar, katanya melanjutkan: "Berselang beberapa hari didesa timur terjadi huru hara, para petani berontak tak mau bayar pajak maka diutus berdua keturunan Sam te untuk mengurus peristiwa ini, ternyata mereka mati digantung diatas pohon diluar desa. Kepandaian kedua orang ini walau belum terhitung kelas satu, ratusan orang juga takkan mampu mendekatinya.''

"Tak perlu dijelaskan lagi pasti buah karya Hek-swan-hong bukan?" Bing Ceng ho menegas.

"Siapa bilang bukan ?" dengus Ciok Goan dengan penuh kebencian, ''kali ini diatas pohon terpaku sepucuk surat, dalam surat itu diakui peristiwa pembunuhan di-Lik-lay-hou dan kejadian terakhir ini adalah perbuatannya seorang. Malah dia memperingati kami tak boleh membuat penyelidikan, kalau tidak pembunuhan ini melulu merupakan panjar saja.''

"Ai," desah Bing Ceng-ho sambil membanting kaki. ''Sungguh keterlaluan, keterlaluan benar. Hakikatnya lebih parah dari penghinaan terhadap Hou wi Piaukiok kita.''

"Mengandal wibawa dan kekuatan keluarga Ciok kita, mana boleh dihina orang !" begitulah Ciok Goan meneruskan dengan uring-uringan, "Segera Toako mengundang para kawan sehaluan, menyiarkan berita dan menantang secara langsung kepada keparat itu untuk berhadapan dan bertempur antara mati dan hidup!''

Sampai disini segera Hek-liong Taysu menimbrung : "Aku punya hubungan erat dengan Ciok-cengcu selama puluhan tahun, begitu mendengar kabar jelek ini segera aku datang. Malah aku mewakili mereka mengundang banyak kawan persilatan, para kawan undanganku itu tinggal dan bertugas di Ciok-ke-cheng. Kita kawatir kena pancing meninggalkan sarang sendiri."

Sesaat Phoa Tin masih belum paham, tanyanya: "Dipancing meninggalkan sarang apa ?''

Hek-liong Taysu menutur : "Tiga hari setelah kami tiba di Ciok ke-ceng, keparat itu mengutus seorang Kaypang mengirim sepucuk surat. Dia mengundang Ciok-cengcu untuk bertemu di karang kepala harimau di Liang san. Terserah berapa banyak bantuan yang hendak diundang katanya.''

"Anggota Kaypang yang mengirim surat itu apakah pernah bertemu dengan dia?" tanya Bing Ceng-ho.

"Menurut anggota Kaypang itu, Pangcu mereka yang mengutusnya mengirim kepada kita," demikian Ciok Goan menjelaskan, ''Sang Pangcu tidak menjelaskan apakah pernah bertemu dengan si pengirim surat itu, waktu sangat mendesak tiada kesempatan kita menanyakan langsung kepada Liok-pangcu."

Bing Ceng ho adalah kaum tua yang banyak pengalaman, mendengar kata-kata terakhir ini hatinya lantas paham duduk perkara sebenarnya, diam-diam ia menebak : "Tiada kesempatan apa, yang benar adalah kalian tidak berani berhadapan dengan Liok-pangcu dari Kaypang!''

Harus diketahui bahwasanya Hek-swan-hong bisa minta bantuan anggota Kaypang untuk mengirim sudah tentu punya hubungan yang sangat erat dengan Kaypang. Ciok Goan hanya membual belaka mana berani berhadapan dengan pihak Kaypang secara langsung.

Terpikir oleh Bing Ceng-ho akan hal ini, hatinya menjadi gundah dan was-was, pikirnya : "Seorang Hek-swan hong begitu sulit dilayani, apalagi masih ada Kaypang sebagai backingnya ? Ah, kalau tahu begini, lebih beruntung kalau aku tidak menepati undangan ini." tapi lantas terpikir lagi : "Tapi kalau aku tak berani datang, Hou-wi Piaukiok bakal bangkrut dan tutup pintu. Satu pihak pejabat pemerintah sukar dilawan, lain pihak sang lawan sangat lihay apa boleh buat, terpaksa aku harus bekerja menurut situasi. Kalau betul betul tak kuat melawan terpaksa harus menebalkan muka memohon belas kasihan kepada Hek-swan-hong saja."

Sudah tentu Ciok Goan tidak tahu bahwa Bing Ceng ho telah merancang rencananya untuk bekerja menurut situasi bila perlu malah harus mundur teratur. Sikapnya masih tetap bersemangat, katanya : "Sekarang kita bergabung, tambah seorang Hek-swan-hong lagi juga tak perlu gentar. Menurut hematku, begitu jumpa tak perlu kita pakai aturan Kangouw segala, maju bersama dan mencacah tubuhnya."

Hian-king Totiang menjengek tawar : "Apakah tidak takut menjadi buah tertawaan para sahabat Kangouw ?"

Melihat orang mengguyur air dingin lagi, Ciok Goan menjadi jengkel dan gemes, dengusnya: "Takut apa, setiap orang yang pernah melihat Hek swan-hong kita babat habis-habisan, siapa pula bakal tahu ?"

"Apakah kita mampu membabat habis-habisan ?" jengek Hian-king Totiang dingin.

"Kenapa kau selalu mengagulkan pihak lawan ?" maki Ciok Goan dengan gusar, "jangan kau mengecil artikan kekuatan kita. Kalau kau takut silakan kembali saja !"

Hian-king Totiang mendengus hidung, ejeknya menyeringai: "Selamanya aku pernah takut kepada siapa? Ciok-ji cengcu, pasir beracun pencabut nyawamu memang lihai, tapi jangan kira aku takut terhadap kau."

Lekas Bing Ceng-ho melerai, bujuknya: "Kita orang sendiri, belum lagi ketemu musuh kenapa harus bertengkar lebih dulu."

Hek-liong Taysu ikut bicara: "Benar, main keroyokan, main gilir atau bertanding satu lawan satu kita tentukan nanti bila sudah berhadapan langsung dengan keparat itu."

"Aku datang membantu karena memandang muka Ciok-toa cengcu, kalau Ciok-ji-cengcu memandang enteng kepadaku, lebih baik aku pergi saja."

Ciok Goan tahu bahwa ilmu pedang Tosu ini lihay, diam-diam ia menyesal telah mengumbar adat sendiri, terpaksa ia tahan sabar dan minta maaf: "Harap Totiang tidak salah paham. Maksudku supaya kita tidak gentar dan takut lebih dulu sebelum berhadapan dengan musuh. Ucapanku tadi memang kasar, baiklah aku mohon maaf kepada Totiang."

"Benar," sambung Bing Ceng-ho membujuk pula, "kita ada beberapa orang, sebenarnya tak perlu takut, namun betapapun kita harus hati-hati dan waspada. Cuaca sudah hampir gelap marilah lekas kita melanjutkan kedepan!"

Begitulah mereka lantas berjalan beriringan menembus semak belukar daun-daun welingi yang lebat sejauh beberapa li, waktu tiba dibawah gunung, hari sudah gelap pekat.

Bing Ceng-ho berkata: "Kalau kita naik keatas gunung dalam kegelapan begini kawatir dibokong atau disergap musuh. Kita cari tempat dikaki gunung untuk bermalam. Besok pagi kita melanjutkan ke karang kepala harimau."

Mulutnya saja Ciok Goan temberang, sebenarnya hatinya takut setengah mati. Usul Bing Ceng-ho justru mengena betul lubuk hatinya.

"Begitupun baik," ujar Ciok Goan, "sukar kita menghadapi bokongan musuh. Malam ini kita harus lebih hati-hati."

Phoa Tin berkata: "Disana ada sebuah gua, mari kita periksa. Kalau bisa untuk berteduh kan lebih enak dari pada menginap dialam terbuka." Harus maklum dia seperti burung yang ketakutan di ujung senapan, kalau benar benar harus menginap ditempat terbuka yang belukar begitu, hatinya lebih takut dari Ciok Goan.

Nyo Tay him mengetik batu api untuk menyulut dahan-dahan kering sebagai obor, dengan langkah lebar segera ia mendahului masuk memeriksa, terdengar ia berseru kegirangan: "Hahaha, gua ini kering dan bersih, cukup untuk berteduh kita beramai."

"Tempat menginap sudah ada, namun harus hati-hati juga, marilah kita jaga malam bergilir." Ciok Goan mengusulkan.

"Benar," Bing Ceng ho nyatakan persetujuan, "kuusulkan dua orang satu grup, begitu lebih leluasa saling bantu."

Mempersoalkan jaga malam Phoa Tin terkejut dan takut, katanya : "Sepak terjang Hek-swan hong bagai setan alas, terus terang saja kepandaianku terlalu jauh melawannya, kalau jaga aku minta diatur satu grup dengan Bing-lopiauthau, aku punya kawan yang dapat diandalkan,"

"Pintar kau memilih," jengek Oh Kan dongkol, "jadi Tay-him terpaksa harus tergantung kepada aku. Sebaliknya aku sendiri tidak tahu apakah aku mampu menjaga keselamatan keponakanku ini."

Diantara tujuh orang itu kepandaian Nyo Tay-him yang terlemah. Ucapan OhKan jelas menunjukkan jiwanya yang sempit dan tak setuju akan usul Phoa Tin, seolah-olah beranggapan bahwa kepandaian Bing Ceng ho lebih tinggi dari yang lain. Disamping itu sebenarnya iapun sangat takut, sebagai paman Nyo Tay-him, bagaimana juga dia harus satu grup dengan keponakan itu.

Bing Ceng-ho pintar melihat gelagat, diam-diam ia sudah meraba alasan mereka dilandasi rasa ketakutan melulu. Maka segera ia berkata : "Menghadapi musuh tangguh aku pun tak perlu bicara sungkan lagi, bukan kepandaian Phoa-lote dan Nyo lote tidak becus, soalnya mereka angkatan lebih muda. Kalau benar-benar di tangan Hek-swan-hong mungkin tak kuasa melawan. Begini saja kita atur kita yang tua saja yang menanggung segala resiko ini, bebaskan mereka berdua dari tugas jaga malam ini."

"Rase tua ini tak malu sebagai kelana Kangouw yang sudah bangkotan," demikian batin Oh Kan, "setiap ucapannya cukup beralasan dan cukup adil." kontan ia pun nyatakan persetujuannya.

Maka Hian-king Totiang menggiur lagi dengan kata-kata tawar: "Kalau musuh benar jauh lebih lihay dari kita, jaga malam juga tak berguna. Aku serahkan mati hidupku ini kepada nasib saja, aku akan tidur saja. Kalau kehilangan batok kepala dalam impian, aku tak akan salahkan orang lain."

Dalam hati Ciok Goan mengumpat lagi, namun lahirnya ia bersikap manis, katanya : "Totiang, kepandaianmu tinggi nyalimu besar, sudah tentu tak perlu kawatir diganggu orang. Padahal kita mengandal bantuanmu saja."

Hian-king Totiang membalikkan mata ejeknya : "Pinto terkenal sebagai setan penakut, Ciok-ji cengcu mengandal bantuanku apa ?"

"Ah, Totiang suka berkelakar," sahut Ciok Goan, "Totiang menemani kedua saudara yang bebas tugas ini, bukankah akan menambah nyali mereka."

"Bisaku tidur nyenyak saja !" dengus Hian king Totiang.

Mereka tujuh orang, Phoa Tin, Nyo Tay-him dan Hian-king Totiang bebas tugas, tinggal empat orang kebetulan terbagi dua grup, masing masing berjaga setelah malam.

Hek-liong Taysu berkata : "Aku belum kantuk, saudara Oh, kalau tidak berkelahi, kita tak bakal kenal, marilah sekarang kita yang jaga."

Sikap dan watak Hek-liong Taysu kelihatan kasar dan berangasan, sebetulnya otaknya cerdik untuk mencari keuntungan pribadinya. Pikirnya, kalau jaga malam pada tengah malam pertama bahaya ketemu musuh tentu jauh lebih ringan.

Oh Kan bergelak tawa, sahutnya : "Usulmu cocok benar dengan lubuk hatiku. Beruntung aku berkenalan dengan seorang sahabat Bulim di Kwan gwa untuk menambah pengetahuan, marilah kita ngobrol sambil menghabiskan waktu !"

"Begitu pun baik," ujar Ciok Goan, "aku dan Bing-lopiauthau mendapat giliran kedua." diapun punya perhitungan sendiri. Pikirnya : "Walau larut malam bahaya lebih banyak, tapi kepandaian silat Bing Ceng-ho jauh lebih tinggi dibanding Oh Kan."

Masing-masing mendapat pasangan yang diharapkan, yang tidur lantas istirahat, yang berjaga malampun mulai bertugas.

Begitulah mereka lewati sang waktu dengan aman tenteram, tak terasa waktu sudah semakin larut. Diam-diam Ciok Goan menyesal, batinnya: "Semoga tiba giliranku nanti tak terjadi sesuatu yang membahayakan."

Sama sama bangkotan Kangouw begitu keluar gua segera Ciok Goan berunding dengan Bing Ceng-ho akhirnya mendapat kata sepakat, masing-masing mencari tempat sembunyi yang berdekatan. Mendengar apapun dilarang buka suara supaya tidak konangan oleh musuh.

Malam itu cuaca amat gelap, tiada bintang tak ada sinar rembulan. Dengan hati kebat kebit Ciok Goan sembunyi di belakang sebuah batu besar, entah berapa lama, yang diharap adalah cuaca lekas-lekas terang benderang.

Tengah hatinya gundah tiba-tiba dilihatnya disemak belukar sana muncul dua bayangan hitam yang mengidap-ngidap makin dekat. Keruan kejut Ciok Goan bukan kepalang, jantung hampir melonjak keluar, diam diam ia meraup segenggam pasir beracun.

Kedua bayangan itu makin dekat, kira-kira beberapa tombak dari tempat sembunyi Ciok Goan melihat mereka saling memberi tanda, main tunjuk dan tuding, lalu goyang-goyang tangan pula. Muka kedua orang ini tertutup kain hitam.

Ciok Goan menebak dalam hati. "Dilihat gerak gerik mereka jelas sudah tahu kalau dalam gua ada sembunyi orang. Hm, peduli dia Hek swan hong atau orang lain turun tangan dulu lebih menguntungkan. Tidak menjadi soal salah membunuh orang dari pada badan sendiri berkorban secara konyol." setelah bertetapan hati, tanpa bersuara Ciok Goan segera timpukkan segenggam pasir beracunnya kearah dua bayangan itu.

Orang berkedok didepan itu ngebut lengan bajunya, laksana segulung awan pasir beracun itu dikebut balik semua.

Tersipu sipu Ciok Goan menggelundung, terlambat sedetik jiwa bakal melayang termakan oleh senjata sendiri. Dikata lambat kenyataan sangat cepat, pada detik lain kedua orang berkedok itu sudah menubruk tiba.

"Trang !" terdengar benturan senjata, kiranya Ci kiam-to milik Bing Ceng ho sudah beradu kekuatan dengan ruyung baja salah seorang berkedok itu, dalam gebrakan pertama ini mereka sudah serang menyerang tujuh jurus.

Dengan gaya ikan gabus melentik cepat Ciok Goan melejit bangun, belum lagi berdiri tegak terasa angin keras menyampok dari belakang. Untung ia bergerak sigap sebelah tangan lantas dibalikkan memapak pukulan musuh. Ilmu Bian-ciang merupakan kepandaian tunggal yang tiada keduanya, namun telapak tangan beradu, orang itu tidak bergeming, sebaliknya telapak tangan Ciok Goan seperti dipanggang diatas bara api yang menganga.

Keruan kejut Ciok Goan bukan kepalang cepat ia mundur beberapa langkah. Terdengar orang itu mengejek dingin: "Kukira Hek-swan-hong punya tiga kepala enam tangan, ternyata hanya nama kosong belaka! Hm, mau lari kemana?"

Ciok Goan menjadi girang, teriaknya: "Aku bukan Hek swan hong. Aku, aku, aku adalah....." belum sempat ia menyebut namanya, pundaknya sudah kena dicengkeram oleh lawan.

Dilain pihak, Bing Ceng-ho sudah bergebrak tujuh jurus tiba tiba lawannya itu berseru kaget dan heran, teriaknya: "Bukankah kau Bing-lopiauthau dari Hou-wi Piaukiok?"

"Benar, memang aku yang rendah." sahut Bing Ceng-ho merandek, "Saudara ini....."

Orang itu menanggalkan kedoknya, lalu bergelak tawa: "Bing-toako, kau tak kenal aku lagi?"

Kejut dan girang hati Bing Ceng-ho, serunya: "Ha, ternyata Huwan Thocu adanya, bagaimana kau datang kemari?"

Ternyata lawannya bernama Huwan Pau, beberapa tahun yang lalu sebagai begal tunggal yang kenamaan.

Kira kira duapuluh tahun yang lalu Bing Ceng-ho baru naik pangkat menjadi congpiauthau, pernah satu kali melindungi sebuah barang hantaran yang sangat mahal nilainya keselatan, dari kabar berita yang diperoleh katanya Huwan Pau hendak merampas barang hantarannya ini. Maka Bing Ceng ho mengundang seorang sahabat kentalnya yang kenal dengan Huwan Pau, sebelum berangkat sudah berkunjung dan memberi kado terlebih dulu, sejak itulah mereka berkenalan, sehingga barang hantarannya itu selamat ke alamat yang dituju.

Tak lama setelah kejadian itu, mendadak Huwan Pau menghilang dari kalangan Kangouw. Bing Ceng-ho mencari tahu jejaknya namun tak berhasil, tiada seorangpun yang tahu kemana dia pergi.

Huwan Pau berkata: "Sangat panjang ceritanya, nanti kita bicarakan lagi. Hei, sama kawan sendiri saudara Toko berhenti dulu.."

Tepat saat itu, kawannya mencengkeram tulang pundak Ciok Goan, untung Huwan Pau keburu mencegah, orang itu lantas lepas tangan, tegurnya: "Salahmu sendiri menyerang dengan keji? Maaf membuat kau sakit !"

Badan Ciok Goan basah oleh keringat dingin sesaat, kesima tak mampu bersuara.

"Inilah Ciok Ji cengcu dari Tay-hong hu.'' segera Bing ceng ho memperkenalkan.

Belum sempat Huwan Pau memperkenalkan kawannya, mendadak seorang berlari-lari mendatangi, dari jauh sudah berteriak: "Toko Hiong, kau tidak angon (mengembala) kuda didesamu untuk apa datang keatas gunung belukar ini ?"

Ternyata tiga orang yang tidur dalam gua menjadi kaget dan terbangun mendengar pertempuran diluar. Phoa Tin, Nyo Tay-him berindap-indap mengintil keluar dibelakang Hian-king Totiang. Orang yang bicara adalah Hian-king Tojin.

"Kau hidung kerbau tidak sembunyi di Sam-cing-koan, apakah minta sedekah disini ?" segera Toko Hiong balas mengolok-ngolok.

Bing Ceng-ho semakin girang, ujarnya, "Rupanya kalian kenalan lama, ini lebih baik sekali."

Kata Hian king Tojin : "Toko Hiong, mungkin sudah puluhan tahun kita tak berjumpa bukan ? Bagaimana dagang hewanmu?"

"Sudah lama aku tidak beternak," sahut Toko Liong, "Sekarang, sekarang...." ternyata dia dulu adalah pemilik tiga belas peternakan kuda dan sapi yang terbesar di Kwan-gwa. Merupakan jagoan yang kenamaan di daerahnya. Hian-king Tojin pernah minta derma dan dana di Kwan-gwa, maka mereka kenal dan bersahabat karib.

"Lalu apa pekerjaanmu sekarang?" tanya Hian-king Tojin.

"Coba kau dulu bercerita, untuk apa kalian berada di sini ..."

Bing Ceng ho tahu orang sangsi, cepat ia memberi penjelasan : "Kita menepati undangan di karang kepala harimau. Ciok-jicengcu ini sudah tahu keparat itu berjulukan Hek-swan hong."

Huwan Pau bertanya : "Kalian punya permusuhan apa dengan dia, apa tak bisa diselesaikan cara damai ?"

"Keluarga Ciok kita punya dendam kesumat sedalam lautan." Ciok Goan menjelaskan sambil kertak gigi, "ada aku tiada dia, ada dia tiada aku."

Menurut batin Bing Ceng-ho sudah tentu sangat harap bisa menyelesaikan persoalan secara damai dengan Hek-swan hong, namun di mulut ia tak leluasa bicara, katanya : "Hampir saja Hou-wi Piaukiok kami tutup pintu karena perbuatannya, kitapun punya permusuhan yang mendalam."

"Hidung kerbau, kenapa kau kemari ?" tanya Toko Hiong.

Hian-king Tojin berkata dingin: "Aku datang membantu Ciok-toa cengcu, aku ingin belajar kenal beberapa jurus ilmu silat Hek-swan-hong itu, Hek-liong Taysu ini juga setujuan dengan aku."

Toko Hiong segera berkenalan dengan Hek-liong Taysu, katanya tertawa : "Nama Taysu yang mulia sudah lama kudengar, kita sama gelandang dari Kwan-gwa ternyata baru kenal di Tionggoan sini."

Hek liong Taysu mengetahui bahwa Toko Hiong adalah tokoh silat kosen di Kwan-gwa, Lui-sin-ciang belum pernah mendapat tandingan.

O^~^~^O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar